Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MANDIRI

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL


KONSEP GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL TERKAIT
TRAUMA

Oleh :
Brahmayda Wiji Lestari
(151.0006)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2017

1
DAFTAR ISI
No Hal
1 Halaman Cover ………………………………………………………… 1
2 Daftar isi ……………………………………………………………….. 2
3 BAB I : LATAR BELAKANG ………………………………………... 3
4 BAB II : TINJAUAN TEORI
2.1 Teori Gangguan Sistem Muskuloskeletal Terkait Trauma ……........ 4
2.2 Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Muskuloskeletal
Terkait Trauma …………………………………………………….. 13
2.3 Patient Safety ………………………………………………………. 23
2.4 Legal Etik pada Gangguan Sistem Muskuloskeletal Terkait Trauma 23
5 BAB III : PEMBAHASAN …………………………………………..... 26
6 Daftar Pustaka ………………………………………………………...... 28

2
BAB I
LATAR BELAKANG

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf


halusinasi menuju industrialisasitentunya akan mempengaruhi peningkatan
mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi
peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor khususnya
bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan”
arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan
kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut
sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Soegiri di ruang Orthopedi
periode Juli 2011 s/d Desember 2012berjumlah 323 yang mengalami gangguan
muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur panggul atau pelvis presentase
sebesar 5% dan fraktur femur sebesar 20%.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah
dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi
fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361).
Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi
yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 TEORI GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL TERKAIT


TRAUMA “FRAKTUR”
1. ANATOMI TULANG
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada ba intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang
disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan
garam kalsium.
Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya :
a. Tulang panjang (Femur, Humerus)
b. Tulang pendek (Carpals)
c. Tulang pendek datar (Tengkorak)
d. Tulang yang tidak beraturan (Vertebrata)
e. Tulang sesamoid
Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar-osteoblas, osteosit dan osteoklas.
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan
matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi
dasar (glukosaminoglikan, asam polisakarida) dan proteoglikan). Matriks
merupakan kerangka dimana garam-garam mineral anorganik
ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dalam pemeliharaan
fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang ). Osteoklas
adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam
penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang.
Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa.
Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan
matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella terdapat osteosit,
yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut

4
kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan dengan
pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).
Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga
sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang
kanselus. Osteoklast , yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga
sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan
pada permukaan tulang).
Struktur tulang dewasa terdiri dari 30 % bahan organik (hidup) dan
70 % endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih
dari 90 % serat kolagen dan kurang dari 10 % proteoglikan (protein plus
sakarida). Deposit garam terutama adalah kalsium dan fosfat, dengan
sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-garam
menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki
kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan).
Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan
kompresi (kemampuan menahan tekanan).
Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat
berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan
tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang ditentukan
oleh rangsangn hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang
dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel
pembentuk tulang yaitu osteoblas.
Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas
berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks
tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid.
Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid
dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian
osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel
tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang, osteosit dimatriks
membentuk tonjolan-tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan
osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopik di tulang.

5
Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap
tulang, sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam
nonkristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu
dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan interstisium, dan
darah.

2. FISIOLOGI TULANG
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum
tulang belakang (hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fo

6
2.2 KONSEP PENYAKIT GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
TERKAIT INFEKSI “OSTEOMIELITIS”

A. DEFINISI
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak
langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).

B. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut
mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan
ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang
itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan
hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

C. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan tempat (fraktur humerus, tibia, clavicular, ulna, radius dan
cruris, dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur :
- Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).

7
- Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
- Fraktur komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
- Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
- Fraktur multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
- Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi
kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
- Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang
yang juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan):
- Fraktur tertutup
- Fraktur terbuka
6. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme
trauma
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral
yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang..

8
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
- At axim : membentuk sudut.
- At lotus : fragmen tulang berjauhan.
- At longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
10. Fraktur patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

9
Fragmen sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5
cm (1 sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

E. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik

10
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari
tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang
yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa
penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan
beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi
pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.

G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi awal
a. Kerusakan arteri
b. Kompartement syndrome
c. Fat embolism syndrome
d. Infeksi
e. Avaskuler nekrosis
f. Shock
g. Osteomyelitis
2. Komplikasi dalam waktu lama
a. Delayed union (penyatuan tertunda)
b. Non union (tak menyatu)
c. Malunion

H. PENATALAKSANAAN

11
Ada 4 tujuan utama dalam penanganan fraktur yaitu :

1. Untuk menghilangkan rasa nyeri :

a. Pembidaian

b. Pemasangan gips

2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari


fraktur

a. Penarikan (Traksi)

b. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang


logam pada pecahan-pecahan tulang

3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali

4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula

12
2.3 ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL TERKAIT KEGANASAN “OSTEOMIELITIS”

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
- Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
- Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
- Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa
sakit terjadi.
- Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
- Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

13
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis
akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
- Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani

14
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan
hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian
alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan
apakah klien melakukan olahraga atau tidak
- Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien
bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi
dan mobilitas klien.
- Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada
kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola
Tidur dan Istirahat.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.

15
- Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain
- Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
- Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan body image)
- Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain
tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
- Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami
klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak, lama perkawinannya

16
- Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan
fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien
bisa tidak efektif.
- Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan
keterbatasan gerak klien

2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
- Keadaan umum: Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital
tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
1) Sistem Integumen : Terdapat erytema, suhu sekitar daerah
trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
2) Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris,
tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
3) Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
4) Muka : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak
oedema.
5) Mata : Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika
terjadi perdarahan)

17
6) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
7) Hidung : Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping
hidung.
8) Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
9) Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
10) Paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba
sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
- Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
11) Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
- Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
12) Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
- Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
- Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
- Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
13) Inguinal-Genetalia-Anus : Tak ada hernia, tak ada pembesaran
lymphe, tak ada kesulitan BAB.

3. Pemeriksaan Diagnostik

18
a. X-Ray
b. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
c. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
d. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
e. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak.

B. DIAGNOSA MEDIS
1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka
operasi.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

19
C. INTERVENSI
No Diagnose Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
dengan spasme otot, gerakan keperawatan selama 2x24 jam termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
fragmen tulang, edema, cedera diharapkan nyeri berkurang kualitas dan faktor presipitasi
jaringan lunak, pemasangan dengan kriteria hasil : 2. Observasi reaksi nonverbal dan ketidaknyamanan
traksi, stress/ansietas, luka 1. Mampu mengkontrol nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
operasi. 2. Mampu melaporkan bahwa mengetahui pengalaman nyeri pasien
nyeri berkurang dengan 4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi, napas dalam.
menggunakan manajemen nyeri. 5. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, tindakan nyeri tidak berhasil
intensitas, frekuensi, dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam batas normal
2 Gangguan mobilitas fisik b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Ajarkan dan berikan dorongan pada pasien untuk
kerusakan rangka keperawatan selama 3x24 jam melakukan program latihan secara rutin.
neuromuskuler, nyeri, terapi diharapkan pasien mampu 2. Ajarkan teknik ambulasi dan perpindahan yang aman
restriktif (imobilisasi). bergerak dan tidak ada gangguan untuk pasien dan keluarga.

20
mobilitas fisik, dengan kriteria 3. Sediakan alat bantu untuk pasie seperti kruk, kursi
hasil : roda, dan walker.
1. Klien meningkat dalam aktivitas 4. Dorong pasien melakukan latihan untuk memperkuat
fisik. anggota tubuh
2. Mengerti tujuan dari 5. Kolaborasi dengan ahli terapis fisik untuk program
peningkatan mobilitas. latihan.
3. Memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan
dan kemampuan berpindah.
4. Memperagakan penggunaan alat
Bantu untuk mobilisasi (walker)
3 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
ketidakadekuatan pertahanan keperawatan selama 3x24 jam 2. Monitor kerentanan terhadap infeksi
primer (kerusakan kulit, diharapkan resiko infeksi tidak 3. Berikan perawatan kulit/rawat luka pada pasien
taruma jaringan lunak, timbul, dengan kriteria hasil : 4. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
prosedur invasif/traksi tulang). 1. Klien bebas dari tanda dan 5. Instruksikan pasien untuk minum antibiotic sesuai
gejala infeksi. resep.
2. Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya

21
infeksi.
3. Jumlah leukosit dalam batas
normal.
4. Menunjukkan perilaku hidup
sehat

22
2.4 PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien (Pasient safety) adalah suatu sistem dimana
membuat asuhan keperawatan pada pasien lebih aman. Sistem tersebut
meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko
(Paduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit, Depkes R.I 2006).
Tujuan pasient safety menurut Joint Commission International :
1. Mengidentifikasi pasien dengan benar.
2. Meningkatkan komunikasi secara efektif.
3. Meningkatkan keamanan dari obat yang perlu diwaspadai.
4. Memastikan benar tempat, benar prosedur, dan benar pembedahan pasien.
5. Mengurangi risiko infeksi dari pekerjaan kesehatan
6. Mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada pasien.

2.5 LEGAL ETIK PADA GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL


PADA LANSIA
Prinsip – Prinsip Legal Dan Etik dalam keperawatan adalah :
1. Autonomi ( Otonomi )
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu
berpikir logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa
dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan
memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai oleh orang
lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau
dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara
rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu
yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan
otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Beneficience ( Berbuat Baik )
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan
kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang

23
lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara
prinsip ini dengan otonomi.
3. Justice ( Keadilan )
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapai yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek
dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan
kesehatan.
4. Non-maleficience ( Tidak Merugikan )
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan
psikologis pada klien.
5. Veracity ( Kejujuran )
Prinsip ini berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap
klien dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip ini
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
6. Fidellity (Metepati Janji)
Prinsip ini dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan
komitmennya terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan
menepati janji serta menyimpan rahasia pasien.
7. Confidentiality ( Kerahasiaan )
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus
dijaga privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien.

24
8. Accountability ( Akuntabilitas )
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali.
9. Informed Consent
“Informed Consent” terdiri dari dua kata yaitu “informed” yang
berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan
“consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi “informed
consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah
mendapat informasi. Dengan demikian “informed consent” dapat
didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.

25
BAB III
PEMBAHASAN

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, biasanya disebabkan oleh


trauma atau tenaga fisik. Nyeri merupakan keluhan yang paling umum pada
pasien dengan fraktur. Salah satu intervensi yang dapat mengurangi nyeri patah
tulang adalah memberikan kompres dingin menggunakan handuk dimasukkan ke
dalam es batu dicampur dengan air dan menaruhnya di atas kulit yang dilakukan
selama 10 menit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh
terapi kompres dingin terhadap nyeri pasca operasi pada pasien fraktur ORIF.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata usia responden pada
penelitian ini adalah 46,20 tahun dengan usia minimal responden 26 tahun dan
usia maksimal 75 tahun. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 6 responden
yang mengalami nyeri ringan dan 4 responden yang mengalami nyeri sedang.
Responden yang berusia maksimal yaitu 75 tahun termasuk responden yang
mengalami nyeri ringan dan responden yang berusia minimal yaitu 26 tahun
termasuk responden yang mengalami nyeri sedang.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin
laki-laki (80%) lebih banyak dibandingkan perempuan (20%). Dapat disimpulkan
bahwa laki-laki lebih banyak menderita fraktur jika dibandingkan dengan
perempuan. Laki-laki juga cenderung lebih aktif dalam beraktivitas dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya fraktur pada
laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Pengaruh Pemberian Terapi Kompres Dingin Terhadap Nyeri, Rata-rata
penurunan nilai nyeri pada responden setelah diberikan terapi kompres dingin
yaitu sebesar -0,8. Hasil uji Wilcoxon untuk intensitas nyeri sebelum dan sesudah
intervensi menunjukkan nilai p -value sebesar 0,005 atau nilai p-value kurang dari
α (0,05), artinya ada perbedaan rata-rata intensitas nyeri sebelum dan sesudah
diberikan kompres dingin. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh terapi kompres
dingin terhadap nyeri. Namun pada hasil penelitian juga didapatkan bahwa 2
responden tidak mengalami penurunan nyeri setelah diberikan intervensi. Dua
responden yang tidak mengalami penurunan nyeri berusia 56 tahun dan 67 tahun,
dimana kisaran usia tersebut termasuk dalam dewasa tua. Responden yang tidak

26
mengalami penurunan nyeri dipengaruhi oleh faktor usia. Usia dapat
mempengaruhi nyeri dikarenakan semakin tinggi usia semakin adaptif seseorang
terhadap nyeri yang dirasakan.
Pemberian kompres dingin dapat meningkatkan pelepasan endorfin yang
memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi serabut saraf yang
memiliki diameter besar sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui
serabut kecil. Mekanisme penurunan nyeri dengan pemberian kompres dingin
berdasarkan atas teori gate control. Teori ini menjelaskan mekanisme transmisi
nyeri. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan
menutup mekanisme pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan
pasien mempersepsikan sensasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen seperti endorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.
Semakin tinggi kadar endorphin seseorang, semakin ringan rasa nyeri yang
dirasakan.
Terdapat pengaruh terapi kompres dingin terhadap nyeri pada pasien post
operasi fraktur ORIF. Kompres Dingin dapat meredakan nyeri pasien post operasi
fraktur ORIF. Perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang terapi
kompres dingin yang dapat meredakan nyeri pada pasien post operasi fraktur
ORIF. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk menambahkan
kelompok kontrol dan menggunakan media kompres dingin lain seperti ice gel
dan kirbat es.

27
DAFTAR PUSTAKA

Hawks, Jane Hokanson. Joyke M. Black. (2014). Keperawatan Medical Bedah


Management Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan Ed 08 buku
1.Singapore : Elsevier.
Judith, W. M. (2015). Diagnosis Keperawatan : NANDA, Intervensi NIC, Hasil
NOC Ed 10. Jakarta : EGC.
Taylor, Cynthia M. (2010). Diagnosis Keperawatan : Dengan Asuhan
Keperawatan Ed 10. Jakarta : EGC.
anugerah, et al. (2017). Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Nyeri Post Operasi
ORIF. e-Jurnal Pustaka Kesehatan, vol 05. no 02.

28

Anda mungkin juga menyukai