Anda di halaman 1dari 22

TUGAS MANDIRI

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM INTEGUMEN


KONSEP GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN TERKAIT INFEKSI

Oleh :
Brahmayda Wiji Lestari
(151.0006)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2017

1
DAFTAR ISI
No Hal
1 Halaman Cover . 1
2 Daftar isi 2
3 BAB I : LATAR BELAKANG . 3
4 BAB II : TINJAUAN TEORI
2.1 Teori Gangguan Sistem Integumen Terkait Infeksi ...... 4
2.2 Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Integumen Pada
Terkait Infeksi ... 8
2.3 Patient Safety 17
5 2.4 Legal Etik pada Gangguan Sistem Integumen Terkait Infeksi . 18
6 BAB III : PEMBAHASAN ... 20
7 Daftar Pustaka ... 21

2
BAB I
LATAR BELAKANG

Gangguan sistem integumen adalah suatu gangguan yang berhubungan


dengan jaringan penutup permukaan tubuh, seperti membran mukosa dan kulit,
yang sering terjadi dan bersifat relatif ringan (Nursalam).
Herpes zoster adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela-zooster yang juga mengakibatkan cacar air (varissela). Virus ini
menyerang kulit dan mukosa serta mempunyai tahapan penularan awal atau
infeksi primer yaitu cacar air yang di ikuti oleh suatu tahapan tidak aktif dimana
virus berdiam di ganglion posterior atau kadang-kadang anterior susunan saraf
tepi dan ganglion kranalis.
Penyakit herpes zoster cukup sering dijumpai di Indonesia namun masih
banyak masyarakat awam yang belum memahami apa sebenarnya penyakit herpes
zoster tersebut. Masing-masing suku di Indonesia menyebut herpes zoster sebagai
penyakit dengan nama beragam disertai kepercayaan turun temurun. Pemahaman
yang kurang terhadap penyakit herpes zoster di kalangan masyarakat kita
mengarah ke terapi atau penanganan yang tidak adekuat sehingga meningkatkan
risiko kecacatan dan komplikasi yang luas.
Secara ilmiah kulit adalah lapisan terluar yang terdapat diluar jaringan
yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh,
kulit merupakan organ yang paling luas permukaan yang membungkus seluruh
bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan
kimia.
Kulit atau integumen dapat terserang penyakit. Penyakit kulit adalah
penyakit infeksi yang paling umum, terjadi pada orang-orang dari segala
usia. Infeksi pada kulit dapat terjadi salah satunya karena infeksi bakteri. Sebagian
besar pengobatan infeksi kulit membutuhkan waktulama untuk menunjukkan
efek. Masalahnya menjadi lebih mencemaskan jika penyakit tidak merespon
terhadap pengobatan. Tidak banyak statistik yang membuktikan bahwa frekuensi
yang tepat dari penyakit kulit, namun kesan umum sekitar 10-20 persen pasien
mencari nasehat medis jika menderita penyakit pada kulit.

3
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 TEORI GANGGUAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN TERKAIT


INFEKSI

A. Definisi Infeksi Pada Kulit


Infeksi merupakan proses invansif oleh organisme dan berproliferasi
di dalam tubuh sehingga menimbulkan penyakit. Infeksi pada kulit dapat
ditimbulkan salah satunya karena bakteri.

B. Infeksi pada bakteri


Infeksi bakteri pada kulit bisa primer atau sekunder. Pada kedua
keadaan ini beberapa jenis mikroorganisme dapat terlibat, misalnya
Staphylococcus aureus atau streptokus.
1. Infeksi Kulit Primer
Infeksi kulit primer berawal dari kulit yang sebelumnya tampak
normal dan biasanya infeksi ini disebabkan oleh satu macam
mikroorganisme. Infeksi primer yang paling sering terjadi yaitu :
a) Impetigo bulosa
b) Folikulitis
c) Furunkel (bisul)
d) Karbunkel

2. Infeksi Kulit Sekunder


Infeksi kulit sekunder terjadi akibat kelainan kulit yang sudah
ada sebelumnya atau akibat disrupsi keutuhan kulit karena cedera atau
pembedahan.

4
C. Patofisiologi Infeksi Bakteri
Infeksi bakteri terjadi ketika terdapat inokulum bakteri yang
jumlahnya mencapai 100.000 organisme per ml eksudat, atau per gram
jaringan, atau per mm2 daerah permukaan. Itu kemudian ditunjang dengan
lingkungan yang rentan terhadap bakteri seperti air, elektrolit, karbohidrat,
hasil pencernaan protein, dan darah. Hilangnya resistensi pejamu terhadap
infeksi (sawar fisik yang terganggu, respon biokimiawi/humoral yang
menurun, respon selular yang menurun).
Setelah kulit terpapar bakteri, timbul respon inflamasi seperti rubor
(kemerahan), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri), dan kalor (panas).
Setelah itu rekasi inflamasinya menetap, sedangkan infeksinya
menghilang. Infeksi kemudian menyebar melalui beberapa cara, yaitu:
1. Langsung ke jaringan sekitar,
2. Sepanjang daerah jaringan,
3. Melalui sistem limfatik, dan
4. Melalui aliran darah.
Setelah infeksi menyebar, muncul abses. Abses ini merupakan respon
kekebalan tubuh terhadap infeksi yang muncul. Jika dirawat dengan baik,
akan muncul jaringan granulasi, fibrosis, dan jaringan parut. Namun jika
tidak ditangani secara baik, akan menyebabkan infeksi kronis, yakni
menetapnya organisme pada jaringan yang menyebabkan respon inflamasi
kronis (Pierce & Borley, 2007)

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Bakteri


Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi
bakteri pada manusia :
1. Adhesi
Reseptor permukaan pada sel-sel epitel dan struktur perekat
(adhesin) pada permukaan bakteri terlibat dalam reaksi adhesi
ini. Struktur perekat (adhesin) terdapat pada fimbriae/pili. Adhesin
mengandung faktor virulensi yang membuat rantai virulen bakteri. Bila
adhesin hilang, bakteri menjadi avirulen. Jadi, orang yang diimunisasi

5
dengan adhesin tertentu akan membuat tubuh membentuk kekebalan
terhadap infeksi bakteri tertentu.
2. Daya serang
Bakteri yang menyerang jaringan tubuh inang bisa menimbulkan
infeksi pada skala luas atau hanya infeksi lokal.Misalnya, infeksi luka
dapat menyebabkan septikemia streptokokus yang merupakan jenis
infeksi luas. Sedangkan infeksi abses Staphylococcus lebih bersifat
lokal.
3. Jenis toksin
Bakteri mampu menghasilkan toksin yang menyebabkan infeksi
pada tubuh :
Ada dua jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri, yaitu:
a) Eksotoksin
b) Endotoksin

E. Macam Penyakit Infeksi Bakteri Pada Kulit


1. Impetigo
Impetigo adalah infeksi bakteri akut yang terjadi secara
superfisial pada kulit sebagai vesikel serosa dan purulen yang
kemudian ruptur dan membentuk krusta emas. Serig terjadi pada anak.
Lokasi umumnya adalah wajah, tetapi dapat juga mengenai
ekstrimitas. Organisme penyebabnya adalah Streptococci -hemolitik
dan Staphylococci koagulase-positif.
2. Folikulitis
Folikulitis adalah infeksi bakteri kulit yang berasal dari dalam
folikel rambut. Organisme penyebabnya biasanya Staphylococci. Lesi
dasarnya berupa papula atau makula kemerahan yang mengitari folikel
rambut. Faktor pencetusnya meliputi higiene yang buruk dan maserasi.
Bila tidak diobati dapat meluas ke batang rambut dan lapisan kulit
yang lebih dalam. Pengobatan biasanya dengan antibiotik sistemik.

6
3. Bisul
Bisul disebabkan karena adanya infeksi bakteri Stafilokokus
aureus pada kulit melalui folikel rambut, kelenjar minyak, kelenjar
keringat yang kemudian menimbulkan infeksi lokal. Faktor yang
meningkatkan risiko terkena bisul, antara lain kebersihan yang buruk,
luka yang terinfeksi, pelemahan diabetes, kosmetika yangmenyumbat
pori dan pemakaian bahan kimia. Beberapa kasus furunkel
memerlukan terapi antibiotik sistemik.
4. Karbunkel
Karbunkel adalah abses stafilokokal besar yang mengeularkan
cairan melalui lubang pori-pori pada permukaan kulit. Hampir setiap
kasus karbunkel memerlukan terapi antibiotik sistemik.
5. Kusta atau Lepra
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan
olehMycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama
menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang,
dan testis dan pembuluh darah. Penyakit ini disebut juga
penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen .

F. Komplikasi
Pada kasus folikulitis, furunkel dan karbunkel dapat menyebabkan
terjadinya pembentukan jaringan parut, bakteremia atau selulitis, dan
penyebaran kuman yang meluas dapat menyebabkan cacat pada katup
jantung atau arthritis pada persendian. Selulitis sendiri juga bisa mengarah
pada terjadinya sepsis (selulitis yang tidak diobati) dan juga penyebaran
meluas ke lebih banyak jaringan tubuh. Selulitis pada ekstremitas bawah
lebih besar kemungkinan menjadi tromboflebitis pada pasien lansia.

7
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM
INTEGUMEN TERKAIT INFEKSI HERPERZ ZOOSTER

A. DEFINISI
Herpes Zooster adalah suatu penyakit yang membuat sangat nyeri
(rasa sakit yang amat sakit) di satu bagian tubuh atau bersifat unilateral.
Herpes zooter merupakan radang kulit akut dan mempunyai sifat khas
yaitu vesikel-vesikel yang tersusun multiple bergerombol (herpertiformis)
sepanjang persyarafan sensorik kulit sesuai peta dermatom.

B. KLASIFIKASI
1. Herpes zoster oftalmikus
2. Herpes zoster fasialis
3. Herpes zoster brakialis
4. Herpes zoster torakalis
5. Herpes zoster lumbalis
6. Herpes zoster sakralis

C. ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella zoster . virus
varicella zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan diameter
100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein virion yang lengkap
dengan diameternya 150 200 nm, dan hanya virion yang terselubung
yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan
oleh bahan organic , deterjen, enzim proteolitik, panas dan suasana Ph
yang tinggi. Masa inkubasinya 14 21 hari.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Masa inkubasi antara 7-12 hari, biasanya didahului gejala prodromal
(gejal awal) baik yang sistemik berupa demam, pusing, malaise
maupun gejala prodromal lokasi seperti nyeri otot-tulang, gatal, pegal.
2. Dalam 1-2 hari dapat diikuti rasa gatal, terbakar atau nyeri

8
3. timbul kemerahan setempat yang disertai edama pada daerah
dermatom disusul timbulnya vesikel yang berkelompok diatas kulit
eritema dan bersifat unilateral.
4. Mukosa juga dapat terkena dengan bentuk sariawan dan luka. Serta
dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional
5. Bila kondisi fisik penderita sangat buruk misalnya penderita kanker,
HIV dan AIDS, vesikel dapat mengandung darah disebut herpes
zooster hemoragik
Herpes zooter oftalmikus terjadi karena virus menyerang cabang I
nervus trigeminus yang menuju mata. Keadaan ini menimbulkan radang
kornea sampai kebutaan. Disamping itu virus yang menyerang cabang II
dan III nervus trigeminus menyebabkan kelainan kulit pada daerah
persarafannya.2,6 Berbeda dengan virus yang menyerang saraf kranial
nervus fasialis dan otikus dapat menimbulkan sindrom Ramsay-Hunt
dimana terdapat gejala paralisis otot muka (Belly palsy).

E. KOMPLIKASI
1. Neuralgia pasca herpetik (NPH) dapat timbul pada umur di atas umur
40 tahun, persentasenya 10-15%. Makin tua penderita makin tinggi
presentasenya.
2. Vesikel yang berubah mejadi jaringan nekrotik serta meninggalkan
bekas sikatrik muncul pada penderita dengan defisiensi imunitas,
infeksi HIV, dan keganasan.
3. Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus. Terjadi akibat perjalanan
virus dari ganglion sensorik ke sistem yang berdekatan. Paralisis
timbul dalam 2 minggu sejak muncul lesi pertama. T \api umumnya
akan sembuh spontan.
4. Infeksi dapat menyerang organ dalam misalnya paru-paru, hepar, dan
otak

9
F. PATOFISIOLOGI
Pada episode infeksi primer, virus dari luar masuk ke tubuh hospes
(penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA
hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan
kelainan pada kulit. Virua akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke
ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Infeksi
hasil reaktivasi virus varicella yang menetap di ganglion sensori setelah
infeksi chickenpox pada masa anak anak. Sekitar 20 % orang yang
menderita cacar akan menderita shingles selama hidupnya dan biasanya
hanya terjadi sekali. Ketika reaktivasi virus berjalan dari ganglion ke kulit
area dermatom.

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes diagnostik untuk membedakan dari impetigo, kontak dermatitis
dan herps simplex :
1. Tzanck Smear : mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat
membedakan herpes zoster dan herpes simplex.
2. Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk
membedakan diagnosis herpes virus
3. Immunofluororescent : mengidentifikasi varicella di sel kulit
4. Pemeriksaan histopatologik
5. Pemerikasaan mikroskop electron
6. Kultur virus
7. Identifikasi anti gen / asam nukleat VVZ
8. Deteksi antibody terhadap infeksi virus

H. PENATALAKSANAAN
1. Pengobatan
a) Pengobatan topical
- Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok
kalamin untuk mencegah vesikel pecah.

10
- Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan
larutan antiseptik atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x
sehari selama 20 menit
- Apabila lesi berkrusta dan agak basah dapat diberikan salep
antibiotik (basitrasin / polysporin ) untuk mencegah infeksi
sekunder selama 3 x sehari
b) Pengobatan sistemik
Drug of choice- nya adalah acyclovir yang dapat
mengintervensi sintesis virus dan replikasinya. Meski tidak
menyembuhkan infeksi herpes namun dapat menurunkan keparahan
penyakit dan nyeri. Dapat diberikan secara oral, topical atau
parenteral. Pemberian lebih efektif pada hari pertama dan kedua
pasca kemunculan vesikel. Namun hanya memiliki efek yang kecil
terhadap postherpetic neuralgia.
Antiviral lain yang dianjurkan adalah vidarabine (Ara A, Vira
A) dapat diberikan lewat infus intravena atau salep mata.
Kortikosteroid dapat digunakan untuk menurunkan respon inflamasi
dan efektif namun penggunaannya masih kontroversi karena dapat
menurunkan penyembuhan dan menekan respon immune.
Analgesik non narkotik dan narkotik diresepkan untuk
manajemen nyeri dan antihistamin diberikan untuk menyembuhkan
priritus.
2. Penderita dengan keluhan mata
Keterlibatan seluruh mata atau ujung hidung yang menunjukan
hubungan dengan cabang nasosiliaris nervus optalmikus, harus
ditangani dengan konsultasi opthamologis. Dapat diobati dengan
salaep mata steroid topical dan mydriatik, anti virus dapat diberikan.
3. Neuralgia Pasca Herpes zoster
- Bila nyeri masih terasa meskipun sudah diberikan acyclovir pada
fase akut, maka dapat diberikan anti depresan trisiklik ( misalnya :
amitriptilin 10 75 mg/hari)

11
- Tindak lanjut ketat bagi penanganan nyeri dan dukungan emosional
merupakan bagian terpenting perawatan
- Intervensi bedah atau rujukan ke klinik nyeri diperlukan pada
neuralgi berat yang tidak teratasi.

I. PENGKAJIAN
1. Identitas Penderita Dan Identita Orang Tua
(Mencakup: Nama, Jenis Kelamin, Umur, Suku, Agama, Pekerjaan,
Alamat)
2. Keluhan Utama
a) Nyeri
b) Sensasi gatal
c) Lesi kulit
d) Kemerahan
e) Fatige
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a) Riwayat menderita penyakit cacar
b) Riwayat immunocompromised (HIV/AIDS, leukimia)
c) Riwayat terapi radiasi
4. Riwayat Penyakit Keluarga.
Ada atau tidak yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.
5. Riwayat Pengobatan.
Tanyakan, apakah Pernah berobat ke dokter umum? Apakah
keluhan berkurang setelah diberi obat?.
6. Riwayat Alergi.
Kaji apakah ada riwayat alergi makanan atau obat atau jenis alergi
lainnya.
7. Riwayat Psikososial
a) Kondisi psikologis pasien
b) Kecemasan
c) Respon pasien terhadap penyakit

12
8. Pola Kehidupan
a) Aktivitas dan Istirahat
Pasien mengeluh merasa cemas, tidak bisa tidur karena nyeri,
dan gatal.
b) Pola Nutrisi dan Metabolic
Pada Herpes Zoster oftalmik, pasien mengalami penurunanan
nafsu makan , karena mengeluh nyeri pada daerah wajah dan pipi
sehingga pasien tidak dapat mengunyah makanan dengan baik
karena disebabkan oleh rasa nyeri.
c) Pola Aktivitas dan Latihan
Dengan adanya nyeri dan gatal yang dirasakan, terjadi
penurunan pola saat aktifitas berlebih ,sehingga pasien akan
membatasi pergerakan aktivitas .
d) Pola Hubungan dan Peran
Pasien akan sedikit mengalami penurunan psikologis, isolasi
karena adanya gangguan citra tubuh.

9. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
- Tingkat Kesadaran
- TTV
b) Head To Toe
- Kepala
Wajah : ada lesi (ukuran > 1 , bentuk :benjolan berisi air ,
penyebaran : merata dengan kulit )
- Rambut
Warna rambut hitam, tidak ada bau pada rambut, keadaan
rambut tertata rapi.
- Mata (Penglihatan)
Adanya Nyeri tekan, ada penurunan penglihatan.
- Hidung (Penciuman)

13
Septum nasi tepat ditengah, tidak terdapat secret, tidak
terdapat lesi, dan tidak terdapat hiposmia.
- Telinga (Pendengaran)
Inspeksi
Daun telinga : tidak terdapat lesi, kista epidemoid, dan keloid
Lubang telinga : tidak terdapat obstruksi akibat adanya benda
asing.
Palpasi
Tidak terdapat edema, tidak terdapat nyeri tekan pada otitis
media dan mastoidius.
- Mulut dan gigi
Mukosa bibir lembab, tidak pecah-pecah, warna gusi merah
muda, tidak terdapat perdarahan gusi, dan gigi bersih.
- Abdomen
Inspeksi
Bentuk : normal simetris
Benjolan : tidak terdapat lesi
Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan
Tidak terdapat massa / benjolan
Tidak terdapat tanda tanda asites
Tidak terdapat pembesaran hepar
- Integument
Ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri,
Edema di sekitar lesi,dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi
sekunder.
Akral hangat
turgor kulit normal/ kembali <1 detik
terdapat lesi pada permukaan kulit wajah.
J. DIAGNOSA MEDIS
1. Gangguan nyeri b/d proses peradangan

14
2. Gangguan integritas kulit b/d proses peradangan.

15
K. INTERVENSI
No Diagnose Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri akut b/d proses Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat nyeri , frekuensi, dan reaksi nyeri yang
peradangan keperawatan selama 3x24 jam dialami pasien
diharapkan nyeri berkurang 2. Ajarkan tekhnik relaksasi kepada pasien
dengan kriteria hasil : 3. Berikan analgetik sesuai indikasi medis
1. Nyeri berkurang dan 4. Observasi TTV
meningkatnya kenyamanan 5. Ajarkan pola istirahat/tidur yang adekuat
perasaan senang secara fisik dan 6. Kaji pola tidur pasien
psikologis. 7. Ciptakan lingkungan nyaman dan tenang
2. Kebutuhan tidur pasien 8. Batasi pengunjung
tercukupi dan pasien dapat tidur
degan nyenyak.
2 Kerusakan integritas kulit b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Observasi TTV
proses peradangan. keperawatan selama 3x24 jam 2. Observasi Leukosit setiap hari
diharapkan kerusakan integritas 3. Monitor kulit akan adanya kemerahan
kulit berkurang dengan kriteria 4. Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan kulit agar
hasil : tetap bersih dan kering
1. Nyeri berkurang 5. Kaji tingkat nyeri , frekuensi, dan reaksi nyeri yang
2. Suhu tubuh kembali normal dialami pasien

16
(dari 38,5 menjadi 36-37,5c) 6. Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan
3. Leukosit kembali normal dari luka
12.000 menjadi 4.000-10.000 7. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam
sekali

17
2.3 PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien (Pasient safety) adalah suatu sistem dimana
membuat asuhan keperawatan pada pasien lebih aman. Sistem tersebut
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
(Paduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Depkes R.I 2006).
Tujuan pasient safety menurut Joint Commission International :
1. Mengidentifikasi pasien dengan benar.
2. Meningkatkan komunikasi secara efektif.
3. Meningkatkan keamanan dari obat yang perlu diwaspadai.
4. Memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar pembedahan pasien.
5. Mengurangi risiko infeksi dari pekerjaan kesehatan
6. Mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.

2.4 LEGAL ETIK PADA GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN PADA


ANAK
Prinsip Prinsip Legal Dan Etik dalam keperawatan adalah :
1. Autonomi ( Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan
memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu
yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Beneficience ( Berbuat Baik )
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang

18
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
3. Justice ( Keadilan )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Non-maleficience ( Tidak Merugikan )
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan
psikologis pada klien.
5. Veracity ( Kejujuran )
Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap
klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
6. Fidellity (Metepati Janji)
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien.
7. Confidentiality ( Kerahasiaan )
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.

19
8. Accountability ( Akuntabilitas )
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali.
9. Informed Consent
Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang
berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed
consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat
didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

20
BAB III
PEMBAHASAN

Herpes zoster adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela-zooster yang juga mengakibatkan cacar air (varissela). Virus ini
menyerang kulit dan mukosa serta mempunyai tahapan penularan awal atau
infeksi primer yaitu cacar air yang di ikuti oleh suatu tahapan tidak aktif dimana
virus berdiam di ganglion posterior atau kadang-kadang anterior susunan saraf
tepi dan ganglion kranalis.
Sejak jaman dahulu, madu telah digunakan untuk mengobati banyak
penyakit. Saat ini, madu telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri yang sangat
baik untuk banyak patogen luka. Madu memiliki aktivitas antibakteri yang sangat
baik terhadap Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan berbagai
spesies pseudomonas umumnya terkait dengan luka dan membakar infeksi. Madu
dressing yang digunakan umumnya untuk mengelola kulit dan membakar infeksi
luka. Honeys juga memiliki aktivitas antijamur. Madu memiliki aktivitas antivirus
terhadap virus Rubella, dan madu digunakan secara topikal untuk mengobati
herpes berulang lesi simpleks. Dalam penelitian ini kami diputar dua jenis madu
untuk aktivitas antivirus terhadap isolat klinis virus varicella zoster.
Selama berabad-abad, madu telah digunakan dalam pengobatan
tradisional. Di masa lalu, madu memiliki mendapatkan perhatian yang signifikan
dari komunitas ilmiah untuk mengeksplorasi potensi aplikasi untuk mengobati
berbagai kondisi klinis. Madu memiliki berbagai macam sifat terapeutik termasuk
anti-inflamasi, antibacterila, antijamur dan aktivitas antineoplastik. [24, 25] Hasil
penelitian kami menunjukkan kehadiran dalam madu senyawa yang memiliki
aktivitas anti-VZV, identitas dari yang belum ditentukan. Madu nyaman untuk
aplikasi pada kulit, tersedia dan murah, dan berpotensi obat yang sangat baik
untuk mengobati zoster ruam di negara-negara berkembang di mana obat antivirus
yang mahal atau tidak mudah tersedia.

21
DAFTAR PUSTAKA

Hawks, Jane Hokanson. Joyke M. Black. (2014). Keperawatan Medical Bedah


Management Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan Ed 08 buku
2.Singapore : Elsevier.
Judith, W. M. (2015). Diagnosis Keperawatan : NANDA, Intervensi NIC, Hasil
NOC Ed 10. Jakarta : EGC.
Shahzad, Aamir dan Randall J Cohrs. (2012). In Vitro Activity of Honey Against
Varicella zoster virus (VZV): A translational medicine study for potential
remedy for shingles. NIH-PA Author Manual Script

Taylor, Cynthia M. (2010). Diagnosis Keperawatan : Dengan Asuhan


Keperawatan Ed 10. Jakarta : EGC.

22

Anda mungkin juga menyukai