PENDAHULUAN
1
terhadap satu (antimicrobacterial resistance) atau beberapa jenis antibiotika
tertentu (multiple drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan.
Pemakaian antibiotika lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus diganti
dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan lini ketiga (Utami, 2012).
Hal ini jelas akan merugikan pasien, karena antibiotika lini kedua maupun
lini ketiga masih sangat mahal harganya. Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan
juga terjadi kekebalan bakteri terhadap antibiotika lini kedua dan ketiga. Disisi
lain, banyak penyakit infeksi yang merebak karena pengaruh komunitas, baik
berupa epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat (independent epidemic)
maupun sebagai sumber utama penularan di rumah sakit (nosocomial infection).
Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar luas, dunia yang
sangat telah maju dan canggih ini akan kembali ke masa-masa kegelapan
kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotika. Hal-hal diatas telah
menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia. Hingga akhirnya pada
peringatan Hari Kesehatan Internasional tahun 2011, WHO menetapkan tema
Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Sejalan dengan tema WHO,
Indonesia mengangkat tema “Gunakan Antibiotik Secara Tepat untuk Mencegah
Kekebalan Bakteri”. Resistensi bakteri terhadap antibiotika berkembang jauh
lebih cepat daripada penelitian dan penemuan antibiotika baru. Saat ini sedang
digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional yang meliputi
pengobatan tepat, dosis tepat, lama penggunaan yang tepat serta biaya yang tepat.
No action today, no cure tomorrow (Utami, 2012).
Antibiotika sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan
kasus-kasus penyakit infeksi. Obat pilihan pertama terapi antibiotika untuk
penyakit infeksi oleh Staphylococcus aureus adalah penisilin, sedangkan obat
alternatif adalah sefalosporin generasi pertama, vankomisin, imipenem,
meropenem, fluorokuinolon dan klindamisin. Intensitas penggunaan antibiotika
yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman
global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika. Resistensi
adalah kemampuan suatu bakteri untuk tidak terbunuh atau tidak terhambat
pertumbuhannya oleh suatu antibiotika. Masalah resistensi ini menjadi serius
2
karena selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak
negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi
terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan
masyarakat. Uji resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui kepekaan bakteri
terhadap antibiotika, sehingga pengobatan yang dilakukan akan efektif dan tepat
guna (Priyanto dkk, 2014).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bakteri apa yang menyebabkan
infeksi pada luka kulit dari sampel yang diambil dan mengetahui sensitivitasnya
terhadap berbagai antibiotika sehingga dapat ditentukan antibiotika apa yang
paling tepat digunakan dalam pengobatannya.
1.2 Perumusan Masalah
Metode apa yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri yang menjadi
penyebab infeksi pada luka kulit serta sensitivitasnya terhadap berbagai
antibiotika yang akan diberikan sebagai upaya pemyembuhan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bakteri yang menjadi penyebab
infeksi luka pada kulit serta sensitivitasnya terhadap berbagai macam antibiotik
yang diberikan sebagai upaya penyembuhan.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai bakteri
penyebab infeksi luka pada kulit dan sensitivitas bakteri tersebut terhadap
berbagai macam antibiotik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
berupa impetigo, folikulitis, furunkel, dan erithrasma. Infeksi sistemik juga dapat
menimbulkan manifestasi di kulit. Organisme ini biasanya masuk melalui jalan
masuk di kulit seperti gigitan serangga. Banyak infeksi sistemik melibatkan
gejala-gejala pada kulit yang disebabkan baik oleh patogen atau toksin, contoh
adalah campak, Varicella, Gonococcemia, dan Staphylococcal Scalded Skin
Syndrome. Jamur dermatofita memiliki afinitas yang kuat pada sel-sel keratin
sehingga dapat menginvasi jaringan keratin pada kuku, rambut, dan kulit. Infeksi
sekunder berasal kulit yang telah ada lesi sebelumnya, dengan adanya faktor
risiko atau predisposisi dengan gambaran klinis dan perjalanan infeksi yang
bervariasi. Sebagai contoh adalah infeksi yang terjadi pada intertrigo dan sela jari
kaki (Sudigdoadi, 2004).
2.3 Antibiotika
Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,
yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lainnya, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil.
Turunan zat-zat ini, yang dibuat secara semi-sintesis juga termasuk kelompok ini,
begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri. Antibiotik adalah zat
biokimia yang diproduksi oleh mikroorganisme, yang dalam jumlah kecil dapat
menghambat pertumbuhan atau membunuh pertumbuhan mikroorganisme lain
(Tjay & Rahardja, 2007).
5
molekulnya, yang saling terikat secara glukosidis. Spektrum kerjanya luas
dan meliputi terutama banyak bacilli gram-negatif. Obat ini juga aktif
terhadap gonococci dan sejumlah bakteri gram-positif. Aktifitasnya adalah
bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan
mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Contohnya streptomisin,
gentamisin, amikasin, neomisin, dan paranomisin.
c. Antibiotik golongan tetrasiklin, khasiatnya bersifat bakteriostatis, hanya
melalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah.
Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein bakteri.
Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan
gram negatif serta kebanyakan bacilli. Tidak efektif Pseudomonas dan
Proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus Chlamydia trachomatis
(penyebab penyakit mata trachoma dan penyakit kelamin), dan beberapa
protozoa (amuba) lainnya. Contohnya tetrasiklin, doksisiklin, dan
monosiklin.
d. Antibiotik golongan makrolida, bekerja bakteriostatis terhadap terutama
bakteri gram-positif dan spektrum kerjanya mirip Penisilin-G. Mekanisme
kerjanya melalui pengikatan reversibel pada ribosom bakteri, sehingga
sintesa proteinnya dihambat. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat
menyebabkan resistensi. Absorbinya tidak teratur, agak sering menimbulkan
efek samping lambung-usus, dan waktu paruhnya singkat, maka perlu
ditakarkan sampai 4x sehari.
e. Antibiotik golongan linkomisin, dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis
(AS 1960). Khasiatnya bakteriostatis dengan spektrum kerja lebih sempit
daripada makrolida, terutama terhadap bakteri gram positif dan anaerob.
Berhubung efek sampingnya yang kuat kini hanya digunakan bila terdapat
resistensi terhadap antibiotika lain. Contohnya linkomisin.
f. Antibiotik golongan kuinolon, senyawa-senyawa kuinolon berkhasiat
bakterisid pada fase pertumbuhan mikroorganisme, berdasarkan inhibisi
terhadap enzim DNA-gyrase mikroorganisme, sehingga sintesis DNAnya
6
dihindarkan. Golongan ini hanya dapat digunakan pada infeksi saluran
kemih (ISK) tanpa komplikasi.
g. Antibiotik golongan kloramfenikol, kloramfenikol mempunyai spektrum
luas. Berkhasiat bakteriostatis terhadap hampir semua bakteri gram positif
dan sejumlah bakteri gram negatif. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan sintesa polipeptida bakteri. Contohnya kloramfenikol (Tjay &
Rahardja, 2007).
7
e. Mengganggu sintesis DNA mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat
seperti metronidasol, kuinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam
deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA.
DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan
terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat
replikasi DNA (Stringer, 2006).
8
BAB III
METODE PENELITIAN
9
dikeringkan dalam oven dengan suhu 50oC. Jarum ose disterilkan
dengan menggunakan lampu Bunsen sebelum digunakan. Bahan
medium Agar disterilkan terlebih dahulu di dalam Erlenmeyer dengan
otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, kemudian dituangkan ke
dalam cawan Petri yang sudah steril (IKM Labkes, 2014).
2. Pengambilan Sampel
Pus/nanah yang didapatkan sebanyak 1 sampel dan diperoleh
dari salah satu pasien Rumah Sakit Umum yang ada di Banjarmasin.
Preparasi sampel dilakukan dengan menanamkan swab ke dalam
media BHI Broth dan inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC.
Pengujian sensitivitas terhadap antibiotika dilakukan dengan
menggunakan media Mueller Hinton Agar (MH Agar).
10
3.3.3 Pembuatan Media Spesifik
Pembuatan media spesifik bertujuan untuk memindahkan
mikroorganisme yang telah diperbanyak pada media awal (pengayaan) ke
masing-masing media spesifik pertumbuhan bakteri agar diketahui genus
atau spesies bakteri yang didapat secara spesifik dari sampel tersebut.
Media-media spesifik yang dibuat adalah media MSA (untuk pertumbuhan
genus bakteri Staphylococcus), media Endo Agar (untuk Escherichia,
Pseudomonas, dan Klibsiella), media CA Agar (umum untuk semua bakteri
sebagai indikator dari media lain), dan media KF Agar (untuk
Streptococcus) (IKM LabKes, 2014).
1. Media MSA (Manitol Salt Agar)
Sebanyak 108 gram media MSA ditimbang dan dimasukkan
kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL
akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk dengan
menggunakan hot plate stirrer. Erlenmeyer ditutup dengan kapas,
kemudian disterilisasi pada suhu 121 o
C selama 15 menit
menggunakan otoklaf. Media dimasukkan ke dalam laminar air flow
dan didinginkan sampai suhu ± 50 oC. Sebanyak 15-20 cc media
dituang ke dalam cawan petri steril.
2. Media Endo Agar
Sebanyak 41,5 gram media Endo Agar ditimbang dan
dimasukkan kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan
1000 mL akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk
dengan menggunakan hot plate stirrer. Erlenmeyer ditutup dengan
kapas, kemudian disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121 oC
selama 15 menit. Media dimasukkan ke dalam laminar air flow dan
didinginkan sampai suhu ± 50 oC. Sebanyak 15-20 cc media dituang
ke dalam cawan petri steril.
3. Media CA (Coklat Agar)
Sebanyak 4 gram serbuk hemoglobin ditimbang dan dimasukkan
kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 200 mL
11
akuades, setelah itu diaduk sampai homogen. Erlenmeyer ditutup
dengan kapas, kemudian disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15
menit menggunakan otoklaf. Media dimasukkan ke dalam laminar air
flow dan didinginkan sampai suhu ± 50 oC. Sambil menunggu larutan
hemoglobin di atas dingin, ditimbang 15,2 gram GC Agar Base dan 1
gram Granul Agar dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian
ditambahkan 200 mL akuades, dipanaskan di atas hot plate stirrer
hingga mendidih dan diterilisasi dalam otoklaf. Kedua larutan tadi
dicampurkan dan diaduk dengan cara menggoyangkan Erlenmeyer
hingga kedua larutan media tersebut homogen. Sebanyak 15-20 cc
media dituang secara aseptik kedalam cawan petri steril.
4. Media KF Streptococcus Agar
Sebanyak 71,5 gram media KF Agar ditimbang dan dimasukkan
kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL
akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk.
Erlenmeyer ditutup dengan kapas, kemudian disterilisasi pada suhu
121 oC selama 15 menit menggunakan otoklaf. 1% cairan TTC (2,3,5-
triphenyltetrazolium chloride) ditambahkan ke dalam media.
Sebanyak 15-20 cc media dituang secara aseptik kedalam cawan petri
steril.
3.3.4 Pembuatan Media untuk Uji Biokimia
Pembuatan media untuk uji biokimia bertujuan untuk mengetahui
karakteristik biokimia secara spesifik dari genus bakteri yang didapat dari
media sebelumnya sehingga dapat diketahui spesiesnya secara spesifik.
Media-media yang dibuat untuk uji biokimia ini adalah media D-Nase Agar,
media urea, larutan phenol red broth, media sukrosa, dan media mannitol
(IKM LabKes, 2014).
1. Media D-Nase Agar
Sebanyak 42 gram media D-Nase ditimbang dan dimasukkan
kedalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL
akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk dengan
12
menggunakan hot plate stirrer. Erlenmeyer ditutup dengan kapas,
kemudian disterilisasi pada suhu 121 o
C selama 15 menit
menggunakan otoklaf. Media dimasukkan ke dalam laminar air flow
dan didinginkan sampai suhu ± 50 oC. Sebanyak 15-20 cc media
dituang ke dalam cawan petri steril.
2. Media Urea
Sebanyak 21 gram media Urea ditimbang dan dimasukkan ke
dalam gelas beker, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL akuades.
Media diaduk sampai homogen dengan menggunakan hot plate
stirrer. Sebanyak 5 mL media Urea dimasukkan ke dalam tabung
reaksi dan ditutup, kemudian disterilkan pada suhu 121 oC selama 15
menit menggunakan otoklaf.
3. Larutan Phenol Red Broth
Sebanyak 15 gram phenol red broth ditimbang dan dimasukkan
ke dalam gelas beker. Phenol red broth ditambahkan dengan 1000 mL
akuades dan larutan diaduk sampai homogen.
4. Sukrosa
Sebanyak 10 gram Sukrosa ditimbang dan dimasukkan ke dalam
gelas beker, kemudian ditambahkan 500 mL larutan phenol red broth
yang sudah homogen tadi. Media diaduk sampai tercampur rata.
Sebanyak 5 mL Sukrosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditutup, kemudian disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit
menggunakan otoklaf.
5. Mannitol
Sebanyak 10 gram Mannitol ditimbang dan dimasukkan ke
dalam gelas beker, kemudian ditambahkan 500 mL larutan phenol red
broth yang sudah homogen tadi. Media diaduk sampai tercampur rata.
Sebanyak 5 mL Mannitol dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditutup, kemudian disterilkan menggunakan otoklaf.
13
3.3.5 Pembuatan Media untuk Uji Sensitivitas Antibiotika
Pembuatan media untuk uji kepekaan bertujuan untuk mengetahui
sensitivitas/resistensi dari bakteri yang telah didapat terhadap berbagai
macam jenis antibiotik, sehingga berguna untuk proses penyembuhan
infeksi. Media-media yang dibuat untuk uji kepekaan ini adalah media MH
Broth (sebagai media pengayaan) dan media MH Agar (sebagai tempat uji
sensitivitas dengan melakukan penanaman cakram antibiotik) (IKM
LabKes, 2014).
1. Media MH Broth (Mueller Hinton)
Sebanyak 21 gram media MH Broth ditimbang dan dimasukkan
ke dalam gelas beker, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL
akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk dengan
menggunakan hot plate stirrer. Sebanyak 5 mL larutan yang sudah
homogen tadi dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditutup,
kemudian disterilkan pada suhu 121 oC selama 15 menit menggunakan
otoklaf.
2. Media MH Agar (Mueller Hinton)
Sebanyak 34 gram media MH Agar ditimbang dan dimasukkan
ke dalam gelas beker, kemudian ditambahkan dengan 1000 mL
akuades. Media dipanaskan sampai homogen sambil diaduk dengan
menggunakan hot plate stirrer. Larutan yang sudah homogen
dimasukkan kedalam Erlenmeyer dan disterilisasi pada suhu 121 oC
selama 15 menit menggunakan otoklaf. Sebanyak ±20 cc media
dituang ke dalam cawan petri steril.
14
3.3.6 Prosedur Analisis
BHI Broth
Hari ke-2
- Digores ke dalam masing-masing
media selektif.
- Diinkubasi pada suhu 37 oC selama
18-24 jam.
- Diamati pertumbuhan koloni.
Hari ke-3
Hari ke-4
Hasil
Bagan 1. Prosedur Analisis Identifikasi Kultur Bakteri dan Uji Sensitivitas Antibiotika (IKM
Labkes, 2014).
15
Cabinet). BHI Broth diinkubasi pada suhu 37 oC selama 18-24 jam dan diamati
adanya kekeruhan pada media. Prosedur analisis kedua adalah melakukan
penanaman bakteri dari sampel yang telah mengalami pengayaan pada media BHI
Broth dengan cara digores dari media BHI Broth ke dalam masing-masing media
selektif yang telah dibuat yaitu MSA, Endo Agar, CA dan KF Agar. Keempat
media tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 18-24 jam dan diamati pada
masing-masing media tadi pertumbuhan koloni bakteri. Media MSA adalah media
spesifik untuk pertumbuhan genus bakteri Staphylococcus; media Endo Agar
untuk Escherichia, Pseudomonas, dan Klebsiella; media CA umum untuk semua
bakteri (sebagai indikator dari media lain); dan media KF Agar untuk
Streptococcus (IKM Labkes, 2014).
Prosedur analisis ketiga adalah melakukan uji biokimia pada pertumbuhan
koloni yang dicurigai pada media spesifik. Hasil uji biokimia dibaca agar
diketahui spesiesnya. Koloni yang tumbuh diambil pada salah satu media dalam
uji biokimia untuk di biakkan (pengayaan) di media MH Broth yang selanjutnya
digunakan untuk uji kepekaan. Prosedur analisis terakhir adalah melakukan uji
kepekaan bakteri dengan menanamkan disc antibiotik terhadap koloni bakteri
yang telah tumbuh (yang telah diketahui spesiesnya dari uji biokimia di atas) ke
dalam media MH Agar. Selanjutnya dibaca hasil uji kepekaan dengan cara
mengukur zona bening yang didapat (IKM Labkes, 2014).
3.3 Analisis Data
Data yang diperoleh merupakan data deskriptif, karena menjelaskan dan
mengidentifikasi bakteri pada sampel. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel
yaitu untuk mengetahui jenis bakteri yang tumbuh dan zona bening yang
dihasilkan dari uji sensitivitas yang dilakukan terhadap bakteri tersebut dengan
menggunakan berbagai macam antibiotika dan membandingkannya dengan
standar minimum dan maksimum sensitivitas masing-masing antibiotika.
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil identifikasi kultur bakteri pada infeksi penyebab luka kulit dan uji
sensitivitasnya terhadap antibiotika adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kultur Bakteri
Medium Pertumbuhan Keterangan Morfologi
bakteri
Endo Agar - Tidak terdapat pertumbuhan koloni
MSA + Terdapat pertumbuhan koloni berbentuk kecil sampai
dengan sedang, berwarna kuning dan dikelilingi oleh
zona yang juga berwarna kuning
CA - Tidak terdapat pertumbuhan koloni
KF Agar - Tidak terdapat pertumbuhan koloni.
Ket : ( - ) = Negatif
( + ) = Positif
Isolat bakteri sampel pus tumbuh pada media MSA (Mannitol Salt Agar),
sedangkan pada media Endo Agar, CA (Coklat Agar) dan KF (Kenner Faecal)
tidak terdapat pertumbuhan.
Ket : ( - ) = Negatif
( + ) = Positif
Pemeriksaan uji biokimia pada media MSA memberikan hasil positif pada
uji D-Nase dan Urease. Hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa
Staphylococcus yang ada pada media MSA adalah Staphylococcus aureus.
17
Tabel 3. Hasil Uji Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotika
No. Jenis Antibiotik Katalog Standar Diameter Hasil Diameter Hasil Uji
Zona Hambatan Zona Kepekaan
(mm) Hambatan terhadap
Antibiotik
(mm)
R I S
1.
Amoxicillin-
Clavulanic acid AMC 20/10
* bakteri lain ≤13 14-17 ≥18
* Staphylococcus
≤19 - ≥20 0 R
2. Ampicillin- SAM 10/10 ≤11 12-14 ≥15 11 R
Sulbactam
3. Cefepime FEP 30 ≤14 15-17 ≥18 12 R
4. Cefoperazone CFP 75 ≤15 16-20 ≥21 6 R
5. Ceftazidime CAZ 30 ≤14 15-17 ≥18 2 R
6. Cefotaxime CTX 30 ≤14 15-22 ≥23 10 R
7. Meropenem MEM 10 ≤13 14-15 ≥16 8 R
8. Gentamycin CN 10 ≤12 13-14 ≥15 18 S
9. Amikacin AK 30 ≤14 15-16 ≥17 22 S
10. Netilmicin NET 30 ≤12 13-14 ≥15 18 S
11. Tobramycin TOB 10 ≤12 13-14 ≥15 17 S
12. Ciprofloxacin CIP 5 ≤15 16-20 ≥21 26 S
13. Levofloxacin LEV 5 ≤13 14-16 ≥17 20 S
14. Norfloxacin NOR 10 ≤12 13-16 ≥17 18 S
15. Trimethoprim- SXT 1,25/23,75 ≤10 11-15 ≥16 1 R
Sulfamethoxazole
16. Cefixime CFM 5 ≤15 16-18 ≥19 0 R
17. Fosfomycin FOS 200 ≤12 13-15 ≥16 21 S
18. Carbenicillin CAR 200 2 R
* Enterobacter ≤17 18-22 ≥23
* Ps. Aeruginosa ≤13 14-18 ≥17
19. Ticacillin TIC 75 ≤14 15-19 ≥20 0 R
20. Cefadroxil CFR 30 ≤19 - ≥20 3 R
18
4.2 Pembahasan
Identifikasi kultur bakteri pada infeksi penyebab luka kulit dan uji
sensitivitasnya terhadap antibiotika dilakukan dalam beberapa tahapan hingga
diperoleh spesies bakteri yang menjadi penyebab infeksi pada luka dan diketahui
jenis atau golongan antibiotik yang tepat untuk penanganan terhadap bakteri
tersebut. Prosedur pertama adalah pengayaan bakteri dari sampel berupa
pus/nanah ke dalam media BHI Broth (Brain Heart Infussion). Media BHI Broth
adalah media yang mengandung nutrisi yang diperlukan oleh bakteri untuk
berkembangbiak. Bahan utama BHI terdiri dari beberapa jaringan hewan ditambah
pepton, buffer posfat, dan sedikit dekstrosa. Penambahan karbohidrat
memungkinkan bakteri dapat menggunakan langsung sebagai sumber energi. Hal
ini dilakukan untuk pengkayaan jumlah bakteri sehingga dapat digunakan untuk
identifikasi bakteri pada beberapa media spesifik untuk mengetahui genus bakteri
tersebut.
Prosedur kedua adalah penanaman bakteri yang telah mengalami pengayaan
ke dalam media spesifik MSA (Mannitol Salt Agar), Endo Agar, KF (Kenner
Faecal) Agar, dan CA (Coklat Agar) untuk mengetahui genus dari bakteri
tersebut. MSA adalah media spesifik yang digunakan untuk pertumbuhan genus
bakteri Staphylococcus; media Endo Agar untuk genus bakteri Escherichia,
Pseudomonas, Citrobacter, Enterobacter dan Klebsiella; media KF Agar
digunakan untuk pertumbuhan genus bakteri Streptococcus; dan media CA adalah
media umum untuk pertumbuhan semua bakteri, media ini digunakan sebagai
indikator pertumbuhan bakteri dari media lain yang merupakan media
pertumbuhan bakteri aerob dan anaerob fakultatif, jika pertumbuhan hanya terjadi
pada media ini, maka bakteri tersebut dapat dikategorikan ke dalam jenis anaerob.
Hasil yang didapatkan pada uji ini adalah terjadi pertumbuhan pada media MSA
dengan bentuk koloni bulat, berukuran kecil, mengkilat, serta berwarna kuning
keemasan, sedangkan pada media lain tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa bakteri yang terkandung dalam sampel pus
mempunyai satu genus bakteri saja yaitu Staphylococcus.
19
Prosedur ketiga adalah uji biokimia pada koloni yang tumbuh pada media
spesifik. Hasil sebelumnya menunjukkan pertumbuhan bakteri terjadi pada media
MSA. Uji biokimia dilakukan untuk mengetahui karakteristik biokimia secara
spesifik dari genus bakteri yang didapat dari media sebelumnya sehingga dapat
diketahui spesies dari bakteri tersebut. Uji biokimia yang dilakukan meliputi uji
D-Nase, uji fermentasi karbohidrat (mannitol dan sukrosa), dan uji urease. Uji D-
Nase dilakukan dengan menggores koloni bakteri dari media MSA ke media D-
Nase diposisi tengah-tengah cawan dan membentuk bulatan. Selanjutnya inkubasi
selama 24 jam pada suhu 37oC dan dituang dengan ± 10cc HCl 10%, kemudian
diamkan beberapa saat. Hasil positif apabila terdapat zona bening yang muncul di
sekitar goresan karena bakteri Staphylococcus aureus mampu untuk menghasilkan
enzim Deoxyribonuclease yang diperoleh dari hidrolisis media D-Nase yang
sifatnya tahan asam sehingga dapat mempertahankan diri dengan menampakkan
zona bening disekitar goresan (Oxoid, 2014). Hasil yang didapatkan dari uji
DNase ini yaitu terdapat zona bening disekitar goresan.
Prosedur untuk uji fermentasi karbohidrat (mannitol dan sukrosa) serta uji
urease yaitu diambil koloni yang tumbuh pada media MSA dan diinokulasikan ke
dalam tabung yang telah berisi masing-masing media mannitol, sukrosa, dan
urease. Selanjutnya inkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Hasil positif
ditunjukkan dengan berubahnya warna media mannitol dan sukrosa yang
berwarna merah terang menjadi kuning dan media urea yang berwarna merah
muda menjadi kuning pucat. Uji urease digunakan untuk melihat bakteri yang
mampu menghasilkan enzim urease. Beberapa bakteri seperti S. aureus mampu
menghasilkan enzim urease yang menguraikan mikromolekul urea [(NH2)2CO]
menjadi karbondioksida (CO2) dan ammonia (NH3). Ammonia yang dihasilkan
akan meningkatkan pH media sampai di atas 6,8 sehingga akan terjadi perubahan
media dari merah muda menjadi kuning. Urea menjadi ammonium dan CO 2
sehingga menyebabkan pH media menjadi basa dan akan terjadi perubahan media
dari merah muda menjadi kuning (Duncan, 2005). Hasil yang didapatkan pada uji
fermentasi karbohidrat negatif dan uji urease adalah positif.
20
Prosedur terakhir adalah uji sensitivitas bakteri terhadap antibiotika.
Pengujian ini dilakukan dengan mengambil koloni yang tumbuh pada MSA untuk
dilakukan pembiakkan di dalam media MH (Mueller Hinton) Broth, divortex agar
homogen, dioleskan diatas permukaan media MH Agar dan ditanamkan 20
macam disc antibiotika (cakram), kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam. Hasil uji kepekaan dibaca dengan cara mengukur zona bening yang didapat
dan dibandingkan dengan standar penilaian diameter zona hambatan antibiotika.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37ºC, tetapi membentuk pigmen
paling baik pada suhu kamar (20-25ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna
abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan
berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.
aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan
dalam virulensi bakteri. Sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal
pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia.
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses
bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul,
jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan
endokarditis. (Kusuma, 2011).
Antibiotika golongan Penisillin yang digunakan yaitu Amoxicillin-
Clavulanic acid, Ampicillin-Sulbactam, Carbenicillin, dan Ticacillin. Mekanisme
kerja dari antibiotika golongan Penisillin ini adalah dengan memiliki cincin β
lactam untuk merintangi atau menghambat pembentukan sintesa dinding sel
bakteri. Antibiotik golongan Sefalosporin yang digunakan pada pengujian ini
adalah Cefadroxyl, Cefotaxime, Cefepime, Cefoperazone, dan Ceftazidime.
Bakteri Staphylococcus aureus resistensi untuk semua antibiotik golongan
Sefalosporin dan Penisillin yang diuji. Bakteri Staphylococcus aureus yang diuji
diduga merupakan strain MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus)
21
sehingga antibiotika yang memiliki cincin β lactam seperti Penisillin dan
Sefalosporin tidak mampu untuk membasmi bakteri ini. Strain MRSA mampu
menghasilkan enzim lactamase untuk menghancurkan cincin β lactam pada
antibiotika (Triana, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Liana (2014)
spesimen MRSA banyak terdapat pada sampel pus yang berasal dari penyakit
infeksi kulit dan jaringan lunak. Dalam buku Tjay & Rahardja (2007), antibiotik
golongan Sefalosporin generasi ketiga memiliki kekebalan terhadap lactamase
yang lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap stafilokokus jauh lebih rendah. Tidak
aktif terhadap MRSA dan MRSE.
Antibiotik golongan Aminoglikosida yang diuji terdiri dari Gentamycin,
Amikacin, Netilmicin, dan Tobramycin. Aminogligosida bersifat bakterisid.
Bakteri Staphylococcus aureus sensitif terhadap semua antibiotik aminoglikosida
yang diujikan, hal tersebut karena antibiotik golongan aminoglikosida dapat
menembus dinding sel bakteri dan mengikatkan diri pada ribosom di dalam sel
dari bakteri tersebut. Proses translasi (RNA dan DNA) pada bakteri diganggu
sehingga biosintesis protein bakteri dikacaukan (Ribosom merupakan partikel-
partikel kecil dalam protoplasma sel yang kaya akan RNA, tempat terjadinya
sintesis protein).
Antibiotik golongan Kuinolon yang digunakan yaitu Ciprofloxacin,
Levofloxacin, dan Norfloxacin. Mekanisme kerja dari antibiotika golongan ini
adalah dengan menghambat enzim pada bakteri. Bakteri Staphylococcus aureus
sensitif terhadap semua antibiotik kuinolon yang diujikan, karena antibiotik
golongan kuinolon dapat menginhibisi dua enzim bakteri, yaitu DNA-gyrase dan
topo-isomerase IV sehingga sintesis DNA-nya terganggu. DNA-gyrase adalah
enzim yang mengkompres DNA bakteri sehingga dapat diinkorporasi dalam sel
bakteri, sedangkan topo-isomerase diperlukan bagi struktur ruang DNA. Kedua
proses inilah yang dihambat oleh kuinolon. Enzim tersebut hanya terdapat pada
bakteri dan tidak ada pada sel dari organisme lebih tinggi, sehingga sintesis DNA
manusia tidak dihambat.
Antibiotik golongan Makrolida yang digunakan adalah Fosfomycin.
Mekanisme kerja dari antibiotika golongan ini melalui pengikatan reversibel pada
22
ribosom bakteri, sehingga sintesa protein bakteri dihalangi. Bakteri
Staphylococcus aureus yang diuji sensitif terhadap antibiotik golongan makrolida.
Antibiotika golongan Makrolida merupakan antibiotika yang mempunyai
spektrum luas dan terutama digunakan untuk bakteri Gram-positif. Tetapi apabila
digunakan terlalu lama atau terlalu sering dapat terjadi resistensi (Tjay &
Rahardja, 2007).
Antibiotik golongan Sulfonamida yang digunakan adalah Trimethoprim-
Sulfamethoxazole. Mekanisme kerja dari golongan tersebut adalah memiliki daya
kerja antibakteri yang menghambat sintesis dihidrofolat pada bakteri dengan cara
persaingan antagonisme dengan PABA (Para Amino Benzoic Acid). Memiliki
spektrum kerja yang luas untuk bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif, tetapi
lebih efektif terhadap bakteri Salmonella, Proteus dan Haemophilus influenzae.
Lebih dikhususkan untuk infeksi saluran kemih dan saluran nafas (Tjay &
Rahardja, 2007). Hasil yang didapatkan pada pengujian ini adalah bakteri
Staphylococcus aureus resisten terhadap antibiotika golongan sulfonilamida,
karena bakteri yang dikulturkan di dapat dari sampel nanah penderita abses kulit
bukan dari infeksi saluran kemih atau salauran nafas, sehingga pengobatan dengan
antibiotika ini tidak efektif untuk Staphylococcus aureus.
Antibiotika dengan golongan laktam lainnya adalah Meropenem.
Mekanisme kerja yang dimiliki antibiotika ini sama dengan antibiotika golongan
Penisillin dan Sefalosporin, yaitu dengan memiliki cincin β lactam untuk
merintangi atau menghambat pembentukan sintesa dinding sel bakteri. Menurut
Tjay dan Rahardja (2007), antibiotika ini memiliki daya kerja yang kuat untuk
bakteri Gram-negatif dan memiliki potensi lemah terhadap bakteri Gram-positif,
tidak aktif terhadap MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus). Pada
pengujian ini bakteri Staphylococcus aureus resisten terhadap antibiotik yang
diuji.
23
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari pengujian yang dilakukan kali ini adalah
sebagai berikut:
1. Bakteri yang ditemukan dalam sampel pus/nanah penyebab infeksi kulit adalah
spesies Staphylococcus aureus.
2. Hasil yang diperoleh dari pengujian bakteri Staphylococcus aureus sensitif
terhadap 8 macam antibiotika dengan golongan Aminoglikosida, Kuinolon dan
Makrolida. Resisten terhadap 12 macam antibiotika dengan golongan
Penisillin, Sefalosporin, Sulfonamida, dan antibiotik golongan laktam lainnya,
sehingga antibiotik yang tepat dan dapat digunakan untuk penyembuhan
terhadap infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus pada
kasus kali ini adalah Golongan Aminoglikosida, Kuinolon dan Makrolida.
5.2 Saran
Bakteri penyebab infeksi pada luka kulit dapat berberda-beda, maka perlu
adanya identifikasi lebih spesifik mengenai sumber infeksi yang didapat, serta
antibiotic yang mengalami resistensi agar tidak dipakai lagi dalam pengobatan
Staphylococcus aureus dan bias diganti dengan antibiotic yang lain. Analis yang
bekerja harus benar-benar aseptis agar tidak terkontaminasi bakteri yang
dianalisis.
24
DAFTAR PUSTAKA
Duncan, F. 2005. MCB 1000L Applied Microbiology Laboratory Manual 4th Ed.
The McGraw-Hill Companies. New York.
Garna, H. 2004. Patofisiologi Infeksi Bakteri Pada Kulit. Sari Pediatri. Vol. 2
No.4 : 205-209.
Oxoid, L. 2014. Dehidrasi Media DNase Agar. Thermo Fisher Scientific Inc.
USA.
25
Sudigdoadi, S. 2004. Mekanisme Timbulnya Resistensi Antibiotik
Pada Infeksi Bakteri. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Padjajaran. Hal : 1-14.
Tjay, T. H. & K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting Edisi ke-6. PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia. Jakarta.
26