Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Parasit-parasit yang menyerang manusia dapat dibagi atas dua grup, yaitu
organisme protozoa dan organisme metazoa, seperti Cestode, Trematoda dan
Nematoda. Kedua golongan ini, selain berbeda dalam hal morfologinya, berbeda
pula dalam hal tingkat dan derajat kelainan patologiknya, serta respons imunologik
yang bangkit karenanya. Infeksi dengan protozoa, biasanya bersifat intraseluler pada
tahap-tahap penyenangan jaringan (" tissue-invading") daripada organisme tersebut.
Dikarenakan parasit mempunyai daur hidup yang rumit maka respon imun tubuh
kurang bermakna dalam perlawanan terhadap parasit dan banyak penyakit parasit yang
berkembang menjadi penyakit kronis (Anonim, 2012).
Mereka dengan segera, bermultiplikasi di dalam sel-sel dan jaringan hospes,
sehingga penyakit yang timbul berkembang sangat cepat. Sebaliknya, golongan
metazoa terutama bersifat ekstraseluler, dan biasanya tidak bermultiplikasi di dalam
hospes definitif. Akibatnya maka penyakit yang timbul lebih bersifat kronis dan
simtom-simtomnya lebih bersifat non-spesifik. Respons imunitas humoral lebih
terbangkit apabila parasit berada dalam bentuk atau tahap ekstraseluler dan/atau
berada dalam sirkulasi darah (sistemik). Sebaliknya, bila parasit berada dalam bentuk
intraseluler, maka respons imun yang bangkit adalah sistem imunitas seluler. Beberapa
hal perlu diperhatikan, ialah bahwa parasit-parasit golongan metazoa
lebih menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe cepat, dan tanda-tanda
eosinofilia yang jelas terlihat pada infeksi parasit jenis ini. Keadaan ini disebabkan
karena peranan imunitas humoraI, yaitu mekanisme yang dibawakan oleh IgM
(Anonim, 2011).
Parasit menginvasi imunitas protektif dengan mengurangi imunogenisitas dan
menghambat respon imun host. Parasit yang berbeda menyebabkan imunitas
pertahanan yang berbeda (Anonim, 2011).
2

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini:
1. Bagaimana respon imun manusia terhadap infeksi parasit?
2. Bagaimana mekanisme perlawanan system imun terhadap infeksi parasit?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. untuk mengetahui respon imun manusia terhadap infeksi dari parasit.
2. untuk mengetahui mekanisme perlawanan sistem imun terhadap infeksi
parasit.
3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Imunitas
Imunitas adalah daya tahan tubuh untuk melawan penyakit atau melawan
infeksi.
Sistem imun adalah semua sel dan molekul yang terlibat dalam imunitas tubuh,
merupakan suatu kesatuan fungsional.
Respon imun adalah tanggap (respon) terhadap substansi asing yang masuk ke
dalam tubuh, secara kolektif disebut.
Kebanyakan infeksi parasit pada manusia bersifat kronis, karena sistem imun
nonspesifik yang lemah dan kemampuan parasit bertahan terhadap imunitas spesifik,
serta banyak obat antibiotik yang tidak efektif lagi. Vaksin juga belum berkembang,
diperlukan faktor humoral (terutama IgG) yang bersifat protektif dengan mencegah
merozoit memasuki sel darah merah.
a. Imunitas nonspesifik
1. Terhadap protozoa -> fagositosis, namun banyak yang resisten terhadap efek
bakterisidal makrofag, bahkan dapat hidup di dalam makrofag.
2. Terhadap cacing -> fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan
mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk dimakan.
Beberapa cacing mengaktifkan komplemen lewat jalur alternatif, tetapi banyak
juga parasit yang memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten terhadap
mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag.
b. Imunitas spesifik
1. Respons imun yang berbeda
Berbagai parasit berbeda dalam besar, struktur, sifat biokimiawi, siklus hidup,
dan patogenisitasnya -> respons imun spesifik berbeda pula. Infeksi cacing
biasanya kronik dan kematian sel host akan merugikan parasit sendiri ->
rangsangan antigen persisten -> meningkatkan kadar imunoglobulin dan
pembentukan kompleks imun dalam sirkulasi.
4

2. Infeksi cacing (dengan Th2)


o Respons terhadapnya lebih kompleks karena lebih besar dan tidak terfagosit.
o Pertahanan terhadap cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2. Cacing
merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5.
o IL-4 merangsang produksi IgE, kemudian IgE berikatan dengan cacing.
o IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil -> eosinofil mengikat
IgE yang tadi sudah ada cacingnya.
o Eosinofil mensekresi granul enzim yang menghancurkan parasit. Granulnya
lebih toksik dibanding neutrofil dan makrofag.
o Reaksi inflamasi yang timbul mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna.
o Jika masuk ke saluran cerna -> dirusak IgG, IgE, dan mungkin dibantu ADCC
(antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity)
o Sitokin yang dilepas sel T, yang dipicu antigen spesifik, merangsang
proliferasi sel goblet dan sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing
yang dirusak -> cacing dikeluarkan melalui peningkatan gerakan usus yang
diinduksi oleh mediator sel mast seperti LTD 4 dan diare akibat pencegahan
absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan prostaglandin dari
sel mast.
o Cacing terlalu besar untuk difagosit. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE
dependen menghasilkan produksi histamin -> spasme usus tempat cacing
hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein
kationik, MBP dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui
IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh
cacing.
3. Filariasis (dengan Th1 dan Th2)
o Filariasis limfatik (menyumbat saluran limfe) menimbulkan CMI kronis,
fibrosis, akhirnya limfedema berat. Investasi persisten sering disertai
pembentukan kompleks antigen parasit dengan antibodi spesifik yang dapat
5

diendapkan di dinding pembuluh darah dan gromerulus ginjal -> vaskulitis dan
nefritis. Penyakit kompeks imun dapat terjadi pada skistosima dan malaria.
o Spektrum gejala filariasis limfatik begitu luas, mulai dari besar jumlah parasit
dengan sedikit gejala klinis sampai yang kronis dengan parasit yang sedikit
ditemukan.
o Mikrofilaria dalam darah -> sitokin Th2 menjadi dominan -> dengan cepat
respons sel T menghilang -> peningkatan mencolok dari sintesis IgG4 spesifik
parasit.
o Induksi toleransi sel T terhadap parasit diduga terjadi dalam subset Th1. Saat
individu sakit, toleransi dipatahkan dan respons terhadap Th1 dan Th2
meningkat dramatis. Baik respons Th1 maupun Th2 terhadap antigen filaria
ditemukan pada individu yang imun terhadap infeksi ulang -> kedua respons
Th dianggap penting pada proteksi pejamu dan patogenesis filariasis.
4. Respons Th1 dan Th2 pada infeksi parasit
Infeksi parasit intraselular, gambaran kedua respons tersebut berhubungan
dengan prognosis baik atau buruk. Dalam menentukan perjalanan penyakit,
peran Th1 dan Th2 pada penyakit parasit lebih kompleks.

B. Imunitas Terhadap Parasit


Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat parasitnya,ternyata
juga dipengaruhi oleh faktor faktor kekebalan hospes. Sehingga disuatu daerah
endemik akan dilihat perbedaan kerentanan ataupun perbedaan resistensi terhadap
infeksi parasit antar individu individu yang tinggal didaerah tersebut (Anonim, 2012).
Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity
2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity
Kedua jenis kekebalan ini akan saling berinteraksi dan menentukan perjalanan
penyakit hospesnya, sehingga pengetahuan mengenai kedua jenis kekebalan perlu
6

diketahui sebagai dasar penanggulangan penyakit parasit terutama dalam


pengembangan vaksin (Anonim, 2012).

1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity


Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas
nonspesifik melalui mekanisme yang berbeda, mikroba tersebut biasanya dapat
tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat beradaptasi
dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respons imun nonspesifik
utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak parasit tersebut yang
resisten terhadap efek bakterisidal makrofag, bahkan beberapa di antaranya
dapat hidup dalam makrofag. Fagosit juga menyerang cacing dan melepas
bahan mikrobisidal untuk membunuh mikroba yang terlalu besar untuk
dimakan. Banyak cacing memiliki lapisan permukaan tebal sehingga resisten
terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan makrofag. Beberapa cacing juga
mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Banyak parasit ternyata
mengembangkan resistensi terhadap efek lisis komplemen (Anonim, 2012).

Terdapat dua macam respon imun yang dapat terjadi pada kekebalan
bawaan ini yaitu :

a. Respon imun humoral


Antibodi yang spesifik ditemukan dalam konsentrasi dan afinitas
cukup memadai efektif untuk memberikan proteksi terhadap parasit.
Gambaran reaksi imun terhadap infeksi cacing adalah eosinofilia dan
peningkatan jumlah IgE. Pada manusia, jumlah IgG dalam serum dapat
meningkat dari normal 100 ng/ml menjadi 10.000 ng/ml. Perubahan ini
merupakan tanda dari adanya reaksi terhadap limfokin tipe Th2. Kenaikan
yang luar biasa dari IgE memperkuat pandangan bahwa IgE merupakan
parameter penting dalam pertahanan. Rangsangan antigen spesifik untuk
untuk terbentuknya sel mastoid yang dilapisi IgE menyebabkan terjadinya
7

eksudasi serum protein dengan konsentrasi antibodi protektif yang tinggi


untuk semua kelas imunoglobulin dan dilepaskannya faktor kemotaktik
eosinofil (Roitt, 2002).
Dalam perjalananya, protein utama pembentuk inti dari granula
eosinofil padat elektron dilepaskan ke parasit dan mengakibatkan
kerusakan. Peran imunitas seluler tampak menonjol karena eosinofil dapat
mengekspresikan MHC kelas II dan IgG-mediated ADCC ditingkatkan
oleh GM-CSF dan TNF. Bukti lain tentang keterlibatan sel ini terlihat dari
penelitian bahwa proteksi menggunakan transfer pasif dengan antiserum in
vivo dapat dihambat dengan pemberian serum antieosinofil sebelumnya.
Reaksi yang diperantarai IgE mungkin penting dalam penyembuhan dari
infeksi, sedangkan resisitensi pada iundividu yang telah divaksinasi
mungkin lebih tergantung pada adanya antibodi IgG dan IgA. Selanjutnya
kemampuan untuk mengatasi cacing tertentu dapat diarahkan kepada
produksi limfokin tipe Th1 seperti IFN dari TH2 yang menghasilkan IgE
(Roit, 2002).
Respon imun humoral menggunakan antibodi sebagai efektornya.
Pada infeksi parasit sebagian besar memperlihatkan respon humoral yg
tinggi. Dalam mengeliminasi parasit ada cara yang dapat dilakukan
antibodi yaitu : (Rusjdi, 2011).
1. Antibodi bekerja sendiri
Parasit intraseluler memerlukan reseptor pada permukaan sel
hospes untuk bisa masuk ke dalam sel
Antibodi menghambat terjadinya ikatan antara molekul parasit
dengan reseptor (Rusjdi, 2011).
Contoh :

Ab terhadap Ag permukaan merozoit plasmodium


menghambat terjadinya interaksi merozoit dengan eritrosit
8

Ab terhadap Ag permukaan sporozit menghambat ikatan


sporozoit dengan hepatosit
Ab terhadap komponen glikolipid Leishmania
menghambat parasit masuk makrofag (Rusjdi, 2011).

2. Antibodi dibantu oleh sel-sel lain (eosinofil, makrofag, netrofil,


trombosit)
Dikenal sebagai ADCC. Sel yang terlibat: eosinofil, makrofag,
neutrofil, trombosit . Sel tersebut berikatan dengan bagian Fc dari
Ig. Bagian Fab berikatan dengan parasit (sel yg terinfeksi)
Contoh :

Eosinofil berikatan dengan IgE menghancurkan


cacing
Makrofag berikatan dengan Ig memfagositosis
Plasmodium std eritrositik (Rusjdi, 2011).
3. Antibodi dibantu oleh komplemen (invitro)
Efektivitas komplemen alam mengeliminasi parasit secara in vitro
telah terbukti tetapi secara in vivo belum (Rusjdi, 2011).

b. Respon imun seluler


Seperti halnya mikroba, banyak parasit beradaptasi untuk hidup
dalam makrofag, meskipun makrofag mempunyai kemampuan
mikrobisidal ampuh termasuk adanya peran NO (nitric oxide). Seperti pada
infeksi mikrobakteri, sel T penghasil sitokin sangat penting untuk
makrofag melaksanakan kemampuan membunuh dan menyingkirkan
pengganggu yang tidak diinginkan. Efek ini bisa dilihat secara in vitro bila
IFN- dengan penambahan TNF , ditambahkan dalam biakan makrofag,
9

yang mendukung pertumbuhan intrasel parasit. Eliminasi infeksi cacing


usus merupakan pendekatan yang khusus berupa gabungan reaksi seluluer
dan humoral untuk menghilangkan infeksi yang masuk. Penelitian pada
tikus (ogilvie) menunjukkan bahwa meskipun antibodi menyebabkan
kerusakan pada cacing, sel T donor imun juga diperlukan untuk terjadinya
ekspulsi kuat yang mungkin terjadi melalui kombinasi stimulasi motilitas
usus oleh sel mastoid dan aktivasi sitokin dari sel goblet usus yang
berjumlah banyak. Kedua jenis sel ini menghasilkan campuran molekul
glycosilated dengan berat molekul tinggi yang membentuk gel viskoelastik
disekeliling cacing, sehingga terjadi proteksi permukaan kolon dan usus
halus dari invasi (Roitt, 2002).
Pada parasit yang bertahan bertahun-tahun mengahadapi reaksi
imunologik, interaksi dengan antigen asing sering menyebabkan kerusakan
jaringan. Reaksi hipersensitivitas lambat yang disebabkan adanya TNF
yang memungkinkan telur meloloskan diri dari kapiler intestinal kedalam
lumen usus untuk meneruskan siklus hidup di luar pejamu.

2. Kekebalan didapat / Natural Acqiured Immunity


Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat
biokimiawi, siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal itu menimbulkan respons
imun spesifik yang berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan
kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu akan
menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan kadar
imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.

C. Proses imuno-patologi
Bila tubuh kemasukan parasit, baik itu golongan protozoa maupun metozoa,
maka infeksi dengan parasit tersebut akan berlanjut menimbulkan penyakit dengan
10

berbagai macam gejala. Keluhan-keluhan obyektif maupun kelainan klinik yang


ditimbulkan tergantung dari pada lokalisasi parasit, selama dan sesudah perkembangan
siklusnya. Setelah respons imun di dalam tubuh hospes dapat dibangkitkan, maka
akan timbul reaksi antara komponen-komponen efektor imunitas dengan komponen-
komponen antigen parasit dengan maksud hendak mengenyahkannya. Namun para ahli
telah berhasil menemukan bukti-bukti, bahwa kelainan-kelainan yang ditimbulkan
karena infeksi dengan parasit ini, seperti splenomegali, hepatomegali,
glomerulonefritis, proses peradangan kronik, kerusakan jaringan yang lanjut serta
berbagai reaksi hipersensitivitas, bukanlah ulah parasit itu sendiri melainkan akibat
mekanisme imunologik tubuh (Anonim, 2012).
Kerusakan jaringan akibat proses imunologik telah lama diketahui, dan
Coombs dan Gell (26) telah mengklasifikasinya ke dalam empat tipe, yaitu :
1. Reaksi tipe I atau reaksi tipe anafilaktik
2. Reaksi tipe II atau reaksi tipe sitotoksik
3. Reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks-toksik
4. Reaksi tipe IV atau reaksi seluler.
Reaksi tipe I hingga III adalah reaksi yang dibawakan oleh imunitas humoral,
sedangkan reaksi tipe IV oleh imunitas seluler (Anonim, 2012).

a. Reaksi tipe I (reaksi anafilaktik)


Reaksi anafilaktik atau reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah suatu reaksi
yang dibawakan oleh IgE. Parasit-parasit golongan Helminthes merupakan parasit
yang ampuh dalam menginduksi pembentukan antibodi homositotropik ini. IgE
mempunyai sifat-sifat yang unik, yaitu bagian Fc struktur imunoglobulinnya dapat
melekat pada sel-sel basofil atau sel-sel mastosit, sehingga apabila bagian Fab bereaksi
dengan antigen parasit, maka akan terjadi perubahan molekul IgE yang akan
mempengaruhi membran sel basofil/mastosit tadi. Lewat sistem "cyclic
Adenosinemonophosphate" (cAMP), maka di dalam sel tersebut akan timbul proses
degranulasi sehingga isi granula, seperti histamin, "slow-reacting substance
11

of anaphylactic" (SRS--A), "eosinophil-chemotactic facton anaphylactic" (ECF--A)


akan dilepaskan. Zat-zat mediator farmakologik aktif ini kemudian
akan menyebabkan berbagai perubahan, seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi
pembuluh darah kapiler dan meningginya per meabilitas dinding pembuluh darah.
Tergantung daripada cara parasit berinvasi masuk ke dalam tubuh, maka gejala
klinik yang ditimbulkan dapat bersifat sistemik atau lokal (Anonim, 2012).
Akibat pengaruh ECF--A, maka tidaklah mengherankan kalau pada penyakit
parasit ini sering ditemukan eosinofilia, dan secara pemeriksaan histologik, tampak di
sekitar panasit itu beratus-natus sel-sel eosinofil. Pada penyakit infeksi oleh bakteri
telah ada bukti yang memperlihatkan bahwa seleosinofil sanggup memfagosit namun
mekanisme "Intracellular killing" agak lemah bila dibandingkan dengan sel
neutrofil. Oleh karena itu peranan sel eosinofil sebagai sel fagosit yang ampuh masih
dipertanyakan orang, namun ada dugaan lain tentang peranan eosinofil ini, yaitu
berperanan pada proses pembangkitan respons agar lebih baik serta berperanan
dalam memodulasi proses inflamasi. Seperti telah diutarakan, maka sel basofil akan
melepaskan histamin, dan ini akan dinetralkan oleh zat-zat yang dilepaskan eosinofil ;
di samping itu pula eosinofil akan melepaskan suatu zat yang mempunyai pengaruh
tenhadap sel makrofag. Keadaan ini menyebabkan interaksi antara sel eosinofil, sel
makrofag dan antigen parasit, sehingga antigen-antigen asing lebih mudah
dipresentasikan oleh sel makrofag ke sel-sel limfosit-T maupun sel limfosit-B
(Anonim, 2012).

b. Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik)


Kelainan ini ditimbulkan akibat adanya antibodi bebas, yang dibawakan oleh
IgG dan/atau IgM, yang dapat bereaksi dengan antigen sel atau jaringan akibat adanya
suatu reaksi silang, atau karena sel atau jaringan tubuh telah mengadsorbsi antigen-
antigen tensebut. Hal ini banyak terjadi pada penyakit parasit, dimana antigen telah
dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diadsorbsi oleh sel atau jaringan tubuh di tempat
lain. Reaksi imunologik yang terjadi akan lebih hebat apabila sistem komplemen telah
12

diaktifkan, yang mengakibatkan terangsangnya berbagai macam sel-sel fagosit. Suatu


sel atau jaringan tubuh yang telah bereaksi dengan IgG antibodi, dapat menarik suatu
sel limfosit yang"nonsensitized" untuk melakukan tugas penghancuran jaringan secara
ekstnaseluler nonfagositosis. Sel limfosit semacam ini dikenal dengan istilah
"killer lymphocyte cell atau disingkat menjadi "K cell" (Anonim, 2012).
Hancurnya sel-sel darah merah sehingga terjadi anemia pada infeksi dengan
Plasmodium diperhebat akibat reaksi tipe II ini, dan juga penggunaan obat-obat yang
dapat menghancurkan parasit sehingga antigen-antigennya tersebar di seluruh
tubuh, dapat menyebabkan malapetaka akibat reaksi yang ditimbulkan oleh respons
imunologik (Anonim, 2012).

c. Reaksi tipe III (reaksi kompleks-toksik)


Apabila di dalam sirkulasi darah terdapat antigen bebas, maka manifestasi
selain reaksi tipe II dapat pula terjadi, yaitu apa yang kita kenal sebagai reaksi
kompleks-toksik. Pengertian kompleks dalam hal ini tidak lain adalah kompleks
antigen dengan antibodinya yang dapat dibawakan oleh IgG maupun IgM. Kompleks
imun ini beredar di dalam darah dalam bentuk kompleks yang larut, yaitu apabila
perbandingan antara antigen dengan antibodi berada dalam taraf"antigen
excess", sedangkan kompleks berbentuk presipitat, bila perbandingan antigen dengan
antibodinya berada dalam taraf"Antibody excess". Reaksi tipe III tenjadi apabila
kompleks imun itu telah mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadilah reaksi
radang.Tergantung daripada lokasi peradangan itu, maka jenis "Arthus reaction" terjadi
bila "insoluble complex" dideposit di tempat-tempat tertentu, sedangkan jenis "serum
sickness" bila terjadi reaksi umum disebabkan oleh "soluble complex" (Anonim,
2012).
Kelainan yang lebih merata akibat adanya sirkulasi kompleks-imun di seluruh
tubuh dapat menyebabkan gejala-gejala klinik seperti, demam, lemas, urtikania,
eritema pada kulit, nyeri bengkak pada persendian, splenomegali, pembesaran
kelenjar limfe, hematuria dan lain-lain. Gejala penyakit semacam ini, selain pada
13

malaria, maka di temukan pula pada penyakit parasit seperti


Schistosomiasis, Trypanosomiasis. Reaksi alengik umum yang ditimbulkan setelah
pemberian terapi pada berbagai penyakit parasit, dapat disebabkan oleh reaksi tipe III
ini, yaitu karena setelah parasit dihancurkan oleh obat yang diberikan, maka berbagai
macam antigen akan dilepaskan ke dalam sinkulasi dalam jumlah yang cukup banyak;
akibatnya maka kompleks-imun akan timbul dan tidak sempat lagi dienyahkan oleh
sistem imunitas seluler, seperti difagosit oleh sel-sel makrofag (Anonim, 2012).

d. Reaksi tipe IV (reaksi tipe seluler)


Berbeda dengan reaksi tipe-tipe yang terdahulu, maka reaksi tipe IV ini dilatar
belakangi oleh sistem imunitas seluler, yaitu sel-sel fagosit setelah dinangsang oleh zat
limfokin, yang dilepaskan oleh sel limfosit-T. Reaksi ini tidak memerlukan adanya
antibodi maupun sistem komplemen, dan reaksi yang terjadi agak lambat; oleh karena
itu reaksi ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan memang
gejala kliniknya pun berjalan kronik. Pada penyakit Schistosomiasis misalnya, proses
peradangan pada hati dapat penyebabkan hepatomegali. Keadaan semacam ini bukan
hanya disebabkan oleh karena timbulnya reaksi tipe IV ini. (Anonim, 2012).
Salah satu jenis parasit yang biasa menginfeksi manusia adalah cacing. Berikut
ini akan dijelaskan mengenai mekanisme infeksi cacing dan bagaimana respon
imunnya : (Anonim, 2012).
Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel
Th2. Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-
4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi
eosinofil. IgE yang berikatan dengan per-mukaan cacing diikat eosinofil.
Selanjut-zya eosinofil diaktifkan dan mensekresi gianul enzim yang
menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh
karena eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim
proteolitik dan RO yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak
cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang
14

ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa


saluran cerna . Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama
dirusak oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang
dilepas sel T yang dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan
sekresi bahan mukus yang menyelubungi cacing yang dirusak. Hal itu
memungkinkan cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan
gerakan usus yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat
pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan
prostaglandin asal sel mast. Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis.
Degranulasi sel mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi
histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil
menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik,. MBP
dan neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas
superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing

Parasit yang masuk kedalam tubuh manusia dapat bertahan dalam tubuh dan
terhindar dari respon imun tubuh manusia. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal,
seperti : (Anonim. 2012)

1. Parasit mengubah permukaan antigen mereka selama siklus hidup dalam host
vertebrata. Dua bentuk variasi antigenik: 1. Stage-specific change dalam
ekspresi antigen, misalnya antigen stadium sporosit pada malaria berbeda
dengan antigen merozoit. 2. Adanya variasi lanjutan antigen permukaan mayor
pada parasit, misalnya yang terlihat pada Trypanosoma Afrika: Trypanosoma
brucei dan Trypanosoma rhodensiensi. Adanya variasi lanjutan kemungkinan
karena variasi terprogram dalam ekspresi gen yang mengkode antigen
permukaan mayor.
2. Parasit menjadi resisten terhadap mekanisme efektor imun selama berada dalam
host. Misalnya larva Schistosomae yang berpindah ke paru-paru host dan
15

selama migrasi membentuk tegumen yang resisten terhadap kerusakan oleh


komplemen dan CTLs.
3. Parasit protozoa dapat bersembunyi dari sistem imun dengan hidup di dalam sel
host atau membentuk kista yang resisten terhadap efektor imun. Parasit dapat
menyembunyikan mantel antigeniknya secara spontan ataupun setelah terikat
pada antibodi spesifik.
4. Parasit menghambat respon imun dengan berbagai mekanisme untuk masing-
masing parasit. Misalnya Leishmania menstimulus perkembangan CD25 sel T
regulator, yang menekan respon imun. Contoh lain pada malaria dan
Tripanosomiasis yang menunjukkan imunosupresi non spesifik. Defisiensi
imun menyebabkan produksi sitokin imunosupresi oleh makrofag dan sel T
aktif serta mengganggu aktivasi sel T.

D. Diagnosis Imunologi Pada Penyakit Parasit


Infeksi dengan semua species parasit menimbulkan berbagai macam respons
imunologi dalam hospes, diantaranya pembentukan zat anti khas terhadap parasit dan
hasil metabolismenya (Anonim, 2012).
Dalam parasitologi kedokteran respons imunologi ini dapat dipakai sebagai
suatu cara untuk membantu diagnosis. Zat anti yang spesifik dalam serum dapat
diperiksa dengan test serologi dengan antigen yang diperoleh dari bahan parasit yang
speciesnya sama (Anonim, 2012).
Dengan adanya fakta-fakta ini, maka para ilmuwan telah berusaha
mengembangkan pengetahuan imunologik dalam bidang parasitologi untuk
kepentingan diagnostik. Bagaimanapun bentuk dan akibat respons imunitas yang
terjadi, seperti yang diutarakan, maka ada sifat-sifat sistem imunologik yang hakiki,
yaitu "specificity" dan "memory", artinya : respons imunologik yang timbul itu
sifatnya spesifik dan hanya dapat bereaksi dengan antigen penginduksinya
serta mempunyai daya ingat terhadap antigen mana respons imun itu telah bangkit. Dua
16

hal inilah yang dijadikan pegangan oleh para ahli imunologi dalam mempergunakan
respons imunologik untuk mendiagnosis penyakit-penyakit parasit (Anonim, 2011).
Secara garis besar, maka ada dua macam teknik yang dapat dikembangkan,
yaitu
(1) Teknik manipulasi kulit dan
(2) Menegakkan diagnosis penyakit parasit secara imunologik.
Walaupun telah berhasil, namun seringkali kita dihadapkan dengan berbagai
masalah, baik yang sifatnya umum maupun yang khusus. Masalah yang khusus ialah
menyangkut sifat dan karakteristik parasit yang bersangkutan, terutama dalam
menginduksi respons imun. Berbagai macam teknik imunologik juga banyak tersedia,
seperti : test presipitasi, test hemaglutinasi, test fiksasi komplemen, test fluonesensi dan
lain-lain, tetapi semuanya tidak terlepas dari masalah-masalah yang khusus untuk
teknik tersebut, dan yang penting ialah : pemilihan teknik serologik yang tepat untuk
dipergunakan dalam mendiagnosis penyakit parasit yang mana (Anonim, 2011).

Tujuan dari pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis penyakit parasit
yang parasitnya sukar ditemukan dengan pemeriksaan mikroskopik, misalnya pada
masa prepaten, infeksi menahun, lokalisasi pengambilan bahan pemeriksaan secara
teknis sukar dicapai (Rusjdi, 2011).

Deteksi penyakit :
Secara garis besar terdapat dua deteksi penyakit parasit yang meliputi :

1. Reaksi kekebalan hospes dan


2. Antigen dari parasitnya.
Reaksi kekebalan meliputi :
a. Reaksi Humoral
IDT (imunodiffusion test)
CIEP(Counter Immuno Electrophoresis)
Tes hemaglutinasi
17

Tes fluorosensi
ELISA
Radioimmunoassay
Tes dengan komplemen

b. Reaksi Seluler
Lebih sulit karena limfosit yang diperoleh harus segar.
Dikatakan positif bila jumlah limfosit yang menempel cukup banyak
(Rusjdi, 2011).
18

BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Imunitas : Daya tahan tubuh untuk melawan penyakit atau melawan infeksi.

Perjalanan suatu penyakit parasit selain ditentukan oleh sifat


parasitnya,ternyata juga dipengaruhi oleh faktor faktor kekebalan hospes.

Secara garis besar faktor kekebalan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
kekebalan bawaan / Innate Immunity dan kekebalan didapat / Natural Acqiured
Immunity. Kekebalan bawaan / Innate Immunity mempunyai 2 macam respon imun
yaitu respon imun humoral dan respon imun seluler.
Kerusakan jaringan akibat proses imunologik telah lama diketahui, dan
Coombs dan Gell (26) telah mengklasifikasinya ke dalam empat tipe, yaitu :
1. Reaksi tipe I atau reaksi tipe anafilaktik
2. Reaksi tipe II atau reaksi tipe sitotoksik
3. Reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks-toksik
4. Reaksi tipe IV atau reaksi seluler.
Untuk mendiagnosis penyakt-penyakit parasite, maka ada dua macam teknik
yang dapat dikembangkan, yaitu
1. Teknik manipulasi kulit dan
2. Menegakkan diagnosis penyakit parasit secara imunologik.

B. Saran

Perlu adanya perhatian khusus terhadap penyakit yang disebabkan oleh parasit
mulai dari siklus hidup, vektor, pencegahan dan pengobatan.
19

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Imuno Parasitologi. Diakses di


http://4sinaps.blogspot.com/2012/05/imunoparasitologi.html (Diakses
tanggal 4 April 2017)

Anonim. 2012 . Reaksi Imun Tubuh Terhadap Infeksi.


http://malariahunter.blogspot.com/2012/07/reaksi-imun-tubuh-terhadap-
infeksi.html ( Diakses Tanggal 3 April 2017)

Pratama, Surya . tt . Reaksi Imun Terhadap Infeksi Bakteri Dan Parasit.


http://www.slideshare.net/SuryaPratama3/r-eaksi-imun-terhadap-infeksi-
bac-dan-par#btnNext ( Diakses Tanggal 4 April 2017)

Anonim . 2011 . Respon Imunitas Tubuh Terhadap Parasit.


http://ketobapadah.blogspot.com/2011/04/respons-imunitas-tubuh-terhadap-
parasit.html ( Diakses Tanggal 4 April 2017)

Anda mungkin juga menyukai