Anda di halaman 1dari 96

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Mikrobiologi merupakan salah satu cabang biologi yang menelaah mengenai
organisme hidup berukuran mikroskopis yang meliputi virus, bakteri, protozoa,
algae dan fungi. Salah satu yang dipelajari dalam mikrobiologi adalah flora normal
dan pathogen dalam tuuh manusia. Manusia secara konstan berhubungan dengan
beribu-ribu mikroorganisme. Mikroba tidak hanya terdapat di lingkungan, tapi
juga menghuni tubuh manusia. Mikroba yang secara alamiah menghuni tubuh
manusia disebut flora normal atau mikrobiota (Pelczar dan Chan, 1988).
Mikroorganisme dapat menyebabkan banyak bahaya dan kerusakan. Hal itu
tampak pada kemampuannya menginfeksi manusia, hewan serta tanaman,
menimbulkan penyakit yang berkisar dari infeksi ringan sampai kematian. Infeksi
yang mungkin timbul setelah terjadinya kerusakan jaringan khusus memberi
petunjuk mengenai kemungkinan sebab dan pentingnya mikroorganisme pada
beberapa infeksi klinis, dan dapat membuat manusia menaruh perhatian lebih
besar terhadap infeksi (Pelczar dan Chan, 1988).
Flora mikrobia normal adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada
kulit dan selaput lendir (mukosa) pada manusia normal dan sehat. Kulit dan
mukosa selalu dihuni oleh berbagai macam mikroorganisme. Mikroorganisme
yang selalu menghuni tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu flora tetap
(resident flora) dan flora sementara (transient flora). Flora tetap adalah terdiri dari
mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya ditemukan pada bagian tubuh
tertentu dan pada usia-usia tertentu pula, apabila berubah mereka akan segera
kembali seperti semula. Sedangkan flora sementara terdiri atas mikroorganisme
non patogen atau potensial patogen yang tinggal di kulit dan mukosa selama kurun
waktu beberapa jam, hari, atau minggu. Flora sementara biasanya hanya sedikit
asalkan flora tetap masih utuh ada di tempatnya. Namun apabila flora tetap
berubah maka flora sementara akan berkolonisasi, berbiak, dan menimbulkan
penyakit (Brooks, Butel, dan Morse, 2005).
Flora normal dapat menyebabkan penyakit pada kondisi tertentu (Brooks,
Butel, dan Morse, 2005). Sehingga kita harus menjaga kebersihan diri. Menurut
Widyati (2002) dalam Sinaga (2011), Hygieneadalah suatu usaha pencegahan
penyakit yang menitikberatkan pada usaha kesehatan perseorangan atau manusia
beserta lingkungan tempat orang tersebutberada.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini yaitu:
1.2.1. Apa itu flora normal?
1.2.2. Apa itu flora patogen?
1.2.3. Apa saja macam-macam flora normal?
1.2.4. Apa saja macam-macam flora patogen?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Mengetahui pengertian flora normal
1.3.2. Mengetahui pengertian flora patogen
1.3.3. Mengetahui macam-macam flora normal
1.3.4. Mengetahui macam-macam flora patogen
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Flora Normal


Flora normal merupakan mikroorganisme yang dapat ditemukan pada bagian-
bagian tubuh manusia, yang dapat interaksinya dapat berupa mutualisme maupun
komensalisme. Keberadaan flora normal berperan sebagai: menutupi tempat
penempelan potensial untuk invasi mikroba pathogen, resistensi kolonialisasi,
menempati lingkungan mikro secara lebih efektif daripada pathogen,
memproduksi nutrisi (vitamin k, folat, pyridoxine, biotin, riboflavin),
mengonsumsi nutrisi dari host, sebagai commensals, dan menghasilkan senyawa
yang beracun untuk mikroorganisme lain (Davis, 1996).

2.2. Pengertian Flora Patogen


Patogen merupakan beberapa jenis mikroorganisme atau organisme lain yang
berukuran yang lebih besar yang mampu menyebabkan penyakit. Kemampuan
mikroorganisme patogen untuk menyebabkan penyakit tidak hanya dipengaruhi
oleh komponen yang ada pada mikroorganisme, tapi juga oleh kemampuan inang
untuk melawan infeksi.. Infeksi iniberkembang dalam tubuh manusia yang faktor
kekebalan tubuhnya dirusak olehpenyakit lain atau karena terapi antibiotik dan
terapi immunosupresif yang berkepanjangan (Davis, 1996).

2.3. Macam-Macam Flora Normal


Macam-macam flora normal yang ada pada tubuh manusia yaitu:
2.3.1. Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang
bersifatoportunistik (menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh
yanglemah) dan menyebabkan infeksi. Sebenarnya Staphylococcus
epidermidis adalah flora normal yang terdapat pada manusia. Pada tubuh
yang sehat, bakteri ini tidak membahayakan dan tidak
menyebabkan penyakit. Bakteri ini hanya berbahaya jika telah
menginfeksi, sehingga pertumbuhannya menjadi tidak terkendali.
Seseorang dengan kekebalantubuh yang lemah, antara lain bayi yang baru
lahir, penderita AIDS, pengguna narkoba, pasien kritis, dan pasien rumah
sakit yang telah menjalani masa perawatan yang lama, Staphylococcus
epidermidis dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Nilsson, 1998).
Bakteri ini adalah salah satu patogen utama infeksi
nosokomial,khususnya yang berkaitan dengan infeksi benda asing. Orang
yang paling rentan terhadap infeksi ini adalah pengguna narkoba suntikan,
bayi baru lahir, lansia, dan mereka yang menggunakan kateter atau
peralatan buatan lainnya. Organisme ini menghasilkan glycocalyx “lender”
yang bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel, dan juga
menyebabkan resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenisantibiotik.
Staphylococcus epidermidis memberikan kontribusi sekitar 65%-90% dari
semua staphylococcus yang ditemukan dari flora aerobik manusia . Orang
yang sehat dapat memiiliki hingga 24 strain (jenis) darispesies, beberapa di
antaranya dapat bertahan di permukaan yang kering untuk waktu yang
lama. Hospes bagi organisme ini adalah manusia dan hewan berdarah
panas lainnya (Nilsson, 1998)

Berikut adalah gambar Staphylococcus epidermidis:


A. Morfologi
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang
seringditemukan sebagai flora normal pada kulit dan selaput lendir
manusia. Sthapylococcus epidermidis merupakan salah satu bakteri
gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak
beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini
merupakan penyebab infeksi kulit ringan yang disertai abses
(Syarurachman et al.,1994). Bakteri ini juga berperan dalam pelepasan
asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh lipase yang diduga berpengaruh
terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008)
B. Klasifikasi
Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis (Breed, dkk.,1957)
Divisi (Divisio): Eukariota
Kelas (Classis): Schizomycetes
Bangsa (ordo): Eubacteriales
Suku (Familia): Micrococcaceae
Marga (Genus): Staphylococcus
Jenis (Spesies): Staphylococcus epidermidis

C. Karakteristik (Ciri-Ciri) Staphylococcus epidermidis


Staphylococcus epidermidis memiliki beberapa
karakteristik,antara lain(Jawetz, dkk., 20011) :
1. Bakteri gram positif,koagulase negatif, katalase positif.
2. Aerob atau anaerob fakultatif.
3. Berbentuk bola atau kokus ,berkelompok tidak teratur.
4. Berdiameter 0,5 - 1,5 µm.
5. Tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih.
6. Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37ºC
7. Staphylococcus epidermidis merupakan flora normal pada
manusia.
8. Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput lendir,
bisul dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui
kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam
jaringan.

D. Stuktur Antigen
Stafilokokus mengandung antigen polisakarida dan protein seperti
zat lain yang penting dalam struktur dinding sel. Peptidoglikan, suatu
polimer polisakarida yang mengandung subunit-subunit yang
bergabung memberikan eksoskeleton yang kaku dari dinding sel.
Peptidoglikan dirusak oleh asam kuat atau paparan terhadap lisozim.
Ini penting dalam patogenesis infeksi : Infeksi akan merangsang
pembentukan interleukin-1 (pirogen endogen) dan antibodi opsonin
oleh monosit, dan ini dapat menjadi penarik kimiawi bagi leukosit
polimorfonuklear, mempunyai aktivitas seperti endotoksin
danmengaktivasi komplemen.
Asam teikoat, yang merupakan polimer gliserol atau ribitol
fosfat,diikat ke peptidoglikan dan dapat menjadi antigenik. Antibodi
asam antiteikoat yang dapat dideteksi mealui difusi gel dapat
ditemukan pada pasiendengan endokarditis aktif yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus.
Protein A merupakan komponen dinding sel. Protein A
telahmenjadi reagen yang penting dalam imunologi dan teknologi
laboratoriumdiagnostik, contohnya protein A yang dilekati dengan
molekul Ig3 terhadap antigen bakteri spesifik akan mengaglutinasi
bakteri yang mempunyai antigentersebut (ko-aglutinasi).

E. Patologi
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan
dengan perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dan
lain-lain) , tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka
besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-
inducedUTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah.
Dalam hal ini, buang air kecil sangat menyakitkan. Septicaemia dan
endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit
kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi
akibat infeksi neonatal, terutama ketika bayi lahir dengan berat badan
sangat rendah. Sedangkan, endokarditis adalah infeksi katup jantung
dan bagian lapisandalam dari otot jantung. Staphylococcus epidermidis
dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan permukaan
lingkungan.

F. Patogenitas
Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada
kulit manusia dan pada umumnya tidak menjadi masalah bagi orang
normal yang sehat. Akan tetapi, kini organisme ini menjadi patogen
oportunis yang menyebabkan infeksi nosokomial pada persendian dan
pembuluh darah. Staphylococcus epidermidis memproduksi sejenis
toksin atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir
yang memudahkannya untuk menempel di mana-mana, termasuk di
permukaan alat-alat yang terbuat dari plastik atau kaca. Lendir ini pula
yang membuat bakteri Staphylococcusepidermidis lebih tahan terhadap
fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem
kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu (Sinaga, 2004).
Staphylococcus epidermidis umumnya dapat menimbulkan
penyakit pembengkakan (abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi
saluran kemih,dan infeksi ginjal (Radji, 2011). Selain itu,
Staphylococcus epidermidis Juga dapat menimbulkan infeksi pada
neonatus, orang-orang yang system kekebalannya rendah dan pada
penderita yang menggunakan alat yangdipasang di dalam tubuh (Hart
dan Shears, 2004).

G. Virulensi
Kemampuan untuk membentuk biofilm pada perangkat
plastik merupakan faktor virulensi utama untuk S. epidermidis. Salah
satu penyebabyang mungkin adalah protein permukaan yang mengikat
protein darah danmatriks ekstraselular. Ini menghasilkan bahan
ekstraselular dikenal sebagaiadhesi polisakarida interselular (PIA),
yang terdiri dari sulfat polisakarida Hal ini memungkinkan bakteri lain
untuk mengikat ke biofilm yang sudahada, membuat biofilm
multilayer. Biofilm tersebut menurunkan aktivitas metabolisme bakteri
didalamnya. Ini penurunan metabolisme, dalam kombinasi dengan
difusigangguan antibiotik, membuat sulit untuk antibiotik untuk secara
efektif membersihkan jenis infeksi. S. epidermidis strain sering
resisten terhadap antibiotik, termasuk penisilin, amoksisilin , dan
methicillin organisme resisten yang paling sering ditemukan dalam
usus, namun organisme hidup bebas di kulit juga bisa menjadi kebal
karena paparan rutin terhadapantibiotik disekresi dalam keringat.

H. Penyakit
Staphylococcus epidermidis menyebabkan biofilm tumbuh pada
perangkat plastik yang ditempatkan di dalam tubuh. Hal ini terjadi
paling sering padaintravena kateter dan medis prostesis . Infeksi juga
dapat terjadi pada pasien dialisis atau siapa pun dengan perangkat
plastik implan yang mungkin telah terkontaminasi . Hal ini juga
menyebabkan endokarditis , paling sering pada pasien dengan katup
jantung yang rusak. Dalam beberapa kasus lain, sepsis dapat terjadi
pada pasien rumah sakit (Sinaga, 2004).
Antibiotik tidak efektif dalam membersihkan biofilm. Pengobatan
yang paling umum untuk infeksi ini adalah untuk menghapus atau
mengganti implan yang terinfeksi, meskipun dalam semua kasus,
pencegahan sangat ideal. Obat pilihan sering vankomisin , yang
rifampisin atau aminoglikosidadapat ditambahkan. Mencuci tangan
telah terbukti mengurangi penyebaraninfeksi. Penelitian awal juga
menunjukkan S. epidermidis secara universal ditemukan di dalam
mempengaruhi jerawat vulgaris pori-pori, dimana Propionibacterium
acnes biasanya satu-satunya penduduk.
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan
perangkat intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dll), tetapi
biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi
kateter bersama dengan kateter-induced UTI menyebabkan peradangan
serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat
menyakitkan.
Septicaemia dan endocarditis termasuk penyakit yang
berhubungan dengan Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul
adalah demam, sakit kepala, dan kelelahan untuk anoreksia dan
dyspnea. Septicaemia terjadi akibat infeksi neonatal, terutama ketika
bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, Endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagianlapisan dalam dari otot jantung.
Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan
pasien dan permukaan lingkungan.

2.3.2. Escherichia coli


Escherichia Coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan
Jerman, Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan
pada bayi hewan. Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai
komunitas bakteri coli (Escherich 1885) dengan membangun segala
perlengkapan patogenitasnya di infeksi saluran pencernaan. Nama
“Bacterium Coli” sering digunakan sampai pada tahun 1991. Ketika
Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia dan menyusun tipe
spesies E. Coli.
E.coli merupakan bakteri anaerob fakultatif, dimana bakteri yang dapat
hidup tanpa oksigen secara mutlak atau dapat hidup tanpa adanya oksigen,
didalam kondisi ini bakteri tersebut aktif, yang memanfaatkan senyawa
organik sebagai media tumbuhnya. E. coli (Escherichia coli) adalah bakteri
yang biasanya hidup di usus hewan, termasuk manusia. Bahkan, kehadiran
E. coli dan jenis lain dari bakteri dalam usus kita perlu untuk membantu
tubuh manusia berkembang dengan baik dan tetap sehat. Ada sekitar 100
strain E. coli, sebagian besar yang bermanfaat.
Bakteri Escherichia colidapat menyebabkan terjadinya epidemik
penyakit-penyakit saluran pencernaan makanan seperti kolera, tifus,
disentri, diare dan penyakit cacing. Bibit penyakit ini berasal dari feses
manusia yang menderita penyakit-penyakit tersebut. Indikator yang
menunjukkan bahwa air rumah tangga sudah dikotori feses adalahdengan
adanya Eschericha coli dalam air tersebut karena dalam feses manusia baik
dalam keadaan sakit maupun sehat terdapat bakteri ini dalam tubuhnya.
Bakteri Escherichia coli dapat juga menimbulkan pneumonia,
endokarditis, infeksi pada luka dan abses pada organ. Bakteri ini juga
merupakan penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan
penyebab infeksi tractor Urinarius (Pyelonephritis cysticis) pada manusia
yang dirawat di rumah sakit (infeksi nosokomial). Pencegahannya
dilakukan melalui perawatan yang sebaik-baiknya di rumah sakit yaitu
berupa pemberian antibiotic dan tindakan antiseptic dengan benar.
Berikut adalah gambar bakteri Escherichia coli:

A. Morfologi
Escherichia coliumumnya merupakan bakteri pathogen yang
banyak ditemukan pada saluran pencernaan manusia sebagai flora
normal. Morfologi bakteri ini adalah kuman berbentuk batang pendek
(coccobasil), gram negatif, ukuran 0,4 – 0,7 µm x 1,4 µm, sebagian
besar gerak positif dan beberapa Strain mempunyai kapsul (Karsinah,
H.M. Lucky, Suharto dan H.W. Mardiastuti, 1994).
Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk
basil, ada yang individu (monobasil), saling berpasangan (diplobasil)
atau berkoloni membentuk rantai pendek (streptobasil), tidak
membentuk spora maupun kapsula, berdiameter ± 1,1 – 1,5 x 2,0 – 6,0
μm, dapat bertahan hidup di medium sederhana dan memfermentasi
laktosa, menghasilkan asam dan gas, kandungan G+C DNA ialah 50-
51 mol % (Jawetz dkk, 2008).
Pergerakan bakteri ini motil, dan peritrikus. Ada yang bersifat
aerobik dan fakultatif anaerob. Escherichia coli merupakan flora
normal usus, dan seringkali menyebabkan infeksi. Kecepatan
berkembang biak bakteri ini berada pada interval 20 menit jika faktor
media, derajat keasaman, dan suhu sesuai. Selain tersebar di banyak
tempat dan kondisi, bakteri ini tahan terhadap suhu, bahkan pada suhu
ekstrim sekalipun. Suhu yang optimalnya adalah 37 oC. Oleh karena
itu, bakteri tersebut dapat hidup dalam tubuh manusia dan vertebrata
lainnya (Jawetz dkk, 2008).

B. Fisiologi
Escherichia coli adalah kuman oportunitis yang banyak ditemukan
di dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Sifatnya unik
karena dapat menyebabkan infeksi primer pada usus misalnya diare
pada anak dan travelersdiarhea. Selama bertahun–tahun Escherichia
coli dicurigai sebagai salah satu penyebab diare yang timbul pada
manusia khususnya pada anak–anak yang mengakibatkan
kematian.Ada dua macam enterotoksin yang diisolasi dari Eschrichia
coli yaitu:
1. Termolabil Toksin (LT)
Seperti toksin kolera, toksin LT bekerja merangsang enzim adenil
siklase yang terdapat didalam sel epitel mukosa usus halus
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim tersebut dan terjadinya
peningkatan permeabilitas sel epitel usus, sehingga terjadi
akumulasi cairan dalam usus dan berakhir dengan diare. Toksin LT
seperti juga toksin kolera bersifat cytopathis terhadap sel tumor
adrenal dan sel ovarium Chinese hamster serta meningkatkan
permeabilitas kapiler pada test rabit skin. Kekuatan toksin LT
adalah 100x lebih rendah dbandingkan toksin kolera dalam
menimbulkan diare.
2. Termostabil Toksin (ST)
Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton,
mempunyai satu atau lebih ikatan disulfda yang penting untuk
mengatur stabilitas pH 7 dan suhu 37oC.

C. Klasifikasi
Superdomain : Phylogenetica
Filum : Proterobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Species: Escherichia Coli

D. Proses-Proses Kehidupan
Secara alamiah Escherichia coli merupakan salah satu penghuni
tubuh. Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung (
bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya ) kemudian diteruskan
melalui mulut, akan tetapi E.coli pun dapat ditemukan tersebar di alam
sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan
atau minuman.
Di dalam uji analisis air, E. coli merupakan mikroorganisme yang
dipakai sebagai indikator untuk menguji adanya pencemaran air oleh
tinja. Di dalam kehidupan kita E.coli mempunyai peranan yang cukup
penting yaitu selain sebagai penghuni tubuh ( di dalam usus besar)
juga E. coli menghasilkan kolisin yang dapat melindungi saluran
pencernaan dari bakteri patogenik. Escherichia coli akan menjadi
patogen bila pindah dari habitatnya yang normal kebagian lain dalam
inang, misalnya, bila E. coli di dalam usus masuk ke dalam saluran
kandung kemih kelamin dapat menyebabkan sistitis, yaitu suatu
peradangan pada selaput lendir organ tersebut.
Escherichia sekarang dianggap sebagai genus dengan hanya satu
species yang mempunyai beberapa ratus tipe antigenik. Tipe-tipe ini
dicirikan menurut kombinasi yang berbeda-beda antara antigen 0
(antigen lipoporisakaride somatik di dalam dinding sel ), K ( antigen
polisakaride kapsul) dan H (antigen protein flagela). tambahan pula
antigen K dibagi menjadi antigen L, A atau B berdasarkan pada ciri
fisiknya yang berbeda-beda. Galur-galur tertentu dari E. coli mampu
menyebabkan gastroenteristis Saraf sedang sampai parah pada manusia
dan hewan.

E. Penyakit yang disebabkan Escherichia coli


Selain diare, penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh
Escherichia coli adalah : infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis
pada bayi baru lahir, dan infeksi luka terutama luka didalam abdomen

F. Patogenesis
Escherichia coli adalah spesies yang paling penting dari genus
Escherichia dan merupakan flora normal yang dapat menyebabkan
infeksi pada saluran kencing, luka, bakterimia, septisemia dan
meningitis serta infeksi gastrointestinal (Gaani A, 2003).
Sehubungan dengan infeksi pada usus dikenal lima jenis
Escherichia coli, yaitu:
1. Enteropathogenik Escherichia coli
(EPEC) EPEC mematuhi enterosit usus kecil, tapi menghancurkan
arsitektur microvillar normal, menginduksi melampirkan
karakteristik dan menonjolkan lesi. Derangements cytoskeletal yang
disertai dengan respon inflamasi dan diare.EPEC menyebabkan
diare pada bayi atau anak-anak kurang dari 1 tahun dan jarang pada
orang dewasa dengan gejala berupa demam tidak tinggi, muntah,
malaise dan diare

2. Enterotoxigenik Escherichia coli

(ETEC) ETEC mematuhi enterosit usus kecil dan menyebabkan


diare berair oleh sekresi labil panas (LT) dan / atau panas-stabil
(ST) enterotoksin ETEC menyebabkan diare pada anak-anak dan
dewasa di daerah tropis dan subtropics pada Negara yang sedang
berkembang. Infeksi ETEC ditandai dengan gejala demam rendah
dan tinja encer.

3. Enteroinvasive Escherichia coli


(EIEC) Menyerang sel epitel kolon, melisiskan yang phagosome
dan bergerak melalui sel dengan nukleasi mikro aktin. Bakteri
mungkin bergerak lateral melalui epitel dengan langsung menyebar
dari sel ke sel atau mungkin keluar dan masuk kembali membran
plasma baso-lateral. EIEC menyebabkan diare mirip dengan yang
disebabkan oleh shigella, baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Tinja agak encer bahkan seperti air, mengandung nanah,
lender dan darah dengan gejala panas dan malaise

4. Enterohemorrhagic Escherichia coli

(EHEC) EHEC juga menginduksi melampirkan dan menonjolkan


diri lesi, tetapi dalam usus besar. Fitur yang membedakan EHEC
adalah penjabaran dari Shiga toksin (Stx), penyerapan sistemik
yang mengarah ke berpotensi mengancam nyawa komplikasi.
EHEC dikenal sebagai penyebab diare hemorhagik dan colitis serta
hemolytic uremic syndrome (HUS) yang ditandai dengan jumlah
trombosit berkurang, anemia hemolitik dan kegagalan ginjal. Tinja
encer berair, mengandung darah dan abdomen terasa sakit, kram
serta demam rendah atau tanpa demam. Enterohaemorragic
Escherichia coli (EHEC) merupakan tipe EHEC yang terpenting
dan berbahaya terkait dengan kesehatan masyarakat.

5. Enterodherant Escherichia coli

(EAEC) Menganut kecil dan besar epitel usus dalam biofilm tebal
dan menguraikan enterotoksin sekresi dan sitotoksin. EAEC
menyebabkan diare dengfan cara menempel kuat pada permukaan
mukosa usus dengan gejala tinja encer berair, muntah, dehidrasi,
dan biasanya sakit pada abdomen.

2.3.3. Bacteroides
Genus Bacteroides adalah salah satu kelompok bakteri yang jumlahnya
predominan dalam tubuh. Genus ini untuk pertama kalinya dideskripsikan
pada tahun 1898. Selama bertahun-tahun, Bacteroides merupakan
kumpulan tak jelas bakteri anaerob obligat gram negatif dan berbentuk
batang plemorfik yang tidak dapat dimasukkan kedalam genus lain.
Analisis fisiologik pada genus ini mengungkapkan adanya heterogenitas
yang cukup besar, dalam hal sifat biokimiawi, yang menunjukkan bahwa
bakteri inibukan merupakan kelompok filogenik yang sejati. Dengan teknik
analisa filogenik, sejumlah peneliti berusaha menata ulang kelompok
bakteri ini denganmemperhatikan cirri fisiologik, penentuan tipe serologik,
penentuan tipe bakteriofaga, analisis lipida, klasifikasi ologonukleotida,
dan dengan membandingkan skuens rRNA 55-16S. berdasarkan informasi
ini, anggota lama genus Bacteroides dibagi menjadi tiga genus,
yaituBacteroides, Provotella, dan Porphyromonas Berikut gambar
bacteroides:

A. Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Filum : Bacteroidetes
Ordo : Bacteroidales
Familia : Bacteroidaceae
Genus : Bacteroides ( Castellani & Chalmers 1919)
Spesies : B. acidifaciens, B. distasonis, B.oris, B.gracilis, B.
fragilis, B. ovatus, B. putredinis, B. pyogenes, B. stercoris, B. suis, B.
tectus, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, dan lain-lain.
Secara klinik, bakteri gram negatif anaerob padaumumnya dapat
diklasifikasikan berdasarkan koloni mikroskopik, morfologi dengan
pewarnaan gram, sensitivitas terhadap antibiotika tertentu, dan uji
biokimiawi.
Metode yang lebih canggih untuk identifikasi spesies adalah uji
biokimiawi lanjut,yaitu inokulasi pada tabung yang berisi karbohidrat
dan mengukur pH larutan biakan setelah bakteri tersebut tumbuh,
maupun dengan kromatografi gas-cairan (GLC) untuk memerksa hasil
akhir berupa asam lemak. Juga tersedia reagens antibody fluoresensi
untuk diagnosis cepat, meskipun pemakaiannya belum tersebar luas
diklinik. Penentuan tipe dengan bakteriofaga juga telah dilakukan.
Dengan berkemmbangnya teknik baru, homologi DNA telah
memberikan cara untuk klasifikasi spesies Bacteroides dengan lebih
cermat. Yang dahulu disebut subspesies Bacteroidesfragilis, yaitu B.
thetaiotataomicron, B. vulgates, B. distasonis, B. ovalis dan B.
uniformis, maupun B. fragilis sendiri, kini dianggap sebagai spesies
terpisah, berdasarkan homologi DNA. Homologi DNA juga telah
menyebabkan reklasifikasi golongan B. melaninogenicus menjadi
enam spesies tersendiri, termasuk B. melaninogenicus, B. intermedius,
B. gingivalis, B. denticola, B. loescheii dan B. corporis. Disamping
itu, spesies Bacteroides lainnya meliputi anggota golongan
Bacteroides oralis, yaitu B. oris, B. buccae, B. capillus, dan B.
pentosaceus. Bacteroidesbivius dan B. disiens merupakan spesies
Bacteroides yang baru diakui dan penting pada flora vagina normal.
Definisi Bacteroides pada saat ini adalah sebagai berikut, anaerob
obligat gram negatif, sakarolitik serta menghasilkan asetat dan suksinat
sebagai hasil akhir metabolic yang terpenting, mengandung enzim
hexose monophosphate shuntpentose phosphate pathway, mempunyai
susunan basa DNA pada kisaran 40-48 mol%GC, membrannya
mengandung sfingolipida dan mengandung campuran asam lemak
bercabang anteiso-metil dan iso-metil, dan mengandung asam meso-
diaminopimelat pada lapisan peptidoglikannya.
Definisi ini membatasi Bacteroides pada sepuluh spesies, yaitu B.
fragillis, B. thetaiotaomicron, B. vulgates, B. ovatus, B. distasonis, B.
uniformis, B. stercoris, B. eggerthii, B. merdae, dan B. caccae,dengan
B. fragilis sebagai galur tipe (type strain). Bakteri Bacteroides,
bersama bakteri Prevotella dan Porphyromonas, membentuk satu
subgolongan utama pada filum bakteri Cytophaga-Flavobacter-
Bacteroides. Filum ini berdivergensi sangat dini dalam evolusi turunan
bakteri, dengan demikian bakteri Bacteroides, meskipun merupakan
organism gram negatif, tidak mempunyai hubungan kekerabatan yang
dekat dengan bakteri gram negatif golongan enteric seperti Escherichia
coli.

B. Karakteristik Dan Morfologi


Morfologi bakteri ini adalah batang gram negatif yang rampng
atau kokobasil, kebanyakan berkapsul, tidak membentuk spora, dan
mungkin bergerak atau tidak bergerak tergantung kepada spesiesnya.
Hal yang istimewa pada bakteri ini adalah bawa membrane
Bacteroides mengandung sfingolipida dan juga mengandung asam
meso-diaminopimelat pada lapisan peptidoglikannya. Contoh :
Bacteroides fragilis yang berbentuk batang gram negatif, bersifat
pleomorfik dengan vakuola dan penggembungan kapsul. Kira-kira
75% dari seluruh organism B. fragilis yang terlibat pada infeksi adalah
yang berkapsul.
Bacteroides fragilis merupakan mikroorganisme yang terpenting
diantara bakteri anaerob lainnya karena sering menjadi penyebab
infeksi di klinik dan resisten terhadap antimikroba (antara lain
klindamisin, entromisin, tetrasiklin, kloramfenikol dan ampisilin).
Spesies lain yang juga penting adalah Bacteroides melaninogenicus, B.
thetaiotaomicron, B. ovatus, B. vulgates, dan B. distasonis.

C. Bacteroides Sebagai Organism Komensal


Dalam keadaan normal bakteri Bacteroides bersifat komensal,
menempati kolon manusia yang mengandung populasi bakteri yang
paling besar dan paling kompleks, bila dibandiingkan dengan bagian
tubuh manusia yang terkolonisasi lain. Telah dilaporkan bahwa kolon
memiliki kandungan setinggi 1010-1011 sel per gram feses manusia
(108per gram untuk anaerob fakultatif). Organism usus terlibat dalam
berbagai kegiatan metabolic pada kolon, termasuk fermentasi
karbohidrat, penggunaan senyawa nitrogen, dan biotransformasi
asam empedu dan senyawa steroid lainnya. Untuk mempertahankan
jumlahnya yang banyak itu, bakteri Bacteroides tampaknya mampu
bersaing dengan anggota flora lainnya ataupun dengan organism
sementara (transient) dalam menggunakan sumber itu mampu
mengganggu serangan sistem imun dengan dua cara, yaitu pertama
pembentukan kapsul itu sendiri mampu mengurangi kemampuan sel
PMN untuk memfagositosis sel bakteri tersebut, kedua bakteri
Bacteroides mampu mengadakan sekresi factor yang belum diketahui
cirinya yang mengadakan degradasi protein komplemen, sehingga
menghambat kemotaksis PMN ataupun opsonisasi bakteri itu seniri
serta bakteri lainnya yang berdekatan.
Sejumlah factor virulensi yang diidentifikasi pada spesies
Bacteroides diperkirakan memainkan peranan pada pathogenesis
infeksi. Factor virulensi tersebut meliputi cirri penambatan
(adherence) dan invasi pembentukan enzim atau toksin dan unsure
permukaan (surface constituents), terutama polisakarida dan
lipopolisakarida kapsular B. fragilis.

D. Penambahan Dan Invasi


Beberapa struktur permukaan B. fragilis dan spesies Bacteroides
yang didugaa menimbulkan penyakit periodontal, misalnya B.
gingivalis, telah diteliti sebagai factor penambatan (attachment
factors). Galur B. fragilis yang mampu mengglutinasi eritrosit
kavia/marmot serta eritrosit manusia, menambatkan diri in vitro pada
iakan yang berasal dari sel epitel cheek epithelial cell lines). Galur
yang menambatkan diri, pada pemeriksaan mikroskop electron,
ternyata memperlihatkan cirri pewarnaan negatif yang sesuai dengan
piliasi (fimbria). Rogemond dan Guinet mengusulkan bahwa
adhesion (misalnya lektin), terbukti berinteraksi dengan
glikokonjugat, baik yang larut maupun yang terikat membran, dapat
bertindak sebagai factor kolonisasi. Bakteri B. fragilis yang
berkapsul melekat dengan baik pada sel mesotel peritoneum tikus,
berbeda dengan spesies Bacteroides tanpa kapsul. Penambatan ini
dapat dihambat denga polisakarida kapsular.
Fimria telah diidentifikasi sebagai factor penambatan yang
penting pada B. gingivalis. Fimbria diduga memiliki kemampuan
penambatan maupun hemaglutinasi pada organism ini, yang
merpakan isolate gingival yang penting pada penyakit periodontal
pada manusia. Memurnikan fimria yang ternyata merupakan struktut
permukaan yang secara kuantitatif penting, tetapi mereka gagal
membuktikan adanya kamampuan hemaglutinasi. Mengisolasi suatu
hemaglutinin dari bateri ini yang dapat menimbulkan antibodi.
Antibodi tersebut menghambat kemampuan hemaglutinasi organisme
tersebut, dan terbukti berikatan dengan permukaan organism. Bila
organism itu diwarnai dengan antibody tersebut, akan terlihat kontur
(outline) struktur vesicular pada pemeriksaan mikroskop electron.
Bacteroides melaninogenicus tampak menambatkan diri kepada
bakteri gram positif tertentu invitro, sehingga timbul kemungkinan
bahwa kolonisasi mungkin terjadi akibat interaksi antaroganisme
residen maupun akibat penambatan langsung kepada permukaan
epitel.
Pili dan vaksin antipili ternyata memainkan peran protektif yang
penting pada penyakit busuk kaki pada domba, yang disebabkan oleh
B. nodosus. Proteksi tersebut bersifat spesifik terhadap galur pilus
organismenya, sehingga dipercayabahwa struktur permukaan ini
merupakan factor penambatan yang penting.
Selain sifat hemaglutinasi yang mungkkin memudahkan invasi,
peneliti mencatat bahwa B. gingivalis secara spesifik terikat kepada
fibrinogen manusia dan mengadakan degradasi fibrinogen tersebut.
Peneliti lainnya mengajukan postulat bahwa pelepasan fosfolipase A
oleh B. melaninogenicus dan B. intermedius mungkin mempengaruhi
keutuhan membrane sel epitel, dan dengan demikian menimbulkan
kerusakan sel intravascular coagulation/DIC atau purpura, yang
keduanya merupakan manifestasi endotoksemia yang ditemukan pada
spesies akibat batang gram negatif aerob. Namun, terdapat bukti
eksperimental bahwa lipopolisakarisa ini merupakan factor virulensi.

E. Patogenesis
Meskipun penelitian tentang pathogenesis infksi anaerob sering
difokuskan pada suatu spesies saja, penting diketahui bahwa infeksi
bakteri anaerob lebih sering disebabkan oleh beberapa spesies
anaerob yang bekerja bersama-sama untuk menyebabkan penyakit.
Sebagai contoh, ketika bakteri fakultatif anaerob seperti E.coli
dijumpai pada tempat infeksi, E.coli akan memakai semua oksigen
yang ada sehingga menghasilkan lingkungan yang sesuai bagi
Bacteroides dan anaerob lainnya untuk tumbuh. Bacteroides
menghasilkan enzim kolagenase, neuraminidase, deoxyribonuclease
(DNase), heparinase, dan proteinase yang berperan pada pathogenesis
dengan membantu mikroorganisme ini melakukan penetrasi
kejaringan dan menimbulkan infeksi setelah operasi atau trauma
lainnya. Insidens yang disebabkan oleh mikroorganisme ini dapat
diturunkan atau dihilangkan dengan menghindari kondisi yang
menyebabkan menurunnya potensial redoks jaringan dan mencegah
masuknya bakteri anaerob kedalam jaringan host yang mempunyai
resiko.
Spesies Bacteroides juga menguntungkan hospesnya dengan
mencegah kolonisasi usus oleh pathogen potensial. Beberapa spesies
(misalnya B. fragilis) merupakan pathogen oportunisik pada manusia
yang menyebabkan infeksi rongga peritoneum, infeksi bedah
gastrointestinal, dan apendisitis dengan pembentukan abses,
menghambat fagositosis, dan inaktivasi antibiotika beta-laktam.
Meskipun apesies Bacteroides bersifat anaeorob, bakteri ini bersifat
aerotoleran sehingga dapat bertahan hidup di dalam rongga abdomen.

F. Manifestasi Klinik
Spesies Bacteroides sering dijumpai di berbagai tempat sebagai
flora residen dan cenderung terdapat pada rongga abses serta
merupakan infeksi campur. Oleh karena itu, tidak mengherankan
bahwa organism ini ditemukan pada infeksi yang beraneka ragam,
mulai dari abses otak, sinusitis serta penyakit periodontal, dan abses
intra-abdominal, sampai kepada abses traktur genitalis wanita.
Yang paling sering diisolasi adalah grup dari B. fragilis (B.
fragilis, B. ovatus, B. distasonis, B. vulgates, B. thetaiotaomicron, B.
uniformis), terutama berasal dari infeksi yang berkaitan dengan
kontaminasi isi kolon. Beberapa spesies dari grup B.
melaninogenicus dijumpai pada infeksi traktus genitalis wanita.
Bacteroides fragilis merupakan penyebab penyakit inflamasi pada
pelvis (pelvic inflammatory disease),selulitis terutama pada pasien
diabetes, dan kadang-kadang abses di otak dan saluran
gastrointestinal.
Sindrom klinik yang umum terjadi adalah : pembentukan abses
pada tempat yang normalnya steril dan bakterimia
Bacteroides fragilis adalah batang gram negative kedua yang
paling sering diisolasi dari biakan darah, setelah E.coli, dan
merupakan spesies Bacteroides yang paling umum yang terkait
dengan bakteremia, yang ditemukan pada 78% biakan. Bila B.
fragilis dibiakkan dari darah, sering kali terdapat sumber infeksi local
yang terkait, terutama pada abdomen.
Infeksi bakteri anaerob polimikrobik dengan B. fragilis sering
menyebabkan abses. Penting dipertimbangkan adanya B. fragilis
pada infeksi panggul yang melibatkan abses (misalnya abses tuubo-
ovarial), atau pada infeksi pasca-seksio sesarea atau infeksi pada
histerektomi vaginal. Salpingitis atau endometritis tanpa
pembentukkan abses kurang sering terkait dengan B.fragilis sebagai
pathogen.
1. Infeksi kulit dan jaringan lunak paling sering terkait dengan
B.fragilis. bakteri anaerob gram negatif memasuki tempat ini
melalui gigitan atau trauma.
2. Traktus respiratorius infeksi polimikrobik juga melibatkan bakteri
Bacteroides non-fragilis.

G. Pemeriksaan Laboratorium
Bacteroides fragilis dapat dibedakan dengan spesies Bacteroides
lainnya dan dengan fusobactorium atas dasar pertumbuhannya pada
20% empedu (yang menghambat kebanyakan spesies Bacteroides
dan fusobactorium). Sifat katalase positif, dan Resistensi terhadap
kenamisin, vankomisin dan kolistin. Bacteroides fragilis tumbuh
sebagai koloni mengkilat berdiameter 1-3 mm yang bersifat
nonhemolitik pada lempeng darah. Pada pewarnaan gram, bakteri ini
merupakan batang negatif gram yang berwarna pucat dan mungkin
bersifat pleomorfi serta warnanya tidak teratur,sifat nya juga
aerotoleran.

H. Diagnosis
Karakteristik klinis infeksi oleh Bacteroides yang pertama terlihat
adalah seperti infeksi anaerob pada umumnya. Karakteristik ini
meliputi pengeluaran yang mempunyai bau khas, lokasi infeksi
terutama pada permukaan mukosa, jaringan nekrosis, ada gas dalam
jaringan atau dicharge, terdapat hubungan infeksi dengan kanker, ada
infeksi karena pemakaian memiliki angka kematian sebesar 60%.
Akan tetapi, angka kematian ini dapat diperbaiki dengan pengobatan
antimikroba yang tepat. Resistensi terhadap obat antimikroba dapat
terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu afinitas yang berubah pada saat
peningkatan kepada sasaran, permeabilitas yang menurun terhadap
antibiotik yang bersangkutan, atau keberadaan enzim inaktivasi.
Bakteri Bacteroides sangat pawai menghindar dari antimikroba dan
mungkin menggunakan salah satu atau semua mekanisme diatas
untuk mengganggu pengobatan klinik yang efektif.
Bakteri Bacteroides pada umumnya resisten terhadap berbagai
antibiotika beta-laktam, aminoglikosida, dan akhir-akhir ini banyak
spesies yang telah menjadi resisten terhadap eritromisin dan
tetrasiklin. Tingkat Resistensi yang tinggi terhadap antibiotika ini
menimbulkan kekhawatiran bahwa spesies Bacteroides akan menjadi
reservoir resisten untuk jalur bakteri lainnya yang lebih patogenik.
Pada tahun-tahun terkahir mulai timbul pemahaman mengenai
genetika organisme ini, yang merupakan bidang penelitian penting,
dan ringkasannya di buat dengan baik. Plasmid yang mengandung
gen resisten terhadap klindamisin, eritromisin termasuk pBF4,
pBFTM10 dan pBI136 telah diidentifikasi. Anehnya dua diantara
plasmid ini juga membawa gen resisten terhadap tetrasiklin, tetapi
tidak terekpresikan pada spesies Bacteroides, namun menimbulkan
resisten terhadap tetrasiklin pada Escherichia coli bila organisme itu
dibiak dalam keadaan aerob. Telah diidentifikasi pula galur B.
Fragilis yang tampaknya membawa gen resisten klindamisin –
eritromisin pada kromosom, bukannya pada plasmid.

I. Pengendalian
Ada dua petunjuk untuk pencegahan terhadap infeksi anaerob,
yaitu menghindari suasana yang dapat menurunkan potensial redoks
di jaringan dan mencegah bakteri anaerob flora normal ke luka, pada
rongga yang tertutup, atau tempat lain yang mempunyai resiko
infeksi. Pencegahan denganpengobatan antimikroba efektif pada
situasi tertentu.

J. Prevotella dan Phorpyromonas


Bakteri prevotella yang berpigmen, seperti misalnya prevotella
melalinogenica dan prevotella intermedia (yang dahulu disebut
sebagai kelompok Bacteroides melalinogenicus. Phorpyromonas
(misalnya Phorpyromonas asaccharolytika) dan bakteri prevotella
yang tidak berpigmen (misalnya prevotella oralis, prevotella pria)
merupakan bagian dari flora normal mulut dan vagina, serta
merupakan anaerobic gram negatif bacteria (AGNB). Prevotella bi ia
dan prevotella disiens (dahulu disebut Bacteroides) adalah penting
pada infeksi obsetri dan ginekologi. Habitat bakteri prevotella dan
Phorpyromonas pada umumnya berhubungan dengan rongga mulut
dan rumen. Phorpyromonas menghasilkan enzim kologenase,
neuraminidase, deoksiribonuklease (Dnase), heparinase dan
proteinase yang mempunyai peran patogenis pada genus Bacteroides.

2.3.4. Moraxella
Moraxella (Branhamella) catarrhalis, sebelumnya bernama Neisseria
catarrhalis atau Micrococcus catarrhalis, adalah gram-negatif, diplococcus
aerobik yang sering ditemukan sebagai komensal saluran pernapasan atas.
Selama 20 hingga 30 tahun terakhir, bakteri telah muncul sebagai patogen
asli dan sekarang dianggap sebagai penyebab penting infeksi saluran
pernapasan atas pada anak-anak dan orang tua yang sehat. Selain itu, M.
catarrhalis adalah penyebab penting infeksi saluran pernapasan bawah,
terutama pada orang dewasa dengan penyakit paru obstruktif kronis. Pada
host yang immunocompromized, bakteri dapat menyebabkan berbagai
infeksi parah termasuk pneumonia, endokarditis, septikemia, dan
meningitis. Selain itu, wabah penyakit pernapasan di rumah sakit karena
M. catarrhalis sekarang menetapkan bakteri sebagai patogen nosokomial.
Karena M. catarrhalis telah lama dianggap sebagai komensal yang tidak
berbahaya, relatif sedikit yang diketahui tentang karakteristik patogenik
dan faktor virulensinya, meskipun perkembangan dalam bidang penelitian
ini telah dipercepat selama 5 tahun terakhir.
Munculnya M. catarrhalis sebagai patogen dalam dekade terakhir,
bersama dengan meningkatnya prevalensi strain penghasil β-laktamase,
telah menarik minat baru pada spesies bakteri ini. Dalam ulasan ini, kami
akan merangkum fitur-fitur penting dari organisme ini, dengan fokus pada
epidemiologi mikroba, virulensi, imunitas, dan aspek klinis dan molekuler-
patogen infeksi yang disebabkan oleh organisme ini. Berikut adalah
gambar bakteri Moraxella:

A. Taxonimi
Di masa lalu, M. catarrhalis dianggap sebagai anggota
nonpathogenik dari flora penduduk nasofaring. Itu adalah salah satu
spesies milik apa yang disebut nongonococcal, neisseriae non
meningococcal, dianggap sebagai anggota flora normal. Nama
spesies telah menyebabkan kebingungan yang cukup besar. Bakteri
ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1896 (98) dan disebut
Micrococcus catarrhalis. Belakangan berganti nama menjadi
Neisseria catarrhalis. Pada tahun 1963, Berger menunjukkan bahwa
genus asli Micrococcus catarrhalis sebenarnya berisi dua spesies
yang berbeda yaitu Neisseria cinerea dan N. catarrhalis. Spesies ini
dapat dipisahkan berdasarkan hasil reduksi nitrat dan nitrit serta
pengujian konversi tributyrin. Karena pemisahan filogenetik yang
luas antara N. catarrhalis dan apa yang disebut spesies Neisseria,
diamati dengan berbagai metode, bakteri dipindahkan ke genus baru
Branhamella. Pada tahun 1984, B. catarrhalis dipindahkan ke genus
Moraxella sebagai Moraxella (Branhamella) catarrhalis. Genus ini
sekarang mengandung coccoid dan bakteri berbentuk batang, yang
terkait secara genetik. Posisi M. catarrhalis dalam kerajaan
prokariotik. Banyak ilmuwan lebih suka nama Branhamella
catarrhalis, dan dalam beberapa publikasi baru-baru ini nama ini
terutama digunakan.

B. Isolasi Dan Identifikasi


Isolasi M. catarrhalis dari spesimen klinisdapat diperumit dengan
adanya neisseriae nonpathogenik. Media agar selektif telah
digunakan untuk mengisolasi M. catarrhalis dengan beberapa
keberhasilan. Sebagai contoh, acetazolamide, yang mengurangi
pertumbuhan spesies Neisseria ketika digunakan dalam kondisi
aerob, dan komponen antimikroba vankomisin, trimetoprim, dan
amfoterisin B dapat dimasukkan dalam media agar untuk
menghambat pertumbuhan flora normal.
Selama bertahun-tahun, kriteria berikut telah digunakan untuk
membedakan M. catarrhalis dari spesies bakteri lain: Noda Gram;
morfologi koloni; kurangnya pigmentasi koloni pada agar darah;
produksi oksidase; Produksi DNase; kegagalan menghasilkan asam
dari glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan fruktosa; pertumbuhan
pada 22 ° C pada agar nutrien; kegagalan tumbuh pada medium
Thayer-Martin yang dimodifikasi; dan, akhirnya, reduksi nitrat dan
nitrit. Namun, telah ditunjukkan bahwa pertumbuhan pada 22 ° C dan
kegagalan tumbuh pada medium Thayer-Martin yang dimodifikasi
bukanlah parameter yang dapat diandalkan untuk identifikasi M.
catarrhalis menunjukkan bahwa morfologi koloni, pewarnaan Gram,
dan produksi oksidase adalah kelompok karakteristik yang tidak
cukup untuk memungkinkan identifikasi yang benar dan akhir dari
M. catarrhalis dalam kultur yang berasal dari sampel dahak. Namun,
perlu dicatat bahwa pewarnaan Gram masih memainkan peran
penting baik dalam isolasi bakteri dari bahan klinis dan dalam
identifikasi selanjutnya. Dalam pewarnaan Gram yang khas, M.
catarrhalis menampilkan dirinya sebagai diplococcus gram negatif
dengan sisi berbatasan yang rata. Bakteri memiliki kecenderungan
untuk menolak perusakan. Koloni pada agar darah berwarna
nonhemolitik, bulat, buram, cembung, dan putih keabu-abuan. Koloni
tetap utuh ketika didorong melintasi permukaan agar-agar. Bakteri
positif oksidase, tetapi tes tambahan diperlukan untuk identifikasi
rutin. Reaksi positif untuk produksi DNase, reduksi nitrat dan nitrit,
dan hidrolisis tributyrin adalah karakteristik pembeda yang berharga.
identitas M. catarrhalis paling baik dikonfirmasi oleh reaksi positif
dalam setidaknya tiga tes yang membedakan ini, karena tidak satupun
dari mereka yang 100% sensitif atau spesifik dengan sendirinya.
Teknologi DNA modern telah membuka jalan baru untuk
mendeteksi M. catarrhalis dalam bahan klinis (mis., Efusi telinga
tengah) tanpa perlu kultur bakteri. Secara khusus, tes PCR untuk M.
catarrhalis telah dirancang dan digunakan untuk tujuan klinis, dengan
deteksi langsung DNA M. catarrhalis oleh PCR yang sesuai dengan
kultur dan deteksi endotoksin. Namun, tes DNA menghasilkan hasil
yang jauh lebih positif daripada kultur ketika, misalnya, efusi telinga
tengah dianalisis, yang menunjukkan sensitivitas superior dari tes
amplifikasi DNA. Relevansi klinis PCR telah divalidasi secara luas
dalam model chinchilla untuk otitis media. Model hewan ini berperan
dalam menunjukkan pembersihan yang cepat dan efektif efusi yang
dimediasi oleh DNA dan bakteri M. catarrhalis yang mati dari celah
telinga tengah, menyiratkan bahwa dalam kasus ini hasil PCR positif
adalah indikasi adanya bakteri yang hidup. Selain itu, PCR juga telah
andal digunakan untuk mendeteksi infeksi campuran dalam model
infeksi-eksperimental yang sama, sehingga memperkuat penerapan
pendekatan PCR multiplex untuk mendeteksi infeksi bakteri
campuran, misalnya dengan M. catarrhalis, Haemophilus influenzae,
dan Streptococcus pneumoniae dalam uji amplifikasi tunggal.
Pendekatan ini bahkan telah berhasil untuk efusi kultur-negatif. Baru-
baru ini, evaluasi klinis PCR multipleks spesifik untuk ketiga patogen
di atas ditambah Alloiococcus otitidis menunjukkan bahwa
diagnostik berbasis efusi DNA yang dapat diandalkan dari efusi
telinga tengah dapat dilakukan dalam satu hari kerja tunggal.
Selain itu, sensitivitas tes PCR sesuai dengan enam atau tujuh setara
genom, menjadikan PCR sebagai uji diagnostik yang tak tertandingi
(195). Namun, harus ditekankan bahwa tuntutan teknis PCR masih di
luar kapasitas banyak laboratorium mikrobiologi rutin, meskipun
perbaikan dalam robotika dan bentuk otomatisasi laboratorium
lainnya dengan cepat menjembatani kesenjangan saat ini antara teori
dan praktek.

C. Penyakit Dalam Anak


M. catarrhalis sekarang dianggap sebagai patogen penting dalam
infeksi saluran pernapasan, baik pada anak-anak dan pada orang
dewasa dengan COPD yang mendasarinya. Kadang-kadang, bakteri
menyebabkan penyakit sistemik misalnya Meningitis. Bakteremia
akibat M. catarrhalis harus dipertimbangkan terutama pada anak-anak
yang demam dengan disfungsi imun yang mendasarinya dan infeksi
saluran pernapasan atas. Selain itu, M. catarrhalis dapat menjadi
penyebab tunggal sinusitis, otitis media, trakeitis, bronkitis,
pneumonia, dan, yang lebih jarang, infeksi mata pada anak-anak.
Pada anak-anak, kolonisasi nasofaring sering mendahului
perkembangan penyakit yang dimediasi M. catarrhalis. Di bawah ini
kami merangkum fitur klinis penyakit anak;
1. Radang dalam selaput lender
Perkembangan sinus adalah proses yang dapat memakan
waktu hingga 20 tahun, meskipun sinus ethmoid dan maksila
sudah ada sejak lahir; perkembangan sinus sphenoid dan frontal
dimulai pada beberapa tahun pertama kehidupan. Sinusitis adalah
infeksi yang sangat umum pada anak usia dini, terhitung sekitar 5
hingga 10% dari infeksi saluran pernapasan atas. Ini sering kurang
terdiagnosis pada anak-anak karena gejalanya tidak spesifik.
Selain itu, pemeriksaan fisik dan radiologi memiliki nilai yang
kecil pada anak-anak, dan diagnosis etiologis membutuhkan
pembiakan aspirasi sekresi sinus. Pada sinusitis akut (di mana
gejala hadir selama 10 hingga 30 hari) dan penyakit subakut (30
hingga 120 hari). S. pneumoniae, H. influenzae, dan M.
catarrhalis adalah bakteri patogen bakteri yang paling sering
diisolasi. S. pneumoniae ditemukan pada 30 hingga 40% pasien,
sementara H. influenzae dan M. catarrhalis masing-masing
mencapai sekitar 20% kasus. Menariknya, pada anak-anak dengan
asma, distribusi patogen bakteri yang sama ditemukan. M.
catarrhalis sebagai patogen dominan pada sinusitis subakut atau
kronis (gejala muncul selama lebih dari 30 hari) pada anak-anak
dengan alergi pernafasan. Telah disarankan bahwa ada
kemungkinan perkiraan tingkat isolasi yang lebih rendah untuk M.
catarrhalis, karena bakteri berhenti tumbuh di lingkungan dengan
konsentrasi oksigen yang berkurang, suatu kondisi yang sering
muncul selama sinusitis dan otitis media. Ini akan menunjukkan
peran yang lebih besar untuk M. catarrhalis dalam etiologi
penyakit menular ini

2. Otitis Media
Otitis media akut (OMA) adalah infeksi yang sangat sering
terjadi pada anak-anak: sebelum usia 1 tahun, sekitar 50% anak
telah mengalami setidaknya satu periode OMA. Proporsi ini naik
menjadi 70% pada usia 3 tahun. Tidak diragukan lagi, itu adalah
infeksi paling serius dan sering disebabkan oleh M. catarrhalis
pada anak-anak, dan karena itu M. catarrhalis menyebabkan
morbiditas yang luar biasa dan membutuhkan penggunaan
antibiotik secara luas. Meskipun tidak sering ditemui sebagai
patogen, M. catarrhalis telah diakui sebagai patogen spesifik
dalam OMA selama hampir 70 tahun. Sejak 1980, peningkatan
yang nyata telah dilaporkan dalam isolasi M. catarrhalis dari
eksudat telinga tengah. Peningkatan isolasi M. catarrhalis menjadi
sekitar 15 hingga 20% telah disertai oleh munculnya strain yang
memproduksi β-laktamase, yang saat ini mencakup sekitar 90
hingga 95% isolat. Namun, besaran yang tepat dari peningkatan
yang jelas dalam tingkat isolasi ini mungkin belum diukur secara
memadai , karena tympanocentesis dan kultur cairan telinga
tengah tidak dilakukan secara rutin. Patel et al. membiakkan
cairan telinga tengah dari 99 anak-anak dengan AOM dan S.
pneumoniae yang terisolasi, H. influenzae yang tidak dapat
diketikkan, dan M. catarrhalis masing-masing dari 39, 30, dan
25% dari subyek. Sekali lagi, tingkat isolasi untuk M. catarrhalis
mungkin menjadi terlalu rendah, mengingat lingkungan yang
relatif anaerob dari telinga tengah selama infeksi. Dalam sebuah
penelitian yang menggunakan PCR, DNA M. catarrhalis terdeteksi
pada 46,4% spesimen efusi telinga tengah kronis anak ,
dibandingkan dengan 54,6% untuk DNA H. influenzae dan 29,9%
untuk DNA S. pneumoniae. Sebagian besar (48%) spesimen
adalah PCR positif dan budaya negatif, sedangkan semua
spesimen budaya positif juga PCR positif. Sangat tidak mungkin
bahwa spesimen PCR-positif namun kultur-negatif mencerminkan
persistensi DNA dari infeksi lama. Tingkat keparahan gejala dan
jumlah bakteri dalam cairan telinga tengah tampaknya lebih
rendah untuk M. catarrhalis daripada untuk S. pneumoniae atau H.
influenza.

3. Infeksi Saluran Pernafasan Bawah


Meskipun infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-anak
adalah penyebab umum morbiditas dan bahkan mortalitas di
antara anak-anak di seluruh dunia, memperoleh diagnosis
mikrobiologis sangat sulit. Sebagian besar penelitian
menggunakan kombinasi metode mikrobiologis serologis dan
konvensional (mis., Berbasis kultur atau PCR). Banyak metode ini
hanya digunakan dalam pengaturan penelitian dan tidak selalu
dapat diandalkan atau tersedia untuk dokter. Akibatnya, data
mengenai peran M. catarrhalis dalam infeksi saluran pernapasan
bawah tidak konklusif. Infeksi saluran pernapasan bawah akibat
M. catarrhalis tampaknya relatif jarang terjadi selama masa kanak-
kanak, dengan sebagian besar infeksi terjadi pada anak di bawah
usia 1 tahun serokonversi ke M. catarrhalis pada pasien yang
dirawat di rumah sakit dengan menengah (laringitis, trakeitis,
bronkitis) dan infeksi saluran pernapasan bawah. Mereka
menemukan serokonversi hanya pada 4 (5%) dari 76 anak yang
memiliki kultur aspirasi nasofaring positif M. catarrhalis-positif
dibandingkan dengan 4 (1%) dari 373 anak yang memiliki kultur
negatif. Menurut hasil mereka, M. catarrhalis tidak mungkin
menjadi penyebab infeksi ini pada anak-anak. Namun, berbeda
dengan temuan ini, beberapa penelitian lain memang melibatkan
M. catarrhalis pada infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-
anak. Pertama, M. catarrhalis telah diisolasi dalam kultur murni
dari sekresi yang diperoleh dengan aspirasi trakea pada neonatus,
bayi, dan anak-anak dengan pneumonia . Displasia
bronkopulmonalis yang mendasari telah disarankan sebagai faktor
predisposisi dalam kasus ini . Kedua, dalam penelitian prospektif
yang menggabungkan kriteria mikrobiologis dan klinis, M.
catarrhalis diidentifikasi sebagai patogen pernapasan yang
signifikan pada anak-anak . Ketiga, respon antibodi lokal dan
sistemik terhadap infeksi M. catarrhalis telah didokumentasikan
dalam beberapa penelitian. Pneumonia pada anak-anak dapat
dipersulit oleh bakteremia dengan M. catarrhalis . Misalnya,
Ioannidis et al. telah mempresentasikan data tentang 58 kasus
bakteremia M. cattarhalis, termasuk kasus pada 28 anak yang
lebih muda dari 12 tahun. Sebagian besar pasien (sekitar 70%)
memiliki penyakit yang mendasari (keganasan dan / atau
neutropenia, gangguan saluran pernapasan yang mendasari), dan
infeksi saluran pernapasan terkait diidentifikasi pada setengah dari
pasien. Pada anak-anak dengan bakteremia, lesi kulit seperti ruam
purpura dan petekie sering terjadi. Dari 58 pasien, 12 meninggal
(21%), termasuk 4 dari 5 pasien dengan endokarditis dan 4 dari 7
pasien yang tidak menerima terapi. Kesimpulannya, meskipun
literatur saat ini tidak memberikan jawaban yang pasti, data yang
tersedia menunjukkan bahwa M. catarrhalis dapat terlibat dalam
infeksi saluran pernapasan bawah pada anak-anak.
D. Penyakit Dalam Dewasa
M. catarrhalis telah dikaitkan dengan berbagai sindrom klinis
pada orang dewasa; yang paling sering dibahas secara lebih rinci di
bawah ini. Namun, harus ditekankan bahwa M. catarrhalis juga dapat
memanifestasikan dirinya sebagai patogen dalam lingkungan
nosokomial. Infeksi yang jarang tetapi sangat serius dan sering
mematikan dengan M. catarrhalis tampaknya endokarditis.
1. Pneumoniae
M. catarrhalis bukan penyebab umum infeksi saluran
pernapasan bagian bawah pada orang dewasa yang sehat. Namun,
bakteri menyebabkan infeksi paru dalam tiga pengaturan klinis
yang terpisah pada pasien PPOK, pneumonia pada orang tua, dan
sebagai patogen saluran pernapasan nosokomial.
M. catarrhalis adalah penyebab umum eksaserbasi pada
COPD. Dalam COPD dan otitis media, hanya S. pneumoniae dan
H. influenzae yang tidak dapat diisolasi lebih sering daripada M.
catarrhalis, namun frekuensi isolasi M. catarrhalis dari sputa telah
meningkat selama 10 hingga 15 tahun terakhir. Peningkatan ini
tidak dapat dianggap berasal dari peningkatan kesadaran di
laboratorium . Satu studi telah menunjukkan M. catarrhalis
menjadi patogen tunggal yang paling terisolasi dalam COPD .
Meninjau semua kultur saluran pernapasan yang dilakukan
selama periode 42 bulan dan mengidentifikasi M. catarrhalis di
dari kultur ini. Dalam penelitian ini, M. catarrhalis ditemukan
menjadi patogen saluran pernapasan kedua yang paling umum
diisolasi setelah H. influenzae yang tidak dapat diketemukan tetapi
berperingkat sebelum S. pneumoniae. Selain itu, ini dan banyak
penulis lain menunjukkan musim yang mencolok, dengan musim
dingin dan musim semi adalah periode dengan insiden isolasi M.
catarrhalis terbesar. Pola ini tidak ditemukan dengan S.
pneumoniae atau H. influenzae. Infeksi saluran pernapasan virus
sebelumnya yang disebabkan oleh virus syncytial pernapasan,
misalnya, bisa menjadi faktor dalam variasi musiman yang telah
diamati dengan infeksi M. catarrhalis, meskipun hipotesis ini tetap
belum diuji .
Gambaran klinis khas infeksi pernapasan M. catarrhalis
adalah infeksi trakeobronkitis, disertai batuk dan produksi dahak
purulen. Pneumonia yang disebabkan oleh M. catarrhalis
cenderung merupakan penyakit yang relatif ringan. Ini berbeda
dari bronkitis dengan adanya infiltrat lobus sebagian besar pada
sinar X dada . Demam tinggi, nyeri pleuritik, dan keadaan toksik
jarang terjadi, seperti halnya empiema dan bakteremia meninjau
15 kasus pneumonia bakteremia karena M. catarrhalis yang telah
dilaporkan dalam literatur. Kasus-kasus ini (sembilan pada orang
dewasa dan enam pada anak-anak) sama dalam karakteristik dan
gejala klinis dengan yang dijelaskan untuk pasien dengan bronkitis
atau pneumonia tanpa bakteremia. Tingkat kematian untuk kasus
bakteri ini adalah 13,3%. Menggambarkan spektrum klinis
bakteremia M. catarrhalis pada 58 pasien. Faktor predisposisi
terdapat pada lebih dari 70% pasien dan termasuk neutropenia,
keganasan, dan gangguan pernapasan, baik sendiri atau dalam
kombinasi. Dalam penelitian ini, ruam makulopapular tampaknya
merupakan gejala yang relatif jarang dan paling sering terlihat
pada pasien dengan neutropenia. Mortalitas tinggi (29%) di antara
pasien dengan penyakit pernapasan yang mendasarinya, dan
infeksi lebih parah ketika pasien koinfeksi dengan patogen saluran
pernapasan lainnya. Angka kematian secara keseluruhan terkait
dengan infeksi pernapasan tampaknya relatif rendah . Meski
begitu, pneumonia M. catarrhalis sering terjadi pada pasien
dengan penyakit paru-paru stadium akhir atau penyakit ganas, dan
mortalitas jangka pendek pada beberapa kategori pasien setinggi
45% . Sebagian besar pasien adalah lansia (lebih dari 65 tahun),
dan 90 hingga 95% pasien memiliki penyakit kardiopulmoner
yang mendasarinya , dengan COPD hadir pada sebagian besar
kasus. Banyak pasien tampaknya mengalami malnutrisi.
Persentase besar (> 70%) adalah perokok atau exsmokers. Laki-
laki tampaknya berisiko lebih besar daripada perempuan,
meskipun pengamatan ini dapat dikacaukan oleh, misalnya,
kebiasaan merokok.
Penelitian terhadap kolonisasi dan infeksi pasien
bronkiektasis dengan M. catarrhalis dari waktu ke waktu telah
mengindikasikan bahwa sebagian pasien (sekitar 20%) tampaknya
secara kolonisasi dijajah dengan M. catarrhalis, kadang-kadang
secara berurutan dengan empat strain berbeda. Hubungan sebab
akibat antara isolasi bakteri dan eksaserbasi tidak dapat
dibuktikan, meskipun kehadirannya dalam sebagian besar pasien
menunjukkan peran kausal.
Organisme tambahan juga dapat diisolasi dari sekitar 40
hingga 50% dari biakan dahak; dalam banyak kasus, S.
pneumoniae atau H. influenzae diisolasi. Karena beberapa alasan,
penting untuk mendefinisikan peran M. catarrhalis dalam infeksi
campuran ini, terutama berkenaan dengan manajemen pasien yang
memadai dan terapi antibiotik spesifik. Pada infeksi campuran
dengan S. pneumoniae, misalnya, haruskah pengobatan untuk M.
catarrhalis dipertimbangkan sama sekali, atau dapatkah
pengobatan antibiotik ditargetkan pada pneumococcus saja.
2. Infeksi Nosokomial

Bahwa infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh M. catarrhalis telah


disarankan oleh beberapa penelit. Di masa lalu telah sulit untuk mengkonfirmasi
penyebaran organisme di antara pasien yang dirawat di rumah sakit, karena
kurangnya sistem pengetikan yang dapat diandalkan. Selain itu, karena
penyakitnya ringan, penyebaran nosokomial dapat diabaikan atau diabaikan
begitu saja. Menggunakan analisis restriksi endonuklease untuk mengkonfirmasi
wabah di unit rumah sakit. Strain dari lima pasien dan dua anggota staf
menghasilkan pola genotipe yang identik ketika teknik ini digunakan. Selama
penyelidikan wabah putatif lain, immunoblotting dengan serum manusia normal
dikombinasikan dengan analisis endonuklease restriksi untuk jenis M. catarrhalis
strain. Enam isolat M. catarrhalis dari sekelompok infeksi yang melibatkan lima
pasien dalam unit pernapasan terbukti identik satu sama lain dan berbeda dari
strain yang tidak terkait dari institusi yang sama . Kedua metode memberikan
diskriminasi yang baik antara strain, tetapi mereka tidak selalu sepakat
sepenuhnya. Dengan demikian, penggunaan lebih dari satu teknik pengetikan
direkomendasikan. Pilihan lain yang bermanfaat adalah pembatasan analisis
endonuklease dengan beberapa enzim, bukan hanya satu. Kendaraan yang jelas
penyebaran bakteri belum diidentifikasi dalam pengaturan klinis. Penyebaran
nosokomial M. catarrhalis menjadi umum, terutama di bangsal pernapasan.
Mereka juga menunjukkan bahwa kontaminasi yang cukup besar terhadap
lingkungan dengan M. catarrhalis dapat terjadi, menyiratkan kemungkinan mode
penyebaran yang dimediasi aerosol. Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan
penting masih harus dijawab sehubungan dengan penyebaran nosokomial M.
catarrhalis, termasuk identifikasi reservoir infeksi dan cara penularannya.
Penularan dari orang ke orang dan menyebar dari sumber lingkungan telah
terlibat dalam penularan nosokomial berdasarkan bukti tidak langsung;
kemungkinan signifikansi adalah pengamatan bahwa bakteri mampu bertahan
dalam dahak yang dihilangkan selama setidaknya 3 minggu. Sekolah pembibitan
adalah situs di mana pertukaran strain sering terjadi. Data awal memang
mengungkapkan bahwa ini memang mungkin penting dalam epidemiologi
pengangkutan M. catarrhalis (pengamatan tidak dipublikasikan).

Radang tenggorokan

M. catarrhalis adalah spesies bakteri yang paling umum diisolasi dari


pasien dewasa dengan radang tenggorokan. Bahwa dari 40 orang dewasa dengan
penyakit ini, 22 orang terinfeksi oleh M. catarrhalis, dibandingkan dengan 0 dari
40 orang dewasa yang sehat. Meski begitu, peran pasti M. catarrhalis, baik
sebagai pengamat yang tidak bersalah atau sebagai mikroorganisme kausal
dalam patogenesis laringitis dewasa, tidak sepenuhnya dipahami.

e Perlawanan Komplemen

Resistensi komplemen dianggap sebagai faktor virulensi penting dari banyak


bakteri gram negatif, yang dapat menjelaskan mengapa bakteri gram negatif yang
diisolasi dari darah sebagian besar resisten terhadap komplemen; strain ini juga sangat
berhasil dalam membangun model infeksi hewan. Secara umum, galur kasar bakteri
gram negatif, yang memproduksi LPS tanpa rantai samping spesifik O, sangat rentan
terhadap pembunuhan yang dimediasi C5b-9 sedangkan galur halus, yang mensintesis
LPS lengkap, seringkali resisten terhadap komplemen . Karena LPS dari M. catarrhalis
adalah tipe kasar , itu mungkin tidak memainkan peran utama dalam resistensi
komplemen. Namun, Zaleski et al. Baru-baru ini menunjukkan bahwa inaktivasi galE,
sebuah gen yang mengkode UDP-glukosa-4-epimerase yang terlibat dalam biosintesis
epitop LOS Galα1-4Galβ1-4Glc, menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap
pembunuhan yang dimediasi serum. Rupanya, struktur LOS menyimpang membuat
strain lebih rentan terhadap serangan komplemen. Rincian struktural yang memfasilitasi
interaksi ini masih belum diketahui. Mengingat bahwa resistensi komplemen dianggap
sebagai faktor virulensi penting dari neisseriae , kesamaan antara anggota neisseriae dan
M. catarrhalis menjadikan resistensi komplemen dan mekanisme yang mendasari subjek
penting untuk studi lebih lanjut.

Relevansi klinis resistensi komplemen ditunjukkan untuk sekelompok strain


yang diisolasi dari sputa orang tua. Resistensi komplemen dapat dianggap sebagai faktor
virulensi M. catarrhalis: sebagian besar strain (89%) yang diisolasi dari infeksi saluran
pernapasan bawah resisten terhadap pembunuhan yang dimediasi oleh komplemen,
sedangkan strain dari saluran pernapasan atas anak-anak sebagian besar sensitif.
Beberapa penulis lain telah menguji strain M. catarrhalis untuk resistensi komplemen.
Strain tahan komplemen menghambat jalur terminal komplemen, yaitu, pembentukan
kompleks serangan membran komplemen. Pengikatan vitronektin manusia, penghambat
jalur terminal komplemen, tampaknya memainkan peran penting dalam resistensi
komplemen M. catarrhalis . Pada pengikatan vitronektin manusia terhadap strain M.
catarrhalis yang resisten dan komplemen ditunjukkan. HMW-OMP, juga dikenal sebagai
protein permukaan A di mana-mana (terdiri dari dua protein terpisah, UspA1 dan
UspA2. Memang, telah ditunjukkan bahwa vitronectin berikatan dengan UspA2 . Lebih
lanjut, strain mutan UspA2 dari M. catarrhalis sensitif terhadap pembunuhan yang
dimediasi oleh komplemen, sedangkan strain induk dan mutan isogenik dengan mutasi
pada UspA1 resisten.

2.3.5. Pertusis

Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan


akut yang disebabkan oleh berdetellah pertusis
(Nelson,
2000 : 960). Pertusis adalah penyakit saluran
nafas yang disebabkan oleh berdetella pertusisa,
nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta,
whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer,
2000 : 428)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pertusis adalah infeksi saluran
pernafasan akut yang disebabkan oleh bordetella pertusis, nama lain penyakit ini
adalah tussis Quinta, whooping cough, batuk rejan.

B. Penyebab
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis yang berbentuk batang gram
o
negatif, tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50 C tetapi
o o
bertahan pada suhu 0 – 10 C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran
pernapasan (Cahyono dkk, 2010)

C. Gejala
Pertusis biasanya mulai seperti pilek saja, dengan hidung beringus, rasa lelah
dan adakalanya demam parah. Kemudian batuk terjadi, biasanya sebagai serangan
batuk, diikuti dengan tarikan napas besar (atau “whoop”). Adakalanya penderita
muntah setelah batuk. Pertusis mungkin serius sekali di kalangan anak kecil. Mereka
mungkin menjadi biru atau berhenti bernapas ketika serangan batuk dan mungkin
perlu ke rumah sakit. Anak yang lebih besar dan orang dewasa mungkin menderita
penyakit yang kurang serius, dengan serangan batuk yang berlanjut selama
berminggu-minggu tanpa memperhatikan perawatan.

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan


penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini
dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal,pra
paroksismal), stadium akut paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.
Manifestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.

Pertusis pada remaja dapat dikenali dengan gejala sebagai berikut: 72-100%
batuk paroksismal, susah tidur dan sesak, 50-70% muntah setelah abtuk, 30-65%
mengalami whoop, 1-2% rawat inap karena pneumonia atau fraktur tulang iga, dan
0,2-1% kejang atau penurunan kesadaran. Laporan dari Kanada menunjukkan
manifestasi batuk hingga >3 minggu bahkan 47% mengalami batuk >9 minggu. Di
AS, rata-rata batuk akibat pertusis 3,4 bulan setelah munculnya gejala. Sehingga
bukanlah hal yang jarang, bila petugas kesehatan terlambat mengenali pertusis pada
remaja. Beberapa penelitian prospektif memperlihatkan bahwa bila remaja berobat
akibat batuk nonspesifik >1 minggu, kemungkinan akibat pertusis sekitar 13-20%
dengan hampir 20% tidak memperlihatkan manifestasi paroksismal, whoop, atau
muntah setelah batuk. Dengan demikian, remaja diyakini memiliki peranan penting
pada penyebaran pertusis pada bayi baru lahir dan anak. Kesulitan mengenali gejala
pada awal timbulnya penyakit, meningkatkan angka penularan dan keterlambatan
memberikan profilaksis. Berikut ini adalah gejala klasik dari pertusis:

 Stadium kataralis (1-2 minggu)


Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada
konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakkan karena
sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar
dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah
diisolasi
 Stadium paroksismal/stadium spasmodic
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop), udara yang
dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja, bunyi whoop sering
tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata menonjol,
lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai
terjadi petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk
paroksismal dapat terjadi lagi sampai mucous plug pada saluran napas
menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal cukup khas, sehingga
seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis walaupun
tidak disertai bunyi whoop.
 Stadium konvalesens ( 1-2 minggu)
Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah
dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun.
Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan menghilang
sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul serangan batuk
paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa
bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas
yang berulang. (Republika,2003)

D. Patofisiologi
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat
kecil yang tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik
keseluruhan dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi
dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.
Spesies Bordetella memiliki bersama tingkat homologi DNA yang tinggi pada
gena virulen. Hanya B. Pertusis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP). Protein
virulem utama. Penggolongan serologis tergantung pada aglutinogen K labil
panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalang spesifik untuk B. Pertusis. Serotip
bervariasi secara geografis dan sesuai waktu.

Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,


banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa
aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kD
yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel
bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak
menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik,
dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal
yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP.
TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin,
sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi
sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan
dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak
memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis. (Nelson,
2000)
E. Stadium Penyebaran

1. Stadium Kataral (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu
timbulnya rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi
pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada
stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar
dibedakan dengan common cold. (Soedarmo, 2010).

Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti


droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah
diisolasi (Soedarmo, 2010).

Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari
dan menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).

2. Stadium Paroksismal (2 sampai 4 minggu)


Selama stadium ini frekuensi dan derajat batuk bertambah, khas
terdapat pengulangan 5 sampai 10 kali batuk kuat selama ekspirasi yang
diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan bunyi
melengking (whoop) akibat udara yang dihisap melalui glotis yang
menyempit. Pada anak yang lebih tua dan bayi yang lebih muda, serangan
batuk hebat dengan bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan,
muka merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi
dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi ptekie di wajah (terutama
konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi sampai
mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk
paroksismal cukup khas, sehingga sering kali menjadi tanda kecurigaan
apakah anak menderita pertusis walaupun tidak disertai bunyi whoop. Anak
menjadi apatis dan berat badan menurun. Batuk mudah dibangkitkan dengan
stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktivitas fisik (Soedarmo,
2010).

Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun
bayi tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal
terjadi pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak
bersuara whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang
sudah divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang
lebih ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010).

Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa


bulan tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama

serangan, muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak


menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita
sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh
stres emosional (menangis, sedih, gembira) dan aktifitas fisik (Irawan dkk,
2008).

Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas
di kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan
subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk,
2008).
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan
keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat
hebat dan frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3
minggu dan berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah
menghilang (Irawan dkk, 2008).

3. Stadium Konvalesen / Penyembuhan (1 sampai 2 minggu)


Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan
muntah dengan puncak serangan paroksismal yang berangsur-angsur
menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu dan akan
menghilang sekitar 2 sampai 3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul
serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang
untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas
bagian atas yang berulang.

F. Penularan dalam Tubuh


Terjadinya infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan dalam
tubuh mengakibatkan tseseorang menderita pneumonia.Tanda yang
menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk,
demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.

Seseorang dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan


oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Dengan keadaan yang
lemah akibat menderita penyakit pertusis maka tubuh akan kurang mampu
menerima asupan makanan, vitamin, mineral dan lain sebagainya. Sehingga hal
ini akan memperburuk keadaan tubuh maka akan berdampak pada status gizi
seseorang.

Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis.


Seseorang yang menderita pertusis biasanya mengalami batuk yang sangat kuat
sehingga akan memicu terjadinya penyakit hernia umbilikalis atau inguinalis.
Gejala hernia umbilikalis adalah adanya tonjolan pada atau di dekat daerah
pusar, dapat pula dirasakan nyeri atau tekanan pada perut, tonjolan bisa
bertambah keluar terutama bila penderita batuk atau mengejan.

Pada saluran pernafasan biasanya akan terkena dampaknya jika infeksi


saluran nafas atas yang menyebar ke bagian bawah dan menyebabkan timbulnya
pus pada bronki, kental sulit dikeluarkan berbentuk gumpalan yang menyumbat
satu atau lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk kemudian terinfeksi
dengan bakteri. Paling sering terjadi dan menyebabkan kematian pada anak
dibawah usia 3 tahun terutama bayi yang lebih muda dari 1 tahun. Gejala
ditandai dengan batuk, sesak nafas, panas, pada foto thoraks terlihat bercak –
bercak infiltrat tersebar.

Karena batuk hebat kuman masuk melalui tuba eustaki yang menghubungkan
dengan nasopharing, kemudian masuk telinga tengah sehingga menyebabkan
otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran eustaki menjadi tertutup dan jika
penyumbatan tidak dihilangkan pus dapat terbentuk yang dapat pecah melalui
gendang telinga yang akan meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi
tulang mastoid yang terletak di belakang telinga.

Batuk yang mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih
yang kemudian berubah menjadi purulen. Purulen tersebut jika terus bertambah
maka akan menyumbat bronkioli. Sehingga seseorang akan menjadi atelektasis.
Atelektasis (Atelectasis) adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru
akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus). Kemudian
setelah seseorang mengalami penyumbatan saluran udara secara berlebihan dan
disertai batuk yang hebat sehingga alveoli pecah maka seseorang akan
mengalami emphisema Pulmonum.

Toksin (racun) pertusis dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak
jaringan lain dalam tubuh, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan
komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung
akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang
menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak.

Penyakit pertusis memberikan dampak yang cukup berbahaya pada saluran


pencernaan. Seseorang dengan pertusis maka akan mengalami batuk yang
biasanya diakhiri dengan suara pernapasan dalam bernada tinggi atau
melengking serta muntah-muntah yang berat sehingga jika ini terus terjadi maka
seseorang dapat menderita emasiasi. Jika seseorang terus menerus mengalami
batuk yang sangat hebat maka menyebabkan tekanan venous meningkat, kapiler
pecah, epistaksis, perdarahan sub conjungtiva serta malnutrisi karena anoreksia
dan infeksi sekunder. (Nelson,2000)

G. Cara Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis (cdc.org).

Di Indonesia, vaksin yang direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak


adalah vaksin DPT. Vaksin tersebut merupakan kombinasi vaksin yang berguna
untuk melindungi tubuh dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.

Vaksin tersebut terdiri dari lima kali injeksi, dimana vaksin tersebut
diberikan pada bayi dan anak-anak pada usia dua bulan, empat bulan, enam bulan,
15 – 18 bulan, dan 4 – 6 tahun (mayoclinic.org).

Efek samping dari vaksin tersebut termasuk ringan, seperti demam, sensitive
atau mudah tersinggung, sakit kepala, serta nyeri atau rasa pegal ditempat yang
disuntik (mayoclinic.org).

Booster Shots

 Remaja
Karena kekebalan dari vaksin pertusis cenderung menurun pada usia 11
tahun. Hal itu menyebabkan dokter merekomendasikan untuk memberikan
booster shot pada umur tersebut untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh
dari penyakit pertusis, dipteri, dan tetanus,

 Dewasa
Umumnya vaksinasi DPT dapat memberikan kekebalan tubuh selama 10
tahun. Sehingga dokter menyarankan untuk memberikan booster shot saat
dewasa untuk meningkatkan kembali kekebalan tubuh. Selain itu, pemberian
vaksin DPT pada saat dewasa dapat mengurangi risiko penularan pertusis dari
orangtua ke anak/bayi.

 Ibu Hamil
Saat ini, para ahli kesehatan menyarankan para wanita hamil untuk
menerima vaksin DPT pada usia kehamilan antara 27 – 36 minggu. Hal ini
bertujuan untuk memberikan kekebalan kepada bayi selama beberapa bulan
pertama kehidupan.

NAMA PENYUSUN

NI KOMANG SRI HANDAYANI


(171200215)

2.3.6. Clostridium Tetani

A. Taksonomi
Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah :

Kingdom : Bacteria

Division : Firmicutes

Class : Clostridia

Order : Clostridiales

Family : Clostridiaceae

Genus : Clostridium

Species : Clostridium tetani

Tetanus yang sungguh sudah dikenal oleh orang-orang yang dimasa lalu, yang dikenal
karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup
bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884
oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk
pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan
menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang
fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban
manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa
menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin
bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond
Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam
tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin
lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan
untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama perang dunia ke-
II. (Anonim,1997)

A. Epidemiologi

Tetanus sudah sangat jarang dijumpai di negara yang telah maju sperti Amerika
Serikat, dikarenakan imunisasi aktif yang telah dilaksanakan dengan baik, di samping
sanitasi lingkungan yang bersih. Sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia,
pemyakit ini masih banyak dijumpai karena kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan. Perawatan luka yang kurang higienis, serta kurangnya kekebalan
terhadap tetanus. Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi
dengan tanah dan dengan kebersihan dan perawatan luka yang buruk.

Tetanus terjadi di seluruh dunia dengan insiden yang sangat bervariasi. Bentuk
yang paling sering ialah tetanus neonatorum yang memb unuh sekurang-kurangnya 500.000
bayi setiap tahun karena ibu tidak diimunisasi. Lebih dari 70% kematian ini terjadi pada
sekitar sepuluh negara Asia dan Afrika. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian
perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup
di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus
pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya bayi <12 bulan. Angka
kematian keseluruhan antara 6,7-30%. Lagipula diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang
tidak terimunisasi men inggal setiap tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari
infeksi C.tetani pada luka paska partus, paska abortus, atau bedah. Sekitar 50 kasus tetanus
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, kebanyakan pada orang-orang umur 60 tahun
atau lebih tua, tetapi seusia anak belajar jalan dan kasus neonatus juga terjadi.

Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis,


sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen
gelas, atau injeksi tidak steril. Tetanus paska injeksi obat terlarang menjadi kasus yang
sering, sementara keadaan yang tidak lazim adalah gigitan binatang, abses, pelubangan
cuping telinga, ulkus kulit kronik, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin, dan
sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah penggunaan benang jahit yang
terkontaminasi atau setelah injeksi intramuskuler obat-obatan. (Anonim,1997)

B. Morfologi

Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran


panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri ini membentuk eksotoksin yang
disebut tetanospasmin. Kuman ini terdapat di tanah terutama tanah yang tercemar tinja
manusia dan binatang. Clostridium tetani termasuk bakteri gram positif anaerobic berspora,
mengeluarkan eksotoksin. Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin
dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis
mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat
badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah


protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S.
Menghasilkan gelatinase, dan indol positif.

Spora dari Clostridium tetani resisten terhadap panas dan juga biasanya terhadap
antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada autoclave pada suhu 249.8°F (121°C) selama
10– 15 menit. Juga resisten terhadap phenol dan agen kimia yang lainnya. (Anonim,1997)

C. Cara penularan
Tetanus terutama ditemukan di daerah tropis dan merupakan penyakit infeksi yang
penting baik dalam prevalensinya maupun angka kematiannya yang masih tinggi . Tetanus
merupakan infeksi berbahaya yang biasa mendatangkan kematian. Bakteri ini ditemukan di
tanah dan feses manusia dan binatang. Infeksi ini muncul (masa inkubasi) 3 sampai 14 hari.
Di dalam luka yang dalam dan sempit sehingga terjadi suasana anaerob. Clostridium tetani
berkembang biak memproduksi tetanospasmin suatu neurotoksin yang kuat. Toksin ini akan
mencapai system syaraf pusat melalui syaraf motorik menuju ke bagian anterior spinal cord.

Jenis-jenis luka yang sering menjadi tempat masuknya kuman Clostridium tetani
sehingga harus mendapatkan perawatan khusus adalah:

 Luka-luka tembus pada kulit atau yang menimbulkan kerusakan luas



 Luka baker tingkat 2 dan 3

 Fistula kulit atau pada sinus-sinusnya

 Luka-luka di bawah kuku

 Ulkus kulit yang iskemik

 Luka bekas suntikan narkoba

 Bekas irisan umbilicus pada bayi

 Endometritis sesudah abortus septic

 Abses gigi

 Mastoiditis kronis

 Ruptur apendiks

 Abses dan luka yang mengandung bakteri dari tinja (Fluit, C. 2001)
D. Gejala

Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi
ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum. Penyakit ini biasanya terjadi
mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :

1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris


2. Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot erektor trunki)
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang (karena toksin yang terdapat di kornu anterior)
5. Risus sardonikus, karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi)
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus, ekstremitas inferior dalam
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuaty. Anak tetap sadar. Spasme
mjula-mula intermiten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan seranga
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena
kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urin dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktura kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Demam biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan
intrakranial.

Ada 3 bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni:


1. Localited tetanus (tetanus local)

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi persisten, pada daerah tempat dimana luka
terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal ini merupakan tanda dari tetanus local.
Kontraksi otot btersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa
progresif dan biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi
genelarized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian.
Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai
secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2. Cephalic tetanus ( tetanus sefalik )

Cephalic Tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada daerah
muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.

3. Generalized tetanus (tetanus umum)

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang paling sering dijumpai (50%), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicua
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang
dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan
saluran nafas, sianose asfiksia. Bisa disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan
perdarahan di dalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan
dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis. Selain itu terdapat juga bentuk lain yang disebut Tetanus Neonatorum. Tetanus
Neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal apabila tidak
diterapi. Tetanus bentuk ini terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak
diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak
steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan, dan
kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu
pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan
gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan
retardasi mental terjadi pada yang bertahan hidup.6 Menurut beratnya gejala dapat
dibedakan 3 stadium :
1. Trismus (3 cm) tanpa kejang tonik umum meskipun dirangsang.
2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang tonik umum spontan.

1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa


gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang dengan frekuensi pernapasan
lebih dari 30, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat
dan takikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat 3 dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskular. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap. (Fluit, C. 2001)

F. Patogenesis

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang atau pupuk. Biasanya penyakit terjadi setelah luka tusuk
yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka
tembak, karena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi
yang kotor, luka bakar, dan patah tulang terbuka juga akan megakibatkan keadaan anaerob yang
ideal untuk pertumbuhan C. Tetani ini. Walaupun demikian, luka-luka ringan seperti luka gores,
lesi pada mata, telinga atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula
merupakan porte d’entree dari C. Tetani. Juga sering ditemukan telinga dengan otitis media
perforata sebagai tempat masuk C. Tetani. Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat
berubah menjadi bentuk vegetatif bila ada linkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi,
basil tetanus mensekresi 2 macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Gejala klinis timbul
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta saraf
otonom. Pada masa pertumbuhan eksotoksin diproduksi, yang diserap oleh liran darah sistemik
dan serabut saraf perifer. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah
masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal kedalam sel saraf tepi, kemudian ke
kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP. Hipotesis mengenai cara
absorbsi dan bekerjanya toksin :

1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti
antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan teikat,
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas
dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin.

Eksotoksin dari Clostridium tetani dipisahkan menjadi 2 yaitu Tetanolisisn dan


Tetanospasmin. Tetanolisin yang mampu secara local merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin mencakup
lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat
150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000
Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung
karboksil dari rantai berat terika pada membrane saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah
pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. Tetanopasmin yang dilepas akan
menyebar pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada
membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah
yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin
kemudian akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retroged ke dalam badan
sel batang otak dan saraf spinal.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di mana setelah toksin
menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaiutu glisin dan asam aminobutirik (GABA). Interneron yang
mneghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini
kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah neurotransmitter
dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum yang mnegakibatkan paralisis
flaksid. Namun demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuscular. Pusat medulla dan hipotalamus
mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek konvulsan kortikal pada penelitian
hewan. Apakah mekanisme ini berperan terhadap spasme intermitten dan serangan autonomik,
masih belum jelas. Efek prejungsional dari ujung neuromuscular dapat berakibat kelemahan
diantara dua spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf cranial yang dijumpai pada tetanus
sefalik, dan myopati yang tersedia setelah pemulihan. Pada spesies yang lain, tetanus
menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid.

Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan
menyebabkan kekakuan dan spasme muscular, yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-otot agonis dan antagonis
berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau
rupture tendon. Otot rahang, wajah, dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur
aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot perifer
tangan kanan dan kaki relatif jarang terlibat. Aliran impuls otonomik yang tidak terkendali akan
berakibat terganggunya control otonomik dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar
katekolamin plasma yang berlebihan. Terikatnya toksin pada neuron ireversibel. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa tetanus berdurasi
lama.

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang bersangkutan
yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang dilepaskan di dalam luka
memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar luas mencapai ujung saraf terminal: sawar
darah otak memblokade masuknya toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika
diasumsikan bahwa waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini menjelaskan urusan
keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus generalisata.

Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan saraf
tepid an pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi resinaptik sehingga
mencegah keluarnya neurotransmitter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga terjadi
eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai dari tempat masuk kuman atau pada
otot masseter (trimus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekauan
yang makin berat, pada extremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sisem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernafasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama jantung, hiperpirexi,
hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang
dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan
diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf
otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti. (Fluit, C. 2001)

G. Pencegahan

Pencegahan merupakan tindakan paling penting, yang dapat dilakukan dengan cara :

a. imunisasi aktif dengan toksoid


b. perawatan luka menurut cara yang tepat
c. penggunaan antitoksi profilaksis

Namun sampai pada saat ini pemberian imunisasi dengan tetanus toksoid merupakan
satu-satunya cara dalam pencegahan terjadinya tetanus. Pencegahan denganpemberian
imunisasi telah dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan, dengan cara pemberian imunisasi
aktif (DPT atau DT). (Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran)

H. Pengobatan

1. Antibiotika

Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30 - 40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat
digunakan dengan dosis 200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.

Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika broad
spektrum dapat dilakukan.

2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan secara intravena karena
TIG mengandung "anti complementary aggregates of globulin ", yang mana ini dapat
mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan
tetanus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara
pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu
30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada
sebelah luar.

3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan dengan pemberian
antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian
dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap
tetanus selesai.

4. Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang kronik yang hebat,
muscular dan laryngeal spasm beserta komplikaisnya. Dengan penggunaan obat – obatan
sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat diatasi. Contohnya :

 Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM)


 Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM)
 Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM)
 Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) (Fluit, C. 2001)

Kesimpulan
Bakteri merupakan makhluk hidup yang terdapat dimana-mana, dalam udara yang kita
hirup, di tanah yang kita pijak dan tentu saja dalam tubuh kita. Bahkan sebenarnya, kita
sepenuhnya hidup ditengah-tengah dunia bakteri yang tidak tampak. Bakteri berasal dari kata
Bakterion (yunani = batang kecil). Di dalam klasifikasi, bakteri digolongkan dalam Divisio
Schizomycetes.

Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk batang lurus, langsing, berukuran panjang
2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron. Bakteri Clostridium tetani dapat menyebabkan penyakit
tetanus.

NAMA PENYUSUN

NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)


2.3.7. Morfologi Vibrio cholera
Vibrio cholera merupakan bakteri gram negatif, berbentuk basil (batang) dan
bersifat motil (dapatbergerak), memiliki struktur antogenik dari antigen flagelar H dan
anti genso matik O, gammaproteobacteria, mesofilik dan kemoorganotrof, berhabitat
alami dilingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan eukariot. Spesies Vibrio
kerap dikaitkan dengan sifat patogenisitasnya padamanusia, terutama V.Cholerae
penyebab penyakit kolera dinegara berkembang yang memiliki keterbatasan akan air
bersih dan memiliki sanitasi yang buruk.

Vibrio cholera adalah salah satu bakteri yang masuk dalam family Vibrionaceae
selain dari Aeromonas dan Plesiomonas, dan merupakan bagian dari genus Vibrio.
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1884 dan sangat
penting dalam dunia kedokteran karena menyebabkan penyakit kolera. Vibrio cholera
banyak ditemui di permukaan air yang terkontaminasi dengan feces yang mengandung
kuman tersebut, oleh karena itu penularan penyakit ini dapat melalui air, makanan dan
sanitasi yang buruk.

Vibrio cholerae termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang bengkok


seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 μm. Pada isolasi, Koch menamakannya
“kommabacillus”. Tapi bila biakan diperpanjang, kuman itu basa menjadi batang lurus
yang mirip dengan bakteri enteric gram negative. Kuman ini dapat bergerak sangat
aktif karena mempunyai satu buah flagella polar yang halus (monotrik). Kuman ini
tidak membentuk spora. Pada kultur dijumpai koloni yang cembung, halus dan bulat
yang keruh dan bergranul bila disinari. (Todari,k.2009)

A. Klasifikasi Ilmiah Vibrio cholerae

Adapun klasifikasi dari bakteri Vibrio cholerae yaitu sebagai berikut:

Kongdom :Bacteria

Filum :Proteobacteria
Kelas :Gamma Proteobacteria
Ordo :Vibrionales
Famili :Vibrionaceae
Genus :Vibrio
Spesies :Vibrio cholerae (Amelia,S.2005)

B. StrukturAntigenVibrio cholerae

Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel H ini
bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji
aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang penting dalam
pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholera. Antigen somatik O ini terdiri dari
lipoposakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir. Antibodi terhadap antigen O
bersifat protektif. (Finegold sm, Dkk.1994)

C. Patogenesis Vibrio cholera


Kolera ditularkan melalui jalur oral. Jika Vibrio berhasil melalu asam lambung dengan
selamat (dosis infektif tinggi sekitar 107 jika asam lambung normal), ia akan berkembang
pada usus halus. Langkah awal kolera berupa penempelan pada mukosa karena membrane
protein terluar dan adhesin flagela yang dimilikinya. Vibrio cholerae bersifat non invasif,
tetapi menghasilkan enterotoksin, yaitu suatu protein dengan BM 84.000 Dalton, tahan
panas dan tidak tahan asam, resisten terhadap tripsin dan dirusak oleh protease. Toksin
kolera mengandung 2 subunit, yaitu B (binding) dan A (active). Subunit B berikatan
dengan Gm1, suatu reseptor glikolipid pada permukaan sel epitel jejunum, dan kemudian
mengirimkan subunit A ke target sitosiliknya. Sub unit A aktif (A1) memindahkan secara
ireversibel ribose ADP dari nikotinamid adenin dinukleotida (NAD) ke sebuah guanosin
tripospat (GTP) yang mengatur aktivitas adenilat siklase. Hal ini menyebabkan peningkatan
produksi cAMP, yang menghambat absorbsi natrium dan dan merangsang sekresi klorida
sehingga menimbulkan akumulasi NaCl dalam lumen usus.Sejak air bergerak pasif untuk
mempertahankan osmolaritas, cairan isotonic terakumulasi dalam lumen. Ketika volume
cairan melebihi kapasitas penyerapan usus, terjadi diare cair, yang terdiri dari air, NaCl,
kalium, dan bikarbonat. Jika cairan dan elektrolit yang keluar tidak digantikan secara
adekuat, dapat terjadi syok dan asidosis.

Imunitas terhadap toksik kolera dan antigen permukaan bakteri sama dengan respon
imun alami. Proteksi in vivo kemungkinan besar dimediasi oleh IgA sekretorik, sedangkan
antibodi serum sebagai tanda untuk pajanan sebelumnya tidak melindungi.

Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Seorang
yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak atau lebih
V.cholera dalam air agar menginfeksi, sebab kuman ini sangat sensitive pada suasana asam.
Jika mediator makanan, sebanyak 102-104 organisme yang diperlukan karena kapasitas
buffer yang cukup dari makanan. Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat
menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang sensitive terhadap infeksi
Vibrio cholera

Ada duajenis V. cholerae yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Jenis utama
yang menyebabkan kolera adalah V. cholerae O1, sedangkan jenis-jenis lainnya dikenal
sebagai non-O1.

V.cholerae O1 adaalah penyebab kolera Asiatik atau kolera epidemik. Kasus kolera
sangat jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Sebagian besar kasus kolera terjadi
didaerah-daerah (sub)-tropis. Kolera selalu disebabkan oleh air yang tercemar atau ikan
(atau kerang) yang berasaldari perairan yang tercemar.

V.cholerae non-O1 hanya menginfeksi manusia dan hewan primata lainnya. Organisme
ini berkerabat dengan V.cholerae O1, tetapi penyakit yang ditimbulkannya tidak separah
kolera. Strain patogenik dan non- patogenik dari organisme ini merupakan penghuni normal
dilingkungan air laut dan muara. Organisme ini pada masa lalu disebut sebagai non-cholera
vibrio (NCV) dan nonagglutinable vibrio (NAG).

Perkemabangan Terbaru : Vibrio cholerae strain-O1 dapat dipecah menjadi 2 biotipe


klasik dan El Tor, biotipe ini berdasarkan perbedaan fenotipik beberapa (Tabel - 1).Juga
Vibrio cholerae O1 adalah sub-dibagi menjadi 3 serotipe Ogawa, Inaba dan Hikojima. Hal
di atas menunjukkan perbedaan mendasar dari biotipe klasik dan El Tor.Namun, seiring
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak ilmuwan yang terus
memantau perkembangan V. cholera.Di antara 206 serogrup Vibrio cholerae, O1 dan O139
yang berhubungan dengan epidemi kolera.Serogrup O1 diklasifikasikan menjadi 2 biotipe,
klasik dan El Tor. Secara konvensional, 2 biotipe dapat dibedakan berdasarkan seperangkat
sifat fenotipik. Analisis genomik komparatif telah menunjukkan variasi dalam gen yang
berbeda antara biotipe. Toksin kolera (CT), toksin utama yang bertanggung jawab untuk
penyakit kolera, memiliki 2 epitypes atau bentuk imunologi, CT1 dan CT2. Klasifikasi lain
mengakui 3 genotipe berdasarkan urutan gen variasi ctxB. Dalam beberapa tahun terakhir,
muncul bentuk baru dari V.cholerae O1, yang memiliki ciri-ciri dari kedua klasik dan El
Tor biotipe, telah diisolasi di Bangladesh, Mozambik, Vietnam, Hong Kong, Jepang, dan
Zambia.

Berdasarkan penelitian yang diilakukan di Kolkata India, Strain diperiksa dengan uji
mutasi ketidaksesuaian amplifikasi (MAMA) berbasis PCR untuk mendeteksi alel ctxB;
primer digunakan untuk 2 alel, FW-Com (5'-ACTATCTTCAGCATATGCACATGG-3');
dan 2 alel spesifik primer, Re-CLA (5'-CCTGGTACtTTCTACTTGAAACG-3') dan Re-elt
(5'-CCTGGTACTTCTACTTGAAACA-3'), masing-masing digunakan untuk biotipe klasik
dan Tor El.

Hasil MAMA-PCR menunjukkan bahwa sejak tahun 1995 jenis klasik telah
sepenuhnya menggantikan jenis ctxB El Tor.Urutan asam amino disimpulkan selaras
dengan urutan CtxB strain referensi N16961 (El Tor) dan O395 (klasik).Urutan asam amino
menyimpulkan dari semua 25 strain yang diuji identik dengan strain referensi klasik;
histidin berada di posisi 39 dan treonin berada di posisi 68.Dengan demikian, hasil dari
sekuensing DNA dari gen ctxB dikonfirmasi MAMA-PCR dengan baik.

Hasil ini menunjukkan peristiwa yang patut dicatat dalam evolusi terakhir
strainsV.cholerae. Analisis ctxB yang telah beredar di Kolkata selama 17 tahun (1989-
2005) menunjukkan bahwa pada tahun 1989 hanya alel El Tor yang terdapat ctxB. Hasil
kami lebih lanjut menunjukkan bahwa jenis ctxB klasik muncul pada tahun 1990, meskipun
El Tor jenis ctxB masih hadir dalam jumlah yang hampir sama selama tahun itu. Selama
tahun 1991, sebuah peristiwa unik terjadi ketika jenis klasik menjadi dominan, bersama
dengan strain yang memiliki keduanya yakni klasik dan El Tor jenis ctxB.Pada tahun 1994,
isolasi strain El Tor dengan ctxB menjadi langka, dan alel ctxB utama adalah dari jenis
klasik. Strain V.cholerae O1 dari tahun 1995 dan seterusnya ditemukan hanya membawa
ctxB jenis klasik, yang benar-benar menggantikan El Tor tipe alel ctxB.

Penggantian jenis El Tor ctxB oleh alel klasik telah dilaporkan di Bangladesh sejak
2001, yang tampaknya telah terjadi sebelumnya di Kolkata. Perubahan ini didorong oleh
tekanan selektif untuk bertahan hidup dan beradaptasi lebih baik di usus host. Mengingat
peningkatan prevalensi global kolera, asal dan penyebaran varian baru dari V.cholerae
strain harus dilacak dalam populasi dengan analisis genom.

Mekanisme perkembangan bakteri V. cholerae dalam tubuh, beberapa bakteri yang


bertahan hidup menghemat energi dan nutrisi yang tersimpan selama perjalanan melalui
perut dengan menutup produksi protein banyak.Ketika bakteri yang masih hidup keluar
dari lambung dan mencapai usus kecil, mereka perlu mendorong diri mereka melalui lendir
tebal yang melapisi usus kecil untuk sampai ke dinding usus mana mereka dapat
berkembang.“V. cholerae''bakteri memulai produksi protein silinder berongga flagellin
untuk membuat flagela, yang keriting seperti cambuk ekor yang mereka berputar untuk
mendorong diri mereka sendiri melalui lendir yang melapisiusus kecil.Setelah bakteri
kolera mencapai dinding usus, mereka tidak perlu baling-baling flagela untuk pindah
lagi.Bakteri berhenti memproduksi protein flagellin, energi lagi sehingga melestarikan dan
nutrisi dengan mengubah campuran protein yang mereka memproduksi dalam menanggapi
lingkungan kimia berubah.Saat mencapai dinding usus,''V. cholerae''mulai memproduksi
protein beracun yang memberi orang yang terinfeksi diare berair. Ini membawa generasi
baru mengalikan''V. cholerae''bakteri keluar ke dalam air minum berikutnya host jika
langkah-langkah sanitasi yang tepat tidak pada tempatnya.

Mekanisme genetik dari bakteri ini dimana ''V. cholerae'' bakteri mematikan produksi
beberapa protein dan menghidupkan produksi protein lain sebagai respon mereka terhadap
serangkaian lingkungan kimia yang mereka hadapi, melewati perut, melalui lapisan mukosa
dari usus kecil, dan masuk ke usus dinding. Kepentingan tertentu telah menjadi mekanisme
genetik dengan bakteri kolera yang menghidupkan produksi protein dari racun yang
berinteraksi dengan mekanisme sel inang untuk memompa ion klorida ke dalam usus kecil,
menciptakan tekanan ionik yang mencegah ion natrium memasuki sel. Klorida dan ion
natrium menciptakan lingkungan air garam di usus kecil yang melalui osmosis dapat
menarik hingga enam liter air per hari melalui sel-sel usus menciptakan sejumlah besar
diare. Tuan rumah dapat menjadi cepat dehidrasi jika campuran yang tepat dari air garam
encer dan gula tidak diambil untuk menggantikan air dan garam darah yang hilang selama
diare.
Bakteri Vibrio Cholerae akan mengeluarkan enterotoksin atau racunnya di saluran usus
sehingga terjadinya diare yang dapat berakibat pada kehilangan banyak cairan tubuh atau
dehidrasi.Jika dehidrasi tidak segera ditangani atau mendapatkan penanganan yang tepat
dapat berlanjut ke arah hipovolemik dan asidosis metabolik sampai akhirnya menyebabkan
kematian. Hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah di mana terjadi kehilangan
cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ. Sedangkan asidosis
metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya
kadarbikarbonat dalam darah.

Penyakit kolera dapat menyebar baik sebagai penyakit yang endemik, epidemik atau
pandemik. Bakteri Vibrio cholerae berkembang biak dan menyebar melalui feses (kotoran)
manusia. Jika kotoran yang mengandung bakteri mengkontaminasi air sungai dan lainnya,
maka orang yang melakukan kontak dengan air tersebut beresiko terkena kolera, bahkan
mengonsumsi ikan dalam air yang sudah terkontaminasi pun bisa menyebabkan Anda
terkena kolera. (Ryan Kj.2004)

E. Manifestasi Klinik dan Diagnosis


MANIFESTASI KLINIK Gejala khas berupa diare encer seperti air cucian beras, tidak
berbau busuk maupun amis, vormitus setelah diare tanpa nausea, dan kejang otot perut.
Gejala klinis sesuai dengan penurunan volume.Pada kehilangan 3 – 5 % dari berat badan
normal, timbul rasa haus.Kehilangan 5 – 8 %, timbul hipotensi postural, kelemahan,
takikardi, dan penurunan turgor kulit.Penurunan di atas 10 % mengakibatkan oliguria,
denyut nadi lemah atau tidak ada, mata cekung dan pada bayi ubun-ubun cekung, kulit
keriput, somnolen, dan koma.Komplikasi disebabkan oleh kehilangan air dan elektrolit
Penyakit kolera dapat berakhir dengan penyembuhan ad integrum (sehat utuh) atau
kematian.Penyulit biasanya adalah keterlambatan pertolongan atau pertolongan yang tidak
adekuat.

DIAGNOSIS Mudah ditentukan pada daerah endemik. Ciri khasnya berupa vormitus
tanpa nausea, diare cair seperti iar cucian beras, dan tanpa demam. Untuk pemeriksaan
biakan, cara pengambilan bahan pemeriksaan tinja yang tepat adalah apus rektal (rectal
swab) yang diawetkan dalam media transfor carry-blair atau pepton alkali, atau langsung
ditanam dalam agar TCBS, akan memberikan persentase hasil positif yang tinggi. Vibrio
cholerae O1 menghasilkan koloni oksidase-positif berwarna kuning. Vibrio cholerae dapat
dibedakan dengan Vibrio mimicus dari kemampuannya meragi sukrosa.Selain itu, untuk
pemeriksaan laboratorium juga bisa dilakukan dengan muntahan. (HandaS. Diakses 9
januari 2011)

F. Gejala-gejala Penyakit

Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare
akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal
penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai
5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara
tiba-tiba).Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam
jumlah besar.Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang
kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera.Produksi racun kolera
oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit
ini.

Gejala-gejala V. cholerae non-O1 berupa diare dan kram perut.Demam yang disertai
muntah dan mual terjadi pada 25% individu yang terinfeksi. Kira-kira 25% individu yang
terinfeksi akan mengeluarkan kotoran dengan darah dan lendir. Diare, pada beberapa kasus,
dapat menjadi sangat parah, dan berlangsung selama 6-7 hari. Diare biasanya terjadi dalam
48 jam setelah konsumsi organisme. Mekanisme organisme ini dalam menimbulkan
penyakit tidak diketahui, namun demikian racun enterotoxin dan mekanisme penyerangan
diduga menjadi penyebab penyakit ini.Penyakit muncul saat organisme melekatkan diri ke
usus halus individu yang terinfeksi dan kemudian menyerang korbannya.Dosis infektif –
Diduga organisme dalam jumlah besar (lebih dari satu juta) harus dikonsumsi untuk dapat
menyebabkan penyakit. (Mims, Dkk. 2004)

G. Pencegahan
Dalam situasi epidemi diagnosis klinis dibuat dengan mengambil riwayat gejala dari
pasien dan dengan pemeriksaan singkat saja. Pengobatan biasanya dimulai tanpa atau
sebelum konfirmasi dengan analisis laboratorium spesimen. Tinja dan usap sampel yang
dikumpulkan pada tahap akut penyakit ini, sebelum antibiotik telah diberikan, adalah
spesimen yang paling berguna untuk diagnosis laboratorium. Jika epidemi kolera diduga,
agen penyebab yang paling umum adalah ''Vibrio cholerae O1''. Jika ''V. cholera O1''
serogrup tidak terisolasi, laboratorium harus tes untuk ''V. cholera O139''. Namun, jika
tidak satu pun dari organisme ini terisolasi, perlu untuk mengirim spesimen tinja ke
laboratorium referensi. Infeksi dengan ''V. cholerae O139'' harus dilaporkan dan
ditangani dengan cara yang sama seperti yang disebabkan oleh V.'' cholera O1''. Penyakit
diare terkait harus dirujuk sebagai kolera dan harus dilaporkan sebagai kasus kolera
kepada pihak berwenang kesehatan masyarakat yang sesuai. Kebersihan yang kurang, air
yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab
utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi
yang baik dapat mencegah infeksi V.cholerae (pelczar Dkk.2006)

NAMA PENYUSUN

NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)


2.3.8. Streptococus Sanguis

Streptococcus (disingkat strep) merupakan jenis bakteri gram positif yang


terdapat di berbagai permukaan lingkungan sehingga sangat mudah untuk menyerang
siapa saja. Bakteri Streptococcus juga memiliki berbagai macam jenis serta cara untuk
menginfeksi manusia. Mulai dari sentuhan, luka terbuka, udara, dan cairan tubuh,
hingga penularan yang terjadi saat proses melahirkan.

Infeksi bakteri Streptococcus juga dapat terjadi di berbagai organ tubuh, baik dari sistem
saluran pernapasan dan pencernaan hingga sistem pembuluh darah dan jantung.

Infeksi Streptococcus dapat dibagi menjadi grup A, B, C dan G. Masing-masing


memiliki cirinya tersendiri yang berkaitan dengan kemampuan menyebabkan infeksi.

1. Infeksi Bakteri Streptokokus Group A

Streptococcus grup A (strep A) banyak ditemukan pada bagian permukaan kulit,


di dalam tenggorokan, dan pada berbagai rongga tubuh. Termasuk rongga telinga
dan kelamin. Infeksi strep A dapat terjadi pada siapa saja, terutama pada orang
dewasa dan anak-anak.

Strep A dapat menyebar melalui partikel air ketika orang yang terinfeksi strep
batuk atau bersin. Bakteri ini juga dapat bertahan hidup pada permukaan benda
tertentu sehingga dapat menular melalui sentuhan.

Infeksi strep A dapat bersifat ringan ataupun invasif. Infeksi ringan dari strep A
di antaranya:

 Radang amandel atau radang tenggorokan yang ditandai dengan rasa sakit saat
menelan dan pembengkakan kelenjar.
 Infeksi kulit impetigo ditandai dengan rasa perih dan benjolan yang berisi cairan
(blister) pada bagian terluar kulit.
 Selulitis, yaitu infeksi kulit bagian dalam yang ditandai dengan adanya
pembengkakan kulit berwarna merah serta disertai rasa sakit dan sensasi panas.
Infeksi sellulitis dapat menyebar dan berpindah ke kulit bagian atas.
 Sinusitis adalah infeksi pada rongga kecil di sekitar dahi dan tulang pipi
sehingga menyebabkan hidung tersumbat dan rasa nyeri pada bagian wajah.
 Infeksi telinga, terutama pada rongga udara hingga telinga bagian dalam.
 Scarlet fever, yaitu infeksi bakteri yang menimbulkan ruam dan rasa kasar pada
permukaan kulit.

Pada dasarnya, infeksi strep A dapat dengan mudah terjadi ketika seseorang
mengalami penurunan daya tahan tubuh. Infeksi minor dari strep A dapat dengan
mudah disembuhkan tanpa adanya komplikasi dan efek jangka panjang.

Namun, jika seseorang memiliki daya tahan tubuh yang sangat lemah seperti
pada bayi, lansia, orang dengan diabetes, atau pasien kanker dan HIV, maka lebih
mungkin terjadi infeksi strep A invasif yang jauh lebih serius. Misalnya penyakit-
penyakit berikut ini.

 Pneumonia, yakni infeksi paru yang ditandai dengan batuk tak kunjung sembuh,
sesak napas dan nyeri pada dada.
 Sepsis, yaitu infeksi pada peredaran darah yang dapat menyebabkan gangguan
kerja jantung, demam, dan napas yang memburu.
 Meningitis adalah infeksi bakteri streptococcus yang telah mencapai selaput
otak. Penyakit ini ditandai dengan sakit kepala, muntah-muntah, leher kaku, dan
ruam.
 Toxic shock syndrome (TSS), yaitu munculnya gejala syok seperti pusing, mual,
diare dan pingsan akibat kuman strep A mengeluarkan racun pada aliran darah.
 Necrotising fasciitis adalah infeksi pada kulit bagian dalam dan area yang
berdekatan dengan otot (fascia) yang menyebabkan rasa nyeri, bengkak, dan
kemerahan. Infeksi ini bisa menyebar dengan cepat.
Infeksi strap invasif merupakan penyakit yang serius sehingga perlu penanganan
yang tepat. Pada keadaan serius, satu dari empat orang yang mengalami strep A
invasif dapat mengalami kematian.

2. Infeksi Bakteri Streptokokus Group B


Infeksi bakteri Streptococcus grup B (strep B) pada umumnya tidak terlalu
berbahaya. Namun bisa menimbulkan masalah kesehatan pada kelompok dengan
daya tahan tubuh yang rentan.Strep B banyak ditemukan pada saluran cerna dan di
dalam vagina. Infeksi strep B termasuk langka dan biasanya berbahaya terhadap
kondisi kehamilan dan pada bayi baru lahir.
Strep B merupakan bakteri yang umum yang berada di dalam tubuh, sehingga
memungkinkan terjadinya penularan pada bayi saat hamil. Meskipun demikian,
risiko infeksi cenderung kecil di mana hanya 1 diantara 2.000 kasus paparan pada
kandungan yang menyebabkan infeksi strep B pada bayi.
Infeksi strep B pada kehamilan dapat menyebabkan keguguran dan lahir mati,
namun hal ini sangat jarang terjadi.

3. Infeksi Bakteri Streptokokus Group C dan G


Streptococcus grup C dan G (strep C dan G) memiliki hubungan dekat dengan
strep A. Akan tetapi, cara penularannya berbeda. Strep C dan G pada umumnya
ditemukan pada hewan dan menyebar melalui sentuhan atau bahan pangan yang
masih mentah. Misalnya daging dan susu mentah yang terpapar oleh bakteri tersebut.

Kuman strep C dan G juga dapat hidup pada permukaan kulit, terutama pada
kulit yang mengalami kerusakan seperti mengalami eksim dan jaringan mukosa
lainnya seperti vagina dan saluran usus.

Kuman strep C dan G tidak dapat bertahan lama di lingkungan terbuka di luar
tubuh manusia dan hewan. Infeksi strep C dan G pada umumnya menyerang sistem
peredaran darah dan musculoskeletal seperti bacteremia, infeksi tulang, endokarditis,
infeksi persendian, dantoxic shock syndrome.
Gambar Bakteri Streptokokus

Streptococcus sanguis merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan


pada rongga mulut manusia yang sehat. Bakteri ini banyak ditemukan pada plak dan
karies gigi, serta pada aliran darah di katup jantung yang dapat menyebabkan
bakterial endocarditis.

1. Bakteri tersebut sudah lama diyakini sebagai kunci utama kolonisasi bakteri
dalam rongga mulut manusia karena berikatan kuat secara langsung dengan
pelikel saliva yang menyebabkan perlekatan mikroorganisme oral lain,
terbentuknya plak gigi, berkontribusi dalam menyebabkan karies dan
penyakit periodontal.
2. Streptokokus oral ini berperan penting dalam patogenesis Stomatitis Aftosa
Rekuren (SAR), baik sebagai patogen secara langsung atau sebagai stimulus
antigenik, pada penderitanya telah ditemukan dalam bentuk initial L forms.
3. Donatsky juga melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap
Streptococcus sanguis 2A pada pasien stomatitis aftosa rekuren.
4. Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) atau umum dikenal masyarakat Indonesia
sebagai “sariawan”, ialah penyakit mukosa oral yang paling sering diderita
manusia berupa ulser berulang pada mukosa mulut dengan ciri khas ulser
singleatau multiple, bulat atau oval berbatas jelas kemerahan, dan dasar abu-
abu atau kuning. 5,6 SAR mempengaruhi sekitar 20% dari populasi umum
tetapi bila dilihat dari kelompok etnis tertentu atau grup sosial ekonomi,
maka rata-rata insidensi berkisar antara 5% - 50%.

2.3.9. Bacteorides Fragilis

Gambar Bakteri Bacteorides fragilis

Didalam tubuh manusia, kolon atau usus besar, mengandung populasi mikroba
yang terbanyak.
Telah diperkirakan bahwa jumlah mikroorganisme di dalam spesimen tinja ialah
kira-kira 1012 organisme per gram. (Lima puluh atau enam puluh persen dari berat
kering bahan tinja dapat terdiri dari bakteri dan mikroorganisme lain). Telah pula
dihitung bahwa seorang dewasa mengekskresikan 3 x 1013 bakteri setiap harinya
didalam tinja; kebanyakan dari sel-sel tersebut tidak hidup.
Ada kira-kira 300 kali lebih banyak bakteri anaerobik daripada bakteri anaerobik
fakultatif (Seperti Escherichia coli) di dalam usus besar. Basilus Gram negatif anaerobik
yang ada meliputi spesies-spesies Bacteroides (Bacteroides fragilis, Bacteroides
melaninogenicus, Bacteroides oralis) dan Fusobacteriu. Basilus Gram positif diwakili
oleh spesies-spesies Clostridium (termasuk Clostridium perfringens) yang mempunyai
kaitan dengan kelemayuh, suatu inveksi jaringan disertai gelembung gas dan keluarnya
nanah) serta spesies-spesies Lactobacillus. Spesies-spesies anaerobik fakultatif yang
dijumpai di dalam usus tergolong dalam genus Escherichia, Proteus, Klebsiella, dan
Enterobacter. Peptostreptokokus (Streptokokus anaerobik) juga umum, Khamir Candida
albicans juga dijumpai. Harus juga diperhatikan bahwa pada diare, sebagai akibat
pergerakan isi perut yang cepat, maka mikrobiota usus mengalami perubahan yang
besar.

2.3.10. Bacillus Antracis

Bacillus anthracis adalah bakteri gram negatif berbentuk tangkai yang berukuran
sekitar 1x6 mikrometer dan merupakan penyebab penyakit antraks.

Gambar Bakteri BacillusAntractis

Nama anthracis berasal dari bahasa Yunani anthrax yang berarti batu bara,
merujuk kepada penghitaman kulit pada korban.Bakteria ini umumnya terdapat di tanah
dalam bentuk spora, dan dapat hidup selama beberapa dekade dalam bentuk ini. Jika
memasuki sejenis herbivora, bakteria ini akan mulai berkembang biak dalam hewan
tersebut dan akhirnya membunuhnya, dan lalu terus berkembang biak di bangkai hewan
tersebut. Saat gizi-gizi hewan tersebut telah habis diserap, mereka berubah bentuk
kembali ke bentuk spora.Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang
terkena anthraks, dapat melalui daging, kulit, tulang maupun kotoran.Meskipun begitu,
hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan
orang yang mengidap antraks.

Beberapa gejala-gejala antraks (tipe pencernaan) adalah:


 mual
 pusing
 muntah
 tidak nafsu makan
 suhu badan meningkat
 muntah bercampur darah
 buang air besar berwarna hitam
 sakit perut yang sangat hebat (melilit) atau (untuk tipe kulit) seperti
borok setelah mengkonsumsi atau mengolah daging asal hewan sakit
antraks.
Daging yang terkena antraks mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
 berwarna hitam
 berlendir
 berbau.
NAMA PENYUSUN

Novita Horlyana Saragih 171200228


2.3.11 Clostridium botulinum

Klasifikasi Ilmiah

Domain : Bacteria

Divisi : Firmicutes

Kelas : Clostridia

Ordo : Clostridiales

Famili : Clostridiaceae

Genus : Clostridium

Spesies : C. botulinum

Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif, membentuk endospora oval


subterminal dibentuk pada fase stationar, berbentuk batang, membentuk spora, gas dan
anaerobik. Ada 7 tipe bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi,
yaitu tipe A, B, C, D, E, F. Dan G. Tipe yang berbahaya bagi manusia adalah tipe A, B, E, dan
F. Produksi toksin pada daging kering akan dicegah bila kadar air dikurangi hingga 30 persen.
Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein yang daya toksisitasnya sangat kuat
sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian.
Toksin ini diserap dalam usus kecil dan melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin
ini yang penting adalah labil terhadap panas. Toksin tipe A akan in aktif oleh pemanasan pada
suhu 80 ºC selama 6 menit, sedangkan tipe B pada suhu 90 ºC selama 15 menit.
Spesies Clostridium botulinum juga dibagi menjadi 4 grup didasarkan pada perbedaan
physiologi seperti terlihat pada tabel 1. Group I semua strain tipe A dan strain proteolitik tipe B
dan F. Group II semua strain tipe E dan nonproteolitik strain tipe B dan F. Grup III strain tipe C
dan D. Serta grup IV C. Botulinum tipe G yang telah diusulkan diberi nama baru C.
argentinense. Pengelompokan ini menyetujui dengan hasil dari studi DNA homologi dan dari
16S dan 23S rRNA sequense studi (82, 83, 103, 149) yang memperlihatkan suatu tingkatan
yang tinggi dari hubungan diantara strain-strain dalam tiap-tiap grup, tetapi hubungannya kecil
diantara grup.

Tabel 1. Pengelompokan dan karakteristik dari strain Clostridium botulinum

Karakteristik Group

I II III IV

Tipe neurotoksin A, B, F B, E, F C, D G

Temperatur minimum 10 ºC 3ºC 15ºC ND*

untuk pertumbuhan

Temperatur optimum 35-40ºC 18-25ºC 40ºC 37ºC

untuk pertumbuhan

pH minimum untuk 4,6 Ca. 5 ND ND

pertumbuhan

Penghambat (NaCl) 10 % 5% ND ND

AW minimum untuk 0,94 0,97 ND ND

Pertumbuhan
D100ºC dari spora 25 min <0,1 min 0,1-0,9 min 0,8-1,12 min

D121ºC dari spora 0,1-0,2 min <0,001 min ND ND

* ND, not determined; Sumber : Doyle, M.P. dkk, 2001

Grup I merupakan strain yang bersifat proteolitik dan strain yang memproduksi
neurotoxin tipe A. Temperatur optimum untuk pertumbuhan adalah 37ºC . Level-level tinggi
neurotoxin (10 6 mouse LD50/ml) (1 LD50 adalah jumlah neurotoxin yang dibutuhkan untuk
membunuh 50 % mice yang diinjeksikan dalam waktu 4 hari) diproduksi secara tipikal di dalam
kultur. Spora-sporanya mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap panas, dengan nilai D100ºC
sekirar 25 menit ( nilai D adalah waktu yang dibutuhkan untuk menginaktivasi 90% dari
populasi pada temperatur yang diberikan). Untuk menghambat pertumbuhan, pH harus dibawah
4,6, konsentrasi gram di atas 10%, atau aktivitas air (aw) dibawah 0,94.

Grup II merupakan strain nonproteolitik, mempunyai temperatur optimum pertumbuhan


yang lebih rendah (30ºC), dan mampu tumbuh pada temperature pada rendah sekitar 3ºC.
Spora-sporanya mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih rendah, dengan nilai D100ºC
kurang dari 0,1 menit. Strain grup II dihambat dengan pH dibawah 5,0, konsentrasi garam di
atas 5%, atau aw kultur bakteri ini biasanya ditingkatkan dengan treatmen menggunakan tripsin,
yang mengaktifkan neurotoksin.

Grup III termasuk strain-strain tipe C dan D, yang tidak dikategorikan sebagai botulism
manusia tetapi menyebabkan botulism pada hewan. Konsekuensinya grup ini tidak dipelajari
secara detail. Strain ini merupakan strain nonproteolitik dan tumbuh optimal pada suhu 40ºC
dan hanya pada temperatur sekitar 15ºC.

Grup IV merupakan strain yang memproduksi neurotoksin tipe G, tumbuh optimal pada
suhu 37ºC dan mempunyai temperatur minimal pertumbuhan pada 10ºC. Spora-spora jarang
terlihat dan mempunyai ketahanan terhadap panas yang lebih baik, dengan nilai D104ºC adalah
0,8 sampai 1,12 menit.
Gambar Clostridium botulinum group I
Gambar Clostridium botulinum group II

B. Keracunan Makanan oleh Clostridium botulinum

Akhir-akhir ini kasus keracunan makanan merebak di masyarakat. Seringkali terdengar


beberapa orang harus dirawat dirumah sakit, bahkan ada yang meninggal setelah mengkonsumsi
makanan tertentu. Keracunan makanan kadang menghantui masyarakat, mengingat begitu
banyak ragam makanan yang beredar di pasaran, yang terkadang sulit untuk memilih jenis
makanan mana yang aman dikonsumsi. Keracunan makanan dikelompokkan menjadi 3 jenis
yaitu keracunan kimia, karacunan tanaman, dan keracunan oleh mikroba. Keracunan makanan
oleh kimia, biasanya disebabkan karena kurang hati-hati dalam cara persiapan makanan,
pengolahan atau penyimpanan. Jenis keracunan makanan tersebut biasanya disebabkan karena
bahan makanan tercemar oleh pestisida, parafin, deterjen atau senyawa kimia lain yang sering
digunakan untuk mensterilkan makanan. Keracunan oleh senyawa racun alami yang terdapat di
dalam tanaman dapat mengganggu kesehatan konsumen, bila terkonsumsi dalam jumlah yang
cukup banyak, misalnya dari beberapa jenis jamur yang menghasilkan racun dan racun dari
yang dihasilkan oleh tanman-tanaman tertentu misalnya singkong yang mengandung HCN.

Keracunan oleh mikroba adalah jenis keracunan yang paling banyak dan sering ditemui
di masyarakat. Makanan menjadi beracun karena telah terkontaminasi dengan jenis bakteri
tertentu, yang karena dibiarkan tumbuh dan berkembang biak selama penyimpanan, sehingga
dapat membahayakan konsumen. Cara terjadinyanya keracunan tersebut disebut intoksikasi.
Beberapa jenis bakteri tertentu dapat menimbulkan karacunan makanan dengan cara infeksi.
Inrtoksikasi, pada umumnya dapat dibedakan dengan infeksi. Beberapa bakteri tertentu
memproduksi toksin sewaktu mereka tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan. Bila
toksin tersebut diproduksi di luar sel bakteri, maka toksin tersebut disebut eksotoksin.
Eksotoksin tersebut mampu bercampur secara bebas dengan lingkungan dan dapat dipisahkan
dari bakterinya. Eksotoksin bukan merupakan sel hidup tetapi merupakan suatu senyawa yang
bersifat racun, senyawa tersbut dapat dirusak oleh panas tetapi kadang-kadang lebih banyak
diperlukan panas untuk toksin daripada bakteri yang memproduksinya. Karena itu meskipun
bahan pangan telah dipanaskan, sehingga cukup untuk memusnahkan bakteri, tetapi
eksotoksinnya masih tetap ada dan aktif Eksotoksin, sehingga bila termakan masih dapat
menyebabkan keracunan. Sebagai contoh sel bakteri bentuk vegetatif biasanya mati pada
pemanasan 2 menit pada suhu air mendidih, sedang eksotoksinnya baru rusak dan menjadi non-
aktif setelah waktu 30 menit pada air mendidih. Toksin yang diproduksi merangsang lambung
secara cepat, dan kadang-kadang menyebabkan muntah-muntah hanya dalam waktu 2 jam
setelah makan. Biasanya gejala muntah-muntah tersebut diikuti dangan rasa mulas, sakit perut
dan mencret-mencret. Keracunan makanan karena infeksi, disebabkan karena sel bakteri yang
hidup. Bakteri-bakteri tumbuh dan berkembang biak di dalam makanan tetapi tidak
memproduksi toksin di luar sel. Bakteri tersebut dapat menyebabkan makanan beracun karena
di dalam sel bakteri terdapat toksin. Jenis racun tersebut disebut endotoksin. Endotoksin
tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam sel, kecuali sel-sel bakteri tersebut mati. Jika
makanan terkontaminasi dengan jenis bakteri tersebut dan kemudian dikonsumsi manusia dan
masuk kedalam saluran pencernaan tidak akan menyebabkan sakit sampai jumlah bakteri yang
mati menjadi cukup jumlahnya sehingga dapat mengeluarkan toksin dalam jumlah yang cukup
untuk merangsang lambung dan saluran usus besar. Gejala yang muncul berupa kepala pusing,
demam, diare, dan muntah-muntah.

Keracunan yang ditimbulkan oleh mikroba cukup banyak. Berbagai jenismikroba dapat
memproduksi toksin yang dapat membahayakan konsumen bila terkonsumsi. Salah satu jenis
mikroba yang mengandung toksin yang dapat menyebabkan kerusakan syaraf
adalah Clostridium botulinum. Keracunann yang ditimbulkan akibat memakan makanan yang
mengandung neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium botulinum disebut ”botulism”.
Toksin (racun) yang dihasilkan bersifat yermolabil. Pemanasan pangan sampai suhu 80º C
selama 30 menit cukup untuk merusak toksin. Sedangkan spora bersifat resisten terhadap suhu
pemanasan normal dan dapat bertahan hidup dalam pengeringan dan pembekuan.

C. Patologi Clostridium botulinum

Clostridium botulinum adalah nama sebuah kelompok bakteri yang biasanya ditemukan
di dalam tanah dan sedimen atau endapan laut di seluruh dunia. Spora bakteri ini sering
ditemukan di permukaan buah-buahan, sayuran dan makanan laut. Organisme berbentuk batang
tumbuh baik dalam kondisinrendah oksigen. Bakteri dan sporran sendiri tidak berbahaya, yang
berbahaya adalah racun atau toksin yang dihasilkan oleh bakteri ketika mereka tumbuh.

Racun botulinum mempengaruhi orang dari segala usia dengan mengganggu saraf
tertentu dari fungsinya, sehingga mengakibatkan kelumpuhan otot, karena racun ini bersifat
neurotoksin. Gejala-gejala penyakit botulisme yaitu pandangan ganda, kelopak mata terkulai,
bicara melantur, mulut kering, pandangan kabur, kesulitan menelan, kelumpuhan otot. Gejala
botulisme pada bayi yaitu tampak lesu, mengangis lemah, sembelit, nafsu makan buruk, otot
lisut. Jika gejala penderita penyakit ini tidak segera teratasi, maka akan terjadi kelumpuhan dan
gangguan pernafasan. Penyebaran botulisme tidak seperti penyakit menular, botulisme tidak
menyebar dari satu orang ke orang lain. Penularan botulisme terjadi karena orang
mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi spora botulinum, luka terinfeksi botulinum dan
ketika bayi mengkonsumsi spora botulinum.
Gambar toksin Clostridium botulinum

Keracunan yang ditimbulakan akibat makanan yang mengandung neurotoksin yang


diproduksi oleh Clostridium botulinum disebut “botulism”. Toksin (racun) yang diproduksi
sanagt berbahaya terhadap manusia, menyebabkan gastroenteritis, dan dapat menyebabkan
kematian. Gejala gastroenteritis yaitu diplopia, disfagia,disfonia, dan sulit pernafasan. Gejala
botulisme berupa mual, muntah, pening, sakit kepala, pandangan berganda, tenggorokan dan
hidung terasa kering, nyeri perut, letih, lemah otot, paralisis, dan pada beberapa kasus dapat
menimbulkan kematian. Gejala mula-mula timbul biasanya adalah gangguan pencernaan yang
akut, diikuti dengan mual, muntah-muntah, diare, ”fatig” (lemas fisik dan mental), pusing dan
sakit kepala. Pandangan berubah menjadi dua, sulit menelan dan berbicara. Otot-otor menjadi
lumpuh, dan paralisis menyebar pada system pernafasan dan jantung, dan kematian biasanya
terjadi karena sulit bernafas. Pada kasus yang fatal, kematian biasanya terjadi dalam waktu 3
hingga 6 hari.

Gambar keracunan toksin oleh Clostridium botulinum

D. Pencegahan

Tidak ada penanganan spesifik untuk keracunan ini, kecuali mengganti cairan tubuhyang
hilang. Kebanyakan keracunan dapat terjadi akibat cara pengawetan pangan yang keliru
(khususnya di rumah atau industry rumah tangga), misalnya pengalengan, fermentasi,
pengawetan dengan garam, pengasapan, pengawetan dengan asam atau minyak.
Bakteri ini mencemari produk pangan dalam kaleng yang beredar asam rendah, ikan
asap, kentang matang yang kurangbaik penyimpanannya, pie beku,telur ikan fermentasi,
seafood, dan madu. Tindakan pengendalian khusus bagi industri terkait bakteri ini adalah
penerapan sterilisasi panas dan penggunaan nitrit pada daging yang dipasteurisasi. Sedangkan
bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan antara lain dengan memasak pangan kaleng
dengan seksama (rebus dan aduk selama 15 menit), simpan pangan dalam lemari pendingin
terutama untuk pangan yang dikemashampa udara dan pangan segar atau yang diasap. Hindari
pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah menggembung.

E. Pengobatan

Pengobatan membutuhkan pembersihan jalan nafas, ventilasi dan antitoksin polivalen


intravena.

2.3.12. SALMONELA SP

Salmonella sp termasuk dalam family Enterobacteriacea yaitu bakteri patogen bagi manusia
dan hewan. Infeksi Salmonella sp terjadi pada saluran cerna dan terkadang menyebar lewat
peredaran darah ke seluruh organ tubuh. Infeksi Salmonella sppada manusia bervariasi, yaitu
dapat berupa infeksi yang dapat sembuh sendiri (gastroenteritis) , tetapi dapat juga menjadi
kasus yang serius apabila terjadi penyebaran sistemik ( demam enterik ).

Klasifikasi Salmonella sp

Adapun Taksonomi dari bakteri Salmonella sp. yaitu

Phylum : Bacteria (Eubacteria)

Class : Prateobacteria

Ordo : Eubacteriales

Family : Enterobacteriae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella sp.


Morfologi Salmonella sp

Salmonella sp adalah jenis Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora,
motil (bergerak dengan flagel peritrik) serta mempunyai tipe metabolisme yang bersifat
fakultatif anaerob.Termasuk kelompok bakteri Enterobacteriacea. Ukurannya 2 - 4 mikrometer
x 0,5 – 0,8 mikrometer. Sifat Salmonella antara lain : dapat bergerak, tumbuh pada suasana
aerob dan anerob fakultatif, memberikan hasil positif pada reaksi fermentasi manitol dan
sorbitol dan memberikan hasil negatif pada reaksi indol, DNAse , fenilalanin deaminase, urease,
voges proskauer, dan reaksi fermentasi sukrosa dan laktosa.

Perkembangan bakteri Salmonella sp terbilang sangat cepat dan menakjubkan, setiap


selnya mampu membelah diri setiap 20 menit sekali pada suhu hangat dan pada media tumbuh
yang mengandung protein tinggi. Bisa dibayangkan, satu sel bakteri bisa berkembang menjadi
90.000 hanya dalam waktu 6 jam.

Bakteri ini tersebar luas di dalam tubuh hewan, terutama unggas dan babi. Lingkungan
yang menjadi sumber organisme ini antara lain air, tanah, serangga, permukaan pabrik,
permukaan dapur, kotoran hewan, daging mentah, daging unggas mentah, dan makanan laut
mentah. Salmonella typhimerupakan bakteri yang menginfeksi manusia dan menyebabkan
demam typhoid dan Salmonella paratyphi yang menyebabakan demam paratyhoid

Salmonella sp sebenarnya selalu masuk melalui mulut, biasanya dengan makanan dan
minuman yang terkontaminasi Salmonella sp. Sebagian kuman mati oleh asam lambung tetapi
yang lolos masuk ke usus halus dan berkembang biak di illeum. Disini terjadi fagositosis oleh
sel kelenjar getah bening yang kemudian menyebar ke aliran darah, kelenjar getah bening dan
ke usus.

Dosis infektif bagi manusia adalah 105-108 Salmonella sp. Diantara faktor-faktor tuan
rumah yang menyebabkan resisten terhadap infeksi Salmonella sp adalah keasaman lambung,
jasad renik flora normal usus, dan daya tahan usus setempat.

Dua tipe Salmonella sp. yaitu S. enteriditis dan S. typhimurium merupakan penyebab
kira-kira setengah dari seluruh infeksi pada manusia.

Pada manusia semua Salmonella sp. menimbulkan penyakit yang pada umumnya
disebut Salmonellosis, dibagi menjadi 3 golongan.

1. Golongan Gastroenteritis (Food Poisoning)

Merupakan gejala yang paling sering dari infeksi Salmonella sp. Gejala ini terutama
ditimbulkan oleh S. enteriditis dan S. typhimurium. Biasanya terjadi demam, kejang perut dan
diare yang terjadi antara 12-72 jam setelah mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi.
Penyakit tersebut dapat berlangsung selama 4-7 hari dan kebanyakan sembuh tanpa pengobatan
atau pemberian antibiotik, akan tetapi diare akan bertambah parah den mengharuskan penderita
berobat ke rumah sakit terutama untuk penggantian cairan elektrolit.

Penyakit ini berakibat fatal jika orang tua dan bayi yang kekebalannya rendah
mengkonsumsi minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Pada penderita ini, infeksi
biasanya menyebar dari usus ke pembuluh darah kemudian ke seluruh jaringan tubuh dan dapat
menyebabkan kematian kecuali jika penderita cepat memperoleh pengobatan dengan antibiotik.

2. Golongan Bakterimia (Septikemia)

Biasanya ini dihubungkan dengan S. cholerasius tetapi dapat disebabkan oleh setiap
serotip Salmonella sp. infasi dini dalam darah setelah infeksi melalui mulut dengan
kemungkinan lesi fokal di paru-paru, tulang, selaput otak, dan sebagainya. Tetapi sering tidak
ada manifestasi usus, biakan darah tetap positif.

3. Golongan Entericfever (Tyhoid Fever /Typhus Abdominalis)

Disebabkan oleh S. typhi, S. paratyphi A, S. schootmulleri. Salmonella sp. yang termakan


mencapai usus halus dan masuk ke kelenjar getah bening lalu dibawa ke aliran darah. Kuman
dibawa oleh darah menuju berbagai organ, termasuk usus dimana organisme ini berkembang
biak dalam jaringan limfoid dan diekskresi dalam tinja

2.3.13. CORYNEBACTERIUM DIPHTHERIAE

Klasifikasi
Kingdom :Bakteri
Filum :Actinobacteria
Kelas :Actinobacteria
Order :Actinomycetales
Keluarga :Corynebacteriaceae
Genus :Corynebacterium
Spesies : Corynebacterium diphtheriae

Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri patogen yang menyebabkan difteri berupa


infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas. Ia juga dikenal sebagai basil Klebs-Löffler,
karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan
Friedrich Löffler (1852-1915).
Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan
penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, intermedius, dan mitis. Ketiga
subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan
metabolisme nutrisi tertentu. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikaitkan dengan
kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan
tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60
menit; strain intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit, dan mitis memiliki
waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang
lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam
menyerang jaringan.

Morfologi dan Sifat Biakan

Kuman difteri berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak
berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C. Diphtheriae bersifat
anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan
kuman dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau perbenihan agar
darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat hemolitik, sedangkan gravis dan
intermedius tidak. Dibanding dengan kuman lain yang tidak berspora, C. Diphtheriae lebih
tahan terhadap pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan.

Epidemiologi

Difteri terdapat di seluruh dunia dan sering terdapat dalam bentuk wabah. Penyakit ini
terutama menyerang anak umur 1-9 tahun. Difteri mudah menular dan menyebar melalui kontak
langsung secara droplet. Banyak spesies Corynebacteria dapat diisolasi dari berbagai tempat
seperti tanah, air, darah, dan kulit manusia. Strain patogenik dari Corynebacteria dapat
menginfeksi tanaman, hewan, atau manusia. Namun hanya manusia yang diketahui sebagai
reservoir penting infeksi penyakit ini. Bakteri ini umumnya ditemukan di daerah beriklim
sedang atau di iklim tropis, tetapi juga dapat ditemukan di bagian lain dunia.

Penentu Patogenitas

Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang berbeda, yaitu

1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan proliferasi
bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme kepatuhan terhadap
difteri C. diphtheriae tapi bakteri menghasilkan beberapa jenis pili. Toksin difteri juga
mungkin terlibat dalam kolonisasi tenggorokan.
2. Toxigenesis: produksi toksin bakteri. Toksin difteri menyebabkan kematian sel
eukariotik dan jaringan oleh inhibisi sintesis protein dalam sel. Meskipun toksin
bertanggung jawab atas gejala-gejala penyakit mematikan, virulensi dari C.
diphtheriae tidak dapat dikaitkan dengan toxigenesis saja, sejak fase invasif
mendahului toxigenesis, sudah mulai tampak perbedaan. Namun, belum dipastikan
bahwa toksin difteri memainkan peran penting dalam proses penjajahan karena efek
jangka pendek di lokasi kolonisasi.

Patogenesis

Organisme ini menghasilkan toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan
bertanggung jawab atas kerusakan jaringan lokal dan pembentukan membran. Toksin yang
dihasilkan di lokasi membran diserap ke dalam aliran darah dan didistribusikan ke jaringan
tubuh. Toksin yang bertanggung jawab atas komplikasi utama dari miokarditis dan neuritis dan
juga dapat menyebabkan rendahnya jumlah trombosit (trombositopenia) dan protein dalam urin
(proteinuria).

Penyakit klinis terkait dengan jenis non-toksin umumnya lebih ringan. Sementara kasus
yang parah jarang dilaporkan, sebenarnya ini mungkin disebabkan oleh strain toksigen yang
tidak terdeteksi karena contoh koloni tidak memadai.

Gambaran klinis

Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan klinis, akan
lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa manifestasi, tergantung pada
tempat penyakit.

1) Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung mukopurulen
(berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi kebiruan. Penyakit ini
cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri
dengan cepat oleh antitoksin dan terapi antibiotik.
2) Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi faring dan
tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan, anoreksia, dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat,
denyut nadi cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10
hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3) Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring. Gejala termasuk
demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4) Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat terlihat
oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas. Situs lain keterlibatan
termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori
eksternal.

Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh pengaruh toksin
terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling sering adalah miokarditis
difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung yang tidak normal dan dapat
menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi pada bagian awal, sering berakibat fatal.
Neuritis paling sering mempengaruhi saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata,
tungkai, dan kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu
kelima penyakit.

Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena obstruksi jalan
napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan untuk difteri adalah 5% -10%,
dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%). Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri
telah berubah sangat sedikit selama 50 tahun terakhir.

Diagnosis

Diagnosis klinik difteri tidak selalu mudah ditegakkan oleh klinikus-klinikus dan sering
terjadi salah diagnosis. Hal ini terjadi karena strain C. Diphtheriae baik yang toksigenik
maupun nontoksigenik sulit dibedakan, lagipula spesies Corynebacterium yang lain pun secara
morfologik mungkin serupa. Karena itu bila pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kuman
khas difteri, maka hasil presumtif adalah: ditemukan kuman-kuman tersangka difteri. Hal ini
menunjukkan pentingnya dilakukan diagnosis laboratorium secara mudah, cepat, dan dengan
hasil yang dipercaya untuk membantu klinikus. Walaipun demikian, diagnosis laboratorium
harus dianggap sebagai penunjang bukan pengganti diagnosis klinik agar penanganan penyakit
dapat cepat dilakukan. Hapusan tenggorok atau bahan pemeriksaan lainnya harus diambil
sebelum pemberian obat antimikroba, dan harus segera dikirim ke laboratorium.

Pengobatan

Antitoksin difteri diproduksi dari kuda, yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat
pada tahun 1891. Pengobatan difteri dilakukan dengan pemberian antitoksin yang tepat
jumlahnya dan juga cepat. Antitoksin dapat diberikan setelah diagnosis presumtif keluar, tanpa
perlu menunggu diagnosis laboratorium. Hal ini dilakukan karena toksin dapat dengan cepat
terikat pada sel jaringan yang peka, dan sifatnya irreversibel karena ikatan tidak dapat
dinetralkan kembali. Jadi penggunaan antitoksin bertujuan untuk mencegah terjadinya ikatan
lebih lanjut dari toksin dalam sel jaringan yang utuh dan akan mencegah perkembangan
penyakit.

Selain antitoksin, umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau
Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus) dan pengobatan
bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau melalui suntikan (40
mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama 14 hari, atau penisilin prokain G harian,
intramuskular (300.000 U / hari untuk orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U /
sehari bagi mereka yang berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Pencegahan

Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan
tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu, imunisasi aktif juga perlu
dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis
APT (Alum Precipitated Toxoid) dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis.
Dosis kedua diberikan pada saat anak akan bersekolah.Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal yang sering
berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya harus dibatasai pada keadaan
yang memang sanagt gawat. Tingkat kekebalan seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat
diketahui dengan melakukan reaksi Schick.
DAFTAR PUSTAKA

Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta :
Media Aesculapius
Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit
Infeksi.Yogyakarta:KANISIUS
Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak
Penyakit Infeksi Tropik. Bandung: Indonesia. FK Unpad
Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan
Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI.
James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp.
1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
mayoclinic.org. 2015. Diseases and Conditions of Whooping
Cough. [Online].Tersedia : http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/whooping-cough/basics/prevention/con-20023295. (13
November 2015, 04:17)
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis.
Dalam:Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit
IDAI.
Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1997. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Indonesia. FKUI

Republika. 2003.Pertusis. Terdapat pada http:// www.republika.co.id


http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html (14 November 2015)cdc.gov.
2015. Prevention of Pertussis. [Online].
Tersedia:http://www.cdc.gov/pertussis/about/prevention/index.html. (13
November 2015, 04:06)

Anonim,1997, Mikrobiologi Kedokteran, Bagian Mikrobiologi Fakultas


Kedokteran UGM, Yogyakarta

Fluit, C. 2001. Molekular Detection of Antimicrobial Resistance. Brooks, G.F.,


J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.

Gram dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta : Penerbit
Binarupa Aksara.
Amelia S. Vibrio Cholerae. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatra Utara Medan. In press 2005.

Baron EJ, Peterson LR, Finegold SM. Vibrio and Related Species, Aeromonas,
Plesiomonas, Campylobacter, Helicobacter, and others. Dalam: Baron EJ,
Peterson LR, Finegold SM. Bailey & Scott’s Diagnostic Microbiology.
Edisike-9. USA: Mosby, 1994; h.429-433.

HandaS. Cholera. (Diakses: 9 Januari 2011) Diunduh


dari: URL:http://emedicine.medscape.com/article/214911-overview.htm

Matson JS, Withey JH, DiRita VJ. Regulatory Networks Controlling Vibrio
cholerae Virulence Gene Expression. Infection and Immunity. 2007;75(12):
5542–49.

Mims C, dkk. Pathogen Parade, Genus Vibrio. Dalam: Mims, Cdkk. Medical
Microbiology.Edisike-3. Spain: Elsevier, 2004;h. 603.

Pelczar, Michael dan E.C.S.Chan. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI-


Press.

Ryan KJ. Vibrio, Campy lobacter, and Helico bacter. Dalam: Ryan KJ, Ray CG.
Sherris

Medical Micro biology. Edisike-4. USA: McGraw-Hill, 2004;h. 373-378.Tjay,


Tan Hoan Drs .dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Jakarta:
Gramedia.

Todar, K. Vibrio Cholerae and Asiatic Cholera. 2009. (Diakses: 9 Januari 2011)
Diunduhdari: URL : http://www.Textbookofbacteriology.net/cholera.html

NAMA PENYUSUN

NI KOMANG SRI HANDAYANI (171200215)

Anda mungkin juga menyukai