PENDAHULUAN
D. Stuktur Antigen
Stafilokokus mengandung antigen polisakarida dan protein seperti
zat lain yang penting dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu
polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang
bergabung memberikan eksoskeleton yang kaku dari dinding sel.
Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau paparan terhadap lisozim.
Ini penting dalam patogenesis infeksi : Infeksi akan merangsang
pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonin
oleh monosit, dan ini dapat menjadi penarik kimiawi bagi leukosit
polimorfonuklear, mempunyai aktivitas seperti endotoksin
danmengaktivasi komplemen.
Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol atau ribitol
fosfat,diikat ke peptidoglikan dan dapat menjadi antigenik. Antibodi
asam antiteikoat yang dapat dideteksi mealui difusi gel dapat
ditemukan pada pasiendengan endokarditis aktif yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus.
Protein A merupakan komponen dinding sel. Protein A
telahmenjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi
laboratoriumdiagnostik, contohnya protein A yang dilekati dengan
molekul Ig3 terhadap antigen bakteri spesifik akan mengaglutinasi
bakteri yang mempunyai antigentersebut (ko-aglutinasi).
E. Patologi
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan
dengan perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dan
lain-lain) , tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka
besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-
inducedUTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah.
Dalam hal ini, buang air kecil sangat menyakitkan. Septicaemia dan
endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit
kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi
akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan
sangat rendah. Sedangkan, endokarditis adalah infeksi katup jantung
dan bagian lapisandalam dari otot jantung. Staphylococcus epidermidis
dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan permukaan
lingkungan.
F. Patogenitas
Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada
kulit manusia dan pada umumnya tidak menjadi masalah bagi orang
normal yang sehat. Akan tetapi, kini organisme ini menjadi patogen
oportunis yang menyebabkan infeksi nosokomial pada persendian dan
pembuluh darah. Staphylococcus epidermidis memproduksi sejenis
toksin atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir
yang memudahkannya untuk menempel di mana-mana, termasuk di
permukaan alat-alat yang terbuat dari plastik atau kaca. Lendir ini pula
yang membuat bakteri Staphylococcusepidermidis lebih tahan terhadap
fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem
kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu (Sinaga, 2004).
Staphylococcus epidermidis umumnya dapat menimbulkan
penyakit pembengkakan (abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi
saluran kemih,dan infeksi ginjal (Radji, 2011). Selain itu,
Staphylococcus epidermidis Juga dapat menimbulkan infeksi pada
neonatus, orang-orang yang system kekebalannya rendah dan pada
penderita yang menggunakan alat yangdipasang di dalam tubuh (Hart
dan Shears, 2004).
G. Virulensi
Kemampuan untuk membentuk biofilm pada perangkat
plastik merupakan faktor virulensi utama untuk S. epidermidis. Salah
satu penyebabyang mungkin adalah protein permukaan yang mengikat
protein darah danmatriks ekstraselular. Ini menghasilkan bahan
ekstraselular dikenal sebagaiadhesi polisakarida interselular (PIA),
yang terdiri dari sulfat polisakarida Hal ini memungkinkan bakteri lain
untuk mengikat ke biofilm yang sudahada, membuat biofilm
multilayer. Biofilm tersebut menurunkan aktivitas metabolisme bakteri
didalamnya. Ini penurunan metabolisme, dalam kombinasi dengan
difusigangguan antibiotik, membuat sulit untuk antibiotik untuk secara
efektif membersihkan jenis infeksi. S. epidermidis strain sering
resisten terhadap antibiotik, termasuk penisilin, amoksisilin , dan
methicillin organisme resisten yang paling sering ditemukan dalam
usus, namun organisme hidup bebas di kulit juga bisa menjadi kebal
karena paparan rutin terhadapantibiotik disekresi dalam keringat.
H. Penyakit
Staphylococcus epidermidis menyebabkan biofilm tumbuh pada
perangkat plastik yang ditempatkan di dalam tubuh. Hal ini terjadi
paling sering padaintravena kateter dan medis prostesis . Infeksi juga
dapat terjadi pada pasien dialisis atau siapa pun dengan perangkat
plastik implan yang mungkin telah terkontaminasi . Hal ini juga
menyebabkan endokarditis , paling sering pada pasien dengan katup
jantung yang rusak. Dalam beberapa kasus lain, sepsis dapat terjadi
pada pasien rumah sakit (Sinaga, 2004).
Antibiotik tidak efektif dalam membersihkan biofilm. Pengobatan
yang paling umum untuk infeksi ini adalah untuk menghapus atau
mengganti implan yang terinfeksi, meskipun dalam semua kasus,
pencegahan sangat ideal. Obat pilihan sering vankomisin , yang
rifampisin atau aminoglikosidadapat ditambahkan. Mencuci tangan
telah terbukti mengurangi penyebaraninfeksi. Penelitian awal juga
menunjukkan S. epidermidis secara universal ditemukan di dalam
mempengaruhi jerawat vulgaris pori-pori, dimana Propionibacterium
acnes biasanya satu-satunya penduduk.
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan
perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dll), tetapi
biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi
kateter bersama dengan kateter-induced UTI menyebabkan peradangan
serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat
menyakitkan.
Septicaemia dan endocarditis termasuk penyakit yang
berhubungan dengan Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul
adalah demam, sakit kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan
dyspnea. Septicaemia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika
bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, Endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagianlapisan dalam dari otot jantung.
Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan
pasien dan permukaan lingkungan.
A. Morfologi
Escherichia coliumumnya merupakan bakteri pathogen yang
banyak ditemukan pada saluran pencernaan manusia sebagai flora
normal. Morfologi bakteri ini adalah kuman berbentuk batang pendek
(coccobasil), gram negatif, ukuran 0,4 – 0,7 µm x 1,4 µm, sebagian
besar gerak positif dan beberapa Strain mempunyai kapsul (Karsinah,
H.M. Lucky, Suharto dan H.W. Mardiastuti, 1994).
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk
basil, ada yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil)
atau berkoloni membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak
membentuk spora maupun kapsula, berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0
μm, dapat bertahan hidup di medium sederhana dan memfermentasi
laktosa, menghasilkan asam dan gas, kandungan G+C DNA ialah 50-
51 mol % (Jawetz dkk, 2008).
Pergerakan bakteri ini motil, dan peritrikus. Ada yang bersifat
aerobik dan fakultatif anaerob. Escherichia coli merupakan flora
normal usus, dan seringkali menyebabkan infeksi. Kecepatan
berkembang biak bakteri ini berada pada interval 20 menit jika faktor
media, derajat keasaman, dan suhu sesuai. Selain tersebar di banyak
tempat dan kondisi, bakteri ini tahan terhadap suhu, bahkan pada suhu
ekstrim sekalipun. Suhu yang optimalnya adalah 37 oC. Oleh karena
itu, bakteri tersebut dapat hidup dalam tubuh manusia dan vertebrata
lainnya (Jawetz dkk, 2008).
B. Fisiologi
Escherichia coli adalah kuman oportunitis yang banyak ditemukan
di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik
karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare
pada anak dan travelersdiarhea. Selama bertahun–tahun Escherichia
coli dicurigai sebagai salah satu penyebab diare yang timbul pada
manusia khususnya pada anak–anak yang mengakibatkan
kematian.Ada dua macam enterotoksin yang diisolasi dari Eschrichia
coli yaitu:
1. Termolabil Toksin (LT)
Seperti toksin kolera, toksin LT bekerja merangsang enzim adenil
siklase yang terdapat didalam sel epitel mukosa usus halus
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim tersebut dan terjadinya
peningkatan permeabilitas sel epitel usus, sehingga terjadi
akumulasi cairan dalam usus dan berakhir dengan diare. Toksin LT
seperti juga toksin kolera bersifat cytopathis terhadap sel tumor
adrenal dan sel ovarium Chinese hamster serta meningkatkan
permeabilitas kapiler pada test rabit skin. Kekuatan toksin LT
adalah 100x lebih rendah dbandingkan toksin kolera dalam
menimbulkan diare.
2. Termostabil Toksin (ST)
Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton,
mempunyai satu atau lebih ikatan disulfda yang penting untuk
mengatur stabilitas pH 7 dan suhu 37oC.
C. Klasifikasi
Superdomain : Phylogenetica
Filum : Proterobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Species: Escherichia Coli
D. Proses-Proses Kehidupan
Secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni
tubuh. Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung (
bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya ) kemudian diteruskan
melalui mulut, akan tetapi E.coli pun dapat ditemukan tersebar di alam
sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan
atau minuman.
Di dalam uji analisis air, E. coli merupakan mikroorganisme yang
dipakai sebagai indikator untuk menguji adanya pencemaran air oleh
tinja. Di dalam kehidupan kita E.coli mempunyai peranan yang cukup
penting yaitu selain sebagai penghuni tubuh ( di dalam usus besar)
juga E. coli menghasilkan kolisin yang dapat melindungi saluran
pencernaan dari bakteri patogenik. Escherichia coli akan menjadi
patogen bila pindah dari habitatnya yang normal kebagian lain dalam
inang, misalnya, bila E. coli di dalam usus masuk ke dalam saluran
kandung kemih kelamin dapat menyebabkan sistitis, yaitu suatu
peradangan pada selaput lendir organ tersebut.
Escherichia sekarang dianggap sebagai genus dengan hanya satu
species yang mempunyai beberapa ratus tipe antigenik. Tipe-tipe ini
dicirikan menurut kombinasi yang berbeda-beda antara antigen 0
(antigen lipoporisakaride somatik di dalam dinding sel ), K ( antigen
polisakaride kapsul) dan H (antigen protein flagela). tambahan pula
antigen K dibagi menjadi antigen L, A atau B berdasarkan pada ciri
fisiknya yang berbeda-beda. Galur-galur tertentu dari E. coli mampu
menyebabkan gastroenteristis Saraf sedang sampai parah pada manusia
dan hewan.
F. Patogenesis
Escherichia coli adalah spesies yang paling penting dari genus
Escherichia dan merupakan flora normal yang dapat menyebabkan
infeksi pada saluran kencing, luka, bakterimia, septisemia dan
meningitis serta infeksi gastrointestinal (Gaani A, 2003).
Sehubungan dengan infeksi pada usus dikenal lima jenis
Escherichia coli, yaitu:
1. Enteropathogenik Escherichia coli
(EPEC) EPEC mematuhi enterosit usus kecil, tapi menghancurkan
arsitektur microvillar normal, menginduksi melampirkan
karakteristik dan menonjolkan lesi. Derangements cytoskeletal yang
disertai dengan respon inflamasi dan diare.EPEC menyebabkan
diare pada bayi atau anak-anak kurang dari 1 tahun dan jarang pada
orang dewasa dengan gejala berupa demam tidak tinggi, muntah,
malaise dan diare
(EAEC) Menganut kecil dan besar epitel usus dalam biofilm tebal
dan menguraikan enterotoksin sekresi dan sitotoksin. EAEC
menyebabkan diare dengfan cara menempel kuat pada permukaan
mukosa usus dengan gejala tinja encer berair, muntah, dehidrasi,
dan biasanya sakit pada abdomen.
2.3.3. Bacteroides
Genus Bacteroides adalah salah satu kelompok bakteri yang jumlahnya
predominan dalam tubuh. Genus ini untuk pertama kalinya dideskripsikan
pada tahun 1898. Selama bertahun-tahun, Bacteroides merupakan
kumpulan tak jelas bakteri anaerob obligat gram negatif dan berbentuk
batang plemorfik yang tidak dapat dimasukkan kedalam genus lain.
Analisis fisiologik pada genus ini mengungkapkan adanya heterogenitas
yang cukup besar, dalam hal sifat biokimiawi, yang menunjukkan bahwa
bakteri inibukan merupakan kelompok filogenik yang sejati. Dengan teknik
analisa filogenik, sejumlah peneliti berusaha menata ulang kelompok
bakteri ini denganmemperhatikan cirri fisiologik, penentuan tipe serologik,
penentuan tipe bakteriofaga, analisis lipida, klasifikasi ologonukleotida,
dan dengan membandingkan skuens rRNA 55-16S. berdasarkan informasi
ini, anggota lama genus Bacteroides dibagi menjadi tiga genus,
yaituBacteroides, Provotella, dan Porphyromonas Berikut gambar
bacteroides:
A. Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Filum : Bacteroidetes
Ordo : Bacteroidales
Familia : Bacteroidaceae
Genus : Bacteroides ( Castellani & Chalmers 1919)
Spesies : B. acidifaciens, B. distasonis, B.oris, B.gracilis, B.
fragilis, B. ovatus, B. putredinis, B. pyogenes, B. stercoris, B. suis, B.
tectus, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, dan lain-lain.
Secara klinik, bakteri gram negatif anaerob padaumumnya dapat
diklasifikasikan berdasarkan koloni mikroskopik, morfologi dengan
pewarnaan gram, sensitivitas terhadap antibiotika tertentu, dan uji
biokimiawi.
Metode yang lebih canggih untuk identifikasi spesies adalah uji
biokimiawi lanjut,yaitu inokulasi pada tabung yang berisi karbohidrat
dan mengukur pH larutan biakan setelah bakteri tersebut tumbuh,
maupun dengan kromatografi gas-cairan (GLC) untuk memerksa hasil
akhir berupa asam lemak. Juga tersedia reagens antibody fluoresensi
untuk diagnosis cepat, meskipun pemakaiannya belum tersebar luas
diklinik. Penentuan tipe dengan bakteriofaga juga telah dilakukan.
Dengan berkemmbangnya teknik baru, homologi DNA telah
memberikan cara untuk klasifikasi spesies Bacteroides dengan lebih
cermat. Yang dahulu disebut subspesies Bacteroidesfragilis, yaitu B.
thetaiotataomicron, B. vulgates, B. distasonis, B. ovalis dan B.
uniformis, maupun B. fragilis sendiri, kini dianggap sebagai spesies
terpisah, berdasarkan homologi DNA. Homologi DNA juga telah
menyebabkan reklasifikasi golongan B. melaninogenicus menjadi
enam spesies tersendiri, termasuk B. melaninogenicus, B. intermedius,
B. gingivalis, B. denticola, B. loescheii dan B. corporis. Disamping
itu, spesies Bacteroides lainnya meliputi anggota golongan
Bacteroides oralis, yaitu B. oris, B. buccae, B. capillus, dan B.
pentosaceus. Bacteroidesbivius dan B. disiens merupakan spesies
Bacteroides yang baru diakui dan penting pada flora vagina normal.
Definisi Bacteroides pada saat ini adalah sebagai berikut, anaerob
obligat gram negatif, sakarolitik serta menghasilkan asetat dan suksinat
sebagai hasil akhir metabolic yang terpenting, mengandung enzim
hexose monophosphate shuntpentose phosphate pathway, mempunyai
susunan basa DNA pada kisaran 40-48 mol%GC, membrannya
mengandung sfingolipida dan mengandung campuran asam lemak
bercabang anteiso-metil dan iso-metil, dan mengandung asam meso-
diaminopimelat pada lapisan peptidoglikannya.
Definisi ini membatasi Bacteroides pada sepuluh spesies, yaitu B.
fragillis, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, B. ovatus, B. distasonis, B.
uniformis, B. stercoris, B. eggerthii, B. merdae, dan B. caccae,dengan
B. fragilis sebagai galur tipe (type strain). Bakteri Bacteroides,
bersama bakteri Prevotella dan Porphyromonas, membentuk satu
subgolongan utama pada filum bakteri Cytophaga-Flavobacter-
Bacteroides. Filum ini berdivergensi sangat dini dalam evolusi turunan
bakteri, dengan demikian bakteri Bacteroides, meskipun merupakan
organism gram negatif, tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang
dekat dengan bakteri gram negatif golongan enteric seperti Escherichia
coli.
E. Patogenesis
Meskipun penelitian tentang pathogenesis infksi anaerob sering
difokuskan pada suatu spesies saja, penting diketahui bahwa infeksi
bakteri anaerob lebih sering disebabkan oleh beberapa spesies
anaerob yang bekerja bersama-sama untuk menyebabkan penyakit.
Sebagai contoh, ketika bakteri fakultatif anaerob seperti E.coli
dijumpai pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen
yang ada sehingga menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi
Bacteroides dan anaerob lainnya untuk tumbuh. Bacteroides
menghasilkan enzim kolagenase, neuraminidase, deoxyribonuclease
(DNase), heparinase, dan proteinase yang berperan pada pathogenesis
dengan membantu mikroorganisme ini melakukan penetrasi
kejaringan dan menimbulkan infeksi setelah operasi atau trauma
lainnya. Insidens yang disebabkan oleh mikroorganisme ini dapat
diturunkan atau dihilangkan dengan menghindari kondisi yang
menyebabkan menurunnya potensial redoks jaringan dan mencegah
masuknya bakteri anaerob kedalam jaringan host yang mempunyai
resiko.
Spesies Bacteroides juga menguntungkan hospesnya dengan
mencegah kolonisasi usus oleh pathogen potensial. Beberapa spesies
(misalnya B. fragilis) merupakan pathogen oportunisik pada manusia
yang menyebabkan infeksi rongga peritoneum, infeksi bedah
gastrointestinal, dan apendisitis dengan pembentukan abses,
menghambat fagositosis, dan inaktivasi antibiotika beta-laktam.
Meskipun apesies Bacteroides bersifat anaeorob, bakteri ini bersifat
aerotoleran sehingga dapat bertahan hidup di dalam rongga abdomen.
F. Manifestasi Klinik
Spesies Bacteroides sering dijumpai di berbagai tempat sebagai
flora residen dan cenderung terdapat pada rongga abses serta
merupakan infeksi campur. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa organism ini ditemukan pada infeksi yang beraneka ragam,
mulai dari abses otak, sinusitis serta penyakit periodontal, dan abses
intra-abdominal, sampai kepada abses traktur genitalis wanita.
Yang paling sering diisolasi adalah grup dari B. fragilis (B.
fragilis, B. ovatus, B. distasonis, B. vulgates, B. thetaiotaomicron, B.
uniformis), terutama berasal dari infeksi yang berkaitan dengan
kontaminasi isi kolon. Beberapa spesies dari grup B.
melaninogenicus dijumpai pada infeksi traktus genitalis wanita.
Bacteroides fragilis merupakan penyebab penyakit inflamasi pada
pelvis (pelvic inflammatory disease),selulitis terutama pada pasien
diabetes, dan kadang-kadang abses di otak dan saluran
gastrointestinal.
Sindrom klinik yang umum terjadi adalah : pembentukan abses
pada tempat yang normalnya steril dan bakterimia
Bacteroides fragilis adalah batang gram negative kedua yang
paling sering diisolasi dari biakan darah, setelah E.coli, dan
merupakan spesies Bacteroides yang paling umum yang terkait
dengan bakteremia, yang ditemukan pada 78% biakan. Bila B.
fragilis dibiakkan dari darah, sering kali terdapat sumber infeksi local
yang terkait, terutama pada abdomen.
Infeksi bakteri anaerob polimikrobik dengan B. fragilis sering
menyebabkan abses. Penting dipertimbangkan adanya B. fragilis
pada infeksi panggul yang melibatkan abses (misalnya abses tuubo-
ovarial), atau pada infeksi pasca-seksio sesarea atau infeksi pada
histerektomi vaginal. Salpingitis atau endometritis tanpa
pembentukkan abses kurang sering terkait dengan B.fragilis sebagai
pathogen.
1. Infeksi kulit dan jaringan lunak paling sering terkait dengan
B.fragilis. bakteri anaerob gram negatif memasuki tempat ini
melalui gigitan atau trauma.
2. Traktus respiratorius infeksi polimikrobik juga melibatkan bakteri
Bacteroides non-fragilis.
G. Pemeriksaan Laboratorium
Bacteroides fragilis dapat dibedakan dengan spesies Bacteroides
lainnya dan dengan fusobactorium atas dasar pertumbuhannya pada
20% empedu (yang menghambat kebanyakan spesies Bacteroides
dan fusobactorium). Sifat katalase positif, dan Resistensi terhadap
kenamisin, vankomisin dan kolistin. Bacteroides fragilis tumbuh
sebagai koloni mengkilat berdiameter 1-3 mm yang bersifat
nonhemolitik pada lempeng darah. Pada pewarnaan gram, bakteri ini
merupakan batang negatif gram yang berwarna pucat dan mungkin
bersifat pleomorfi serta warnanya tidak teratur,sifat nya juga
aerotoleran.
H. Diagnosis
Karakteristik klinis infeksi oleh Bacteroides yang pertama terlihat
adalah seperti infeksi anaerob pada umumnya. Karakteristik ini
meliputi pengeluaran yang mempunyai bau khas, lokasi infeksi
terutama pada permukaan mukosa, jaringan nekrosis, ada gas dalam
jaringan atau dicharge, terdapat hubungan infeksi dengan kanker, ada
infeksi karena pemakaian memiliki angka kematian sebesar 60%.
Akan tetapi, angka kematian ini dapat diperbaiki dengan pengobatan
antimikroba yang tepat. Resistensi terhadap obat antimikroba dapat
terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu afinitas yang berubah pada saat
peningkatan kepada sasaran, permeabilitas yang menurun terhadap
antibiotik yang bersangkutan, atau keberadaan enzim inaktivasi.
Bakteri Bacteroides sangat pawai menghindar dari antimikroba dan
mungkin menggunakan salah satu atau semua mekanisme diatas
untuk mengganggu pengobatan klinik yang efektif.
Bakteri Bacteroides pada umumnya resisten terhadap berbagai
antibiotika beta-laktam, aminoglikosida, dan akhir-akhir ini banyak
spesies yang telah menjadi resisten terhadap eritromisin dan
tetrasiklin. Tingkat Resistensi yang tinggi terhadap antibiotika ini
menimbulkan kekhawatiran bahwa spesies Bacteroides akan menjadi
reservoir resisten untuk jalur bakteri lainnya yang lebih patogenik.
Pada tahun-tahun terkahir mulai timbul pemahaman mengenai
genetika organisme ini, yang merupakan bidang penelitian penting,
dan ringkasannya di buat dengan baik. Plasmid yang mengandung
gen resisten terhadap klindamisin, eritromisin termasuk pBF4,
pBFTM10 dan pBI136 telah diidentifikasi. Anehnya dua diantara
plasmid ini juga membawa gen resisten terhadap tetrasiklin, tetapi
tidak terekpresikan pada spesies Bacteroides, namun menimbulkan
resisten terhadap tetrasiklin pada Escherichia coli bila organisme itu
dibiak dalam keadaan aerob. Telah diidentifikasi pula galur B.
Fragilis yang tampaknya membawa gen resisten klindamisin –
eritromisin pada kromosom, bukannya pada plasmid.
I. Pengendalian
Ada dua petunjuk untuk pencegahan terhadap infeksi anaerob,
yaitu menghindari suasana yang dapat menurunkan potensial redoks
di jaringan dan mencegah bakteri anaerob flora normal ke luka, pada
rongga yang tertutup, atau tempat lain yang mempunyai resiko
infeksi. Pencegahan denganpengobatan antimikroba efektif pada
situasi tertentu.
2.3.4. Moraxella
Moraxella (Branhamella) catarrhalis, sebelumnya bernama Neisseria
catarrhalis atau Micrococcus catarrhalis, adalah gram-negatif, diplococcus
aerobik yang sering ditemukan sebagai komensal saluran pernapasan atas.
Selama 20 hingga 30 tahun terakhir, bakteri telah muncul sebagai patogen
asli dan sekarang dianggap sebagai penyebab penting infeksi saluran
pernapasan atas pada anak-anak dan orang tua yang sehat. Selain itu, M.
catarrhalis adalah penyebab penting infeksi saluran pernapasan bawah,
terutama pada orang dewasa dengan penyakit paru obstruktif kronis. Pada
host yang immunocompromized, bakteri dapat menyebabkan berbagai
infeksi parah termasuk pneumonia, endokarditis, septikemia, dan
meningitis. Selain itu, wabah penyakit pernapasan di rumah sakit karena
M. catarrhalis sekarang menetapkan bakteri sebagai patogen nosokomial.
Karena M. catarrhalis telah lama dianggap sebagai komensal yang tidak
berbahaya, relatif sedikit yang diketahui tentang karakteristik patogenik
dan faktor virulensinya, meskipun perkembangan dalam bidang penelitian
ini telah dipercepat selama 5 tahun terakhir.
Munculnya M. catarrhalis sebagai patogen dalam dekade terakhir,
bersama dengan meningkatnya prevalensi strain penghasil β-laktamase,
telah menarik minat baru pada spesies bakteri ini. Dalam ulasan ini, kami
akan merangkum fitur-fitur penting dari organisme ini, dengan fokus pada
epidemiologi mikroba, virulensi, imunitas, dan aspek klinis dan molekuler-
patogen infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Berikut adalah
gambar bakteri Moraxella:
A. Taxonimi
Di masa lalu, M. catarrhalis dianggap sebagai anggota
nonpathogenik dari flora penduduk nasofaring. Itu adalah salah satu
spesies milik apa yang disebut nongonococcal, neisseriae non
meningococcal, dianggap sebagai anggota flora normal. Nama
spesies telah menyebabkan kebingungan yang cukup besar. Bakteri
ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1896 (98) dan disebut
Micrococcus catarrhalis. Belakangan berganti nama menjadi
Neisseria catarrhalis. Pada tahun 1963, Berger menunjukkan bahwa
genus asli Micrococcus catarrhalis sebenarnya berisi dua spesies
yang berbeda yaitu Neisseria cinerea dan N. catarrhalis. Spesies ini
dapat dipisahkan berdasarkan hasil reduksi nitrat dan nitrit serta
pengujian konversi tributyrin. Karena pemisahan filogenetik yang
luas antara N. catarrhalis dan apa yang disebut spesies Neisseria,
diamati dengan berbagai metode, bakteri dipindahkan ke genus baru
Branhamella. Pada tahun 1984, B. catarrhalis dipindahkan ke genus
Moraxella sebagai Moraxella (Branhamella) catarrhalis. Genus ini
sekarang mengandung coccoid dan bakteri berbentuk batang, yang
terkait secara genetik. Posisi M. catarrhalis dalam kerajaan
prokariotik. Banyak ilmuwan lebih suka nama Branhamella
catarrhalis, dan dalam beberapa publikasi baru-baru ini nama ini
terutama digunakan.
2. Otitis Media
Otitis media akut (OMA) adalah infeksi yang sangat sering
terjadi pada anak-anak: sebelum usia 1 tahun, sekitar 50% anak
telah mengalami setidaknya satu periode OMA. Proporsi ini naik
menjadi 70% pada usia 3 tahun. Tidak diragukan lagi, itu adalah
infeksi paling serius dan sering disebabkan oleh M. catarrhalis
pada anak-anak, dan karena itu M. catarrhalis menyebabkan
morbiditas yang luar biasa dan membutuhkan penggunaan
antibiotik secara luas. Meskipun tidak sering ditemui sebagai
patogen, M. catarrhalis telah diakui sebagai patogen spesifik
dalam OMA selama hampir 70 tahun. Sejak 1980, peningkatan
yang nyata telah dilaporkan dalam isolasi M. catarrhalis dari
eksudat telinga tengah. Peningkatan isolasi M. catarrhalis menjadi
sekitar 15 hingga 20% telah disertai oleh munculnya strain yang
memproduksi β-laktamase, yang saat ini mencakup sekitar 90
hingga 95% isolat. Namun, besaran yang tepat dari peningkatan
yang jelas dalam tingkat isolasi ini mungkin belum diukur secara
memadai , karena tympanocentesis dan kultur cairan telinga
tengah tidak dilakukan secara rutin. Patel et al. membiakkan
cairan telinga tengah dari 99 anak-anak dengan AOM dan S.
pneumoniae yang terisolasi, H. influenzae yang tidak dapat
diketikkan, dan M. catarrhalis masing-masing dari 39, 30, dan
25% dari subyek. Sekali lagi, tingkat isolasi untuk M. catarrhalis
mungkin menjadi terlalu rendah, mengingat lingkungan yang
relatif anaerob dari telinga tengah selama infeksi. Dalam sebuah
penelitian yang menggunakan PCR, DNA M. catarrhalis terdeteksi
pada 46,4% spesimen efusi telinga tengah kronis anak ,
dibandingkan dengan 54,6% untuk DNA H. influenzae dan 29,9%
untuk DNA S. pneumoniae. Sebagian besar (48%) spesimen
adalah PCR positif dan budaya negatif, sedangkan semua
spesimen budaya positif juga PCR positif. Sangat tidak mungkin
bahwa spesimen PCR-positif namun kultur-negatif mencerminkan
persistensi DNA dari infeksi lama. Tingkat keparahan gejala dan
jumlah bakteri dalam cairan telinga tengah tampaknya lebih
rendah untuk M. catarrhalis daripada untuk S. pneumoniae atau H.
influenza.
Radang tenggorokan
e Perlawanan Komplemen
2.3.5. Pertusis
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit ini
adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.
B. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
o
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50 C tetapi
o o
bertahan pada suhu 0 – 10 C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran
pernapasan (Cahyono dkk, 2010)
C. Gejala
Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah
dan adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan
batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita
muntah setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka
mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin
perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita
penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama
berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.
Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%
batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65%
mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan
0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan
manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga
bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada
remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat
akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20%
dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala
pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan
memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:
D. Patofisiologi
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat
kecil yang tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik
keseluruhan dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi
dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.
Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang tinggi pada
gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein
virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip
bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010).
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari
dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).
Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun
bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal
terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak
bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang
sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang
lebih ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010).
Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas
di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan
subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk,
2008).
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan
keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat
hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3
minggu dan berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah
menghilang (Irawan dkk, 2008).
Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan
dengan nasopharing, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan
otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan jika
penyumbatan tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat pecah melalui
gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi
tulang mastoid yang terletak di belakang telinga.
Batuk yang mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih
yang kemudian berubah menjadi purulen. Purulen tersebut jika terus bertambah
maka akan menyumbat bronkioli. Sehingga seseorang akan menjadi atelektasis.
Atelektasis (Atelectasis) adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus). Kemudian
setelah seseorang mengalami penyumbatan saluran udara secara berlebihan dan
disertai batuk yang hebat sehingga alveoli pecah maka seseorang akan
mengalami emphisema Pulmonum.
Toksin (racun) pertusis dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak
jaringan lain dalam tubuh, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan
komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung
akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang
menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.
G. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org).
Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut
diberikan pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan,
15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org).
Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive
atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang
disuntik (mayoclinic.org).
Booster Shots
Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11
tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh
dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,
Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat
dewasa untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian
vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari
orangtua ke anak/bayi.
Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk
menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan
pertama kehidupan.
NAMA PENYUSUN
A. Taksonomi
Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa lalu, yang dikenal
karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup
bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884
oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk
pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan
menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang
fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban
manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa
menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin
bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond
Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam
tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin
lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan
untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia ke-
II. (Anonim,1997)
A. Epidemiologi
Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika
Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping
sanitasi lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia,
pemyakit ini masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan. Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan
terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi
dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk
yang paling sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000
bayi setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada
sekitar sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup
di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus
pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka
kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang
tidak terimunisasi men inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari
infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun
atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.
B. Morfologi
Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama
10– 15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. (Anonim,1997)
C. Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang
penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus
merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di
tanah dan feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari.
Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan
mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.
Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani
sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana luka
terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local.
Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah
muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan
saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan
perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis. Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus
Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak
diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak
steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan
kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu
pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan
gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6 Menurut beratnya gejala dapat
dibedakan 3 stadium :
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.
F. Patogenesis
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi setelah luka tusuk
yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka
tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi
yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang
ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores,
lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula
merupakan porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media
perforata sebagai tempat masuk C. Tetani. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat
berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf
otonom. Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik
dan serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara
absorbsi dan bekerjanya toksin :
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti
antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat,
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas
dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin.
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan
berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar
katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi
lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trimus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang
dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti. (Fluit, C. 2001)
G. Pencegahan
Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :
Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif (DPT atau DT). (Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran)
H. Pengobatan
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :
Kesimpulan
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam udara yang kita
hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita
sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata
Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio
Schizomycetes.
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang
2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit
tetanus.
NAMA PENYUSUN
Vibrio cholera adalah salah satu bakteri yang masuk dalam family Vibrionaceae
selain dari Aeromonas dan Plesiomonas, dan merupakan bagian dari genus Vibrio.
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1884 dan sangat
penting dalam dunia kedokteran karena menyebabkan penyakit kolera. Vibrio cholera
banyak ditemui di permukaan air yang terkontaminasi dengan feces yang mengandung
kuman tersebut, oleh karena itu penularan penyakit ini dapat melalui air, makanan dan
sanitasi yang buruk.
Kongdom :Bacteria
Filum :Proteobacteria
Kelas :Gamma Proteobacteria
Ordo :Vibrionales
Famili :Vibrionaceae
Genus :Vibrio
Spesies :Vibrio cholerae (Amelia,S.2005)
B. StrukturAntigenVibrio cholerae
Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel H ini
bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji
aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang penting dalam
pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholera. Antigen somatik O ini terdiri dari
lipoposakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir. Antibodi terhadap antigen O
bersifat protektif. (Finegold sm, Dkk.1994)
Imunitas terhadap toksik kolera dan antigen permukaan bakteri sama dengan respon
imun alami. Proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik, sedangkan
antibodi serum sebagai tanda untuk pajanan sebelumnya tidak melindungi.
Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Seorang
yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak atau lebih
V.cholera dalam air agar menginfeksi, sebab kuman ini sangat sensitive pada suasana asam.
Jika mediator makanan, sebanyak 102-104 organisme yang diperlukan karena kapasitas
buffer yang cukup dari makanan. Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat
menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang sensitive terhadap infeksi
Vibrio cholera
Ada duajenis V. cholerae yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Jenis utama
yang menyebabkan kolera adalah V. cholerae O1, sedangkan jenis-jenis lainnya dikenal
sebagai non-O1.
V.cholerae O1 adaalah penyebab kolera Asiatik atau kolera epidemik. Kasus kolera
sangat jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Sebagian besar kasus kolera terjadi
didaerah-daerah (sub)-tropis. Kolera selalu disebabkan oleh air yang tercemar atau ikan
(atau kerang) yang berasaldari perairan yang tercemar.
V.cholerae non-O1 hanya menginfeksi manusia dan hewan primata lainnya. Organisme
ini berkerabat dengan V.cholerae O1, tetapi penyakit yang ditimbulkannya tidak separah
kolera. Strain patogenik dan non- patogenik dari organisme ini merupakan penghuni normal
dilingkungan air laut dan muara. Organisme ini pada masa lalu disebut sebagai non-cholera
vibrio (NCV) dan nonagglutinable vibrio (NAG).
Berdasarkan penelitian yang diilakukan di Kolkata India, Strain diperiksa dengan uji
mutasi ketidaksesuaian amplifikasi (MAMA) berbasis PCR untuk mendeteksi alel ctxB;
primer digunakan untuk 2 alel, FW-Com (5'-ACTATCTTCAGCATATGCACATGG-3');
dan 2 alel spesifik primer, Re-CLA (5'-CCTGGTACtTTCTACTTGAAACG-3') dan Re-elt
(5'-CCTGGTACTTCTACTTGAAACA-3'), masing-masing digunakan untuk biotipe klasik
dan Tor El.
Hasil MAMA-PCR menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 jenis klasik telah
sepenuhnya menggantikan jenis ctxB El Tor.Urutan asam amino disimpulkan selaras
dengan urutan CtxB strain referensi N16961 (El Tor) dan O395 (klasik).Urutan asam amino
menyimpulkan dari semua 25 strain yang diuji identik dengan strain referensi klasik;
histidin berada di posisi 39 dan treonin berada di posisi 68.Dengan demikian, hasil dari
sekuensing DNA dari gen ctxB dikonfirmasi MAMA-PCR dengan baik.
Hasil ini menunjukkan peristiwa yang patut dicatat dalam evolusi terakhir
strainsV.cholerae. Analisis ctxB yang telah beredar di Kolkata selama 17 tahun (1989-
2005) menunjukkan bahwa pada tahun 1989 hanya alel El Tor yang terdapat ctxB. Hasil
kami lebih lanjut menunjukkan bahwa jenis ctxB klasik muncul pada tahun 1990, meskipun
El Tor jenis ctxB masih hadir dalam jumlah yang hampir sama selama tahun itu. Selama
tahun 1991, sebuah peristiwa unik terjadi ketika jenis klasik menjadi dominan, bersama
dengan strain yang memiliki keduanya yakni klasik dan El Tor jenis ctxB.Pada tahun 1994,
isolasi strain El Tor dengan ctxB menjadi langka, dan alel ctxB utama adalah dari jenis
klasik. Strain V.cholerae O1 dari tahun 1995 dan seterusnya ditemukan hanya membawa
ctxB jenis klasik, yang benar-benar menggantikan El Tor tipe alel ctxB.
Penggantian jenis El Tor ctxB oleh alel klasik telah dilaporkan di Bangladesh sejak
2001, yang tampaknya telah terjadi sebelumnya di Kolkata. Perubahan ini didorong oleh
tekanan selektif untuk bertahan hidup dan beradaptasi lebih baik di usus host. Mengingat
peningkatan prevalensi global kolera, asal dan penyebaran varian baru dari V.cholerae
strain harus dilacak dalam populasi dengan analisis genom.
Mekanisme genetik dari bakteri ini dimana ''V. cholerae'' bakteri mematikan produksi
beberapa protein dan menghidupkan produksi protein lain sebagai respon mereka terhadap
serangkaian lingkungan kimia yang mereka hadapi, melewati perut, melalui lapisan mukosa
dari usus kecil, dan masuk ke usus dinding. Kepentingan tertentu telah menjadi mekanisme
genetik dengan bakteri kolera yang menghidupkan produksi protein dari racun yang
berinteraksi dengan mekanisme sel inang untuk memompa ion klorida ke dalam usus kecil,
menciptakan tekanan ionik yang mencegah ion natrium memasuki sel. Klorida dan ion
natrium menciptakan lingkungan air garam di usus kecil yang melalui osmosis dapat
menarik hingga enam liter air per hari melalui sel-sel usus menciptakan sejumlah besar
diare. Tuan rumah dapat menjadi cepat dehidrasi jika campuran yang tepat dari air garam
encer dan gula tidak diambil untuk menggantikan air dan garam darah yang hilang selama
diare.
Bakteri Vibrio Cholerae akan mengeluarkan enterotoksin atau racunnya di saluran usus
sehingga terjadinya diare yang dapat berakibat pada kehilangan banyak cairan tubuh atau
dehidrasi.Jika dehidrasi tidak segera ditangani atau mendapatkan penanganan yang tepat
dapat berlanjut ke arah hipovolemik dan asidosis metabolik sampai akhirnya menyebabkan
kematian. Hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah di mana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ. Sedangkan asidosis
metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya
kadarbikarbonat dalam darah.
Penyakit kolera dapat menyebar baik sebagai penyakit yang endemik, epidemik atau
pandemik. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feses (kotoran)
manusia. Jika kotoran yang mengandung bakteri mengkontaminasi air sungai dan lainnya,
maka orang yang melakukan kontak dengan air tersebut beresiko terkena kolera, bahkan
mengonsumsi ikan dalam air yang sudah terkontaminasi pun bisa menyebabkan Anda
terkena kolera. (Ryan Kj.2004)
DIAGNOSIS Mudah ditentukan pada daerah endemik. Ciri khasnya berupa vormitus
tanpa nausea, diare cair seperti iar cucian beras, dan tanpa demam. Untuk pemeriksaan
biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal
swab) yang diawetkan dalam media transfor carry-blair atau pepton alkali, atau langsung
ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. Vibrio
cholerae O1 menghasilkan koloni oksidase-positif berwarna kuning. Vibrio cholerae dapat
dibedakan dengan Vibrio mimicus dari kemampuannya meragi sukrosa.Selain itu, untuk
pemeriksaan laboratorium juga bisa dilakukan dengan muntahan. (HandaS. Diakses 9
januari 2011)
F. Gejala-gejala Penyakit
Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare
akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal
penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai
5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara
tiba-tiba).Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar.Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang
kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera.Produksi racun kolera
oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit
ini.
Gejala-gejala V. cholerae non-O1 berupa diare dan kram perut.Demam yang disertai
muntah dan mual terjadi pada 25% individu yang terinfeksi. Kira-kira 25% individu yang
terinfeksi akan mengeluarkan kotoran dengan darah dan lendir. Diare, pada beberapa kasus,
dapat menjadi sangat parah, dan berlangsung selama 6-7 hari. Diare biasanya terjadi dalam
48 jam setelah konsumsi organisme. Mekanisme organisme ini dalam menimbulkan
penyakit tidak diketahui, namun demikian racun enterotoxin dan mekanisme penyerangan
diduga menjadi penyebab penyakit ini.Penyakit muncul saat organisme melekatkan diri ke
usus halus individu yang terinfeksi dan kemudian menyerang korbannya.Dosis infektif –
Diduga organisme dalam jumlah besar (lebih dari satu juta) harus dikonsumsi untuk dapat
menyebabkan penyakit. (Mims, Dkk. 2004)
G. Pencegahan
Dalam situasi epidemi diagnosis klinis dibuat dengan mengambil riwayat gejala dari
pasien dan dengan pemeriksaan singkat saja. Pengobatan biasanya dimulai tanpa atau
sebelum konfirmasi dengan analisis laboratorium spesimen. Tinja dan usap sampel yang
dikumpulkan pada tahap akut penyakit ini, sebelum antibiotik telah diberikan, adalah
spesimen yang paling berguna untuk diagnosis laboratorium. Jika epidemi kolera diduga,
agen penyebab yang paling umum adalah ''Vibrio cholerae O1''. Jika ''V. cholera O1''
serogrup tidak terisolasi, laboratorium harus tes untuk ''V. cholera O139''. Namun, jika
tidak satu pun dari organisme ini terisolasi, perlu untuk mengirim spesimen tinja ke
laboratorium referensi. Infeksi dengan ''V. cholerae O139'' harus dilaporkan dan
ditangani dengan cara yang sama seperti yang disebabkan oleh V.'' cholera O1''. Penyakit
diare terkait harus dirujuk sebagai kolera dan harus dilaporkan sebagai kasus kolera
kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat yang sesuai. Kebersihan yang kurang, air
yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab
utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi
yang baik dapat mencegah infeksi V.cholerae (pelczar Dkk.2006)
NAMA PENYUSUN
Infeksi bakteri Streptococcus juga dapat terjadi di berbagai organ tubuh, baik dari sistem
saluran pernapasan dan pencernaan hingga sistem pembuluh darah dan jantung.
Strep A dapat menyebar melalui partikel air ketika orang yang terinfeksi strep
batuk atau bersin. Bakteri ini juga dapat bertahan hidup pada permukaan benda
tertentu sehingga dapat menular melalui sentuhan.
Infeksi strep A dapat bersifat ringan ataupun invasif. Infeksi ringan dari strep A
di antaranya:
Radang amandel atau radang tenggorokan yang ditandai dengan rasa sakit saat
menelan dan pembengkakan kelenjar.
Infeksi kulit impetigo ditandai dengan rasa perih dan benjolan yang berisi cairan
(blister) pada bagian terluar kulit.
Selulitis, yaitu infeksi kulit bagian dalam yang ditandai dengan adanya
pembengkakan kulit berwarna merah serta disertai rasa sakit dan sensasi panas.
Infeksi sellulitis dapat menyebar dan berpindah ke kulit bagian atas.
Sinusitis adalah infeksi pada rongga kecil di sekitar dahi dan tulang pipi
sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan rasa nyeri pada bagian wajah.
Infeksi telinga, terutama pada rongga udara hingga telinga bagian dalam.
Scarlet fever, yaitu infeksi bakteri yang menimbulkan ruam dan rasa kasar pada
permukaan kulit.
Pada dasarnya, infeksi strep A dapat dengan mudah terjadi ketika seseorang
mengalami penurunan daya tahan tubuh. Infeksi minor dari strep A dapat dengan
mudah disembuhkan tanpa adanya komplikasi dan efek jangka panjang.
Namun, jika seseorang memiliki daya tahan tubuh yang sangat lemah seperti
pada bayi, lansia, orang dengan diabetes, atau pasien kanker dan HIV, maka lebih
mungkin terjadi infeksi strep A invasif yang jauh lebih serius. Misalnya penyakit-
penyakit berikut ini.
Pneumonia, yakni infeksi paru yang ditandai dengan batuk tak kunjung sembuh,
sesak napas dan nyeri pada dada.
Sepsis, yaitu infeksi pada peredaran darah yang dapat menyebabkan gangguan
kerja jantung, demam, dan napas yang memburu.
Meningitis adalah infeksi bakteri streptococcus yang telah mencapai selaput
otak. Penyakit ini ditandai dengan sakit kepala, muntah-muntah, leher kaku, dan
ruam.
Toxic shock syndrome (TSS), yaitu munculnya gejala syok seperti pusing, mual,
diare dan pingsan akibat kuman strep A mengeluarkan racun pada aliran darah.
Necrotising fasciitis adalah infeksi pada kulit bagian dalam dan area yang
berdekatan dengan otot (fascia) yang menyebabkan rasa nyeri, bengkak, dan
kemerahan. Infeksi ini bisa menyebar dengan cepat.
Infeksi strap invasif merupakan penyakit yang serius sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pada keadaan serius, satu dari empat orang yang mengalami strep A
invasif dapat mengalami kematian.
Kuman strep C dan G juga dapat hidup pada permukaan kulit, terutama pada
kulit yang mengalami kerusakan seperti mengalami eksim dan jaringan mukosa
lainnya seperti vagina dan saluran usus.
Kuman strep C dan G tidak dapat bertahan lama di lingkungan terbuka di luar
tubuh manusia dan hewan. Infeksi strep C dan G pada umumnya menyerang sistem
peredaran darah dan musculoskeletal seperti bacteremia, infeksi tulang, endokarditis,
infeksi persendian, dantoxic shock syndrome.
Gambar Bakteri Streptokokus
1. Bakteri tersebut sudah lama diyakini sebagai kunci utama kolonisasi bakteri
dalam rongga mulut manusia karena berikatan kuat secara langsung dengan
pelikel saliva yang menyebabkan perlekatan mikroorganisme oral lain,
terbentuknya plak gigi, berkontribusi dalam menyebabkan karies dan
penyakit periodontal.
2. Streptokokus oral ini berperan penting dalam patogenesis Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR), baik sebagai patogen secara langsung atau sebagai stimulus
antigenik, pada penderitanya telah ditemukan dalam bentuk initial L forms.
3. Donatsky juga melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap
Streptococcus sanguis 2A pada pasien stomatitis aftosa rekuren.
4. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) atau umum dikenal masyarakat Indonesia
sebagai “sariawan”, ialah penyakit mukosa oral yang paling sering diderita
manusia berupa ulser berulang pada mukosa mulut dengan ciri khas ulser
singleatau multiple, bulat atau oval berbatas jelas kemerahan, dan dasar abu-
abu atau kuning. 5,6 SAR mempengaruhi sekitar 20% dari populasi umum
tetapi bila dilihat dari kelompok etnis tertentu atau grup sosial ekonomi,
maka rata-rata insidensi berkisar antara 5% - 50%.
Didalam tubuh manusia, kolon atau usus besar, mengandung populasi mikroba
yang terbanyak.
Telah diperkirakan bahwa jumlah mikroorganisme di dalam spesimen tinja ialah
kira-kira 1012 organisme per gram. (Lima puluh atau enam puluh persen dari berat
kering bahan tinja dapat terdiri dari bakteri dan mikroorganisme lain). Telah pula
dihitung bahwa seorang dewasa mengekskresikan 3 x 1013 bakteri setiap harinya
didalam tinja; kebanyakan dari sel-sel tersebut tidak hidup.
Ada kira-kira 300 kali lebih banyak bakteri anaerobik daripada bakteri anaerobik
fakultatif (Seperti Escherichia coli) di dalam usus besar. Basilus Gram negatif anaerobik
yang ada meliputi spesies-spesies Bacteroides (Bacteroides fragilis, Bacteroides
melaninogenicus, Bacteroides oralis) dan Fusobacteriu. Basilus Gram positif diwakili
oleh spesies-spesies Clostridium (termasuk Clostridium perfringens) yang mempunyai
kaitan dengan kelemayuh, suatu inveksi jaringan disertai gelembung gas dan keluarnya
nanah) serta spesies-spesies Lactobacillus. Spesies-spesies anaerobik fakultatif yang
dijumpai di dalam usus tergolong dalam genus Escherichia, Proteus, Klebsiella, dan
Enterobacter. Peptostreptokokus (Streptokokus anaerobik) juga umum, Khamir Candida
albicans juga dijumpai. Harus juga diperhatikan bahwa pada diare, sebagai akibat
pergerakan isi perut yang cepat, maka mikrobiota usus mengalami perubahan yang
besar.
Bacillus anthracis adalah bakteri gram negatif berbentuk tangkai yang berukuran
sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.
Nama anthracis berasal dari bahasa Yunani anthrax yang berarti batu bara,
merujuk kepada penghitaman kulit pada korban.Bakteria ini umumnya terdapat di tanah
dalam bentuk spora, dan dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika
memasuki sejenis herbivora, bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan
tersebut dan akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan
tersebut. Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk
kembali ke bentuk spora.Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang
terkena anthraks, dapat melalui daging, kulit, tulang maupun kotoran.Meskipun begitu,
hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan
orang yang mengidap antraks.
Klasifikasi Ilmiah
Domain : Bacteria
Divisi : Firmicutes
Kelas : Clostridia
Ordo : Clostridiales
Famili : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Spesies : C. botulinum
Karakteristik Group
I II III IV
Tipe neurotoksin A, B, F B, E, F C, D G
untuk pertumbuhan
untuk pertumbuhan
pertumbuhan
Penghambat (NaCl) 10 % 5% ND ND
Pertumbuhan
D100ºC dari spora 25 min <0,1 min 0,1-0,9 min 0,8-1,12 min
Grup I merupakan strain yang bersifat proteolitik dan strain yang memproduksi
neurotoxin tipe A. Temperatur optimum untuk pertumbuhan adalah 37ºC . Level-level tinggi
neurotoxin (10 6 mouse LD50/ml) (1 LD50 adalah jumlah neurotoxin yang dibutuhkan untuk
membunuh 50 % mice yang diinjeksikan dalam waktu 4 hari) diproduksi secara tipikal di dalam
kultur. Spora-sporanya mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas, dengan nilai D100ºC
sekirar 25 menit ( nilai D adalah waktu yang dibutuhkan untuk menginaktivasi 90% dari
populasi pada temperatur yang diberikan). Untuk menghambat pertumbuhan, pH harus dibawah
4,6, konsentrasi gram di atas 10%, atau aktivitas air (aw) dibawah 0,94.
Grup III termasuk strain-strain tipe C dan D, yang tidak dikategorikan sebagai botulism
manusia tetapi menyebabkan botulism pada hewan. Konsekuensinya grup ini tidak dipelajari
secara detail. Strain ini merupakan strain nonproteolitik dan tumbuh optimal pada suhu 40ºC
dan hanya pada temperatur sekitar 15ºC.
Grup IV merupakan strain yang memproduksi neurotoksin tipe G, tumbuh optimal pada
suhu 37ºC dan mempunyai temperatur minimal pertumbuhan pada 10ºC. Spora-spora jarang
terlihat dan mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih baik, dengan nilai D104ºC adalah
0,8 sampai 1,12 menit.
Gambar Clostridium botulinum group I
Gambar Clostridium botulinum group II
Keracunan oleh mikroba adalah jenis keracunan yang paling banyak dan sering ditemui
di masyarakat. Makanan menjadi beracun karena telah terkontaminasi dengan jenis bakteri
tertentu, yang karena dibiarkan tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga
dapat membahayakan konsumen. Cara terjadinyanya keracunan tersebut disebut intoksikasi.
Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menimbulkan karacunan makanan dengan cara infeksi.
Inrtoksikasi, pada umumnya dapat dibedakan dengan infeksi. Beberapa bakteri tertentu
memproduksi toksin sewaktu mereka tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan. Bila
toksin tersebut diproduksi di luar sel bakteri, maka toksin tersebut disebut eksotoksin.
Eksotoksin tersebut mampu bercampur secara bebas dengan lingkungan dan dapat dipisahkan
dari bakterinya. Eksotoksin bukan merupakan sel hidup tetapi merupakan suatu senyawa yang
bersifat racun, senyawa tersbut dapat dirusak oleh panas tetapi kadang-kadang lebih banyak
diperlukan panas untuk toksin daripada bakteri yang memproduksinya. Karena itu meskipun
bahan pangan telah dipanaskan, sehingga cukup untuk memusnahkan bakteri, tetapi
eksotoksinnya masih tetap ada dan aktif Eksotoksin, sehingga bila termakan masih dapat
menyebabkan keracunan. Sebagai contoh sel bakteri bentuk vegetatif biasanya mati pada
pemanasan 2 menit pada suhu air mendidih, sedang eksotoksinnya baru rusak dan menjadi non-
aktif setelah waktu 30 menit pada air mendidih. Toksin yang diproduksi merangsang lambung
secara cepat, dan kadang-kadang menyebabkan muntah-muntah hanya dalam waktu 2 jam
setelah makan. Biasanya gejala muntah-muntah tersebut diikuti dangan rasa mulas, sakit perut
dan mencret-mencret. Keracunan makanan karena infeksi, disebabkan karena sel bakteri yang
hidup. Bakteri-bakteri tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan tetapi tidak
memproduksi toksin di luar sel. Bakteri tersebut dapat menyebabkan makanan beracun karena
di dalam sel bakteri terdapat toksin. Jenis racun tersebut disebut endotoksin. Endotoksin
tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam sel, kecuali sel-sel bakteri tersebut mati. Jika
makanan terkontaminasi dengan jenis bakteri tersebut dan kemudian dikonsumsi manusia dan
masuk kedalam saluran pencernaan tidak akan menyebabkan sakit sampai jumlah bakteri yang
mati menjadi cukup jumlahnya sehingga dapat mengeluarkan toksin dalam jumlah yang cukup
untuk merangsang lambung dan saluran usus besar. Gejala yang muncul berupa kepala pusing,
demam, diare, dan muntah-muntah.
Keracunan yang ditimbulkan oleh mikroba cukup banyak. Berbagai jenismikroba dapat
memproduksi toksin yang dapat membahayakan konsumen bila terkonsumsi. Salah satu jenis
mikroba yang mengandung toksin yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf
adalah Clostridium botulinum. Keracunann yang ditimbulkan akibat memakan makanan yang
mengandung neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum disebut ”botulism”.
Toksin (racun) yang dihasilkan bersifat yermolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80º C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu
pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan.
Clostridium botulinum adalah nama sebuah kelompok bakteri yang biasanya ditemukan
di dalam tanah dan sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Spora bakteri ini sering
ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan laut. Organisme berbentuk batang
tumbuh baik dalam kondisinrendah oksigen. Bakteri dan sporran sendiri tidak berbahaya, yang
berbahaya adalah racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh.
Racun botulinum mempengaruhi orang dari segala usia dengan mengganggu saraf
tertentu dari fungsinya, sehingga mengakibatkan kelumpuhan otot, karena racun ini bersifat
neurotoksin. Gejala-gejala penyakit botulisme yaitu pandangan ganda, kelopak mata terkulai,
bicara melantur, mulut kering, pandangan kabur, kesulitan menelan, kelumpuhan otot. Gejala
botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot
lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan
gangguan pernafasan. Penyebaran botulisme tidak seperti penyakit menular, botulisme tidak
menyebar dari satu orang ke orang lain. Penularan botulisme terjadi karena orang
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi spora botulinum, luka terinfeksi botulinum dan
ketika bayi mengkonsumsi spora botulinum.
Gambar toksin Clostridium botulinum
D. Pencegahan
Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuhyang
hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru
(khususnya di rumah atau industry rumah tangga), misalnya pengalengan, fermentasi,
pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.
Bakteri ini mencemari produk pangan dalam kaleng yang beredar asam rendah, ikan
asap, kentang matang yang kurangbaik penyimpanannya, pie beku,telur ikan fermentasi,
seafood, dan madu. Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah
penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan
bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng
dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin
terutama untuk pangan yang dikemashampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari
pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah menggembung.
E. Pengobatan
2.3.12. SALMONELA SP
Salmonella sp termasuk dalam family Enterobacteriacea yaitu bakteri patogen bagi manusia
dan hewan. Infeksi Salmonella sp terjadi pada saluran cerna dan terkadang menyebar lewat
peredaran darah ke seluruh organ tubuh. Infeksi Salmonella sppada manusia bervariasi, yaitu
dapat berupa infeksi yang dapat sembuh sendiri (gastroenteritis) , tetapi dapat juga menjadi
kasus yang serius apabila terjadi penyebaran sistemik ( demam enterik ).
Klasifikasi Salmonella sp
Class : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Family : Enterobacteriae
Genus : Salmonella
Salmonella sp adalah jenis Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora,
motil (bergerak dengan flagel peritrik) serta mempunyai tipe metabolisme yang bersifat
fakultatif anaerob.Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriacea. Ukurannya 2 - 4 mikrometer
x 0,5 – 0,8 mikrometer. Sifat Salmonella antara lain : dapat bergerak, tumbuh pada suasana
aerob dan anerob fakultatif, memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi manitol dan
sorbitol dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse , fenilalanin deaminase, urease,
voges proskauer, dan reaksi fermentasi sukrosa dan laktosa.
Bakteri ini tersebar luas di dalam tubuh hewan, terutama unggas dan babi. Lingkungan
yang menjadi sumber organisme ini antara lain air, tanah, serangga, permukaan pabrik,
permukaan dapur, kotoran hewan, daging mentah, daging unggas mentah, dan makanan laut
mentah. Salmonella typhimerupakan bakteri yang menginfeksi manusia dan menyebabkan
demam typhoid dan Salmonella paratyphi yang menyebabakan demam paratyhoid
Salmonella sp sebenarnya selalu masuk melalui mulut, biasanya dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi Salmonella sp. Sebagian kuman mati oleh asam lambung tetapi
yang lolos masuk ke usus halus dan berkembang biak di illeum. Disini terjadi fagositosis oleh
sel kelenjar getah bening yang kemudian menyebar ke aliran darah, kelenjar getah bening dan
ke usus.
Dosis infektif bagi manusia adalah 105-108 Salmonella sp. Diantara faktor-faktor tuan
rumah yang menyebabkan resisten terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung,
jasad renik flora normal usus, dan daya tahan usus setempat.
Dua tipe Salmonella sp. yaitu S. enteriditis dan S. typhimurium merupakan penyebab
kira-kira setengah dari seluruh infeksi pada manusia.
Pada manusia semua Salmonella sp. menimbulkan penyakit yang pada umumnya
disebut Salmonellosis, dibagi menjadi 3 golongan.
Merupakan gejala yang paling sering dari infeksi Salmonella sp. Gejala ini terutama
ditimbulkan oleh S. enteriditis dan S. typhimurium. Biasanya terjadi demam, kejang perut dan
diare yang terjadi antara 12-72 jam setelah mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi.
Penyakit tersebut dapat berlangsung selama 4-7 hari dan kebanyakan sembuh tanpa pengobatan
atau pemberian antibiotik, akan tetapi diare akan bertambah parah den mengharuskan penderita
berobat ke rumah sakit terutama untuk penggantian cairan elektrolit.
Penyakit ini berakibat fatal jika orang tua dan bayi yang kekebalannya rendah
mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Pada penderita ini, infeksi
biasanya menyebar dari usus ke pembuluh darah kemudian ke seluruh jaringan tubuh dan dapat
menyebabkan kematian kecuali jika penderita cepat memperoleh pengobatan dengan antibiotik.
Biasanya ini dihubungkan dengan S. cholerasius tetapi dapat disebabkan oleh setiap
serotip Salmonella sp. infasi dini dalam darah setelah infeksi melalui mulut dengan
kemungkinan lesi fokal di paru-paru, tulang, selaput otak, dan sebagainya. Tetapi sering tidak
ada manifestasi usus, biakan darah tetap positif.
Klasifikasi
Kingdom :Bakteri
Filum :Actinobacteria
Kelas :Actinobacteria
Order :Actinomycetales
Keluarga :Corynebacteriaceae
Genus :Corynebacterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae
Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriae bersifat
anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan
kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar
darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan
intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. Diphtheriae lebih
tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan.
Epidemiologi
Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini
terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak
langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat
seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat
menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai
reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim
sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.
Penentu Patogenitas
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga
mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan
bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek
jangka pendek di lokasi kolonisasi.
Patogenesis
Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang
dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan
tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan
juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin
(proteinuria).
Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus
yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang
tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.
Gambaran klinis
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.
1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini
cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri
dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat,
denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10
hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk
demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan
termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori
eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal.
Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata,
tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu
kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan
napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri
telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.
Diagnosis
Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik
maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara
morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman
khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini
menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan
hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium
harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit
dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil
sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.
Pengobatan
Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat
pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat
jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa
perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat
terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat
dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan
lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan
penyakit.
Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau
Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan
bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40
mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,
intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan
tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu
dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis
APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis.
Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat
diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
DAFTAR PUSTAKA
Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius
Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit
Infeksi.Yogyakarta:KANISIUS
Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan
Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.
James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp.
1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping
Cough. [Online].Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/whooping-cough/basics/prevention/con-20023295. (13
November 2015, 04:17)
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis.
Dalam:Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit
IDAI.
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI
Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit
Binarupa Aksara.
Amelia S. Vibrio Cholerae. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara Medan. In press 2005.
Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM. Vibrio and Related Species, Aeromonas,
Plesiomonas, Campylobacter, Helicobacter, and others. Dalam: Baron EJ,
Peterson LR, Finegold SM. Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology.
Edisike-9. USA: Mosby, 1994; h.429-433.
Matson JS, Withey JH, DiRita VJ. Regulatory Networks Controlling Vibrio
cholerae Virulence Gene Expression. Infection and Immunity. 2007;75(12):
5542–49.
Mims C, dkk. Pathogen Parade, Genus Vibrio. Dalam: Mims, Cdkk. Medical
Microbiology.Edisike-3. Spain: Elsevier, 2004;h. 603.
Ryan KJ. Vibrio, Campy lobacter, and Helico bacter. Dalam: Ryan KJ, Ray CG.
Sherris
Todar, K. Vibrio Cholerae and Asiatic Cholera. 2009. (Diakses: 9 Januari 2011)
Diunduhdari: URL : http://www.Textbookofbacteriology.net/cholera.html
NAMA PENYUSUN