Disusun Oleh:
Dibimbing Oleh:
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari proses-proses yang dipergunakan oleh
hospes untuk mempertahankan kestabilan dalam lingkungan internalnya bila
dihadapkan pada benda asing. Tubuh memiliki mekanisme untuk mempertahankan
keutuhanya yaitu dengan system imun. Pada satu sisi, dengan adanya system imun
tubuh dapat mempertahankan dirinya terhadap bahaya dari luar seperti pertahanan
terhadap infeksi dan tumor. Sedangkan pada sisi lain,apabila terjadi gangguan pada
system imun terhadap jaringan sendiri akan menyebabkan suatu keadaan yang fatal.
Imunitas adalah semua mekanisme fisiologis yang membantu untuk
mengenal benda asing (self/non-self), menetralkan dan mengeliminasi benda asing,
serta memetabolisme benda asing tanpa menimbulkan kerusakan jaringan sendiri.
Sistem Imun adalah semua mekanisme yang dipergunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistim Imun adalah hasil
kerjasama antara sel, jaringan, organ untuk membersihkan / mempertahankan diri
terhadap benda asing. Sistim imun dapat mengenali dan mengingat jutaan “benda
asing” untuk kemudian menghasilkan sekret (antibodi) dan sel yang dapat mengenali
dan membunuh tiap “benda asing” tersebut.
Organ untuk sistim imun tersebar di seluruh tubuh dan disebut organ
lymphoid karena merupakan tempat lymphocytes. Lymphocytes dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh menggunakan pembuluh darah. Sel juga dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh melalui sistim Lymphatic yang parallel dengan pembuluh-
pembuluh vena dan arteri. Sel dan cairan dapat berpindah dari pembuluh darah dan
Lympha dan sebaliknya sehingga sistim lympha dapat memonitor tubuh dari
serangan mikroba.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistim imun :
1. Genetik : Kerentanan seseorang thd penyakit ditentukan oleh gen hla/mhc
2. Umur : Hipofungsi sistim imun pada bayi menyebabkan pada bayi mudah
terkena infeksi. Pada orang tua rentan terjadi autoimun & kanker
3. Metabolik : Penderita penyakit metabolik atau pengobatan dengan
kortikosteroid membuat penderita lebih rentan terhadap infeksi.
4. Lingkungan dan Nutrisi : Mudah terjadi infeksi pada kondisi pasien eksposur
dan malnutrisi disebabkan berkurangnya daya tahan tubuh.
5. Anatomis : Pertahanan terhadadap invasi mikroorganisme pada kulit,
mukosa
6. Fisiologis : Cairan lambung, silia traktus respiratorius, aliran urin, sekresi
kulit
bersifat bakterisid, enzim, antibodi.
7. Mikrobial
Fungsi Sistim Imun :
1. Fungsi Pertahanan
Pertahanan yang dimaksud adalah pertahanan terhadap invasi
mikoroorganisme. Kuman penyakit / mikroorganisme yang masuk ke dalam
tubuh dapat menyebabkan kerusakan jaringan, perdarahan, dan nekrosis. Jika
fungsi pertahanan ini terlalu aktif atau hiperaktif, maka kondisi tersebut akan
menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitifitas berupa alergi. Tetapi jika
reaksi dari fungsi ini tidak begitu aktif atau hipoaktif, maka akan terjadi
kondisi defisiensi imun.
2. Fungsi Homeostasis
Yaitu memenuhi kebutuhan umum organisme multiseluler untuk
mempertahankan keseragaman jenis sel. Berhubungan dengan fungsi
degenerasi dan katabolik normal tubuh melalui pembersihan elemen sel yang
rusak (eritrosit, leukosit, sel tua). Penyimpangan pada fungsi ini
menimbulkan autoimunitas.
3. Fungsi Pengawasan Dini
Yaitu memonitor pengenalan jenis sel yang abnormal dalam tubuh. Sel
abnormal / mutan dapat terjadi spontan, pengaruh invasi virus, pengaruh
zat-zat kimia. Sel abnormal dieliminasi. Kegagalan fungsi ini dapat
mengakibatkan penyakit keganasan
FUNGSI SIFAT RANGSANGAN CONTOH
IMUNOLOGIK
PERTAHANAN
(DEFENSE EKSOGEN MIKROORGANISME
MECH.)
ENDOGEN ATAU ELIMINASI SEL TIDAK
HOMEOSTASIS EKSOGEN BERGUNA/RUSAK
(SELF)
PENGAWASAN ENDOGEN ATAU ELIMINASI SEL MUTAN
(SURVEILANCE) EKSOGEN
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui respon
imun terhadap infeksi serta mekanisme perlawanan sistem imun terhadap infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi
Infeksi merupakan penyakit yang telah ada sejak zaman dahulu, berkembang
seiring dengan perubahan lingkungan hidup dan penyebaran populasi penduduk.
Sampai saat ini masyarakat negara berkembang dengan populasi yang padat
merupakan sasaran dari penyakit infeksi seperti tuberkulosis, acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), malaria dan yang terakhir saat ini adalah
severe akut respiratory syndrome (SARS).
Berbagai macam infeksi mengenai manusia, bervariasi dari yang paling
ringan sampai yang berat, bisa mengenai semua organ jaringan tubuh, selain itu
infeksi dapat meluas dari satu organ tubuh ke organ lainnya. Walaupun infeksi
seringkali self-limiting, banyak yang perlu kita perhatikan dalam mendiagnosa dan
menentukan perawatannya (Topazian, 2002).
Penyakit infeksi merupakan akibat dari interaksi antara parasit dengan
hospesnya. Biasanya parasit ini berupa organisme seperti bakteri, virus, candida dan
protozoa. Beberapa diantaranya terdapat di kulit secara normal ada dan tidak
berbahaya (komensal), tetapi banyak juga yang pathogen.
Infeksi menurut Topazian (2002) dan Tis (2001) merupakan proses
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut mengadakan
penetrasi dan menghancurkan host secara perlahan-lahan sehingga berkembang
biak.
Infeksi terjadi oleh adanya interaksi dari 3 faktor yaitu faktor host,
lingkungan dan mikroorganisme. Faktor host memegang peranan utama dalam
proses terjadinya infeksi dengan adanya mekanisme pertahanan tubuh (Topazian,
2002).
Jika faktor mikroorganisme meningkat atau faktor pertahanan tubuh host
menurun (atau terdapat kombinasi keduanya), maka potensi patogenitas akan
meningkat.
Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka atau jejas langsung
sehingga memungkinkan mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan
eksotoksin, endotoksin dengan cara autolisis. Tempat masuknya mikroorganisme
disebut porte d’entrée hospes akan menunjukkan reaksi alergi terhadap
mikroorganisme tersebut.
Respon lokal dari hospes adalah peradangan yang merupakan pertahanan
selular. Proses ini diawali dengan dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan oedema, dan
penyumbatan limfatik oleh fibrin. Didukung oleh khemotaksis akan terjadi
pagositosis. Daerah tersebut menjadi sangat asam dan protease mononuklear yang
besar timbul mengfagosit debris leukosit dan membuka jalan untuk pemulihan
terhadap proses infeksi dan penyembuhan (Pedersen, 1996)
Selama proses terjadinya infeksi mikroorganisme akan menembus barrier
lokal, mikroorganisme meningkat, ditandai dengan berbagai macam variasi
mekanisme pertahanan tubuh hospes dengan pergerakan dari faktor humoral dan
selular. Pergerakkan dan akumulasi faktor pertahanan ini memungkinkan terjadi
proses penyembuhan (Topazian, 2002).
Kadang-kadang infeksi berkembang dan tetap ada karena dominansi dari
mikroorganisme tetap berlangsung atau masalah kompleks pada host. Selanjutnya
kerusakan pada barrier lokal disebabkan adanya benda asing, kegagalan drainase
yang adekuat, atau dengan eliminasi yang berasal dari mikroorganisme, diikuti
dengan kolonisasi mikroba yang resisten terhadap penggunaan antibiotik
bersepktrum luas yang tidak sesuai aturan.
2.1.1 Faktor Parasit
Parasit pada manusia mempunyai ukuran dari 20 nm (virus poliomyelitis)
sampai 10 m (taenia saginata-cacing pita). Parasit pada manusia umumnya
merupakan mikroba dan secara biokimia adalah virus yang terkecil, hanya
mengkode untuk 3 polypeptida. (Cotran, 1999)
Pada umumnya porte d’entrée ialah kulit, mukosa, oropharynx karena
mempunyai permukaan terbuka yang luas dan menerima kontak langsung setiap hari
dengan kuman-kuman pathogen. Jalan masuk yang lain ialah mulut, hidung, traktus
genital dan traktus urinarius. Jumlah parasit yang memasuki tubuh dan virulensi
mencerminkan kemampuan menimbulkan terjadinya suatu penyakit. Secara umum,
makin besar jumlah parasit makin besar kemungkinan timbul penyakit, tetapi makin
tinggi virulensi makin sedikit organisme yang diperlukan.
Gambar 2. Jalur porte d’entrée penyebaran mikroba dalam tubuh (Robbins, 1997;
Cotran, 1999)
Kemampuan invasi menunjukkan untuk berkembang biak dan menyebar,
yang dipermudah oleh produksi enzim ekstraseluler dan endotoksin. Endotoksin
berhubungan erat dengan dinding sel organisme, dilepaskan saat autolisis untuk
menimbulkan kerusakan sel jaringan hospes. Enzim ekstraseluler (misalnya
koagulase, kolagenase dan hialuronidase) menghancurkan jaringan setempat dan
melindungi parasit dari mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu eksotoksin yang
disekresikan parasit kesekitarnya dapat menyebabkan efek toksik. (Cotran, 1999)
Hospes dipengaruhi oleh faktor lokal (misalnya iskemia dan benda asing
persisten) dan faktor sistemik seperti malnutrisi (khususnya defisiensi protein dan
vitamin C), alkoholik kronik, DM, dan keadaan umum yang lemah seperti penyakit
keganasan yang telah menyebar. Dipengaruhi juga oleh usia baik pada orang lebih
mudah ataupun lebih tua, keduanya mempunyai kerentanan yang meningkat
terhadap penyakit infeksi.
TCR
endosome MHC II
IMMUNOGEEN TH cell
lissome
MACROPHAGE
Antigen-presenting
cell (AFC)
CD 4
Gambar 3. Proses menagkap dan presentasi dari antigen oleh APC. Immunogen
ditangkap oleh fagositosis, lalu endositosis yang dimediasi-reseptor, dan dipecah ke
dalam fragmen-fragmen. Beberapa fragmen-fragmen ( antigen-antigen) berasosiasi
dengan MHC kelas II dan ditranspor ke permukaan sel, dimana mereka dapat kenali
oleh CD4 sel-sel T. Dimana TCR, merupakana reseptor sel T.
Keseluruhan rentang modifikasi kimiawi yang dapat terjadi selama
presentasi belum diketahui secara pasti, mungkin bergantung pada sifat kimiawi dari
immunogennya. Hampir semua, immunogen mengandung protein tampaknya
melibatkan denaturasi dan pencernaan proteolitik parsial, sehingga immunogen ini
terbagi menjadi peptida pendek. Sejumlah peptida yang dihasilkan ini kemudian
berasosiasi secara nonkovalen dengan protein MHC kelas II dan diangkut ke
permukaan APC, tempat kesemuanya dapat dideteksi sel T helper. Proses ini
disebut sebagai presentasi antigen. Sebuah limposit T helper CD4 yang mengalami
kontak langsung dengan sebuah APC bisa menjadi teraktivasi, tapi hanya bisa terjadi
jika mengeluarkan protein penerima sel-T yang dapat mengenali dan mengikat
peptida tertentu, seperti adanya kompleks MHC yang dihasilkan APC.
Secara berbarengan, kedua sinyal ini memicu sel T helper untuk mulai
mengeluarkan sebuah sitokin yang dikenal sebagai interleukin-2 (IL-2 dan juga
mulai mengeluarkan reseptor IL-2 dengan afinitas tinggi di permukaannya (Gambar
4.)
T cell
IL-2
Autoactivation
MHC II IL-1
molecules CD4 T cell
IL-2R t ion
er a
APC pr olif
TH cell Activation
TH cell
Release of
cytokines and
Processed Costimulation
other growth
antigens and differentia-
tion factors
Gambar 4. Aktivasi Sel Th. APC mempresentasi suatu peptida antigenik, yang
terikat pada MHC kelas II, selain itu ia juga menyebakan dua sinyal akibat dari
aktivasi dari SEL TH. APC juga melepaskan IL-1, yang mana bekerja pada APC
dan SEL TH untuk menyebabkan aktivasi. Aktivasi menyebabkan ekspresi reseptor
IL-2 dan sekresi IL-2 oleh SEL TH, dan menghasilkan stimulasi pertumbuhan
autokrin.
IL-2 merupakan faktor mitogenik yang sangat poten bagi limposit dan sangat
penting bagi respons sel T yang teraktivasi. Protein IL-2 memiliki umur sangat
pendek di luar sel dan dengan demikian hanya bertindak dalam jarak yang sangat
pendek. IL-2 mengeluarkan pengaruhnya pada sel dari mana dia dikeluarkan sebuah
gejala yang dikenal sebagai efek autokrin. Sekalipun sebuah sel T telah menerima
kedua sinyal aktivasi dari kontak dengan sebuah APC, sel ini tidak akan mulai
menguat jika tidak ada aktivitas IL-2 atau jika reseptor IL-2 permukaannya sendiri
tersumbat. IL-2 yang dikeluarkan oleh suatu Sel Th yang teraktivasi dapat juga
bertindak pada sel di daerah sekitarnya, dalam bentuk yang kita kenal sebagai efek
parakrin; ini sangat penting untuk mengaktivasi sel T C, yang pada umumnya tidak
menghasilkan IL-2 yang cukup untuk merangsang perkuatannya sendiri. Disamping
IL-2, Sel Th yang teraktivasi ini mengeluarkan sitokin lain yang mendorong
pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi sel-sel B, makrophag, dan tipe-tipe sel
lainnya).
Kontak antara APC dan Sel Th spesifik-antigen juga memiliki berbagai
pengaruh terhadap APC. Salah satunya yang paling penting adalah bahwa APC
mungkin dapat mulai melepaskan suatu sitokin yang disebut sebagai interleukin-1
(IL-1). Sitokin ini tampaknya bereaksi terutama dengan cara autokrin pada APC itu
sendiri: dia meningkatkan ekspresi permukaan protein MHC kelas II dan berbagai
molekul adhesi dan oleh karena itu lebih memperkuat pengikatan Sel Th dan
menaikkan presentasi antigen (Gambar 4). Berbarengan dengan itu, fungsi IL-1 pada
Sel Th mendorong sekresi IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2. dan dengan demikian
memperkuat respons perkuatan TH. Makropag menghasilkan IL-1 dalam jumlah
yang relatif besar dan dua sitokin tambahan, faktor nekrosis tumor (TNF) dan
interleukin 6 (IL-6) yang dapat bersinergi dengan aktivitas IL-1. Sinyal bagi
sekresinya tampaknya disampaikan pada APC paling tidak sebagian diantaranya
melalui protein MHC kelas II ketika protein ini mengikat sel T yang tepat. Dengan
demikian, kontak TH dengan APC mendorong terjadinya peristiwa pemberian sinyal
dua arah yang memungkinkan berjalannya fungsi immunologis kedua sel ini.
MHC II Plasma
IL-2R B cell differentiation
Ig Ag receptors cell
Antibody
TCR IL-2R
(already
triggered) TCR
Ag target cell
(cell death)
TH cell IL-2
Tc cell
Auto- MHC I
activation
IL-2R
CD4
CD8 MHC I
Toxins
Hampir semua sel TC mengeluarkan CD8 dan bukan CD4 sehingga dengan
demikian dapat mengenali antigen yang berkaitan dengan protein MHC kelas I dan
bukan kelas II. Jika sebuah sel somatik terinfeksi oleh suatu virus, beberapa protein
viral immunogenik dapat mengalami presentasidi dalam sel, dan peptida yang
dihasilkannya mungkin kemudian muncul di berbagai kompleks permukaan dengan
molekul-molekul MHC kelas I. Kompleks peptida-MHC ini mungkin kemudian
dikenali oleh reseptor sel-T dari sebuah klon spesifik-antigen, yang memberikan
satu dari dua sinyal yang diperlukan untuk aktivasi sel TC. Sinyal pertama ini saja
akan dapat memicu reseptor IL-2 afinitas tinggi pada sel TC. Sinyal kedua diberikan
oleh IL-2 yang dikeluarkan dari limposit TH sekitarnya yang teraktivasi. Dalam
menerima kedua sinyal ini, sel TC yang teraktivasi memperoleh aktivitas sitotoksik,
yang memungkinkannya membunuh sel tempatnya mengikatkan diri. maupun
semua sel lainnya yang membawa kompleks peptida-MHC kelas I. Pada umumnya,
pembunuhan ini terjadi karena sel TC ini mengeluarkan toksin spesifik ke dalam sel
target; pada kasus lainnya, sel TC ini merangsang sel target melakukan bunuh diri
dengan apoptosis. Sel TC yang teraktivasi ini juga semakin melipat ganda,
melahirkan sel TC baru dengan sifat spesifik antigen yang sama.
3.1 Kesimpuan
Sistem kekebalan tubuh yang relatif tidak efisien dalam mengendalikan parasit
atau mikroba, karena telah berevolusi untuk mengatasi atau menghindari respon
imun. Organ untuk sistim imun tersebar di seluruh tubuh dan disebut organ
lymphoid karena merupakan tempat lymphocytes. Lymphocytes dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh menggunakan pembuluh darah. Sel juga dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh melalui sistim Lymphatic yang parallel dengan pembuluh-
pembuluh vena dan arteri. Sel dan cairan dapat berpindah dari pembuluh darah dan
Lympha dan sebaliknya sehingga sistim lympha dapat memonitor tubuh dari
serangan mikroba.
3.2 Saran
Wray D, Stenhouse D, Lee D, Clark A.J.E. 2003. Textbook Of General And Oral
Surgery. Philadelphia. Churchill LivingStone. P.299-300.