Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI

Disusun Oleh:

Dhia Thifal Malihah 160921230002

Afif R Thabrani 160921230004

Annisa Hasna Nurzahra Tauziri 160921230008

Ade Sri Nengsih 160921230011

Dibimbing Oleh:

drg. Agus Nurwiadh, Sp.BM(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari proses-proses yang dipergunakan oleh
hospes untuk mempertahankan kestabilan dalam lingkungan internalnya bila
dihadapkan pada benda asing. Tubuh memiliki mekanisme untuk mempertahankan
keutuhanya yaitu dengan system imun. Pada satu sisi, dengan adanya system imun
tubuh dapat mempertahankan dirinya terhadap bahaya dari luar seperti pertahanan
terhadap infeksi dan tumor. Sedangkan pada sisi lain,apabila terjadi gangguan pada
system imun terhadap jaringan sendiri akan menyebabkan suatu keadaan yang fatal.
Imunitas adalah semua mekanisme fisiologis yang membantu untuk
mengenal benda asing (self/non-self), menetralkan dan mengeliminasi benda asing,
serta memetabolisme benda asing tanpa menimbulkan kerusakan jaringan sendiri.
Sistem Imun adalah semua mekanisme yang dipergunakan tubuh untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistim Imun adalah hasil
kerjasama antara sel, jaringan, organ untuk membersihkan / mempertahankan diri
terhadap benda asing. Sistim imun dapat mengenali dan mengingat jutaan “benda
asing” untuk kemudian menghasilkan sekret (antibodi) dan sel yang dapat mengenali
dan membunuh tiap “benda asing” tersebut.
Organ untuk sistim imun tersebar di seluruh tubuh dan disebut organ
lymphoid karena merupakan tempat lymphocytes. Lymphocytes dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh menggunakan pembuluh darah. Sel juga dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh melalui sistim Lymphatic yang parallel dengan pembuluh-
pembuluh vena dan arteri. Sel dan cairan dapat berpindah dari pembuluh darah dan
Lympha dan sebaliknya sehingga sistim lympha dapat memonitor tubuh dari
serangan mikroba.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistim imun :
1. Genetik : Kerentanan seseorang thd penyakit ditentukan oleh gen hla/mhc
2. Umur : Hipofungsi sistim imun pada bayi menyebabkan pada bayi mudah
terkena infeksi. Pada orang tua rentan terjadi autoimun & kanker
3. Metabolik : Penderita penyakit metabolik atau pengobatan dengan
kortikosteroid membuat penderita lebih rentan terhadap infeksi.
4. Lingkungan dan Nutrisi : Mudah terjadi infeksi pada kondisi pasien eksposur
dan malnutrisi disebabkan berkurangnya daya tahan tubuh.
5. Anatomis : Pertahanan terhadadap invasi mikroorganisme pada kulit,
mukosa
6. Fisiologis : Cairan lambung, silia traktus respiratorius, aliran urin, sekresi
kulit
bersifat bakterisid, enzim, antibodi.
7. Mikrobial
Fungsi Sistim Imun :
1. Fungsi Pertahanan
Pertahanan yang dimaksud adalah pertahanan terhadap invasi
mikoroorganisme. Kuman penyakit / mikroorganisme yang masuk ke dalam
tubuh dapat menyebabkan kerusakan jaringan, perdarahan, dan nekrosis. Jika
fungsi pertahanan ini terlalu aktif atau hiperaktif, maka kondisi tersebut akan
menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitifitas berupa alergi. Tetapi jika
reaksi dari fungsi ini tidak begitu aktif atau hipoaktif, maka akan terjadi
kondisi defisiensi imun.
2. Fungsi Homeostasis
Yaitu memenuhi kebutuhan umum organisme multiseluler untuk
mempertahankan keseragaman jenis sel. Berhubungan dengan fungsi
degenerasi dan katabolik normal tubuh melalui pembersihan elemen sel yang
rusak (eritrosit, leukosit, sel tua). Penyimpangan pada fungsi ini
menimbulkan autoimunitas.
3. Fungsi Pengawasan Dini
Yaitu memonitor pengenalan jenis sel yang abnormal dalam tubuh. Sel
abnormal / mutan dapat terjadi spontan, pengaruh invasi virus, pengaruh
zat-zat kimia. Sel abnormal dieliminasi. Kegagalan fungsi ini dapat
mengakibatkan penyakit keganasan
FUNGSI SIFAT RANGSANGAN CONTOH
IMUNOLOGIK
PERTAHANAN
(DEFENSE EKSOGEN MIKROORGANISME
MECH.)
ENDOGEN ATAU ELIMINASI SEL TIDAK
HOMEOSTASIS EKSOGEN BERGUNA/RUSAK
(SELF)
PENGAWASAN ENDOGEN ATAU ELIMINASI SEL MUTAN
(SURVEILANCE) EKSOGEN

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui respon
imun terhadap infeksi serta mekanisme perlawanan sistem imun terhadap infeksi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi

Infeksi merupakan penyakit yang telah ada sejak zaman dahulu, berkembang
seiring dengan perubahan lingkungan hidup dan penyebaran populasi penduduk.
Sampai saat ini masyarakat negara berkembang dengan populasi yang padat
merupakan sasaran dari penyakit infeksi seperti tuberkulosis, acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), malaria dan yang terakhir saat ini adalah
severe akut respiratory syndrome (SARS).
Berbagai macam infeksi mengenai manusia, bervariasi dari yang paling
ringan sampai yang berat, bisa mengenai semua organ jaringan tubuh, selain itu
infeksi dapat meluas dari satu organ tubuh ke organ lainnya. Walaupun infeksi
seringkali self-limiting, banyak yang perlu kita perhatikan dalam mendiagnosa dan
menentukan perawatannya (Topazian, 2002).
Penyakit infeksi merupakan akibat dari interaksi antara parasit dengan
hospesnya. Biasanya parasit ini berupa organisme seperti bakteri, virus, candida dan
protozoa. Beberapa diantaranya terdapat di kulit secara normal ada dan tidak
berbahaya (komensal), tetapi banyak juga yang pathogen.
Infeksi menurut Topazian (2002) dan Tis (2001) merupakan proses
masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh, mikroorganisme tersebut mengadakan
penetrasi dan menghancurkan host secara perlahan-lahan sehingga berkembang
biak.
Infeksi terjadi oleh adanya interaksi dari 3 faktor yaitu faktor host,
lingkungan dan mikroorganisme. Faktor host memegang peranan utama dalam
proses terjadinya infeksi dengan adanya mekanisme pertahanan tubuh (Topazian,
2002).
Jika faktor mikroorganisme meningkat atau faktor pertahanan tubuh host
menurun (atau terdapat kombinasi keduanya), maka potensi patogenitas akan
meningkat.
Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka atau jejas langsung
sehingga memungkinkan mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan
eksotoksin, endotoksin dengan cara autolisis. Tempat masuknya mikroorganisme
disebut porte d’entrée hospes akan menunjukkan reaksi alergi terhadap
mikroorganisme tersebut.
Respon lokal dari hospes adalah peradangan yang merupakan pertahanan
selular. Proses ini diawali dengan dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan oedema, dan
penyumbatan limfatik oleh fibrin. Didukung oleh khemotaksis akan terjadi
pagositosis. Daerah tersebut menjadi sangat asam dan protease mononuklear yang
besar timbul mengfagosit debris leukosit dan membuka jalan untuk pemulihan
terhadap proses infeksi dan penyembuhan (Pedersen, 1996)
Selama proses terjadinya infeksi mikroorganisme akan menembus barrier
lokal, mikroorganisme meningkat, ditandai dengan berbagai macam variasi
mekanisme pertahanan tubuh hospes dengan pergerakan dari faktor humoral dan
selular. Pergerakkan dan akumulasi faktor pertahanan ini memungkinkan terjadi
proses penyembuhan (Topazian, 2002).
Kadang-kadang infeksi berkembang dan tetap ada karena dominansi dari
mikroorganisme tetap berlangsung atau masalah kompleks pada host. Selanjutnya
kerusakan pada barrier lokal disebabkan adanya benda asing, kegagalan drainase
yang adekuat, atau dengan eliminasi yang berasal dari mikroorganisme, diikuti
dengan kolonisasi mikroba yang resisten terhadap penggunaan antibiotik
bersepktrum luas yang tidak sesuai aturan.
2.1.1 Faktor Parasit
Parasit pada manusia mempunyai ukuran dari 20 nm (virus poliomyelitis)
sampai 10 m (taenia saginata-cacing pita). Parasit pada manusia umumnya
merupakan mikroba dan secara biokimia adalah virus yang terkecil, hanya
mengkode untuk 3 polypeptida. (Cotran, 1999)
Pada umumnya porte d’entrée ialah kulit, mukosa, oropharynx karena
mempunyai permukaan terbuka yang luas dan menerima kontak langsung setiap hari
dengan kuman-kuman pathogen. Jalan masuk yang lain ialah mulut, hidung, traktus
genital dan traktus urinarius. Jumlah parasit yang memasuki tubuh dan virulensi
mencerminkan kemampuan menimbulkan terjadinya suatu penyakit. Secara umum,
makin besar jumlah parasit makin besar kemungkinan timbul penyakit, tetapi makin
tinggi virulensi makin sedikit organisme yang diperlukan.

Gambar 2. Jalur porte d’entrée penyebaran mikroba dalam tubuh (Robbins, 1997;
Cotran, 1999)
Kemampuan invasi menunjukkan untuk berkembang biak dan menyebar,
yang dipermudah oleh produksi enzim ekstraseluler dan endotoksin. Endotoksin
berhubungan erat dengan dinding sel organisme, dilepaskan saat autolisis untuk
menimbulkan kerusakan sel jaringan hospes. Enzim ekstraseluler (misalnya
koagulase, kolagenase dan hialuronidase) menghancurkan jaringan setempat dan
melindungi parasit dari mekanisme pertahanan tubuh. Selain itu eksotoksin yang
disekresikan parasit kesekitarnya dapat menyebabkan efek toksik. (Cotran, 1999)

2.1.2 Faktor Hospes


Terdapat banyak barier hospes terhadap infeksi yang mencegah jalan masuk
parasit kelingkungan yang mereka butuhkan, kegagalan ini dapat menekan infeksi
atau mengurangi penyebarannya. Barier fisik misalnya kulit, membran mukosa dari
saluran pernafasan, alimentar dan saluran kencing memberikan rintangan penting
terhadap infeksi.
Banyak parasit pathogen membutuhkan adanya kerusakan dalam jaringan
untuk mendapatakan porte d’entrée. Selain itu, kulit dan banyak permukaan mukosa
lain secara normal ditutupi oleh sejumlah parasit komersial yang membantu
melawan pembentukan parasit pathogen. Barier fisiologis seperti sekresi kulit,
enzim saliva di dalam mulut dan pH asam dalam lambung. (Cotran, 1999)

Gambar 3. Diagram hubungan antara ketiga komponen utama pertahanan

host (Topazian, 1994)

Hospes dipengaruhi oleh faktor lokal (misalnya iskemia dan benda asing
persisten) dan faktor sistemik seperti malnutrisi (khususnya defisiensi protein dan
vitamin C), alkoholik kronik, DM, dan keadaan umum yang lemah seperti penyakit
keganasan yang telah menyebar. Dipengaruhi juga oleh usia baik pada orang lebih
mudah ataupun lebih tua, keduanya mempunyai kerentanan yang meningkat
terhadap penyakit infeksi.

2.2 Tinjauan Umum Respon Imun


Sistem imun memiliki tiga ciri utama yang membedakannya dari semua
pertahanan tubuh lainnya. Yang pertama adalah sifat spesifiknya yang ekstrim
kemampuan untuk mengenali dan membedakan sejumlah molekul target
memberikan atau tidak memberikan respons pada masing-masing molekul secara
individual. Kedua, sistem imun mempunyai sifat “Self dan Nonself”, sehingga
dalam keadaan normal dapat hidup berdampingan dengan semua protein dan dengan
materi organik lainnya tetapi memberikan respons terhadap semua benda asing,
termasuk sel atau jaringan dari orang lain. Ketiga, sistem imun memiliki memori,
yaitu kemampuan untuk mengingat pengalaman sehingga pertemuan selanjutnya
dengan suatu patogen asing akan memicu respons yang lebih cepat dan lebih kuat
dibandingkan respons pada saat pertemuan pertama kalinya dengan patogen asing.
Dewasa ini sudah diketahui bahwa sistem imun setiap orang terus
melakukan evolusi terhadap respons yang diberikan dari lingkungan dan
pengalaman, karena sel individu ini melakukan komunikasi dan saling bekerja sama
antara satu dengan yang lainnya untuk mengendalikan kekuatan, diferensiasi dan
fungsi imunologisnya.

2.1 KLONAL DAN POPULASI LIMPOSIT


Virgin limposit terus menerus dilepas dari organ limpoid ke dalam tubuh.
Masing-masing limposit membawa reseptor permukaan yang memungkinkannya
dapat mengikat antigen. Pengikatan antigen pada sel Β dimediasi oleh reseptor sel-
T. Rangkaian kedua jenis protein ini sangat berbeda, sehingga sebagai sebuah
kelompok, mereka dapat mengikat antigen dengan variasi yang sangat banyak.
Pengikatan antigen, dapat menyebabkan terjadinya aktivasi sebuah sel T atau sel Β.
Virgin limposit yang gagal diaktivasi akan mati dalam jangka waktu beberapa hari
setelah memasuki tubuh, tetapi yang berhasil diaktivasi akan bertahan hidup dan
semakin menguat, mengeluarkan sel anak yang kemudian dapat menjalani siklus
aktivasi dan perkuatan lainnya.
Semua sel yang berasal dari limposit sel muda terdiri dari sebuah klon
limposit. Masing-masing klon memisahkan diri menjadi sel efektor, sementara
sisanya menjadi sel memori; Akan tetapi, semua sel di dalam sebuah klon sama satu
dengan yang lainnya dan mencerminkan ciri asalnya yang sama. Misalnya, klon sel
Β hanya mengandung sel B, dan masing-masing klon sel-T sepenuhnya terdiri dari
sel CD4+ atau CD8+.
Ciri dasar limposit adalah Immunoglobin atau protein reseptor sel-T yang
dikeluarkan oleh sel pada sebuah klon tertentu. Meskipun masing-masing limposit
memiliki beribu-ribu protein semacam ini pada permukaannya, kesemuanya ini
memiliki rangkaian asam amino. Karena rangkaian sebuah immunoglobulin atau
protein reseptor sel-T menentukan antigen mana saja yang akan diikatnya, maka
setiap limposit dapat mengenali dan memberikan respons hanya pada beberapa dari
total antigen yang ada. Selanjutnya, sifat spesifik antigen yang sama ini dimiliki oleh
semua sel lainnya di dalam klon yang bersangkutan ( kecuali mutan-mutan somatik
yang kadang-kadang terjadi). Jadi masing-masing limposit atau klon limposit
memiliki sebuah sifat spesifik terbatas untuk masing-masing antigen, gejala ini yang
disebut sebagai restriksi klonal. Sistem imun secara keseluruhan mampu mengenali
banyak antigen yang berbeda karena terdiri dari banyak klon limposit yang berbeda,
dan masing-masing memiliki sifat spesifik terhadap antigen.
Sifat spesifik antigen masing-masing limposit ini ditentukan oleh proses
yang acak dimana terjadi selama tahap awal pertumbuhannya dan secara permanen
ditetapkan pada saat sel memasuki lingkarannya. Diperkirakan bahwa sistem
limpopoitik ini mampu menghasilkan limposit dengan sekitar 10 8 sifat spesifik
antigen. Kemungkinan sifat spesifik ini disebut sebagai repertoar limposit primer.
Sekitar 109 Virgin limposit memasuki tubuh setiap harinya, dan masing masing
mempunyai sifat spesifik tertentu terhadap antigen. Pada saat salah satu dari mereka
bertemu dengan antigen spesifiknya dalam kondisi yang menunjang adanya aktivasi,
maka dapat saja dilahirkan banyak sel anak, yang beberapa diantaranya merupakan
sel memori berumur panjang. Dengan adanya paparan yang sama, klone spesifik-
antigen ini terus berkembang sehingga menciptakan adanya jumlah semakin
meningkat dari populasi limposit totalnya
( Gambar 1).
Gambar 1. Seleksi klonal limfosit oleh suatu immunogen spesifik. kiri: Populasi
Limfosit diubah oleh sel-sel dari klon berbeda, masing-masing bereaksi dengan
spesifitasnya terhadap antigen, yang dikhususkan di sini adalah bentuk yang dapat
membedakan reseptor terhadap antigen permukaan. Kanan: Kontak dengan suatu
immunogen menyebabkan proliferasi selektif klon limposit yang hanya dapat
mengenali immunogen spesifik.

Dengan cara ini, paparan selektivitas antigen akan mendorong terjadinya


pertumbuhan klon yang dapat mengenali antigen tanpa mempengaruhi sel lain di
dalam populasinya dan gejala ini yang disebut sebagai seleksi klonal. Di lain pihak,
jika tidak terjadi kontak lanjutan dengan suatu antigen, sel memori spesifik ini akan
mati, meski pun hal ini biasanya akan terjadi selama periode bertahun-tahun.
Dengan demikian, populasi limposit terus menerus menempuh proses evolusi
seiring dengan berkembangnya atau matinya masing-masing klon, bergantung pada
antigen spesifik yang menjadi target paparan host-nya.
Sifat spesifik antigen dari sebuah klon tertentu tidak hanya untuk
kemampuannya mengenali suatu antigen, melainkan juga bagi fungsi efektornya.
Misalnya, efektor sitotoksik sel T pada umumnya menyerang sel target jika dia
membawa antigen permukaan tertentu yang dikenali oleh respetor-reseptor sel-T;
Oleh karena itu, rangkaian reseptor sel-T ini tidak hanya menentukan antigen yang
dapat mengaktifkan klon sel T melainkan juga target yang akan diserangnya.
Demikian pula, antibodi yang dikeluarkan oleh suatu klon sel-Β memiliki sifat
spesifik pengikatan yang persis sama dengan immunoglobulin yang dilepaskan pada
klon tersebut. Dengan demikian, restriksi klonal ini memastikan agar respons imun
yang dipicu oleh satu klon limposit diarahkan pada sifat spesifik yang melawan
antigen yang merangsang aktivasinya. Kecepatan dan intensitas respons terhadap
antigen ini sebagian besar ditentukan oleh seleksi klonal, semakin besar klon
spesifik, semakin banyak limposit yang tersedia dan dapat mengenali antigen serta
berperan serta dalam respon imunnya.
Restriksi klonal merupakan landasan utama sifat spesifik respon imun:
masing-masing klon limposit dapat memberikan respon hanya pada unit terbatas
antigen yang dikenali oleh immunoglobulinnya atau protein reseptor sel-T dan jika
diaktivasi, dapat menjalankan fungsi efektor yang secara spesifik diarahkan pada
antigen yang sama. Di lain pihak, seleksi klonal pada prinsipnya bertanggung jawab
atas adanya gejala memori immunologis paparan terhadap antigen akan membentuk
dan menempa populasi limposit sedemikian rupa sehingga dapat memberikan respon
dengan cara yang lebih cepat dan lebih kuat pada saat pertemuan berikutnya dengan
antigen yang sama.

2.3 RESPONS IMUN


Setiap respons imun merupakan rangkaian kejadian yang sangat kompleks
dan tertata dengan rumit yang melibatkan beberapa jenis sel. Respons ini terpicu jika
sebuah antigen memasuki tubuh dan bertemu dengan kelompok khusus sel yang
dinamakan (Antigen-Presenting Cell–APC). APC ini menangkap antigen dan
menyajikannya dalam bentuk yang dapat dikenali oleh limposit T helper. Sel T
helper ini menjadi teraktivasi dan, pada gilirannya, mendorong aktivasi kelompok
limposit lainnya, seperti sel Β atau sel T sitotoksik. Limposit teraktivasi ini
kemudian menguat dan menjalankan fungsi efektornya yang spesifik, yang pada
umumnya akan berhasil melumpuhkan atau menghilangkan antigen yang
bersangkutan.
Pada setiap tahapan proses ini, limposit dan APC saling berkomunikasi
antara satu dengan yang lainnya, melalui kontak langsung atau dengan
mengeluarkan sitotoksin pengatur. Kesemuanya juga melakukan interaksi secara
serempak dengan jenis sel lainnya atau dengan unsur-unsur komplemen, sistem
kinin atau sistem fibrinolitik, yang menghasilkan aktivasi phagosit, penggumpalan
darah atau dimulainya proses penyembuhan luka.
(Gambar-2) memberikan tinjauan skematik mengenai rangkaian kejadian
yang ada selama proses respons imun yang sangat khas ini.

Gambar 2. Rangkaian kejadian pada suatu respon imun

2.3.1 Immunogen dan antigen


Para ahli immunologi sepakat menggunakan istilah antigen sebagai sebutan
bagi agen yang memicu suatu respons imun. Akan tetapi, istilah ini sebenarnya
mengacu pada kemampuan sebuah molekul untuk dapat dikenali oleh suatu
immunoglobulin atau reseptor sel-T. Tidak semua antigen mampu memicu respon
imun. Sebuah molekul, atau unit molekul yang dapat memicu suatu respons imun
pada host paling tepat disebut sebagai immunogen. Immunogen yang khas meliputi
berbagai mikroorganisme patogenik ( seperti virus, bakteria, atau parasit).
Secara umum, protein merupakan immunogen yang paling poten. Kelompok
molekul lainnya, seperti lemak, karbohidrat, atau asam nucleus, menjadi target imun
yang paling lazim jika terkait dengan rantai protein immunogenik ( seperti pada
lipoprotein, glikoprotein, atau kompleks nukleuprotein). Banyak immunogen yang
dapat kita temukan di alam, sebenarnya merupakan gabungan dari beberapa zat
immunogenik yang berbeda. Sebuah bakteri, misalnya, terbentuk dari banyak sekali
protein dan molekul-molekul lainnya yang masing-masing mungkin memicu respons
imun. Pada respons imun prototipik yang dijelaskan pada Gambar 2, immunogen
tersebut merupakan virus yang, mengandung beberapa protein immunogenik.

2.5 ANTIGEN PRESENTING CELL (APC)


Presentasi antigen adalah proses yang memungkinkan antigen dikenali oleh
oleh sel T. Respon terhadap immunogen hanya dapat dimulai setelah
immunogennya telah dapat ditangkap, diolah dan disajikan oleh sebuah APC ( lihat
Gambar 2). Alasannya adalah bahwa sel T hanya mengenali immunogen yang
terikat pada protein (major histocompatibility complex – MHC) pada permukaan sel
lainnya. Ada dua kelompok protein MHC yang berbeda, yang masing-masing
dikenali oleh limposit T. Protein MHC Kelas I dilepaskan oleh hampir semua jenis
sel somatik dan digunakan untuk menyajikan antigen pada sel T sitotoksik dan
dengan demikian berperan sebagai target dari suatu respons imun. Di lain pihak,
Protein MHC Kelas II dikeluarkan hanya oleh makrophag dan sel lainnya yang
diperlukan untuk adanya presentasi antigen pada sel T CD4.
Immunogen eksogen dapat ditangkap dengan berbagai cara. APC yang
dijelaskan pada Gambar 2 merupakan makrophag dari berbagai phagosit yang dapat
segera menangkap immunogen tertentu. Jenis APC lainnya memiliki fungsi yang
kadar pagositis-nya lebih rendah dan cenderung mengandalkan endositosis dengan
mediasi reseptor atau pinositosis jalur-jalur yang juga digunakan secara efektif oleh
makrophag. APC dapat menangkap sangat banyak zat immunogenik yang berbeda,
dan hampir semua APC menunjukkan sedikit sekali atau sama sekali tidak
menunjukkan sifat spesifik antigen. Memang, ada APC tertentu yang mungkin saja
menyajikan beberapa antigen yang berbeda secara berbarengan, saat masing-masing
protein MHC permukaannya yang banyak. Akan tetapi, mekanisme tangkapan ini
relatif tidak efisien, sehingga diperlukan konsentrasi lokal immunogen eksogen yang
relatif tinggi bagi adanya aktivitas optimal untuk hampir semua APC.
Immunogen eksogen yang ditangkap oleh APC menjadi tertutup di dalam
vesikel dengan garis selaput pada sitoplasmanya, dan di dalam vesikel ini
mengalami serangkaian pengubahan yang disebut sebagai presentasi antigen
(Gambar 3).

TCR
endosome MHC II
IMMUNOGEEN TH cell
lissome

MACROPHAGE
Antigen-presenting
cell (AFC)
CD 4

Gambar 3. Proses menagkap dan presentasi dari antigen oleh APC. Immunogen
ditangkap oleh fagositosis, lalu endositosis yang dimediasi-reseptor, dan dipecah ke
dalam fragmen-fragmen. Beberapa fragmen-fragmen ( antigen-antigen) berasosiasi
dengan MHC kelas II dan ditranspor ke permukaan sel, dimana mereka dapat kenali
oleh CD4 sel-sel T. Dimana TCR, merupakana reseptor sel T.
Keseluruhan rentang modifikasi kimiawi yang dapat terjadi selama
presentasi belum diketahui secara pasti, mungkin bergantung pada sifat kimiawi dari
immunogennya. Hampir semua, immunogen mengandung protein tampaknya
melibatkan denaturasi dan pencernaan proteolitik parsial, sehingga immunogen ini
terbagi menjadi peptida pendek. Sejumlah peptida yang dihasilkan ini kemudian
berasosiasi secara nonkovalen dengan protein MHC kelas II dan diangkut ke
permukaan APC, tempat kesemuanya dapat dideteksi sel T helper. Proses ini
disebut sebagai presentasi antigen. Sebuah limposit T helper CD4 yang mengalami
kontak langsung dengan sebuah APC bisa menjadi teraktivasi, tapi hanya bisa terjadi
jika mengeluarkan protein penerima sel-T yang dapat mengenali dan mengikat
peptida tertentu, seperti adanya kompleks MHC yang dihasilkan APC.

2.5 Aktivasi Limposit T helper


Sel T helper (TH) merupakan pengatur utama respons imun karena
diperlukan bagi adanya aktivasi dua jenis sel efektor limpoid lainnya: sel T
sitotoksik (TC) dan sel plasma penghasil antibodi. Aktivasi Sel Th terjadi pada awal-
awal suatu respons imun (Lihat Gambar 2) dan memerlukan dua sinyal. Sinyal
pertama dengan mengikat reseptor antigen sel-T pada kompleks peptida-MHC
antigenik pada permukaan APC dan ditransmisikan melalui kompels protein CD3.
Sinyal kedua, sinyal kostimulatoris, juga memerlukan kontak dengan APC dan
dianggap pembawa transmisi sinyal pada permukaan sel-T dengan ligand khusus
pada APC. Salah satu interaksi yang diketahui menghasilkan sinyal kostimulatoris
ini adalah pengikatan protein permukaan sel-T yang diberi tanda CD28 pada tanda
permukaan APC. Pasangan-pasangan protein permukaan lainnya mungkin juga
menjadi mediasi kostimulasi ini.

Secara berbarengan, kedua sinyal ini memicu sel T helper untuk mulai
mengeluarkan sebuah sitokin yang dikenal sebagai interleukin-2 (IL-2 dan juga
mulai mengeluarkan reseptor IL-2 dengan afinitas tinggi di permukaannya (Gambar
4.)
T cell
IL-2
Autoactivation
MHC II IL-1
molecules CD4 T cell
IL-2R t ion
er a
APC pr olif
TH cell Activation
TH cell
Release of
cytokines and
Processed Costimulation
other growth
antigens and differentia-
tion factors

Gambar 4. Aktivasi Sel Th. APC mempresentasi suatu peptida antigenik, yang
terikat pada MHC kelas II, selain itu ia juga menyebakan dua sinyal akibat dari
aktivasi dari SEL TH. APC juga melepaskan IL-1, yang mana bekerja pada APC
dan SEL TH untuk menyebabkan aktivasi. Aktivasi menyebabkan ekspresi reseptor
IL-2 dan sekresi IL-2 oleh SEL TH, dan menghasilkan stimulasi pertumbuhan
autokrin.

IL-2 merupakan faktor mitogenik yang sangat poten bagi limposit dan sangat
penting bagi respons sel T yang teraktivasi. Protein IL-2 memiliki umur sangat
pendek di luar sel dan dengan demikian hanya bertindak dalam jarak yang sangat
pendek. IL-2 mengeluarkan pengaruhnya pada sel dari mana dia dikeluarkan sebuah
gejala yang dikenal sebagai efek autokrin. Sekalipun sebuah sel T telah menerima
kedua sinyal aktivasi dari kontak dengan sebuah APC, sel ini tidak akan mulai
menguat jika tidak ada aktivitas IL-2 atau jika reseptor IL-2 permukaannya sendiri
tersumbat. IL-2 yang dikeluarkan oleh suatu Sel Th yang teraktivasi dapat juga
bertindak pada sel di daerah sekitarnya, dalam bentuk yang kita kenal sebagai efek
parakrin; ini sangat penting untuk mengaktivasi sel T C, yang pada umumnya tidak
menghasilkan IL-2 yang cukup untuk merangsang perkuatannya sendiri. Disamping
IL-2, Sel Th yang teraktivasi ini mengeluarkan sitokin lain yang mendorong
pertumbuhan, diferensiasi dan fungsi sel-sel B, makrophag, dan tipe-tipe sel
lainnya).
Kontak antara APC dan Sel Th spesifik-antigen juga memiliki berbagai
pengaruh terhadap APC. Salah satunya yang paling penting adalah bahwa APC
mungkin dapat mulai melepaskan suatu sitokin yang disebut sebagai interleukin-1
(IL-1). Sitokin ini tampaknya bereaksi terutama dengan cara autokrin pada APC itu
sendiri: dia meningkatkan ekspresi permukaan protein MHC kelas II dan berbagai
molekul adhesi dan oleh karena itu lebih memperkuat pengikatan Sel Th dan
menaikkan presentasi antigen (Gambar 4). Berbarengan dengan itu, fungsi IL-1 pada
Sel Th mendorong sekresi IL-2 dan ekspresi reseptor IL-2. dan dengan demikian
memperkuat respons perkuatan TH. Makropag menghasilkan IL-1 dalam jumlah
yang relatif besar dan dua sitokin tambahan, faktor nekrosis tumor (TNF) dan
interleukin 6 (IL-6) yang dapat bersinergi dengan aktivitas IL-1. Sinyal bagi
sekresinya tampaknya disampaikan pada APC paling tidak sebagian diantaranya
melalui protein MHC kelas II ketika protein ini mengikat sel T yang tepat. Dengan
demikian, kontak TH dengan APC mendorong terjadinya peristiwa pemberian sinyal
dua arah yang memungkinkan berjalannya fungsi immunologis kedua sel ini.

2.5.1 Aktivasi Sel Β dan Sel T Sitotoksik


Meski pun Sel Th diaktivasi dengan cara yang telah dijelaskan tadi, sel Β
mungkin juga memicu immunogen melalui reseptor antigennya, yang merupakan
bentuk dari antibodi yang kemudian akan mereka keluarkan. Berbeda dari sel T, sel
Β mengenali sebuah immunogen dalam bentuknya yang bebas dan belum terproses (
Gambar 2). Pengikatan antigen khusus memberikan satu jenis sinyal yang dapat
menyebabkan aktivasi sel-Β. Jenis kedua diberikan oleh Sel Th yang diaktivasi,
yang mengeluarkan protein yang membantu mengaktivasi sel Β dengan
mengikatkan diri ke reseptor non immunoglobulin pada permukaannya. Sinyal yang
berasal dari TH ini, yang beraksi pada setiap sel Β tanpa memperhatikan sifat
spesifik antigennya, dikenal sebagai faktor-faktor pembantu
( Gambar 5).
Helper factors
B cell Memory
CD4 B cell
TCR
Ag
Proliferation
B cell Progeny

MHC II Plasma
IL-2R B cell differentiation
Ig Ag receptors cell
Antibody

Gambar 5. Aktivasi Sel B. Antigen berikatan dengan imunoglobulin permukaan,


dengan faktor-faktor contact-mediated atau dari suatu SEL TH yang teraktifasi,
menyebabkan proliferasi dan diferensiasi dari sel B.

Beberapa diantaranya adalah sitokin yang disekresikan oleh Sel Th yang


teraktivasi dan meliputi IL-2 dan interleukin IL-4 dan IL-6 yang masing-masing
memiliki radius aksi yang sangat pendek. Akan tetapi, bantuannya diberikan dengan
cara efektif oleh sel kontak, yang memungkinkan protein pada permukaan sel-T
mengontak protein pada sel Β. Bentuk bantuan dengan mediasi kontak yang paling
efektif terjadi jika sebuah protein ligand CD40 ( CD40L), yang dihasilkan pada Sel
Th setelah sel ini teraktivasi, mengikatkan diri pada sebuah protein yang disebut
CD40 pada sel B. Memang, kontak dengan sebuah Sel Th yang teraktivasi mungkin
saja sudah cukup untuk mengaktivasi sebuah sel B yang belum aktif sekalipun
berbagai immunoglobulin permukaannya belum memicu sebuah antigen; ini dikenal
sebagai aktivasi sel-Β bystander. Akan tetapi, kombinasi pengikatan antigen dan
faktor-faktor pembantu ini melahirkan sinyal mitogenik yang lebih kuat, sehingga
seiring berjalannya waktu klon spesifik antigen ini dengan cepat memicu
pertumbuhan dari berbagai bystander. Beberapa sel di dalam klon teraktivasi ini
memisahkan diri menjadi plasma-plasma sel yang mengeluarkan berbagai antibodi
yang sifatnya spesifik untuk immunogen yang bersangkutan.
Limposit TC berfungsi membunuh sel yang mengeluarkan antigen asing
pada permukaannya, seperti sel host yang telah terinfeksi virus (Gambar 6).

TCR IL-2R
(already
triggered) TCR
Ag target cell
(cell death)
TH cell IL-2
Tc cell

Auto- MHC I
activation
IL-2R
CD4
CD8 MHC I
Toxins

Gambar 6. Untuk mengaktifasi Tc-cell dibutuhkan suatu kontak dengan antigen


spesifik dengan suatu molekul MHC kelas I pada permukaan dari suatu sel sasaran.
Selain itu juga membutuhkan IL-2 dari suatu Sel Th yang teraktifasi. Tc yang
diaktifkan dapat membunuh sel sasaran itu dengan sekresi sitotoksin atau dengan
menginduksinya antigen untuk bunuh diri.

Hampir semua sel TC mengeluarkan CD8 dan bukan CD4 sehingga dengan
demikian dapat mengenali antigen yang berkaitan dengan protein MHC kelas I dan
bukan kelas II. Jika sebuah sel somatik terinfeksi oleh suatu virus, beberapa protein
viral immunogenik dapat mengalami presentasidi dalam sel, dan peptida yang
dihasilkannya mungkin kemudian muncul di berbagai kompleks permukaan dengan
molekul-molekul MHC kelas I. Kompleks peptida-MHC ini mungkin kemudian
dikenali oleh reseptor sel-T dari sebuah klon spesifik-antigen, yang memberikan
satu dari dua sinyal yang diperlukan untuk aktivasi sel TC. Sinyal pertama ini saja
akan dapat memicu reseptor IL-2 afinitas tinggi pada sel TC. Sinyal kedua diberikan
oleh IL-2 yang dikeluarkan dari limposit TH sekitarnya yang teraktivasi. Dalam
menerima kedua sinyal ini, sel TC yang teraktivasi memperoleh aktivitas sitotoksik,
yang memungkinkannya membunuh sel tempatnya mengikatkan diri. maupun
semua sel lainnya yang membawa kompleks peptida-MHC kelas I. Pada umumnya,
pembunuhan ini terjadi karena sel TC ini mengeluarkan toksin spesifik ke dalam sel
target; pada kasus lainnya, sel TC ini merangsang sel target melakukan bunuh diri
dengan apoptosis. Sel TC yang teraktivasi ini juga semakin melipat ganda,
melahirkan sel TC baru dengan sifat spesifik antigen yang sama.

2.6 MEKANISME ELIMINASI ANTIGEN


Fungsi akhir dari sistem imun adalah untuk mencari dan menghancurkan zat-
zat asing di dalam tubuh. Sebagian bergantung pada sifat zat asingnya, hal ini dapat
tercapai melalui berbagai cara. Cara pertama, yang telah dijelaskan pada bagian
pembahasan sebelumnya, adalah melalui pembunuhan sitotoksik langsung atas sel
target pembawa antigen oleh sel TC yang teraktivasi ( lihat Gambar 6). Hampir
semua mekanisme efektor immunologis lainnya memerlukan adanya berbagai
antibodi; kita akan membahas beberapa diantaranya yang paling penting.

2.6.5 Netralisasi Toksin


Antibodi yang sifatnya khusus untuk toksin bakterial atau untuk venom
serangga atau ular mengikat protein antigenik ini dan, pada umumnya, secara
langsung melumpuhkannya dengan efek sterik. Disamping itu, pembentukan sebuah
kompleks antigen-antibodi mendorong ditangkapnya dan pagositositas toksin ini
oleh makrophag dan phagosit-pagosit lainnya. Karena efektivitasnya, antibodi yang
sebelumnya telah terbentuk untuk melawan toksin atau venom seringkali
diinjeksikan secara profilaktik atau terapeutik sebagai salah satu cara melindungi
individu-individu yang belum memperoleh imunisasi dan baru terkena risiko
terpapar toksin tertentu.

2.6.6 Netralisasi Virus


Antibodi khusus untuk protein pada permukaan sebuah virus mungkin dapat
menghalangi pelekatan virus pada sel target, khususnya jika antibodi ini
mengikatkan diri pada atau dekat dengan tempat sel yang mengikatkan diri pada
virus tersebut. Hal ini akan memberikan sebuah tempat yang akan digunakan oleh
antibodi yang telah ada untuk memberikan perlindungan melawan infeksi virus baru.
Akan tetapi, begitu terjadi suatu infeksi virus, netralisasi seringkali sangat menurun
fungsinya dibandingkan dengan aksi sitotoksik dari sel TC untuk membunuh infeksi
tersebut.

2.6.7 Opsonisasi dan Aktivasi Pagosit


Antibodi yang mengelilingi bakteria atau antigen dapat berfungsi sebagai
opsonin untuk mendorong terjadinya pagositosis. Hal ini terjadi karena makrophag
dan phagosit-pagosit lainnya membawa reseptor APC yang memudahkan
penggumpalan partikel-partikel yang telah diselimuti antibodi. Dengan demikian,
sebagaimana makrophag dapat mengendalikan fungsi limposit melalui perannya
sebagai APC, limposit B mengatur fungsi makrophag dengan mengarahkan pagosit-
pagosit ini ke target antigen tertentu melalui proses opsonisasi.
Respon imun juga berfungsi dengan cara lainnya. Misalnya, IL-1
merangsang makrophag mengeluarkan reseptor permukaan untuk interferon-gamma
(iFN-γ) dan sitokin lainnya, yang dikeluarkan dari Sel Th yang teraktivasi, yang
merupakan activator-aktivator poten makrophag. Aktivasi yang ditimbulkannya
meningkatkan aktivitas phagositis dari makrophag dan dapat menyebabkannya
mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator. Limposit teraktivasi ini juga
menghasilkan IL-2, IL-3 dan IL-4, maupun faktor-faktor perangsang klon yang
mengatur pertumbuhan dan fungsi makrophag.

2.6.8 Aktivasi Komplemen


Beberapa jenis antibodi dapat mengaktivasi jalur komplemen jika
dikomplikasi dengan antigen. Jika antibodi ini terikat pada permukaan suatu sel,
seperti bakteri, tingkatan reaksi ensim komplemennya dapat mendorong lisis dari sel
tersebut,. dengan memberikan salah satu cara penting lainnya untuk membunuh
para patogen asing. Beberapa produk dari jenjang komplemen ini juga bertindak
sebagai opsonin jika mengikatkan diri pada sebuah kompleks antigen-antibodi,
sementara yang lainnya bersifat reaksi kimia bagi neutrofil. Yang lainnya lagi
menyebabkan dilepasnya mediator-mediator imflamatoris seperti histamine dari sel
inti dan basofilis.

2.8 Antibody Dependent cell-mediated cytotoxicity


Salah satu kelas utama antibodi, yang disebut IgG mengikatkan diri pada
reseptor APC pada permukaan sel pembunuh alamiah (Natural Killler – NK) untuk
menjalankan salah satu bentuk pembunuhan sel spesifik antigen yang disebut
sebagai (Antibody Dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC). Antibodi IgG
yang berikatan pada permukaan sel akan memungkinkannya mengikatkan diri
secara khusus pada sel target pembawa antigen, yang mungkin berbentuk bakteria
atau parasit-parasit dengan molekul jamak, dan membunuh sel target dengan
sitotoksin. Antibodi ini disebut sebagai ‘senjata” sel untuk melakukan ADCC, dan
mutlak diperlukan untuk pembunuh semacam ini; kenyataan inilah yang
membedakan antara ADCC dengan sitotoksisitas dengan medias-T C , yang terjadi
tanpa adanya pengaruh antibodi.

2.9 Respon Imunitas Terhadap Tuberkulosis


Akibat klinis infeksi M. tuberculosis lebih dipengaruhi oleh sistem imunitas
seluler daripada imunitas humoral. Orang yang menderita kerusakan imunitas seluler
seperti terinfeksi HIV dan gagal ginjal kronik mempunyai resiko tuberculosis yang
lebih tinggi. Sebaliknya orang yang menderita kerusakan imunitas humoral seperti
penyakit sickle cell tidak menunjukkan peningkatan predisposisi terhadap
tuberkulosis.
M. tuberculosis yang terhirup dan masuk ke paru akan ditelan oleh makrofag
alveolar, selanjutnya makrofag akan melakukan 3 fungsi penting, yaitu; 1.
menghasilkan ensim proteolitik dan metabolit lain yang mempunyai efek
mikobakterisidal; 2. menghasilkan mediator terlarut (sitokin) sebagai respon
terhadap M. tuberculosis berupa IL-1, IL-6, TNF α (Tumor Necrosis Factor alfa),
TGF β (Transforming Growth Factor beta) dan 3. memproses dan
mempresentasikan antigen mikobakteri pada limfosit T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan efek
imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap tuberkulosis. IL-1
merupakan pirogen endogen menyebabkan demam sebagai karakteristik
tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi imunoglobulin oleh sel B yang
teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia yang banyak dijumpai pada pasien
tuberkulosis. TGF β berfungsi sama dengan IFN γ untuk meningkatkan produksi
metabolit nitrit oksida dan membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan
granuloma untuk mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan
efek patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan
yang merupakan ciri khas tuberkulsois. Pada pasien tuberkulosis
TNF α juga berperan untuk meningkatkan kerentanan sel T melakukan
apoptosis baik secara spontan maupun oleh stimulasi M. tuberculosis secara in vitro.
IL-10 menghambat produksi sitokin oleh monosit dan limfosit sedangkan TGF β
menekan proliferasi sel T dan menghambat fungsi efektor makrofag.
Karbohidrat dan komponen glikolipid pada dinding sel mikobakteri sama
fungsinya dengan protein yang disekresikan yaitu akan meningkatkan efek
imunosupresi makrofag pada pasien tuberkulosis. Lipoarabinomanan, suatu komplek
heteropolisakarida yang terletak di dalam membran sel mikobakteri akan menekan
respon proliferasi terhadap M. tuberculosis melalui rangsangan terhadap makrofag
untuk melepaskan sitokin imunosupresif seperti IL-10. Lipoarabinomanan akan
menghambat aktivasi makrofag oleh IFN γ dan akan mengambil radikal bebas
oksigen serta menghambat kerusakan oleh patogen intraseluler. Dengan
menghindari aktivasi makrofag, lipoarabinomanan yang berasal dari strain M.
tuberculosis virulen berperan sebagai faktor virulen yang menyebabkan organisme
lolos dari mekanisme eliminasi sitokin.

2.9.1 Respon Sel Limfosit T


Sel limfosit T α/β dapat dibagi menjadi sel T CD4+ yang mengenal peptida
antigenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II dan sel T CD8 + yang
mengenal peptide antigenik yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Sel T
CD4+ berperanan penting pada sistem pertahanan terhadap tuberkulosis.
Berdasarkan studi eksperimental dan studi tuberculosis pada manusia menunjukkan
bahwa deplesi sel T CD4+ akan memperburuk infeksi oleh M. tuberkulosis dan
BCG. Deplesi sel T CD4+ pada infeksi virus HIV juga dapat mengakibatkan
tuberkulosis pada pasien AIDS.
Berdasarkan fungsinya Sel T CD4+ dibedakan menjadi 2 sub populasi yaitu
sel Th1 dan Th2. Sel Th1 menghasilkan IFN γ, IL-2 dan limfotoksin yang berfungsi
meningkatkan aktivitas mikrobisidal makrofag serta menimbulkan hipersensitifitas
tipe lambat. Sedangkan sel Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang
berfungsi merangsang deferensiasi dan pertumbuhan sel B. Sel Th1 dan sel Th2
menghasilkan IL-3, GMCSF (Granulocyt Macrophage-Colony Stimulating Factor)
dan TNF. Baik Th1 dan Th2 berpengaruh terhadap manifestasi infeksi oleh patogen
intra seluler. Sel Th1 memberikan resistensi imunologi terhadap infeksi melalui
produksi interferon gamma, sedangkan sel Th2 akan memperburuk penyakit melalui
IL-4.
Data yang telah dipublikasi menunjukkan bahwa jenis sitokin yang
diproduksi sebagai respon terhadap M. tuberculosis masih diperdebatkan. Meskipun
beberapa penelitian menitikberatkan pada fungsi sel T CD4 + yang berperan sebagai
antimikobakteri melalui produksi sitokin dan aktivasi makrofag, mekanisme lain
dari sel T pada sistem pertahan tubuh adalah melalui sitolisis langsung oleh
makrofag dan sel fagosit yang terinfeksi M. tuberculosis. Kultur sel T sitolitik yang
spesifik terhadap M. tuberculosis secara in vitro adalah sel T CD4 + dan aktivitas sel
tersebut pada lokasi penyakit meningkat dibandingkan pada sel darah tepi. Tidak
seperti sel CD4+, sel T CD8+ tidak menghasilkan IL-2 tetapi lebih tergantung pada
sumber eksogen. Sel T CD8+ tidak terkonsentrasi secara selektif pada lokasi penyakit
(site of disease) pada pasien tuberkulosis dan parahnya tuberculosis.

2.9.2 Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat


Reaksi hipersensitivitas tipe lambat (delayed type hypersensitivity) adalah
reaksi yang tidak melibatkan antibodi tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Pemindahan
hipersensitivitas ini dapat dilakukan dengan memindahkan limfosit T. Reaksi tipe IV
juga disebut reaksi tipe lambat karena timbul lebih dari 12 jam setelah pemaparan
antigen.
Respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap M tuberculosis dapat dilakukan
dengan tes kulit tuberkulin yaitu suntikan intradermal dengan PPD (Purified Protein
Derivatif). Reaksi tuberkulin mencapai puncaknya 48-72 jam setelah pemaparan.
Reaksi ini dapat diikuti dengan reaksi yang lebih lambat yang ditandai dengan
agregasi dan proliferasi makrofag membentuk granuloma yang menetap selama
beberapa minggu.
Respon sensitivitas tipe lambat tidak identik dengan imunitas protektif. Tes
kulit tuberkulin negatif pada orang sehat menujukkan tidak adanya infeksi M.
tuberculosis sebelumnya dan tidak adanya populasi sel T memory yang reaktif
terhadap M. tuberculosis. Pada pasien dengan infeksi tuberkulosis atau sakit
tuberkulosis, tes kulit tuberkulin negatif merupakan hasil dari proses yang
berhubungan dengan respon hipersensitivitas tipe lambat, seperti infeksi HIV dan
tuberkulosis itu sendiri.

Gambar 5. Tuberkulosis (Cotran, 1999)

Histopatologis pada penyakit ini terdapatnya kelompok sel epiteloid yang


membentuk tonjolan kecil yang disebut tuberkel. Beberapa sel epiteloid dapat
bersatu membentuk sel datia Langhans dengan inti seperti tapak kuda, didalamnya
ditemukan Mycobacterium tuberkulosis. Ditengah tuberkel sering terjadi nekrosis
perkejuan aseluler dan tuberkel ini biasanya dikelilingi oleh limposit. Nekrosis
perkejuan berlebihan menghasilkan abses dingin (cold abses) disebut demikian
karena tidak ditemukan radang akut.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpuan

Sistem kekebalan tubuh yang relatif tidak efisien dalam mengendalikan parasit
atau mikroba, karena telah berevolusi untuk mengatasi atau menghindari respon
imun. Organ untuk sistim imun tersebar di seluruh tubuh dan disebut organ
lymphoid karena merupakan tempat lymphocytes. Lymphocytes dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh menggunakan pembuluh darah. Sel juga dapat beredar ke
seluruh bagian tubuh melalui sistim Lymphatic yang parallel dengan pembuluh-
pembuluh vena dan arteri. Sel dan cairan dapat berpindah dari pembuluh darah dan
Lympha dan sebaliknya sehingga sistim lympha dapat memonitor tubuh dari
serangan mikroba.

Antibodi yang mengelilingi bakteria atau antigen dapat berfungsi sebagai


opsonin untuk mendorong terjadinya pagositosis. Hal ini terjadi karena makrophag
dan phagosit-pagosit lainnya membawa reseptor APC yang memudahkan
penggumpalan partikel-partikel yang telah diselimuti antibodi. Dengan demikian,
sebagaimana makrophag dapat mengendalikan fungsi limposit melalui perannya
sebagai APC, limposit B mengatur fungsi makrophag dengan mengarahkan pagosit-
pagosit ini ke target antigen tertentu melalui proses opsonisasi.

Karbohidrat dan komponen glikolipid pada dinding sel mikobakteri sama


fungsinya dengan protein yang disekresikan yaitu akan meningkatkan efek
imunosupresi makrofag pada pasien tuberkulosis. Lipoarabinomanan, suatu komplek
heteropolisakarida yang terletak di dalam membran sel mikobakteri akan menekan
respon proliferasi terhadap M. tuberculosis melalui rangsangan terhadap makrofag
untuk melepaskan sitokin imunosupresif seperti IL-10.

Beberapa jenis antibodi dapat mengaktivasi jalur komplemen jika


dikomplikasi dengan antigen. Jika antibodi ini terikat pada permukaan suatu sel,
seperti bakteri, tingkatan reaksi ensim komplemennya dapat mendorong lisis dari sel
tersebut,. dengan memberikan salah satu cara penting lainnya untuk membunuh
para patogen asing. Beberapa produk dari jenjang komplemen ini juga bertindak
sebagai opsonin jika mengikatkan diri pada sebuah kompleks antigen-antibodi,
sementara yang lainnya bersifat reaksi kimia bagi neutrofil. Yang lainnya lagi
menyebabkan dilepasnya mediator-mediator imflamatoris seperti histamine dari sel
inti dan basofilis.

3.2 Saran

Perlu adanya perhatian khusus terhadap mengenai respon imun terhadap


infeksi terutama pada infeksi odontogenik.
DAFTAR PUSTAKA

Stites,Daniel.,Terr, Abba I.,Parslow Medical Imunologi, a LANGE medical book,


Ninth edition, 1997, A Simon & Schuster Company
USA.
Cotran RS., Kumar V., Collins T. 1999. Robbins Pathologic Basic of Disease. 6 thEd.
Philadelphia.WB. Sounders Co. p.329-98
Daud ME., Karasutisna T. 2001. Infeksi odontogenik 1 thed. Bandung. Bagian Bedah
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Unpad. p.1-12
Handayani S. Respon Imunitas Seluler pada Infeksi Tuberkulosis Paru. Cermin
Dunia Kedokteran No. 137, 2002;33-6
Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Alih Bahasa Purwanto,
Basoeseno. Jakarta. EGC.
Robbins SL., Mitchell RN., Cotran RS. 1997. Basic Pathology. 6 thEd. Philadelphia.
WB. Sounders Co. p.263-77
Topazian RG., Goldberg MH., Hupp JR. 2002. Oral and Maxillofacial Infection. 4th
ed. Philadelphia. W.B Sounders CO. p.1-29
Abbas, A. K., Lichtman, A. H., & Pillai, S. (2019). Cellular and Molecular
Immunology. Elsevier.
Janeway, C. A., Travers, P., Walport, M., & Shlomchik, M. (2016). Immunobiology:
The Immune System in Health and Disease. Garland Science.
Murphy, K., Weaver, C., & Janeway, C. (2016). Janeway's Immunobiology. Garland
Science.
Medzhitov, R. (2007). Recognition of microorganisms and activation of the immune
response. Nature, 449(7164), 819-826.
Iwasaki, A., & Medzhitov, R. (2015). Control of adaptive immunity by the innate
immune system. Nature Immunology, 16(4), 343-353.
O'Neill, L. A. (2013). Immunology: the expanding array of inflammatory networks.
Nature, 496(7446), 445-445.
Pulendran, B. (2015). Systems vaccinology: probing humanity’s diverse immune
systems with vaccines. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 112(30), 9092-9099.
Rouse, B. T., & Sehrawat, S. (2010). Immunity and immunopathology to viruses:
what decides the outcome? Nature Reviews Immunology, 10(7), 514-
526.
Kawai, T., & Akira, S. (2010). The role of pattern-recognition receptors in innate
immunity: update on Toll-like receptors. Nature Immunology, 11(5),
373-384.
Iwasaki, A., & Pillai, P. S. (2014). Innate immunity to influenza virus infection.
Nature Reviews Immunology, 14(5), 315-328.
Fragiskos D, Oral Surgery, 1st Ed, Springer. 2007, p 243-252.
Moore, UJ. 2001. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. 5th ed. New York:
Churchill Livingstone
Peterson et al, Principles of Oral and Maxillofasial Surgery, 2 nd Ed, Hamilton,
London. 2004, p 168-169
Tuinzing D.8., Greebe, R.8., Dorenbos, J. & van der Kwast, W.A.M. (1993)

Surgical orthodontics - Diagnosisand rreatmenr.vU University


press.Amsterdam

Wray D, Stenhouse D, Lee D, Clark A.J.E. 2003. Textbook Of General And Oral
Surgery. Philadelphia. Churchill LivingStone. P.299-300.

Anda mungkin juga menyukai