Anda di halaman 1dari 55

RESPONS IMUN PADA INFEKSI

Oleh: Dr. Haris Budi Widodo


INFEKSI VIRUS

Virus:mikroorganisme intraseluler obligat


yang berkembang biak di dalam sel
hospes dan menggunakan asam nukleat
dan berbagai organ seluler hospes untuk
metabolisme dan sintesis proteinnya
Keterangan:
 Intrasel obligat: hanya dapat tumbuh dan
berkembang di dalam sel pejamu. Untuk
mengkultur, perlu sel hidup.
 Intrasel fakultatif: mampu tumbuh dan
berkembang di dalam maupun di luar sel.
Dapat dikultur memakai media buatan
 Ekstrasel: tumbuh dan berkembang di luar
sel. Dapat dikultur memakai media buatan,
kecuali parasit.
Cara replikasi dan penyebaran virus
Virus masuk ke dalam sel hospes dengan cara
berikatan dgn reseptor spesifik yang berada
pada permukaan sel hospes.
Spesifitas ini menentukan tropisme suatu virus
pada sel atau hospes tertentu.
Misalnya, HIV (human immunodeficiency virus)
mampu berikatan dengan reseptor CD4 pada
permukaan sel T helper, virus Epstein-Barr
dengan reseptor pada permukaan sel B, virus
polio pada permukaan neuron, dan virus
influenza A pada permukaan berbagai sel,
termasuk epitel pernafasan
Setelah masuk ke dalam sel, virus
menimbulkan kerusakan jaringan dan
penyakit serta menginduksi respons
imun hospes dengan berbagai cara.
Pada infeksi yang bersifat sitopatik atau
sitolitik, replikasi virus mengakibatkan
kerusakan dan kematian sel karena
replikasi virus mengganggu sintesis dan
fungsi protein seluler hospes.
Sel yang terinfeksi akan mengalami
lisis dengan melepaskan virus-virus
baru ke ruang ekstraseluler.
Infeksi ini biasanya bersifat akut,
seperti pada influenza dan infeksi
rotavirus.
Virus non-sitolitik dapat tetap
bersembunyi di dalam sel hospes sambil
melepaskan calon virus baru.
Virus ini tidak hanya dapat menyebar
melalui pelepasan calon virus ke ruang
ekstraseluler, tetapi juga dapat menyebar
melalui jembatan interseluler tanpa
melalui ruang ekstraseluler sehingga
tidak terjangkau antibodi dalam sirkulasi.
Sel hospes dapat tetap hidup dan
bahkan membelah dan menurunkan
sel-sel baru yang telah terinfeksi.
Infeksi yang ditimbulkan biasanya
bersifat laten, seperti pada infeksi
keluarga virus herpes.
DNA virus dapat berintegrasi dengan
DNA hospes dan mengakibatkan
perubahan transkripsi kode genetik yang
dapat mengubah sifat sel hospes.
Perubahan sifat ini dapat diturunkan pada
generasi sel berikutnya.
Infeksi ini dapat mentransformasi sel
normal hospes menjadi sel kanker.
Mekanisme pertahanan awal terhadap invasi
virus adalah integritas permukaan tubuh.
Bila mekanisme ini dapat ditembus, akan
terjadi aktivasi respons imun non-spesifik
seperti interferon, NK, dan makrofag.
Ada tiga macam interferon, yaitu IFNa, IFNb
dan IFNg.
Infeksi virus pada suatu sel akan
mengakibatkan dihasilkannya IFNa atau IFNb
yang akan mengaktifkan mekanisme antivirus
sel sekitarnya dan memungkinkannya
menghindari infeksi.
IFNg meningkatkan efisiensi respons
imun spesifik dengan menstimulasi
ekspresi MHC kelas I dan II.
Interferon ini juga merupakan
aktivator kuat makrofag dan sel NK.
Imunitas spesifik
Antibodi dapat menetralkan virus
melalui berbagai cara.
Pada influenza, antibodi terhadap
hemaglutinin virus mencegah
pengikatan virus pada reseptor sel
hospes sehingga mencegah
penetrasi.
 Pada campak, antibodi mencegah pemindahan
virus campak dari sel ke sel.
 Antibodi juga dapat menghancurkan partikel
virus melalui aktivasi komplemen jalur klasik
yang kemudian melisis sel-sel yang terinfeksi
virus campak, parotitis, dan influenza.
 Pemberian antibodi pasif sebelum atau segera
sesudah paparan dapat melindungi terhadap
infeksi tertentu, seperti campak, hepatitis A
dan B, dan varisela.
Imunitas seluler
Imunitas seluler terhadap virus penting
karena banyak virus yang bersifat
intraselular sehingga tidak dapat dikenali
oleh antibodi.
Virus intraselular dapat mengubah
antigen permukaan membran sel hospes
atau melepaskan kuncup berbentuk
partikel infeksi dari permukaan sel.
Reseptor limfosit T dapat mengenali
antigen permukaan yang telah
berubah tersebut dan menimbulkan
respons imun terhadapnya.
Sitotoksitas oleh sel NK atau
sitotoksisitas seluler tergantung
antibodi (antibody dependent cell-
mediated citotoxicity, ADCC) juga
sangat efektif.
Cara virus menghindari respons imun
Virus dapat terhindar dari respons imun bila tetap
berada di dalam sel hospes tanpa
mengekspresikan antigen virus pada permukaan
sel yang terinfeksi, seperti pada infeksi virus
herpes simpleks dan varisela-zoster.
Virus yang menyebar melalui jembatan antar sel
tanpa melewati ruang ekstraseluler atau virus
yang menyebar melalui pembelahan sel dapat
menghindari pengenalan oleh antibodi.
Infeksi virus juga dapat mengakibatkan
defisiensi imun sementara atau menetap,
baik terhadap antigen virus itu sendiri
maupun terhadap antigen lain.
Misalnya, infeksi virus influenza, rubela,
campak, dan sitomegalo mengakibatkan
hospes rentan terjangkit infeksi lain untuk
jangka waktu tertentu, sedangkan infeksi
HIV (human immunodeficiency virus)
mengakibatkan defisiensi imun menetap.
Variasi antigenik pada virus influenza dan
virus penyakit kaki dan mulut (foot and mouth
disease, FMD) mengakibatkan Imunitas
humoral untuk strain virus tersebut dan
hanya dapat melindungi hospes sampai
timbulnya strain baru.
Vaksinasi terhadap strain tertentu tidak akan
melindungi hospes terhadap strain yang
akan segera muncul di kemudian hari.
Infeksi Bakteri
Mekanisme pertahanan terhadap
infeksi bakteri tergantung pada
struktur bakteri dan pada mekanisme
patogenesitas bakteri tersebut.
Ada empat macam dinding sel
bakteri, yaitu dinding sel bakteri
gram positif, gram negatif,
mikobakteri, dan spirokheta.
Lapisan lipid ganda (lipid bilayed)
terluar bakteri gram negatif rentan
terhadap mekanisme yang dapat
melisis membran, seperti komplemen
dan sel sitotoksik tertentu, sedangkan
pemusnahan bakteri lain seringkali
menggunakan mekanisme
fagositosis.
 Pada lapisan terluar bakteri sering terdapat
fimbriae atau flagela, atau terlindungi dengan
kapsul yang dapat menghambat fungsi
fagosit atau komplemen, tetapi perlengkapan
ini dapat menjadi sasaran antibodi.
 Ada dua pola patogenesitas bakteri, yaitu
1)toksisitas tanpa invasi dan
2)invasi tanpa toksisitas.
 Corynebacterium diphteriae dan Vibrio cholerae
merupakan contoh bakteri yang toksik, tetapi tidak invasif.
 Karena patogenesitasnya sepenuhnya tergantung pada
produksi toksin, Imunitasnya cukup hanya dengan
antibodi netralisasi terhadap toksin.
 Sebaliknya, pada bakteri yang invasif, bakteri itu sendiri
juga harus dibunuh.
 Kebanyakan bakteri mempunyai kedua pola
patogenesitas tersebut, bersifat invasif dibantu toksin
lokal dan faktor penyebaran atau enzim perusak jaringan.
Imunitas nonspesifik
 Kulit dan membran mukosa utuh memberikan
rintangan mekanis terhadap invasi bakteri.
 Keasaman cairan lambung dapat menghancurkan
berbagai jenis bakteri, kecuali beberapa bakteri
patogen tertentu seperti Salmonella typhosa.
 Berbagai faktor humoral juga dapat membunuh
bakteri, seperti asam lemak tidak jenuh pada kulit
dan lisosim, suatu enzim pada air mata, saliva dan
sekresi hidung, yang mampu menghancurkan
lapisan mukopeptida dinding sel bakteri.
Keseimbangan ekologi mikroba pada
permukaan tubuh juga merupakan
mekanisme pertahanan yang penting.
Keseimbangan ini dapat terganggu oleh
penyakit atau pengobatan.
Misalnya, terjadi pertumbuhan
Staphylococcus aureus berlebihan setelah
pemberian antibiotik spektrum luas.
Setelah masuk ke dalam tubuh, berbagai
komponen bakteri dapat memicu berbagai
respons non-spesifik, seperti aktivasi komplemen
jalur alternatif.
Aktivasi komplemen akan menghasilkan C3a dan
C5a, suatu anafilatoksin yang dapat memicu
kontraksi otot polos dan degranulasi sel mast
untuk meningkatkan permeabilitas vaskular;
opsonisasi bakteri oleh produk C3; dan kompleks
serangan membran (C5b-9) yang mampu melisis
dinding sel bakteri tertentu, terutama bakteri
gram negatif.
 Bersama dengan berbagai produk
bakteri, lipopolisakarida,
peptidoglikan, polianion, peptida
muramil, dan sebagainya, aktivasi
komplemen juga bersifat
khemotaktik, menarik, dan
mengaktivasi neutrofil, makrofag,
dan sel NK.
 Pelepasan sitokin oleh makrofag
dan sel NK akan mengaktifkan
fagositosis.
 Mekanisme ini dan berbagai
mekanisme reaksi inflamasi yang
lain dapat menghambat
penyebaran bakteri.
Peran antibodi
Selama perjalanan infeksi bakteri,
elemen-elemen respons imun spesifik
diaktifkan melalui sel-sel jaringan
limfoid.
Pada infeksi lokal terjadi pembesaran
limfonodi regional atau pembesaran
limpa bila organisme masuk ke dalam
sirkulasi darah.
Antibodi dapat menetralkan
patogenesitas bakteri dengan
berbagai cara.
Streptococcus grup A dan beberapa
patogen usus mempunyai reseptor
pada permukaan epitel yang dapat
diblokade oleh antibodi.
Komponen-komponen bakteri yang dapat
menghambat fagositosis, seperti protein-M
Streptokokus dan kapsul Pneumokokus,
Haemophilus influenzae dan Bacillus anthrax,
dapat diinaktifkan oleh antibodi.
Antibodi antitoksin dapat menetralkan toksin
Corynebacterium diphtheria, Clostridium tetani,
dan Clostridium welchii dan mencegah efek
kerusakan terpenting yang ditimbulkan bakteri-
bakteri ini.
Antibodi IgA sekretorik terhadap
lipopolisakarida dan toksin Vibrio cholera
akan menghambat perlekatan basil ini
pada mukosa usus dan memblokade
perlekatan toksin pada reseptornya.
Imunitas seluler

Imunitas seluler efektif terhadap bakteri yang


mampu hidup dan tumbuh dalam makrofag
hospes, seperti Mycobacterium tuberculosis,
Mycobacterium leprae, dan Legionella.
Mikroba-mikroba ini dapat menghindar dari
mekanisme pembunuhan fagosit dengan
mencegah fusi fagosom dan lisosom, seperti
pada mikobakterium atau dengan
menghambat peningkatan aktivitas metabolik
pasca­fagositosis, seperti pada Legionella.
Infeksi Parasit
 Penyakit yang ditimbulkan oleh infestasi
parasit sangat beraneka ragam, begitu
pula respons imun yang efektif terhadap
setiap jenis parasit.
 Pertahanan hospes non-spesifik relatif
tidak efektif terhadap parasit.
 Mekanisme pertahanan terhadap infeksi
parasit memerlukan antibodi, sel T, dan
makrofag yang distimulasi sel T.
Pada umumnya, respons humoral
penting terhadap organisme yang
menginvasi aliran darah seperti malaria
dan tripanosomiasis, sedangkan Imunitas
seluler berperan pada parasit yang
menginvasi jaringan, seperti leismaniasis
dan toksoplasmosis.
Proteksi oleh antibodi

Antibodi dihasilkan pada berbagai tipe


infeksi parasit, tetapi pada umumnya parasit
mampu mengembangkan cara-cara untuk
menghindar dari penghancuran oleh
antibodi.
Kadar IgM biasanya meningkat pada
tripanosomiasis dan malaria, IgG pada
malaria dan Leismaniasis viseralis, dan IgE
pada infestasi cacing.
 Pada tripanosomiasis dan malaria,
parasit menghindari antibodi dengan
mengubah epitop antigenik bentuk-
bentuk darah sikliknya.
 Anak di daerah hiperendemik akan
menderita serangan berulang pada
beberapa tahun pertama
kehidupannya sebelum akhirnya
menjadi kebal, diduga setelah
mengembangkan antibodi terhadap
semua varian antigenik.
Pada toksoplasmosis, antibodi
efektif melawan bentuk dewasa
tetapi tidak dapat melenyapkan
kista sehingga jarang ditemui
penyakit klinis yang nyata, tetapi
infeksi subklinis relatif sering.
Pada skistosomiasis, antibodi yang
dihasilkan dapat secara efektif memblokade
infeksi kedua, tetapi organisme pada infeksi
yang pertama tetap hidup dalam darah
sampai beberapa tahun karena mampu
menghindari pengenalan antibodi dengan
menggunakan antigen golongan darah
hospes dan histokompatibilitas sebagai kulit
luarnya.
 Pada infeksi cacing, terutama Trichinella spiralis,
dihasilkan IgE dengan kadar yang sangat tinggi.
 IgE dapat membantu memaksa pengeluaran cacing
dengan melepaskan histamin dari sel mast yang
diselimuti IgE.
 Histamin ini akan meningkatkan peristaltik usus dan
menyebabkan eksudasi serum yang mengandung
antibodi protektif berkadar tinggi dari semua kelas
imunoglobulin.
Imunitas SeIluler
 Limfosit T mempunyai peran yang penting pada
respons hospes, terhadap parasit.
 Makrofag yang distimulasi limfokin efektif memfagosit
protozoa intraseluler seperti Trypanosoma cruzi,
Leishmania donovani Toxoplasma gondii, dan
Plasmodium sp., serta cacing seperti cacing filaria dan
skistosoma.
 Sel T sitotoksik secara langsung dapat menghancurkan
sel dan fibroblas jantung yang terinfeksi T. cruzi.
Pada beberapa infeksi, seperti
skistosomiasis, sistem imun tidak dapat
secara sempurna melenyapkan parasit.
Sel T bereaksi terhadap antigen yang
dilepaskan secara lokal oleh cacing atau
telurnya, dan mengisolasinya dengan
pembentukan granuloma.
Pengaruh Infeksi pada Respons Imun

Selain secara langsung merusak jaringan


hospes, beberapa mikroorganisme juga
mampu mengganggu respons imun hospes.
Efek patologi beberapa penyakit infeksi sering
diderita anak-anak di daerah tropik terhadap
respons imun.
Campak

Data klinis dan epidemiologis menunjukkan


bahwa campak meningkatkan insidens dan
keparahan infeksi sekunder.
Virus campak sangat mempengaruhi imunitas
seluler.
Selama menderita campak, hipersensitivitas
kulit tipe lambat terhadap antigen yang pernah
dikenal, tertekan sementara.
Hal ini dapat dilihat dengan negatifnya reaksi
tuberkulin pada penderita tuberkulosis paru
yang sedang menderita campak.
Fungsi sel T secara in vitro juga terbukti
menurun.
Hepatitis

Perjalanan alamiah infeksi virus


hepatitis A atau B adalah munculnya
secara berurutan berbagai antigen virus
yang diikuti antibodinya dalam sirkulasi.
Pada infeksi menetap, seperti pada
hepatitis B, ada respons antibodi rendah
terus menerus yang menyebabkan
pembentukan kompleks imun kronis
disertai pengendapan kompleks pada
jaringan.
Hal ini menimbulkan reaksi hipersensitivitas
tipe III. Kompleks imun ini dapat
menimbulkan manifestasi ekstrahepatik
infeksi virus hepatitis B, seperti sindrom
menyerupai penyakit serum (serum
sickness) yang kadang-kadang ditemukan
pada awal infeksi, glomerulonefritis, sindrom
nefrotik, poliarteritis nodosa, dan tipe-tipe
vaskulitis lainnya.
Lepra

Lepra mempunyai spektrum yang berkisar dari


bentuk tuberkuloid dengan hanya sedikit
organisme hidup sampai bentuk lepromatosa
yang ditandai dengan banyak bakteri dalam
makrofag.
Pada bentuk tuberkuloid, sistem limfosit T aktif,
tetapi tidak cukup kuat untuk memberantas
bakteri.
Pada bentuk lepromatosa, sistem limfosit T
tertekan, walaupun jumlah sel plasma dan
kadar antibodi sangat tinggi.
Malaria

Pada malaria, stimulasi antigenik terus


menerus menghasilkan pembentukan
kompleks imun yang diendapkan pada
berbagai jaringan sehingga menimbulkan
reaksi hipersensitivitas tipe III.
Sindrom nefrotik pada malaria kuartana dan
malaria cerebral sangat mungkin disebabkan
oleh endapan kompleks imun.
Demam Reumatik Akut
Antibodi yang timbul karena infeksi
streptokokus dapat bereaksi dengan
antigen yang ada di sarkolema,
endokardium, miokardium, sinovia, kulit,
subkutis, dan otak sehingga menimbulkan
reaksi hipersensitivitas tipe II.
Glomerulonefritis Akut

Antibodi yang timbul karena infeksi


streptokokus bereaksi dengan bakterinya
menjadi kompleks antigen-antibodi yang
kemudian mengendap pada membrana
basalis glomerulus dan menimbulkan
glomerulonefritis melalui reaksi
hipersensitivitas tipe III.
Penyakit Chagas

Beberapa manifestasi penyakit Chagas diduga


timbul akibat destruksi jaringan oleh
mekanisme autoimun.
Kardiomiopati, pembesaran esofagus, dan
megakolon pada penyakit Chagas diduga
akibat penghancuran ganglia saraf oleh
antibodi atau sel T sitotoksik yang bereaksi
silang dengan antigen Trypanosoma cruzi.
HIV (human immunodeficiency virus)/AIDS (acquired
immunodeficiency syndrome)

 Disfungsi imun pada HIV ditandai dengan makin


habis dan terganggunya fungsi sel T CD4+,
berkurangnya respons terhadap antigen, mitogen,
alloantigen, dan antibodi anti-CD3 yang disertai
dengan berkurangnya produksi IL-2 dan perubahan-
perubahan pada produksi sitokin lain.
 Akhirnya akan terjadi pula penurunan respons sel T
sitotoksik dan hilangnya fungsi sel penyaji antigen
tertentu.

Anda mungkin juga menyukai