Anda di halaman 1dari 70

1.

Definisi imunologi
Istilah imunologi berasal dari bahasa latin Immunis yang berarti bebas
atau kebal dan Logos yang berarti ilmu. Berdasarkan hal tersebut, secara
sederhana imunologi bisa di artikan sebagai ilmu yang mempelajari kekebalan
tubuh terhadap berbagai jenis patogen yang mampu menyebabkan infeksi
seperti virus, bakteri intraseluler, bakteri ekstraseluler, protozoa, jamur, dan
cacing (Jatmiko, 2018).
Pada awalnya, Imunologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang
respon tubuh terhadap infeksi. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan maka imunologi didefinisikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari tentang sistem imunitas tubuh manusia atau hewan (Antari,
2017).
Imunologi ada kaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu biokimia, dimana
reaksi imunologi merupakan suatu mekanisme yang berkaitan dengan
pertahanan inanga tau host terhadap suatu antigen ataupun non seluler (Yunus
et al, 2022)
Adanya test imunologi secara in vivo digunakan untuk mendiagnosis dari
suatu penyakit yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang berperan antara
lain:
a. Edward Jener (1878) berjasa menemukan pengunaan vaksin cacar sapi
avirulen untuk proteksi dari infeksi yang disebabkan oleh cacar
b. Metchnikof (183), berkaitan dengan menemukan peranan fagosit dalam
proses kekebalan
c. Von Behring (1890), yang berjasa dalam menemukan antibody terhadap
toksin penyakit difteri yang ada dalam serum
d. Erlic (1897), yang menemukan teori reseptor rantai samping mengenai
sintesis antibody
e. Bordet (1899) Menemukan peranan kompolemen sebagai sistolik
f. Landsteiner (1900) yang menemukan golongan darah ABO manusia dan juga
menemukan isohemaglutinin
g. Richet dan Portier (1920) berjasa dalam menemukan proses anafilaksis
h. Von Pirquet (1906) berjasa dalam menemukan interaksi antara imunitas dan
hipersensitivitas

Imunologi didefinisikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang


perlindungan terhadap penyakit dan infeksi. Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, maka definisi imunologi mengalami perluasan menjadi suatu
disiplin ilmu kedokteran atau kesehatan yang dalam perkembangannya berakar
dari pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi yang secara khusus
mempelajari tentang sistem imunitas tubuh. Sistem ini manusia secara normal
mempunyai kemampuan membedakan antara zat asing yang dikenal sebagai
antigen dan zat yang berasal dari tubuh sendiri. Namun, pada beberapa kondisi
patologis sistem imun tidak mampu membedakan keduanya, sehingga sel-sel
dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya atau
dikenal dengan auto antibodi (Antari, 2017).

2. Sifat-sifat umum dan klasifikasi respon imun (Lina et al, 2021)


Pertahanan host dikelompokkan di bawah imunitas bawaan, yang
memberikan perlindungan langsung terhadap invasi mikroba dan imunitas
adaptif yang berkembang lebih lambat dan memberikan pertahanan yang lebih
khusus terhadap infeksi. Kekebalan bawaan juga disebut kekebalan alami atau
kekebalan asli, selalu ada pada individu yang sehat (oleh karena itu istilah
bawaan), disiapkan untuk memblokir masuknya mikroba dengan cepat
menghilangkan mikroba yang berhasil memasuki jaringan inang. Imunitas
adaptif, juga disebut imunitas spesifik atau imunitas didapat, membutuhkan
proliferasi dan perbedaan limfosit sebagai respons terhadap mikroba sebelum
dapat memberikan pertahanan yang efektif (yaitu, beradaptasi dengan
keberadaan mikroba penyerbu).
Imunitas bawaan secara genetik lebih tua, dan respons imun adaptif
yang lebih khusus dan kuat berkembang kemudian. Dalam imunitas bawaan,
garis pertahanan pertama disediakan oleh penghalang epitel kulit dan jaringan
mukosa dan oleh sel dan antibiotik alami yang ada di epitel, yang semuanya
berfungsi untuk memblokir masuknya mikroba. Jika mikroba benar-benar
menembus epitel dan memasuki jaringan atau sirkulasi, beberapa komponen
lain dari sistem kekebalan bawaan bertahan melawan mereka, termasuk fagosit
dan sel limfoid bawaan, dan beberapa protein plasma, seperti sistem
komplemen. Selain memberikan pertahanan awal terhadap infeksi, respon imun
bawaan diperlukan untuk memulai respon imun adaptif terhadap agen infeksi.
Sistem imun adaptif terdiri dari limfosit dengan reseptor yang sangat
beragam dan bervariasi untuk zat asing, dan produk dari sel-sel ini, seperti
antibodi. Respon imun adaptif sangat penting untuk pertahanan melawan
mikroba menular yang patogen bagi manusia (yaitu, mampu menyebabkan
penyakit) dan mungkin telah berevolusi untuk melawan kekebalan bawaan. Sel
dan molekul imunitas bawaan mengenali struktur yang dimiliki bersama oleh
kelas mikroba, sedangkan limfosit imunitas adaptif mengekspresikan reseptor
yang secara spesifik mengenali lebih banyak variasi molekul yang dihasilkan
oleh mikroba, serta molekul noninfeksius. Setiap molekul yang secara khusus
dikenali oleh limfosit atau antibodi disebut antigen. Respon imun adaptif sering
menggunakan sel dan molekul sistem imun bawaan untuk menghilangkan
mikroba. Misalnya, antibodi (komponen imunitas adaptif) mengikat mikroba,
dan mikroba yang dilapisi ini dengan rajin mengikat dan mengaktifkan fagosit
(komponen imunitas bawaan), yang menelan dan menghancurkan mikroba.
Sel-sel sistem kekebalan terletak di berbagai jaringan yang berbeda dan
melayani peran yang berbeda dalam pertahanan tuan rumah. Sebagian besar
sel ini berasal dari prekursor sumsum tulang yang beredar dalam darah dan
disebut leukosit (sel darah putih). Lainnya hadir dalam jaringan setiap saat.
Beberapa dari sel-sel ini berfungsi terutama dalam kekebalan bawaan, yang
lain dalam kekebalan adaptif, dan beberapa berfungsi dalam kedua jenis
respons. Sel-sel ini dikelompokkan menjadi dua kategori besar - sel limfoid
(sebagian besar yang merupakan mediator respon imun adaptif) dan sel
nonlimfoid, juga disebut sel myeloid, yang memainkan peran yang beragam,
termasuk dalam respon imun bawaan. Sel dendritik residen jaringan, makrofag,
dan sel mast berfungsi sebagai penjaga untuk mendeteksi keberadaan mikroba
dalam jaringan dan memulai respons imun. Sel dendritik (DC), disebut demikian
karena banyak ekstensi membran yang menonjol, juga memiliki fungsi khusus
menangkap antigen mikroba dan menampilkannya ke limfosit T untuk memulai
respons imun adaptif dan oleh karena itu disebut sel penyaji antigen (APC,
dibahas nanti). Fagosit menelan dan menghancurkan mikroba. Mereka adalah
sel myeloid dan termasuk neutrofil, yang direkrut dari darah, dan makrofag,
yang dapat berkembang dari monosit yang bersirkulasi dan hidup di jaringan
lebih lama daripada neutrofil. Makrofag tidak hanya penjaga dan perusak
mikroba, mereka juga membantu memperbaiki jaringan yang rusak. Karena
sentinel dan fagosit terutama merupakan sel imunitas bawaan (Abbas,2019).

(Sumber : Abbas,2019)

Perbedaan sistem imun spesifik dan non-spesifik

Non-spesifik (innate)/alami Spesifik (adaptif)


Resistensi Tidak berubah oleh infeksi Membaik oleh infeksi
berulang (memori)
Spesifitas Umumnya efektif terhadap Spesifik untuk mikroba
semua mikroba yang sudah tersensitasi
sebelumnya
Sel yang penting Fagosit, sel NK, sel mast, Th, Tdth, Tc, Ts, Sel B
eosinofil
Molekul yang Lisozim, komplemen, Antibodi, sitokin,
penting protein fase akut, mediator, molekul adesi
interferon, CRP, kolektin,
molekul adesi

1. Sistem imun alami


Kekebalan yang ada saat lahir disebut bawaan. Sistem imun bawaan
adalah pertahanan lini pertama utama melawan organisme yang menyerang.
Ciri-cirinya adalah hadir seumur hidup, tidak memiliki kekhususan dan tidak
memiliki ingatan. (Pengecualian, yang akan dibahas nanti, adalah antibodi
pelindung yang diperoleh bayi dari ibu mereka.) Respon bawaan paling
berguna dalam perlindungan terhadap: organisme piogenik ('pembentuk
nanah'), mis. Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae jamur, mis.
Candida albicans parasit multiseluler, mis. cacing seperti Ascaris, cacing
gelang. Imunitas bawaan memiliki tiga komponen: fisikokimia, humoral dan
seluler (Peakman,2009).
(sumber: Peakman,2009)
Gambar diatas adalah kulit dan mukosa, sekret, yang secara terus
menerus mencuci dan membersihkan permukaan mukosa, dan silia, yang
membantu pembuangan debris dan benda asing. Faktor imunologis aktif
hadir dalam sekresi mukosa, dalam darah dan cairan serebrospinal (humor)
yang disebut humoral. Yang paling penting adalah komplemen dan lektin
pengikat mannan, serta opsonin tambahan (opsonin membantu pencernaan
bakteri oleh neutrofil), seperti protein C-reaktif, dan enzim proteolitik
(misalnya lisozim). Komponen seluler adalah neutrofil, eosinofil dan sel
mast, serta sel NK (Peakman,2009).
Sistem imun bawaan pada dasarnya merespon dengan cara yang sama
untuk mengulang pertemuan dengan mikroba, sedangkan sistem imun
adaptif meningkatkan respons yang lebih kuat, lebih cepat dan dengan
demikian lebih efektif pada pertemuan berturut-turut dengan mikroba.
Dengan kata lain, untuk sebagian besar, sistem kekebalan bawaan tidak
mengingat pertemuan sebelumnya dengan mikroba dan me-reset ke garis
dasar setelah setiap pertemuan tersebut, sedangkan memori adalah fitur
utama dari respon imun adaptif. Ada bukti yang muncul bahwa beberapa sel
kekebalan bawaan (seperti makrofag dan sel pembunuh alami) diubah oleh
pertemuan dengan mikroba sehingga mereka merespons lebih baik pada
pertemuan berulang. Tetapi tidak jelas apakah proses ini menghasilkan
perlindungan yang lebih baik terhadap infeksi berulang atau spesifik untuk
mikroba yang berbeda. Sistem imun bawaan mengenali struktur yang
dimiliki oleh berbagai kelas mikroba dan tidak ada pada sel inang normal.
Sel dan molekul kekebalan bawaan mengenali dan merespons jumlah
struktur mikroba, jauh lebih sedikit daripada jumlah antigen mikroba dan
nonmikroba yang hampir tidak terbatas yang dapat dikenali oleh sistem
imun adaptif. Setiap komponen kekebalan bawaan dapat mengenali banyak
bakteri, virus, atau jamur. Misalnya, fagosit mengekspresikan reseptor
untuk endotoksin bakteri, juga disebut lipo polisakarida (LPS), dan reseptor
lain untuk kaleng peptidogli, yang masing-masing terdapat di membran luar
atau dinding sel banyak spesies bakteri tetapi tidak diproduksi oleh sel
mamalia. Reseptor fagosit lainnya mengenali residu mannose terminal, yang
khas dari glikokonjugat bakteri dan jamur tetapi tidak pada mamalia.
Reseptor dalam sel mamalia mengenali dan merespons asam ribonukleat
untai ganda (dsRNA), yang diproduksi selama replikasi banyak virus tetapi
tidak diproduksi di sel mamalia, dan oligonukleotida kaya CG (CpG) yang
tidak termetilasi, yang umum di DNA mikroba tetapi tidak berlimpah dalam
DNA mamalia. Molekul mikroba yang merangsang kekebalan bawaan sering
disebut pola molekuler terkait patogen (patogen-associated molecular
pattern/PAMPs) untuk menunjukkan bahwa mereka ada dalam agen infeksi
(patogen) dan dimiliki oleh mikroba dari jenis yang sama (yaitu, pola
molekuler). Reseptor imunitas bawaan yang mengenali struktur bersama ini
disebut reseptor pengenalan pola (Abbas,2019).
Reseptor imun bawaan spesifik untuk struktur mikroba yang sering
penting untuk kelangsungan hidup dan infektivitas mikroba ini. Karakteristik
kekebalan bawaan ini menjadikannya mekanisme pertahanan yang sangat
efektif karena mikroba tidak dapat menghindari kekebalan bawaan hanya
dengan bermutasi atau tidak mengekspresikan target pengenalan kekebalan
bawaan. Mikroba yang tidak mengekspresikan bentuk fungsional dari
struktur ini kehilangan kemampuannya untuk menginfeksi dan menjajah
inangnya. Sebaliknya, mikroba sering menghindari kekebalan adaptif dengan
memutasi antigen yang dikenali oleh limfosit, karena antigen ini biasanya
tidak diperlukan untuk kehidupan mikroba. Sistem imun bawaan juga
mengenali molekul yang dilepaskan dari sel inang yang rusak atau nekrotik.
Molekul semacam itu disebut pola molekul terkait kerusakan (DAMPs).
Contohnya termasuk protein kotak kelompok mobilitas tinggi 1 (HMGB1),
protein histon yang dilepaskan dari sel dengan inti yang rusak, dan ATP
ekstraseluler, yang dilepaskan dari mitokondria yang rusak. Respon
selanjutnya terhadap DAMPS berfungsi untuk menghilangkan sel-sel yang
rusak dan untuk memulai proses perbaikan jaringan. Dengan demikian,
respons bawaan terjadi bahkan setelah cedera steril, seperti infark,
kematian jaringan karena kehilangan suplai darahnya (Abbas,2019).

a. Pertahanan mekanik
Sistem pertahanan mekanik atau fisik dapat berupa kulit, selaput lendir,
silia saluran nafas, batuk dan bersin. Pertahanan ini merupakan garis
pertahanan terdepan dari tubuh terhadap nfeksi.
b. Pertahanan biokimia
Kebanyakan mikroba mampu menembus kulit yang sehat, namun
beberapa dapat masuk kedalam tubuh melalui kelenjar sebasea dan
folikel rambut. Pertahanan biokimia pada kulit seperti Ph asam keringat,
sekresi sebaseus dan beberapa asam lemah mempunyai efek denaturasi
protein membran sel sehingga dapat mencegah infeksi.
c. Lisozim dlam keringat, ludah, airmata dan air susu ibu melindungi tubuh
terhadap bakteri gram positif dengan mekanisme menghancurkan lapisan
peptidoglikan bakteri ersebut. Air susu ibu mengandung laktooksidase
dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap
E.Coli.
d. Pertahanan humoral
Pertahanan humoral berada dalam sirkulasi seperti komplemen,
interferon, CRP dan kolektin. Serum normal dapat membunuh dan
menghancurkan beberapa bakteri gram negatif. Hal ini disebabkan
karena adanya kerja sama antara antibodi dan komplemen. Komplemen
terdiri atas sejumlah protein yang bila diaktifkaan akan memberikan
proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi.
Komplemen dengan spektrum aktivitas yang luas diproduksi oleh
hepatosit dan monosit.
e. Pertahanan seluler
Dalam sistem imun alami terdapat pertahanan imun seluler antara lain
sel fagosit, sel makrofag, sel NK dan sel mast.
Fagosit
Dua jenis fagosit yang bersirkulasi yaitu neutrofil dan
monosit/makrofag, adalah sel darah yang direkrut ke tempat infeksi, di
mana mereka mengenali dan menelan mikroba untuk pembunuhan
intraseluler (Abbas et al., 2020).

Sumber : (Abbas et al., 2020).


A. Neutrofil
Neutrofil memiliki penampilan yang khas, dengan inti polimorfik dan
butiran pewarnaan netral. Nukleus multilobus penting bagi sel untuk
melakukan transit cepat dari darah melalui celah sempit di endotelium.
Neutrofil berlimpah dalam sirkulasi, hadir pada konsentrasi 2-7 x 10 9 per
liter. Waktu paruh dalam darah adalah 6 jam dan dalam jaringan 1-2 hari;
sel-sl diganti dari sumsum tulang, yang dapat menghasilkan antara 10”
(keadaan sehat) dan 102 (selama infeksi) sel baru per hari. Dalam
kesehatan, beberapa neutrofil akan terlihat di jaringan (Peakman, 2009).
Neutrofil atau biasa disebut juga leukosit polimorfonuklear (PMN),
adalah leukosit yang paling melimpah dalam darah, berjumlah 4.000 hingga
10.000 per µL. Sebagai respons terhadap infeksi bakteri dan jamur tertentu,
produksi neutrofil dari sumsum tulang meningkat dengan cepat, dan
jumlahnya dalam darah dapat meningkat hingga 10 kali lipat dari normal.
Produksi neutrofil dirangsang oleh sitokin, yang dikenal sebagai faktor
perangsang koloni (CSF). yang disekresikan oleh banyak jenis sel sebagai
respons terhadap infeksi dan bekerja pada sel hematopoietik untuk
merangsang proliferasi dan pematangan neutrofil prekursor. Neutrofil
adalah jenis sel pertama dan paling banyak untuk merespon sebagian besar
infeksi, terutama infeksi bakteri dan jamur, dan dengan demikian
merupakan sel dominan peradangan akut. Neutrofil menelan mikroba dalam
sirkulasi, dan dengan cepat memasuki jaringan ekstravaskular di tempat
infeksi, di mana mereka juga memfagositosis (mencerna) dan
menghancurkan mikroba. Neutrofil mengekspresikan reseptor untuk produk
aktivasi komplemen dan antibodi yang melapisi mikroba. Reseptor ini
meningkatkan fagositosis mikroba yang dilapisi antibodi dan komplemen dan
juga mentransduksi sinyal pengaktif yang meningkatkan kemampuan
neutrofil untuk membunuh mikroba yang tertelan. Neutrofil juga direkrut ke
lokasi kerusakan jaringan tanpa adanya infeksi, di mana mereka memulai
pembersihan sel otak, hati, dan paru-paru, tidak diturunkan dari monosit
yang bersirkulasi tetapi dari progenitor di kantung hati janin pada awal
perkembangan organisme. Makrofag juga ditemukan di semua jaringan ikat
dan organ tubuh (Abbas et al., 2020).

Aktivasi dan Migrasi Neutrofil

Neutrofil diaktifkan oleh berbagai rangsangan : molekul utama yang


terlibat termasuk komponen komplemen C5a. LTB 4, FMLP dan CXCL8.
Masing-masing kemungkinan akan dilepaskan ditemppat infeksi dan
peradangan. Untuk memberikan kontribusinya pada proses inflamasi,
neutrofil harus bermigrasi ketempat yang relevan dalam jaringan. Ini
memerlukan beberapa organisasi: organ yang terkena harus memberi sinyal
fokus cedera dan neutrofil harus mengikat dan melekat secara khusus pada
jaringan itu. Proses penyebrangan kedalam jaringann ini sangat terorganisir,
memiliki dasar yang sama untuk semua sel imun, dan memiliki 3 langka
dasar yaitu rolling, adhesi dan trans-migrasi, yang dicapai melalui
penggunaan molekul adhesi khusus.

Antar muka antara jaringan dan darah dibentuk oleh sel-sel endotel.
Sinyal jaringan diberikan oleh endotel sel-sel yang melapisi venula pasca-
kapiler, dimana aliran darah paling lambat. Kerusakan jaringan, baik
disebabkan oleh infeksi atau cedera lainnya, mengakibatkan pelepasan
mediator seperti histamin dari sel mast, dengan efek mendalam pada
dinding pembuluh darah. Dilatasi pembuluh darah yang dihasilkan, dengan
peningkatan kebocoran dan pengurangan lebih lanjut dari aliran darah
memfasilitasi akses neutrofil ke lokasi kerusakan jaringan. Neutrofil
memiliki kecendrungan bahkan dalam keadaan istirahat untuk menempel
sangat eingan ke endotel, dalam proses yang disebut rolling. Ini
memperlambat gerakan mereka teta[i tidak cukup kuat untuk berhenti.
Neutrofil rolling disepanjang tepi pembuluh darah, sehingga disebut dengan
istilah marginasi. Molekul yang bertanggung jawab untuk rolling adalah
selektin.

Fagositosis
Kemampuan untuk menelan dan membunuh mikroorganisme merupakan
komponen kunci dalam pertahanan inang. Neutrofil memiliki kapasitas
untuk menelan lebih dari satu bakteri atau jamur sekaligus dalam proses
fagositosis, dan ini juga berlaku untuk struktur makromolekul lainnya.
Ketika sejumlah besar fagosit terlibat dalam proses infeksi abses berisi
nanah (neutrofil mati atau sekarat) dapat terbentuk. Fagosit relatif tidak
efektif tanpa adanya opsonin, kofaktor yang melapisi mikroorganisme dan
meningkatkan kemampuan neutrofil untuk menelannya (opsonisasi).
Reseptor untuk opsonin hadir di permukaan neutrofil, membentuk jembatan
antara sel dan organisme. Opsonin efisiensi tinggi yang khas adalah
komplemen komponen C3b, protein C reaktif dan antibodi. Peran antibodi
yang dimunculkan terhadap organisme tertentu, adalah contoh yang baik
dari sistem kekebalan spesifik yang memberikan arahan kepada bawahan.
Fagositosis dicapai dengan menggunakan pseudopodia. Ini diperluas
untuk mengelilingi organisme atau partikel dan akhirnya bertemu dan
menyatu untuk membentuk vakuola tertutup yang disebut fagosom.
Fagosom intraseluler sekarang dapat menyatu dengan butiran neutrofil,
melepaskan kandungan pencernaan dan racunnya untuk menyerang isi
fagosom.

B. Eosinofil (Peakman,2009)
Eosinofil terdiri dari sekitar 3-5% dari semua granulosit dalam sirkulasi.
Statistik ini menyembunyikan kenyataan, bagaimanapun, karena beberapa
ratus kali lebih banyak eosinofil hadir di jaringan, di mana mereka
berkumpul secara istimewa pada permukaan epitel dan dapat bertahan
selama beberapa minggu. Pewarnaan khas eosinofil adalah hasil dari isi
granula, terutama protein ionik kation (yaitu basa) dengan afinitas untuk
pewarna anilin asam seperti eosin, dan ini tetap merupakan metode
identifikasi terbaik. Peran utama eosinofil dalam pertahanan inang adalah
dalam perlindungan terhadap parasit multiseluler seperti cacing (cacing),
yang diberikan oleh pelepasan protein kationik beracun. Di luar daerah
tropis, bagaimanapun, mereka penting untuk kontribusi mereka terhadap
penyakit alergi, terutama asma.
Ada dua jenis granula utama dalam eosinofil: spesifik (95%) dan primer
(5%). Butiran spesifik mengandung protein kationik, yang ada empat jenis
utama. Protein dasar utama (MBP; disebut demikian karena merupakan
protein kationik yang paling melimpah), protein kationik eosinofil (ECP) dan
neurotoksin eosinofil semuanya berpotensi dan sangat beracun bagi cacing,
sementara ECP juga memiliki beberapa sifat bakterisidal. Eosinofil
peroksidase berbeda dari mieloperoksidase pada neutrofil tetapi
mengkatalisis reaksi serupa yang menghasilkan metabolit toksik.
C. Sel NK (Natural Killer)
Dalam beberapa tahun terakhir, tepi garis keturunan limfosit menjadi
kabur karena teknik laboratorium yang digunakan untuk mengidentifikasinya
menjadi lebih canggih. Populasi kecil sel telah diidentifikasi yang
menyerupai limfosit T tetapi tetap berbeda. Istilah sel pembunuh alami (NK)
adalah definisi fungsional: sel dengan aktivitas ini mampu melisiskan sel
yang terinfeksi virus dan sel tumor. Tidak seperti limfosit T, mereka tidak
memerlukan pendidikan di timus untuk melakukan ini, maka istilah 'alami.
Seperti limfosit, sel NK paling baik diidentifikasi dengan adanya glikoprotein
permukaan khusus dan juga biasanya memiliki sitoplasma yang sangat
granular. Sebuah populasi sel dengan karakteristik sel NK dan T juga ada,
yang disebut sel NKT (Peakman,2009).
Sel NK mengenali sel yang terinfeksi dan sel stres dan merespon dengan
membunuh sel-sel dengan mengeluarkan sitokin IFN-Y yang mengaktifkan
makrofag . Sel NK secara perkembangan terkait dengan grup 1 ILCs.

Sumber: (Abbas et al., 2020).


Sel NK memainkan peran penting dalam sistem kekebalan tubuh.
Sel NK berhubungan erat dengan sel T. Sel NK tidak memiliki TCR (atau
Ig) konvensional tetapi mengekspresikan dua kelas reseptor. Sel NK
memiliki satu set reseptor pengaktif yang memungkinkan mereka
mengenali fitur yang terkait dengan sel yang terinfeksi virus atau sel
tumor. Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk molekul MHC yang
mematikan aktivitas litiknya. Dengan demikian, virus dalam sel yang
terinfeksi atau sel tumor yang lolos dari pengawasan sel T sitotoksik
dengan menurunkan regulasi atau mematikan ekspresi molekul MHC
kemudian menjadi target untuk pembunuhan yang efisien oleh sel NK
karena aktivitas sitotoksik sel yang terakhir tidak lagi dimatikan oleh sel
NK pengenalan tertentu dari molekul MHC kelas I.
Selain itu, sel NK mengekspresikan reseptor untuk bagian Fc dari
IgG (FeγRIII). Sel berlapis antibodi dapat dikenali oleh sel NK, dan sel
tersebut kemudian dapat dilisiskan. Proses ini disebut sebagai
sitotoksisitas seluler yang bergantung pada antibodi. Sel NK adalah
produsen IFN-γ yang efisien. Berbagai rangsangan, termasuk pengenalan
sel yang terinfeksi virus dan sel tumor, ikatan silang FeγRIII, dan
stimulasi oleh sitokin IL-12 dan IL-18, menyebabkan induksi mencolok
produksi IFN-γ oleh sel NK (Paul, 2013).

D. Makrofag
Sel fagosit mononuklear adalah sel efektor yang berperan penting dalam
imunitas nonspesifik maupun imunitas spesifik. Sel fagosit mononuklear
yang paling dominan adalah makrofag. Makrofag berperan penting dalam
pertahanan hospes karena memproduksi sitokin yang menginisiasi dan
meregulasi inflamasi. Makrofag akan memakan dan menghancurkan
mikroba, serta membersihkan jaringan yang mati dan menginisiasi proses
perbaikan jaringan. Makrofag berperan dalam imunitas nonspesifik melalui
aksi fagositosis mikroba dan produksi sitokin yang selanjutnya akan
mengaktifkan mediator-mediator inflamasi. Sedangkan dalam imunitas
spesifik makrofag berperan sebagai efektor yang mengekspresikan protein
mikroba yang telah difagosit kepada sel T Selanjutnya, sel T akan
menstimulasi makrofag untuk menghancurkan mikroba tersebut. Pada
permukaan makrofag terdapat reseptor untuk (Hadi et al, 2020).
Makrofag merupakan sel efektor penting baik di lengan yang dimediasi
sel dan lengan humoral dari imunitas adaptif. Makrofag memiliki beberapa
peran penting dalam pertahanan. Makrofag menelan dan menghancurkan
mikroba, membersihkan jaringan mati dan memulai proses perbaikan
jaringan, dan menghasilkan sitokin yang menginduksi dan mengatur
peradangan. Jumlah famili reseptor yang diekspresikan dalam makrofag dan
terlibat dalam aktivasi dan fungsi sel-sel. Reseptor pengenalan pola,
termasuk TLRs dan NLRs, mengenali produk mikroba dan sel yang rusak dan
mengaktifkan makrofag. Fagositosis dimediasi oleh reseptor permukaan sel,
seperti reseptor mannose dan reseptor scavenger atau reseptor pemulung,
yang secara langsung mengikat mikroba (dan partikel lain), dan reseptor
untuk antibodi atau produk aktivasi komplemen yang terikat pada mikroba.
Antibodi dan reseptor komplemen ini juga diekspresikan oleh neutrofil.
Beberapa dari reseptor fagosit juga mengaktifkan fungsi membunuh mikroba
dari makrofag. Selain itu, makrofag merespons berbagai sitokin.
Makrofag dapat diaktifkan oleh dua jalur berbeda yang melayani fungsi
yang berbeda. Jalur aktivasi ini disebut klasik dan alternatif. Aktivasi
makrofag klasik diinduksi oleh sinyal imun bawaan, seperti dari TLR, dan
oleh sitokin IFN-y, yang dapat diproduksi baik pada respons imun bawaan
maupun adaptif. Makrofag yang diaktifkan secara klasik, juga disebut M1,
terlibat dalam menghancurkan mikroba dan dalam memicu peradangan.
Aktivasi makrofag alternatif terjadi tanpa adanya sinyal TLR yang kuat dan
diinduksi oleh sitokin IL-4 dan IL-13 makrofag ini yang disebut M2,
tampaknya lebih penting untuk perbaikan jaringan dan untuk menghentikan
peradangan. Kelimpahan relatif dari kedua bentuk makrofag teraktivasi ini
dapat mempengaruhi hasil reaksi pejamu dan berkontribusi pada berbagai
gangguan (Abbas et al., 2020).
Sumber : (Abbas et al., 2020)
E. Sel Mast
Sel mast adalah sel yang berasal dari sumsum tulang dengan granula
sitoplasmik berlimpah yang terdapat di seluruh barier kulit dan mukosa. Sel
mast dapat diaktifkan oleh produk mikroba yang mengikat TLRs dan oleh
komponen sistem komplemen sebagai bagian dari imunitas bawaan atau
oleh mekanisme yang bergantung pada antibodi dalam imunitas adaptif.
Granula sel mast mengandung amina vasoaktif seperti histamin yang
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, serta
enzim proteolitik yang dapat membunuh bakteri atau menonaktifkan racun
mikroba. Sel mast juga mensintesis dan mengeluarkan mediator lipid
(misalnya, prostaglandin dan leukotrien) dan sitokin (misalnya, faktor
nekrosis tumor (TNF)), yang merangsang peradangan. Produk sel mast
memberikan pertahanan terhadap cacing dan patogen lainnya, serta
perlindungan terhadap ular dan racun serangga dan bertanggung jawab atas
gejala penyakit alergi (Abbas et al., 2020).
Sel mast memainkan peran penting dalam induksi respon inflamasi
alergi. Sel mast mengekspresikan reseptor permukaan sel untuk bagian Fc
dari IgE (FcεRI) dan untuk kelas IgG (FcγR) tertentu. Hal ini memungkinkan
untuk mengikat antibodi terhadap permukaannya, dan ketika antigen yang
mampu bereaksi dengan antibodi tersebut diperkenalkan, hasil ikatan silang
FcεRI dan/atau FeγR menghasilkan pelepasan segera serangkaian mediator
kuat seperti histamin, serotonin, dan berbagai enzim yang berperan. Peran
penting dalam memulai reaksi alergi dan tipe anafilaksis. Selain itu,
stimulasi tersebut juga menyebabkan sel-sel ini menghasilkan satu set
sitokin, termasuk IL-3, IL-4, IL-13, IL-5, IL-6, granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor, dan TNFa, yang memiliki konsekuensi akhir yang
penting dalam respon inflamasi alergi (Paul, 2013).
2. Sistem imun adaptif
Sistem imun adaptif mempunyai kemampuan mengenal benda yang dianggap
asing bagi dirinya. Benda asing yang sama, apabila bertemu kembali dengan
sistem imun adaptif maka akan dikenali dengan cepat, kemudian akan
dihancurkan. Oleh karena itu, sistem imun spesifik hanya dapat
menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka dari itu
sistem imun ini disebut spesifik. Sistem imun adaptif dapat bekerja dalam
mengancurkan benda asing tanpa bantuan sistem imun alami. Pada
umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi komplemen-fagosit
dan antara sel T-makrofag. Pada imunitas humoral sel B melepas antibodi
untuk menyingkirkan mikroba ekstraseluler. Imunitas seluler, sel T
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan
sel Tc untuk melisiskan sel yang terinfeksi. Dua jenis imunitas adaptif, yang
disebut imunitas humoral dan imunitas yang diperantarai sel, dimediasi oleh
sel dan molekul yang berbeda dan masing-masing memberikan pertahanan
terhadap mikroba ekstraseluler dan mikroba intraseluler.
a. Sistem imun adaptif humoral
Pemeran utama dalam sistem imun adaptif humoral adalah limfosit B
atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari sel asal
multipoten disumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel
tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi
sel plasma yang membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat
ditemukan didalam serum.
b. Sistem imun adaptif selular
Pertahanan terhadap mikroba intraseluler dinamakan imunitas seluler
karena prosesnya diperantarai dengan sel-sel yang disebut sel limfosit T.
Beberapa limfosit T mengaktivasi fagosit untuk menghancurkan mikroba
yang telah dimakan oleh sel fagosit kedalam vesikel intraseluler.
Limfosit T lainnya membunuh berbagai jenis sel inang yang terinfeksi
mikroba infeksius didalam sitoplasmanya. Dalam kedua kasus tersebut,
sel T mengenali antigen yang ditapilkan pada permukaan sel, yang
menunjukkan adanya mikroba didalam sel tersebut.
Limfosit-T mengenali fragmen peptida antigen protein yang disajikan
oleh sel lain. Limfosit T helper menghasilkan sitokin yang mengaktifkan
fagosit untuk menghancurkan mikroba yang telah ditelan, merekrut
leukosit, dan mengaktifkan limfosit B untuk memproduksi antibodi.
Limfosit T sitotoksik (CTL) membunuh sel yang terinfeksi yang membawa
mikroba dalam sitoplasma.
Imunitas humoral dimediasi oleh protein yang disebut antibodi,
yang diproduksi oleh sel yang disebut limfosit B. Antibodi yang
disekresikan memasuki sirkulasi, cairan jaringan ekstraseluler, dan
lumen organ mukosa seperti saluran cerna dan saluran pernapasan.
Antibodi bertahan melawan mikroba hadir di lokasi ini dengan mencegah
mereka menyerang sel jaringan dan dengan menetralkan racun yang
dibuat oleh mikroba. Mikroba yang hidup dan membelah sel-sel samping
tetapi segera dibunuh setelah dicerna oleh fagosit disebut mikroba
ekstraseluler, dan antibodi dapat meningkatkan penyerapan mikroba ini
ke dalam fagosit. Namun, banyak mikroba, sering disebut mikroba
intraseluler, dapat hidup dan membelah di dalam sel yang terinfeksi,
termasuk fagosit. Meskipun antibodi dapat mencegah mikroba tersebut
menginfeksi sel jaringan, antibodi tersebut tidak efektif setelah mikroba
masuk ke dalam sel.
Pertahanan terhadap mikroba yang telah memasuki sel inang
disebut imunitas yang diperantarai sel karena itu dimediasi oleh sel,
yang disebut limfosit T. Imunitas yang diperantarai sel sangat penting
bagi semut untuk bertahan melawan organisme intraseluler yang dapat
bertahan hidup dan bereplikasi di dalam sel. Beberapa limfosit T
mengaktifkan fagosit untuk menghancurkan mikroba yang telah dicerna
dan hidup di dalam vesikel intraseluler fagosit ini. Limfosit T lainnya
membunuh semua jenis sel inang (termasuk sel non-fagosit) yang
menampung mikroba infeksius di dalam sitoplasma atau nukleus. Dalam
kedua kasus, sel T mengenali antigen mikroba yang ditampilkan pada
permukaan sel inang, yang menunjukkan adanya mikroba di dalam sel.
Beberapa limfosit T juga membantu untuk bertahan melawan mikroba
ekstraseluler dengan merekrut sejumlah besar fagosit ke tempat infeksi,
dan fagosit Fe menelan dan menghancurkan mikroba. Spesifisitas limfosit
B dan T berbeda dalam beberapa hal penting. Kebanyakan sel T hanya
mengenali fragmen peptida dari antigen protein yang disajikan pada
permukaan sel, sedangkan sel B dan antibodi mampu mengenali berbagai
jenis molekul, termasuk protein, karbohidrat, asam nukleat, dan lipid.
Kekebalan dapat diinduksi pada individu dengan infeksi atau
vaksinasi (kekebalan aktif) atau diberikan pada individu dengan transfer
antibodi atau limfosit dari individu yang diimunisasi aktif (kekebalan
pasif). Dalam kekebalan aktif, seorang individu yang terpapar antigen
mikroba memasang respons untuk membasmi infeksi dan
mengembangkan resistensi terhadap infeksi selanjutnya oleh mikroba
itu. Individu tersebut dikatakan kebal terhadap mikroba tersebut,
berbeda dengan individu naif yang sebelumnya tidak pernah terpapar
antigen mikroba tersebut. Sp Bersama sebelum Dalam kekebalan pasif,
individu yang naif menerima antibodi atau sel (misalnya limfosit) dari
individu lain yang sudah kebal terhadap infeksi atau antibodi pelindung
yang telah disintesis menggunakan teknik bioteknologi modern.
Penerima memperoleh kemampuan untuk memerangi infeksi selama
antibodi atau sel yang ditransfer masih ada. Oleh karena itu, kekebalan
pasif berguna untuk memberikan kekebalan dengan cepat bahkan
sebelum individu dapat meningkatkan respons aktif, tetapi tidak
menyebabkan resistensi jangka panjang terhadap infeksi. Satu-satunya
contoh fisiologis kekebalan pasif terlihat pada bayi baru lahir, yang
sistem kekebalannya tidak cukup matang untuk menanggapi banyak
patogen tetapi yang dilindungi terhadap infeksi dengan memperoleh
antibodi selama kehidupan janin dari ibu mereka melalui plasenta dan
pada periode neonatal dari ASI. Secara klinis, kekebalan pasif berguna
untuk mengobati beberapa penyakit defisiensi imun dengan antibodi
yang dikumpulkan dari banyak donor dan untuk pengobatan darurat
beberapa infeksi virus dan gigitan ular menggunakan serum dari donor
yang diimunisasi. Antibodi dan sel T yang dirancang untuk mengenali
tumor sekarang banyak digunakan untuk imunoterapi pasif kanker.
Sistem imun adaptif mampu membedakan jutaan antigen atau
bagian antigen yang berbeda, suatu ciri yang disebut sebagai spesifisitas.
Ini menyiratkan bahwa koleksi total spesifisitas limfosit, kadang-kadang
disebut repertoar limfosit, sangat beragam. Total populasi limfosit B dan
T terdiri dari banyak klon yang berbeda (setiap klon terdiri dari sel-sel
yang semuanya berasal dari satu limfosit), dan semua sel dari satu klon
mengekspresikan reseptor antigen yang identik, yang berbeda dari
semua reseptor lainnya. klon. Kita sekarang mengetahui dasar molekuler
untuk menghasilkan keragaman limfosit yang luar biasa ini. Hipotesis
seleksi klon, dirumuskan pada 1950-an, dengan tepat memprediksi
bahwa klon limfosit spesifik untuk antigen yang berbeda berkembang
sebelum bertemu dengan anti gen ini, dan setiap antigen menimbulkan
respons imun dengan memilih dan mengaktifkan limfosit dari klon
tertentu.
(sumber: Abbas,2019)
Imunitas humoral dimediasi oleh protein yang disebut antibodi,
yang diproduksi oleh sel yang disebut limfosit B. Antibodi yang
disekresikan memasuki sirkulasi, cairan jaringan ekstraseluler, dan
lumen organ mukosa seperti saluran pencernaan dan saluran pernapasan.
Antibodi bertahan melawan mikroba yang ada di lokasi ini dengan
mencegahnya menyerang sel jaringan dan dengan menetralkan racun
yang dibuat oleh mikroba. Mikroba yang hidup dan membelah sel-sel
samping segera dibunuh setelah dicerna oleh fagosit yang biasa disebut
mikroba ekstraseluler, dan antibodi dapat meningkatkan penyerapan
mikroba ini ke dalam fagosit. Namun, banyak mikroba, sering disebut
mikroba intraseluler, dapat hidup dan membelah di dalam sel yang
terinfeksi, termasuk fagosit. Meskipun antibodi dapat mencegah mikroba
tersebut menginfeksi sel jaringan, antibodi tersebut tidak efektif setelah
mikroba telah memasuki sel. Pertahanan terhadap mikroba yang telah
memasuki sel inang disebut imunitas yang diperantarai sel karena
dimediasi oleh sel, yang disebut limfosit T. imunitas yang diperantarai
sel sangat penting untuk bertahan melawan organisme intraseluler yang
dapat bertahan dan bereplikasi di dalam sel. Beberapa limfosit T
mengaktifkan fagosit untuk menghancurkan mikroba yang telah dicerna
dan hidup di dalam vesikel intraseluler fagosit ini. Limfosit T lainnya
membunuh semua jenis sel inang (termasuk sel non-fagosit) yang
menampung mikroba infeksius dalam sitoplasma atau nukleus. Dalam
kedua kasus, sel T mengenali antigen mikroba yang ditampilkan pada
permukaan sel inang, yang menunjukkan adanya mikroba di dalam sel.
Beberapa limfosit T juga membantu untuk bertahan melawan mikroba
ekstraseluler dengan merekrut sejumlah besar fagosit ke tempat infeksi,
dan fagosit menelan dan menghancurkan mikroba (Abbas et al., 2020).

Sumber: (Abbas et al., 2020).


Sel yang berperan dalam sistem kekebalan adaptif

(sumber: Abbas,2019)

A. Limfosit
Limfosit adalah satu-satunya sel yang menghasilkan reseptor terdistribusi
secara klonal yang spesifik untuk berbagai antigen dan merupakan mediator
kunci dari imunitas adaptif. Orang dewasa yang sehat mengandung 0,5 sampai 1
x 102 limfosit. Meskipun semua limfosit secara morfologis serupa dan tampak
biasa-biasa saja, mereka heterogen dalam garis keturunan, fungsi, dan fenotipe
dan mampu melakukan respons dan aktivitas biologis yang kompleks. Sel-sel ini
sering dibedakan dengan ekspresi protein permukaan yang dapat diidentifikasi
menggunakan panel antibodi monoklonal. Nomenklatur standar untuk protein
ini adalah CD (cluster of differential).
(sumber: Abbas,2019)
(sumber: Abbas,2019)

Sel penyaji antigen (Abbas,2019)


Pintu masuk umum untuk mikroba-kulit dan saluran pencernaan,
pernapasan, dan genitourinari-mengandung sel-sel khusus yang terletak
di epitel yang menangkap antigen, mengangkutnya ke jaringan limfoid
perifer, dan menampilkannya ke limfosit. Ini adalah langkah pertama
dalam pengembangan respon imun adaptif terhadap antigen. Fungsi
penangkapan dan penyajian antigen ini paling baik dipahami untuk sel
dendritik, sel penyaji antigen (APC) paling khusus dalam sistem
kekebalan. Sel dendritik menangkap antigen protein mikroba yang
melintasi penghalang epitel dan mengangkut antigen ini ke kelenjar
getah bening regional, di mana mereka menampilkan fragmen protein
untuk dikenali oleh limfosit T. Jika mikroba telah menginvasi melalui
epithelium, mungkin akan difagositosis dan disajikan oleh makrofag
jaringan. Mikroba atau antigennya yang masuk ke organ limfoid dapat
ditangkap oleh sel dendritik atau makrofag yang berada di organ
tersebut dan dipresentasikan ke limfosit.
Sel dendritik memiliki fitur penting lain yang memberi mereka
kemampuan untuk merangsang respons sel T. Sel-sel khusus ini
merespons mikroba dengan memproduksi protein permukaan, yang
disebut kostimulator, yang diperlukan, bersama dengan antigen, untuk
mengaktifkan limfosit T naif untuk berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel efektor. Sel dendritik mengekspresikan tingkat protein
kostimulatori yang lebih tinggi daripada jenis sel lain dan dengan
demikian merupakan stimulator sel T naif yang paling kuat dan inisiator
respons sel T yang paling efisien. Sel penyaji antigen lainnya, seperti
makrofag dan sel B, menyajikan antigen ke sel T efektor yang berbeda
dalam berbagai respons imun. Limfosit B dapat secara langsung
mengenali antigen mikroba (baik yang dilepaskan atau di permukaan
mikroba), dan makrofag serta sel dendritik di organ limfoid perifer juga
dapat menangkap antigen dan menampilkannya ke sel B. Jenis sel yang
berbeda disebut sel dendritik folikular (FDC) berada di pusat germinal
folikel limfoid di organ limfoid perifer dan menampilkan antigen yang
merangsang diferensiasi sel B dalam folikel (lihat Bab 7). FDC tidak
menyajikan antigen ke sel T dan berbeda dari sel dendritik yang
dijelaskan sebelumnya yang berfungsi sebagai APC untuk limfosit T
(Abbas,2019).
(Sumber: Abbas,2020)
3. Jenis dan sifat molekul antigen dan antibodi
ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen biasanya zat eksogen (sel, protein, dan polisakarida) yang
dikenali oleh reseptor pada limfosit, sehingga menimbulkan respon imun.
Molekul reseptor yang terletak pada membran limfosit berinteraksi dengan
sebagian kecil dari sel atau protein asing tersebut, yang disebut sebagai
determinan antigenik atau epitop. Manusia dewasa memiliki kemampuan
untuk mengenali jutaan antigen yang berbeda, dan akibatnya menghasilkan
antibodi, protein yang muncul dalam sirkulasi setelah infeksi atau imunisasi
dan yang memiliki kemampuan untuk bereaksi secara spesifik dengan epitop
antigen yang dimasukkan ke dalam organisme. Karena antibodi larut dan
ada di hampir semua cairan tubuh ("humor"), istilah imunitas humoral
diperkenalkan untuk menunjukkan respons imun di mana antibodi
memainkan peran utama sebagai mekanisme efektor. Antibodi juga generik
yang ditunjuk sebagai imunoglobulin. Istilah ini berasal dari fakta bahwa
molekul antibodi secara struktural termasuk dalam keluarga protein yang
dikenal sebagai globulin (protein globular) dan dari keterlibatannya dalam
imunitas (Virella, 2020).
Antigen merupakan molekul atau subtansi atau zat yang dapat dikenali
oleh antibodi, limfost B dan limfosit T. Antigenenik merupakan kemampuan
substansi membentuk reaksi dengan antibodi ataupun reseptor antibody. Istilah
antigenik sering disamakan dengan imunogenik meskipun pada kenyataannya
kedua istilah tersebut berbeda. Imunogenik adalah suatu kemampuan suatu
substansi untuk menginduksi respon imun baik humoral maupun seller di dalam
tubuh. Molekul yang memiliki kemampuan imunogenik disebut imunogen.
Semua imunogen dapat bereaksi dengan antibody, namun tidak semua antigen
dapat menginduksi produksi antibodi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua
imunogen adalah antigen namun tidak semua antigen adalah imunogen (Yunus
et al,2022 )
Terdapat beberapa fator yang mempengaruhi kemampuan imunogenik
suatu antigen antara lain(Yunus et al,2022):
1. Foreignness
Derajat imunogeness antigen yang masuk ke dalam tubuh tergantung
pada derajat kemiripan antigen dengan protein tubuh (self protein).
Semakin besar jarak filogenetik antara dua spesies tersebut akan
semakin besar berbedaan struktur proteinnya. Sehingga derajat
imunogenesitasnya pun akan semakin besar.
2. Berat molekul
Antigen dengan berat molekul 100.000 dalton dapat bertindak sebagai
imunogen. Penurunan kemampuan imunogenik terjadi pada antigen
dengan berat molekul kurang dari 2.500 dalton.
3. Komposisi
Antigen tidak harus memiliki berat molekul bear atau derajat
imunogenesitas tinggi untuk dianggap imunogenik. Karakteristik lain juga
dapat menjadi pemicu sifat imunogenik. Misalnya, homopolimer sintetik
yaitu polimer yang terdiri dari satu asam amino atau gula, biasanya tidak
memiliki imunogenisitas, terlepas dari beat molekulnya. Polimer yang
terdiri dari asam amino atau gula yang berbeda biasanya lebih
imunogenik daripada homopolimer. Hal in menunjukkan bahwa
kompleksitas susunan bahan kimia suatu molekul dapat berkontribusi
pada imunogenisitasnya. Tingkat struktur organisasi protein menentukan
bentuk dan muatan suatu protein yang akan menentukan
imunogenisitasnya.
4. Kerentanan terhadap proses dan presentasi antigen
Respon imun baik humoral atau yang diperantarai sel (cell-mediated)
membutuhkan interaksi antara sel T dengan antigen yang telah diproses
dan dipresentasikan pada membrane sel menggunakan molekul MC
(major histocompability complex). Makromolekul besar yang tidak larut
umumnya lebih imunogenik daripada yang memiliki berat molekul kecil
dan mudah larut. Hal ini karena molekul yang lebih besar lebih mudah
difagositosis dan diproses.Makromolekul yang tidak dapat didegradasi
dan dipresentasikan dengan molekul MC adalah imunogen yang buruk
Tidak semua makromolekul dapat menginduksi respon imun. Protein dan
polisakarida banyak digunakan dalam riset terkait respon imun humoral
karena kemampuannya sebagai imunogen yang kuat. Sedangkan lipid dan
asam nukleat relative lemah dalam menginduksi respon imun kecuali
membentuk kompleks dengan protein dan atau polisakarida. Secara umum,
antigen berukuran besar dengan struktur yang kompleks. Tidak seluruh
struktur antigen dapat dikenali oleh antibody ataupun limfosit B dan T.
Struktur pada antigen yang dapat berikatan dengan reseptor spesifik pada
limfosit atau antibodi disebut Tabel Perbedaan Pengenalan dengan epitope
atau antigenic determinant. Struktur epitope hanya tersusun dari 5-6 asam
amino dan atau gugus sakarida.
Epitop pada imunogen yang berupa protein dapat berbentuk struktur
primer, sekunder, tersier hingga kuarterner. Imunogen berupa polisakarida,
keberadaan dan jumlah rantai amping pada struktur polisakarida
menentukan konformasi bentuk epitope. Pada sel darah merah manusia,
imunogen berada pada struktur terluar dari struktur 3 dimensi sel.
Imunogen ini merupakan protein yang membentuk kompleks dengan molekul
karbohidrat yang disebut glikoprotein atau membentuk kompleks dengan
lipid yang disebut lipoprotein.
Satu imunogen dapat memiliki beberapa jenis epitop. Sehingga 1
imunogen dapat berikatan dengan beberapa antibodi dengan spesifisitas dan
reaktifitas yang berbeda. Limfosit B dan T diketahui dapat mengenali
epitope yang berbeda pada satu imunogen yang sama. Interaksi antara
antibody dengan epitope antigen merupakan ikatan non-kovalen yang
terjadi karena jarak yang dekat antar molekul. Ikatan yang lebih kuat
terjadi jika sisi pengikatan pada antibody (antibody binding site) denga
epitope memiliki bentuk yang komplementer. Ukuran epitope tidak dapat
lebih besar dari sisi pengikatan pada antibodi.
Perbedaan pengenlan epitop antigen oleh limfosit B dan limfosit T
(Yunus et al,2022).

Karakteristik Sel B Sel T


Interaksi dengan Melibatkan kompleks Melibatkan kompleks
Antigen antara reseptor pada antara reseptor sel T,
sel B dengan antigen MHC dan antigen
Kelarutan Antigen Mampu mengikat Tidak dapat mengikat
antigen yang larut antigen yang larut
pada plasma dalam plasma. Hanya
yang membentuk
kompleks dengan MHC
Keterlibatan molekul Tidak perlu Memerlukan molekul
MHC MHC untuk pengenalan
Antigen
Komposisi antigen Protein polisakarida, Protein, beberapa
yang dikenali lipid lipid, glikolipid
Karakteristik epitop Dapat diakses bebas, Peptida yang
hidrofilik dihasilkan dari
pemrosesan antigen
dan dipresentasikan
pada MHC
Bentuk epitope bertanggung jawab atas spesifitas pengenalan dengan
antibody yang sesuai. Baik bentuk epitope maupun bentuk sisi
pengikatan pada antibody ditentukan oleh urutan asam amino
penyusunnya.
Menurut (International Society of Blood Transfusion, 2022) ada jenis
Antigen pada 43 golongan darah yang telah diketahui

NO Sistem Antigen Total Jumlah


Golong Antigen pada
an sistem
Darah
1 ABO A, B, A, B, A1 4
2 MNS M.N.S.s.U.He.Mia.Mc.Vw.Mur.Mg,Vr,Me,M 50
ta,Sta,Ria,Cla,Nya,Hut_Hil,Mv,Far,sD,Mit,
Dantu,Hop,Nob,Ena,ENKT,'N',Or,DANE,TSE
N.MINY.MUT.SAT.ERIK.Osa.ENEP,ENEH,HA
G,ENAV,MARS,ENDA,ENEV,MNTD,SARA,KIP
PIENU.SUMI
3 P1PK P1, PK, NOR 3
4 D,C,E,c,e,f,Ce,Cw,Cx,V,Ew,G,Hro 56
,Hr,hrS,VS,CG,CE,Dw,clike,cE,hrH,Rh29,G
oa,hrB,Rh32‚Rh33,HrB,Rh35,Bea,Evans,Rh
39,Tar,Rh41,Rh42,Crawford,Nou,Riv,Sec,
Dav,JAL,STEM,FPTT,MAR,BARC,JAHK,DAK,
LOCR,CENR,CEST,CELO,CEAG,PARG,CE
VF,CEWA,CETW
5 LU Lua,Lub,Lu3,Lu4,Lu5,Lu6,Lu7,Lu8,Lu9,.., 27
Lu11,Lu12,Lu13,Lu14,..,Lu16,Lu17,Aua,A
ub,Lu20,Lu21.LURC.LUIT‚LUGA,LUAC,LUBI
,LUYA,LUNU,LURA
6 KEL K,k,Kpa,Kpb,Ku,| 36
sa,]sb,Ula,K11,K12.K13.K14.K16.K17.K18.
K19,Km,Kpc,K22,K23,K24,VLAN,TOU,RAZ,
VONG,KALT,KTIM,KYO,KUCI,KANT,.KASH,
KELP,KETIKHULKYOR.KA
7 LE Lea,Leb,Leab,LebH,Aleb,Bleb 6
8 FY Fya,Fyb,Fy3,...,Fy5,Fy6 5
9 JK Jka,Jkb,Jk3 3
10 DI Dia.Dib,Wra,Wrb,Wda,Rba,WARR,ELO,Wu 23
,Bpa,Moa,Hga,Vga,Swa,BOW,NFLD,Ina,KR
EP,Tra,Fra,SW1,DISK.DIST
11 YT Yta, Ytb, YTEG, YTLI, YTOT, GECT, GEAR 5
12 XG Xga,CD99,ZENA,CROV,CRAM,CROZ,CRUE, 2
CRAG,CROK,CORS
13 SC Sc1,Sc2,Sc3,Rd,STAR,SCER,SCAN,SCAR,SC 9
AC
14 DO Doa,Dob,Gya,Hy,Joa,DOYA,DOMR.DOLG.D 10
OLC.DODE
15 CO Coa,Cob,Co3,Co4 4
16 LW LWa.LWab.LWb 3

17 CH/RG Ch1,Ch2,Ch3,Ch4,Ch5,Ch6,WH,Rg1,Rg2 9
18 H H 1
19 XK Kx 1
20 GE Ge2,Ge3,Ge4,Wb,Lsa,Ana,Dha,GEIS,GEPL, 13
GEAT,GETI,GECT,GEAR
21 CROM Cra,Tca,Tcb,Tcc,Dra,Esa,IFC,WESa,WESb, 20
UMC,GUTI,SERF,ZENA.CROV.CRAM.CROZ.
CRUE.CRAG.CROK.CORS
22 KN Kna,Knb,McCa,Sl1,Yka,McCb,Sl122,S13,KC 12
AM,KDAS,DACY,YCAD
23 IN Ina.Inb.INFI.INIA.INRA.INSL 6
24 OK Oka,OKGV.OKVM 3
25 RAPH MER2 1
26 JMH JMH, JMHK, JMHL, JMHG, 8
JMHM,JMHQ,JMHN,JMHA
27 I I 1
28 GLOB P,PX2 2
29 GIL GIL 1
30 RHAG Duclos, Ola, DSLK, S,Kg 4
31 FORS FORS1 1
32 JR Jra 1
33 LAN Lan 1
34 VEL Vel 1
35 CD59 CD59.1 1
36 AUG AUG1,Ata, ATML, ATAM 4
37 KANNO KANNO1 1
38 SID Sda 1
39 CTL2 VER, RIF 2
40 PEL PEL 1
41 MAM MAM 1
42 EMM Emm 1
43 ABCC1 WLF 1

Reaksi Antigen-Antibodi, Komplemen, dan Opsonisasi


Pengetahuan bahwa serum hewan yang diimunisasi mengandung molekul
protein yang mampu mengikat secara spesifik pada antigen menyebabkan
penyelidikan menyeluruh tentang karakteristik dan konsekuensi dari reaksi
antigen-antibodi. Pada tingkat morfologi, dua jenis reaksi didefinisikan :
- Jika antigen larut, reaksi dengan antibodi spesifik dalam kondisi yang
sesuai menghasilkan pengendapan agregat.
- Jika antigen diekspresikan pada membran sel, sel yang membawa
antigen akan bersilangan dihubungkan oleh antibodi dan membentuk
gumpalan yang terlihat (aglutinasi).
Secara fungsional, reaksi antigen-antibodi dapat diklasifikasikan
berdasarkan konsekuensi biologisnya :
- Virus dan toksin terlarut yang dilepaskan oleh bakteri kehilangan
infektivitas atau sifat patogennya setelah bereaksi dengan antibodi yang
sesuai (netralisasi).
- Antibodi yang dikomplekskan dengan antigen dapat mengaktifkan sistem
komplemen. Sembilan protein atau komponen utama yang diaktifkan
secara berurutan membentuk sistem ini. Beberapa komponen komplemen
mampu mendorong konsumsi mikroorganisme oleh sel fagosit, sementara
yang lain dimasukkan ke dalam membran sitoplasma dan menyebabkan
gangguan mereka, yang menyebabkan lisis sel mikroba yang menyerang.
- Antibodi dapat menyebabkan destruksi mikroorganisme dengan
mendorong pencernaannya oleh sel fagositik atau penghancurannya oleh
sel yang memediasi ADCC. Fagositosis sangat penting untuk eliminasi
bakteri dan melibatkan pengikatan antibodi dan komponen komplemen
ke permukaan luar agen infeksi (opsonisasi) dan pengenalan antibodi
terikat dan/atau komponen komplemen sebagai sinyal untuk ditelan oleh
sel fagosit.
- Reaksi antigen-antibodi merupakan dasar dari kondisi patologis tertentu,
seperti reaksi alergi. Reaksi alergi memiliki onset yang sangat cepat,
dalam hitungan menit, dan juga dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas
langsung (Virella, 2020).
A. Antigen

Antigen dapat didefinisikan sebagai struktur yang menghasilkan anti-


respon oleh sistem kekebalan tubuh. Jika kita mengambil contoh antigen
protein virus inti. sistem kekebalan memiliki tiga elemen yang digunakan dalam
pengikatan dan pengenalan antigen ini: antibodi, reseptor sel T dan molekul
MHC (Peakman,2009). Antigen adalah suatu substansi yang dapat dikenali
(berikatan) oleh permukaan antibodi (reseptor sel B/BCR) atau oleh reseptor sel T
(TCR) melalui perantara MHC. Kemampuan antigen untuk berikatan dengan BCR atau
TCR melalui MHC dikenal dengan istilah antigenicity. Antigen dapat berikatan dengan
BCR maupun TCR, namun tidak semua antigen dapat mengaktivasi limfosit (sel B/sel
T). Molekul yang dapat mengaktivkan respon imun disebut dengan imunogen,
sedangkan kemampuan sebuah molekul untuk mengaktivkan respon imun disebut
dengan immunogenicity. Berdasarkan respon imunnya, antigen dapat dibedakan
menjadi incomplete antigen (hapten) dan complete antigen (imunogen). Hapten
adalah molekul kecil (<20 kDa/-200 asam amino) pada umumnya merupakan molekul
non protein. Hapten dapat menginduksi respon imun spesifik apabila berikatan dengan
molekul pembawa (carrier molecule: albumin atau globulin), tanpa molekul pembawa
hapten tidak dapat menginduksi respon imun. Immunogen memiliki ukuran lebih besar
dan dapat berupa protein atau polisakarida, disebut complete antigen karena dapat
substansi tersebut dapat menginduksi respon imun tanpa bantuan molekul pembawa
(Fatmawati,2020).

a. Jenis-jenis antigen (Flaherty, D.K.,2012)


1. Antigen eksogen
Antigen eksogen masuk kedalam tubuh melalui jalur oral, pernafasan
dan parenteral. Secara umum, antigen eksogen adalah struktur
imunogenik yang diekspresikan pada bakteri ekstraseluler, jamur,
virus dan serbuk sari. Antigen eksogen ditelan oleh makrofag dan
epitop termasuk molekul kelas II ke Th2.
2. Antigen endogen
Antigen endogen dihasilkan oleh sel yang terinfeksi oleh virus, parasit
intraseluler atau sel tumor. Antigen ini diproduksi secara internal,
diproses di sitosol dan dimuat ke molekul HLA kelas I untuk diberikan
ke sel CD8. Sel CD8 yang merupakan antigen spesifik kemudian
menghancurkan sel tumor.
3. Auto antigen
Autoantigen adalah hasil mutasi, pembentukan neoantigen atau
paparan antigen diri yang sebelumnya tersembunyi.gen yang
memproduksi protein sendiri dapat bermutasi dan membuat protein
imunoogenik baru yang disebut neoantigen. Infeksi virus dan obat-
obatan dapat menciptakan neoantigen yang merangsang sistem imun.
Dalam beberapa kasus, protein auto-reaktif yang ditemukan di organ
yang berkembang di akhir kehamilan (misalnya mata dan testis) tidak
ada ketika limfosit menjalani seleksi positif dan negatif di timus.
Oleh karena itu, sel T auto-reaktif tifak dipilih untuk dihancurkan di
timus dan masuk ke darah perifer. Dalam keadaan normal
autoantigen dilindungi dari sistem kekebalan oleh hambatan anatomi
(misalnya testis), kurangnya pembuluh darah atau struktur seluler
yang memaksa sel imunokompeten untuk menjalani apoptosis
(misalnya mata). Trauma atau infeksi dapat mengekspos autoantigen
dan respon imun yang dihasilkan dapat merusak jaringan.

Penggolongan antigen terdapat lebih dari satu, diantaranya penggolongan


antigen berdasarkan fungsinya (imunogen dan hapten), berdasarkan asalnya,
berdasarkan sumbernya, klasifikasi biologis. Antigen berdasarkan asalnya dapat dibagi
menjadi 2 macam yaitu antigen exogen dan endogen (Fatmawati, 2020).
1. Antigen exogen
Merupakan antigen yang berasal dari luar sel (termasuk permukaan sel). Antigen
tersebut dapat masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi, penelanan, atau injeksi
(penyuntikan). Antigen tersebut akan didegradasi oleh sel APC (Antigen presenting
cells) kemudian “dipersembahkan” kepada sel T helper melalui menggunakan
major histocompatibility complex type II (MHC II).
2. Antigen endogen
Berasal dari dalam sel, dapat berupa produk metabolisme sel normal, atau produk
metabolisme sel yang terinfeksi virus atau infeksi patogen intraseluler. Fragmen
metabolit tersebut akan dipresentasikan oleh MHC tipe I (MHC I) kepada sel T
sitotoksik (CTL).
Antigen berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi 4 macam, diantaranya
(Fatmawati, 2020):
1. Xenoantigen
Merupakan antigen yang berasal dari spesies yang berbeda misalnya antigen
dari virus, bakteri, jamur, atau parasit
2. Alloantigen
Antigen yang berasal dari spesies yang sama tapi dari individu yang berbeda
seperti misalnya: antigen pada golongan darah ABO
3. Autoantigen
Antigen yang berasal dari individu yang sama misalnya: protein pada lensa mata
(ocular immune privilege), sel tumor, cairan cerebrospinal (CNS immune
privilege)
4. Heterophile antigen
Merupakan antigen yang memiliki kemiripan struktur pada organisme yang
berbeda. Antigen jenis ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit autoimmun
melalui mekanisme molecular mimicry. Misalnya protein M pada streptococcus
memiliki epitope yang sama strukturnya dengan membran basalis pada ginjal.

b. Antibodi
Antibodi merupakan protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B
dan terfiksasi oleh antigen. Semua molekul antibodi terdiri dari dua untaian
peptida pendek yang sama yang dikenal dengan light chain, Kappa dan lamda
yang terdiri dari 230 asam amino, sedang yang terdiri dari untaian peptida yang
panjang disebut heavy chain (immunoglobulin) yang terdiri dari 5 jenis yaitu
IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE (Bratawijaya, 2004).
Struktur Antibodi Antibodi atau yang disebut juga imunoglobulin
merupakan molekul glikoprotein yang terdiri atas komponen polipeptida
sebanyak 82-96% dan selebihnya karbohidrat. Antibodi dibentuk oleh sel
B sebagai respons atas adanya antigen yang bersifat imunologik masuk ke
dalam tubuh dan berperan dalam respons imun humoral. Antibodi yang
terbentuk bersifat spesifik terhadap antigen. Interaksi antara antigen
dengan membran antibodi pada sel B naive, menyebabkan terjadinya
respons imun humoral. Setelah disekresikan ke dalam sirkulasi darah dan
cairan mukosal, antibodi akan menetralkan dan mengeliminasi mikroba
serta toksin mikroba yang berada di luar sel inang (Hadi et al.,2020).
Antibodi memiliki dua fungsi yaitu fungsi netralisasi (mengikat
antigen) dan fungsi efektor yang diperantarai antibody. Fungsi efektor
terdiri atas netralisasi mikroba atau produknya yang toksik, aktivasi
sistem komplemen, opsonisasi antigen, lisis sel target, dan
hipersensitivitas tipe segera. Molekul antibodi dibentuk sel B dalam dua
bentuk yaitu sebagai reseptor permukaan antigen dan sebagai antibodi
yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Pengikatan antigen
harus disertai dengan fungsi efektor sekunder agar antigen terikat kuat
dengan imunoglobulin. Fungsi efektor sekunder yaitu memacu aktivasi
komplemen dan merangsang pelepasan vi tamin oleh basofil atau sel
mast. Opsonisasi'antigen oleh imunoglobulin memudahkan APC
memproses dan menyajikan antigen kepada sel T.
Antibodi/imunoglobulin dapat ditemukan dalam berbagai cairan tubuh
seperti darah, air mata, saliva, dan ASI. Imunoglobulin memiliki lima
kelas utama yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE (Hadi et al.,2020).
Antibodi adalah istilah yang kita semua sudah terbiasa. Mereka
adalah glikoprotein yang diproduksi oleh limfosit setelah stimulasi
dengan makromolekul (biasanya disebut antigen). Contoh antigen adalah
protein yang melapisi permukaan bakteri atau virus. Antibodi adalah
glikoprotein canggih yang terdapat dalam beberapa jenis berbeda
dengan fungsi yang berbeda, tetapi cukup untuk saat ini untuk
melihatnya secara sederhana sebagai molekul dengan bentuk seperti
huruf 'Y: Dua lengan yang lebih kecil identik satu sama lain dan masing-
masing membawa kemampuan untuk mengikat antigen; batang Y
memiliki situs khusus untuk interaksi dengan protein pelengkap atau
reseptor spesifik pada sel. Granulosit dan sel mast, misalnya,
mengandung reseptor untuk antibodi. Melalui interaksi dengan
komplemen dan sel, antibodi dapat memberikan sistem kekebalan
bawaan dengan kekhususan yang tidak dimiliki olehnya sendiri. Ini
berfungsi sebagai pengingat bahwa sistem kekebalan bawaan dan
didapat bekerja paling baik secara bersamaan (Peakman,2009).
Antibodi adalah glikoprotein yang di produksi oleh limfosit setelah
stimulasi dengan makromolekul (biasanya disebut antigen). Contoh
antigen adalah protein yang melapisi permukaan bakteri atau virus.
Antibodi adalah mlycoprotein canggih yang terdapat pada beberapa jenis
berbeda dengan fungsi hering. Melalui interaksi dengan komplemen dan
sel, antibodi dapat memberikan kekhususan yang tidak dimiliki sistem
imun bawaan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa sistem kekebalan
bawaan dapat bekerja paling baik secara bersamaan.

(sumber : Peakmen,2009)

Antibodi atau biasa disebut juga Imunoglobulin merupakan molekul


glikoprotein yang terdiri atas komponen polipeptida sebanyak 82-96% dan
selebihnya karbohidrat. Antibodi dibentuk oleh sel B sebagai respon atas
adanya antigen yang bersifat imunologik masuk kedalam tubuh dan
berperan dalam respon imun humoral. Antibodi yang terbentuk bersifat
spesifik terhadap antigen. Antibodi atau imunoglobulin dapat ditemukan
dalam berbagai cairan tubuh seperti darah, air mata, saliva, dan ASI.
Imunoglobulin memiliki 5 kelas utama yaitu IgG, IgA, IgM, IgD, dan IgE.
Struktur molekul antibodi seperti huruf Y dan memiliki bagian Fab dan
Fc. Bagian Fab pada antibodi akan berikatan dengan antigen, sedangkan
Fc akan berikatan dengan protein komplemen pada kelas IgA, struktur
molekulnya berupa dimerik sedangkan pada IgM berstruktur pentamerik.
Jenis-jenis antibodi
1. Immunoglobulin G (IgG) merupakan antibodi yang pertama kali terbentuk
pada saat infeksi dan banyak terdapat pada darah.
2. Immunoglobulin M (IgM) merupakan antibodi yang paling efektif dalam
proses opsonisasi dan aktivasi komplemen dan banyak terdapat dalam
darah.
3. Immunoglobulin A (IgA) merupakan antibodi yang banyak terdapat pada
lapisan epitel baik pada saluran pencernaan, pernapasan, maupun
reproduksi, dan sangat efektif dalam proses netralisasi.
4. Immunoglobulin E (IgE) merupakan antibodi yang dapat menstimulasi sel
mast untuk memproduksi mediator kimiawi yang merangsang reaksi
batuk, bersin, dan muntah, dan banyak terdapat dalam darah.
5. Immunoglobulin D (IgD) merupakan antibodi yang banyak terdapat pada
permukaan sel limfosit B yang belum matur. Fungsinya belum diketahui
dengan jelas, namun pada penelitian terlihat adanya peran antibodi ini
dalam proses inflamasi (Hadi et al., 2020).
B. Interaksi antara antigen dan antibodi
- interaksi antigen dengan membran antibodi pada sel B naive,
menyebabkan terjadinya respon imun humoral. Setelah diekskresikan
kedalam sirkulasi darah dan cairan mukosal, antibodi akan
menetralkan dan mengeliminasi mikroba secara toksin mikroba yang
berada diluar sel inang.
(sumber: Peakman,2009)
- Semua sel B mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dan Ig (Fcγ-R),
resepter ini dapat terlihat dengan menambahkan sel darah merah
biri-biri yang dilapisi antibodi IgG ke larutan sel B yang akan
membentuk roset. Sel B mempunyai reseptor komplemen yang
diaktifkan C3b. dengan demikian sel B dapat memperlihatkan
reseptornya dengan menambahkan darah biri-biri yang dilapisi C3.
EBV dapat pula diikat oleh sel B melalui reseptor spesifik (RC3d).
Adanya infeksi EBV sering menimbulkan replikasi sel B yang stabil dan
terus-menerus. Regulasi oleh antigen diperlukan untuk mengawali
respon imun dan derajat respons tersebut dipengaruhi oleh factor
genetic. Tidak semua suntikan antigen akan menimbulkan respon
imun. Oleh karena respon imun tergantung dari dosis, waktu
pemberian, sifat, komposisi antigen. (Yohana et all,2022)

C. Reseptor antigen dan molekul MHC kelas 1 dan 2


Major Histocompatibility Complex (MHC) (Virella, 2020)
Protein MHC adalah anggota dari superfamily imunoglobulin. Superfamily
ini mencangkup banyak reseptor berbeda yang memediasi interaksi sel ke
sel yang terlibat dalam respon imun, contoh yang paling menonjol adalah
reseptor antigen sel B dan sel T. Sebagian besar reseptor IgSF berbagi
struktur subunit heterodimor dasar. Domain ekstraseluler membentuk
reseptor, sedangkan domain transmembran densitoplasma menghubungkan
reseptor ke lingkungan seluler internal.
Gen MHC terletak pada 17 kromosom pada tikus dan 6 kromosom pada
manusia. Struktur dasar MHC sebagian besar dipertahankan tetapi jumlah
lokus genetik bervariasi menurut spesies. Wilayah HLA mencangkup sekitar 4
juta pasangan basa dan mencangkup lebih dari 280 lokus genetik, hanya
sekitar 15% yang mengkode antigen histokompatibilitas klasik. Molekul kelas
I dan II MHC, bertindak sebagai elemen pembatas untuk penenalan antigen
asing oleh subsets sel T α β CD8 + dan CD 4+. Ini berarti bahwa sel T harus
mengenali molekul MHC sendiri dan peptida antigenik yang diikatnya. Asam
amino polimorfik didalam dan di sekitar alur pengikatan peptida
membentuk kompleks MHC-peptides spesifik yang menampilkan antigen
antigenik asing.

(sumber: Virella, 2020)


Molekul MHC kelas 1 (Paul, 2013)
Molekul MHC kelas 1 adalah glikoprotein membran yang di ekspresikan pada
sebagian besar sel, yang terdiri dari rantai kira-kira 45.000 dalton yang
secara non kovalen terkait dengan α2 mikroglobulin, molekul 12.000 dalton.
Gen untuk rantai α dikodekan dalam MHC, sedangkan untuk β2 globulin
tidak. Rantai α sangat polimorfik dengan polimorfisme yang ditemukan
terutama di daerah yang merupakan situs pengikatan untuk peptida turunan
antigen dan yang merupakan situs kontak untuk TCR. Kelas 1 rantai terdiri
dari 3 wilayah ekstra seluler atau domain masing-masing dengan panjang
yang sama, ditunjuk dengan α1, α2 dan α3. Selain itu rantai memiliki
membran utama dan ekor sitoplasma terminal karboksi pendek.

Gambar 1: struktur MHC kelas I


(Sumber: Paul,2013)
Produk MHC (Rahim et al,2011)
Respon imun terhadap antigen asing ditentukan oleh ekspresi molekul MHC
spesifik yang dapat mengikat dan menyaji- kan fragmen peptida
protein/antigen terse- but pada sel T. Oleh karena molekul MHC terdapat
pada membran dan tidak disekresi, maka limfosit T hanya dapat mengenali
antigen asing bila terikat pada permukaan sel lain.1 Sebagai sel penyaji
antigen, sel Langerhans memperlihatkan ekspresi kuat dari seluruh gen MHC
kelas II.1

(Sumber : Rahim et al,2011)


Jalur penghantaran antigen ekso- gen pada molekul MHC kelas II.
MHC kelas II yang baru disintesis berasosiasi dengan sebuah rantai invarian
yang menghambat disosiasi molekul MHC kelas II belum terikat antigen dan
meng- angkut molekul MHC kelas II dari reti- kulum endoplasma ke
kompartemen endo- somal khusus sehingga molekul MHC da- pat
berinteraksi dengan fragmen peptida antigen.
D. Aktivasi sistem imun alami melalui komplemen dan fungsi biologis
aktivasi komplemen ()
Komplemen (Peakman,2009)
Komplemen dijelaskan pada pergantian abad selama studi tentang sifat
reaksi imun terhadap bakteri dalam serum. Serum yang dikeluarkan oleh
hewan yang telah terinfeksi mikroorganisme selanjutnya dapat menggumpal
dan kemudian melisiskan bakteri yang sama dalam tabung reaksi. Lisis
tetapi bukan aglutinasi, dihambat dengan pemanasan awal serum pada 56°C
selama 30 menit. Aktivitas lsiis dapat dibentuk kembali menggunakan serum
segar dari hewan yang sebelumnya tidak terpapar bakteri. Oleh karena itu,
faktor labil panas tanpa spesifitas untuk suatu organisme sangat penting
untuk lisisnya.

(sumber: Peakmen,2009)
- Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein serum yang terutama
dibuat di hati.
- Komplemen membentuk kaskade protein, masing-masing komponen
teraktivasi mengkatalisis aktivasi beberapa molekul komponen berikutnya,
menyebabkan amplifikasi respon.
- Konsekuensi dari aktivasi komplemen adalah lisis sel, produksi mediator
pro inflamasi dan solubilisasi kompleks antigen antibodi.
Sistem komplemen
Sistem komplemen adalah mekanisme pertahanan utama humoral
nonspesifik, yaitu suatu sistem yang terdiri atas lebih dari 20 protein yang
dengan berbagai cara dapat diaktifkan untuk merusak bakteri. Sekali
diaktifkan maka komplemen dapat memicu peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, rekrutment sel-sel fagositik, lisis dan opsonisasi bakteri.
Sistem komplemen menyelubungi mikroba dengan molekul-molekul yang
membuatnya lebih mudah ditelan oleh fagosit. Mediator permeabilitas
vaskuler meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga dapat menambah
aliran plasma dan komplemen ke lokasi infeksi, juga mendorong marginasi
(fagosit menempel di dinding kapiler). Sekali fagosit bekerja, mereka akan
mati. Sel-sel mati ini bersama jaringan rusak dan air membentuk pus.

Aktivasi Komplemen (Peakman,2009)


Aktivasi sistem komplemen terjadi melalui 3 jalur yang berbeda yaitu
alternatif, lektin pengikatan klasik dan mannan. Ini bertemu untuk cara
jalur umum terakhir, yang menyediakan sebagian besar aktivitas biologis.
Jalur lektin alternatif, klasik dan pengikat mannan terdiri dari 3 kaskade
enzim berbeda yang berujung pada pembelahan C3 dan C5. Pembelahan C3
menghasilkan konsekuensi biologis yang penting, sementara pemecahan C5
mencapai hal yang sama disamping itu memicu stimulus ke jalur umum
akhir. Jalur lektin pengikatan mannan, klasik dan asli memiliki kemiripan
yang mencolok terutama dalam hal struktur protein (misalnya C2 dan B, Cl q
dan lektin pengikat mannan) yang diperkirakan muncul dari aplikasi gen
yang terjadi selama evolusi kaskade. Namun jalur nya dipicu oleh zat yang
berbeda dan melalui mekanisme inisiasi yang berbeda.
Sistem komplemen adalah sistem kompleks enzim proteolitik, protein
pengatur dan inflamasi serta peptida, reseptor permukaan sel, dan protein
yang mampu menyebabkan lisis sel. Sistem ini dapat dianggap terdiri dari
tiga susunan protein. Dua dari set protein ini, ketika terlibat menyebabkan
aktivasi komponen ketiga komplemen (C3). Aktivasi C3 melepaskan protein
yang penting untuk opsonisasi (persiapan untuk fagositosis) bakteri dan
partikel lain, dan melibatkan set ketiga protein yang masuk ke dalam
membran biologis dan menghasilkan kematian sel melalui lisis osmotik.
Selain itu, fragmen yang dihasilkan dari beberapa komponen komplemen
(misalnya, C3a dan C5a) memiliki aktivitas inflamasi yang kuat (Paul, 2013).

Sumber : (Paul, 2013).


Jalur Klasik Aktivasi Pelengkap
Dua sistem aktivasi untuk C3 disebut sebagai jalur klasik dan jalur
alternatif. Jalur klasik diprakarsai oleh pembentukan kompleks antigen
dengan antibodi IgM atau IgG. Hal ini menyebabkan pengikatan komponen
pertama komplemen C1, dan aktivasinya, menciptakan C1 esterase yang
dapat membelah dua komponen berikutnya dari sistem komplemen, C4 dan
C2.
C4 adalah molekul trimerik, terdiri dari rantai α, β, dan γ. C1 esterase
memotong rantai, melepaskan C4b, yang mengikat permukaan di sekitar
kompleks antigen/antibodi/C1 esterase. Satu molekul C1 esterase akan
menyebabkan pengendapan beberapa molekul C4b.
C2 adalah rantai polipeptida tunggal yang mengikat C4b dan kemudian
secara proteolitik dibelah oleh C1 esterase, melepaskan C2b. Kompleks yang
dihasilkan dari bagian residu C2 (C2a) dengan C4b (C4b2a) adalah protease
serin yang substratnya adalah C3. Pembelahan C3 oleh C4b2a (juga disebut
sebagai jalur klasik C3 convertase) menghasilkan pelepasan C3a dan C3b.
Kompleks antigen/antibodi tunggal dan C1 esterase yang terkait dapat
menyebabkan produksi sejumlah besar C3 convertase (yaitu, kompleks
C4b2a) dan dengan demikian memecah sejumlah besar molekul C3.
Komponen jalur klasik dapat diaktifkan oleh mekanisme yang berbeda dan
tidak bergantung pada antibodi, yang disebut jalur lektin. Lektin pengikat
mannose (MBL) diaktifkan dengan mengikat (dan dihubungkan silang oleh)
residu gula berulang seperti N-acetylglucosamine atau mannose. Aktivasi
MBL merekrut protease serin terkait MBL MASP-1 dan MASP-2, yang
membelah C4 dan C2 dan mengarah pada pembentukan jalur klasik C3
convertase. Karena kapsul dari beberapa mikroba patogen dapat diikat oleh
MBL. Jalur lektin menyediakan mekanisme antibodi-independen melalui
sistem pelengkap yang dapat diaktifkan oleh mikroorganisme asing (Paul,
2013).
E. Definisi, jenis dan fungsi sitokin dalam aktivasi respon imun alamiah
dan adaptif (Hadi,2020)
SITOKIN
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respon terhadap mikroba
dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur aksi imunologik dan
reaksi inflamasi. Sifat umum sitokin :
a. Langsung
1. Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi)
autoregulasi (fungsi autokrin);
2. Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin).
b. Tidak langsung
1. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama
dengan sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme);
2. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme).
Sitokin yang berperan pada imunitas nonspesifik dan spesifik
umumnya diproduksi oleh berbagai sel dan bekerja terhadap sel
sasaran yang berbeda, meskipun tidak mutlak. Berbagai sitokin yang
diproduksi dapat menunjukkan reaksi yang tumpang tindih. Sitokin
diproduksi makrofag dan sel NK yang berperan pada inflamasi dini,
merangsang poliferasi, diferensiasi dan aktivasi sel efektor khusus
seperti makrofag. Sedangkan pada imunitas spesifik, sitokin yang
diproduksi sel T mengaktifkan sel-sel
Jenis-jenis sitokin:
1. Pada imunitas nonspesifik : TNF, IL-1, IL-6, IL-10, IL-12, IFN tipe 1, IL-
15, IL-18 dan IL-33.
2. Pada imunitas spesifik : IL-2, IL-4, IL-5, IFN-Υ, TGF-β, Limfotoksin, IL-
13, IL-16, IL-17, IL-23, IL-25, IL-31, IL-9.
a. Interferon gamma (IFN- Υ)
Interferon gamma merupakan sitokin utama MAC dan berperan terutama
dalam imunitas non spesifik dan spesifik seluler. IFN-Υ disebut interferon
type 2 yang diproduksi oleh sel Th 1 dan sel NK. IFN-Υ merupakan aktivator
utama makrofag. Aktivitas ini mengaktifkan makrofag untuk melawan
patogen intraseluler yang invasif.
b. Interleukin 4 (IL-4)
IL-4 dahulu disebut BSF-1, diproduksi oleh sel T, mastosit, dan sel B CD 5 +.
IL-4 merupakan sitokin antiinflamasi yang menstimulasi respon imun
humoral untuk melawan patogen ekstraseluler. Sumber utama IL-4 adalah
sel T CD 4+, khususnya Th2 bahkan produksi IL-4 dianggap sebagai kriteria
untuk mengklasifikasikan sel T dalam golongan sel Th2. IL-4 berfungsi faktor
pertumbuhan autokrin bagi sel Th2. IL-4 merangsang sel B meningkatkan
produksi IgG dan IgE dan meningkatkan ekspresi MHC II dan merangsang
isotipe sel B dalam pengalihan IgE.
c. Interleukin 10 (IL-10)
Fungsi utama IL-10 menghambat produksi beberapa jenis sitokin (TNF,IL-1,
kemokin, dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dalam membantu
aktivasi sel T. IL-10 dapat bekerja sama dengan sitokin lain untuk
merangsang poliferasi sel B dan sel mastosit pada mukosa.
d. Interleukin 12 (IL-12)
IL-12 merupakan penginduksi yang poten untuk produksi IFN-y oleh sel T dan
sel NK.
e. Sel T CD4 dan sel T CD8
Sel T CD4 merupakan jenis sel T helper yang disintesis dalam kelenjar
timus. Sel ini akan terbawa oleh sirkulasi daah hingga masuk dalam limfa
dan bermigrasi dalam jaringan limfatik, kemudian bermigrasi kembali dalam
sirkulasi darah, hingga suatu saat terjadi stimulasi oleh antigen tertentu
dengan ikatan pada molekul MHC kelas II sedangkan sel T CD8 merupakan
sel T sitotoksik yang dapat menghancurkan sel tumor dan sel yang terinfeksi
virus serta dapat pula menyerang sel dan jaringan yang di transplantasikan.

Fungsi Sitokin :
Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh makrofag
adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi limfosit
spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan
monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi,
akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi
adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri
tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan B
yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin
dalam jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat
membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri
ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri Gram-
negatif yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang
progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator
yang paling berperan pada syok endotoksin ini (Munasir, 2016).
Sitokin
Sitokin merupakan sel-sel sistem kekebalan yang dimediasi melalui produksi
satu set protein kecil yang disebut sebagai sitokin. Protein ini sekarang
dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu :
1. Sitokin atau hematopoeitin tipe I yang mencakup banyak interleukin
yaitu : IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-7, IL-9, IL-11, IL -12, IL 13, IL-15, IL-
21, IL-23, dan IL-27.
2. Serta beberapa factor pertumbuhan hematopoietic, sitokin tipe II :
termasuk interferon dan IL-10; molekul terkait TNF, termasuk TNF,
limfotoksin, dan ligan Fas; Anggota superfamili Ig, termasuk IL-1, IL-18,
IL-33, IL-36, dan IL-37; dan chemokin, keluarga besar molekul yang
memainkan peran penting dalam berbagai fungsi imun dan inflamasi. IL-
17 dan turunannya, termasuk IL-25, merupakan kumpulan sitokin yang
unik secara structural.
Banyak dari sitokin adalah produk sel T yang merupakan salah satu cara
di mana berbagai fungsi sel T dimediasi. Kebanyakan sitokin bukanlah
produk konstitutif dari sel T. Sebaliknya, mereka diproduksi sebagai
respons terhadap aktivasi sel T, biasanya dihasilkan dari presentasi
antigen ke sel T oleh APC bersama dengan aksi molekul kostimulatori,
seperti interaksi CD80/86 dengan CD28. Meskipun sitokin diproduksi
dalam jumlah kecil, mereka kuat, mengikat reseptor mereka dengan
konstanta kesetimbangan sekitar 10 10 M-1. Dalam beberapa kasus, sitokin
secara terarah disekresikan ke dalam sinapsis imunologis yang terbentuk
antara sel T dan APC. Dalam kasus seperti itu, sitokin bertindak secara
parakrin. Banyak sitokin memiliki aksi terbatas pada jarak dari sel yang
menghasilkannya. Hal ini tampaknya terutama berlaku untuk banyak
sitokin tipe I. Namun, sitokin lain bertindak dengan difusi melalui cairan
ekstraseluler dan darah ke sel target yang jauh dari produsen.
Diantaranya adalah sitokin yang memiliki efek pro inflamasi, seperti IL-
1, IL-6, dan TNF, dan kemokin, yang memainkan peran penting dalam
mengatur migrasi limfosit dan jenis sel lainnya (Paul, 2013).
8. Aplikasi klinis imunologi meliputi penyakit yang disebabkan oleh sistem
imun.
Peran sistem kekebalan tubuh beserta implikasinya (Abbas, 2004)

Peran sistem kekebalan tubuh Implikasi


Pertahanan terhadap infeksi Imunitas yang kurang menghasilkan
peningkatan kerentanan terhadap
infeksi. Contoh : AIDS
Vaksinasi dapat meningkatkan
pertahanan kekebalan dan
melindungi dari infeksi.
Pertahanan terhadap tumor Potensi untuk imunoterapi kanker
Kontrol regenerasi jaringan dan Perbaikan jaringan yang rusak
jaringan parut
Sistem kekebalan dapat melukai sel Respon imun adalah penyebab
dan dapat menyebabkan alergi,autoimun dan penyakit
peradangan patologis inflamasi lainnya.
Sistem kekebalan tubuh mengenali Respon imun adalah hambatan
dan merespon cangkok jaringan dan untuk tranplantasi dan terapi gen.
protein yang baru dikenalkan

A. Autoimun
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh hilangnya toleransi.

Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang


disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan selftolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun
ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen (Baratawijaya, 2006). Autoimun
terjadi karena self-antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta
diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan
jaringan dan berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat
berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun, seperti Rheumatoid arthritis
(RA) dan Systemic lupus erythematosus (SLE).

Rheumatoid arthritis (RA)


Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronis inflamasi sistemik yang
dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama menyerang
sendi fleksibel (sinovial). Penyakit ini di Indonesia sering juga disebut rematik
saja. Penyakit RA mengenai sendi pergelangan tangan, lutut, bahu,
metakarpal-phalangeal. Penyakit ini merupakan penyakit progresif, biasanya
mempunyai potensi untuk menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan
fungsional. Penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia
dan lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria (Price et al., 2003).

Ditemukan antibodi yang khas disebut rheumatoid faktor yang bereaksi


dengan antigen membentuk kompleks imun yang ditemukan pada synovial dan
cairan pleura. Ada kecenderungan timbulnya penyakit RA ini dapat diwariskan
secara genetik. Ada dugaan infeksi tertentu atau lingkungan dapat memicu
pengaktifan sistem kekebalan tubuh pada individu yang rentan. Serangan RA
sering terjadi pada umur 25 sampai 35 tahun; prevalensi tertinggi antara umur
35 sampai 55 tahun (Branch and Poster, 2000; Cunningham et al., 2001).

Rheumatoid arthritis bukan merupakan penyakit yang mendapat perhatian


seperti penyakit jantung, kanker dan AIDS, tetapi merupakan masalah
kesehatan yang terjadi di mana-mana. Fakta statistik adalah sebesar 14,3% dari
populasi Amerika Serikat menderita RA. Data di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa prevalensi tertinggi dari RA adalah pada suku Indian dibanding dengan
suku non Indian. Lebih dari 36 juta penduduk Amerika menderita 1 dari 100
jenis. Di Indonesia diperkirakan kasus rheumatoid berkisar antara 0,1% sampai
dengan 0,3% di kelompok orang dewasa dan 1:100 ribu jiwa dikelompok anak-
anak (Price et al., 2003).
Penderita penyakit Rheumatoid arthritis mempunyai masalah dalam
menjaga aktivitasnya. Kemampuan tersebut meliputi berdiri, berjalan, bekerja,
makan, minum dan lain sebagainya. Kemampuan aktivitas seseorang
berhubungan dengan sistem persyarafan dan sistem muskuloskeletal. Penyakit
ini dapat mengakibatkan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari
seutuhnya. Keterlibatan tangan akibat RA sering dijumpai (Widiani et al.,
2012). Dilaporkan bahwa 90% penderita RA mengeluhkan masalah pada tangan.
Keterlibatan sendi pergelangan tangan hampir selalu dijumpai (Widiani et al.,
2012).

Systemic lupus erythematosus (SLE)


Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang
idiopatik, dengan manifestasi klinik yang kompeks mengenai kulit, sendi, ginjal,
paruparu, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ tubuh yang lain.
Kelainan ini dapat menyebabkan kematian (Kahlenberg and Kaplan. 2011). Gejala yang
paling sering ditemukan adalah kelelahan. Demam, penurunan berat badan, myalgia
dan arthralgia juga merupakan gejala yang sering ditemukan (Branch and Potter,
2000).
Prevalensi penyakit ini berkisar 5-100 per 100.000 individu, wanita dewasa
mempunyai kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk menderita penyakit ini
dibandingkan dengan pria. Populasi tertentu mempunyai prevalensi yang lebih tinggi,
misalnya pada wanita Amerika turunan Afrika prevalensinya tiga kali lebih tinggi
dibanding dengan wanita turunan Kaukasia. Predisposisi genetik untuk SLE mencakup
beberapa faktor. Kejadian SLE berkisar 5-12% pada keluarga penderita SLE, pada
penderita yang kembar monozigot kejadiannya lebih dari 50%. Sejumlah petanda
genetik ditemukan lebih sering pada penderita SLE dibanding kelompok kontrol,
meliputi HLAB8, HLA-DR3 dan HLA-DR2. Penderita SLE juga mempunyai frekuensi
defisiensi protein komplemen C2 dan C4 yang lebih tinggi (Cunningham et al., 2001).
SLE adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan
gambaran klinis dapat akut atau kronik eksaserbasi yang dimediasi oleh adanya
autoantibodi dalam tubuh. Neuropeptide substance P, sitokin proinflamasi seperti IL-
1dan IL-6 merupakan mediator yang penting dalam peradangan pada lupus
erytematosus. Pada stres akan terjadi peningkatan CRH, yang secara langsung dapat
menginduksi sintesis substance P serta meningkatkan pelepasan sitokin proinflamasi
oleh sel Th1, sehingga stres dapat merupakan faktor risiko atau memperberat keadaan
lupus erythematosus. Penyakit SLE dapat menyebabkan lesi pada kulit, glomerulus
ginjal, dinding pembuluh darah, dan tempat-tempat yang lain. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya auto-antibodi yang dikenal dengan antinuclear antibody, yang bereaksi
dengan berbagai bahan kandungan inti termasuk DNA. Antibodi ini tidak sitotoksik, dan
mungkin tidak merusak sel normal. Akan tetapi apabila mengalami kehancuran,
antigen nukleus akan dilepaskan dan akan membentuk kompleks imun dengan auto
antibodi (Underwood, 2002).
Prognosis dan harapan hidup penderita SLE terus membaik dalam dua dekade
terakhir. Diagnosis dini, spesifitas autoantibodi baru, dan perbaikan teknik serologik
telah memperbaiki prognosis SLE. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
peningkatan pengetahuan tentang SLE, perbaikan pelayanan kesehatan, serta
pemakaian obat antiinflamasi, imunosupresor dan imunonodulator (Musai, 2010).

TELOMER DAN IMUNITAS


Telomer adalah bagian ujung kromosom yang berfungsi untuk integritas
kromosom dan replikasi seluler. Telomer menjaga agar antar kromosom tidak saling
bergandengan dan untuk menjaga keutuhan genom (materi genetik) selama
perkembangan sel (Greider and Blackburn, 1996; Weng, 2012). Telomer ini akan
memendek setiap kali sel membelah dan pada panjang tertentu, sel akan berhenti
membelah, atau yang disebut sel yang menua yang selanjutnya akan mati (Greider and
Blackburn, 1996; Weng, 2012).
Pada sel mamalia, telomer terdiri dari replikasi (pengulangan) heksanukleotida
(TTAGGG), bersama-sama dengan protein yang terkait banyak. Dengan tidak adanya
mekanisme kompensasi, sel membelah diri mengalami erosi telomer secara bertahap
sampai tingkat kritis memperpendek menyebabkan kelainan kromosom dan kematian
sel atau penuaan. Untuk sel T dan sel B, kemampuan untuk mengalami pembelahan sel
yang luas dan ekspansi klonal sangat penting untuk fungsi kekebalan tubuh yang efektif
(Hodes et al., 2002).
Sejumlah kelainan genetik pada manusia dan pada model binatang diketahui
dapat menyebabkan pemendekan telomer yang dipercepat, yang pada gilirannya
menyebabkan kelainan fenotip. Panjang telomer, paling sering diukur sebagai nilai
rata-rata dalam populasi heterogen leukosit darah perifer pada manusia, telah
dikaitkan dengan berbagai kondisi kesehatan dan penyakit kekebalan dan non-imun
(Weng, 2012).
Kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk merespon secara efektif terhadap
antigen sangat bergantung pada sinyal yang mengatur differensiasi dan proliferasi
antigen limfosit yang spesifik. Limfosit dapat mengekspresikan telomerase pada tahap-
tahap perkembangan dan aktivitas tertentu. Misalnya sumsum tulang dan timosit
mengekskresikan telomerase sedang kan limfosit T yang dalam keadaan istirahat tidak
mengekspresikan telomerase, dan baru akan mengekspresikan telomerase jika ada
rangsangan. Pada respon imun adaptif ada dua jenis limfosit, yaitu limfosit T dan
limfosit B (sel B dan sel T). Sel T dapat dibagi lagi menjadi T helper (CD4) dan sel T
sitotoksik (CD 8). Sel T helper (CD4) bertanggung jawab untuk memfasilitasi
kemampuan sel T sitotoksik CD8 untuk membunuh sel-sel target yaitu sel patogen
intraseluler. Sedangkan kemampuan sel B untuk memproduksi antibodi yang mengenali
dan memfasilitasi penghancur sel patogen yang berikutnya (Weng, 2006).
Selama dekade terakhir, telah banyak dipelajari peran telomere dan telomerase
dalam diferensiasi dan fungsi limfosit dalam kondisi normal. Hal ini juga menimbulkan
pertanyaan mengenai peran telomer dalam fungsi limfosit selama dalam proses
penuaan in vivo. Berdasarkan analisis cross-sectional, tingkat pemendekan telomer
adalah berkisar 20 sampai 60 bp / tahun pada limfosit orang dewasa normal. Selama
80 tahun hidup, pengurangan telomer sekitar 2-5 kb dalam limfosit ditambah hilangnya
1-2 kb dalam awal kehidupan. Dengan demikian mengurangi panjang telomer pada
kisaran 3-5 kb selama diproyeksikan berdasarkan crosssectional analysis, dengan
asumsi bahwa ratarata panjang telomer awal adalah 10 kb. Pertanyaan penting yang
diajukan oleh temuan ini adalah apakah panjang telomer yang tersisa cukup untuk
mempertahankan fungsi telomer dalam limfosit? Studi lebih lanjut diperlukan,
terutama analisis longitudinal panjang telomer dan aktivitas telomerase, untuk lebih
memahami peran telomer dalam fungsi limfosit selama proses penuaan in vivo (Weng,
2008).
Penemuan cacat genetik dalam gen TERC (telomerase RNA template) dan TERT
(telomerase reverse transscriptase) menunjukkan peran penting dari telomerase dalam
proliferasi sel hematopoietik dan pertumbuhan. Analisis individu yang mengalami stres
psikologis yang berkepanjangan juga menunjukkan adanya penurunan fungsi limfosit
pada individu-individu yang berhubungan dengan pemendekan telomer yang
dipercepat (Weng, 2008). Pada sel-sel imun yang mengalami penuaan dapat terjadi
gangguan pada sistem imun. Pada kasus ini diketahui, bahwa telomer mengalami
pemendekan yang nyata (Miller, 2000).
autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah
mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia
justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi
adanya penyakit autoimmun tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan
tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh
akibat kekebalan yang terbentuk. Ada dua teori utama yang menerangkan
mekanisme terjadinya penyakit autoimun. Pertama, autoimun disebabkan oleh
kegagalan pada delesi DNA limfosit normal untuk mengenali antigen tubuh
sendiri. Kedua, autoimun disebabkan oleh kegagalan regulasi normal sistem
imunitas (yang mengandung beberapa sel imun yang mengenali antigen tubuh
sendiri namun mengalami supresi). ( Purwaningsih E, 2013)
Autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan selftolerance sel B, sel T atau keduanya. Potensi autoimun
ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapat mengeskpresikan
reseptor spesifik untuk banyak self antigen. Autoimun terjadi karena self-
antigen dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi serta diferensiasi sel T
autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan
berbagai organ. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan
dalam pathogenesis penyakit autoimun, seperti Rheumatoid arthritis (RA) dan
Systemic lupus erythematosus (SLE). ( Purwaningsih E, 2013)
Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronis inflamasi sistemik yang
dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi terutama menyerang
sendi fleksibel (sinovial). Penyakit ini di Indonesia sering juga disebut rematik
saja. Penyakit RA mengenai sendi pergelangan tangan, lutut, bahu,
metakarpal-phalangeal. Penyakit ini merupakan penyakit progresif, biasanya
mempunyai potensi untuk menyebabkan kerusakan sendi dan kecacatan
fungsional. Penyakit ini telah lama dikenal dan tersebar luas di seluruh dunia
dan lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria ( Purwaningsih E, 2013)
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi kronik
yang idiopatik, dengan manifestasi klinik yang kompeks mengenai kulit, sendi,
ginjal, paruparu, membrana serosa, sistem saraf, hati dan berbagai organ
tubuh yang lain. Kelainan ini dapat menyebabkan kematian (Kahlenberg and
Kaplan. 2011). Gejala yang paling sering ditemukan adalah kelelahan. Demam,
penurunan berat badan, myalgia dan arthralgia juga merupakan gejala yang
sering ditemukan ( Purwaningsih E, 2013)

1. Penyakit autoimun sistemik

Penyakit Area yang Tanda dan gejala


terpengaruh
Anemia hemolitik Sel darah merah Anemia, splenomegali,
autoimun hiperbilirubinemia dan
kelelahan
Pemfigoid bulosa Kulit, lebih sering di vesikula besar berisi
lengan, kaki dan airan, dasar eritematosa
kelompok otot pada dan bengkak.
batang tubuh
Syndrom good pasture Paru-paru dan ginjal Sesak nafas, hemoptisis,
kelelahan, edema dan
pruritus
Polymyalgia Kelompok otot besar Sakit dan aku kelelahan,
rheumatica terutama leher, penurunan berat badan
bahu, lengan atas, yang tidak disengaja dan
paha dan pinggul anemia
Arthiritis rheumatoid Jantung, paru-paru, Demam, kelelahan, nyeri
persendian, saraf sendi dan kekakuan,
dan kulit deformitas sendi, sesak
nafas, nyeri dada,
edema, hilangnya sensasi
dan ruam.
Lupus eritematosus Otak, jantung, paru- Kelelahan, lemas dan
sistemk (lupus) paru, ginjal, pusing, sesak nafas, nyeri
persendian, sel dada, pruritus, ruam
darah dan kulit kulit, ruam kupu-kupu di
wajah dalam beberapa
kasus.
Temporal arthritis – Arteri kepala dan Dapat mempengaruhi
giant cell artheritis leher semua pembuluh darah
dalam tubuh. Gejala
bervariasi tergantung
lokasi.
Granulomatosis Sinus hidung, paru- Dapat menyebabkan
wegener (suatu bentuk paru dan ginjal kerusakan organ dan
vaskulitis) mengancam nyawa jika
tidak ditangani.

2. Penyakit autoimun lokal

Penyakit Area yang terpengaruh Tanda dan gejala


Penyakit addison Kelenjar adrenal Perkembangan lambat,
kelelahan, kelemahan
otot, pusing, diare,
diaghoresis, hipotensi
ortostatik,
hiperpigmentasi kulit.
Celiac dissease Saluran cerna Intoleransi produk
gluten, gangguan
penyerapan nutrisi,
sakit perut, diare
kronis, muntah,
penurunan berat
badan, kotoran pucat
berbau busuk dan
berlemak.
Crohn Ileum dan permulaan Diare terus menerus,
usus besar pendarahan rektal,
demam, kehilangan
nafsu makan dan tinja
berdarah
Graves Kelenjar tiroid Takikardia, tremoe,
(hypertiroidisme) gugup, penurunan
berat badan,
intoleransi terhadap
panas.
Syndrom guillain-barre Sistem saraf tepi Ascending paralysis
dimulai di kakai, di
lengan lalu di wajah.
Tyroiditis hashimoto Kelenjar tiroid Berat badan
(hypotiroidisme) bertambah, kulit kasar,
mengantuk, intoleransi
terhadap dingin.
Multiple scelerosis Otak dan sumsum Sensasi abnormal,
tulang belakang kelemahan,
vertigo,gangguan
penglihatan dan kejang
otot.
Myasthenia gravis Hubungan antara saraf Otot melemah dan
dan otot (sambungan melelah terutama mata
neuromuskular)
Anemia pernisiosa Sel-sel tertentu di Anemia menyebabkan
(defisiensi B12) perut produksi sel darah
matang yang tidak
memadai dan
pemeliharaan sel saraf
dan menyebabkan
kelelahan dan
kelemahan saraf bisa
rusak yang
mengakibatkan
hilangnya sensasi.
Sirosis bilier primer, hati Lebih sering terjadi
sklerosis primer pada wanita kolestasis
kolangitis, hepapatitis kronis, yang
autoimun menyebabkan
kerusakan saluran
empedu yang lebih
keil, kelelahan,
pruritus, hepatomegali,
ikterus,
hiperpigmentasi

3. Penyakit autoimun campuran sistemik dan lokal

penyakit Area yang terpengaruh Tanda dan gejala


esceleroderma Terlokalisasi : kulit Kulit dan jaringan ikat
mengencang dan
mengeras
Syndrom esjogren Kelenjar ludah, Mata dan mulut kering,
kelenjar lakrimal dan penyakit gusi, karies
sendi gigi
B. HIPERSENSITIVITAS
Hipersensitivitas adalah refleksi dari respn imun yang berlebihan dapat
terjadi pada dua situasi yaitu 1). Respon terhadap antigen asing (mikroba dan
antigen lingkungan non infeksius) yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya bila reaksinya berulang dan tidak terkontrol. 2). Respon imun dapat
bekerja langsung terhadap antigen diri sendiri (autolog) sebagai akibat
kegagalan toleransi diri (Abbas,2014).
Hipersensitivitas adalah suatu respon antigenik yang berlebihan, yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah mengalami suatu sensitisasi
dengan antigen atau alergen tertentu. Berdasarkan mekanisme reaksi
imunologik yang terjadi, Gell & Coombs membagi reaksi hipersensitivitas
menjadi 4 golongan, yaitu : Pertama, Tipe I (reaksi anafilatik). Reaksi anafilatik
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe cepat klasik. Anafilaksis dipengaruhi
oleh regain misalnya anafilaksis, atropi dan lain-lain. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe I turut berperan serta IgG, IgE, dan Histamin. Kedua, Tipe
II (reaksi sitotoksik). Reaksi ini pada umumnya terjadi akibat adanya aktifasi
dari sistem komplemen setelah mendapat rangsangan dari adanya komleks
antigen antibody. IgG, IgM, dan komplemen berperan dalam reaksi
hipersensitivitas tipe II. Ketiga, Tipe III (reaksi kompleks imun). Pada reaksi
hipersensitivitas tipe III terjadi kerusakan yang disebabkan oleh kompleks
antigen antibody. Pada reaksi ini berperan IgG, IgM, dan komplemen. Keempat,
Tipe IV (reaksi tipe lambat). Hipersensitivitas tipe lambat atau yang
dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu aspek imunitas yang dipengaruhi
oleh sel (Riwayati, 2015).
Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II). Antibodi IgG dan IgM
yang berikatan pada antigen sel atau jaringan menstimulasi fagositosis sel-sel
tersebut, menyebabkan reaksi inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel
lisis dan fragmen komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya
reaksi, juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada reseptor
sel organ tersebut. Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi
dan membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada pembuluh
darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe III).
Kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh pengumpulan lekosit dan reaksi
inflamasi (Riwayati, 2015).

Type Mekanisme Mekanisme cedera contoh


hipersensitivitas imun patologik jaringan dan
penyakit
Hipersensitivitas Sel Th2, Mediator dari sel Rhinitis alergi,
cepat (type 1) antibodi IgE, mast (a-vasoaktif, sinusitis, alergi
sel mast dan mediator lipid, makanan, asma
eusinofil sitokin). Inflamasi bronkial,
diperantarai anafilaksis.
sitokin (eusinofil,
neutrofil dan
limfosit)
Diperantarai Antibodi IgM, Pengarahan dan Anemia hemolitik
antibodi (type 2) IgG, melawan aktivasi leukosit autoimun, purpura
antigen (beutrofil, trombositopenik
permukaan sel makrofag) autoimun
atau matriks diperantarai (ideopatik),
ekstraseluler komplemen dan syndrom good p
reseptor Fe asture, penyakit
oksonisasi dan graves
fagositosis sel (hypertiriodisme),
kelainan fungsi myastenia gravis,
seluler (misalnya: pemvigus vulgaris,
hormon atau anemia pemisiosa,
pensinyalan demam rematik.
reseptor
neurotransmiter)
Diperantarai Kompleks imun Pengarahan dan Lupus eritematus
kompleks imun dari antigen aktivasi leukosit sistemik,
(type 3) dalam darah diperantarai poliartritis
dan antibodi komplemen dan nodosa, glomerulo
IgM atau IgG reseptor fc dan nefritis post
terdeposit di kerusakan jaringan streptococcus,
membran karena gangguan serum sickness
basalis vaskuler aliran darah (klinis dan
eksperimental),
reaksi arthus
(eksperimental)
Diperantarai sel T Sel T CD4 1. Aktivasi Multiple sklerosis,
(type 4) (inflamasi makrofag, arthitis
diperantarai inflamasi rheumatoid, DM
sitokin) dan diperantarai type 1, penyakit
CTLs CD8 sitokin cron, sensitivitas
(sitolisis 2. Lisis sel kontak (misalnya
diperantarai sel target reaksi poisonivy),
T) langsung, infeksi kronik
inflamasi (misalnya
diperantarai tuberculosis),
sitokin hepatitis virus
(HBV, HCV).
Penyakit yang
diperantarai super
antigen (toksik
shock syndrom)

C. IMUNODEFISIENSI
Imunodefisiensi merupakan penyakit dengan produksi antibodi dan sel
imun yang tidak mencukupi gangguan ini bisa alami atau adaptif. Kekurangan
dalam sistem imun meninggalkan tubuh tidak dapat melawan mikroba atau
racun asing.
Penyakit imunodefisiensi primer (primary immuodeficiency disease / PID)
merupakan keadaan terjadinya defek system imun yang disebabkan mutase
pada kode genetic yang mengkode komponen-komponen penyusun system imun
tubuh (Erjaee, et al., 2019). Hal ini berbeda dari kelompok kelainan
imunodefisiensi sekunder, yang disebabkan faktor-faktor eksternal seperti
obat-obatan, infeksi mikroorganisme, malnutrisi, kelainan metabolisme, dan
trauma. Kelainan ini tergolong jarang atau langka namun menurunkan kualitas
hidup atau bahkan bisa juga mengancam nyawa bagi penderita penderitanya.
Terapi denitif yang tersedia hingga kini pun juga masih terbatas dan berbiaya
tinggi (Patient 2021).

1. Defisiensi

Gangguan fungsi sistem imun Penyakit yang menyertai


Sel B Infeksi bakteri rekuren seperti otitis
media, pneumonia rekuren
Sel T Kerentanan meningkat terhadap
infeksi virus, jamur dan protozoa
Fagosit infeksi sistemik oleh bakteri dalam
keadaan biasa mempunyai virulensi
rendah, infeksi bakteri piogenik
komplemen Infeksi bakteri, auto imunitas.

2. Fungsi yang berlebihan

Gangguan fungsi sistem imun Penyakit yang menyertai


Sel B Gemopati monoklonal
Sel T Kelebihan sel Ts yang menimbulkan
infeksi dan penyakit limfopoliferatif.
fagosit Hypersensitivitas, beberapa
penyakit autoimun
komplemen Edema angioneumritik akibat tidak
adanya inhibitor esterase C1

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Abul K., Andrew H. Lichtman., Shiv Pillai. 2020. Basic Immunology :
Functions and Disorders Of The Immune System. Sixth Edition.
Elsevier
Antari Arlita L. 2017. Imunologi Dasar Edisi 1. Yogyakarta : Deepublish.
Baratawidjaya, Karnen Garna 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Branch D, Porter T 2000. Autoimune disease. In: James D, Steer P, Weiner
C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd
ed. New York: W.B Saunders; p. 853-84
Bratawidjaya, K.G., 2004. Imunologi Dasar, Edisi ke-5. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins Gea
2001. Connective tissue disorders. In: Williams Obstetrics. 21 st ed.
New York: McGraw Hill. p. 1383-99.
Erjaee A, Bagherpour M, van Rooyen C, van den Berg S, Kinnear CJ,
Green RJ, et al. Primary immunodeficiency in Africa a review. S
Afr Med J. 2019;109(8 Suppl 1): S4-S12.
Fatmawati, Dina. 2020. Handout Kuliah Antigen. Semarang: Deepublish
Flaherty Dennis. 2012. Immunology For Pharmacy. Mosby, Inc.,an Affiliate
Of Elsevier Inc.
Greider CW and Blackburn EH 1996. Telomeres, Telomerase and Cancer.
Scientific American, p: 92.
Hadi Moch Irfan., Muhammad Yusuf Alamudi., Mirna Widiyanti. 2020. Teori
dan Konsep Dasar Imunologi. Intimedia.
Hodes RJ, Hatchock KS, Weng NP 2002. Telomere in T and B Cells. Nature
Rev Immunology 2 : 699 – 706
Jatmiko Safari Wahyu. 2018. Imunologi Dasar. Surakarta : Muhammadiyah
University Press.
Miller RA 2000. Telomere Diminution as cause of Immune Failure in Old
Age.: an unfashionable demurral. BST 28 (2); 241 – 245
Munasir, Z. 2016. Respons imun terhadap infeksi bakteri. Sari Pediatri, 2(4),
193-7.
Musai M 2010. Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan
Konstimulasi Sel T. MKI 60 (10): 474 – 479
Paul E. William. 2013. Fundamental Immunology. Seventh Edition.Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer.
Patient. 2021. Immunodeficiency–Primary and Secondary. UK: Patient
Price A, Sylvia, Wilson M, Lorraine 2003. Patofisiologi, Edisi 6, Jakarta.
Penerbit buku kedokteran ECG, p 1385-1389.
Rahim, O. I., Wangko, S., & Kalangi, S. J. (2011). Mekanisme Kerja Sel
Langerhans Sebagai Sel Penyaji Antigen. Jurnal Biomedik: JBM, 3(3).
ISO 690
Riwayati. 2015. Reaksi Hipersensitivitas atau Alergi. Jurnal Keluarga Sehat
Sejahtera Vol. 13 (26) ISSN : 1693 – 1157
Togatorop Lina Berliana, Herin Mawarti, Bima Adi Saputra, Yunus Elon,
Evelin Malinti, Novita Veriyanti Manalu, Khotimah, Tri Suwarto,
Masta Haro, Dewi Damayanti, Emawati Siagian, Puji Hastuti, Umi
Faridah. 2021. Keperawatan Sistem Imun dan Hematologi. Yayasan
Kita Menulis.
Underwood JCE 2002. Patologi. Umum dan sistematik. Second Ed.
Terjemahan Sarjadi. Penerbit EGC, Jakarta.
Weng NP 2006. Aging of Immune System: How Much Can the Adaptive
Immune System Adapt? Immunity 24 (5): 495-499
Weng NP 2008. Telomere and Adaptive Immunity. Mech Ageing Dev,
doi:10.1016/j.mad.2007.11.005
Weng NP 2012. Telomeres and Immune Competency. Current Opinion on
Immunology 24 (Issue 4) : 470 – 475
Widiani W, Nuhonni SA, Murdana IN, Sumariyono, Bardosono 2011. Efek
Program Latihan Tangan di Rumah terhadap Deksteritas Bimanual
Penderita Artritis Reumatoid. J Indon Med assoc 61 (11) : 435 - 441.
Virella Gabriel. 2020. Medical Immunology. Seventh Edition. Taylor &
Francis Group, LLC.
Yunus, Ratih Feraritra Danu Atmaja, Haerani harun, Jujuk Anton Cahyono,
Titi purnama, Rina Purwati, Theosobia Grace Orno, Tuty Yuniarty,
Rasuane Noor, Wa Ode Nurtimasia, Julianti Isma Sari, Indra Taufik
Sahli, Puspita Sari. 2022. Imunohematologi dan Bank Darah.
Yohana, Winny, and Nuroh Najmi. REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI. Edited by
Primanti, Risti S. Widina Bhakti Persada, 2022

Anda mungkin juga menyukai