Anda di halaman 1dari 23

RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI BAKTERI

INTRASELULER (Salmonella typhi)

DIAN NURMANSYAH

AKADEMI ANALIS KESEHATAN BORNEO LESTARI

BANJARBARU

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung

patogen di sekelilingnya . Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan

bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Mikroba patogen tersebut

dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Salah satu patogen yang

sering menyebabkan penyakin infeksi bakteri (Judarwanto, 2012). Infeksi

bakteri dapat disebabkan oleh bakteri ekstraseluler maupun bakteri intraseluler.

Terdapat 3 kelompok bakteri dipandang dari sisi kemapuan invasi ke dalam sel

eukariot yaitu bakteri intraseluler fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan

bakteri ekstraseluler. Salmonella typhi adalah bakteri intraseluler yang sering

menyebabkan infeksi pada manusia terutama di Indonesia (Basuki, 2013)

Sistem imun atau pertahanan merupakan suatu sistem koordinasi respon

biologik yagn bertujuan melindungi individu dari infeksi, baik infeksi bakteri,

virus, parasit dan patogen yang lain (Kresno, 2004). Respon imun akan timbul

karena adanya reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel di dalam tubuh. Sistem imun

terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/ native) dan

didapat atau spesifik (adaptive/acquired). Baik sistem imun non spesifik maupun

spesifik memiliki peran masing-masing, keduanya meliliki kelebihan dan

kekurangan namun sebenarnya kedua sistem imun tersebut memiliki kerja sama

yang erat (Male & Roitt, 1993). Pada imunitas spesifik ada dua cabang imunitas

2
spesifik namun tujuan dari dua jenis imunitas ini sama yaotu mengeliminasi

antigen. Kedua sistem imun ini berinteraksi satu sama lain dan berkolaborasi

untuk mencapai tujuan akhir yaitu eliminasi antigen. Dari dua jenis imunitas

spesifik , satu diperantarai terutaa oleh sel B dan antibodi dalam sirkulasi, dan

dinamakan respon imun humoral, sedangkan satu sistem inun spesifik lainnya

diperantarai oleh sel T, yang tidak mensintesis antibodi, tetapi menghasilkan dan

melepaskan bermacam-macam sitokin yang mempengaruhi sel-sel lainnya.

(Kresno, 2004)

Terdapat perbedaan mendasar antara respons imun terhadap patogen

ekstraselular dan intraseluler.bagi patogen ekstraseluler sistem imun ditujukan

untuk menghancurkan patogen dan menatralisir produknya, sedangkan dalam

merespon patogen intraseluler terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik

menghancurkan sel yang terinfeksi, atau dapat mengaktivasi sel untuk

menghadapi patogen tersebut, sebagai contoh adalah sel t helper melepas sitokin

untuk mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan organisme yang

mengalami endositosis (Basuki, 2013).

Infeksi dapat terjadi ketika patogen berhasil menginvasi pejamu (host) dan

menyebabkan sakit. Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuan untuk

menghindar dari respon imun. Patogen khususnya bakteri telah mengembangkan

beberapa metode yang menyebkan mereka dapat menginfeksi sementara patogen

dapat menghindari kehancuran akibat sistem imun. Salmonella typhi merupakan

satu contoh bakteri intraseluler patogen yang dapat menyebabkan penyakit

demam tifoid. Bakteri salmonella dapat menginfeksi host karena memiliki

3
beberpa mekanisme yang membuatnya dapat menyebabkan sakit diantaranya

dapat bertahan dengan baik dalam makrofag.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui vaktor virulensi dari bakteri intraseluler Salmonella

thypi

2. Untuk mengetahui respon Innate imunity pada infeksi oleh bakteri

intraseluler Salmonella thypi

3. Untuk mengetahui respon Addaptive imunity pada infeksi oleh bakteri

intraseluler Salmonella thypi

4. Untuk mengetahui respon imun seluler pada infeksi oleh bakteri

intraseluler Salmonella thypi

5. Untuk mengetahui respon imun humoral pada infeksi oleh bakteri

intraseluler Salmonella thypi

6. Untuk mengetahu evasion mechanism infeksi Salmonella thypi

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Salmonella thypi

S. typhi merupakan bakteri batang gram negatif dan tidak membentuk

spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering

disebut sebagai facultative intra-cellular parasites. S. typhi yang menginfeksi

manusia dan menyebabkan demam enterik, yakni demam tifoid.

Salmonella yang terbawa melalui makanan ataupun benda lainnya akan

memasuki saluran cerna. Di lambung, bakteri ini akan dimusnahkan oleh asam

lambung, namun yang lo los akan masuk ke usus halus. Bakteri ini akan

melakukan penetrasi pada mukosa baik usus halus maupun usus besar dan

tinggal secara intraseluler dimana mereka akan berproliferasi. Ketika bakteri

ini mencapai epitel dan IgA tidak bisa menanganinya, maka akan terjadi

degenerasi brush border (Dzen, 2003)

Kemudian, di dalam sel bakteri akan dikelilingi oleh inverted

cytoplasmic membrane mirip dengan vakuola fagositik (Dzen, 2003). Setelah

melewati epitel, bakteri akan memasuki lamina propria. Bakteri dapat juga

melakukan penetrasi melalui intercellular junction. Dapat dimungkinkan

munculnya ulserasi pada folikel limfoid . S. typhi dapat menginvasi sel M dan

sel enterosit tanpa ada predileksi terhadap tipe sel tertentu

Antigen Vi dari serotip S. typhi merupakan bentuk antigen K. Sejumlah

penelitian menunjukkan bahwa Vi mempunyai sifat antiopsonik dan anti

5
fagositik, mengurangi sekresi TNFa terhadap S enterica ser. thypi oleh

makrofag inang, meningkatkan resistensi bakteri terhadap oxidative killing.

Antigen Vi meningkat infektivitas dari S.typhi dan keparahan penyakitnya.

Antigen O menurunkan kepekaan bakteri terhadap protein komplemen, dan

interaksi dengan makrofag. Antigen O memberikan perlindungan dari serum

normal karena adanya complement-activating A dan LPS core polisakaride.

Selain itu antigen O juga mencegah aktivasi dan deposisi faktor komplemen

(Jawetz, 2013)

Salmonella juga diduga memiliki adhesion yang berasal dari outer

membrane protein (OMP) dengan berat molekul sekitar 36kDa, yang kemudian

dikenal sebagai Adh36. Adh36 ini bersifat imunogenik dan mampu

menginduksi respon imun mucosal dengan terbentuknya sIGA yang protektif

(Jawetz, 2013)

Seperti halnya semua bakteri basil enterik, S. typhi juga menghasilkan

endotoksin. Endotoksin merupakan senyawa lipopolisakarida (LPS) yang

ihasilkan dari lisisnya sel bakteri. Di peradaran darah, endotoksin ini akan

berikatan dengan protein tertentu kemudian berinteraksi dengan reseptor yang

ada pada makrofag dan monosit serta sel-sel RES, maka akan dihasilkan IL-1,

TNF, dan sitokin lainnya. Selain itu, S. typhi juga menghasilkan sitotoksin,

namun hanya sedikit sekali (Dzen, 2003)

S. enterica memiliki region DNA yang berhubungan dengan

patogenitasnya dan dimiliki oleh semua serotipnya. Region ini disebut sebagai

salmonella patogenicity island atau sering disingkat SPI. SPI berfungsi dalam

6
menambah fungsi virulensi yang kompleks oleh bakteri terhadap inang yang

diinfeksinya. SPI-1 dan SPI-2 mengatur type III secretion system (T3SS) yang

membentuk organela berbentuk syringe. Organela ini akan mempermudah

bakteri untuk menginjeksi langsung sitosol dari sel inang. SPI-1 dan SPI-2

mempunyai peran yang berbeda sesuai dengan organ yang dipengaruhi. SPI-1

bekerja pada sel enterosit dan menginisiasi inflamasi. SPI-2 bekerja dalam

pertahanan dan multiplikasi bakteri pada sel fagositik. SPI-7 merupakan genom

terbesar yang mencapai ukuran 134 kb dan pertama kali ditemukan pada S.

typhi (Seth, 2008). S. typhi juga memiliki SPI-8 dan SPI-10 (Dzen, 2003)

2.2 Respon Imun Host Oleh Infeksi Bakteri

Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen

terjadi dengan berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate) dengan

mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada kontak pertama. Bilamana

patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons non-adaptif dini penting untuk

mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan terhadapnya, sampai

terbentuk respons imun adaptif (Gray, 1994)

Ada beberapa mekansme pertahanan tubuh dalam mengatasi antigen

yang berbahaya di lingkungan yaitu dapat dengan cara :

- Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam

laktat melalui kelenjar keringat dan sebasea, sekresi lendir,

pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, asam lambung, serta

lisozym dalam airmata.

7
- Simbiosis dengan bakteri flora normalyang memproduksi zat yang

dapat mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada

epitel organ

- Innate imunity

- Addaptive imunity (Musanir, 2001)

2.2.1 Respon Imun Innate pada infeksi Salmonella typhi

Respons ini terjadi segera tanpa memerlukan kontak dengan mikroba

sebelumnya; dengan kata lain merupakan pertahanan pertama bagi tubuh. Pada

imunitas innate makrofag dan neutrofil memegang peranan penting sebagai

pertahanan pertama dalam melawan mikroorganisme patogen. Respons

terhadap bakteri yang mengadakan invasi disertai proses inflamasi pada

tempat infeksi dimana cairan, sel, bahan-bahan yang terlarut merembes keluar

dari darah menuju jaringan. Kejadian ini disertai kemerahan setempat,

pembengkakan, serta demam. Inflamasi bertujuan memusatkan agen

ertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi sel-sel fagosit

seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan bermigrasi

menuju tempat infeksi sebagai respons tehadap kemikal (chemoattractants)

yang dilepaskan di tempat tersebut (Karp, 1999).

8
Gambar 1. Infeksi S.typhi memicu terjadinya inflamasi
Sumber : Karp, 1999

Sesampainya pada tempat tersebut, sel-sel fagosit mengenali, menelan

(engulf), serta menghancurkan patogen. Darah juga mengandung rangkaian

protein terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat melubangi membran

plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan kematian sel. Sel yang terinfeksi

akan dikenali oleh limposit non-spesifik, disebut sebagai sel Natural Killer

(NK), dimana fungsi dari NK sel adalah mengakibatkan kematian sel yang

terinfeksi dengan cara menginduksi sel yang terinfeksi menuju proses

apoptosis.

Inflamasi dan fagositosis juga dipacu oleh aktivitas komplemen yang

bekerja pada permukaan sel bakteri. Komplemen merupakan protein dalam

plasma yang mengaktifkan reaksi proteolisis pada permukaan mikrobia tetapi

tidak pada sel host. Komplemen bekerja dengan menempel pada permukaan

dinding sel mikrobia dengan fragmen yang dikenali oleh reseptor makrofag

yang selanjutnya difagosit oleh makrofag. Dalam proses ini makrofag juga

mensekresikan peptida yang menyumbangkan terjadinya inflamasi. Inflamasi

9
secara umum dapat digambarkan sebagai peradangan dengan ciri-ciri

timbulnya panas, rasa sakit, timbul warna merah, dan swelling. Kondisi

demikian ini merupakan akibat kerja sitokin dan faktor inflamasi lain pada

pembuluh darah di suatu tempat. Sitokin dan komplemen juga memberi

sumbangan penting pada perubahan fisiologi dari sel endotel.

Neutrofil merupakan sel terpenting di awal terjadinya inflamasi. Neutrofil

adalah sel yang paling cepat menuju daerah inflamasi. Sebagaimana makrofag,

neutrofil memiliki reseptor di permukaan sel yang secara umum mampu

mengenal molekul pada permukaan sel bakteri dan komplemen. Neutrofil

merupakan sel penting yang mampu menelan dan menghancurkan

mikroorganisma penginfeksi. Aktivitas neutrofil ini segera diikuti oleh

berubahnya monosit menjadi makrofag, sehingga makrofag dan neutrofil

disebut sel inflamator. Selanjutnya peristiwa inflamasi ini juga menimbulkan

reaksi limfosit. Limfosit T akan bekerja setelah mengenal antigen yang

dipresentasikan oleh APC.

2.2 .2 Aktivasi APC menginduksi Imunitas Addaptive

Induksi imunitas adaptif dimulai ketika patogen dicerna oleh sel dendritik

immature pada jaringan yang terinfeksi. Sel fagosit ini tersebar pada berbagai

macam jaringan dan mengalami pembaharuan pada kecepatan yang sangat

rendah. Sel dendritik sebagaimana makrofag berasal dari prekursor dalam

sumsum tulang, dan bermigrasi dari sumsum tulang menuju jaringan periperal

tempat berhentinya, pada tempat yang baru ini sel dendritik berperan untuk

menjaga lingkungannya dari serangan patogen. Sel dendritik yang telah

10
memperoleh antigen akan segera memasuki pembuluh limfa dam masuk lymph

node. Pada lymph node sel dendritik akan mengenalkan antigen yang dibawa

kepada sel T naive.

Sel dendritik immature mempunyai reseptor pada permukaan sel yang

mengenali sifat umum patogen, misalnya dinding sel bakteri yang berupa

proteoglikan. Fungsi utama sel dendritik sebenarnya bukan untuk

menghancurkan patogen tetapi untuk embawa antigen dari patogen itu pada

organ limfoid periferal dan empresentasikan antigen itu pada sel limfosit T.

Ketika sel dendritik menelan patogen pada jaringan yang terinfeksi, sel

dendritik teraktivasi dan bergerak menuju lymph node yang terdekat. Karena

aktivasi itu sel dendritikmengalami pemasakan menjadi sel APC yang sangat

efektif dan berubah sifat menjadi sel yang mampu mengaktifkan sel limfosit.

Gambar 2. Sel dendritik menginisiasi imunitas addaptive


Sumber : Dzen, 2003

11
2.2 .3 Respon Imun Addptive pada infeksi Salmonella typhi

Terdapat 2 subset utama limfosit, yang dibedakan dengan keberadaan

molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8. Limfosit T yang

mengekspresikan CD4 juga dikenali sebagai sel T penolong, penghasil sitokin

terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan sitokin yang

dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2. Sitokin tipe

Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung jawab

terhadapkilling parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun.

Termasuk dalam sitokin tipe Th1 ini terutama interferon gamma, selain

interleukin-2, serta limfotoksin-a yangmerangsang imunitas tipe 1, ditandai

aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori yang berlebihan akan

mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuhmempunyai

suatu mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal berlebih yang

dimediasiTh1 ini, yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam

mekanisme Th2 ini adalahinterleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan

respons eosinofilik dalam atopi, dan juga interleukin-10, dengan respons yang

lebih bersifat anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai

dengan kadar antibodi tinggi (Spellberg, 2001 ; Berger, 2000)

Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif),

dan merupakan alat komunikasi antar sel yang prinsipiil tentang adanya invasi

bakteri. Sitokin yang memulai repons inflamatori dan menentukan besaran serta

sifat respons imun yang didapat. Pada penderita sakit berat respons terhadap

injuri / patogen yang mengadakan invasi sebagian besar tergantung pada pola

12
sitokin yang diproduksi. Respons imun bervariasi dari respons proinflamatori

yang hebat, ditandai dengan meningkatnya produksi TNF-a, interleukin-1,

interferon-γ, dan, IL-12, sampai keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi

sitokin Th2, seperti IL-10 dan IL-4

Gambar 3. Regulasi signalling sitokin pada respon imun


Sumber : Oberholzer et al, 2000

Respons imun spesifik diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun

yang memediasi: imunitas humoral dimediasi limfosit B, dan imunitas

dimediasi sel terutama dimediasilimfosit T. Selanjutnya sel T efektor dibagi

menjadi sel T sitotoksik (CD8+ ) atau sel T helper (CD4 + ). Sel CD8 +

melakukan killing terhadap sel sasaran (target) yang terinfeksi dengan cara

melepas lytic granula (perforin, granzymes) atau dengan cara induksi produksi

(FasL) atau TNF-a, yang melalui ikatan dengan reseptornya memulai suatu

kaskade bunuh diri sel menuju apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4 + dapat

13
berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel efektor: Th1 dan Th2, tergantung pada pola

pelepasan sitokin. Sel Th2 mengsekresi IL-4, IL-5, danIL-10, kesemuanya

mengaktivasi proliferasi sel B serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain

sel Th1 mengsekresi IFN-γ, yang merupakan sitokin macrophage-activating

primer (Oberholzer, 2000)

2.2 .4 Mekanisme kerja sistem imun pada infeksi bakteri S.thypi

Bagaimana pejamu merespons terhadap patogen intraseluler antara lain

tergantung pada lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah terjadi

fagositosis oleh makrofag, bakteri berada dalam fagosom, namun kejadian

selanjutnya tergantung pada strategi untuk mempertahankan hidup bagi bakteri

masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek

mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati.

Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan

antimikrobial fagosit, sehingga pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara

efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak mempunyai mekanisme survival,

fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan fusi dengan kompartemen

lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit. Berbagai bakteri

memiliki strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri terhadap intracellular

killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes). Patogen dapat

mengadakan replikasi di dalam sitoplasma (cytosolic phatogens) atau ketika

berada di dalam endosom. Bakteri S.thypi adalah bakteri yang ketika

menginfeksi host akan melakukan replikasi di dalam endosom (Davies et al,

1999 ; Oudarhiri, 2000)

14
2.2.4.1 Intraceluler Killing

Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang

bervariasi secara luas, dan dapat dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan

non-oksidatif. Mekanisme oksidatif dimediasi oleh produksi reactive oxygen

intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen intermediates (RNIs). Produksi

ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan aktivitas sitostatik atau sitotoksik

terhadap virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel tumor. Dalam mekanisme non-

oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional

deprivation ) dan perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan

defensin). Jalur oksidatif dan non-oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri

atau bersamaan demi terwujudnya suatu lingkungan yang tidak menunjang bagi

kehidupan patogen selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin,

agar dapat mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator

tersebut untuk mengendalikan infeksi intraseluler.

Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin

memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen

intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu. Produk respiratory

burst dan nitric oxide (NO) memegang peran penting dalam proses mikrobisidal

oksidatif dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah produk oksigen toksik dan

NO yang dibebaskan oleh sel-sel fagositik tergantung pada derajat diferensiasi

sel dan sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya sitokin Th1

menyesuaikan respiratory burst dalam monosit, makrofag, dan neutrophil

secara positif, sedang sitokin Th2 sebaliknya. Interferon-γ (profil Th1)

15
meningkatkan oxidative burst dan produksi NO oleh sel-sel fagositik, serta

mempunyai peran dalam membunuh patogen intraseluler melalui produksi ROIs

dan RNIs yang toksik.

Sitokin lain seperti TNF-a,(19) IL-12,(10) TNF-ß,(21) IL-21, granulocyte

colony- stimulating factor dan granulocyte-macrophage colony- stimulating

factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO yang

dilepaskan oleh sel-sel fagositik. Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran

penting dalam supresi oxidative burst dalam fagosit, sehingga menunjang

pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis penyakit infeksi. Sebagai

contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan superoksida

dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN-γ atau TNF-a), dan menekan

aktivitas antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida albicans.

Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan fagositosis yang dimediasi reseptor

mannose (Davies et al, 1999), mekanisme yang dianut patogen untuk

menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10

merupakan sitokin lain yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat

pembebasan hidrogen peroksida, mengurangi imunitas antimycobacterial dan

antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella pneumophila dalam fagosit

manusia dan membalik efek protektif interferon-γ terhadap patogen ini.

Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia terhadap

Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut penting

karena mengurangi oxidative burst agar jaringan normal terlindung dari

16
kerusakan yang disebabkan ROIs serta RNIs yang toksik, namun dapat pula

meningkatkan replikasi bakteri.

Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural

antimicrobialprotein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-

bakteri luas. Terdapat 2 kelas, a dan ß, berperan dalam pertahanan tubuh antara

lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba.

Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau

inflamasi, interleukin-1ß, interferon-γ, dan TNF-a. Defensin tidak hanya

mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri Salmonella typhimurium, tetapi

juga pada beberapa bakteri seperti Staphylococcus aureus, Yersinia

enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul (Rook, 2003).

Respon imun selluler (cell mediated immunity) memegang peranan yang

sangat penting dalam mengeliminasi bakteri intraseluler seperti S. typhimurium

melalui mekanisme fagositosis oleh makrofag dan lisis terhadap sel yang

terinfeksi oleh sel T CD8dan sel NK (Baratawidjaja 2001; Gassem 2001).

Bakteri yang telah difagosit akan menstimulasi makrofag untuk memproduksi

IL-12 yang akan mengaktikan sel NK. Sel NK kemudian akan mensekresikan

IFN-γ yang akan mengaktivasi makrofag sehingga makrofag teraktivasi akan

mensekresi senyawa-senyawa oksigen reaktif yang bersifat toksik bagi mikroba,

salah satunya adalah superoxide (Abbas & Lichmant 2003).

17
2.2.4.2 Evasion Mechanism of Salmonella typhi

Di antara bakteria intraseluler, obligatori dan fakultatif, banyak yang

lambat launmemiliki mekanisme untuk menghindari atau melawan efek

mikrobisidal fagosit, sehingga dapat bertahan hidup di dalamnya. Mekanisme

resistensi bakteri terhadap intracellular killing bermacam-macam, antara lain

dengan mengsekresi eksotoksin yang membunuh fagosit dan membantu

melawan atau mencegah fagositosis (Kuo et al, 1999)

Bakteria tertentu dapat memodifikasi intracellular endocytic traffic

yang mentargetkan bakteri pada destruksi fagolisosomal, untuk selanjutnya

bermukim dalam fagosit profesional. Patogen yang memiliki pore-forming

cytolysins dapat melarikan diri dari fagosom, dan terdapat patogen yang

mengadakan replikasi dalam fagosom yang tidak diasamkan (nonacidified),

serta terlindung dari fusi dengan lisosom pada fagosit tidak teraktivasi (non-

activated phagocytes). Bakteri fagolisosomal tertentu menyesuaikan untuk

melawan aktivitas antimikrobial hydrolase serta keasaman (pH) yang rendah

pada lisosom.

Selama infeksi Salmonella, mikroorganisme akan mengalami

internalisasi dalam makrofag. Di dalam makrofag, bakteri akan masuk dalam

fagolisosom dan dimatikan oleh radikal oksigen dan nitrogen. Radikal oksigen

merupakan derivat superoxide yang dibentuk oleh phagoctye oxidase,

sedangkan radikal nitrogen adalah sintesis NO oleh enzim inducible nitric oxide

synthase (iNOS) (VazquezTorres& Fang 2001). Namun, pembunuhan bakteri

ini dalam makrofag sepenuhnya tidak mampu mengatasi infeksi, karena

18
kemampuan Salmonella mempengaruhi aktivitas enzim phagocyte oxidase dan

iNOS (Vazquez-Torres & Fang 2001)

Beberapa enzim yang dihasilkan Salmonella berkontribusi terhadap

resistensi pembunuhan oleh radikal oksigen mapun nitrogen. Hasi penelitian

menunjukan S. typhimurium mempunyai lavorubredoxin yang terlibat pada

resistensi bakteri terhadap NO. ROS dan radikal bebas menjadi perhatian selama

beberapa dekade terakhir. ROS termasuk radikal bebas, termasuk bentuk

oksigen yang telah diaktivasi seperti anion radikal superoxide (O2-), radikal

hidroksil (OH) dan spesies radikalbebas seperti H2O2- dan singlet oksigen ().

ROSselalu diproduksi selama proses isiologis normal,dan dengan mudah

menginisiasi peroksidasi membran lipid, sehingga memicu akumulasi lipid

peroksidasi. Pada kondisi patologis, terjadi produksi berlebih ROS dan

menghasilkan lipid peroksidasi.

Molekul NO meregulasi respon kemotaktik melalui berbagai

mekanisme. NO memodulasiproduksi kemokin (seperti IP-10, monocyte

chemoattractant protein-1 dan macrophage inlammatory protei-1a dan 2a). NO

juga mampu menghambat aktivitas kemokin (seperti IL8)melalui peroxynitrite-

dependent tyrosine nitration dan fungsinya sebagai pembawa pesan intraseluler

pada jalur signal pembentukan kemokin. NO juga berperan sebagai regulator

pada migrasi limfosit. NO dapat menekan produksi selektin, yaitu Vasculer

Adhesion Molecule (VCAM), Intrasellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1), E-

selectin (CD62E) dan P-selectin (CD62P), sehingga mengurangi kekuatan ikatan

pada dinding pembuluh darah. Akibatnya, siklus perpindahan leukosit sekitar

19
endotel terhambat dan migrasi dari pembuluuh darah memakan waktu yang lebih

lama (Bogdan 2001).

20
BAB III

KESIMPULAN

1. Infeksi mikroorganisme patogen dapat disebabkan oleh virus,bakteri,

parasit atau jamur yang mampu menginfeksi secara intraseluler dan

ekstraseluler.

2. Salmonella typhi adalah bakteri intraseluler yang dapat menginvasi dan

bereplikasi di dalam makrofag.

3. Pada imunitas innate makrofag dan neutrofil memegang peranan penting

sebagai pertahanan pertama dalam melawan infeksi salmonella

4. Sitokin diproduksi selama aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif),

dan merupakan alat komunikasi antar sel yang prinsipiil tentang adanya

invasi bakteri salmonella

5. Mekanisme kerja sistem imun pada infeksi bakteri intraseluler S.thypi

dengan intraseluler killing diperantarai oleh mekanisme fagositosis oleh

makrofag dan lisis terhadap sel yang terinfeksi oleh sel T CD8 dan sel NK

6. Evasion Mechanism of Salmonella typhi di pengaruhi oleh kemampuan

bakteri salmonella dalam menghasilkan lavorubredoxin yang terlibat pada

resistensi bakteri terhadap NO.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK & Lichmant AH. Cellular and Molecular Immunology. Fifth edition.
Philadelphia: WB & Saunders .2013
Baratawidjaja KG.. Imunologi Dasar. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. 2001
Basuki ,P.S, infeksi bakteri intraseluler pada anak intracellular bacterial infection
in children) Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan
AnakFK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya .2013
Berger A. Science commentary: Th1 and Th2 responses: what are they? BMJ . 2000
Bogdan C. Nitric oxide and the immune response. Nature 2(10): 907-916. 2001
Davies DH, Halablab MA, Clarke J. eds. The Immune System. Infection and
Immunity London, Taylor & Francis Ltd .1999
Dzen, S.M,. Bakteriologi Medik. Malang : Banyumedia. 2003

Gassem MH. Typoid Fever, Clinical and Epidemiological Studies in Indonesia.


Thesis. Semarang: Diponegoro University Semarang.2001
Gray D, Springer T. Host Defense Against Infection. dalam: Janeway CA, Travers
P eds.
Immunobiology. The Immune System In Health And Disease. London, Current
Biology Ltd. Garland Publishing Inc.
Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book Europe Ltd; 2003
Jawetz, E. Melnick, J.L., Adelberg, E.A.. Mikrobiologi Kedokteran, EGC. Jakarta.
2013

Judarwanto W.imunologi dasar: mekanisme pertahanan tubuh terhadap bakteri,


Diposting pada Februari oleh : Indonesia Medicine. Children Allergy Online
Clinic, Jakarta Indonesia. 2012
Karp G ed. The Immune Response. Cell and Molecular Biology 2nd ed. New York,
John Wiley & Sons, Inc; 1999

22
Kresno S.B , Imunologi ; Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Balai penerbit
FKUI. Jakarta.2004

Kuo CF, Wu JJ, Tsal PJ, Lei HY, Lin MT, Lin YS. Streptococcal pyrogenic
exotoxin B induces apoptosis and reduces phagocyrtic activity in U937
cells. Infect Immun 1999
Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM, Brostoff
J, Male DK eds. Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year Book Europe
Ltd; 1993: 1.1-1.12
Munasir Z. Respons Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 4,
Maret 2001
Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling—regulation of the
immune response in normal and critically ill states Crit Care Med. 2000
Ouadrhiri Y, Sibille Y. Phagocytosis and killing of intracellular pathogens:
Interaction between cytokines and antibiotiks. Curr Opin Infect Dis 2000
Rook G. Immunity to Viruses, Bacteria and Fungi. dalam: Roitt IM, Brostoff J,
Male DK eds.
Spellberg B, Edwards JE, Jr. Type 1/ Type 2 Immunity in Infectious Diseases
Clin Infect Dis 2001
Vazquez-Torres A & Fang FC. Oxygen-dependent anti Salmonella activity of
macrophages. Trends Microbiol. 9. 2001

23

Anda mungkin juga menyukai