Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

RESPON IMUN TERHADAP FUNGI

Disusun oleh:

1. Afiryal Nabila (1619002331)


2. Ely Fitri Setyowati (1619002391)
3. Eni Hafidzah (1619002251)
4. Eva Rosdiana Dewi (1619002541)
5. Lailul Muna (1619002451)
6. Novita Anggoro (1619002191)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PEKALONGAN
PEKALONGAN
2022
RESPON IMUN TERHADAP FUNGI

A. PENGERTIAN
Sistem imun atau pertahanan merupakan suatu sistem koordinasi respon
biologik yang bertujuan melindungi individu dari infeksi, baik infeksi bakteri, virus,
parasit dan patogen yang lain (Kresno, 2004). Respon imun akan timbul karena
adanya reaksi yang dikoordinasi oleh sel-sel di dalam tubuh. Sistem imun terdiri atas
sistem imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/ native) dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired). Baik sistem imun non spesifik maupun spesifik memiliki
peran masing-masing, keduanya meliliki kelebihan dan kekurangan namun
sebenarnya kedua sistem imun tersebut memiliki kerja sama yang erat (Male & Roitt,
1993).
Pada imunitas spesifik ada dua cabang imunitas spesifik namun tujuan dari
dua jenis imunitas ini sama yaitu mengeliminasi antigen. Kedua sistem imun ini
berinteraksi satu sama lain dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan akhir yaitu
eliminasi antigen. Dari dua jenis imunitas spesifik , satu diperantarai terutama oleh sel
B dan antibodi dalam sirkulasi, dan dinamakan respon imun humoral, sedangkan satu
sistem imun spesifik lainnya diperantarai oleh sel T, yang tidak mensintesis antibodi,
tetapi menghasilkan dan melepaskan bermacam-macam sitokin yang mempengaruhi
sel-sel lainnya (Kresno, 2004)
Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat luas
pada permukaan tubuh maupun pada mukosa. Penelitian terhadap patofisiologi infeksi
jamur pada manusia, relatif masih sedikit dibandingkan dengan infeksi patogen lain
seperti bakteri dan parasit. Hal ini dikarenakan pada individu yang imunokompeten,
jamur tidak dapat menginvasi barier proteksi mekanis yang merupakan barier pertama
sistem imunitas alamiah. Infeksi jamur dapat bersifat invasif dan menginduksi infeksi
opportunistik pada pasien yang imunokompromais (Blanco, 2008).
Infeksi jamur pada manusia lebih sulit ditangani dibandingkan dengan infeksi
bakteri. Manusia dan jamur merupakan organisme eukariotik yang memiliki
kesamaan dalam mekanisme pembentukan protein. Berbeda dengan jamur, bakteri
merupakan organisme prokariotik yang memiliki mekanisme berbeda dalam sintesis
protein dibandingkan dengan manusia. Hal inilah yang merupakan pencetus utama
kesulitan dalam terapi infeksi jamur pada manusia. Oleh karena itu pengobatan pada
infeksi jamur harus bersifat spesifik untuk mencegah terjadinya kerusakan pada sel
manusia sebagai host (Shoham, 2005).

B. CONTOH FUNGI
1. Candida albicans

Candida albicans adalah flora normal pada membran mukosa rongga mulut,
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan organ genitalia perempuan. Candida
albicans dikenal sebagai mikroorganisme oportunistik pada tubuh manusia, pada
keadaan tertentu jamur ini mampu menyebabkan infeksi dan kerusakan jaringan.
Kandidiasis merupakan penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut
disebabkan oleh spesies Candida, biasanya oleh spesies Candida albicans dan
dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, brongki, atau paru, kadang-kadang
dapat menyebabkan septikimia, endocarditis, atau meningitis (Kuswadji, 1999).
Candida sering kali terdapat pada bagian mukosa mulut, orophaynx, dan tractus
gastrointestinal orang sehat (floral normal). Candida pada mukosa mulut dan
vagina sering kali terjadi karena pengobatan antibakteri yang lama, yang
menyebabkan berkurangnya floral normal di daerah tersebut (Entjang, 2003).

2. Aspergiluss
Jenis jamur Aspergillus ini dapat menyebabkan penyakit opportunistik yaitu
infeksi Aspergillosis. Jamur ini tersebar secara kosmopolitan di seluruh dunia.
Gejala penyakit aspergillosis ditandai dengan gangguan pernafasan, gangguan
kulit, keracunan serta alergi.
Aspergillosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.
Penyakit infeksi jamur ini umumnya memengaruhi sistem pernapasan, tetapi juga
dapat menyebar ke bagian tubuh lain, seperti kulit, mata, atau otak. Jamur
Aspergillus hidup di tanah, pohon, padi, daun kering, kompos, pendingin dan
pemanas ruangan, atau di tempat yang lembab. Bila terhirup, jamur tersebut dapat
menimbulkan infeksi. Walaupun demikian, infeksi jamur Aspergillus lebih sering
terjadi pada orang dengan daya tahan tubuh yang lemah.

3. Cryptococcus

Cryptococcus neoformans (C. neoformans)


dan Cryptococcus gattii (C. gattii).
Dua jenis jamur dapat menyebabkan meningitis kriptokokus (CM). Mereka
disebut Cryptococcus neoformans (C. neoformans) dan Cryptococcus gattii (C.
gattii). Penyakit ini jarang terjadi pada orang sehat. CM lebih umum terjadi pada
orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang terganggu, seperti orang yang
menderita AIDS.Meningitis adalah infeksi dan peradangan pada meninges.
Meninges adalah selaput yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang.
Meningitis dapat disebabkan oleh berbagai kuman, termasuk bakteri, jamur, dan
virus.

C. SEL-SEL IMUN YANG BERPERAN DAN FUNGSINYA


1. Makrofag adalah salah satu sel penyaji antigen utama (APC) dan memiliki peran
penting dalam menghubungkan respon imun bawaan dan adaptif. Makrofag
menelan jamur dan memulai rantai peristiwa, yaitu fusi fagosom-lisosom, generasi
komponen antimikroba seperti intermediet oksigen reaktif (ROI) dan intermediet
nitrogen reaktif (RNI). Makrofag penghuni jaringan selanjutnya bertindak sebagai
sel efektor penting dengan memproduksi sitokin dan kemokin, yang merekrut dan
mengaktifkan sel imun lain ke tempat infeksi.
2. Sel dendritik (DC) adalah APC profesional yang memainkan peran sentral dalam
memulai respon imun primer. Meskipun sel DC kurang efisien dalam membunuh
patogen, mereka penting untuk pemrosesan antigen dan presentasi ke sel T.
Dengan demikian, sel-sel ini bertindak sebagai jembatan antara respon imun
bawaan dan adaptif. Setelah pengenalan jamur, sel DC akan memproses antigen
dan hadir ke sel T naif di kelenjar getah bening perifer atau drainase dan
selanjutnya mengarahkan garis komitmen sel T menuju subset T-helper (Th)
termasuk sel Th1, Th2 dan Th17.
3. Neutrofil polimorfonuklear (PMNs) adalah leukosit paling banyak yang penting
untuk inisiasi respon inflamasi terhadap infeksi jamur. PMN yang paling umum
adalah Neutrofil yang merupakan efektor utama atau sel fagosit dari sistem imun
bawaan. Kurangnya jumlah neutrofil yang cukup atau neutropenia merupakan
faktor risiko yang diakui secara luas untuk pengembangan Kandidiasis invasif dan
Aspergillosis, bagaimanapun, dalam kasus Cryptococcosis; defisiensi neutrofil
bukanlah faktor predisposisi utama. Jadi, ini menunjukkan bahwa neutrofil lebih
tentang imunoregulator daripada aktivitas antimikroba di Cryptococcosis.
4. Sel penekan yang diturunkan dari myeloid (MDSCs) Baru-baru ini, banyak
perhatian telah diberikan kepada MDSCs dalam berbagai proses inflamasi seperti
penyakit menular dan kanker. Serupa dengan sel T regulator, MDSCs mengurangi
imunopatofisiologi dari sel imun hiperaktif, yang menyebabkan kerusakan
kolateral jaringan inang. Sel-sel ini adalah sel imun bawaan yang dicirikan oleh
kemampuan untuk menekan respon sel T efektor dan ekspansi yang menyebabkan
persistensi patogen sehingga menyebabkan infeksi kronis.
5. Sel pembunuh alami (NK) Sel NK merupakan 10-15% dari total limfosit dalam
sel mononuklear darah perifer manusia (PBMC). Fungsi efektor sel NK yang
paling baik dicirikan adalah sitotoksisitas yang disertai dengan adanya
perforin/granzim. Dipercaya bahwa sel NK dianggap sebagai sel imun bawaan,
tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa ia memiliki kualitas memori
imunologis. Mereka menghasilkan sitokin pro-inflamasi, terutama IFN-γ, dan
faktor terlarut lainnya (GM-CSF, RANTES) yang mengatur fungsi sel imun
lainnya.
6. Alarmin adalah pola molekuler terkait bahaya yang dilepaskan dari sel-sel
jaringan yang rusak dari pejamu selama infeksi. Alarmin termasuk protein seperti
HMGB1, calreticulin, IL-1α, IL-33 dan non-protein seperti ATP, asam urat dll.
Mereka merangsang berbagai PRR (TLR, NLR) dan memperkuat respon inflamasi
untuk mengatur atau mengaktifkan sel-sel kekebalan efektor lainnya. Namun,
mereka juga menginduksi kelebihan sitokin pro-inflamasi yang menyebabkan
kerusakan jaringan dan merusak respon imun protektif. Fungsi penting lainnya
dari alarmin adalah aktivasi NLR inflammasome, enzim caspase-1 untuk
memproses sitokin IL-1β dan IL-18 yang pada gilirannya memulai respon imun
Th1 dan Th17.
7. Peptida antimikroba (AMP) adalah komponen efektor dari respon imun bawaan
dan menunjukkan aktivitas antimikroba yang luas terhadap patogen. Peptida
antimikroba utama pada infeksi jamur adalah - defensin, histantin, LL-37,
serprocidins dll. Mereka menjalankan fungsinya dengan menyerang membran sel
jamur dan menyebabkan kebocoran komponen intraseluler.

D. MEKANISME RESPON IMUN YANG TERLIBAT


1. Respon imun terhadap infeksi jamur
Seperti dibahas sebelumnya, sebagian besar jamur adalah komensal
(simbiosis) interaksi dengan inang, dan respon imun menciptakan toleransi antara
inang dan jamur komensal (A. Cassone, and R. Cauda, 2012). Jika keseimbangan
antara respon imun host dan jamur terganggu, jamur akan menjadi lebih
oportunistik pada pasien immunocompromised dan selanjutnya infeksi menyebar
ke berbagai organ (otak, ginjal) (M. Del Poeta and A. Casadevall, 2012). Oleh
karena itu, respon imun pejamu memainkan peran regulasi antara inang dan
jamur.
Respon imun pejamu terhadap infeksi jamur bergantung pada banyak faktor-
faktor seperti status sistem kekebalan inang, morfologi jamur, (ragi vs hifa),
tempat infeksi, kapasitas virulensi jamur dan kompleksitas dinding sel (O. Gross
et al, 2006; S. Brunke et al, 2016). Respon imun pejamu terhadap infeksi
dilakukan oleh sel imun bawaan dan adaptif. Meskipun demikian, sel imun
bawaan memainkan mekanisme pertahanan lini pertama, ia memulai respon imun
adaptif, dan keduanya bekerja sama untuk menghilangkan patogen (Gbr. 2).
Gambar 2. Respon imun terhadap jamur patogen: Setelah infeksi jamur, re-
sident makrofag, sel dendritik dan neutrofil polimorfonuklear (PMN) menyerap
jamur yang diserang dan menjalani fagositosis. Makrofag dan PMN
mengeluarkan peptida antimikroba (AMP), sitokin inflamasi, kemokin. Neutrofil
juga dapat melepaskan neutrofil perangkap ekstraseluler (NET) yang menangkap
bentuk hifa jamur. Sel NK dapat diaktifkan oleh berbagai komponen jamur dan
langsung membunuh dengan mensekresi molekul sitotoksik. DC dapat bermigrasi
ke kelenjar getah bening dengan adanya IL-12 dan kemokin dan membentuk
respon imun adaptif. DC mengirimkan antigen yang diproses ke T naif sel dan
mendorong ke dalam diferensiasi dari berbagai himpunan bagian Th dan Tc.
Diferensiasi setiap subset T tergantung pada sitokin dan lingkungan mikro. Subset
ini mengerahkan fungsi efektor dengan memproduksi sitokin, yang memodulasi
respon imun antijamur. Th1 dan Sel Th17 bermigrasi kembali ke tempat infeksi
oleh chemokine-dependent cara dan mengaktifkan makrofag dan PMN masing-
masing.
2. Respon Imun Terhadap Jamur
Seperti pada umumnya infeksi oleh mikroorganisme lain seperti bakteri dan
parasit, respon imun tubuh terhadap jamur terdiri atas respon alamiah dan juga
adaptif. Respon imun alamiah berperan sebagai barier pertahanan pertama yang
melawan masuknya patogen ke dalam tubuh. Respon imun adaptif merupakan
mekanisme lanjutan dari respon imun alamiah untuk dapat mengeradikasi patogen
di dalam tubuh. Produk akhirnya pada respon imun adaptif adalah terbentuknya
sel memori terhadap antigen spesifik (Romani, 2004).
Infeksi Aspergilus pada host diawali dengan inhalasi konidia Aspergillus dan
internalisasi ke dalam sel host. Sebagian besar konidia yang masuk dalam saluran
nafas bagian atas dapat dieliminasi oleh gerakan silia epitel pseudokolumner
kompleks. Respon untuk menghindari sistem eliminasi oleh host terjadi melalui
produksi protein tertentu. A. Fumigatus mampu mensintesis protein gliotoksin,
fumagillin, serta asam helvoik yang mampu menghambat pergerakan silia, serta
memfasilitasi proses internalisasi konidia pada sel endotel dan sel epitel (Paris et
al, 1997).
Tahap yang paling pertama dari aktivasi sistem imun terhadap konidia adalah
tahap pengenalan molekul permukaan yang khas antara sel imun (makrofag)
dengan konidia. Konidia yang masuk ke dalam jaringan tubuh host dapat dikenali
melalui struktur Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPS) khas yang
tidak dimiliki oleh organisme lain. Makrofag akan mengenali struktur PAPMS
konidia melalui Pattern Recognition Receptor (PRRs) yang spesifik. Terdapat 2
bentuk PPRs yaitu bentuk yang melekat pada permukaan sel serta bentuk yang
disekresikan. PPRs yang melekat pada permukaan sel imun antara lain Toll like
receptors (TLRs), Mannan binding lectin (MBL) dan C-type lectin receptor/ CLR
(dectin-1). PPRs yang terdapat dalam bentuk sekresi antara lain Lung surfactant
proteins A dan D (SP-A and SP-D) (Shoham, et al, 2005; Netea et al, 2005;
Gantner et al, 2005; Chai et al, 2005).
PPRs yang spesifik akan mengenali stuktur yang terdapat pada permukaan
dinding sel jamur. TLR merupakan kelas mayor PRRs yang berperan penting
dalam respon imun terhadap jamur. Dua subtipe TLR yang berperan penting
dalam proses ini antara lain TLR2 dan TLR4. TLR2 berperan penting untuk
mengenali struktur zimosan, fosfolipomanan serta glukuronoksilomanan (GXM)
pada dinding sel jamur. TLR4 berperan penting untuk mengenali struktur
glukoronoksilomanan dan O-linked mannan. Dectin-1 akan mengenali struktur β-
glucan sedangkan ketiga bentuk PRRs yang tersekresi (SP-A, SP-D dan MBL)
akan mengenali gugus karbohidrat pada permukaan jamur.
Pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS akan menginduksi berbagai
proses imun dalam rangka mengeliminasi patogen. Pengenalan PAMPS melalui
dektin-1 , TLR2, dan TLR4 akan meningkatkan pembentukan sitokin
proinflamatori tumor necrotic factor-α/ TNF-α (Gambar 1) (Netea et al, 2005;
Gantner et al, 2005; Chai et al, 2005).

Pengenalan PAMPS melalui SP-A dan SP-D berperan penting untuk


meningkatkan kemotaksis, fagositosis, oxidative killing, serta aglutinasi konidia.
Selain itu, pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS juga berperan tenting
dalam peningkatan sekresi kemokin Macrophage Inflammatory Protein (MIP)
dan protein antimikrobial. MIP-1 dan MIP-2 berperan penting dalam induksi
kemotaksis ke jaringan lesi. Selain itu, kemokin ini juga berperan penting untuk
menginduksi diferensiasi netrofil dan monosit menjadi makrofag (Shoham and
Levitz, 2005).
Eradikasi konidia oleh sel di melalui proses fagositosis. Pada tahap awal,
konidia yang telah diinternalisasi oleh makrofag akan berada di dalam fagosom.
Pada tahap lanjut, eradikasi konidia terjadi melalui proses asidifikasi dan
pembentukan Reactive Oxygen Intermediet (ROI) di fagolisosom. Fagolisosom
sendiri terbentuk dari fusi antara fagosom dengan lisosom. Sebanyak 90%
konidia yang diinternalisasi oleh makrofag akan mati dalam 24 jam. Sepuluh
persen sisanya akan berkembang menjadi bentuk hifa atau tetap bertahan dalam
bentuk resting conidia (Latge, 1999).
Bentuk morfologi resting conidia, germinating conidia serta hifa merupakan
aktivator potensial kaskade komplemen. Bentuk morfologi yang berbeda akan
mengaktivasi komplemen dari jalur yang berbeda pula. Bentuk resting conidia
akan menginduksi aktivasi komplemen melalui jalur alternatif (alternative
pathways), sedangkan bentuk hifa akan menginduksi aktivasi komplemen melalui
jalur klasik (classical pathways) (Shoham and Levitz, 2005).
Hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler (menembus makrofag) akan
menginduksi aktivasi sistem imun ekstraseluler. Aktivasi sistem imun
ekstraseluler ditandai dengan terjadinya proses inflamasi, sekresi ROI ke
ekstraseluler, peningkatan kemotaksis netrofil dan peningkatan produksi peptide
antimikrobial. Terjadinya proses inflamasi ditandai dengan peningkatan sitokin
TNF-α, interleukin-15 (IL-15) dan IL-8.2 Sebanyak 50% hifa yang tumbuh ke
ruang ekstraseluler akan mati dalam 2 jam (Blanco, JL., and Garcia, ME, 2008).
Resting conidia berupakan bentuk yang resisten terhadap proses eradikasi oleh
sel imun. Bentuk morfologi ini lebih resisten terhadap sekresi ROI dan kationik
peptide oleh sel netrofil. Selain itu, internalisasi resting konidia oleh netrofil
hanya mampu menginduksi proses degranulasi dan respiratory burst yang lemah.
Respon netrofil akan meningkat jika bentuk morfologi resting konidia ini berubah
menjadi bentuk morfologi resting conidia swelling.1 Pada pasien neutropeni,
peranan netrofil akan digantikan oleh sel Natural killer (NK) dan platelet. Namun
bagaimana mekanisme imun pada NK maupun platelet ini masih belum jelas
(Blanco, JL., and Garcia, ME, 2008).
Sel dendritik (DCs) merupakan sel yang menghubungkan antara sistem imun
alamiah dan adaptif. DCs mampu memfagositosis jamur dalam bentuk bentuk
konidia maupun hifa melalui PRRs yang berbeda. DCs pulmoner yang telah
menginternalisasi Aspergillus akan menjadi matur dan bermigrasi ke organ
limfoid sekunder untuk menginduksi sistem imunadaptif (pembentukan sel T
helper). Pengenalan morfologi tertentu oleh TLR2 dan TLR4 pada permukaan
DCs akan menstimulus respon imun yang berbeda (Romani, 2004).
Respon imun seluler (Cell Mediated Immunity/ CMI) akan terinduksi oleh
pengenalan konidia Aspergillus oleh DCs melalui TLR4. Sel imun yang berperan
dalam pada mekanisme imun ini adalah Sel Th1. Aktivasi sel Th1 akan
menginduksi terjadinya proses inflamasi untuk menghilangkan patogen
intraseluler. Beberapa sitokin proinflamasi yang perperan dalam mekanisme ini
antara lain interferon-ɣ (IFN-ɣ), IL-6, IL-12, TNF-α serta Granulocyte-
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF) (Chai et al, 2009).
Respon imun humoral akan terinduksi oleh pengenalan hifa Aspergillus oleh
DCs melalui TLR 2. Sel imun yang berperan dalam mekanisme imun ini adalah
Sel Th2. Aktivasi sel Th2 akan menginduksi aktivasi sel plasma (sel efektor)
untuk mensekresikan immunoglobulin pada permukaan selnya untuk menjadi
antibodi. Proses isotope switching akan memfasilitasi terbentuknyaberbagai
antibodi oleh sel plasma. Antibodi utama yang berperan pada infeksi jamur
adalah IgE. IgE akan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (alergi)
melalui mekanisme Antibody Derived Cell Cytotoxicity (ADCC). Mekanisme
ADCC dimulai dengan pengenalan antara kompleks IgE pada permukaan hifa
Aspergillus dengan sel efektor (eosinofil, basofil, sel mast) melalui Fc reseptor.
Proses ini akan menginduksi terjadinya degranulasi mediator histamin, leukotrien,
dan Major Basic Protein (MBP) dari sel efektor. Proses degranulasi akan
menginduksi terjadinya kerusakan jaringan (Shoham and Levitz, 2005).
Bentuk morfologi hifa memiliki karakteristik khas yang mampu menginduksi
terjadinya infeksi kronis. Bentuk hifa mampu memproduksi kolagenase, elastase
dan protease yang berperan penting dalam destruksi matriks ekstraseluler secara
lansung. Bentuk morfologi hifa juga mampu melekat pada matriks ekstraseluler.
Kedua hal inilah yang akan memfasilitasi terjadinya infeksi yang kronis dan
progresif, dimana proses remodeling jaringan akan diikuti oleh terjadinya
kerusakan jaringan kembali (Gambar 2) (Shoham and Levitz, 2005).
Respon imun Th1 berperan sebagai faktor proteksi terhadap infeksi jamur
dibandingkan dengan Th2. Aktivasi pada sistem imun hormonal digunakan oleh
jamur untuk menghindar dari sistem imun seluler. Hal ini dianggap
menguntungkan bagi jamur oleh karena jamur dapat menghindar dari aktivitas
respiratory burst dan juga menghindar dari terdapatnya sekresi antifungal yang
diinduksi oleh aktivasi sel Th1 (Shoham and Levitz, 2005).

E. KESIMPULAN
Jamur memiliki kemampuan untuk dapat menghindari sistem imun tubuh host.
Mekanisme utama yang melatarbelakangi kemampuan ini adalah upaya penghindaran
pengenalan struktur PAMPs spesifik yang ada pada permukaan sel jamur dari sel
fagositik. Upaya penghindaran yang dilakukan oleh sel jamur ini akan mencegah
terjadinya respon imun yang bersifat proinflamasi yang diperantai oleh aktivasi sel
Thl. Respon imun humoral yang terpacu pada infeksi jamur, tidak poten untuk dapat
mengeliminasi infeksi jamur secara sempurna. Hal inilah yang menyebabkan infeksi
jamur menjadi bersifat kronis dan progresif. Dengan mengetahui karakteristik
penghindaran jamur terhadap sistem imun host, diharapkan dapat dikembangkan
terapi spesifik berdasarkan respon imun tubuh yang ditekan pada infeksi jamur.

F. DAFTAR PUSTAKA
1. A. Cassone, R. Cauda, Candida and candidiasis in HIV-infected patients: where
commensalism, opportunistic behavior and frank pathogenicity lose
their borders Aids 26 (12) (2012) 1457–1472.
2. Blanco, JL., Garcia, ME. 2008. Immune Response to Fungal Infections.
Veterinary Immunology and Immunopathology. 125: 47-70.
3. Chai, L.Y.A., Netea , M.G.,. G. Vonk, A., Kullberg, B. 2009. Fungal strategies for
overcoming host innate immune response. Medical Mycology. 47: 227
236
4. Gantner, B.N., Simmons, R.M., Underhill, D.M., 2005. Dectin-1 mediates
macrophage recognition of Candida albicans yeast but not filaments.
EMBO J. 24: 1277–1286.
5. Kresno S.B, Immunologi; Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta. 2004.
6. Latge, J.P., 1999. Aspergillus fumigatus and Aspergillosis. Clin. Microbiol. Rev.
12: 310–350.
7. M. Del Poeta, A. Casadevall, Ten challenges on Cryptococcus and cryptococcosis,
Mycopathologia 173 (5-6) (2012) 303–310.
8. Male DK, Roitt IM. Introduction to the Immune System. Dalam: Roitt IM,
Brostoff J, Male DK eds. Immunology 3rd Ed. London, Mosby-Year
Book Europe Ltd; 1993: 1.1-1.12
9. Netea, M.G., Van der Graaf, C.A.A., Vonk, A.G., Verschveren, I., Van der Meer,
J.W., Kullberg, B.J., 2002. The role of toll-like receptor (TLR) 2 and
TLR 4 in the host defence against disseminated candidiasis. J. Infect.
Dis. 185: 1483–1489.
10. O. Gross, A. Gewies, K. Finger, M. Schäfer, T. Sparwasser, C. Peschel, I. Förster,
J. Ruland, Card9 controls a non-TLR signalling pathway for innate
anti-fungal immunity, Nature 442 (7103) (2006) 651.
11. SS. Brunke, S. Mogavero, L. Kasper, B. Hube, Virulence factors in fungal
pathogens of man, Curr. Opin. Microbiol. 32 (2016) 89–95.
12. Shoman, S., and Levitz, S.M., 2005. The Immune Response to Fungal Infections.
Britsh Journal of Heamatology. 129: 569-582.
13. Paris, S., Boisvieux-Ulrich, E., Crestani, B., Houcine, O., Taramelli, D.,
Lombardi, L., Latge, J.P., 1997. Internalization of Aspergillus
fumigatus conidia by epithelial and endothelial cells. Infect. Immun.
65: 1510–1514.
14. Romani, L., 2004. Immunity to fungal infections. Nat. Rev. Immunol. 4: 1–23.
PERTANYAAN DAN JAWABAN

1. Nur Fatoni
Pertanyaan: Mekanisme imun pada jamur candida albican dan cryptococcus,
apakah sama dengan aspergilus atau tidak? Kalo berbeda jelasin mekanismenya!
Jawaban: Mekanisme respon imun terhadap jamur candida albican dan
cryptococcus kurang lebihnya sama dengan jamur aspergillus, Respon imun
pejamu terhadap infeksi jamur bergantung pada banyak faktor-faktor seperti status
sistem kekebalan inang, morfologi jamur, (ragi vs hifa), tempat infeksi, kapasitas
virulensi jamur dan kompleksitas dinding sel (O. Gross et al, 2006; S. Brunke et
al, 2016). Untuk Respon imun terhadap jamur patogen: Setelah infeksi jamur, re-
sident makrofag, sel dendritik dan neutrofil polimorfonuklear (PMN) menyerap
jamur yang diserang dan menjalani fagositosis. Makrofag dan PMN
mengeluarkan peptida antimikroba (AMP), sitokin inflamasi, kemokin. Neutrofil
juga dapat melepaskan neutrofil perangkap ekstraseluler (NET) yang menangkap
bentuk hifa jamur. Sel NK dapat diaktifkan oleh berbagai komponen jamur dan
langsung membunuh dengan mensekresi molekul sitotoksik. DC dapat bermigrasi
ke kelenjar getah bening dengan adanya IL-12 dan kemokin dan membentuk
respon imun adaptif. DC mengirimkan antigen yang diproses ke T naif sel dan
mendorong ke dalam diferensiasi dari berbagai himpunan bagian Th dan Tc.
Diferensiasi setiap subset T tergantung pada sitokin dan lingkungan mikro. Subset
ini mengerahkan fungsi efektor dengan memproduksi sitokin, yang memodulasi
respon imun antijamur. Th1 dan Sel Th17 bermigrasi kembali ke tempat infeksi
oleh chemokine-dependent cara dan mengaktifkan makrofag dan PMN masing-
masing.
2. Alvionita
Pertanyaan: Apa perbedaan jamur dan fungi dan bagaimana terapi spesifik jamur
pada obat antijamur yang berdasarkan target kerjanya?
Jawaban: Semua jenis jamur yang ada di dunia ini masuk dalam klasifikasi
kingdom fungi. Jamur tidak memiliki klorofil seperti tumbuhan. Itulah sebabnya
jamur menjadi klasifikasi makhluk hidup baru bernama fungi. Mekanisme kerja
obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran plasma sel jamur,
sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β glukan, dan
mannooprotein (Gubbins et al., 2009). fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan
bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel.

3. Istiqomah
Pertanyaan: Perbedaan kedua Cryptococcus?
Jawaban: Jamur yang disebut C. neoformans menyebabkan sebagian besar kasus
CM. Jamur ini ditemukan di tanah di seluruh dunia. Biasanya ditemukan di tanah
yang berisi kotoran burung. C. gattii juga dapat menyebabkan CM. Jamur C. gattii
tidak ditemukan di kotoran burung, tetapi ditemukan pada pepohonan umumnya
pohon eucalyptus.CM biasanya terjadi pada orang yang memiliki sistem
kekebalan tubuh yang lemah. C. gattii lebih mungkin menginfeksi seseorang
dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat daripada C. neoformans. Tetapi kondisi
ini jarang terjadi pada seseorang yang memiliki sistem kekebalan tubuh normal.

4. Sahila
Pertanyaan: Mengapa aktivitas hormonal menguntungkan?
Jawaban: Aktivasi pada sistem imun hormonal digunakan oleh jamur untuk
menghindar dari sistem imun seluler. Hal ini dianggap menguntungkan bagi jamur
oleh karena jamur dapat menghindar dari aktivitas respiratory burst dan
juga menghindar dari terdapatnya sekresi antifungal yang diinduksi oleh aktivasi
sel Th1 (Shoham and Levitz, 2005).

Anda mungkin juga menyukai