Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH IMUNOLOGI

imunorpofilaksis
Di Bimbing Oleh Dosen Lisa Savitri,S.Si., M.Imun

Di susun oleh
Anggi Tri Rizki 202106060202
Siti Lestari 202106050215
Firda Daini Rohil 202106050234
Cici Intan Arini 202106050243

Universitas Kadiri
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata imun berasal dari bahasa latin “imunitas” yang berarti pembebasan
(kekebalan) yang diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan
mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan.
Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubh yang terdiri dari sel-sel serta produk
zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir
untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racun yang masuk
ke dalam tubuh. Kuman disebut antigen. Pada saat pertama kali antigen masuk ke
dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut
antibodi.
Imunisasi adalah pemberian vaksin kepada seseorang untuk melindunginya
dari beberapa penyakit tertentu. Imunisasi merupakan upaya untuk mencegah
penyakit lewat peningkatan kekebalan tubuh seseorang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Menjelaskan pengertian imunorpofilaksis?
2. Menjelaskan fungsi imunoprofilaksis?
3. Menjelaskan jenis-jenis imunisasi?
4. Menjelaskan jenis-jenis vaksin?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisannya sebagai
berikut :
1. Untuk menjelaskan pengertian imunoprofilaksis.
2. Untuk menjelaskan fungsi imunoprofilaksis.
3. Untuk menjelaskan jenis-jenis imunisasi.
4. Untuk menjelaskan jenis-jenis vaksin.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan di atas, maka manfaat penulisannya sebagai
berikut :
1. Untuk menambah pengetahuan mahasiswa mengenai imunoprofilaksis.
2. Untuk menambah pengetahuan mengenai pembuatan makalah.
3. Sebagai salah satu bahan referensi untuk pembelajaran selanjutnya.
BAB II
2.1 Pengertian Imunofilaksis
Imunofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi
spesifik. Selain itu juga, merupakan pencegahan penyakit melalui sistem imun
dengan tindakan mendapatkan kekebalan resistensi relatif terhadap infeksi
mikroorganisme yang patogen serta menimbulkan efek positif untuk pertahanan
tubuh dan efek negatif menimbulkan reaksi hipersensivitas.
Imunisasi merupakan kemajuan besar dalam usaha imunoprofilaksis.
Imunisasi merupakan upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu pada diri
seseorang dengan pemberian vaksin. Vaksin adalah antigen yang dapat bersifat
aktif maupun inaktif yang berasal dari mikroorganisme ataupun racun yang
dilemahkan.
Konsep pencegahan penyakit melalui vaksinasi sudah lama berkembang,
sejak 1000 SM sudah dimulai di Cina dan India. Istilah vaksinasi diambil dari
kata ” Vacca” daribahasa latin yang berarti sapi, yang merupakan bentuk bentuk
penghargaan untuk Edwar Jenner yang telah berhasil membuktikan bahwa
seseorang yang terserang /terpapar cowpox memiliki imunitas terhadap pada tahun
1796. Perkembangan vaksinasi sendiri dibagi dalam tiga masa yakni, era pra-
Jenner, era Jenner dan era pasca-Jenner.

Gambar 1. Perkembangan vaksin sejak tahun 1798-20103


Imunisasi merupakan salah satu bentuk pencegahan penyakit yang efektif,
mudah, serta murah untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi, mulai dari
anak, orang dewasa hingga orangtua. Imunisasi menjadi salah satu bentuk
intervensi kesehatan yang paling sukses dan efektif. Melalui imunisasi seseorang
diharapkan memiliki kekebalan terhadap suatu penyakit infeksi tertentu, sementara
tujuan akhir dari pemberian imunisasi missal adalah eradikasi suatu penyakit.

Secara umum, imunisasi bertujuan untuk meningkatkan derajat kekebalan


tubuh, memberikan perlindungan dengan menginduksi respon memori terhadap
patogen tertentu atau toksin dengan menggunakan preparat antigen nonvirulen atau
nontoksik. Pencegahan penyakit infeksi dengan pemberian imunisasi merupakan
kemajuan dalam usaha imunoprofilaksis.

Di Indonesia pada tahun 1990 pemberian imunisasi dasar pada anak sudah
mencapai 90% melalui program Universal Child Immunization. Tahun 2011-2020
telah dicanangkan oleh WHO dan UNICEF bersama komunitas internasional
lainnya telah sebagai “ Decades of vaccines (DOV)”. Perkembangan imunisasi
anak tersebut belum diikuti oleh perkembangan imunisasi pada orang dewasa.
Imunisasi pada orang dewasa dapat mencegah kematian sepuluh kali lipat
dibandingkan pada anak, hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh American
Society of Internal Medicine dalam pertemuannya di Atlanta. Kurang
berkembangnya imunisasi pada orang dewasa ini disebabkan oleh karena adanya
keraguan dari masyarakat maupun petugas pelayanan kesehatan terhadap keamanan
vaksinasi, ganti rugi yang tidak memadai, akses yang sulit, fasilitas yang kurang
memadai dan vaksin yang tidak tersedia.

Indikasi pemberian imunisasi pada orang dewasa didasarkan pada riwayat


paparan, resiko penularan (baik bersifat individual maupun besrifat komunitas
seperti petugas kesehatan), usia lanjut, imunokompromais, serta adanya rencana
bepergian seperti ibadahatau wisata.

Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia diatas 12 tahun dan
ingin mendapat kekebalan. Pada usia lanjut juga dianjurkan untuk diiumunisasi
karena pada usia diatas 60 tahun akan terjadi penurunan sistim imun nonspesifik,
seperti penurunan produksi airmata, mekanisme batuk tidak efektif, gangguan
pengaturan suhu, serta perubahan fungsi sel sistem imun, baik selular maupun
humoral.
2.2 Aspek Imunologi Imunisasi.

Imunitas atau kekebalan dapat terjadi secara alami setelah infeksi oleh kuman
tertentu maupun penyaluran antibodi pada bayi lewat plasenta. Imunitas buatan
dapat berupa imunitasbuatan aktif dan imunitas buatan pasif. Imunitas aktif didapat
dengan cara memaparkan suatu antigen dari suatu mikroorganisme dan akan
bertahan lebih lama karena adanya memori imunologi, imunitas bautan pasif
diperoleh dengan sengaja memasukkan antibodi, antitoksin atau immunoglobulin
kedalam tubuh dan tidak bertahan lama karena tidak memiliki memori imunologi.

Terdapat dua kelompok besar respon imun yang merupakan respon tubuh
untukmengeliminasi antigen:

1. Respon imun nonspesik (nonadaftip, innate) yang ditujukan tidak hanya


pada 1 antigen , berupa komponen selular ( magropag, neutrofil, sel natural
killer dan komponen humoral (sitokin, interferon)).
2. Respon imun spesifik (adaptif, acquired) yang ditujukan spesifik hanya
pada komponen 1 antigen. Terdapat dua komponen, yaitu komponen
seluler (limpositT) dan komponen humoral (limposit B yang memproduksi
antibodi). Respon imunspesifik akan terpicu bila respon imun nonspesifik
belum mampu mengatasi invasi antigen.

2.3 Respon Imun Spesifik primer dan sekunder


Respon imun spesifik Merupakan respon imun yang didapat (acquired),
yang timbul akibat dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah
terpapar sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas
makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang memproses antigen sedemikian
rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan sel-sel imun. Dengan
rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system imun berploriferasi dan
berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang memiliki kompetensi imunologik dan
mampu bereaksi dengan antigen (Bellanti, 1985; Roitt,1993; Kresno, 1991).
Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat
dimusnahkan dan kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi, namun
respons imun primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya klon atau
kelompok sel yang disebut dengan memory cells yang dapat mengenali antigen
bersangkutan. Apabila dikemudian hari antigen yang sama masuk kedalam tubuh,
maka klon tersebut akan berproliferasi dan menimbulkan respons sekunder spesifik
yang berlangsung lebih cepat dan lebih intensif dibandingkan dengan respons imun
primer. Mekanisme efektor dalam respons imun spesifik dapat dibedakan menjadi
a. Respons imun seluler
Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan
berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga sulit
untuk dijangkau oleh antibody. Untuk melawan mikroorganisme intraseluler
tersebut diperlukan respons imun seluler, yang diperankan oleh limfosit T.
Subpopulasi sel T yang disebut dengan sel T penolong (T-helper) akan mengenali
mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major histocompatibility
complex (MHC) kelas II yang terdapat pada permukaan sel makrofag. Sinyal ini
menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk
diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag untuk menghancurkan
mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain yang disebut dengan sel T-
sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk menghancurkan mikroorganisme
intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas I secara langsung (cell to cell).
Selain menghancurkan 9 mikroorganisme secara langsung, sel T-sitotoksik, juga
menghasilkan gamma interferon yang mencegah penyebaran mikroorganisme
kedalam sel lainnya.
b. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B menjadi satu
populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke dalam darah. Pada
respons imun humoral juga berlaku respons imun primer yang membentuk klon sel
B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk membentuk satu jenis
antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal slection). Antibodi ini akan
berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen – antibodi yang dapat
mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Supaya
limfosit B berdiferensiasi dan membentuk antibody diperlukan bantuan limfosit T-
penolong (T-helper), yang atas sinyal-sinyal tertentu baik melalui MHC maupun
sinyal yang dilepaskan oleh makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh
sel T- penolong, produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-supresor),
sehingga produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan.
c. Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral
Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated cytotoxicity
(ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi. Dalam hal ini
antibodi berfunsi melapisi antigen sasaran, 10 sehingga sel natural killer (NK), yang
mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibodi, dapat melekat erat pada sel atau
antigen sasaran. Perlekatan sel NK pada kompleks antigen antibody tersebut
mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel sasaran. Respons imun spesifik
(adaptif) dapat dibedakan dari respons imun bawaan, karena adanya cirri-ciri umum
yang dimilikinya yaitu; bersifat spesifik, heterogen dan memiliki daya ingat atau
memory. Adanya sifat spesifik akan membutuhkan berbagai populasi sel atau zat
yang dihasilkan (antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga menimbulkan
sifat heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan menghasilkan kualitas
respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang sama pada pemaparan
berikutnya.

2.4 Pengertian imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi,
berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau
resisten terhadap suatu penyakit tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang
lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan
dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan.
2.4.1 Tujuan Pemberian Imunisasi
Mengapa imunisasi penting? Alasannya, secara umum imunisasi mempunyai
dua tujuan berikut ini.
1. Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat Penyakit yang
Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
2. Tujuan Khusus
- Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI) yaitu cakupan
imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di seluruh desa/
kelurahan pada tahun 2014.
- Tervalidasinya Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (insiden di bawah 1
per 1.000 kelahiran hidup dalam satu tahun) pada tahun 2013.
- Eradikasi polio pada tahun 2015.
- Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015.
- Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta pengelolaan limbah
medis (safety injection practise and waste disposal management).

2.5 Jenis Imunisasi


Dasar Bayi umur 0-1 tahun
Rutin
Batita
wajib
Lanjuta Anak Usia SD
Imunisasi n
Tambaha
WUS
Pilihan n
Khusus Crash Program, PIN, Sub-PIN

Calon Haji/Umrah, KLB

2.5.1 Imunisasi Wajib

Imunisasi wajib merupakan imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk


seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang
bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Imunisasi
wajib terdiri atas imunisasi rutin, imunisasi tambahan, dan imunisasi khusus.
a. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus-
menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi
lanjutan. Berikut akan diuraikan macam vaksin imunisasi rutin meliputi deskripsi,
indikasi, cara pemberian dan dosis, kontraindikasi, efek samping, serta penanganan
efek samping.
1). Imunisasi Dasar

Vaksin BCG
Deskripsi:
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang
mengandung Mycrobacterium bovis hidup yang
dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin), strain
paris.

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
Vaksin BCG & pelarut
tuberkulosis.
(Sumber:
www.biofarma.co.id)

Cara pemberian dan dosis:


• Dosis pemberian: 0,05 ml, sebanyak 1 kali.
• Disuntikkan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
(insertio musculus deltoideus), dengan menggunakan ADS 0,05 ml.

efek samping:
2–6 minggu setelah imunisasi BCG daerah bekas suntikan timbul bisul kecil
(papula) yang semakin membesar dan dapat terjadi ulserasi dalam waktu 2–4
bulan, kemudian menyembuh perlahan dengan menimbulkan jaringan parut
dengan diameter 2–10 mm.

Penanganan efek samping:


• Apabila ulkus mengeluarkan cairan perlu dikompres dengan
cairan antiseptik.
• Apabila cairan bertambah banyak atau koreng semakin
membesar anjurkan orangtua membawa bayi ke ke
tenaga kesehatan.
Vaksin DPT – hB – hIB

Deskripsi:
Vaksin DTP-HB-Hib digunakan untuk
pencegahan terhadap difteri, tetanus, pertusis
(batuk rejan), hepatitis B, dan infeksi
Haemophilus influenzae tipe b secara
Vaksin DPT-HB-HIB simultan.
(Sumber:
www.biofarma.co.id)

Cara pemberian dan dosis:


• Vaksin harus disuntikkan secara intramuskular pada
anterolateral paha atas.
• Satu dosis anak adalah 0,5 ml.

Kontra indikasi:
Kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf serius
.

efek samping:
Reaksi lokal sementara, seperti bengkak, nyeri, dan kemerahan pada lokasi
suntikan, disertai demam dapat timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-
kadang reaksi berat, seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel), dan menangis
dengan nada tinggi dapat terjadi dalam 24 jam setelah pemberian.

Penanganan efek samping:


• Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak
(ASI atau sari buah).
• Jika demam, kenakan pakaian yang tipis.
• Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air
dingin.
• Jika demam berikanparacetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam).
• Bayi boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
• Jika reaksi memberat dan menetap bawa bayi ke
dokter

Vaksin hepatitis B

Deskripsi:
Vaksin virus recombinan yang telah
diinaktivasikan dan bersifat non-
infecious, berasal dari HBsAg.

Vaksin Hepatitis B
(Sumber:
www.biofarma.co.id)

Cara pemberian dan dosis:


• Dosis 0,5 ml atau 1 (buah) HB PID, secara
intramuskuler, sebaiknya pada anterolateral paha.
• Pemberian sebanyak 3 dosis.
• Dosis pertama usia 0–7 hari, dosis berikutnya
interval minimum 4 minggu (1 bulan).

Kontra indikasi:
Penderita infeksi berat yang disertai kejang.

efek Samping:
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat
penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.

2). Imunisasi Lanjutan

Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan


tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan. Imunisasi
lanjutan diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun (Batita), anak usia sekolah
dasar, dan wanita usia subur.
Vaksin DT

Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu
mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri
murni yang terabsorpsi ke dalam alumunium
fosfat.

Indikasi:
Vaksin DT Pemberian kekebalan simultan terhadap difteri
(Sumber: www.biofarma.co.id) dan tetanus pada anak-anak.

Cara pemberian dan dosis:


Secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml. Dianjurkan untuk
anak usia di bawah 8 tahun.

Kontra indikasi:
Hipersensitif terhadap komponen dari vaksin.

efek Samping:
Gejala-gejala seperti lemas dan kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat
sementara, dan kadang-kadang gejala demam.

Penanganan efek samping:


• Orangtua dianjurkan untuk memberikan minum anak lebih
banyak.
• Jika demam, kenakan pakaian yang tipis
• Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin
• Jika demam berikanparacetamol 15 mg/kgBB setiap 3–4 jam
(maksimal 6 kali dalam 24 jam)
• Anak boleh mandi atau cukup diseka dengan air hangat.
Vaksin Td

Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu
mengandung toksoid tetanus dan toksoid difteri murni
yang terabsorpsi ke dalam alumunium fosfat.

Vaksin Td Indikasi:
(Sumber: Imunisasi ulangan terhadap tetanus dan difteri pada
www.biofarma.co.id) individu mulai usia 7 tahun.

Cara pemberian dan dosis:


Disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian
0,5 ml.

Kontra indikasi:
Individu yang menderita reaksi berat terhadap dosis sebelumnya.

efek samping:
Pada uji klinis dilaporkan terdapat kasus nyeri pada lokasi penyuntikan (20–30%)
serta demam (4,7%)

Vaksin TT

Deskripsi:
Suspensi kolodial homogen berwarna putih susu
dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus murni,
terabsorpsi ke dalam aluminium fosfat.

Vaksin TT Indikasi:
(Sumber: Perlindungan terhadap tetanus neonatorum pada
www.biofarma.co.id) wanita usia subur.

Cara pemberian dan dosis:


secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis 0,5 ml.
Kontra indikasi:
• Gejala-gejala berat karena dosis TT sebelumnya.
• Hipersensitif terhadap komponen vaksin.
• Demam atau infeksi akut.

efek samping:
Jarang terjadi dan bersifat ringan seperti lemas dan kemerahan pada lokasi
suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.

Penanganan efek samping:


• Bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air
dingin.
• Anjurkan ibu minum lebih banyak.
b. Imunisasi tambahan

Imunisasi Tambahan diberikan kepada kelompok umur tertentu yang


paling berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode
waktu tertentu. Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan adalah
Backlog fighting, Crash program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub-
PIN, Catch up Campaign campak dan Imunisasi dalam Penanganan KLB
(Outbreak Response Immunization/ORI).

c. imunisasi khusus
Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan
untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi
tertentu. Situasi tertentu antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah
haji/umrah, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu
dan kondisi kejadian luar biasa. Jenis imunisasi khusus, antara lain terdiri
atas Imunisasi Meningitis Meningokokus, Imunisasi Demam Kuning, dan
Imunisasi Anti-Rabies.

1. Imunisasi Pilihan

Setelah mempelajari tentang macam vaksin imunisasi dasar, sekarang kita akan
mempelajari macam vaksin imunisasi pilihan yang sudah beredar di Indonesia.
Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada seseorang
sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dari
penyakit menular tertentu, yaitu vaksin MMR, Hib, Tifoid, Varisela, Hepatitis A,
Influenza, Pneumokokus, Rotavirus, Japanese Ensephalitis, dan HPV.

2.6 Tata Cara Pemberian Imunisasi

Untuk mencapai efektivitas yang baik pada pemberian imunisasi diperlukan cara
pemberian imunisasi yang tepat. Tata cara pemberian yang tepat dapat berupa
tempat penyuntikan, cara pemberian, dan dosis vaksin yang akan diberikan.
Beberapa hal yang harusdiperhatikan mulai dari persiapan dan penyuntikan vaksin.

a. Persiapan pasien
Persiapan pasien dapat dinilai dengan HALO yakni: health atau kondisi
kesehatan pasien tersebut apakah pasien sedang menderita sakit kronis, hamil atau
riwayat penyakit seksual atau penurunan imun, Age: umur, apakah pasien masih
dewasa muda tau diatas 50 tahun, Lifestyle: bagaimana pola hidup apakah paisen
tersebut memiliki riwayat seksbebas, homoseksual, pengguna narkoba atau hobi
wisata ke luar negeri, Occupation: pekerjaan apakah pelajar atau pekerja kesehatan
dan jenis pekerjaan lainnya. Menentukan riwayat vaksinasi pasien sebelumnya juga
harus dilakukan untuk dapat menetukan status kekebalan pasien tersebut.
Penyaringan kontraindikasi vaksin dapat dilakukan dengan mengisi kuesioner.
Resiko dan keamanan imunisasi harus disampaikan terhadap pasien.

b. Persiapan Vaksin
Persiapan vaksin dapat dimulai dari pemeriksaan vaksin dapat diperiksa
secara visual mulai tanggal kadaluarsa dan juga apakah ada perubahan warna dari
vaksin tersebut. Pengenceran vaksin dilakukan sesuaidengan petunjuk yang
diberikan oleh produsen vaksin tersebut seperti jenis pelarut, jumlah pelarut dab
berapa lama vaksin yang sudah diencerkan dapat dipakai lagi. Vaksin yang sudah
diencerkan dan dimasukkan kedalam alat suntik harus diberikan label sehingga
tidak mengalami kesulitan dalam memgidentifikasi vaksin tersebut.

c. Teknik Penyuntikan
Pada orang dewasa, penyuntikan dilakukan pada lengan pasien bagian atas.
Penyuntikan dilakukan secara intramuscular dan subkutan. Vaksin yang
mengandung adjuvan harus disuntikkan secara intramuscular untuk menghindari
iritasi local, indurasi, perubahan warna kulit, inflamasi serta pembentukan
granuloma.

Gambar Cara penyuntikan vaksin subkutan dan Intramuskular


d. Penyimpanan Vaksin

Cara penyimpanan vaksintergantungpada karakteristik vaksin tersebut.


Vaksin dapat dapat dibagi dalam dua jenis yakni live attenuated dan inactivated.
Vaksin live attenuated yang berisi virus hidup yang dilemahkan meliputi: vaksin
varicella dan zoster dapat di simpan di dalam freezer (-15 s.d -250C), MMR dapat
di simpan di frezer dan kulkas, tifoid oral, yellow fever dan janesse encephalitis
dapat disimpan di kulkas. Vaksin inactivated seperti vaksin tetanus, difteri, pertusis
(Td/Tdap) HPV, trivalent inactivated influenza vaccine (TIV), hepatitis A, hepatitis
B, haemophilus influenza tipe b (Hib), pneumococcalpolisakarida, meningococcal
polisakarida dan tifoid vi polisakarida , dapat disimpan di kulkas (2-80C).

2.7 Imunisasi Pada Orang Dewasa

Imunisasi dewasa dianjurkan bagi mereka yang berusia diatas 12 tahun dan
ingin mendapat kekebalan.Ada beberapa lasan mengapa orang dewasa memerlukan
imunisasi,yakni: pemberian imunisasi pada waktu anak-anak tidak memberikan
jaminan kekebalan yang tetap untuk seumur hidup, dan imunisasi telah terbukti
memiliki peran yang samapentingnya dengan diet dan olehraga dalam menjaga
kesehatan.
1. Jenis Vaksin
Berdasarkan produksinya dapat dibedakan beberapa jenis.
a. Vaksin hidup dilemahkan (live attenuated vaccines). proses melemahkan
antigentersebut dilakukan melalui pembiakan sel, pertumbuhan jaringan
embrionik pada suhu rendah atau pengurangan gen pathogen secara
selektif. vaksin ini memberikan imunitas jangka panjang.
b. Vaksin Dimatikan ( Killed Vacciine/Inactivated vaccine). mengandung
organisme yang tidak aktif setelah melalui pemanasan dan penambahan
bahan kimia.
c. Vaksin rekombinan. Susunan vaksin ini (misal hep B) memerlukan epitop
organisme yang patogen. sintesis dari antigen vaksin tersebut melalui
isolasi dan penentuan kode gen epitop bagi sel penerima vaksin.
d. Vaksin plasma DNA (Plasmid DNA vaccines). dibuatkan berdasarkan
isolasi DNA miroba mengandung kode antigen yang patogen, masih
dalam penelitian.

2.8 Vaksinasi Pada Keadaan Khusus

a. Vaksinasi Pada usia Lanjut:


diberikan pada orang yang berusia diatas 60 tahun, diaman produksi dan
proliferasi limosit T berkurang. Imunisasi pada kelompok ini berupa: vaksinasi
Influenza, Pneumokok dan herpes zoster.
b. Vaksinasi Pada Ibu hamil dan menyusui.
pada wanita hamil terdapat perubahan pada seluru tbuh termasuk pada system
imun. vaksinasi bermanfaat menjaga kesehatan wanita sebelum, selama dan setelah
hamil dan juga melindungi bayi saat kehamilan sampai bulan pertama kelahiran
bayi. Imunisasi pada kelompok ini berupa: tetnus, difteri, influenza dan hepatitis B.
vaksin meningokok dan rabies dapat diberikan sesuai indikasi. vaksin yang tidak
boleh diberikan; MMR, Varicella dan BCG.
c. Vaksinasi pada tenaga Kesehatan
tenaga kesehatan memiliki potensi yang tinggi terpajan oleh pasien ataupun
material infeksius,peralatan medis yang terkontminasi, lingkungan dan udara yang
terkontaminasi. Penyakit akibat kerja pada tenaga kesehatan dapat dicegah dengan
pemberian vaksinasi. Imunisasi pada kelompok ini berupa: vaksinasi hepatitis B,
Influenza, MMR, varicella, Difteri, pertusis, tetanus dan menigokokal.
d. Vaksinasi untuk Traveller ( Imunisasi Perjalanan, termasuk untuk Jemaah
Haji dan Umroh)
Vaksin yang diberikan berupa: Vaksin Meningokok dan Vaksin Influenza,
Yellow Fever, Antraks.
e. Vaksinasi pada Imunokompromais.
Kondisi yang termasuk pada imunokomprmais adalah malnutrisi, HIV, Pasienn
Dialisis , Usia lanjut, asplenia, Penyakit metabolic, trauma dan pembedahan, infeksi
berat dan radiasi. pada kondisi tertentu pemberian vaksin hidup harus ditunda
samapi keadaanimun membaik. pasien dialysis dapat diberikan vaksinhepatitis B,
Influenza danPneumokok. Pasien HIV dengan CD4 yang rendah (<200sel/mm3)
merupakan kontraindikasi pemebrian vaksin hidup seperti Polio, varisela, yellow
fever dan MMR, pemberian vaksin dapat diberikan setelah CD4 >200sel/mm3.
vaksin yang dpat diberikan pada pasien HIV:hepatitis a, hepatitis B, HPV,
Influenza, antraks, MMR, meningokok, pneumokok, rabies, tifoid, tetanus,
varisela.
Rekomendasi vaksinasi untuk anak imunokompromais bervariasi
tergantung pada derajat dan penyebab imunodefisiensi, risiko terpapar penyakit,
dan jenis vaksin. Vaksin yang mengandung bakteri hidup (misalnya vaksin tifoid
oral) dan vaksin yang mengandung virus hidup pada umumnya merupakan indikasi
kontra pada keadaan imunosupresi. Pengecualian hal tersebut adalah vaksinasi
MMR dan varisela pada anak yang terinfeksi HIV yang tidak mengalami
imunosupresi berat. OPV mempunyai indikasi kontra untuk diberikan bila ada
penderita imunokompromais yang tinggal serumah karena risiko timbulnya
vaccine-associated paralytic poliomyelitis. BCG masih direkomendasikan oleh
WHO untuk diberikan pada anak terinfeksi HIV asimtomatis di daerah dengan
insiden tuberkulosis yang tinggi.

Vaksin yang mengandung virus hidup harus diberikan dengan hati-hati pada
anak yang mendapat kortikosteroid. Anak yang mendapat kortikosteroid dosis
rendah, yang didefinisikan sebagai mendapat prednisone atau ekuivalennnya
kurang dari 2 mg/kg/24 jam, dapat diimunisasi saat pengobatan. Anak yang
mendapat prednison atau ekulivalennya 2 mg/kg/24 jam atau lebih perhari ataupun
dosis selang sehari selama kurang dari 14 hari, maka vaksin yang mengandung virus
hidup harus ditunda sampai paling sedikit saat penghentian kortikosteroid. Jika
lama pemberian kortikosteroid 14 hari atau lebih, maka imunisasi harus ditunda
paling sedikit 1 bulan.

2.9 Fenomena Responder dan Nonresponder pada Vaksinasi.

Individu sehat yang mendapat vaksin akan menginduksi respon humoral dan
seluler, sehingga tercapai respon imun yang mampu untuk memproteksi diri dari
penyakit. Untuk mencapai respon tersebut kadang vaksin harus diberikan dalam
beberapa dosis dan juga adanya pemberian booster atau ulangan. Fenomena
responder dan nonresponder ini dicetuskan oleh Chiaramonte at al, yang terjadi
akibat tidak terbentuknya respon imun humoral. fenomena responder dan
nonresponder ini difokuskan pada vaksin hepatitis B. setelah pemberian vaksin
hepatitis B sebanyak 3 dosis akan tercapai titer antibody >10IU, tetapi pada
beberapa orang, sekitar 10% pada orang dewasa dan 5% pada anak-anak hal
tersebut tidak tercapai (Sinto, 2012).

Fenomena lain juga terjadi pada program pengadaan vaksinasi COVID-19.


Survei dilakukan pada September 2020 lalu dengan melibatkan lebih dari 115ribu
responden di 34 provinsi di Indonesia. Hasilnya, hampir 65 persen (64,8 persen)
responden menyatakan keinginan mereka untuk divaksin. Sementara hampir 8
persen (7,6 persen) responden menyatakan tidak mau divaksin. Sisanya atau 27,6
persen mengaku ragu terhadap program vaksinasi pemerintah. Adanya 'gap'
pemahaman masyarakat awam terhadap proses pembuatan vaksin. Tak bisa
dimungkiri, riset-riset juga informasi yang bersifat 'scientific' cukup sulit dicerna
terlebih jika tidak memiliki latar belakang bidang kesehatan.

2.10 Kejadian ikutan pasca imunisasi


Imunisasi merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang penting untuk
masa depan dengan tujuan untuk melindungi penyakit seseorang dari penyakit
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit yang dimaksud
diantaranya adalah Hepatitis B, Tubercolosis (TBC, Polio, Difteri, Tetanus,
Pertusis, Campak, pneumonia, Meningitis dan Rubella. Vaksinasi merupakan
salah satu cara pencegahan penyakit menular yang tidak hanya diberikan kepada
bayi, melainkan kepada orang dewasa juga. Adapun cara kerjanya yaitu
dengan memberikan antigen bakteri atau virus tertentu yang sudah di
lemahkan atau di matikan yang sang sistem kekebalan tubuh untuk dapat
mengetahui, menghancurkan, dan mengingat benda asing sehingga tubuh dapat
dengan mudah mengenali dan mencegah benda asing yang nantinya masuk dan
menyerang tubuh.

2.10.1 Maturasi Program Imunisasi


Telah terbukti bahwa pemberian imunisasi akan menurunkan insidens penyakit.
Musnahnya penyakit cacar (variola) dari muka bumi sejak tahun 1980 merupakan
contoh keberhasilan imunisasi terhadap kejadian penyakit cacar. Keberhasilan
vaksinasi tersebut kemudian diikuti oleh pemakaian vaksin lain dalam dosis besar.
Namun, di dalam perjalanan pemberian vaksin terdapat maturasi persepsi
masyarakat sehubungan dengan reaksi yang tidak diinginkan akibat vaksinasi
sehingga menyebabkan munculnya kembali penyakit dalam bentuk kejadian luar
biasa (KLB). Chen4 membuat perkiraan perjalanan program imunisasi
dihubungkan dengan maturasi kepercayaan masyarakat dan dampaknya pada
insidens penyakit.
1. Prevaksinasi. Pada saat ini insidens penyakit masih tinggi, imunisasi belum
dilakukan sehingga KIPI belum menjadi masalah.
2. Cakupan meningkat. Pada fase ini, imunisasi telah menjadi program di suatu
negara, maka makin lama cakupan makin meningkat yang berakibat
penurunan insidens penyakit. Seiring dengan peningkatan cakupan
imunisasi, terjadi peningkatan kasus KIPI di masyarakat.
3. Kepercayaan masyarakat (terhadap imunisasi) menurun. Peningkatan kasus
KIPI mengancam kepercayaan masyarakat terhadap program imunisasi.
Fase ini sangat berbahaya oleh karena akan menurunkan cakupan imunisasi.
Walaupun kejadian KIPI tampak menurun tetapi berakibat meningkatnya
kembali insidens penyakit sehingga terjadi kejadian luar biasa (KLB).
4. Kepercayaan masyarakat timbul kembali. Apabila kasus KIPI dapat
diselesaikan dengan baik, yaitu dengan pelaporan dan pencatatan yang baik,
penanganan kasus KIPI segera, dan pemberian ganti rugi yang memadai,
maka kepercayaan masyarakat akan program imunisasi timbul kembali.
Pada saat ini akan dicapai kembali cakupan imunisasi yang tinggi dan
penurunan insidens penyakit; walaupun kasus KIPI tetap ada bahkan akan
meningkat lagi.
5. Eradikasi. Hasil akhir program imunisasi adalah eradikasi suatu penyakit.
Pada fase ini telah terjadi maturasi kepercayaan masyarakat terhadap
imunisasi, walaupun kasus KIPI tetap dapat dijumpai.

2.11 Klasifikasi KIPI


Tidak semua kejadian KIPI yang diduga itu benar. Sebagian besar ternyata
tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk menentukan KIPI
diperlukan keterangan mengenai berapa besar frekuensi kejadian KIPI pada
pemberian vaksin tertentu; bagaimana sifat kelainan tersebut, lokal atau sistemik;
bagaimana derajat kesakitan resipien, apakah memerlukan perawatan, apakah
menyebabkan cacat, atau menyebabkan kematian; apakah penyebab dapat
dipastikan, diduga, atau tidak terbukti; dan akhirnya apakah dapat disimpulkan
bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan
pemberian.
Berdasarkan data yang diperoleh, maka KIPI dapat diklasifikasikan dalam:
1. Induksi vaksin (vaccine induced). Terjadinya KIPI disebabkan oleh karena
faktor intrinsik vaksin terhadap individual resipien. Misalnya, seorang anak
menderita poliomielitis setelah mendapat vaksin polio oral.
2. Provokasi vaksin (vaccine potentiated). Gejala klinis yang timbul dapat terjadi
kapan saja, saat ini terjadi oleh karena provokasi vaksin. Contoh: Kejang
demam pasca imunisasi yang terjadi pada anak yang mempunyai predisposisi
kejang.
3. Kesalahan (pelaksanaan) program (programmatic errors). Gejala KIPI timbul
sebagai akibat kesalahan pada teknik pembuatan dan pengadaan vaksin atau
teknik cara pemberian. Contoh: terjadi indurasi pada bekas suntikan
disebabkan vaksin yang seharusnya diberikan secara intramuskular diberikan
secara subkutan.
4. Koinsidensi (coincidental). KIPI terjadi bersamaan dengan gejala penyakit lain
yang sedang diderita. Contoh: Bayi yang menderita penyakit jantung bawaan
mendadak sianosis setelah diimunisasi.

2.12 Imunisasi pada kelompok berisiko


Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI, harus diperhatikan apakah
resipien termasuk dalam
kelompok berisiko, yaitu:
1. Anak yang pernah mendapat reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan harus
segera dilaporkan kepada Pokja KIPI daerah untuk penanganan segera dan
Pokja KIPI pusat dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah
tersedia.
2. Bayi berat lahir rendah. Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan
sama dengan bayi cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi
kurang bulan adalah (1) titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih
rendah daripada bayi cukup bulan, (2) apabila berat badan bayi sangat kecil
(<1000 gram), imunisasi ditunda dan diberikan apabila bayi telah mencapai
berat 2000 gram atau bayi berumur 2 bulan, (3) imunisasi hepatitis B
diberikan pada umur 2 bulan atau lebih, kecuali apabila diketahui ibu
mengandung HbsAg, dan (4) apabila bayi masih dirawat setelah umur 2
bulan, maka vaksin polio diberikan secara suntikan (IPV) sehingga tidak
menyebabkan penyebaran virus polio melalui tinja.
3. Pasien imunokompromais. Keadaan imunokompromais dapat terjadi
sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai akibat pengobatan (pengobatan
kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Vaksinasi dengan
mempergunakan vaksin hidup merupakan indikasi kontra pada pasien
imuno-kompromais. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan
kortikosteroid dosis kecil dan dalam waktu pendek. Pada anak dengan
pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2mg/kg berat badan/hari atau
prednison 20 mg/hari selama 14 hari, maka imunisasi ditunda. Imunisasi
dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan, atau
3 bulan setelah kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin, imunisasi virus
hidup diberikansetelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan hambatan
pembentukan respons imun.
Himbauan WHO terhadap pemantauan KIPI tertuang pada pertemuan WHO-
SEARO tahun 1996 yang merekomendasikan bahwa:
1. Program pengembangan imunisasi (PPI) harus mempunyai perencanaan
rinci dan terarah
2. sehingga dapat memberikan tanggapan segera pada laporan KIPI.
3. Setiap KIPI berat harus dilakukan pemeriksaan oleh tim yang terdiri dari
para ahli epidemiologi dan profesi(di Indonesia Pokja KIPI) dan penemuan
harus.
4. disebarluaskan melalui jalur PPI dan media masa.
5. Program harus segera memberikan tanggapan secara cepat dan akurat
kepada media massa perihal KIPI yang terjadi.
6. Pelaporan KIPI tertentu misalnya abses, BCG-itis, harus dipantau demi
perbaikan cara penyuntikan yang benar di kemudian hari.
7. Program harus melengkapi petugas lapangan dengan formulir pelaporan
kasus, definisi KIPI yang jelas, instruksi yang rinci perihal jalur pelaporan.
8. Program perlu mengkaji laporan kasus KIPI dari pengalaman dunia
internasional, sehingga dapat memperkirakan besar masalah KIPI yang
dihadap.
Imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit infeksi yang paling efektif untuk
meningkatkan mutu kesehatan masyarakat akan diikuti dengan pemakaian vaksin
dalam dosis besar. Seiring dengan penggunaan vaksin secara masal, kejadian ikutan
pasca imunisasi akan semakin kerap dijumpai. Kewaspadaan dan ketelitian dalam
melaksanakan imunisasi akan mengurangi KIPI yang terjadi. Penanganan segera
disertai pelaporan dan pencatatan kasus KIPI akan sangat berguna dalam
memperbaiki pelaksanan program imunisasi dan meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap manfaat imunisasi di negara kita.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Imunoprofilaksis adalah pencegahan penyakit infeksi terhadap antibodi

spesifik.

2. Fungsi imunoprofilaksis yaitu meningkatkan kekebalan tubuh terhadap

penyakit dan mengurangi penularan penyakit.

3. Jenis-jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif.

4. Jenis – jenis vaksin yaitu vaksin hidup, vaksin mati, rekombinan, toksoid,

dan vaksin plasma DNA.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dian Nur Hadianti, S. e. (2014). Buku Ajar Imunisasi . Jakarta Selatan:


Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.Lombard M, Pastoret
PP, Moulin AM. A brief history of vaccines and vaccination; Rev. sci. tech.
Off. int. Epiz., 2007, 26 (1), 29-48
2. Lombard M, Pastoret PP, Moulin AM. A brief history of vaccines and
vaccination; Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2007, 26 (1), 29-48
3. Rahardjo,P.,Adi, (Tahun tidak tercantumkan), Imunoprofilaksis dan
Imunoterapi, Universitas Airlangga, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian
Mikrobiologi Veteriner, Laboratorium Virologi dan Imunologi.

4. Restuti Hidayani Saragih, J. H. (n.d.). Imunisasi Pada Orang Dewasa .


Jurnal Kesehatan, 9.

5. Safira. M, Peranginangin. M., Dan Saputri. R. A. G., 2021., Kejadian Ikutan


Pasca Imunisasi (KIPI)., Jurnal Mandala Pharmacon Indonesia, Vol 7.No 2.
ISSN : 2442-6032.
6. Sinto R, Rengganis I. Aspek Imunologi imunisasi. Dalam Djauzi S,
Rengganis I, Koesno , Ahani AR, editor: Pedoman Imunisasi Pada Orang
Dewasa tahun 2012. Jakarta: Badan Penerbit FK UI;2012
7. Suardana Kade. B. .I.,2017.,Diktat Imunologi Dasar Sistem Imun.,Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai