Anda di halaman 1dari 116

PATOGENESIS INFEKSI OLEH BAKTERI

Oleh
Alit Adi Sanjaya

2.1.1 Penularan infeksi


Bakteri (dan juga mikroorganisme lain) beradaptasi pada lingkungan, termasuk
hewan dan manusia, tempat bakteri hidup dan bertempat tinggal. Dengan
melakukan itu, bakteri memastikan pertahanan hidupnya dan meningkatkan
kemampuan penularan. Dengan menimbulkan infeksi asimtomatik atau penyakit
ringan, daripada kematian inang, mikroorganisme yang hidup secara normal pada
manusia meningkatkan kemampuan penularannya dari orang ke orang. Bebrapa
bakteri secara umum menimbulkan penyakit pada manusia terdapat mula-mula pada
hewan dan menginfeksi manusia secra insidental. Sebagai contoh, spesies
Salmonella dan Campylobacter secara khas menginfeksi hewan dan ditularkan
kemanusia melalui produk makanan. Bakteri lain menimbulkan infeksi karena
kekurang-hatian, suatu kesalahan dalam siklus normal organisme, organisme tidak
beradaptasi dengan manusia, dan penyakit yang mereka timbulkan mungkin berat.
Sebagai contoh, Yersinia pestis (pes) memiliki siklus hidup yang telah menetap
dengan baik pada hewan pengerat dan kutu hewan pengerat, dan penularan oleh
kutu kepada manusia merupakan sikap kekurang-hatian; Bacillus anthracis (antraks)
hidup di lingkungan, kadang-kadang menginfeksi hewan, dan ditularkan ke manusia
melalui produk seperti bulu dari hewan yang terinfeksi. Spesies Clostridium sering
ditemukan di lingkungan dan ditularkan ke manusia melalui pencernaan (misalnya,
gastroenteritris C. perfringens dan botulisme C. botulinum) atau ketika luka
terkontaminasi oleh tanah (misalnya, gangren gas C. perfringens dan tetanus C.
tetani).
Manifestasi klinik dari penyakit (misalnya, diare, batuk, sekret genital) yang
dihasilkan oleh mikroorganisme sering kali mengakibatkan penularan bakteri. Contoh
sindroma klinik dan bagaimana hal ini meningkatkan penularan bakteri penyebab
adalah sebagai berikut: Vibrio cholerae dapat menyebabkan diare hebat yang dapat
mengkontaminasi garam dan air segar; air minum atau makanan laut seperti tiram
dan kepiting yang terkontaminasi; minum air atau makan makanan laut yang
terkontaminasi dapat menimbulkan infeksi dan penyakit. Serupa dengan itu,
kontaminasi produk makanan dengan sampah mengandung E. coli dapat
menyebabkan diare akibat penularan bakteri. Mycobacterium tuberculosis
(tuberkulosis) secara alami hanya menginfeksi manusia; menimbulkan penyakit
pernafasan dengan batuk dan pembentukan aerosol, mengakibatkan penularan dari
orang ke orang.
Banyak bakteri ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui tangan.
Seseorang dengan S. aureus yang dibawa pada nares anterior dapat menggosok
hidungnya, memindahkan staphylococcus pada tangan, dan menyebarkan bakteri ke
bagian lain tubuh atau ke orang lain, tempat timbul infeksi. Banyak patogen
oportunis yang menyebabkan infeksi nosocomial ditularkan dari satu pasien ke
pasien lain melalui tangan petugas rumah sakit. Karena itu, mencuci tangan
merupakan hal penting dalam pengendalian penyakit.
Pintu masuk bakteri patogen ke dalam tubuh yang paling sering adalah tempat
dimana selaput mukosa bertemu dengan kulit: saluran pernafasan (jalan napas
bagian atas dan bawah), saluran pencernaan (terutama mulut), saluran kelamin,
saluran kemih. Daerah abnormal selaput mukosa dan kulit (misalnya luka potong,
luka bakar, dan luka lainnya) juga sering menjadi tempat masuk. Kulit dan selaput
mukosa normal memberikan pertahanan primer terhadap infeksi. Untuk
menimbulkan penyakit, phatogen harus menembus pertahanan pada tubuh inang.

2.1.2 Proses infeksi


Sekali masuk ke dalam tubuh, bakteri menempel atau melekat pada sel inang,
biasanya pada sel epitel. Setelah bakteri menetap pada tempat infeksi pertama,
bakteri berkembangbiak dan menyebar langsung melalui jaringan atau lewat sistem
getah bening menuju aliran darah. Infeksi ini (bakteremia) dapat bersifat sementara
atau menetap. Bakteremia memungkinkan bakteri untuk menyebar luas dalam tubuh
dan mencapai jaringan yang cocok bagi perkembangbiakannya.
Pneumonia pneumococcus adalah contoh proses infeksi. S. pneumonia dapat
dibiakan dari nasofaring pada 5 – 40% orang sehat. Kadang-kadang, Pneumococcus
dari nasofaring teraspirasi ke dalam paru-paru; aspirasi paling sering terjadi pada
orang yang lemah dan dalam keadaan tertentu, misalnya koma, yaitu saat reflek
batuk yang normal berkurang. Infeksi berkembang dalam ruang udara terminal
paru-paru pada orang yang tidak mempunyai antibodi pelindung terhadap
polisakarida kapsuler jenis Pneumococcus. Perkembangbiakan Pneumococcus dan
peradangan yang ditimbulkannya mengakibatkan pneumonia. Kemudian
Pneumococcus memasuki saluran getah bening paru-paru dan masuk ke dalam
aliran darah. Antara 10 - 20% orang yang menderita pneumonia pneumococcus
telah mengalami bakteremia saat diagnosis pneumonia dibuat. Begitu bakteremia
terjadi, Pneumococcus dapat menyebar ke tempat infeksi sekunder, (misalnya cairan
serebrospina, valvula jantung, ruang sendi). Komplikasi utama pneumonia
pneumococcus adalah meningitis, endokarditis, atau artritis septik.
Proses infeksi pada kolera meliputi, pemakanan Vibrio cholerae, penarikan
kemotaktik bakteri ke epitel usus, pergerakan bakteri dengan flagel pada ujungnya,
dan penetrasi lapisan mukosa pada permukaan intestinal. Vibrio cholera, melekat
pada permukaan sel epitel diperantarai oleh fili dan alat pelekat lain. Produksi toksin
kolera mengakibatkan aliran klorida dan air ke dalam lumen usus, menyebabkan
diare dan ketidakseimbangan elektrolit.

PATOGENESIS

A. BAKTERI

Tidak semua bakteri yang menyebabkan infeksi diperantarakan oleh lingkungan. Bakteri
memang berasal dari lingkungan dan mungkin telah membentuk koloni, yang dalam waktu yang
lama tidak merugikan tubuh, sebelum kemudian menyebabkan sakit pada individu yang
bersangkutan. Begitu setelah lahir, pada permukaan kulit, usus, dan vagina terjadi kolonisasi bakteri
yang berguna bagi bayi tersebut. Bakteri ini dikenal sebagai bakteri komensal. Apabila resistensi
tubuh berkurang, bakteri komensal dapat masuk ke dalam jaringan dan akan menyebabkan
penyakit. Bakteri lain penyebab penyakit dalam kondisi normal tidak ditemukan dalam tubuh
manusia.
Tidak semua bakteri mampu menyebabkan penyakit. Kelompok yang mempunyai kemampuan
menyebabkan sakit disebut bakteri patogen dan kemampuan menyebabkan sakit tersebut terkait
dengan virulensinya.
Bakteri menyebabkan sakit melalui produksi enzim dan racunnya yang merusak jaringan
penderita. Bakteri juga dapat merusak jaringan secara tidak langsung dengan cara menyebabkan
reaksi pertahanan yang berlebihan yang berkemampuan merusak jaringan. Sebagai contoh,
rusaknya sebagian besar jaringan pada tuberkulosis paru yang terutama disebabkan reaksi tubuh
terhadap bakteri penyebab, daripada terhadap enzim atau racun yang diproduksi bakteri.
Lesi bakteri biasanya terbatas di dalam jaringan tertentu. Bila bakteri ditemukan di dalam darah,
penderita tersebut menderita bakteriemia. Bila bakteri dalam pembuluh darah tersebut berkembang
biak dan menyebabkan sakit, penderita tersebut menderita septikemia. Keadaan ini sangat
berbahaya dan mempunyai kemungkinan besar berakhir dengan kematian.
Bakteri terdiri atas bermacam-macam jenis, yang dibagi-bagi sesuai dengan
karakteristik/sifatnya yang menyebabkan terjadinya bermacam-macam penyakit. Klasifikasi yang
tepat dari bakteri yang menyebabkan infeksi, merupakan bagian yang penting, sehingga antibiotik
yang paling tepat segera digunakan, tanpa penundaan, dan karenanya epidemiologi infeksi dapat
dimonitor. Klasifikasi bakteri sebagian besar didasarkan bentuk bakteri, misalnya basili ( kecil, garis )
dan kokus ( bulat lonjong ) serta sifat pengecatan misalnya Gram negatif dan Gram positif. Jadi akan
dapat ditemukan basil dan koken gram negatif serta basil dan koken gram positif. Disamping itu ada
kategori lain yaitu, spirokhaeta dan mikrobakterium. Beberapa jenis bakteri mampu hidup dalam
kondisi host dengan membentuk spora.
Walaupun bakteri ditemukan cukup banyak, tetapi pencegahan dan pengobatan infeksi-infeksi
karena bakteri tersebut telah sangat berhasil dalam dunia kedokteran modern. Keberhasilan
pencegahan termasuk diantaranya peningkatan secara umum kebersihan ( air minum, pembuangan
limbah, dsbnya ), juga penemuan dan pengembangan vaksin-vaksin yang spesifik dan antibiotik yang
banyak jenis dan kemampuannya. Kejadian yang mengikuti kegunaan yang besar pada mikrobiologi
medis, imunisasi dan khemoterapi antimikrobial, ialah meningkatnya insiden infeksi rumah sakit
yang merugika ( nosocomial ). Organisme penyebab infeksi ini sering resisten terhadap antibiotika
spektrum luas dan sulit untuk dibersihkan.
Pengaruh yang merugikan ( patogenesitas ) dari bakteri, diperantarai oleh :
 Pili dan adesin
 Toksin
 Agresin
 Akibat yang tidak diinginkan dari sistem imun

BAKTERI PILI DAN ADENOSIN


Pili atau fimbrae adalah tonjolan kecil pada permukaan beberapa bakteri yang dilapisi molekul
yang telah dikenal disebut adesin. Pili dengan lapisan adesinnya mempunyai dua fungsi, yaitu :
 Interaksi seksual antara bakteri : pili seks
 Perlekatan ke bagian tubuh : pili adesi
Pili adesi merupakan alat dimana bakteri melekat pada permulaan tubuh. Keadaan ini
memungkinkan bakteri melekat erat dan mempengaruhi tempat tersebut. Pili merupak struktur
yang ditemukan terutama pada bakteri gram negatif ( misalnya enterobakteri yang menyebabkan
infeksi gastrointestinal, neiseria yang menyebabkan infeksi genital dan meningitis ). Beberapa
bakteri gram positif juga mempunyai pili, terutama β-hemolitik streptokokus, yang memungkinkan
untuk melekat erat pada mukosa faring.
Faktor host ikut berperan pada beberapa individu yang lebih rentan terhadap jenis infeksi
tertentu, termasuk berbagai bentuk ( polimorfism ) glikoprotein pada permukaan sel, dimana pili
yang diselubungi adesin melekat. Termasuk disini substansi golongan darah.

TOKSIN BAKTERI
Dikenal dua jenis toksin ( racun ), yaitu :
 Eksotoksin
 Endotoksin
Endotoksin. Toksin ini bertanggung jawab terhadap efek bakteri, baik lokal maupun yang jauh.
Toksin dapat dinetralisir dengan antibodi yang spesifik.
Eksotoksin. Merupakan enzim yang dikeluarkan oleh bakteri yang mempunyai efek lokal maupun
yang jauh. Efek toksin cenderung lebih spesifik dibandingkan endotoksin. Contoh pengaruh
eksotoksin bakteri, ialah :
 Kolitis pseudomembran karena Clostridium difficile
 Neuropati dan kardiomiopati karena Corynebacterium diphtheriae
 Tetanus karena tetanospasmin yang diproduksi Clostridium Tetani
 Sindroma kulit melepuh karena Staphylococcus aureus
 Diare karena pengaktifan cAMP oleh Vibrio cholerae
Gen yang secara langsung menyebabkan sintesis eksotoksin biasanya merupakan bagian intrinsik
dari genome bakteri. Dalam beberapa keadaan, bakteri memerlukan gen dalam bentuk plasmid,
merupakan bagian lengkung DNA yang dapat membawa informasi genetik dari satu bakteri ke
bakteri lainnya. Ini juga merupakan mekanisme dimana bakteri dapat menjadi resisten terhadap
antibiotika. Gen yang mempunyai kode untuk eksotoksin dapat juga dipindahkan oleh phages. Ini
adalah virus yang mempengaruhi bakteri. Toksin yang diproduksi oleh Coryhebacterium diphteriae
diberi kode pada gen, dibawa ke bakteri oleh phage. Turunan dari ini serta organisme lain yang
melakukan sintesis eksotoksin dikenal sebagai toksigenik.
Kadang-kadang penyakit merupakan hasil dari penghancuran eksotoksin sebelum terbentuk.
Mekanisme ini ditemukan pada kasus dengan keracunan makanan. Bentuk yang khas, tetapi sangat
jarang, yaitu botulism karena kontaminasi makanan dengan neurotoksin dari Clostridium botulinium.
Toksin yang bekerja pada usus seperti ini disebut sebagai enterotoksin.
Endotoksin. Merupakan lipopolisakarid dari dinding sel bakteri gram negatif ( misalnya Eschericia
coli ). Toksin dilepaskan pada waktu bakteri mati. Paling poten yaitu lipid A, aktivator yang kuat dari :
 Complement cascade-menyebabkan kerusakan pada infeksi
 Coagulation cascade-menyebabkan kaogulasi intravaskular yang luas
 Interleukin-1 ( IL-1 ) dilepaskan oleh leukosit dan menyebabkan demam
Bila efek ini sangat hebat, melingkupi seluruh proses infeksi, penderita tersebut mengalami syok
endotoksik. Penderita menjadi demam dan hipotensi, dan mungkin disertai dengan kegagalan
jantung dan ginjal. Koagulasi intravaskular yang luas akan diperlihatkan dengan kerusakan dan
perdarahan yang lama pada tempat suntikan intravena, yang juga diikuti manifestasi internal yang
lebih hebat. Perdarahan adrenal bilateral, terutama akibat infeksi meningokoken yang hebat (
sindrom Waterhouse-Friderichsen ) merupakan akibat yang sangat mengkhawatirkan pada keadaan
syok endotosik.

AGRESIN
Agresin merupakan enzim bakterial yang mengakibatkan efek lokal, berupa perubahan kondis
jaringan sehingga mempermudah tumbuh dan menyebarnya organisme. Pada keadaan ini agresin
menghambat atau berlawanan dengan resistensi tubuh penderita. Sebagai contoh :
 Koagulase dari Staphylococcus aureus : menyebabkan penggumpalan fibrinogen untuk membuat
pertahanan/batas antara tempat infeksi dengan reaksi radang
 Streptokinase dari Stretococcus pyogenes, menghancurkan fibrin sehingga memungkinkan
penyebaran organisme dalam jaringan
 Kolagenase dan hialuronidase, menghancurkan substansi jaringan ikat, sehingga memberi fasilitas
untuk infiltrasi organisme ke dalam jaringan
Beberapa enzim bakteria mempunyai kegunaan yang besar pada pengobatan, termasuk
restriction enzymes ( endonuklease ) yang berguna untuk mengahancurkan DNA pada tempat yang
spesifik, menjadi fragmen yang lebih kecil, terutama untuk pemisahan elektroforetik. Sedangkan
streptokinase digunakan untuk melunakkan dan menghancurkan trombus pada pembuluh darah
penderita trombosis.
AKIBAT YANG TIDAK DIINGINKAN DARI RESPONS IMUN
Bakteri secara tidak langsung dapat merusak jaringan melalui respons imun yang merugikan
penderita. Untungnya mekanisme ini jarang ditemukan, dan sebagian besar respons imun terhadap
bakteri sangat membantu penderita.
Respons imun dapat merusak jaringan penderita, melalui tiga cara yaitu :
 Ikatan kompleks imun, terjadinya ikatan antigen dari bakteri dengan antibodi penderita, yang
membentuk ikatan kompleks imun dalam darah. Kompleks imun ini biasanya dapat dibuang oleh sel
fagositik yang berada pada anyaman vaskuler sinusoid hati dan limpa sehingga tidak merugikan
penderita. Walaupun begitu, pada keadaan tertentu kompleks imun dapat tersangkut pada dinding
pembuluh darah, yang bila letaknya pada glomerulus ginjal akan menyebabkan glomerulonefritis.
Bila pada kapiler daerah kulit akan menyebabkan kutaneus vaskulitis.
 Reaksi silang imun ( immune cross-reaction ). Pada beberapa penderita mempunyai antigen pada
jaringan tubuhnya yang serupa dengan antigen pada beberapa bakteri. Akibatnya antibodi dari
respons pertahanan tubuh akan mengadakan reaksi silang dengan antigen yang dikandung jaringan
normal.
 Imunitas sel perantara ( cell mediated immunity ). Besarnya kerusakan jaringan yang ditemukan
pada tuberkulosis tidak mencerminkan kepada organisme penyebab, tetapi kepada respons imun
penderita terhadap organisme. Tanpa adanya imunitas pada penderita, Mycrobacterium tuberculosis
menyebabkan terbentuknya banyak granulasi kecil dan kemudian menyebar luas, yang berakibat
fatal. Dengan kehadiran respons imun penderita, apabila organisme meningkatkan serangannya,
akan merangsang reaksi penghancuran jaringan dengan hebat ; di dalamnya, organisme penyebab
jarang ditemukan.

BEBERAPA PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH BAKTERI


BAKTERI KLASIFIKASI PENYAKIT
Stafilokokus Kokus gram positif
S. aureus 1.Melepuh, karbunkel,
impetigo kulit; abses organ
akibat septikemia
2.Toksin stafilokokus
menyebabkan sindroma
kulit terbakar, keracunan
makanan, dan syndroma
syok toksik
S. epidemidis Penyakit kulit komensal
pada penderita supresi
imunologik
Streptokokus Kokus gram positif
S. piogenes β-hemolitik 1.Selulitis, otitis media,
faringitis
2.Toksin streptokokus
penyebab demam skarlet
3.Imun kompleks
glomerulonefritis
S. pneumoniae α-hemolitik Pneumonia, otitis media
S. viridans α-hemolitik Infeksi bakteri komensal
mulut endokarditis pada
kerusakan katup yang terjadi
sebelumnya
Neisseria Kokus gram negatif
N. gonorrhoeae Infeksi veneral traktus
genital
N. meningitidis Meningitis
Korinebakteria Basil gram positif
C. diphtheriae Faringitis disertai toksin
penyebab miokarditis dan
paralisis
Klostridia Anaerob basil gram positif
C. tetani Luka infeksi dengan produksi
eksotoksin penyebab
kekakuan otot ( tetanus )
Produksi gas dan toksin
C. perfringens pada infeksi luka iskemik (
gas gangren )
Toksin penyebab kolitis
C. difficile pseudomembran
Bakteriodes Basil anaerob gram negatif Infeksi luka
Enterobakteri Basil gram negatif
Shigela Kolitis disertai diare
Salmonela Enteritis disertai diare
kadang-kadang dengan
komplikasi septikaemia
Mikobakteria Basil tahan asam/alkohol
M. leprae Radang kronis, sifat yang
khas dan keluarannya
ditentukan oleh respons
imun penderita ( leprosi )
Radang kronis, sifat yang
M. tuberculosis khas dengan keluarannya
ditentukan oleh respons
imun penderita (
tuberkulosis )

B. VIRUS

Virus adalah partikel yang sangat kecil penyebab infeksi yang terdiri dari inti asam nukleid dan
penutup protein. Secara garis besar virus dibagi menjadi virus RNA dan DNA, sesuai dengan jenis inti
asam nukleid.
Virus dapat tetap di luar sel, tetapi selalu memerlukan proses biokimia sel untuk membelah diri.
Dibandingkan dengan bakteri, virus lebih memperhatikan kekhususannya terhadap jaringan.
Kemampuan mempengaruhi jenis sel tergantung pada ikatan virus dengan substansi yang ada pada
permukaan sel. Sebagai contoh, virus penyebab hilangnya daya imunologik pada manusia ( HIV :
Human Immunodeficiency Virus ) yang dikenal juga sebagai virus AIDS, secara selektif akan
mempengaruhi subpopulasi T-limfosit yang memperlihatkan CD4 ( CD = Cluster Differentiation
Antigen ) suatu subtansi pada permukaan sel.
Sebagian virus setelah memasuki tubuh manusia, ikut beredar dalam peredaran darah untuk
kemudian sampai pada organ lain. Kejadian ini disebut sebagai viraemia. Sebagai contoh, virus polio
yang masuk ke dalam tubuh melalui traktus gastrointestinal, yang akhirnya sampai ke motor neuron
spinalis dengan cara viraemia kemudian menyebabkan kerusakan sel saraf dan terjadi paralisis.
Kelainan patologi karena virus dapat berupa :
 Kerusakan jaringan secara cepat, dan langsung disertai respons radang
 Infeksi virus yang lambat akan menyebabkan kerusakan jaringan yang kronis
 Tranformasi sel ke bentuk tumor
Karenanya manifestasi klinik dari infeksi virus mudah berubah. Infeksi virus yang lambat,
diketahui atau dikenal sebagai kelainan neurodegeneratif.

VIRUS DNA DAN RNA


Sifat virus berbeda-beda tergantung kepada kandungan asam nukleidnya. Tidak seperti sel, virus
mengandung salah satu DNA atau RNA, tidak pernah keduanya.
Virus dengan inti DNA mampu hidup di dalam inti sel yang dimasuki, mengambil keuntungan dari
mekanisme biokimia disana untuk mempertahankan DNA dari sel host. DNA dari beberapa virus
dapat terintegrasi ke dalam DNA sel host. Keadaan ini memungkinkan infeksi virus DNA menjadi
laten, diaktifkan kembali dalam kondisi tertentu, dan mungkin menghasilkan transformasi neoplastik
dari sel.
Virus RNA mempunyai kecepatan pembelahan yang tinggi karena RNA polimerasenya, yang
mengkopi viral genome, tidak mampu mendeteksi dan memperbaiki kesalahan transkripsi. Mutasi ini
mengubah antigenitas, memungkinkan virus RNA sering mempengaruhi imunitas host. Beberapa
virus RNA mengandung reverse transcriptase : enzim ini menghasilkan turunan DNA virus yang
kemudian dapat integrasi dalam genome sel host.

SPESIFITAS JARINGAN
Tidak seperti bakteri, virus tidak mampu memperbanyak diri di luar sel. Karenanya, faktor kunci
untuk menentukan seseorang akan terinfeksi ialah kemampuan virus untuk masuk ke dalam sel. Ada
dua mekanisme yang mungkin :
 Masuk melalui interaksi dengan reseptor seluler yang spesifik
 Fusi secara langsung dengan membran sel
Banyak virus yang mempunyai spesifitas jaringan yang tinggi, menyebabkan infeksi pada organ-
organ atau jenis sel tertentu saja. Ini dikenal sebagai tropism, dan bermacam-macam hasil dari fakta
bahwa virus pertama kali harus mengikat reseptor spesifik yang ada pada beberapa jenis sel.
Beberapa reseptor terdistribusi secara luas dan memungkinkan virus menginfeksi jenis-jenis sel yang
luas macamnya.

PATOGENESIS KERUSAKAN SEL


Virus dapat merusak jaringan melalui berbagai mekanisme :
 Efek sitopatik yang langsung. Sel yang berbatasan dengan virus dapat mengalami kerusakan. Efek ini
dapat diperlihatkan pada kultur sel, dimana setelah dieramkan bersama virus, efek sitopatik dapat
dilihat yang ditandai dengan pembengkakan sel yang diikuti dengan kematian sel. Efek ini
diperantarai oleh kerusakan membran sel, yang akan menyebabkan gangguan fatal pada
keseimbangan ion yang mempengaruhi konsentrasi elektrolit ekstraseluler. Sebagai contoh dari efek
sitopatik yang langsung ialah virus hepatitis A.
 Induksi imun respons. Beberapa jenis virus tidak secara langsung merusak sel, tetapi membentuk
antigen baru yang terletak pada permukaan sel. Antigen baru ini dikenal sebagai benda asing oleh
sistem imun penderita, sehingga sel tersebut dihancurkan. Konsekuensi fenomena ini adalah apabila
respons imunnya lemah atau tidak kuat, sel yang menyebabkan antigen baru tersebut tidak
menyebabkan sakit. Hal ini menguntungkan bagi penderita, karena sel yang terkontaminasi tersebut
tidak dihancurkan. Sebagai akibatnya ialah penderita tanpa keluhan sakit, kelihatan sehat tetapi ia
bertindak sebagai karier pembawa virus, yang berkemampuan untuk menulari orang. Sebagai
contoh yaitu virus hepatitis B.
 Penyatuan gen virus ke dalam genome host. Merupakan fenomena yang didasari pada kemampuan
beberapa virus, merangsang terjadinya tumor. Gen DNA virus dapat langsung bersatu ke dalam
genome host, sedangkan gen RNA virus perlu bantuan enzim dengan kerja berlawanan untuk
memproduksi DNA yang dapat dimasukkan ke dalam sel. Virus RNA dengan aktivitas berlawanan
disebut retrovirus.

BEBERAPA PENYAKIT YANG DISEBABKAN OLEH VIRUS


PENYAKIT JENIS VIRUS GAMBARAN
AIDS ( acquired immune HIV ( human Pengaruhi CD4 T-helper
deficiency syndrome ) immunodeficiency virus ) ( lymphocytes, menyebabkan
RNA retrovirus ) pembesaran kelenjar limfe,
supresi imun, infeksi
oportunistik
Coryza ( demam ) Rhinovirus ( RNA ) Infeksi mukosa hidung
Herpes genitalis Virus herpes simplek II DNA Infeksi genital karena
hubungan kelamin
Herpes stomatitis Virus herpes simplek I DNA Infeksi laten berulang pada
ganglia saraf, menyebabkan
vesikel sekitar mulut
Infeksi mononukleosis ( Virus Epstein-Barr ( EB ) ( Demam, faringitis,
radang kelenjar ) group herpes DNA ) pembesaran kelenjar limfe
menyeluruh.
Virus EB berkaitan dengan
limfoma Burkiti ( malaria
sebagai ko-faktor ) dan
karsinoma nasofaring
Measles Paramiksovirus ( RNA ) Demam, bercak kulit, radang
traktus respiratonus. Dapat
fatal bila bersama malnutrisi
Parotitis Paramiksovirus ( RNA ) Demam, radang kel. liur,
kadang-kadang pankreatitis
dan orchitis
Poliomielitis Enterovirus ( RNA ) Permulaan infeksi usus,
kemudian viraemia yang
mengenai sel komu anterior
menyebabkan paralisis
Rabies Rhabdovirus ( RNA ) Ensefalomielitis akut

C. RAGI DAN JAMUR

Ragi dan jamur terdiri dari berbagai campuran mikroorganisme penyebab penyakit. Penyakit
yang disebabkan ragi dan jamur disebut sebagai mikosis.
Infeksi jamur lebih sedikit dibandingkan infeksi karena bakteri atau virus. Walaupun begitu,
diasumsikan merupakan hal yang penting pada penderita dengan kegagalan imunitas. Pada keadaan
tersebut, jamur ( yang biasanya tidak menyebabkan sakit ) akan mengambil keuntungan karena
mempunyai kemungkinan menyerang penderita yang mempunyai pertahanan tubuhnya kurang.
Keadaan seperti ini dikenal sebagai infeksi oportunistik, yang bekerja sama dengan bakteri dan virus
lainnya.
Reaksi jaringan yang biasa ditemukan terhadap ragi dan jamur ialah proses radang, yang kadang-
kadang mempunyai tanda spesifik dengan hadirnya granuloma dan juga eosinofil.
MIKOTOKSIN
Mikotoksin merupakan toksin yang diproduksi oleh jamur. Mikotoksin yang mempunyai
relevansi medis penting ialah aflatoksin yang diproduksi oleh Aspergilus flavus. Makanan yang
disimpan pada kondisi hangat yang basah dapat terinfeksi oleh jamur ini, sehingga mengkontaminasi
makanan dengan aflatoksin. Binatang yang makan dengan dosis yang sangat banyak akan menderita
kerusakan hati yang akut. Pada manusia masalah yang besar adalah meningkatnya resiko karsinoma
hepatoselulare akibat makan dalam jumlah yang relatif kecil.

BEBERAPA PENYAKIT KARENA JAMUR DAN RAGI


ORGANISME KLASIFIKASI PENYAKIT
Spesies Aspergillus Jamur Jamur yang umum disekitar,
asma alergika, infeksi ruang
paru ( mycetoma ),
pneumonia pada host
dengan supresi imun
Candida albicans Ragi Kuman komensal oral dan
vagina menyebabkan
kelainan lokal atau sistemik (
septikaemia ) pada host
dengan supresi imun,
diabetes, dan bila lokal flora
bakteri berubah karena
antibiotika

D. PARASIT

Perbedaan parasit denganagen penyebab infeksi yang lain iakah parasit mempunyai organisme
yang hidup yang mempunyai nukleus uniseluler atau multiseluler yang mempertahankan hidupnya
dari host. Merupakan hal yang biasa, apabila parasit berada di dalam tubuh tanpa menimbulkan
suatu penyakit.
Parasit merupakan agen penyakit yang mempunyai bermacam-macam jenis yang sangat
berbeda. Disebabkan siklus hidupnya perlu kondisi lingkungan tertentu, yang pada beberapa hal,
diperlukan host lain maka infeksi parasit secara umum lebih sering ditemukan di daerah tropik.
Parasit dibagi lagi menjadi beberapa jenis :
 Protozoa. Organisme uniseluler
 Helminth. Cacing ( cacing gelang, cacing pita )
Parasit, terutama helminth, mempunyai siklus hidup yang kompleks dan menakjubkan dan untuk
siklus hidupnya memerlukan lebih dari satu host. Selanjutnya di dalam satu host, mungkin juga
mengenai lebih dari satu organ. Manusia dapat sebagai host pilihan utama ( definitive hosts ) atau
sebagai host perantara ( inadvertment intermediate hosts ).
Reaksi jaringan terhadap parasit sangat bermacam-macam. Bila reaksi radang terjadi, secara
khas akan terlihat hadirnya eosinofil dan terjadinya granuloma. Dua jenis parasit yang berkaitan
dengan terjadinya tumor ialah Skistosoma hematobium dengan kanker vesika urinaria dan Klonorkis
sinensis dengan kanker vesika felea.

 1. KONSEP UMUM PENYAKIT, NEOPLASIA, dan INFEKSI Departemen Fisiologi


Fakultas Kedokteran USU
 2. • Sehat dan sakit adalah konsep yang relatif• Tidak ada pemisahan yang jelas diantara
keduanya• Berbagai derajat sehat dan sakit membentuk suatu spektrum. Pd satu ujung
menunjukkan tingkat kesehatan yg tinggi, pd ujung yg lain menunjukkan tingkat terparah
penyakit
 3. Health and Disease A Continuum…• Good Health Serious IllnessWe are all somewhere
on the line between health and illness.
 4. Definisi sehat:• Menurut WHO: a state of complete physical, mental, and social well-
being, and not merely the absence of disease or infirmity• Menurut kamus epidemiologi: a
state of equilibrium between man and physical, emotional and social environment,
compatible with full functional activity of the person
 5. Konsep keadaan normal• Penentuan konsep tentang normal bersifat kompleks• Memiliki
sejumlah variasi tertentu ok:1. Adanya perbedaan dalam susunan genetik2. Adanya
perbedaan dalam lingkungan hidup dan interaksinya dgn lingkungan3. Adanya perbedaan
parameter fisiologis krn adanya pengendalian dlm fungsi mekanisme tubuh
 6. Konsep tentang penyakit• Penyakit: perubahan dalam individu yg menyebabkan
parameter kesehatan mereka berubah di luar batas-batas normal• Jika beberapa struktur dan
fungsi tubuh menyimpang dr normal sampai suatu keadaan dimana keadaan ini tetap dirusak
atau terancam→ ada penyakit
 7. • Persepsi subyektif penyakit→kegagalan untuk melakukan kegiatan sehari-hari dengan
nyaman• Penyakit tdk melibatkan perkembangan bentuk kehidupan baru secara lengkap →
tjd distorsi proses-proses kehidupan normal yg ada pd individu → proses fisiologis yg sdh
dirubah• Agen penyakit menular → menginvasi tbh manusia → perubahan2 pd tbh manuia
tsb → penyakit
 8. Perkembangan penyakitETIOLOGI Penetapan sebab atau alasan dr suatu fenomena
Identifikasi faktor2 yg menimbulkan  Basil TBC → agen etiologipenyakit tertentuMisal
pd penyakit TBC: Faktor2 etiologi lain: Umur Keadaan gizi Pekerjaan
 9. PATOGENESIS• Perkembangan atau evolusi penyakit• Mekanisme dgn jalan mana
suatu agen penyakit akhirnya membawa kelainan- kelainan yg ditemukan• Rangkaian
peristiwa fenomena tertentu dan aspek-aspek waktu timbulnya penyakit• Penyakit bkn
merupakan peristiwa yg statis tetapi merupakan gejala dinamis dgn irama dan riwayat
alamiah tersendiri
 10. MANIFESTASI PENYAKIT• Gejala-gejala penyakit: yang dirasakan oleh penderita
→ subyektif. Misal: nausea (mual), rasa tdk enak, rasa sakit• Tanda-tanda penyakit: yang
dapat diidentifikasi oleh pengamat → obyektif. Misal: demam, kulit yg memerah, teraba
massa / benjolan• Lesi: perubahan struktur yg dpt ditunjukkan, yg timbul dalam
perkembangan penyakit (makroskopis/mikroskopis)
 11. • Sequele: akibat dr suatu penyakit. Misal: sekuel dr proses radang dlm jaringan adalah
terbentuknya jaringan parut• Komplikasi: proses baru atau proses terpisah yg dpt timbul
sekunder krn beberapa perubahan yg ditimbulkan oleh keadaan aslinya
 12. Faktor-faktor yg mempengaruhipenyakit• Faktor ekstrinsik → dari luar penyebab
penyakit: Agen infeksi Trauma mekanis Bahan kimia beracun Radiasi Suhu yg ekstrim
Masalah gizi Stres psikologik
 13. • Faktor intrinsik → dari dalam, merupakan sifat-sifat dari dalam individu tsb : Umur
Jenis kelamin Genetik / genom
 14. Gen dan Kromosom• Sel membelah → untaian kromosom• Kromosom mengandung
banyak molekul DNA yg tersusun dalam urutan tertentu• Gen adalah subunit dr kromosom
→ bgn DNA yg menentukan, mengendalikan perkembangan satu sifat bawaan tertentu
(tinggi badan, bentuk wajah, warna kulit,dll)
 15. • Genotip: susunan gen-gen dalam sel dari seorang individu• Fenotip: ekspresi luar dari
genotip atau penampilan luar dari seorang individu• Kariotip: susunan kromosom yang dapat
dilihat dan dipelajari
 16. Ekspresi Fenotip dari Kelainan Genetik• Kelainan kromosom:1. Kelainan jumlah
kromosom2. Kelainan struktur kromosomKelainan Jumlah kromosom : bisa lebih atau
kurangTrisomi: 3 kromosomMonosomi: 1 kromosom
 17. Kromosom (genotip) Nama umum Gambaran klinis (fenotip)Trisomi 21 Sindrom
Down Profil wajah datar,47 XX, +21 mulut terbuka, lidah47 XY, +21 menonjol keluar,
tangan pendek dan lebar, sering terdapat cacat jantung dan hipotoni, retardasi mentalTrisomi
18 Sindrom Edward Aterm, berat badan47 XX, +18 lahir rendah, labio dan palato skizis,
retardasi47 XY, +18 motorik dan mental, jarang dapat hidup lebih dari beberapa
bulanTrisomi 13 Sindrom Patau Aterm, berat badan47 XX, +13 lahir rendah, hidung lebar,
deformitas pada47 XY, +13 mata, polidaktili, sindaktili, daya tahan hidup sangat rendah
 18. Kelainan struktur kromosom :Kromosom pecah dan pecahannya hilang atau melekat
pada kromosom lain → translokasiJika total materi genetik dalam sel tetap sama seperti
dalam sel dengan kromosom normal → tidak akan menimbulkan sindroma klinis
 19. Abnormalitas Gen• Ekspresi fenotip dari gen dapat terjadi dalam 4 macam pola
keturunan:1. Dominan otosomal2. Resesif otosomal3. Dominan terkait X4. Resesif terkait X
 20. • Sifat bawaan dominan ditunjukkan oleh huruf besar• Sifat bawaan resesif ditunjukkan
oleh huruf kecil• Ada 3 kemungkinan dr genotip: AA, Aa, dan aa• AA, aa = homozigot• Aa =
heterozigot• X0X = resesif, karier• X0X0 = dominan (jarang)
 21. Contoh-contoh gangguan gen tunggalDominan  Penyakit ginjal polkistik
Hiperkolesterolemi familialotosomal: Osteogenesis imperfektaResesif otosomal: Anemia sel
sabit Albinisme Buta warnaTerkait X: Distrofi otot duchene Hemofilia
 22. Keadaan-keadaan poligenik• Sifat-sifat bawaan yg terjadi dalam keluarga tetapi tidak
mengikuti pola mendelian atau penurunan gen tunggal → oleh karena hasil interaksi beberapa
gen yg terpisah dan berbagai faktor lingkungan (multifaktorial)• Contoh: Hipertensi esensial
DM Penyakit arteri koroner Skizofrenia
 23. • Upaya pencegahan: oleh karena pengaruh lingkungan → pembatasan diet, perubahan
gaya dan pola hidup, kebiasaan merokok, dll

Imunitas ataukekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel
tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme
akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta
menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat
dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi
patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang
melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota
kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga.
Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan
sistem komplemen. Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-
baru ini, dengan adanya evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak
jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan
dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata
mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat
memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama pertemuan di masa
depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima adalah basis dari vaksinasi.

Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah mikroba yang masuk.
Mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya meliputi

1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur,
urin, asam lambung serta lisosom dalam air mata
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme
3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel polimorfonuklear (PMN)
dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast, protein fase akut, interferon, sel
NK(natural killer) dan mediator eosinofil
4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Secara umum
pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus, protozoa, jamur dan beberapa
bakteri intraselular fakultatif terutama membutuhkan imunitas yang diperani oleh sel
yang dinamakan imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular dan toksin
membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan imunitas
humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan nonimunologik
(nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam pengontrolan terjadinya penyakit
infeksi.

Invasi Patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon imun.
Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat
menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.Bakteri sering
menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai, contohnya
dengan menggunakan sistemtipe II sekresi. Sebagai kemungkinan, patogen dapat
menggunakan sistemtipe III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang
menyediakan saluran langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik
tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk mematikan pertahanan.

Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun
bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen
mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari kontak
langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen intraselular
termasuk virus, racun makanan, bakteriSalmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan
malaria (Plasmodium falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain,
sepertiMycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh
komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang mengurangi respon imun atau
mengarahkan respon imun ke arah yang salah. Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk
melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi
yang berhasil, sepertiPseudomonas aeruginosa kronik danBurkholderia cenocepacia
karakteristik infeksi sistik fibrosis. Bakteri lain menghasilkan protein permukaan yang melilit
pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif; contoh termasukStreptococcus
(protein G),Staphylococcus aureus (protein A), danPeptostreptococcus magnus (protein L).

Mekanisme Respon Tubuh Terhadap Serangan Mikroba


Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Tinggalkan komentar

Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam beberapa jenjang
tahapan. Tahapan awal bersifat nonspesifik atau innate, yaitu berupa respons
inflamasi. Tahapan kedua bersifat spesifik dan didapat, yang diinduksi oleh komponen
antigenik mikroba. Tahapan terakhir adalah respons peningkatan dan koordinasi
sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik yang diatur oleh berbagai produk
komponen respons inflamasi, seperti mediator kimia.

Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein
tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang
teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen
patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen –
baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun
yang berkembang biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi
penyakit.

Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada
proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang
dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses
perlawanan berlangsung
Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tubuh yaitu
kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang siap melumat
organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh
antibodi.Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama, terdapat
beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :

 sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan
 sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang lain
merespon nyaris seluruh antigen.
 sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk “mengingat” imunogen penyebab
infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem
kekebalan turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Respon inflamasi dan fagositosis dari tuan rumah untuk menyerang bakteri yang segera dan
nonspesifik. Sebuah respon, imun spesifik akan segera ditemui oleh bakteri
invasif. Kekuatan imun adaptif dari antibodi-mediated imunitas (AMI) dan imunitas
diperantarai sel (CMI) yang dibawa ke dalam presentasi antigen bakteri ke sistem imunologi.

Meskipun AMI adalah respon imunologi utama efektif terhadap bakteri ekstraseluler, respon
defensif dan protektif terhadap bakteri intraselular utama adalah CMI. Pada permukaan
epitel, pertahanan kekebalan utama tertentu dari tuan rumah adalah perlindungan yang
diberikan oleh antibodi IgA sekretori. Setelah permukaan epitel telah ditembus, namun
pertahanan kekebalan dari AMI dan CMI yang ditemukan. Jika ada cara bagi organisme
untuk berhasil melewati atau mengatasi pertahanan imunologi, maka beberapa bakteri
patogen mungkin telah “ditemukan” itu. Bakteri berkembang sangat cepat dalam kaitannya
dengan tuan rumah mereka, sehingga sebagian besar anti-tuan strategi layak kemungkinan
telah dicoba dan dimanfaatkan. Akibatnya, bakteri patogen telah mengembangkan berbagai
cara untuk memotong atau mengatasi pertahanan imunologi dari host, yang berkontribusi
pada virulensi dari mikroba dan patologi penyakit.

STRATEGI PERTAHANAN PATHOGEN MELAWAN PERTAHANAN INMUNITAS


SPESIFIK

Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri

Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik dalam
respon imun terhadap antigen tertentu (Ag). Toleransi ke Ag bakteri tidak melibatkan
kegagalan umum dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam kaitannya dengan
antigen tertentu (s) dari bakteri tertentu. Jika ada respon kekebalan yang tertekan terhadap
antigen yang relevan dari parasit, proses infeksi difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik
AMI atau CMI atau kedua lengan dari respon imunologi.
Toleransi terhadap suatu Ag dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang mungkin
relevan dengan infeksi bakteri.

1. Paparan Antigen Janin terpapar Ag.Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari
perkembangan imunologi, mikroba Ag dapat dilihat sebagai “diri”, dengan demikian
menyebabkan toleransi (kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Ag yang dapat
bertahan bahkan setelah kelahiran.
1. High persistent doses of circulating Ag . Toleransi terhadap bakteri atau salah satu
produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar antigen bakteri yang beredar dalam darah.
The immunological system becomes overwhelmed. Sistem kekebalan menjadi kewalahan.
2. Molecular mimicry . Jika Ag bakteri sangat mirip dengan “antigen” host normal,
respon kebal terhadap Ag ini mungkin lemah memberikan tingkat toleransi.
Kemiripan antara Ag bakteri dan host Ag disebut sebagai mimikri molekuler. Dalam
hal ini determinan antigenik dari bakteri sangat erat terkait kimiawi untuk host
komponen jaringan yang sel-sel imunologi tidak dapat membedakan antara dua dan
respon imunologi tidak dapat ditingkatkan. Beberapa kapsul bakteri tersusun dari
polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic) sehingga mirip dengan host polisakarida
jaringan yang mereka tidak imunogenik.

Antigenic Disguises

Beberapa patogen dapat menyembunyikan antigen unik dari antibodi opsonizing atau
pelengkap. Bakteri mungkin dapat untuk melapisi diri dengan protein host seperti fibrin,
fibronektin, atau bahkan molekul immunolobulin. Dengan cara ini mereka dapat
menyembunyikan komponen antigen permukaan mereka sendiri dari sistem imunologi.

S. aureus menghasilkan sel-terikat koagulase dan faktor penggumpalan yang menyebabkan


fibrin untuk membeku dan untuk deposit pada permukaan sel. Ada kemungkinan bahwa ini
menyamarkan bakteri imunologi sehingga mereka tidak mudah diidentifikasi sebagai antigen
dan target untuk respon imunologi.

Protein A diproduksi oleh S. aureus , dan Protein G analog yang dihasilkan oleh
Streptococcus pyogenes, mengikat bagian Fc dari imunoglobulin, sehingga lapisan bakteri
dengan antibodi dan membatalkan kapasitas opsonizing mereka dengan disorientasi. Lapisan
fibronektin Treponema pallidum memberikan menyamar imunologi untuk spirochete
tersebut. E. coli K1, yang menyebabkan meningitis pada bayi baru lahir, memiliki kapsul
terdiri terutama asam sialic memberikan menyamar antigen, seperti halnya kapsul asam
hialuronat Streptococcus pyogenes.

Imunosupresi

Beberapa patogen (terutama virus dan protozoa, jarang bakteri) penyebab imunosupresi
dalam inang terinfeksi mereka. Ini berarti bahwa tuan rumah menunjukkan respon imun
terhadap antigen depresi pada umumnya, termasuk mereka dari patogen menginfeksi.

Tanggapan kekebalan ditekan kadang-kadang diamati selama infeksi bakteri kronis seperti
kusta dan TBC. Hal ini penting mengingat sepertiga dari populasi dunia terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis.

Dalam bentuk ekstrim dari kusta, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, ada respon
yang buruk terhadap antigen lepra, serta antigen yang tidak terkait. Setelah pasien telah
berhasil diobati, muncul kembali reaktivitas imunologi, menunjukkan bahwa imunosupresi
umum sebenarnya karena penyakit.
Dalam kasus-kasus ringan penyakit kusta sering merupakan penekanan kekebalan terkait
yang spesifik untuk M. leprae antigens. leprae antigen. Hal ini terpisah dari toleransi, karena
antigen unik (protein) Hal ini dapat dijelaskan oleh (1) kurangnya sinyal costimulatory
(gangguan sekresi sitokin), (2) aktivasi sel T penekan, (3) gangguan di T H1 / T H2 kegiatan
sel.

Saat ini, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang patogen bakteri menghambat respon
imun umum. Tampaknya kemungkinan bahwa itu adalah karena gangguan pada fungsi sel B,
sel T atau makrofag. Sejak bakteri intraseluler banyak menginfeksi makrofag, mungkin
diharapkan bahwa mereka berkompromi peran sel-sel dalam respon imunologi.

Imunosupresi Umum diinduksi dalam host mungkin nilai langsung ke patogen, tetapi tidak
ada arti khusus (untuk penyerbu) jika hanya mempromosikan infeksi oleh mikroorganisme
yang tidak terkait. Mungkin ini adalah mengapa hal itu tidak tampaknya menjadi strategi
yang umum digunakan bakteri.

Kegigihan Patogen di Situs Tubuh tidak dapat diakses untuk Respon Kekebalan Tubuh
Spesifik Beberapa patogen dapat menghindari membuka diri untuk kekuatan kekebalan
tubuh. Patogen intraseluler dapat menghindari respon host imunologi selama mereka tinggal
di dalam sel yang terinfeksi dan mereka tidak mengizinkan Ag mikroba terbentuk pada
permukaan sel. Ini terlihat dalam makrofag terinfeksi Brucella, Listeria atau M. leprae .
Makrofag mendukung pertumbuhan bakteri dan pada saat yang sama memberikan mereka
perlindungan dari respon imun.. Beberapa patogen intraseluler (Yersinia, Shigella, Listeria,
E. coli) dapat mengambil residensi di dalam sel-sel yang tidak fagosit atau APC dan antigen
mereka tidak ditampilkan di permukaan sel yang terinfeksi. Mereka hampir tak terlihat oleh
sel-sel sistem kekebalan tubuh.

Beberapa patogen bertahan pada permukaan luminal saluran pencernaan, rongga mulut dan
saluran kemih, atau lumen kelenjar ludah, kelenjar susu atau tubulus ginjal. Jika tidak ada
penghancuran sel inang, patogen dapat menghindari menginduksi respon inflamasi, dan tidak
ada cara di mana limfosit peka atau antibodi yang beredar dapat mencapai lokasi untuk
menghilangkan infeksi. Sekretori IgA dapat bereaksi dengan antigen permukaan sel bakteri,
tetapi urutan pelengkap akan tidak diaktifkan dan sel-sel tidak akan dihancurkan. Dapat
dibayangkan, antibodi IgA dapat melumpuhkan bakteri dengan aglutinasi sel atau blok
kepatuhan bakteri pada permukaan jaringan atau sel, tetapi tidak mungkin bahwa IgA akan
membunuh bakteri secara langsung atau menghambat pertumbuhan mereka.

Beberapa contoh bakteri patogen yang tumbuh di situs jaringan umumnya tidak dapat diakses
pada kekuatan AMI dan CMI diberikan di bawah ini.

Streptococcus mutans dapat memulai karies gigi pada setiap saat setelah letusan gigi, terlepas
dari status kekebalan dari tuan rumah. Entah host tidak mengalami respon imun IgA sekretori
efektif atau berperan kecil dalam mencegah kolonisasi dan pengembangan plak berikutnya.

Vibrio cholerae berkembang biak di saluran pencernaan dimana bakteri menguraikan racun
yang menyebabkan hilangnya cairan dan diare di host yang merupakan karakteristik dari
penyakit kolera. Antibodi IgA terhadap antigen seluler dari Vibrio kolera tidak sepenuhnya
efektif dalam mencegah infeksi oleh bakteri ini seperti yang ditunjukkan oleh
ketidakefektifan relatif dari vaksin kolera dibuat dari vibrio fenol-tewas.

Keadaan pembawa hasil demam tifoid dari infeksi persisten oleh basil tifus, Salmonella typhi.
Organisme ini tidak dihilangkan selama infeksi awal dan tetap dalam host untuk bulan, tahun
atau waktu hidup. Dalam carrier, S typhi mampu menjajah saluran empedu (kantung empedu)
dari dari kekuatan kekebalan tubuh, dan ditumpahkan ke dalam urin dan feses.

Beberapa bakteri menyebabkan infeksi persisten pada lumen kelenjar Brucella abortus terus
menerus menginfeksi kelenjar susu sapi dan ditumpahkan di dalam susu.. Leptospira
mengalikan terus-menerus di dalam lumen tubulus ginjal tikus dan ditumpahkan dalam urin
dan tetap menular.

Bakteri penyebab infeksi pada folikel rambut, seperti jerawat, jarang menemukan jaringan
imunologi.

Induksi Antibodi yang tidak efektif

Banyak jenis antibodi (Ab) terbentuk terhadap Ag tertentu, dan beberapa komponen bakteri
dapat menampilkan determinan antigenik yang berbeda. Antibodi cenderung berkisar dalam
kapasitas mereka untuk bereaksi dengan Ag (kemampuan Ab spesifik untuk mengikat suatu
Ag disebut aviditas).Jika Abs terbentuk terhadap Ag bakteri dari aviditas yang rendah, atau
jika mereka diarahkan terhadap determinan antigenik yang tidak penting, mereka mungkin
hanya aksi antibakteri lemah. Seperti “tidak efektif” (non-penetral) Abs bahkan mungkin
membantu patogen dengan menggabungkan dengan permukaan Ag dan menghalangi
lampiran dari setiap Abs fungsional yang mungkin hadir.

Dalam kasus Neisseria gonorrhoeae adanya antibodi terhadap protein membran luar disebut
rmp mengganggu reaksi bakterisidal serum dan dalam beberapa cara kompromi pertahanan
permukaan dari saluran urogenital wanita. Meningkatkan kerentanan terhadap infeksi ulang
sangat berhubungan dengan keberadaan sirkulasi antibodi rmp.

Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut

Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut
ke dalam cairan jaringan. Antigen ini larut dapat menggabungkan dengan dan “menetralisir”
antibodi sebelum mereka mencapai sel-sel bakteri. Misalnya, sejumlah kecil endotoksin
(LPS) dapat dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh bakteri Gram-negatif.

Otolisis bakteri Gram-negatif atau Gram-positif dapat melepaskan komponen antigen


permukaan dalam bentuk yang larut Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis
diketahui melepaskan polisakarida kapsuler selama pertumbuhan dalam jaringan.. Mereka
ditemukan dalam serum pasien dengan pneumonia pneumokokus dan dalam cairan
serebrospinal pasien dengan meningitis. Secara teoritis, antigen permukaan dirilis bisa
“mengepel” antibodi sebelum mencapai permukaan bakteri yang seharusnya lebih
diutamakan untuk patogen. Komponen-komponen sel bakteri larut dinding adalah antigen
yang kuat dan melengkapi aktivator sehingga mereka berkontribusi dengan cara utama untuk
patologi diamati pada meningitis dan pneumonia.

Protein A, diproduksi oleh S. aureus mungkin tetap terikat pada permukaan sel stafilokokus
atau dapat dirilis dalam bentuk larut. Protein A akan mengikat ke wilayah Fc dari IgG. Di
permukaan sel, protein A mengikat IgG dalam orientasi yang salah untuk mengerahkan
aktivitas antibakteri, dan protein terlarut A agglutinates dan sebagian inactivates IgG.

Interferensi Local dengan Aktifitas Antibody


Mungkin ada beberapa cara yang patogen mengganggu aksi antibakteri molekul antibodi.
Beberapa patogen menghasilkan enzim yang merusak antibodi.

N. Neisseria gonorrhoeae, N. meningitidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus


pneumoniae dan Streptococcus mutans, yang dapat tumbuh pada permukaan tubuh,
memproduksi protease IgA sekretori IgA yang tidak aktif dengan membelah molekul di
daerah engsel, memisahkan wilayah Fc imunoglobulin tersebut.

Larutan bentuk Protein A S. diproduksi aureus agglutinate immunoglobulin molecules and


partially inactivate IgG. Staphylococcus molekul imunoglobulin mengaglutinasi dan sebagian
menonaktifkan IgG.

Variasi antigenik

Salah satu cara bakteri dapat mengelabui kekuatan dari respon imunologi adalah secara
berkala mengubah antigen, yaitu untuk menjalani variasi antigenik. Antigen dapat bervariasi
atau berubah dalam host selama infeksi, atau organisme dapat ada di alam sebagai jenis
antigen beberapa (serotipe atau serovarian). Variasi antigenik adalah mekanisme penting
yang digunakan oleh mikroorganisme patogen untuk keluar dari aktivitas penetralan antibodi.

Beberapa jenis variasi antigenik selama hasil infeksi dari spesifik lokasi inversi atau konversi
gen atau penyusunan ulang gen dalam DNA dari mikroorganisme. Demikianlah halnya
dengan beberapa patogen yang mengubah antigen selama infeksi dengan beralih dari satu
jenis fimbrial yang lain, atau dengan beralih kiat fimbrial. Hal ini membuat respon AMI asli
usang dengan menggunakan fimbriae baru yang tidak mengikat antibodi sebelumnya.

Neisseria gonorrhoeae dapat mengubah antigen fimbrial selama infeksi. Selama tahap awal
infeksi, kepatuhan terhadap sel-sel epitel leher rahim atau uretra dimediasi oleh pili
(fimbriae). Lampiran Sama efisien untuk fagosit akan tidak diinginkan. Pergantian cepat dan
mematikan gen mengendalikan pili karena itu diperlukan pada berbagai tahap infeksi, dan N.
gonorrhoeae mampu menjalani jenis “switching pili” atau variasi fasa. Perubahan genetik
dikendalikan dalam protein membran luar juga terjadi dalam proses infeksi. Ungkapan halus
dikendalikan dari gen untuk pili dan protein permukaan mengubah pola kepatuhan terhadap
sel inang yang berbeda, dan meningkatkan ketahanan terhadap fagositosis dan lisis kekebalan
tubuh.

Kekambuhan demam disebabkan oleh spirochete, Borrelia recurrentis, adalah hasil dari
variasi antigenik oleh organisme. Penyakit ini ditandai oleh episode demam yang kambuh
(datang dan pergi) untuk jangka waktu beberapa minggu atau bulan. Setelah infeksi, bakteri
di jaringan dan menyebabkan penyakit demam sampai timbulnya respon imunologi seminggu
atau lebih kemudian. kemudian menghilang dari darah karena fagositosis antibodi dimediasi,
lisis, aglutinasi, dll, dan demam jatuh. Kemudian seorang mutan antigenik yang berbeda
muncul pada individu yang terinfeksi, mengalikan, dan dalam 4-10 hari muncul kembali
dalam darah dan ada serangan demam. Sistem imunologi dirangsang dan merespon dengan
menaklukkan antigenik varian baru, tapi siklus terus seperti bahwa mungkin ada sampai 10
episode demam sebelum pemulihan akhir. Dengan setiap serangan antigenik varian baru dari
spirochete muncul dan satu set baru antibodi terbentuk dalam host. Dengan demikian,
perubahan dalam antigen selama infeksi memberikan kontribusi signifikan terhadap
perjalanan penyakit.
Banyak bakteri patogen ada di alam sebagai jenis antigen atau beberapa serotipe, yang berarti
bahwa mereka adalah varian strain dari spesies patogen yang sama. Misalnya, ada beberapa
serotipe Salmonella enterica berdasarkan perbedaan sel (O) antigen dinding dan / atau (H)
flagellar antigen. Ada 80 jenis antigen yang berbeda Streptococcus pyogenes berdasarkan
pada protein M-permukaan sel. . Ada lebih dari seratus strain Streptococcus pneumoniae
tergantung pada antigen kapsuler mereka polisakarida. Berdasarkan perbedaan kecil dalam
kimia permukaan struktur ada beberapa serotipe bakteri Vibrio cholerae, Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, Neisseria gonorrhoeae dan berbagai bakteri patogen lainnya. Variasi
antigenik adalah umum di antara patogen virus juga.

Jika respon imunologi adalah pertahanan penting melawan patogen, kemudian mampu
melepaskan antigen lama dan yang baru hadir untuk sistem kekebalan tubuh mungkin
mengizinkan infeksi atau melanjutkan invasi oleh patogen terjadi. Selanjutnya, inang
terinfeksi tampaknya akan menjadi lingkungan yang ideal untuk selektif munculnya varian
antigenik baru bakteri, memberikan faktor penentu lainnya organisme virulensi tetap utuh.
Mungkin ini menjelaskan mengapa banyak bakteri patogen yang sukses ada di berbagai
macam jenis antigen.

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel punca
progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping darah, neutrofil, monosit. Sementara
sel punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

1. Tahapan Awal

 Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang timbul sebagai akibat invasi
mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel
leukosit (polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast, sel natural killer, serta
suatu sistem mediator kimia yang kompleks baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun
yang terdapat dalam plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear (lihat bab
tentang fagosit) berfungsi pada proses awal untuk membunuh mikroba, dan mediator kimia
dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator kimia ini akan berinteraksi satu dengan lainnya,
juga dengan sel radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik mononuklear
maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis mikroba. Mediator tersebut antara
lain adalah histamin, kinin/bradikinin, komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin.
Respons inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi dan menghambat penyebaran
mikroba.
 Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin akan menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran
darah dan keluarnya sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.
Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja enzim protease kalikrein
pada kininogen. Mediator ini juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan pembuluh
darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam menginduksi mediator kimia
lainnya.
 Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur alternatif dapat meningkatkan
aliran darah, permeabilitas pembuluh darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir
aktivasi komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan fosfolipid lainnya
yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit asam arakidonat dapat menstimulasi
motilitas leukosit yang dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi
trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada. Prostaglandin juga
dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat termoregulator di hipotalamus. Dikatakan
bahwa panas juga merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba
tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu tubuh yang tinggi akan
memberikan dampak yang buruk pada pejamu.
 Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang mengikat lipopolisakarida,
protein amiloid A, transferin dan α1-antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons
terhadap inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein α1-antitripsin
misalnya akan menghambat protease yang merangsang produksi kinin. Transferin yang
mempunyai daya ikat terhadap besi, akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan
mikroba. Protein yang mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri
Gram negatif.
 Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator yang kuat dalam
respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan
meningkatkan permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi prostaglandin dan
faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel induk hematopoietik dan meningkatkan
pertumbuhan serta diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel
endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan monosit dan makrofag
juga akan memfagosit debris pejamu dan patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan
enzim neutrofil dan enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi
makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi makrofag yang disekresi
limfosit.
2. Tahapan kedua

 Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi tahapan kedua berupa
pertahanan spesifik yang dirangsang oleh antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang
dipresentasikan makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas selular.
 Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
hasil aktivasi antigen mikroba terhadap limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan
mikroba sehingga tidak menjadi toksis lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba
sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin, sehingga memudahkan
proses fagositosis mikroba (lihat bab tentang imunitas humoral). Antibodi juga berperan
dalam proses ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun sel NK
sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi juga dapat mengaktifkan
komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas selular yang diperankan oleh limfosit T melalui
limfokin yang dilepas sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel
fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang dihuni virus (lihat Bab
3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel
Tc untuk melisis sel yang dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan
imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh untuk terminasi infeksi
mikroba intraselular seperti infeksi virus, parasit dan bakteri intraselular.

3. Tahapan Akhir

 Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik melalui aktivasi komplemen
jalur klasik maupun peningkatan kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan
limfosit T terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi respons
inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta merangsang kemotaksis,
pemrosesan antigen, pemusnahan intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat
teratasi.
 Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi, sel makrofag, sel PMN,
komplemen dan pertahanan nonspesifik lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit
infeksi.

ALAM SEBAGAI AGEN PENYEBARAN PENYAKIT

Posted January 11, 2011 by aguskrisno in KAJIAN MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN.


Leave a Comment

Mikroba terdapat dimana-mana di sekitar kita ada yang menghuni tanah, air, dan udara. Studi
tentang mikroba yang ada di lingkungan alamiahnya disebut ekologi mikroba. Ekologi
merupakan bagian biologi yang berkenaan dengan studi mengenai hubungan organism atau
kelompok organisme dengan lingkungannya.

Ekologi mikroba sangat berperan membantu memperbaiki kualitas lingkungan. Bagian dari
mikrobiologi yang mempelajari tentang peranan mikroorganisme di dalam lingkungan adalah
mikrobiologi lingkungan. Lingkungan yang dimaksud terutama terdiri dari air, udara, dan
tanah. Mikrobiologi air adalah mikrobiologi yang mempelajari kehidupan dan peranan
mikroorganisme di dalam lingkungan air. Peranan mikroba dalam air dapat dipakai dalam
bidang kesehatan, bidang pertanian, bidang peternakan, bidang industri, bidang pengairan,
bidang pengolahan air. Mikrobiologi tanah adalah bagian disiplin mikrobiologi yang
mempelajari kehidupan, aktivitas, dan peranan mikroorganisme di dalam tanah. Cabang dari
mikrobiologi yang lain adalah mikrobiologi udara, cabang ilmu ini memmpelajari tentang
kehidupan dan peranan mikroba di udara.

Udara bukan merupakan habitat asli dari mikroba, tetapi udara sekeliling kita sampai
beberapa kilometer di atas permukaan bumi mengandung bermacam-macam jenis
mikroorganisme dalam jumlah yang beragam. Peran udara dapat juga sebagai sarana infeksi
nosokomial (infeksi rumah sakit). Bidang-bidang terapan dari mikrobiologi udara adalah
pada bidang kesehatan, bidang industry, ruang angkasa, dan lain-lain. Dilihat dari hal diatas,
jelaslah bahwa mikrobiologi lingkungan merupakan salah satu bidang mikrobiologi terapan.
Sebagai ilmu terapan, maka secara langsung jasad-jasad yang terdapat di dalamnya berperan
dalam lingkungan hidup, yang terutama terdiri dari tanah, air, dan udara. Bahkan perananan
mikroba dalam lingkungan hidup pada saat sekarang adalah sebagai jasad yang secara
langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi lingkungan; dan juga baik jasad yang
secara langsung maupun secara tidak langsung dipengaruhi oleh lingkungan.

A. Penyebaran Penyakit Melalui Udara

Selain gas, partikel debu dan uap air, udara juga mengandung mikroorganisme. Di udara
terdapat sel vegetatif dan spora bakteri, jamur dan ganggang, virus dan kista protozoa.
Selama udara terkena sinar matahari, udara tersebut akan bersuhu tinggi dan berkurang
kelembabannya. Selain mikroba yang mempunyai mekanisme untuk dapat toleran pada
kondisi ini, kebanyakan mikroba akan mati. Udara terutama merupakan media penyebaran
bagi mikroorganisme. Mereka terdapat dalam jumlah yang relatif kecil bila dibandingkan
dengan di air atau di tanah. Mikroba udara dapat dipelajari dalam dua bagian, yaitu mikroba
di luar ruangan dan di dalam ruangan.

Jenis dan Distribusi Mikroba di Udara

Kelompok mikroba yang paling banyak berkeliaran di udara bebas adalah bakteri, jamur
(termasuk di dalamnya ragi) dan juga mikroalge. Kehadiran jasad hidup tersebut di udara, ada
yang dalam bentuk vegetatif (tubuh jasad) ataupun dalam bentuk generatif (umumnya spora).

Belum ada mikroba yang habitat aslinya di udara. Pada sub pokok bahasan sebelumnya
mikrooganisme di udara dibagi menjadi 2, yaitu mikroorganisme udara di luar ruangan dan
mikroorganisme udara di dalam ruangan. Mikroba paling banyak ditemukan di dalam
ruangan.

1. Mikroba di Luar Ruangan


Mikroba yang ada di udara berasal dari habitat perairan maupun terestrial. Mikroba di udara
pada ketinggian 300-1,000 kaki atau lebih dari permukaan bumi adalah organisme tanah yang
melekat pada fragmen daun kering, jerami, atau partikel debu yang tertiup angin. Mikroba
tanah masih dapat ditemukan di udara permukaan laut sampai sejauh 400 mil dari pantai pada
ketinggian sampai 10.000 kaki. Mikroba yang paling banyak ditemukan yaitu spora jamur,
terutama Alternaria, Penicillium, dan Aspergillus. Mereka dapat ditemukan baik di daerah
kutub maupun tropis.

Mikroba yang ditemukan di udara di atas pemukiman penduduk di bawah ketinggian 500
kaki yaitu spora Bacillus dan Clostridium, yeast, fragmen dari miselium, spora fungi, serbuk
sari, kista protozoa, alga, Micrococcus, dan Corynebacterium, dan lain-lain.

2. Mikroba di dalam Ruangan

Dalam debu dan udara di sekolah dan bangsal rumah sakit atau kamar orang menderita
penyakit menular, telah ditemukan mikroba seperti bakteri tuberkulum, streptokokus,
pneumokokus, dan staphylokokus. Bakteri ini tersebar di udara melalui batuk, bersin,
berbicara, dan tertawa. Pada proses tersebut ikut keluar cairan saliva dan mukus yang
mengandung mikroba. Virus dari saluran pernapasan dan beberapa saluran usus juga
ditularkan melalui debu dan udara. Patogen dalam debu terutama berasal dari objek yang
terkontaminasi cairan yang mengandung patogen. Tetesan cairan (aerosol) biasanya dibentuk
oleh bersin, batuk dan berbicara. Setiap tetesan terdiri dari air liur dan lendir yang dapat
berisi ribuan mikroba. Diperkirakan bahwa jumlah bakteri dalam satu kali bersin berkisar
antara 10.000 sampai 100.000. Banyak patogen tanaman juga diangkut dari satu tempat ke
tempat lain melalui udara dan penyebaran penyakit jamur pada tanaman dapat diprediksi
dengan mengukur konsentrasi spora jamur di udara.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Mikroba di Udara

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi mikroba udara adalah suhu atmosfer,


kelembaban, angin, ketinggian, dan lain-lain. Temperatur dan kelembaban relatif adalah dua
faktor penting yang menentukan viabilitas dari mikroorganisme dalam aerosol. Studi dengan
Serratia marcesens dan E. coli menunjukkan bahwa kelangsungan hidup udara terkait erat
dengan suhu. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan waktu bertahan. Ada peningkatan
yang progresif di tingkat kematian dengan peningkatan suhu dari -18° C sampai 49o C. Virus
dalam aerosol menunjukkan perilaku serupa. Partikel influenza, polio dan virus vaccinia
lebih mampu bertahan hidup pada temperatur rendah, 7-24° C. tingkat kelembaban relatif
(RH) optimum untuk kelangsungan hidup mikroorganisme adalah antara 40 sampai 80%.
Kelembaban relatif yang lebih tinggi maupun lebih rendah menyebabkan kematian
mikroorganisme. Pengaruh angin juga menentukan keberadaan mikroorganisme di udara.
Pada udara yang tenang, partikel cenderung turun oleh gravitasi.

Contoh Penyakit Serta Cara Penyebarannya Melalui Udara

1. Tuberkulosis atau TBC


Tuberkulosis atau TBC adalah penyakit yang sangat mudah sekali dalam penularannya. Pada
umumnya penularan TBC terjadi secara langsung ketika sedang berhadap-hadapan dengan si
penderita, yaitu melalui ludah dan dahak yang keluar dari batuk dan hembusan nafas
penderita. Secara tidak langsung dapat juga melalui debu, Lamanya dari terkumpulnya
kuman sampai timbulnya gejala penyakit dari yang berbulan-bulan sampi tahunan membuat
penyakit ini digolongkan penyakit kronis.

2. Meningitis

Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membrane atau selaput yang
melapisi otak dan syaraf tunjang. Meningitis yang disebabkan oleh virus dapat ditularkan
melalui batuk, bersin, ciuman, sharing makan 1 sendok, pemakaian sikat gigi bersama dan
merokok bergantian dalam satu batangnya. Maka bagi anda yang mengetahui rekan atau
disekeliling ada yang mengalami meningitis jenis ini haruslah berhati-hati. Mancuci tangan
yang bersih sebelum makan dan setelah ketoilet umum, memegang hewan peliharaan.

3. Flu Burung
Avian Influenza atau flu burung adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza H5N1. Virus yang membawa penyakit ini terdapat pada unggas dan dapat
menyerang manusia. Penularan virus flu burung berlangsung melalui saluran pernapasan.
Unggas yang terinfeksi virus ini akan mengeluarkan virus dalam jumlah besar di kotorannya.
Manusia dapat terjangkit virus ini bila kotoran unggas bervirus ini menjadi kering, terbang
bersama debu, lalu terhirup oleh saluran napas manusia.

4. Pneumonia

Pneumonia atau yang dikenal dengan nama penyakit radang paru-paru ditandai dengan gejala
yang mirip dengan penderita selesma atau radang tenggorokan biasa, antara lain batuk, panas,
napas cepat, napas berbunyi hingga sesak napas, dan badan terasa lemas. Penyakit ini
umumnya terjadi akibat bakteri Streptococus pneumoniae dan Hemopilus influenzae yang
berterbangan di udara terhirup masuk ke dalam tubuh. Bakteri tersebut sering ditemukan pada
saluran pernapasan, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

Pengendalian penyakit yang terbawa udara

1) Imunisasi
Dengan pemberian vaksin rubella pada anak-anak laki-laki dan perempuan sejak dini

2) Pengubahan kandungan jasad penyebab infeksi di udara dengan penyaringan, sterilisasi


atau pengenceran. Penyaringan udara yang diputar ulang dengan mengalirkan jumlah udara
melalui penyaring dengan memerlukan sistem ventilasi komplek ditambah penggunaan
energi yang besar. Teknik pengendalian di udara dengan pengenceran dengan melakukan
penggantian udara dalam dengan udara luar secara terus-menerus. Terdapat juga metode
untuk mengendalikan penyakit yang disebarkan melalui udara, yaitu :

a) Metode sinar ultraviolet

Digunakan pada ruangan yang sesak dengan daya tembus jelek, merusak mata sehingga sinar
harus diarahkan ke langit-langit

b) Metode aliran udara satu arah

Digunakan di laboratorium industri ruang angkasa dengan batasan mahal untuk pemanasan
atau pengaturan udara

c) Metode sirkulasi ulang, udara tersaring

Digunakan di tempat apa saja dengan batasan penyaring harus sering diganti.

d) Metode pembakaran

Digunakan pada ventilasi udara dari cerobong yang didalamnya terdapat organisme yang
menginfeksi sedang dipindahkan (Volk and Wheeler, 1989).

Upaya untuk membebaskan udara dalam ruangan dari mikroba

Saat ini telah banyak dijual penyejuk udara/ AC dengan kemampuan anti mikroba.

B. Penyebaran Penyakit Melalui Air

Jenis dan Distribusi Mikroba di Air


Kelompok kehidupan yang terdapat di air terdiri dari bakteri, jamur, mikroalga, protozoa, dan
virus, disamping itu ada juga sekumpulan hewan atau tanaman air lainnya yang tidak
termasuk mikroba.

Mikroba yang ada di perairan dalam dan sungai

Bakteri flora pada permukaan perairan lebih banyak daripada perairan subterania.
Komposisinya tergantung dari suplai nutrien-nutrien dalam air. Jumlah bakteri tanha yang
terikut air biasanya masih cukup tinggi misalnya, Azotobacter choroococum, dan bakteri
pengurai nitrit, Nitrosomonas europeae dan Nitrobacter winogradskyi.

Suingai-sungai membawa lebih banyak atau lebih sedikit limbah yang membawa bakteri
tergantung limpahan limbah yang terbuang. Contoh yang menarik adalah bakteri intestinal
Escherichia coli, yang dinamakan strain Koliform dan Salmonella patogenik sebagai
penyebab demam tifoid. Danau mata air masih mengandung banyak bakteri dari sumber mata
air; penambahan bakteri tergantung dari faktor fisika dan faktor kimia. Determinasi jumlah
total bakteri dengan cara hitungan langsung di sungai memberikan gambaran jumlah yang
tidak tentu tergantung dari hidrografi. Misalnya, 352.000-9.800.000 per ml air, di sungai Rio
Negro Brazilia berjumlah 200.000-300.000 per ml air, dan di sungai Dalvin Slovakia
berjumalah 1.194.400 per ml air.

Distribusi pada danau dan laut

Mikroflora danau dipengaruhi oleh mikroflora sungai. Bakteri batang non spora mempunyai
jumlah terkecil pada zona iklim temperate dan boreal; dan memiliki proporsi relatif terbesar
pada danau eutrofik. Bakteri berspora memiliki jumlah lebih dari 10%. Pada danau
mesotrofik, jumlah bakteri berspora lebih besar; dan kemungkinan terdiri 20-25% dari semua
bekteri saprofitik. Bakteri pada danau-danau bergaram, mayoritas baklteri yang hidup di
danau bergaram dengan kadar garam tinggi yang dinamakan bentuk halofilik. Kebanyakan
organisme halofifilik ekstrem dapat berkembang secara optimal dengan kadar garam 20-30%.
Misalnya: Halobakterium dan Halococcus. Bakteri laut, hampir semua bakteri laut adalah
halofilik, yakni dengan memerlukan NaCl untuk perkembangannya yang optimal.
Kebanyakan bakteri laut adalah motil, spora tidak pernah terbentuk pada bakteri laut.
Contohnya: Bacillus dan Clostridium. Bagian besar dari laut adalah laut dalam. Pada daerah
ini bakteri barofilik dan bakteri barotoleran berperan penting. Akan tetapi, kadang-kadang
pada daerah permukaan bakteri barofilik juga ditemukan dengan kebiasaan hidup dengan
tekanan di atas 100 atm.

Jumlah total yang pernah di observasi dari Teluk Kiel bejumlah antara 682 juta sampai 2.300
juta per cm3 dengan kedalaman 12-14 meter yang kemudian diobservasi dengan mikroskop
fluoresensi. Sebanyak 49-64% didapatkan dari permukaan dan 36-51% yang hidup bebas
dalam interstitial air.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Mikroba di Air

Banayak faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba di dalam air. Diantaranya; a) faktor
abiotik, seperti cahaya, temperatur, tekanan, turbiditas, konsentrasi ion hidrogen dan
potensial redoks, salinitas, bahan-bahan anorganik dan organik, gas-gas terlarlarut; b) faktor
biotik seperti kompetisi nutrien, bakteri dan fungi sebagai makanan organisme lainnya,
vitamin, enzim dan antibiotika
Contoh penyakit serta cara penyebarannya melalui air

1. waterborne infection

Yaitu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen.penyakit infeki ini
ditransmisikan melalui eksreta manusia dan binatang dan feses. Kontaminasi fekala pada
sumber air menyebabkan beberapa mikroba tersebut hadior bersama air. Bila air yang telah
terkontaminasi digunakan untuk minum, menyiapkan masakan maka kemungkinan akan
menyebabakan infeksi.

2. Penyakit infeksi saluran pencernaan

Diare yang merupakan penyakit dimana penularanya bersifat fekal-oral. Penyakit ini dapat
ditularkan melalui beberapa jalur, jalur melalui air dan jalur melalui alat-alat dapur yang
dicuci dengan air.

3. penyakit infeksi kulit dan penyakit lendir

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan higien perorangan yang buruk. Angka kesakitan ini
dapat ditekan dengen penyediaan air yang cukup bagi kebersihan seseorang

4. Water-based disease

Cara penyebaran penyakit ini terjadi bila sebagian siklus hidup penyebaba penyakit
memerlukan hospes perantara seperti siput air.

5. Water related insect vector

Cara penyebaran penyakit ini melalui serangga sebagai vektor perantara.

C. Pentebaran Penyakit Melalui Tanah

Jenis dan Distribusi Mikroba di Tanah

Golongan-golongan utama yang menyusun populasi mikroba taanah terdiri atas prokariotik
(bakteri dan actinomycetes, fungi, algae, mikrofauna (protozoa dan archezoa), mezofauna
(nemathoda) makrofauna (semut, cacing tanah, dan lainnya), dan mikrobiota (mycoplasma,
virus, viroid dan prion). Jumlah mikroba tanah sangat tinggi, yakni berkisar 320.000-200.000
setiap gram tanah pasir, 360.000-600.000 bakteri setiap gram tanah lempeng, dan 2.000.000-
200.000.000 bakteri setiap gram tanah subur. Actinomycetes terdiri dari 10-50% total
populasi mikroba di dalam tanah. Organisme ini ditemukan di dalam tanah, kompos, dan
sedimen. Kelimpahan populai Actinomycetes di dalam tanah adalah terbesar kedua setelah
bakteri, yakni rentang dari 500.000-100.000.000 propagul/gr tanah. Propagul adalah bagian
dari suatu mikroorganisme yang dapat tumbuh dan berkembang biak. Sementara populasi
alga sekitar 3-300 kg/hektar.

Jumlah total protozoa antara 100.000 – 300.000 per gram tanah pada lapisan di atas 15cm
dari permukaan. Populasi ini dapat berubah setiap hari. Jumlah paling sedikit adalah cilliata
hanya di bawah 1.000 per gram tanah. Jumlah flagellata merupakan protozoa yang dominan
dalam tanah, termasuk tanah asam. Biomassa protozoa dapat mencapai 5-20 gram per meter
persegi. Sementara lebih dari 10.000 total spesies nematoda hanya lebih kurang 1000 spesies
yang dapat ditemukan di dalam tanah dan 90% nematoda di temukan pada lapisan tanah atas
sekitar 15 cm. Populasi nematoda lebih banyak terdapat di dalam akar tanaman daripada di
dalam tanah. biomassa arthropoda dalam tanah kurang dari 10%, sedangkan collembola di
dapatkan lebih dari 10.000 individu per meter persegi tanah.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Mikroba di Tanah

seperti halnya pada penyebaran mikroorganisme pada air dan udara, penyebaran mikroba di
tanah juga dipengaruhi oleh faktor pH dan suhu tanah. Tanah yang bersifat asam dengan pH
kurang dari 5,8 % lebih sedikit 50% terhidar dari serangan penyakit akibat Streptomycetes
patogen, hal ini karena Streptomycetes scabies dipengaruhi pertumbuhannya pada pH
dibawah 6,3. Sedangkan pengaruh suhu juga dapat mempengaruhi pertumbuhan
mokroorganisme seperti pada pertumbuhan Actinomycetes yang tumbuh sangat lambat pada
suhu 5% dan dapat diisolasi lebih banyak dari tanah yang lebih panas. Pertumbhan optimum
pada suhu antara 28 – 37 0C, tetapi beberapa Actinomycetes tumbuh 55 – 65 0C di dalam
kompos.

Penyinaran (radiasi) dari matahari berpengaruh besar terhadap kehidupan mikroorganisme di


dalam tanah, dalam partikel tanah terdapat komponen-komponen anorganik antara lain
elemen-elemen, pH, udara, air, sinar, sedangkan adalah komponen-komponen organik
mereka merupakan faktor-faktor alam. antara lain hancuran dari sisa-sisa makhluk hidup.

Contoh Penyakit Serta Cara Penyebarannya Melalui tanah

Salah satu penyakit yang penularannya melalui tanah adalah kaki pecah-pecah, hal ini
disebabkan karena kaki terkena infeksi jamur. Infeksi jamur umumnya diawali dengan bercak
merah gatal dan bersisik di kulit. Kemudian kulit dapat menebal dan retak. Penyebabnya bisa
dikarenakan penderita tidak mengguanakan alas kaki, sehingga terjadi kontak langsung
dengan tanah.

KAJIAN RELIGIUS

Allah menciptakan jasad-jasad renik di dunia ini sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Sebagaiman dengan firman Allah dalam surat al-furqon ayat 2 yang berbunyi

“yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”.

Maksudnya: segala sesuatu yang dijadikan Tuhan diberi-Nya perlengkapan-perlengkapan dan


persiapan-persiapan, sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam
hidup.

Allah memberikan cobaan kepada umatnya yang berupa penyakit dan Allah pula yang
menyembuhkan. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam alqur’an surat Asy
Syu’araa': ayat 78-80 yang artinya:
“ (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku dan
Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah
Yang menyembuhkan aku”.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto MAK, 2005. Mikrobiologi Umum. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

Budiyanto MAK, 2002. Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

Budiyanto MAK, 2001. Peranan Mikroorganisme dalam Kehidupan Kita. Malang:


Universitas Muhammadiyah Malang.

Budiyanto MAK. 2010. Hand out-10 Mikrobiologi lingkungan, Pertanian, dan Peternakan.
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Dwijoseputro, 1990. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

Fardiaz S, 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pratiwi, ST. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

Waluyo, Lud. 2005. Mikrobiologi Umum. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

Waluyo, Lud. 2009. Mikrobiologi Lingkunagn. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press.

“RESPON IMUN TUBUH TERHADAP BAKTERI”


Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini
dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel
limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks.
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan non spesifik dan
mekanisme pertahanan spesifik.
Ketika bakteri masuk ke dalam tubuh, maka sistem imun dalam tubuh akan
otomatis menjalankan suatu mekanisme untuk mempertahankan tubuh dari
serangan bakteri. Mekanisme pertahanan tubuh ada 2 yaitu, mekanisme non
spesifik dan mekanisme spesifik.
1. Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau
innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan
hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Innate
immunity terdiri dari barier fisik dan barier mikrobiologis (flora normal), komponen
fase cair, dan konstituen seluler (Hirsch & Zee, 1999). Imunitas alamiah sudah ada
sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan
merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu. Contoh mekanisme
pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa
dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata.
Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen
merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
a. Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi
mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme
yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas
alamiah.
b. Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia
pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel
mikroorganisme.
c. Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara
langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh
makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-
sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor
kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke
tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
d. Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya
kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-
reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP
oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat
mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi
komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
e. Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel
tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi
virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan
meningkatkan aktivasi sel NK.

2. Mekanisme Pertahanan Spesifik


Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau
imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap
satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain..
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme
maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah
mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa
bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang
merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan
memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpejan lagi dengan antigen
yang sama di kemudian hari. Akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang
spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan
antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B.
Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan
imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target
yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan
memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis
antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang
mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated
cytotoxicy (ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel.
Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T.

Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B :


Limfosit B Limfosit T
Dibuat di sumsum Dibuat di sumsum tulang dari
tulang yaitu sel batang sel batang yang
yang sifatnya pluripotensi(pluripotent stem
pluripotensi cells) dan dimatangkan di
(pluripotent stem cells) Timus
dan dimatangkan di
sumsum tulang (Bone
Marrow)
Berperan dalam Berperan dalam imunitas
selular
imunitas humoral
Menyerang antigen Menyerang antigen yang
yang ada di cairan berada di dalam sel
antar sel
Terdapat 3 jenis sel Terdapat 3 jenis Limfosit T
Limfosit B yaitu: yaitu:
 Limfosit B plasma, Limfosit T pempantu (Helper
memproduksi antibodi. T cells), berfungsi mengantur
 Limfosit B pembelah, sistem imun dan mengontrol
menghasilkan Limfosit kualitas sistem imun.
B dalam jumlah Limfosit T pembunuh(Killer T
banyak dan cepat. cells) atau Limfosit T
 Limfosit B memori, Sitotoksik, menyerang sel
menyimpan mengingat tubuh yang terinfeksi oleh
antigen yang pernah patogen.
masuk ke dalam tubuh. Limfosit T surpressor
(Surpressor T cells), berfungsi
menurunkan dan
menghentikan respon imun
jika infeksi berhasil diatasi.
 Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk
melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta
fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemejanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpejan lagi dengan antigen serupa akan
cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
 Pejanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan
bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian
rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen
TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya
hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag
dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu
dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi
sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi
endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-
antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc
juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc
yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-
dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi
karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi
sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel
memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak
berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif
dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu
atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan
dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori
sewaktu-waktu di kemudian hari.
I. Sel-Sel Imunitas Alami
A. Sel-sel fagosit
Infeksi bakteri di dalam tubuh menyebabkan mobilisasi neutrofil yang cepat
dari tempat penyimpanannya ke area infeksi, sehingga terjadi akumulasi neutrofil.
Pergerakan neutrofil dipengaruhi oleh faktor kemotaktis. Proses akumulasi neutrofil
diawali dengan adherence neutrofil di sistem sirkulasi ke endotelium vaskuler
(margination), extravasation ke dalam ruang antarjaringan, dan kemotaksis sel
menuju ke daerah luka. Mikroorganisme penginfeksi dicerna oleh neutrofil melalui
proses fagositosis.
Fagositosis bakteri oleh neutrofil terjadi dalam beberapa tahap. Pertama
terjadi pengenalan dan pengikatan awal. Proses ini dibantu oleh opsonin dan/atau
imunoglobulin dan komponen komplemen. Lalu pseudopodia terbentuk mengelilingi
organisme dan fusi membentuk vakuola fagositik yang berisi organisme. Setelah
ditelan, granula lisosom fusi dengan membran fagosom membentuk fagolisosom.
B. Makrofag
Makrofag merupakan sel mononuklear yang dibentuk di sumsum tulang.
Untuk beberapa hari setelah dilepaskan dari sumsum tulang, ia dilepaskan ke aliran
darah dalam bentuk monosit sebelum menuju ke jaringan di mana ia akan menjadi
makrofag yang fungsional. Makrofag distimulasi oleh sitokin (misalnya interferon)
atau produk mikrobial (misalnya lipopolisakarida) untuk mengaktivasi nitric oxide
synthase yang mengkatalis produksi nitro oksida (NO) dari L-arginin. NO sangat
toksik bagi kebanyakan bakteri. Makrofag mirip dengan neutrofil dalam hal enzim
hidrolitik dan peptida kationik (defensins) yang dihasilkan oleh lisosom.
Makrofag tidak ada sampai terjadi proses infeksi, setelah 8-12 jam.
Kadangkala neutrofil dapat mengeliminasi organisme sebelum makrofag datang
dalam jumlah besar.
C. Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer merupakan sel limfoid dengan karakteristik bukan sebagai
limfosit T ataupun limfosit B. Sel ini tidak memiliki reseptor sel T, CD4, CD8, atau
CD2 dan tidak memiliki imunoglobulin. Sel NK memiliki membran reseptor CD16,
suatu reseptor IgG afinitas rendah. Sel NK berfungsi membunuh sel tumor, sel yang
terinfeksi virus, dan beberapa bakteri.
II. Inflamasi
Inflamasi adalah istilah untuk respon tubuh terhadap kelukaan. Secara patologis
ada empat tanda-tanda inflamasi: calor (panas), dolor (sakit), tumor (bengkak), dan
rubor (kemerahan). Proses ini memiliki 3 komponen: 1) meningkatnya sirkulasi ke
area, 2) meningkatnya permeabilitas kapiler, 3) kemotaksis neutrofil dan makrofag
ke area (Hirsch & Zee, 1999).
III. Respon Acquired Immunity
Respon ini digerakkan oleh adanya presentasi antigen terhadap sel T dan B oleh
antigen-presenting cell (APC). Antigen ditangkap oleh makrofag dari lingkungan
eksternal, misalnya bakteri yang difagosit dan didigesti di dalam vakuola fagositik,
akan diproses di fagosom dan bagian dari antigen yang tercerna akan dibawa ke
permukaan.
IV. Respon Antibodi
Respon acquired immunity dimulai dengan penelanan agen infeksi oleh APC.
Terjadi transportasi agen ke nodus limfatikus lokal. Pada nodus limfatikus, antigen
diproses dan dipresentasikan ke limfosit. Respon imun kemudian terjadi secara lokal
dan sistemik karena antigen dapat dibawa ke aliran darah kemudian ke limpa.
Pengenalan awal antigen kepada host diikuti dengan pemrosesan yang tepat
dan stimulasi sel T sehingga menghasilkan pembentukkan klon-klon sel B spesifik
terhadap epitop yang berbeda pada antigen. Dibawah pengaruh sel T sitokin, sel B
akan berdiferensiasi menjadi sel plasma penghasil antibodi. Antibodi pertama yang
diproduksi adalah isotipe IgM dan akan terdapat dalam sirkulasi saat 7-10 hari
setelah inisiasi respon imun. Lalu IgG akan muncul tetapi tidak meningkat tinggi
pada respon imun primer ini. Pertemuan berikutnya dengan antigen, respon
anamnestik sekunder akan terjadi. Isotipe yang predominan adalah IgG.
Respon antibodi untuk pertahanan terhadap penyakit bakterial, tergantung
mekanisme patogenik yang terlibat, area proses infeksi, dan isotipe antibodi yang
dikeluarkan. Jika penyakitnya disebabkan oleh toksin ekstraseluler, misalnya
tetanus, maka antibodi antitoksin penting untuk menetralkan dan mengikat toksin
sebelum toksin itu mengikat area seluler lain dan menginisiasi gejala klinis.
IgG dan IgM berfungsi sebagai opsonin dan bekerja bersama sel fagosit untuk
meningkatkan proses menelan dan membunuh. IgG dan IgM juga mengaktivasi
urutan komplemen sehingga mengakibatkan lisisnya bakteri (jika Gram negatif).
V. Imunitas Yang Dimediasi Sel (Cell-Mediated Immunity)
Respon ini terdiri dari dua mekanisme yang berbeda: aktivasi makrofag
(hipersensitifitas) dan sel T sitotoksik. Makrofag teraktivasi berguna untuk
menghancurkan agen infeksi intraseluler (misalnya Brucella, Salmonella,
Mycobacterium, Rickettsia). Sel T sitotoksik melisiskan sel host dimana agen infeksi
berada (Hirsch & Zee, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
Boden, E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary. London: A & C Black
Hirsch, D., & Zee, C. 1999. Veterinary Microbiology. Oxford: Blackwell Science
Kayser, F., Bienz, K. A., Eckert, J., & Zinkernagel, R. 2005. Medical Microbiology.
New York: Thieme
Rhoades, R., & Tanner, G. 2003. Medical Physiology 2nd. Philadelphia: Lippincott
William & Wilkins

      

Post
Be the first to comment

Transcript

 1. IMUNOLOGI TERHADAP INFEKSI Diajukan Guna Memenuhi Tugas Imunologi


Semester Genap Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember Oleh Kelompok
1 : 1. Devi Novitasari (112110101036) 2. Eva fitriana (112110101085) 3. Yuniarta
Rajab (112110101167) 4. Anisa laila Azizah (122110101013) 5. Irin Fahrunisyah
(122110101019) 6. AuliaYuliati (122110101022) 7. M. Allamal hakam
(122110101027) 8. Lutfi Imansari (122110101059) 9. Sabrina Zata Dini P
(122110101060) 10. Mawlida Maghfiroh (122110101064) Imunologi kelas B
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember 2013
 2. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberculosis merupakan penyakit
infeksi menular yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis hingga
kini masih jadi masalah kesehatan utama di dunia. Berbagai pihak coba bekerja
bersama untuk memeranginya. Biasanya yang paling umum terinfeksi adalah paru-
paru tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit ini dapat menular dari
orang ke orang melalui droplet dari orang yang terinfeksi TB paru. Kuman ini paling
sering menyerang organ paru dengan sumber penularan adalah pasien TB BTA
positif. TB Paru merupakan penyakit menular yang mengancam kesehatan masyarakat
di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. TB Paru
merupakan penyebab kematian nomor tiga terbesar setelah penyakit. Jumlah penderita
TBC sangat banyak di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 429ribu orang penderita
TBC. Mirisnya, mayoritas menyerang usia produktif. Menurut WHO, Jumlah
penderita TBC yang melimpah ini membuat Indonesia masuk negara dengan jumlah
penderita TBC terbanyak no.5 di dunia. kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernapasan atas (ISPA) pada semua golongan umur. TB Paru juga penyebab penyakit
nomor satu pada kelompok penyakit menular atau penyakit infeksi. Saat ini kriteria
terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis TB adalah berdasarkan pewarnaan
tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang sensitif, karena baru memberikan
hasil positif bila terdapat >10 organisme/ml sputum. Kultur memiliki peran penting
untuk menegakkan diagnosis TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang
lebih baik daripada pewarnaan tahan asam. Kultur Lowenstein-Jensen (LJ) merupakan
baku emas metode identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing 99% dan 100%, akan tetapi waktu yang diperlukan untuk
memperoleh hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu. Hal ini tentu saja akan
menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan
memulai terapi.
 3. Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini adalah
metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat mendiagnosis
TB dengan lebih cepat dan akurat. Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain
program DOTS dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya
70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil
disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL
(Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private
partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam
penanggulangan TB di negara kita, Juga akan dilakukan program DOTS plus untuk
menangani MDR TB. Kita tentu berharap agar berbagai upaya ini memberi hasil yang
optimal dan untuk itu perlu melibatkan semua stake holder secara aktif dengan
memberi peran dan kesempatan kepada semua pihak 1.2 Rumusan Masalah Dari latar
belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah, antara lain : 1. Apa pengertian,
gejala, penularan TB? 2. Bagaimana perkembangan infeksi TB saat ini? 3. Bagaimana
cara pengobatan yang efektif untuk penyakit TB ? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui
pengertian, gejala dan penularan dari TB 2. Mengetahui seberapa perkembangan
infeksi TB saat ini. 3. Mengetahui cara pengobatan yang paling efektif untuk penyakit
TB.
 4. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21. Pengertian sistem imun Sistem imun
merupakan sistem koordinasi respons biologik yang bertujuan melindungi integritas
dan identitas individu serta mencegahinvasi organisme dan zat yang berbahaya di
lingkungan yang dapat merusak dirinya.Sistem imun mempunyai sedikitnya 3 fungsi
utama. Yang pertama adalah suatu fungsi yang sangat spesifik yaitu kesanggupan
untuk mengenal dan membedakan berbagai molekul target sasaran dan juga
mempunyai respons yang spesifik. Fungsi kedua adalah kesanggupan membedakan
antara antigen diri dan antigen asing. Fungsi ketiga adalah fungsi memori yaitu
kesanggupan melalui pengalaman kontak sebelumnya dengan zat asing patogen untuk
bereaksi lebih cepat dan lebih kuat daripada kontak pertama. 2.2 Mekanisme Imunitas
terhadap Antigen yang Berbahaya Ada beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam
mengatasi agen yang berbahaya di lingkungannya yaitu: 1. Pertahanan fisik dan
kimiawi: kulit, sekresi asamlemak dan asam laktat melalui kelenjar keringat dan
sebasea, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi airmata, air liur, urin, asam lambung
serta lisosim dalam airmata. 2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang
memproduksi zat yang dapat mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus
pada epitelorgan. 3. Innate immunity. 4. Imunitas spesifik yang didapat. 2.3 Imunitas
Spesifik Didapat Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate
immunity, maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks
dan spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih
dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari: 1. Imunitas humoral
 5. Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent).
2. Cell mediated immunity (CMI) Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas
ini melalui: 1. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya. 2. Sel sitotoksik matang di
bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6 (IL-6). 2.4 Innate Immunity
Merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik yang mencegah masuknya dan
menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya kerusakan
jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity yaitu 1. Pemusnahan bakteri
intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan makrofag. 2. Aktivasi komplemen
melalui jalur alternatif. 3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yangmengikat mikroorganisme,
selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang menyebabkan lisis
mikroorganisme. 5. Produksi interferon alfa (IFN a) oleh leukosit dan interferon beta
(IFN b) oleh fibroblast yang mempunyai efek antivirus. 6. Pemusnahan
mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK) melalui pelepasan
granula yang mengandung perforin. 7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major
basic protein (MBP) dan protein kationik yang dapat merusak membran parasit. 2.5
Prosesi dan Presentasi Antigen Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/
mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya
akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini akan menangkap
sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel yang dapat dikenali oleh
sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan teraktivasi dan
(selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B atau sel
limfosit T
 6. sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi
efektor untuk mengeliminasi antigen. Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC
bekerja sama melalui kontak langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Sel- sel
ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan sel tipe lain atau dengan komponen
komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang menghasilkan aktivasi fagosit,
pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respons imun dapat bersifat lokal atau
sistemik dan akan berhenti bila antigen sudahberhasil dieliminasi melalui mekanisme
kontrol. 2.6 Respon Imun Terhadap Bakteri Respons Imun terhadap Bakteri
Ekstraselular Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa
mekanisme yaitu : 1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi
jaringan di tempat infeksi. Sebagai contoh misalnya kokus piogenik yang sering
menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2. Produksi toksin yang menghasilkan
berbagai efek patologik. Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin
yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang
merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator
poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik
dengan mekanisme yang belum jelas benar. Sebagai contoh toksin difteri
menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2
yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. Toksin kolera merangsang sintesis
AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida,
kehilangan cairan serta diare yang hebat. Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin
yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang menyebabkan
kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot pernapasan. Toksin
klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat menghasilkan gas
gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi
bakteri serta netralisasi efek toksin.
 7. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular Respons imun alamiah terhadap
bakteri ekstraselular terutama melalui mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit
serta makrofag jaringan. Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran
dalam makrofag menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya
antibodi juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi
komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri sertameningkatkan
fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane attack complex (MAC)
serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen dapat menimbulkan respons
inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta aktivasi leukosit. Endotoksin yang
merupakan LPS merangsang produksi sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti
endotel vaskular. Beberapa jenis sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor
(TNF), IL-1, IL-6 serta beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang
termasuk golongan IL-8. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan
oleh makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan aktivasi
limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi neutrofil dan
monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti migrasi, akumulasi
lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek
samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri tersebut. Sitokin juga
merangsang demam dan sintesis protein fase akut. Banyak fungsi sitokin yang sama
yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan B yang menghasilkan mekanisme
amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin dalam jumlah besar atau produknya yang
tidak terkontrol dapat membahayakan tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik
infeksi bakteri ekstraselular. Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi
bakteri Gram-negatif yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation
(DIC) yang progresif serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah
mediator yang paling berperan pada syok endotoksin ini.
 8. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular Kekebalan humoral mempunyai
peran penting dalam respons kekebalan spesifik terhadap bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida merupakan komponen yang paling imunogenik dari dinding sel atau
kapsul mikroorganisme serta merupakan antigen yang thymus independent. Antigen
ini dapat langsung merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig)M
spesifik yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui
mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Respons sel
limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah dijelaskan di
atas. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang pembentukan
antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3 mekanisme efektor
yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen permukaan bakteri 1. Opsonisasi
bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis dengan mengikat reseptor Fc_ pada
monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi IgG dan IgM mengaktivasi komplemen
jalur klasik yang menghasilkan C3b dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen
spesifik tipe 1 dan tipe 3 danselanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien
defisiensi C3 sangat rentan terhadap infeksi piogenik yang hebat. 2. Netralisasi toksin
bakteri oleh IgM dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target
sertabmeningkatkan fagositosis untuk eliminasi toksinb tersebut. 3. Aktivasi
komplemen oleh IgM dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta
pelepasanmediator inflamasi akut. Respons Imun terhadap Bakteri Intraselular
Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di
dalam sel pejamu. Yang paling patogen di antaranya adalah yang resisten terhadap
degradasi dalam makrofag. Sebagai contoh adalah mikrobakteria serta Listeria
monocytogenes. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular
 9. Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular
adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap
degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu mekanisme kekebalan
alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi
kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas. Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri
Intraselular Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan
oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel
limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag
yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a).
Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein
intraselular merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri
mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan.
Misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah disebutkan di atas
bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin terutama IFN a. Sitokin
INF a ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi untuk
membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan
stimulasi antigen yang kronik. Keadaanini akan menimbulkan pengumpulan lokal
makrofag yang teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme
untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan dengan
nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi yang
berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap
infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah
infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang
secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap
Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri
mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada
yang tinggal dormant. Pada saat yang sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk
imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat
terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan
 10. bakteri berikutnya. Jadi imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang
menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik
yang sama. Terapi Imunoglobulin pada Infeksi Pada keadaan infeksi bakteri yang
berat, dapat terjadi kelelahan respons imun (exhaustion) pada individu yang
mempunyai respons imun yang normal dan keadaan ini dapat terjadi pelepasan
berbagai mediator yang merangsang timbulnya syok septik. Dalam keadaan ini terapi
penunjang dengan intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan. Terapi IVIG
ini secara pasif untuk membantu sistem imun tubuh dengan antibodi yang spesifik
terhadap bakteri serta eksotoksin dan endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG
harus mirip seperti dalam plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen
secara imunologik. Pemberian IVIG dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka
pendek tanpa risiko penekanan terhadap sistem imun endogen. Terdapat 2 jenis
preparat IVIG yaitu yang dipecah oleh plasmin dan yang dipecah oleh pepsin. -
Plasmin memecah molekul IgG 7S pada tempat spesifik yaitu pada ikatan disulfida
pada tempat CHI yang berseberangan dari rantai berat.Keadaan ini akan melepaskan 2
fragmen Fab bebas dan satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan
lama tetapi meninggalkan efek imunosupresif. Oleh karena itu sering digunakan pada
terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang resisten terhadap plasma sehingga masih
mengandungsekitar 25% IgG 2. - Enzim pepsin memecah keempat subkelas IgG pada
sisi di bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin. Pemecahan
oleh pepsin ini menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang
masih berhubungan dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya
dengan cepat dimetabolisme sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal
sehingga tidak mempunyai peran imunologi lagi. Oleh karena itu, preparat IVIG ini
bebas dari fragmen Fc sehingga tidak
 11. menyebabkan supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya
mengandung 2 fragmen F(ab)2 akan migrasi ke regio 5S pada sentrifugasi,
mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem imun mengalami
kelelahan karena infeksi akut yang berat. Oleh karena itu pengobatan IVIG 5S dosis
tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang
mengalami gangguan imuntas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu
paruh sekitar 20 hari, IgG 5S mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam
sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc yang menyebabkan imunosupresi. 2.7
Respon imun terhadap virus Virus merupakan organisme obligat, umumnya terdiri
atas potongan DNA atau RNA yang diselubungi mantel dari protein atau lipoprotein.
Respons imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen virus yang
menginduksi antibody dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik yang spesifik
merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi terhadap virus. Virus
merupakan obligat intraselular yang berkembang biak di dalam sel, sering
menggunakan sintesis aam nukleat dan protein pejamu. Dengan reseptor permukaan
sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat menimbulkan kerusakan sel dan penyakit
melalui berbagai mekanisme. Hal tersebut disebabkan oleh replikasi virus yang
mengganggu sintesis protein dan fungsi sel normal serta efek sitopatik virus. Virus
nonsitopatik dapat menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam sel
pejamu dan memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel.
Imunitas nonspesifik humoral dan selular Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik
terhadap virus adalah mencegaah infeksi. Efektor yang berperan adalah IFN tipe 1
dan sel NK dan yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi
RNA yang merangsang sel terinfeksi untuk sekresi IFN tipe 1, mungkin melalui
ikatan dengan TLR. IFN tipe 1 mencegah replikasi virus dalam sel terinfeksi dan sel
sekitarnya yang
 12. menginduksi lingkungan anti-viral. IFN α dan IFN β mencegah replikasi virus
dalam sel terinfeksi. Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus
dan merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum respon
imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan
MHC-1. Untuk membunuh virus, sel NK tidak memerlukan bantuan molekul MHC-1.
Imunitas Spesifik a. Imunitas spesifik humoral Respon imun terhadap virus
tergantung dari lokasi virus dalam pejamu. Antibodi merupakan efektor dalam
imunitas spesifik humoral terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya
efektif terhadap virus dalam fase ekstraselular. Virus dapat ditemukan ekstraselular
pada awal infeksi sebelum virus masuk ke dalam sel atau bila dilepas oleh sel trinfeksi
yang dihancukan (khusus untuk virus sitopatik). Antibodi dapat menetralkan virus,
mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke dalam sel pajamu. Antibodi dapat
berperan sebagai opsonin yang meningkatakan eliminasi partikel virus oleh fagosit.
Aktifasi komplemen juga ikut berperan dalam meningkatkan fagositosis dan
menghancurka virus dengan envelop lipid secara langsung. IgA yang disekresikan di
mukosa berperan terhadap virus yang masuk tubuh melalui mukosa saluran nafas dan
cerna. Imunisasi oral terhadap virus polio bakerja untuk menginduksi imunitas
mukosa tersebut. b. Imunitas spesifik selular Virus yang berhasil masuk ke dalam sel
tidak lagi rentan terhadap efek antibody. Respon imun terhadap virus intra selular
terutama tergantung dari sel CD8+ / CTL yang membunuh sel terinfeksi. Fungsi
fisiologik utama CTL ialah pemantauan terhadap infeksi virus. Kebanyakan CTL
yang spesifik untuk virus mengenal antigen virus yang sudah dicerna dalam sitosol,
biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan MHC1 dalam setiap sel yang
bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8+ memerlukan sitokin yang diproduksi sel
CD4+ Th dan kostimulator yang diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi
 13. adalah sel jaringan dan bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC
professional seperti sel dendritic yang selanjutnya memproses antigen virus dan
mempresentasikannya bersama molekul MHC1 ke sel CD8+ naïf di KGB. Sel yang
akhir akan berproliferasi secara massif yang kebanyakan merupakan sel spesifik untuk
beberapa peptide virus. Sel CD8+ naïf yang diaktifkan berdeferensiasi menjadi sel
CTL efektor yang dapat membunuh setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek anti
virus utama CTL adalah membunuh sel terinfeksi. Patologi yang diinduksi virus
merupakan efek direk yang menimbulkan kematian sel pejamu dan kerusakan
jaringan. Hampir semua virus tanpa envelop menimbulkan infeksi akut dan
kerusakan. Lisis sel terjadi selama terjadi replikasi dan penyebaran virus ke sel
sekitar. Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih merupakan akibat respon imun
aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada permukaan sel terinfeksi. 2.8 Imunitas
Terhadap Jamur Komponen sistem imun pada kulit Kulit berperan sebagai sawar fisik
terhadap lingkungan dan inflamasi. Banyak antigen asing masuk tubuh melalui kulit
dan respon imun diawali di kulit. Kulit terdiri atas lapisan epidermis dan dermis,
antara lain: 1. Epidermis Merupakan epitel yang tersusun berlapis yang terdiri atas
beberapa lapis. Sel keratinosit dari epidermis diikat satu sama lain karena mempunyai
sitoskeleton yang terdiri atas filamen keratin. Di bawah epidermis ada membran basal.
Di daerah ini ditemukan struktur khusus yang merupakan tempat epidermis diikat
oleh dermis yang disebut dengan matriks. Matriks terdiri atas polisakarida dan protein
yang membentuk makromolekul. Membran basal sangat mudah rusak atau terganggu
fungsinya dan merupakan tempat umum terjadinya lepuh. Komponen utama sistem
imun kulit terdiri atas keratinosit, sel langerhans, dan limfosit intraepidermal. Sel
langerhans berperan dalam induksi aktivasi sel T pada dermatitis alergi, dan lain-lain.
Sel epitel skuamosa yang merupakan sel utama epidermis berfungsi memproduksi
berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi
 14. imun nonspesifik, inflamasi, dan regulasi respons imun di kulit. Komponen imun
lainnya berupa melanosit yang memproduksi pigmen. 2. Dermis Komponen utama
sistem imun di bagian dermis adalah sel T dan makrofag. Dermis mengandung
kolagen yang memproduksi fibroblas dalam jumlah banyak. Dermis juga mengandung
pembuluh darah, folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebaseus. Sel CD 4
dan CD 8 banyak ditemukan di dermis, terutama perivaskular dengan sedikit
makrofag. Sel T dermal mengekspresikan epitop hidrat arang yang disebut antigen 1,
bereaksi dengan molekul adhesi pada endotel yang berperan dalam homing spesifik
sel T memori ke kulit. Dermis juga mengandung sel mast yang berperan pada reaksi
hipersensitivitas cepat. (Garna, 2006) Respon imun terhadap infeksi jamur Imunitas
spesifik Infeksi jamur disebut mikosis. Jamur yang masuk ke dalam tubuh akan
mendapat tanggapan melalui respon imun. IgM dan IgG di dalam sirkulasi diproduksi
sebagai respon terhadap infeksi jamur. Respon cell-mediated immune (CMI) adalah
protektif karena dapat menekan reaktivasi infeksi jamur oportunistik. Respon imun
yang terjadi terhadap infeksi jamur merupakan kombinasi pola respon imun terhadap
mikroorganisme ekstraseluler dan respon imun intraseluler. Respon imun seluler
dilakukan sel T CD 4 dan CD 8 yang bekerja sama untuk mengeliminasi jamur. Dari
subset sel T CD 4, respon Th 1 merupakan respon protektif, sedangkan respon Th 2
merugikan tubuh. Kulit yang terinfeksi akan berusaha menghambat penyebaran
infeksi dan sembuh, menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi
ini berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita umumnya menunjukkan
reaksi hipersensitivitas IV terhadap jamur bersangkutan. (Aziz, 2006) Imunitas
nonspesifik Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum dan
sekresi kulit berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utamanya terhadap
 15. jamur adalah neutrofil dan makrofag. Netrofil dapat melepas bahan fungisidal
seperti ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk dibunuh intraselular.
Galur virulen (kriptokok neofarmans) menghambat produksi sitokin TNF dan IL- 12
oleh makrofag dan merangsang produksi IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag.
(Garna, 2006). 2.9 Respon Imun Terhadap Parasit Perjalanan suatu penyakit parasit
selain ditentukan oleh sifat parasitnya,ternyata juga dipengaruhi oleh faktor – faktor
kekebalan hospes.Sehingga disuatu daerah endemik akan dilihat perbedaan
kerentanan ataupun perbedaan resistensi terhadap infeksi parasit antar individu –
individu yang tinggal didaerah tersebut . Secara garis besar faktor kekebalan dapat
dibagi menjadi dua bagian : 1. Kekebalan bawaan / Innate Immunity 2. Kekebalan
didapat / Natural Acqiured Immunity Kedua jenis kekebalan ini akan saling
berinteraksi dan menentukan perjalanan penyakit hospesnya, sehingga pengetahuan
mengenai kedua jenis kekebalan perlu diketahui sebagai dasar penanggulangan
penyakit parasit terutama dalam pengembangan vaksin. KEKEBALAN BAWAAN
/INNATE IMMUNITY Definisi Kekebalan bawaan merupakan kekebalan yang
diperoleh sebelum seseorang terpapar parasit,termasuk didalamnya faktor genetik
maupun faktor non genetik. Mekanisme kekebalan bawaan Kekebalan bawaan adalah
kapasitas seorang manusia normal untuk tetap sehat terhadap serangan – serangan
berbagai macam parasit dan racunnya. Sebagian besar daripada kekebalan adalah
suatu bawaan genetik seluruh species terhadap sesuatu makhluk parasit tertentu.
Kadang – kadang resistensi ini absolut, sehinggasemua individu resisten: manusia dan
kera terhadap T.brucei.
 16. Kadang –kadang hanya relatif, sehingga diantara bangsa – bangsa atau individu
terdapat kekebalan yang berbeda: bangsa Negro lebih resisten terhadap infeksi dengan
P.vivax dan cacing tambang dari pada bangsa kulit putih. Kekebalan bawaan adalah
lebih penting daripada kekebalan yang didapati, oleh karena kekebalan bawaan adalah
dasar daripada kekebalan yang didapati. Respon imun humoral Respon imun humoral
menggunakan antibodi sebagai efektornya. Pada infeksi parasit sebagian besar
memperlihatkan respon humoral yg tinggi.Dalam mengeliminasi parasit ada cara yg
dapat dilakukan antibodi yaitu : 1. Antibodi bekerja sendiri 2. Antibodi dibantu oleh
sel-sel lain (eosinofil,makrofag,netrofil,trombosit) 3. Antibodi dibantu oleh
komplemen (invitro) Pada respon imun humoral akan terbentuk zat anti yg khas
terhadap parasit yg masuk dan hasil metabolismenya yang terbentuk sehingga
parasiticide jadi meninggi dan aktivitas sel fagosit meninggi. Pada infeksi cacing
ditandai dengan terjadinya eosinofilia dan produksi antibodi IgE yang amat tinggi dari
tubuh. Respon imun celuler Respon imun celuler terbentuk dari limfosit T yg
hipersensitif terhadap parasit serta hasil metabolismenya. Pada respon imun celular,
parasit tumbuh didalam jaringan misalnya leishmania kulit. Sistem kekebalan celular
ini dilakukan oleh sel limposit T yang hipersensitif terhadap parasit dan hasil
metabolismenya.
 17. BAB III PEMBAHASAN 2.7 Definisi Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis yaitu sebagian dari
organisme kompleks termasuk M. bovis dan M. africanum (Innes JA, Reid PT, 2005).
2.8 Penyebab Penyakit Penyakit Tuberkulosis adalah disebabkan oleh infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). M.tuberculosis berbentuk batang lurus
tidak berspora dan juga tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan
panjang 1 – 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks dan terdiri dari lapisan
lemak yang cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord
factordan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan
fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang
kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu
apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna
tersebut denganlarutan asam-alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel
dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen
M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal
(PDPI, 2002). 2.9 Penularan Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif.
Menurut Rachmand Y.N. (2008) dan Schiffman. G (2010), sewaktu batuk atau bersin,
kuman akan tersebar ke udara dalam bentuk droplet ataupun percikan dahak. Droplet
yang mengandungi kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam. Jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan, orang lain dapat
terinfeksi. Selama kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui
 18. pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas atau penyebaran
langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. Banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
paru menentukan daya penularan dari seorang penderita. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan
dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
Konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut menentukan
kemungkinan seseorang terinfeksi TB (Saroso S., 2005). 2.10 Patogenesis Pada
patogenesis Tuberkulosis primer, kuman Tuberkulosis akan masuk melalui saluran
napas dan akan bersarang di jaringan paru. Kemudian, akan terbentuk suatu sarang
pneumonik yang disebut sarang primer atau efek primer. Sarang primer ini bisa
timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer, akan kelihatan peradangan saluran getah bening yang menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Efek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenali sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami
salah satu nasib sama ada sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
ataupun sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotic dan sarang perkapuran di hilus). Pada fase Tuberkulosis pasca primer dari
tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama

 yang bermacam macam antaranya adalah tuberkulosis bentuk dewasa, localized
tuberculosis dan tuberkulosis menahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis post- primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sama ada melalui diresopsi kembali dan sembuh kembali
dengan tidak
 19. meninggalkan cacat ataupun sarang tadi pada mulanya meluas, tetapi segera
terjadi proses penyembuhan dengan jaringan fibrosis. Ia selanjutnya akan
membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan
keluar. 2.11 Gejala Klinis Gejala-gejala umum untuk penyakit TB adalah demam
tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama. Biasanya demam ini dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Penderita sering terbangun di malam hari karena tubuhnya
basah kuyup oleh keringat sehingga pakaian atau bahkan sepreinya harus diganti.
Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Gejala
umum lain adalah penurunan nafsu makan dan berat badan serta batuk- batuk selama
lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah). Bisa juga dirasakan perasaan tidak
enak atau malaise dan lemah (PDPI, 2002). Gejala-gejala khusus atau khas pula
tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi sumbatan di sebagian
bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, ia akan
menimbulkan suara "mengi" yaitu suara nafasmelemah yang disertai sesak. Jika ada
cairan dirongga pleura, ia dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Apabila mengenai
tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat
membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya. Pada muara ini akan keluar
cairan nanah. Pada anak-anak, dapat mengenai otak dan terjadinya meningitis (radang
selaput otak). Gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan
kejang-kejang. 2.12 Pengobatan Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan
rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Mikobakteri merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain
karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan
dengan satu obat.
 20. 2.13 Pencegahan Penyakit Tuberkulosis ini bias dicegah, seperti yang diketahui,
mencegah lebih baik dari mengobati. Antara pencegahan penyakit Tuberkulosis yang
bias dilakukan oleh masyarakat adalah ventilasi dan pencahayaan rumah yang baik
serta menutup mulut saat batuk. Selain itu, masyarakat juga perlu menjaga kebersihan
lingkungan termasuk alat makan dan tidak meludah di sembarang tempat (Rahmawati
VK, 2009). Selain pencegahan dinyatakan di atas, terdapat juga vaksinasi yang bisa
mencegah daripada terjadinya penyakit Tuberkulosis ini yaitu vaksin BCG (Squire B.,
2009). BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Tuberculosis merupakan penyakit infeksi
bakteri menahun pada paru yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis, yaitu
bakteri tahan asam yang ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Oleh karena itu untuk mencegah penularan
penyakit ini sebaiknya harus menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Tuberkulosis
juga penyakit yang harus benar-benar segera ditangani dengan cepat. 4.2. Saran Saran
yang paling tepat untuk mencegah penyakit tuberkulosis adalah Meningkatkan daya
tahan tubuh dengan makanan bergizi. TBC adalah penyakit yang dapat disembuhkan,
untuk mencapai hal tersebut penderita dituntut untuk minum obat secara benar sesuai
yang dianjurkan oleh dokter serta teratur untuk memeriksakan diri ke
klinik/puskesmas. Bagi mahasiswa hendaknya lebih giat dalam mencari ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan Penyakit TB Paru.
http://adirasoziety.blogspot.com/2012/08/laporan-tutorial-respon-imun- terhadap.html
http://4sinaps.blogspot.com/2012/05/imunoparasitologi.html

Senin, 10 Desember 2012

I. Respon imun terhadap mikroorganisme dan virus

A. Respon imun terhadap mikroorganisme


Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi Contoh:
kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2. Produksi toksin yang
menghasilkan berbagai efek patologik Toksin dapat berupa endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin
yang merupakan komponen dinding bakteri adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan
stimulator produksi sitokin yang kuat, suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian
besar eksotoksin mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Contoh: •
Toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor elongasi-2
yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. • Toksin kolera merangsang sintesis AMP siklik
(cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif klorida, kehilangan cairan serta diare
yang hebat. • Toksin tetanus merupakan suatu neurotoksin yang terikat motor endplate pada
neuromuscular junction yang menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai
otot pernapasan. • Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat
menghasilkan gas gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan untuk eliminasi
bakteri serta netralisasi efek toksin.
Terdapat 3 mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstraseluler:
1. Reaksi nonspesifik Tubuh memiliki imunitas bawaan ( innate immunity ) yang merupakan garis
pertahanan terdepan dari sistem imun setelah kulit dan mukosa. Dalam sistem imunitas bawaan ini
PNM dan makrofag memegang peran yang cukup penting. Sel-sel PNM sebagai fagosit yang
predominan dalam sirkulasi adalah sel yang pertama tiba di lokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal
faktor kemotaksis yang dikeluarkan oleh bakteri, neutrofil atau makrofag yang telah lebih dulu
berada di tempat infeksi ( jadi merupakan mekanisme umpan balik ) atau dilepaskan oleh
komplemen. Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan adhesi pada
endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba. Kemampuan adhesi PNM bertambah
karena sinyal tersebut juga merangsang ekspresi reseptor Fc maupun reseptor komplemen pada
permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap
dan menelan mikroba kemudian membunuhnya. Proses fagositosis oleh PNM berlangsung dalam 5
fase secara berurutan, yaitu : 1) Fase pergerakan 2) Perlekatan 3) Penelanan ( ingestion ) 4)
Degranulasi, dan 5) Pembunuhan ( killing ) Proses penelanan bakteri terjadi karena fagosit
membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantong yang mengelilingi bakteri dan
mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam kantung ( vakuola ) yang disebut fagosom.
Dinding fagosom dengan demikian terdiri atas dinding bagian luar fagosit. Selanjutnya granula
intraselular yang berisi berbagai jenis enzim dan protein lain bergabung ( fusi ) dengan fagosom, lalu
dalam waktu beberapa detik terjadi degranulasi dan respiratory burst. Enzim dan protein yang
terdapat dalam granula mampu membunuh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-
oksidatif. Proses oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada yang tidak. Pada
proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi didasarkan atas pengikatan H2O2
dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase, membentuk kompleks enzim-substrat dengan daya
oksidatif tinggi. Proses oksidatif menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat ( HOCL )
yang merupakan oksidan yang paling kuat untuk membunuh bakteri. Pada proses oksidatif yang
berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat berlangsung karena adanya H2O2,
superoksida dan radikal hidroksil, namun daya oksidatifnya tidak tinggi. Proses non-oksidatif
berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik misalnya flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin,
lisozim, katepsin- G, difensin dan lain-lain. Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi
karena protein bermuatan positif yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkalis
bersifat toksik dan dapat merusak lapisan dinding kuman Gram-negatif. Namun ada juga jenis kuman
lain yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom berubah menjadi asam, atau pada pH
optimum untuk aktivitas lisozim. Dengan berbagai proses diatas seolah-olah PNM memproduksi anti
mikroba yang berperan sebagai antibiotika alami ( natural antibiotics ). Berbagai faktor diluar PNM
membantu PNM melaksanakan tugasnya; salah satu mediator di antaranya adalah interleukin 4 yang
diketahui berfungsi sebagai activator neutrofil.
2. Reaksi spesifik Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba dalam limfosit B
yang memproduksi antibodi, limfosit T yang mengatur sintesis antibodi maupun sel T yang
mempunyai fungsi efektor sitoksisitas langsung. Untuk berfungsi sel-sel ini dibantu oleh sel-sel lain
yang memproses dan menyajikan mikroba serta melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi
respon inflamasi yang dikehendaki. Untuk menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus
berinteraksi satu dengan yang lain. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag
atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan antigen mikroba
kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah diopsonisasi dengan IgG, melakukan
endositosis, memproses antigen lalu menampilkannya kembali (eksositosis) bersama-sama dengan
ekspresi MHC kelas II kepada sel Th. Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk
memproduksi antibodi spesifik terhadap mikroba bersangkutan.
3. Interaksi antara mikroba dengan sistem imun Beberapa jenis bakteri mampu menghindarkan diri
dari proses fagositosis dan respons imun dengan beberapa cara, yaitu: a) Memproduksi toksin yang
menghambat kemotaksis b) Membentuk kapsul sehingga fagosit tidak dapat melekat c)
Memproduksi molekul-molekul yang menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau
substansi yang menghambat magrofag bereaksi dengan IFN d) Menggangu fungsi magrofag sebagai
APC e) Memproduksi substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis oleh PNM.
Disamping itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin pro-inflamatorik
seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Penglepasan sitokin secara berlebihan
akibat rangsangan endotoksin bakteri gram negatif, dapat mengakibatkan DIC dengan konsekuensi
gangguan pembekuan darah, perubahan permeabilitas vascular, kolaps sirkulasi dan nekrosis
hemoragik. Mekanisme terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1
menyebabkan ekspresi molekul adhesi pada endotel dan penglepasan tromboplastin jaringan,
sehingga meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor pembekuan.
Sebaliknya sistem imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya bakteri di atas, agar
fagositosis tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi spesifik yang dimiliki seseorang sangat
membantu hal ini. Pertama-tama antibodi berguna dalam menetralisir toksin. Antibodi dapat
mengikat toksin demikian rupa sehingga toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan
terikatnya toksin oleh antibodi, terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit,
khususnya apabila kompleks itu berukuran besar akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b yang
terdapat sebagai autoantibodi alami. Opsonisasi bakteri dengan antibodi dan komplemen
mempermudah fagosit melekat pada bakteri karena fagosit memiliki reseptor-reseptor untuk
fragmen Fc IgG dan untuk C3b. Perlekatan bakteri pada permukaan mukosa dicegah dengan melapisi
bakteri dengan IgA sekretorik (sIgA). Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat
menembus mukosa, maka sistem imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang melekat
pada mastosit. Proses selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai mediator
sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi selanjutnya melakukan
fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata berukuran besar dan sulit difagositosis, bakteri
dihancurkan melalui mekanisme sitotoksisitas dengan bantuan antibodi (antibody dependent cell
mediated cytotoxicity, ADCC).
Respon Imun terhadap Bakteri Intraselular Sejumlah bakteri dan semua virus serta jamur dapat
lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling patogen diantaranya adalah yang
resisten terhadap degradasi dalam makrofag, contohnya mikrobakteria dan Listeria monocytogenes.
Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap
mikroorganisme intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan
alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan
eksaserbasi yang sulit diberantas.
Respon Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular Respon imun spesifik terhadap bakteri
intraselular terutama diperankan oleh Cell Mediated Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini
diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh
makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a).
Respons imun ini analog dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular
merupakan stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara
langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan, misalnya muramil dipeptida pada dinding sel
mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi sitokin
terutama IFN a. Sitokin IFN a ini akan mengaktivasi makrofag termasuk makrofag yang terinfeksi
untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi
antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi
membentuk granuloma di sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi
inflamasi seperti ini berhubungan dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga
menyebabkan gangguan fungsi yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh
respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini
adalah infeksi mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara
langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis
akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit.
Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal (dormant). Pada saat yang sama, pada
individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk imunitas, reaksi
granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya.
Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan jaringan adalah
manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.
Terapi Imunoglobulin pada Infeksi Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat terjadi kelelahan
respons imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons imun yang normal dan keadaan
ini dapat terjadi pelepasan berbagai mediator yang merangsang timbulnya syok septik. Dalam
keadaan ini terapi penunjang dengan intravenous immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan. Terapi
IVIG ini secara pasif untuk membantu sistem imun tubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap
bakteri serta eksotoksin dan endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti
dalam plasma normal dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian IVIG
dosis tinggi harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa risiko penekanan terhadap sistem imun
endogen. Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu yang dipecah oleh plasmin dan yang dipecah oleh
pepsin. 1. Plasmin memecah molekul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan disulfida pada tempat
CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan melepaskan dua fragmen Fab bebas dan
satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak bertahan lama tetapi meninggalkan efek
imunosupresif. Oleh karena itu, sering digunakan pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang
resisten terhadap plasma sehingga masih mengandung sekitar 25% IgG 2. 2. Enzim pepsin memecah
keempat subkelas IgG pada sisi di bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin.
Pemecahan oleh pepsin ini menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih
berhubungan dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat
dimetabolisme sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peran
imunologi lagi. Oleh karena itu, preparat IVIG ini bebas dari fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan
supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F(ab)2 akan migrasi
ke regio 5S pada sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis pada saat sistem imun
mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat. Oleh karena itu, pengobatan IVIG 5S dosis
tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada pasien yang mengalami gangguan
imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai waktu paruh sekitar 20 hari, IgG 5S
mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc
yang menyebabkan imunosupresi.
B. Respon imun terhadap virus
Virus mempunyai sifat-sifat khusus, diantaranya dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan
respon inflamasi, dapat berkembang biak dalam sel penjamu tanpa merusaknya, ada kalanya
menganggu fungsi khusus sel yang terinfeksi tanpa merusaknya secara nyata dan kadang–kadang
virus merusak sel atau menganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh. Sebagai
contoh, golongan virus herpes terdiri atas sedikitnya 60 jenis, 5 diantaranya sering menyebabkan
infeksi terhadap manusia, yaitu HSV1, HSV2, VZV, CMV dan EBV. Patogenesis infeksi dengan virus ini
secara umum adalah bahwa transmisi terjadi melalui kontak langsung, kecuali pada CMV yang dapat
ditularkan melalui transfusi dan transplantasi, dan bahwa setelah infeksi primer virus herpes
umumnya menetap dalam tubuh. Virus harus menempel dahulu pada sel penjamu sebelum dapat
masuk tubuh, hidup, berkembang biak dan menimbulkan infeksi. Antibodi dalam sirkulasi (IgG) akan
mencegah virus menempel dan hal ini merupakan ppencegahan penting terhadap infeksi. IgA
berperan di saluran napas dan cerna, dapat mencegah virus (seperti polio) dan mikroba masuk
tubuh melalui mukosa. Infeksi virus biasanya dimulai dengan invasi setempat pada permukaan
epitel. Selanjutnya virus masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan fase viremia dan
kemudian invasi sel alat sasaran, seperti kulit, susunan saraf dan sebagainya. Tubuh memerangi virus
yang mempunyai berbagai fase infeksi melalui bermacam-macam cara. Virus berkembang biak
dalam sel sehingga tidak lagi terpajan dengan antibodi dalam sirkulasi. Bila virus menginfeksi sel,
protein virus akan pecah di dalam sel menjadi peptida-peptida spesifik yang kemuudian
diekspresikan dengan bantuan molekul MHC kelas I di permukaan sel. Dengan demikian peptida
tersebut akan dikenal oleh sel T Helper yang selanjutnya mengaktifkan sel efektor CTC atau T
sitotoksik yang dapat menghancurkan sel terinfeksi virus dengan direk (lethal hit). Sel NK yang
mempunyai reseptor Fc (Fcγ-R) berperan pada ADCC. Seperti halnya respon imun terhadap
mikroorganisme yang lain, respon imun terhadap infeksi virus juga melibatkan respon non-spesifik
dan spesifik. Ada 2 mekanisme utama respon non-spesifik terhadap virus, yaitu: 1) infeksi virus
secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel yang terinfeksi: IFN berfungsi menghambat
replikasi virus: 2) sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK mampu melisiskan sel
terinfeksi virus, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC1, karena sel NK
cenderung diaktivasi oleh sasaran yang MHC-negatif.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MEKANISME PERTAHANAN TUBUH TERHADAP BAKTERI
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia
Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba
patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia.
Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh
manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik
spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga
respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular
mempunyai karakteristik tertentu pula
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari,
dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk
mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem
kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan.
Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem
kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri
dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit
terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi
disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat penenang. Kekebalan
depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan
kemudian oleh saran untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh
terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor.
Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi
tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti
biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat
menginfeksi organisme.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang menetralisir
patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh sistem enzim yang
melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno
dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut
termasuk peptida antimikrobial yang disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen.
Mekanisme yang lebih berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya
evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel, organ tubuh
dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon
imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus
secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang
lebih efektif selama pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang
diterima adalah basis dari vaksinasi.
Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah mikroba yang masuk. Mekanisme
pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya meliputi
1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat melalui
kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam
lambung serta lisosom dalam air mata
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat mencegah invasi
mikroorganisme
3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel polimorfonuklear (PMN) dan
makrofag, aktivasi komplemen, sel mast, protein fase akut, interferon, sel NK (natural killer)
dan mediator eosinofil
4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler. Secara umum
pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus, protozoa, jamur dan beberapa bakteri
intraselular fakultatif terutama membutuhkan imunitas yang diperani oleh sel yang
dinamakan imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular dan toksin membutuhkan
imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan imunitas humoral. Secara keseluruhan
pertahanan imunologik dan nonimunologik (nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam
pengontrolan terjadinya penyakit infeksi.

Invasi Patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari respon
imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan mereka dapat
menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.Bakteri sering
menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi perisai, contohnya dengan
menggunakan sistem tipe II sekresi. Sebagai kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem tipe
III sekresi. Mereka dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran langsung untuk
protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering
digunakan untuk mematikan pertahanan.
Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem imun
bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen
mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari kontak langsung
dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen intraselular termasuk virus,
racun makanan, bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium
falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium tuberculosis,
hidup didalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh komplemen. Banyak patogen mengeluarkan
senyawa yang mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.
Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan protein sistem
imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosa kronik dan
Burkholderia cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis. Bakteri lain menghasilkan protein
permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif; contoh termasuk
Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus (protein A), dan Peptostreptococcus magnus
(protein L).

Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), adalah kelompok terbanyak dari
organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal),
dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain
seperti mitokondria dan kloroplas. Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel
mengenai prokariota, karena bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan
organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah “bakteri” telah diterapkan
untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada gagasan mengenai
hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar (berada
di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen merupakan
bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat
menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel,
seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak
yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain.

\
SPECIFIC ATTACHMENTS OF BACTERIA TO HOST CELL OR TISSUE SURFACES
Adhesin Receptor Attachment site Disease
Streptococcus Amino terminus of Pharyngeal
Protein F Sore throat
pyogenes fibronectin epithelium
Streptococcus Salivary
Glycosyl transferase Pellicle of tooth Dental caries
mutans glycoprotein
Buccal
Streptococcus
Lipoteichoic acid Unknown epithelium of None
salivarius
tongue
N-
Streptococcus acetylhexosamine- Mucosal
Cell-bound protein pneumonia
pneumoniae galactose epithelium
disaccharide
Staphylococcus Amino terminus of Mucosal
Cell-bound protein Various
aureus fibronectin epithelium
Type IV pili (N- Glucosamine-
Neisseria Urethral/cervical
methylphenyl- galactose Gonorrhea
gonorrhoeae epithelium
alanine pili) carbohydrate
Enterotoxigenic Species-specific Intestinal
Type-I fimbriae Diarrhea
E. coli carbohydrate(s) epithelium
Uropathogenic Complex Urethral
Type I fimbriae Urethritis
E. coli carbohydrate epithelium
Uropathogenic Globobiose linked Upper urinary
P-pili (pap) Pyelonephritis
E. coli to ceramide lipid tract
Fimbriae Galactose on
Bordetella Respiratory Whooping
(“filamentous sulfated
pertussis epithelium cough
hemagglutinin”) glycolipids
N- Fucose and
Intestinal
Vibrio cholerae methylphenylalanine mannose Cholera
epithelium
pili carbohydrate
Treponema Peptide in outer Surface protein Mucosal
Syphilis
pallidum membrane (fibronectin) epithelium
Respiratory
Mycoplasma Membrane protein Sialic acid Pneumonia
epithelium
Conjunctival or
Chlamydia Unknown Sialic acid urethral
epithelium
INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di
jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan
bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah
dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan
oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang
mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri
berkapsul Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut
melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh
reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri
dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi
lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga memperoleh
perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan oleh
komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3 konvertase. Beberapa
bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen
melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri
akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk
mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa
spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi
protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa
organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek
serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk
menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan
mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa
bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis struktur
permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri
ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel
fagositik (neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).

Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.


EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEINS THAT ARE CONSIDERED INVASINS
Invasin Bacteria Involved Activity
Streptococci,
Hyaluronidase staphylococci and Degrades hyaluronic of connective tissue
clostridia
Collagenase Clostridium species Dissolves collagen framework of muscles
Vibrio cholerae and
Neuraminidase Degrades neuraminic acid of intestinal mucosa
Shigella dysenteriae
Coagulase Staphylococcus aureus Converts fibrinogen to fibrin which causes clotting
Staphylococci and
Kinases Converts plasminogen to plasmin which digests fibrin
streptococci
Disrupts neutrophil membranes and causes discharge of
Leukocidin Staphylococcus aureus
lysosomal granules
Repels phagocytes and disrupts phagocyte membrane
Streptolysin Streptococcus pyogenes
and causes discharge of lysosomal granules
Streptococci,
Phospholipases or lecithinases that destroy red blood
Hemolysins staphylococci and
cells (and other cells) by lysis
clostridia
Lecithinases Clostridium perfringens Destroy lecithin in cell membranes
Phospholipases Clostridium perfringens Destroy phospholipids in cell membrane
Anthrax EF Bacillus anthracis One component (EF) is an adenylate cyclase which
causes increased levels of intracellular cyclic AMP
One toxin component is an adenylate cyclase that acts
Pertussis AC Bordetella pertussis
locally producing an increase in intracellular cyclic AMP
Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan
mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit
serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai
efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat
pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti
endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin akan
menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan
migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat
efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan
sintesis protein fase akut.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan sejumlah
sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang
menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir
dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam
menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi
melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu
secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi
yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin
agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak
dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar
karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi
untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi
dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada
manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan
dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan
sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang
penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan
opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis
akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai
oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga
meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang
dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus
effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun
merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke
dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui
penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang
berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga
faktor kemotaktik terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi
lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh
bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel
PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding
sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel
bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang
ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis
agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia
yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di
dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan
protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun
nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat
berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi
melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan
komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam
hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan
radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan
perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim,
kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi
alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat
toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat
terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini
PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan
nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil,
makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada
permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi
IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi
dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran
mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag
dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan
berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator
yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan
permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan
komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor
yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik
dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang
memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat mengatasi
organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity
(ADCC).

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER


Strategi pertahanan bakteri

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat.
Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan
oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan
berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh
antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga
berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan
leprosi, dan organisme Listeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara hidup
intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut mempunyai
mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri
mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan perubahan
mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme,
yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti
lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion
superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3)
menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam
sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya
Mekanisme pertahanan tubuh

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam
mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang
dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T
helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh
organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit
oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang
berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang diperantarai oleh sel T
CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik.
Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang membentuk
granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada
nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu,
kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.

2.2 MEKANISME RESPON TUBUH TERHADAP SERANGAN MIKROBA


Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam beberapa jenjang tahapan.
Tahapan awal bersifat nonspesifik atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan kedua
bersifat spesifik dan didapat, yang diinduksi oleh komponen antigenik mikroba. Tahapan terakhir
adalah respons peningkatan dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik yang
diatur oleh berbagai produk komponen respons inflamasi, seperti mediator kimia.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan
terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri,
protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh
dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi
tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen
patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen – baik yang
berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang
biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada
proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat
ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung
Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tubuh yaitu
kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang siap melumat organisme lain
pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh antibodi.Barikade
yang kedua adalah kekebalan tiruan.
Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama, terdapat beberapa
perbedaan yang mencolok, antara lain :

 sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan
 sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang lain
merespon nyaris seluruh antigen.
 sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk “mengingat” imunogen penyebab
infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem
kekebalan turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Respon inflamasi dan fagositosis dari tuan rumah untuk menyerang bakteri yang segera dan
nonspesifik. Sebuah respon, imun spesifik akan segera ditemui oleh bakteri invasif. Kekuatan imun
adaptif dari antibodi-mediated imunitas (AMI) dan imunitas diperantarai sel (CMI) yang dibawa ke
dalam presentasi antigen bakteri ke sistem imunologi.
Meskipun AMI adalah respon imunologi utama efektif terhadap bakteri ekstraseluler, respon
defensif dan protektif terhadap bakteri intraselular utama adalah CMI. Pada permukaan epitel,
pertahanan kekebalan utama tertentu dari tuan rumah adalah perlindungan yang diberikan oleh
antibodi IgA sekretori. Setelah permukaan epitel telah ditembus, namun pertahanan kekebalan dari
AMI dan CMI yang ditemukan. Jika ada cara bagi organisme untuk berhasil melewati atau mengatasi
pertahanan imunologi, maka beberapa bakteri patogen mungkin telah “ditemukan” itu. Bakteri
berkembang sangat cepat dalam kaitannya dengan tuan rumah mereka, sehingga sebagian besar
anti-tuan strategi layak kemungkinan telah dicoba dan dimanfaatkan. Akibatnya, bakteri patogen
telah mengembangkan berbagai cara untuk memotong atau mengatasi pertahanan imunologi dari
host, yang berkontribusi pada virulensi dari mikroba dan patologi penyakit.
STRATEGI PERTAHANAN PATHOGEN MELAWAN PERTAHANAN INMUNITAS SPESIFIK
Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri
Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik dalam
respon imun terhadap antigen tertentu (Ag). Toleransi ke Ag bakteri tidak melibatkan kegagalan
umum dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam kaitannya dengan antigen tertentu (s)
dari bakteri tertentu. Jika ada respon kekebalan yang tertekan terhadap antigen yang relevan dari
parasit, proses infeksi difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik AMI atau CMI atau kedua lengan
dari respon imunologi.

Toleransi terhadap suatu Ag dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang mungkin
relevan dengan infeksi bakteri.
1. Paparan Antigen Janin terpapar Ag.Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari perkembangan
imunologi, mikroba Ag dapat dilihat sebagai “diri”, dengan demikian menyebabkan toleransi
(kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Ag yang dapat bertahan bahkan setelah kelahiran.
2. High persistent doses of circulating Ag . Toleransi terhadap bakteri atau salah satu produknya
mungkin timbul ketika sejumlah besar antigen bakteri yang beredar dalam darah. The immunological
system becomes overwhelmed. Sistem kekebalan menjadi kewalahan.
3. Molecular mimicry . Jika Ag bakteri sangat mirip dengan “antigen” host normal, respon kebal
terhadap Ag ini mungkin lemah memberikan tingkat toleransi. Kemiripan antara Ag bakteri dan host
Ag disebut sebagai mimikri molekuler. Dalam hal ini determinan antigenik dari bakteri sangat erat
terkait kimiawi untuk host komponen jaringan yang sel-sel imunologi tidak dapat membedakan
antara dua dan respon imunologi tidak dapat ditingkatkan. Beberapa kapsul bakteri tersusun dari
polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic) sehingga mirip dengan host polisakarida jaringan yang
mereka tidak imunogenik.
Antigenic Disguises
Beberapa patogen dapat menyembunyikan antigen unik dari antibodi opsonizing atau
pelengkap. Bakteri mungkin dapat untuk melapisi diri dengan protein host seperti fibrin, fibronektin,
atau bahkan molekul immunolobulin. Dengan cara ini mereka dapat menyembunyikan komponen
antigen permukaan mereka sendiri dari sistem imunologi.
S. aureus menghasilkan sel-terikat koagulase dan faktor penggumpalan yang menyebabkan
fibrin untuk membeku dan untuk deposit pada permukaan sel. Ada kemungkinan bahwa ini
menyamarkan bakteri imunologi sehingga mereka tidak mudah diidentifikasi sebagai antigen dan
target untuk respon imunologi.
Protein A diproduksi oleh S. aureus , dan Protein G analog yang dihasilkan oleh
Streptococcus pyogenes, mengikat bagian Fc dari imunoglobulin, sehingga lapisan bakteri dengan
antibodi dan membatalkan kapasitas opsonizing mereka dengan disorientasi. Lapisan fibronektin
Treponema pallidum memberikan menyamar imunologi untuk spirochete tersebut. E. coli K1, yang
menyebabkan meningitis pada bayi baru lahir, memiliki kapsul terdiri terutama asam sialic
memberikan menyamar antigen, seperti halnya kapsul asam hialuronat Streptococcus pyogenes.
Imunosupresi
Beberapa patogen (terutama virus dan protozoa, jarang bakteri) penyebab imunosupresi
dalam inang terinfeksi mereka. Ini berarti bahwa tuan rumah menunjukkan respon imun terhadap
antigen depresi pada umumnya, termasuk mereka dari patogen menginfeksi.
Tanggapan kekebalan ditekan kadang-kadang diamati selama infeksi bakteri kronis seperti
kusta dan TBC. Hal ini penting mengingat sepertiga dari populasi dunia terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
Dalam bentuk ekstrim dari kusta, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, ada respon
yang buruk terhadap antigen lepra, serta antigen yang tidak terkait. Setelah pasien telah berhasil
diobati, muncul kembali reaktivitas imunologi, menunjukkan bahwa imunosupresi umum
sebenarnya karena penyakit.
Dalam kasus-kasus ringan penyakit kusta sering merupakan penekanan kekebalan terkait yang
spesifik untuk M. leprae antigens. leprae antigen. Hal ini terpisah dari toleransi, karena antigen unik
(protein) Hal ini dapat dijelaskan oleh (1) kurangnya sinyal costimulatory (gangguan sekresi sitokin),
(2) aktivasi sel T penekan, (3) gangguan di T H1 / T H2 kegiatan sel.
Saat ini, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang patogen bakteri menghambat
respon imun umum. Tampaknya kemungkinan bahwa itu adalah karena gangguan pada fungsi sel B,
sel T atau makrofag. Sejak bakteri intraseluler banyak menginfeksi makrofag, mungkin diharapkan
bahwa mereka berkompromi peran sel-sel dalam respon imunologi.
Imunosupresi Umum diinduksi dalam host mungkin nilai langsung ke patogen, tetapi tidak
ada arti khusus (untuk penyerbu) jika hanya mempromosikan infeksi oleh mikroorganisme yang
tidak terkait. Mungkin ini adalah mengapa hal itu tidak tampaknya menjadi strategi yang umum
digunakan bakteri.
Kegigihan Patogen di Situs Tubuh tidak dapat diakses untuk Respon Kekebalan Tubuh
Spesifik Beberapa patogen dapat menghindari membuka diri untuk kekuatan kekebalan tubuh.
Patogen intraseluler dapat menghindari respon host imunologi selama mereka tinggal di dalam sel
yang terinfeksi dan mereka tidak mengizinkan Ag mikroba terbentuk pada permukaan sel. Ini
terlihat dalam makrofag terinfeksi Brucella, Listeria atau M. leprae . Makrofag mendukung
pertumbuhan bakteri dan pada saat yang sama memberikan mereka perlindungan dari respon
imun.. Beberapa patogen intraseluler (Yersinia, Shigella, Listeria, E. coli) dapat mengambil residensi
di dalam sel-sel yang tidak fagosit atau APC dan antigen mereka tidak ditampilkan di permukaan sel
yang terinfeksi. Mereka hampir tak terlihat oleh sel-sel sistem kekebalan tubuh.
Beberapa patogen bertahan pada permukaan luminal saluran pencernaan, rongga mulut dan
saluran kemih, atau lumen kelenjar ludah, kelenjar susu atau tubulus ginjal. Jika tidak ada
penghancuran sel inang, patogen dapat menghindari menginduksi respon inflamasi, dan tidak ada
cara di mana limfosit peka atau antibodi yang beredar dapat mencapai lokasi untuk menghilangkan
infeksi. Sekretori IgA dapat bereaksi dengan antigen permukaan sel bakteri, tetapi urutan pelengkap
akan tidak diaktifkan dan sel-sel tidak akan dihancurkan. Dapat dibayangkan, antibodi IgA dapat
melumpuhkan bakteri dengan aglutinasi sel atau blok kepatuhan bakteri pada permukaan jaringan
atau sel, tetapi tidak mungkin bahwa IgA akan membunuh bakteri secara langsung atau
menghambat pertumbuhan mereka.
Beberapa contoh bakteri patogen yang tumbuh di situs jaringan umumnya tidak dapat
diakses pada kekuatan AMI dan CMI diberikan di bawah ini.
Streptococcus mutans dapat memulai karies gigi pada setiap saat setelah letusan gigi,
terlepas dari status kekebalan dari tuan rumah. Entah host tidak mengalami respon imun IgA
sekretori efektif atau berperan kecil dalam mencegah kolonisasi dan pengembangan plak berikutnya.
Vibrio cholerae berkembang biak di saluran pencernaan dimana bakteri menguraikan racun
yang menyebabkan hilangnya cairan dan diare di host yang merupakan karakteristik dari penyakit
kolera. Antibodi IgA terhadap antigen seluler dari Vibrio kolera tidak sepenuhnya efektif dalam
mencegah infeksi oleh bakteri ini seperti yang ditunjukkan oleh ketidakefektifan relatif dari vaksin
kolera dibuat dari vibrio fenol-tewas.
Keadaan pembawa hasil demam tifoid dari infeksi persisten oleh basil tifus, Salmonella typhi.
Organisme ini tidak dihilangkan selama infeksi awal dan tetap dalam host untuk bulan, tahun atau
waktu hidup. Dalam carrier, S typhi mampu menjajah saluran empedu (kantung empedu) dari dari
kekuatan kekebalan tubuh, dan ditumpahkan ke dalam urin dan feses.
Beberapa bakteri menyebabkan infeksi persisten pada lumen kelenjar Brucella abortus terus
menerus menginfeksi kelenjar susu sapi dan ditumpahkan di dalam susu.. Leptospira mengalikan
terus-menerus di dalam lumen tubulus ginjal tikus dan ditumpahkan dalam urin dan tetap menular.
Bakteri penyebab infeksi pada folikel rambut, seperti jerawat, jarang menemukan jaringan
imunologi.
Induksi Antibodi yang tidak efektif
Banyak jenis antibodi (Ab) terbentuk terhadap Ag tertentu, dan beberapa komponen bakteri
dapat menampilkan determinan antigenik yang berbeda. Antibodi cenderung berkisar dalam
kapasitas mereka untuk bereaksi dengan Ag (kemampuan Ab spesifik untuk mengikat suatu Ag
disebut aviditas).Jika Abs terbentuk terhadap Ag bakteri dari aviditas yang rendah, atau jika mereka
diarahkan terhadap determinan antigenik yang tidak penting, mereka mungkin hanya aksi
antibakteri lemah. Seperti “tidak efektif” (non-penetral) Abs bahkan mungkin membantu patogen
dengan menggabungkan dengan permukaan Ag dan menghalangi lampiran dari setiap Abs
fungsional yang mungkin hadir.
Dalam kasus Neisseria gonorrhoeae adanya antibodi terhadap protein membran luar disebut
rmp mengganggu reaksi bakterisidal serum dan dalam beberapa cara kompromi pertahanan
permukaan dari saluran urogenital wanita. Meningkatkan kerentanan terhadap infeksi ulang sangat
berhubungan dengan keberadaan sirkulasi antibodi rmp.
Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut
Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk yang
larut ke dalam cairan jaringan. Antigen ini larut dapat menggabungkan dengan dan “menetralisir”
antibodi sebelum mereka mencapai sel-sel bakteri. Misalnya, sejumlah kecil endotoksin (LPS) dapat
dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh bakteri Gram-negatif.
Otolisis bakteri Gram-negatif atau Gram-positif dapat melepaskan komponen antigen
permukaan dalam bentuk yang larut Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningitidis diketahui
melepaskan polisakarida kapsuler selama pertumbuhan dalam jaringan.. Mereka ditemukan dalam
serum pasien dengan pneumonia pneumokokus dan dalam cairan serebrospinal pasien dengan
meningitis. Secara teoritis, antigen permukaan dirilis bisa “mengepel” antibodi sebelum mencapai
permukaan bakteri yang seharusnya lebih diutamakan untuk patogen. Komponen-komponen sel
bakteri larut dinding adalah antigen yang kuat dan melengkapi aktivator sehingga mereka
berkontribusi dengan cara utama untuk patologi diamati pada meningitis dan pneumonia.
Protein A, diproduksi oleh S. aureus mungkin tetap terikat pada permukaan sel stafilokokus
atau dapat dirilis dalam bentuk larut. Protein A akan mengikat ke wilayah Fc dari IgG. Di permukaan
sel, protein A mengikat IgG dalam orientasi yang salah untuk mengerahkan aktivitas antibakteri, dan
protein terlarut A agglutinates dan sebagian inactivates IgG.
Interferensi Local dengan Aktifitas Antibody
Mungkin ada beberapa cara yang patogen mengganggu aksi antibakteri molekul antibodi.
Beberapa patogen menghasilkan enzim yang merusak antibodi.
N. Neisseria gonorrhoeae, N. meningitidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus
pneumoniae dan Streptococcus mutans, yang dapat tumbuh pada permukaan tubuh, memproduksi
protease IgA sekretori IgA yang tidak aktif dengan membelah molekul di daerah engsel, memisahkan
wilayah Fc imunoglobulin tersebut.
Larutan bentuk Protein A S. diproduksi aureus agglutinate immunoglobulin molecules and
partially inactivate IgG. Staphylococcus molekul imunoglobulin mengaglutinasi dan sebagian
menonaktifkan IgG.
Variasi antigenik
Salah satu cara bakteri dapat mengelabui kekuatan dari respon imunologi adalah secara
berkala mengubah antigen, yaitu untuk menjalani variasi antigenik. Antigen dapat bervariasi atau
berubah dalam host selama infeksi, atau organisme dapat ada di alam sebagai jenis antigen
beberapa (serotipe atau serovarian). Variasi antigenik adalah mekanisme penting yang digunakan
oleh mikroorganisme patogen untuk keluar dari aktivitas penetralan antibodi.
Beberapa jenis variasi antigenik selama hasil infeksi dari spesifik lokasi inversi atau konversi
gen atau penyusunan ulang gen dalam DNA dari mikroorganisme. Demikianlah halnya dengan
beberapa patogen yang mengubah antigen selama infeksi dengan beralih dari satu jenis fimbrial
yang lain, atau dengan beralih kiat fimbrial. Hal ini membuat respon AMI asli usang dengan
menggunakan fimbriae baru yang tidak mengikat antibodi sebelumnya.
Neisseria gonorrhoeae dapat mengubah antigen fimbrial selama infeksi. Selama tahap awal
infeksi, kepatuhan terhadap sel-sel epitel leher rahim atau uretra dimediasi oleh pili (fimbriae).
Lampiran Sama efisien untuk fagosit akan tidak diinginkan. Pergantian cepat dan mematikan gen
mengendalikan pili karena itu diperlukan pada berbagai tahap infeksi, dan N. gonorrhoeae mampu
menjalani jenis “switching pili” atau variasi fasa. Perubahan genetik dikendalikan dalam protein
membran luar juga terjadi dalam proses infeksi. Ungkapan halus dikendalikan dari gen untuk pili dan
protein permukaan mengubah pola kepatuhan terhadap sel inang yang berbeda, dan meningkatkan
ketahanan terhadap fagositosis dan lisis kekebalan tubuh.
Kekambuhan demam disebabkan oleh spirochete, Borrelia recurrentis, adalah hasil dari
variasi antigenik oleh organisme. Penyakit ini ditandai oleh episode demam yang kambuh (datang
dan pergi) untuk jangka waktu beberapa minggu atau bulan. Setelah infeksi, bakteri di jaringan dan
menyebabkan penyakit demam sampai timbulnya respon imunologi seminggu atau lebih kemudian.
kemudian menghilang dari darah karena fagositosis antibodi dimediasi, lisis, aglutinasi, dll, dan
demam jatuh. Kemudian seorang mutan antigenik yang berbeda muncul pada individu yang
terinfeksi, mengalikan, dan dalam 4-10 hari muncul kembali dalam darah dan ada serangan demam.
Sistem imunologi dirangsang dan merespon dengan menaklukkan antigenik varian baru, tapi siklus
terus seperti bahwa mungkin ada sampai 10 episode demam sebelum pemulihan akhir. Dengan
setiap serangan antigenik varian baru dari spirochete muncul dan satu set baru antibodi terbentuk
dalam host. Dengan demikian, perubahan dalam antigen selama infeksi memberikan kontribusi
signifikan terhadap perjalanan penyakit.
Banyak bakteri patogen ada di alam sebagai jenis antigen atau beberapa serotipe, yang berarti
bahwa mereka adalah varian strain dari spesies patogen yang sama. Misalnya, ada beberapa
serotipe Salmonella enterica berdasarkan perbedaan sel (O) antigen dinding dan / atau (H) flagellar
antigen. Ada 80 jenis antigen yang berbeda Streptococcus pyogenes berdasarkan pada protein M-
permukaan sel. . Ada lebih dari seratus strain Streptococcus pneumoniae tergantung pada antigen
kapsuler mereka polisakarida. Berdasarkan perbedaan kecil dalam kimia permukaan struktur ada
beberapa serotipe bakteri Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Neisseria
gonorrhoeae dan berbagai bakteri patogen lainnya. Variasi antigenik adalah umum di antara
patogen virus juga.
Jika respon imunologi adalah pertahanan penting melawan patogen, kemudian mampu
melepaskan antigen lama dan yang baru hadir untuk sistem kekebalan tubuh mungkin mengizinkan
infeksi atau melanjutkan invasi oleh patogen terjadi. Selanjutnya, inang terinfeksi tampaknya akan
menjadi lingkungan yang ideal untuk selektif munculnya varian antigenik baru bakteri, memberikan
faktor penentu lainnya organisme virulensi tetap utuh. Mungkin ini menjelaskan mengapa banyak
bakteri patogen yang sukses ada di berbagai macam jenis antigen.
Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel punca
progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping darah, neutrofil, monosit. Sementara sel
punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

1. Tahapan Awal

 Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang timbul sebagai akibat invasi
mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel
leukosit (polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast, sel natural killer, serta
suatu sistem mediator kimia yang kompleks baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun
yang terdapat dalam plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear (lihat bab
tentang fagosit) berfungsi pada proses awal untuk membunuh mikroba, dan mediator kimia
dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator kimia ini akan berinteraksi satu dengan lainnya,
juga dengan sel radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik mononuklear
maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis mikroba. Mediator tersebut antara
lain adalah histamin, kinin/bradikinin, komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin.
Respons inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi dan menghambat penyebaran
mikroba.
 Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin akan menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran
darah dan keluarnya sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.
Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja enzim protease kalikrein
pada kininogen. Mediator ini juga menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan pembuluh
darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam menginduksi mediator kimia
lainnya.
 Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur alternatif dapat meningkatkan
aliran darah, permeabilitas pembuluh darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir
aktivasi komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan fosfolipid lainnya
yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit asam arakidonat dapat menstimulasi
motilitas leukosit yang dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi
trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada. Prostaglandin juga
dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat termoregulator di hipotalamus. Dikatakan
bahwa panas juga merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba
tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu tubuh yang tinggi akan
memberikan dampak yang buruk pada pejamu.
 Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang mengikat lipopolisakarida,
protein amiloid A, transferin dan α1-antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons
terhadap inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein α1-antitripsin
misalnya akan menghambat protease yang merangsang produksi kinin. Transferin yang
mempunyai daya ikat terhadap besi, akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan
mikroba. Protein yang mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri
Gram negatif.
 Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator yang kuat dalam
respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan
meningkatkan permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi prostaglandin dan
faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel induk hematopoietik dan meningkatkan
pertumbuhan serta diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel
endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan monosit dan makrofag
juga akan memfagosit debris pejamu dan patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan
enzim neutrofil dan enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi
makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi makrofag yang disekresi
limfosit.
2. Tahapan kedua

 Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi tahapan kedua berupa
pertahanan spesifik yang dirangsang oleh antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang
dipresentasikan makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas selular.
 Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai
hasil aktivasi antigen mikroba terhadap limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan
mikroba sehingga tidak menjadi toksis lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba
sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin, sehingga memudahkan
proses fagositosis mikroba (lihat bab tentang imunitas humoral). Antibodi juga berperan
dalam proses ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun sel NK
sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi juga dapat mengaktifkan
komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas selular yang diperankan oleh limfosit T melalui
limfokin yang dilepas sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel
fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang dihuni virus (lihat Bab
3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel
Tc untuk melisis sel yang dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan
imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh untuk terminasi infeksi
mikroba intraselular seperti infeksi virus, parasit dan bakteri intraselular.

3. Tahapan Akhir

 Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik melalui aktivasi komplemen
jalur klasik maupun peningkatan kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan
limfosit T terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi respons
inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta merangsang kemotaksis,
pemrosesan antigen, pemusnahan intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat
teratasi.
 Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi, sel makrofag, sel PMN,
komplemen dan pertahanan nonspesifik lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit
infeksi.
2.3 IMUNOLOGI DASAR : RESPON IMUN DAN SISTEM KEKEBALAN MAHLUK HIDUP
Sistem kekebalan atau immune system adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,
bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap
protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang
teraberasi menjadi tumor.
Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari komponen
patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon infeksi patogen – baik yang
berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang
biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan. Pada
proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek samping yang dapat
ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung.
Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari tubuh yaitu
kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain
pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh antibodi. Barikade
yang kedua adalah kekebalan tiruan.
Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama, terdapat beberapa
perbedaan yang mencolok, antara lain :

 sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem kekebalan turunan
 sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu, sedangkan sistem yang lain
merespon nyaris seluruh antigen.
 sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk “mengingat” imunogen penyebab
infeksi dan reaksi yang lebih cepat saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem
kekebalan turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.[2]

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel punca
progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping darah, neutrofil, monosit. Sementara sel
punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.
Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon neuroendokrin.
Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin
Hormon Pencerap Efek modulasi
sintesis antibodi
ACTH Sel B dan Sel T, pada tikus produksi IFN-gamma
perkembangan limfosit-B
sintesis antibodi
Endorfin limpa mitogenesis
aktivitas sel NK
meningkatkan laju sintesis antibodi
TSH Neutrofil, Monosit, sel B
bersifat komitogenis dengan ConA
sel T CD8
GH PBL, timus, limpa
mitogenesis
proliferasi
LH dan FSH
produksi sitokina
bersifat komitogenis dengan ConA
PRL sel B dan sel T
menginduksi pencerap IL-2
Produksi IL-1
CRF PBL meningkatkan aktivitas sel NK
bersifat imunosupresif
TRH Lintasan sel T meningkatkan sintesis antibody
GHRH PBL dan limpa menstimulasi proliferasi
menghambat aktivitas sel NK
menghambat respon kemotaktis
SOM PBL
menghambat proliferasi
menurunkan produksi IFN-gamma
Sistem kekebalan pada makhluk hidup

 Perlindungan di prokariota Bakteri memiliki mekanisme pertahanan yang unik, yang disebut
sistem modifikasi restriksi untuk melindungi mereka dari patogen seperti bateriofag. Pada
sistem ini, bakteri memproduksi enzim yang disebut endonuklease restriksi, yang menyerang
dan menghancurkan wilayah spesifik dari DNA viral bakteriofag. Endonuklease restriksi dan
sistem modifikasi restriksi hanya ada di prokariota.
 Perlindungan di invertebrata Invertebrata tidak memiliki limfosit atau antibodi berbasis
sistem imun humoral. Namun invertebrata memiliki mekanisme yang menjadi pendahulu
dari sistem imun vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern recognition receptor) adalah
protein yang digunakan di hampir semua organisme untuk mengidentifikasi molekul yang
berasosiasi dengan patogen mikrobial. Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari
sistem imun yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan terdapat di
hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata, termasuk berbagai jenis
serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk respon komplemen yang telah dimodifikasi
yang dikenal dengan nama sistem prophenoloksidase. Peptida antimikrobial adalah
komponen yang telah berkembang dan masih bertahan pada respon imun turunan yang
ditemukan di seluruh bentuk kehidupan dan mewakili bentuk utama dari sistem imunitas
invertebrata. Beberapa spesies serangga memproduksi peptida antimikrobial yang dikenal
dengan nama defensin dan cecropin.
 Perlindungan di tanaman Anggota dari seluruh kelas patogen yang menginfeksi manusia
juga menginfeksi tanaman. Meski spesies patogenik bervariasi pada spesies terinfeksi,
bakteri, jamur, virus, nematoda, dan serangga bisa menyebabkan penyakit tanaman. Seperti
binatang, tanaman diserang serangga dan patogen lain yang memiliki respon metabolik
kompleks yang memicu bentuk perlindungan melawan komponen kimia yang melawan
infeksi atau membuat tanaman kurang menarik bagi serangga dan herbivora lainnya. Seperti
invertebrata, tanaman tidak menghasilkan antibodi, respon sel T, ataupun membuat sel yang
bergerak yang mendeteksi keberadaan patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian
tanaman dibentuk agar dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang hanya sedikit
hewan mampu melakukannya. Membentuk dinding atau memisahkan bagian tanaman
membantu menghentikan penyebaran infeksi. Kebanyakan respon imun tanaman
melibatkan sinyal kimia sistemik yang dikirim melalui tanaman. Tanaman menggunakan
reseptor pengenal pola untuk mengidentifikasi patogen dan memulai respon basal yang
memproduksi sinyal kimia yang membantu menjaga dari infeksi. Ketika bagian tanaman
mulai terinfeksi oleh patogen mikrobial atau patogen viral, tanaman memproduksi respon
hipersensitif terlokalisasi, yang lalu membuat sel di sekitar area terinfeksi membunuh dirinya
sendiri untuk mencegah penyebaran penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon
hipersensitif memiliki kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.

Imunitas seluler
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia
Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak mengikutsertakan antibodi, tetapi
mengikutsertakan aktivasi makrofaga, sel NK, sel T sitotoksik yang mengikat antigen tertentu, dan
dikeluarkannya berbagai sitokina sebagai respon terhadap antigen. Sistem imun terbagi menjadi
dua cabang: imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi dapat ditemukan pada
humor dan imunitas selular, yang fungsi protektifnya berkaitan dengan sel. Imunitas selular
didefinisikan sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang diperankan oleh limfosit T
dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya.
Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi untuk
mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis
mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan berlindung di dalam sel. Pertama,
mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah, namun sebagian dari mikroba
tersebut dapat menghindari aktivitas fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat
bereplikasi di dalam vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan
bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme
mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian
bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk
menghancurkan virus. Beberapa virus menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam
genom pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.
 Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri kejadian yang sangat
kompleks yang dinamakan respons imun. Secara garis besar, respons imun terdiri atas
respons imun selular dan humoral.
 Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,
oleh karena respons yang terjadi pada umumnya merupakan gabungan dari kedua macam
respons tersebut. Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan
daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas humoral yang lebih
berperan.
 Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel merupakan fungsi utama
limfosit T pada imunitas didapat. Sel T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi
antibodi. Dalam menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain seperti
fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T mempunyai spesifisitas terhadap peptida
tertentu yang ditunjukkan dengan major histocompatibility complex (MHC). Hal ini membuat
sel T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.
SEL LIMFOSIT T

 Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi dengan perkembangan di
bidang teknologi kedokteran, terutama sejak ditemukannya antibodi monoklonal, maka kita
mengetahui bahwa ada 2 macam limfosit, yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya berasal
dari sel asal (stem cell) yang bersifat multipotensial, artinya dapat berkembang menjadi
berbagai macam sel induk seperti sel induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid,
dan lain-lain. Sel induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T dan sel pro-
limfosit B. Sel pro-limfosit T dalam perkembangannya dipengaruhi timus yang disebut juga
organ limfoid primer, oleh karena itu dinamakan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B
dalam perkembangannya dipengaruhi oleh organ yang pada burung dinamakan bursa
fabricius atau gut-associated lymphoid tissue, karena itu dinamakan limfosit B.
 Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel asal limfoid terus-menerus
yang pada fetus berasal dari yolk sac, hati, serta sumsum tulang; dan sesudah lahir dari
sumsum tulang. Sel yang berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat
multipotensial itu dalam lingkungan mikro timus akan berkembang menjadi sel limfosit T
yang matur, toleran diri (self tolerant) dan terbatas MHC diri (major histocompatibllity
complex restricted). Di dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya
penataan kembali gen yang produk molekulnya merupakan reseptor antigen pada
permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekul-molekul pada permukaan limfosit T
yang dinamakan petanda permukaan (surface marker) limfosit T. Dinamakan petanda
permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat membedakan limfosit T dengan limfosit
lainnya. Di dalam timus, sebagian besar sel limfosit T imatur akan mati dengan proses yang
dinamakan apoptosis. Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi
kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga kematian sel accidental
adalah kematian sel karena kerusakan berat (patologis), misalnya akibat infeksi
mikroorganisme, trauma fisis, zat kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain.
 TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri atas rantai α, β atau γ, δ. Sebagian besar
TCR matur merupakan dimer α, β sedangkan dimer γ, δ merupakan TCR limfosit T awal
(early). Hanya 0,5-10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang tidak
memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang dinamakan sel limfosit T negatif
ganda (double negative = DN). Sel DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I, mungkin
juga aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum jelas pula apakah
sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing. Gen yang mengkode TCR terletak pada
kromosom 14 (α,γ) dan kromosom 7 (β,δ). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen
imunoglobulin, karena itu molekul TCR mempunyai struktur dasar yang sama dengan
struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen ini ada yang akan membentuk daerah variabel M
dari TCR, daerah diversitas (D), daerah joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen
gen ini terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan kembali gen VDJC atau VJC agar
dapat ditranskripsi dan menghasilkan produk berupa TCR. Penataan kembali segmen DNA ini
akan memungkinkan keragaman (diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T hanya
mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang membedakan klon yang satu
dari klon lainnya.
 Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (self antigen) akan mengalami apoptosis karena
ia telah terpajan secara dini pada antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme yang belum
jelas. Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang hanya bereaksi
dengan antigen non self dan dinamakan toleran diri. Di dalam timus, limfosit T juga
mengalami pengenalan antigen diri hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC diri, melalui
proses yang juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas MHC diri. Molekul
TCR III diekspresikan pada membran sel T bersama molekul CD3, yaitu salah satu molekul
petanda permukaan sel T.

Reseptor antigen sel limfosit T (TCR)

 Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan
kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular
dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran merupakan
tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian transmembran
molekul CD3.
 Molekul CD3 mempunyai segmen intrasitoplasmik yang agak panjang sesuai dengan
perannya untuk sinyal intraselular. Demikian pula molekul TCR mempunyai segmen
intrasitoplasmik yang akan mentransduksi sinyal ke dalam sel. Bagian distal ekstraselular TCR
merupakan bagian variabel yang dapat mengenal antigen, yang membedakan satu klon sel T
dari klon lainnya.

AKTIVASI SEL T

 Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T baru bereaksi terhadap
antigen yang sudah diproses menjadi peptida kecil yang kemudian berikatan dengan molekul
MHC di dalam fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel. Sel
limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul MHC diri. Molekul CD4 dan
CD8 merupakan molekul yang menentukan terjadinya interaksi antara CD3/TCR dengan
kompleks MHC/antigen. Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas
II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas I.
 Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi antara sel T dengan sel
APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini, selain melalui kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan
MHC kelas II/kelas I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya.
Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul asosiasi fungsi limfosit
1 = lymphocyte function associated 1, molekul adhesi interselular l = inter cellular adhesion
molecule 1), CD2-LFA3, CD5-CD72
 Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan primer. Aktivasi sel T juga
memerlukan adanya stimulasi sitokin, seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan oleh sel
APC yang dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen akan
ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam sitoplasma (lihat Gambar 10-3).
Sinyal ini akan mengaktifkan enzim dan mengakibatkan naiknya Ca++ bebas intraselular,
naiknya konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk transformasi
menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan biokimia. Tahapan ini dinamakan
tahapan sekunder. Kemudian terjadilah diferensiasi menjadi sel efektor/sel regulator dan sel
memori. Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen limfokin dan terbentuklah
berbagai macam limfokin. Melalui pembentukan limfokin, sel regulator akan meregulasi dan
mengaktifkan sel yang berperan dalam eliminasi antigen, sedangkan sel efektor akan melisis
antigen/sel sasaran atau menimbulkan peradangan pada tempat antigen berada, agar
antigen tereliminasi. Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat dipakai
untuk menilai fungsi sel T.

Fase-fase respons sel T


Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase yang menyebabkan
peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T naif menjadi sel efektor. Limfosit T naif terus
bersirkulasi melalui organ limfoid perifer untuk mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai
reseptor antigen dan molekul lain yang dibutuhkan dalam pengenalan antigen. Di dalam organ
limfoid, antigen diproses dan ditunjukkan dengan molekul MHC pada antigen-presenting cell (APC),
kemudian sel T bertemu dengan antigen tersebut untuk pertama kalinya. Pada saat itu, sel T juga
menerima sinyal tambahan dari mikroba itu sendiri atau dari respons imun alamiah terhadap
mikroba.
Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi sitokin. Beberapa sitokin
bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua dari mikroba untuk menstimulasi proliferasi sel T
yang spesifik untuk antigen. Hasil dari proliferasi ini adalah penambahan jumlah limfosit spesifik
antigen dengan cepat yang disebut clonal expansion. Fraksi dari limfosit ini menjalani proses
diferensiasi dimana sel T naif (berfungsi untuk mengenal antigen mikroba) berubah menjadi sel T
efektor (berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian sel T efektor tetap di dalam kelenjar
getah bening dan berfungsi untuk memusnahkan sel terinfeksi atau memberikan sinyal kepada sel B
untuk menghasilkan antibodi. Sebagian sel T berkembang menjadi sel T memori yang dapat bertahan
lama. Sel ini tidak aktif dan bersirkulasi selama beberapa bulan atau tahun, serta dapat merespons
dengan cepat apabila terjadi paparan berulang dengan mikroba. Setelah sel T efektor berhasil
mengatasi infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan diferensiasi sel T juga berhenti. Klon sel T
yang sudah terbentuk akan mati dan kembali ke keadaan basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4 + dan
CD8+, namun terdapat perbedaan pada fungsi efektornya.
Peran ko-stimulasi dalam aktivasi sel T
Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-stimulator
merupakan “sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Istilah “ko-stimulator” menunjukkan bahwa molekul
tersebut memberikan stimuli kepada sel T bersama-sama dengan stimulasi oleh antigen. Contoh ko-
stimulator adalah B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86). Keduanya terdapat pada APC dan jumlahnya
meningkat bila APC bertemu dengan mikroba. Jadi, mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada
APC. Protein B7 dikenali oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T. Sinyal dari CD28
bekerja bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan TCR dan ko-reseptor kompleks peptida-
MHC pada APC yang sama. Mekanisme ini penting untuk memulai respons pada sel T naif. Apabila
tidak terjadi interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak mampu untuk mengaktivasi sel T sehingga
sel T menjadi tidak responsif. Antigen presenting cell (APC) juga mempunyai molekul lain yang
struktur dan fungsinya serupa dengan B7-1 dan B7-2. Molekul B7-like ini penting pada aktivasi sel T
efektor.
Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada APC dan ligan
CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan langsung dalam aktivasi sel T. Interaksi
CD40 dengan ligannya menyebabkan APC membentuk lebih banyak ko-stimulator B7 dan sitokin
seperti IL-12. Interaksi ini secara tidak langsung akan meningkatkan aktivasi sel T.
Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan mengapa antigen
protein yang digunakan dalam vaksin tidak dapat menimbulkan respons imun sel T, kecuali jika
antigen tersebut diberikan bersama dengan bahan lain untuk mengaktivasi makrofag dan APC.
Bahan ini disebut adjuvant dan berfungsi untuk merangsang pembentukan ko-stimulator pada APC,
serta untuk menstimulasi produksi sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan produk
mikroba atau bahan yang menyerupai mikroba. Adjuvant akan mengubah protein antigen inert agar
menyerupai mikroba patogen.
Aktivasi sel T CD8+ distimulasi oleh pengenalan peptida yang berhubungan dengan MHC
kelas I, serta membutuhkan kostimulasi dan/atau sel T helper. Perkembangan sel T sitotoksik CD8+
pada infeksi virus membutuhkan sel T helper CD4+. Pada infeksi virus, sel yang terinfeksi dicerna oleh
APC khususnya sel dendrit, kemudian antigen virus akan dipresentasikan silang (cross-presented)
oleh APC. Antigen presenting cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari sitosol sebagai
kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen dari vesikel sebagai kompleks dengan MHC kelas II. Oleh
sebab itu, sel CD4+ dan sel CD8+ yang spesifik untuk antigen virus tersebut akan bekerja secara
berdekatan. Sel TCD4+ memproduksi sitokin atau molekul membran untuk mengaktivasi sel TCD8+,
sehingga ekspansi klonal dan diferensiasi sel TCD8+ menjadi sel T sitotoksik (TC) efektor dan memori
tergantung dari bantuan sel TCD4+. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek respons sel TC
terhadap virus pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Selain respons yang telah
dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel TC terhadap beberapa virus yang tidak bergantung
kepada bantuan sel T CD4+.
FUNGSI IMUNITAS SELULAR

 Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi nonspesifik dengan


mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain
itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang
mengandung antigen.
 Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi
antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun
sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan
mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun.

RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK


Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit tipe lambat,
imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur) serta
penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft versus host,
penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.

 Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik reaksi tipe IV dapat kita lihat
berupa reaksi pada kulit bila seseorang yang pernah kontak dengan antigen tertentu (seperti
bakteri mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya) kemudian dipaparkan
kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat reaksi berupa eritema, indurasi
pada kulit atau peradangan pada tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari
kemudian. Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel mononuklear yaitu
makrofag, monosit dan limfosit di sekitar pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini
umumnya dapat terlihat pada respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada
reaksi penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada tempat transplantasi, dan
pada reaksi penolakan tumor.
 Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada infeksi bakteri misalnya terlihat
berupa pembentukan kavitas dan granuloma pada infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis, demikian pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang
dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang mengandung antigen
akan mengalami lisis oleh sel Tc dan sel killer lainnya.
 Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi
dengan molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari
molekul ini berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian
transmembran merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang berinteraksi
dengan bagian transmembran molekul CD3.
 Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi virus sangat berperan pada
penyembuhan yaitu untuk melisis sel yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit
campak, lesi kulit pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe IV
dan lisis oleh sel Tc.
 Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi jamur seperti kandidiasis,
dermatomikosis, koksidiomikosis dan histoplasmosis merupakan reaksi imunitas selular. Sel
TC berusaha untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut sel-sel
radang ke tempat jamur berada.
 Imunitas selular pada penyakit parasit dan protozoa Peradangan yang terlihat pada
penyakit parasit dan protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula
pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit dari sel host sehingga
penyebaran tidak terjadi.
 Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam ontogeni sel T autoreaktif
dihancurkan dalam timus, dalam keadaan normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini
masih tetap ada, tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme
homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi penyakit autoimun.
Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T
penginduksi/Th dapat menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga merangsang
sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc kurang sempurna bekerja dalam
penghapusan klon antara lain karena gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada
gangguan sel T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal
mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka dapat terjadi penyakit
autoimun.
 Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada reaksi graft versus host, kerusakan yang
terlihat disebabkan oleh sel imunokompeten donor terhadap jaringan resipien. Reaksi
tersebut berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula dan
deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal. Kelainan yang timbul juga
disebabkan oleh imunitas selular.
 Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi jaringan dapat terlihat bahwa
jaringan yang tadinya mulai tumbuh, setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan
oleh reaksi imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan transplantasi.
Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara histologis terlihat adanya infiltrasi
intensif sel limfoid, sel polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya
iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien mengenal antigen
kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen diri. Pengenalan ini sama seperti
pengenalan antigen asing di antara celah domain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel
TC resipien. Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft dengan
merekrut sel radang.
 Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada penolakan tumor sama
dengan imunitas selular pada penolakan jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas selular
ini bukanlah satu-satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas
humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi antigen tumor akan mengaktifkan sel Tc host
demikian pula interferon yang dilepaskan sel T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer)
untuk melisis sel tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada dan
menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.

2.4 IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI HUMORAL


Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh disekresikan antibodi
(sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang melibatkan limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel
B limfosit garis keturunan ( sel B ). B Cells (with co-stimulation) berubah menjadi sel plasma yang
mensekresi antibodi. The co-stimulation sel B dapat berasal dari sel lain antigen menyajikan, seperti
sel dendritik . Seluruh proses ini dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.
Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti virus atau bakteri
Studi tentang komponen molekuler dan seluler yang terdiri dari sistem kekebalan tubuh ,
termasuk fungsi dan interaksi . Sistem kekebalan tubuh dibagi menjadi primitive innate immune
system, dan acquired atau adaptive immune sistem vertebra, masing-masingmengandung
komponen humoral dan selualar.
Kekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori yang
menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat germinal pembentukan isotipe
switching, pematangan afinitas dan memori sel generasi. Hal ini juga mengacu pada efektor fungsi
antibodi, yang mencakup netralisasi patogen dan racun, classical complement activation, and
opsonin phagocytosis dan eliminasi patogen

SEL LlMFOSIT B
 Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten. Dinamakan pluripoten
karena sel ini juga merupakan progenitor sel hematopoietik lainnya, seperti sel
polimorfonuklear, sel monosit dan sel makrofag.
 Pada masa embrio sel ini ditemukan pada yolk sac, yang kemudian bermigrasi ke hati, limpa
dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel asal (stem cell) hanya ditemukan pada sumsum
tulang. Dinamakan limfosit B karena tempat perkembangan utamanya pada burung adalah
bursa fabricius, sedangkan pada manusia tempat perkembangan utamanya adalah sumsum
tulang.
 Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel limfosit B adalah sel yang
sitoplasmanya mengandung rantai berat µ, terdiri atas bagian variabel V dan bagian konstan
C tanpa rantai ringan L, dan tanpa imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini dinamakan sel
pro-limfosit B. Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga memperlihatkan molekul lain pada
permukaannya, antara lain antigen HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan reseptor virus
Epstein-Barr (EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah dapat ditemukan di hati fetus
pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.

 Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada tahap ini sel limfosit B
imatur telah dapat membentuk rantai ringan L imunoglobulin sehingga mempunyai petanda
imunoglobulin pada permukaan membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen. Bila
sel limfosit B sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan rantai ringan L yang
lengkap, maka sel ini tidak akan dapat memproduksi rantai berat H dan rantai ringan L lain
yang mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan dengan antigen) yang berbeda.
Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu macam bagian variabel dari
imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin yang dibentuk hanya ditujukan terhadap satu
determinan antigenik saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang unik. Jika sel ini terpajan
dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin yang ada pada permukaan membran sel),
sel ini tidak akan terstimulasi, bahkan mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga
sel menjadi mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri (self antigen),
maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan mengalami apoptosis sehingga tubuh
menjadi toleran terhadap antigen diri. Hal ini terjadi pada masa perkembangan di sumsum
tulang. Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang merupakan sel limfosit
B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing. Kemudian sel limfosit B imatur yang telah
memperlihatkan imunoglobulin lengkap pada permukaannya akan keluar dari sumsum
tulang dan masuk ke dalam sirkulasi perifer serta bermigrasi ke jaringan limfoid untuk terus
berkembang menjadi sel matur. Sel B ini memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM dan
IgD dengan bagian variabel yang sama pada permukaan membran sel dan dinamakan sel B
matur.
 Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur tidak memerlukan
stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh lingkungan mikro dan genetik. Tahap
perkembangan ini dinamakan tahapan generasi keragaman klon (clone diversity), yaitu klon
yang mempunyai imunoglobulin permukaan dengan daya ikat terhadap determinan antigen
tertentu.
 Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan tahapan respons imun.
Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B matur akan menjadi aktif dan dinamakan sel B
aktif. Sel B aktif kemudian akan berubah menjadi sel blast dan berproliferasi serta
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi imunoglobulin.
 Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi imunoglobulin kelas lain seperti
IgG, IgA, dan IgE dengan bagian variabel yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih
kelas rantai berat (isotype switching).
 Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi imunoglobulin melainkan
tetap sebagai sel B yang memperlihatkan petanda imunoglobulin pada permukaannya dan
dinamakan sel B memori. Μ
 Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih tinggi. Maturasi afinitas
ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B matur yang tidak distimulasi, jadi yang tidak
menemukan ligannya, akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori
akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan tanpa stimulasi
antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi secara aktif melalui pembuluh darah, pembuluh
limfe, dan kelenjar limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar limfe,
maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan antigen tersebut pada
permukaannya. Antigen yang diekspresikan oleh sel dendrit ini akan merangsang sel B
memori menjadi aktif kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi. Dalam hal ini, kadar antibodi terhadap suatu antigen tertentu dapat
bertahan lama pada kadar protektif, sehingga kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.
Aktivasi dan fungsi sel B

 Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B akan berdiferensiasi
menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara antigen dan imunoglobulin pada permukaan
sel B, akan mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara imunoglobulin permukaan sel B.
Ikatan silang ini mengakibatkan aktivasi enzim kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam
sitoplasma. Terjadilah fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain
protoonkogen (proto oncogene) yang produknya meregulasi pertumbuhan dan diferensiasi
sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi dengan atau tanpa bantuan sel T, tergantung pada sifat
antigen yang merangsangnya. Proliferasi akan mengakibatkan ekspansi klon diferensiasi dan
selanjutnya sekresi antibodi. Fungsi fisiologis antibodi adalah untuk menetralkan dan
mengeliminasi antigen yang menginduksi pembentukannya.
 Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu antigen yang tidak tergantung
pada sel T (TI = T cell independent) dan antigen yang tergantung pada sel T (TD = T cell
dependent). Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi dan mensekresi
imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T helper). Contohnya adalah antigen
dengan susunan molekul karbohidrat, atau antigen yang mengekspresikan determinan
antigen (epitop) identik yang multipel, sehingga dapat mengadakan ikatan silang antara
imunoglobulin yang ada pada permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan terjadinya
aktivasi sel B, proliferasi, dan diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino
dan polivinil pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga dapat mengaktifkan
sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula lipopolisakarida (LPS), yaitu komponen dinding sel
beberapa bakteri Gram negatif dapat pula mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada konsentrasi
tinggi dapat merupakan aktivator sel B yang bersifat poliklonal. Hal ini diperkirakan karena
LPS tidak mengaktifkan sel B melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.
 Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan sel Th melalui limfokin
yang dihasilkannya, agar dapat merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi.
 Terdapat dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi primer dan sekunder.
Respons antibodi primer adalah respons sel B terhadap pajanan antigen ligannya yang
pertama kali, sedangkan respons antibodi sekunder adalah respons sel B pada pajanan
berikutnya, jadi merupakan respons sel B memori. Kedua macam respons antibodi ini
berbeda baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada
respons antibodi sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih
banyak.
 Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi terutama adalah IgM,
karena sel B istirahat hanya memperlihatkan IgM dan IgD pada permukaannya (IgD jarang
disekresi). Sedangkan pada respons antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama
adalah isotip lainnya seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip. Afinitas antibodi yang
dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih tinggi dibanding dengan respons antibodi
primer, dan dinamakan maturasi afinitas.
 Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD, sedangkan stimulasi oleh
antigen TI pada umumnya tidak memperlihatkan respons sel B memori dan imunoglobulin
yang dibentuk umumnya adalah IgM. Hal ini menandakan bahwa respons antibodi sekunder
memerlukan pengaruh sel Th atau limfokin yang disekresikannya.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN

 Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat dalam serum
atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili
glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-
18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul antibodi tersebut.
Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai
reaksi fiksasi komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
 Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik,
tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik
berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang
tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat) dengan
berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai
dasar imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat
oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur yang simetris.
Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian
asam amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L,
yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan disulfid interchain,
sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L
mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu
rantai G (γ), rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai
jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D
masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
 Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen. Enzim papain
memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan
rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding
site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya
mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap. Fragmen
Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas
imunoglobulin yang bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat
pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan basofil
mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan menembus plasenta.
 Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan karboksil terminal
sampai bagian sebelum ikatan disulfida (interchain) dengan akibat kehilangan sebagian
besar susunan asam amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi satu rangkaian
fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas mempunyai berat molekul, masa
paruh, dan aktivitas biologik yang berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai
rantai berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada perbedaan antar
kelas.

 Imunoglobulin G
 IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai berat H dan 2 rantai
ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar
150.000. Pada orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
 Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai perbedaan yang tidak
banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-
8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya
mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG
juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat
komplemen dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q
pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
 Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc. Ikatan antibodi
dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah
dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi
domain CH3.
 Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan kompleks imun
yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel
dan antibodi dengan reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel.
Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan
menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada
transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

 Imunoglobulin M
 Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin, dengan koefisien
sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari
beratnya adalah karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada
respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami.
Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade
komplemen.
 IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul monomer
dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada domain CH4 menyerupai
gelang dan tiap monomer dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan
akhirnya oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

 Imunoglobulin A
 IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam serum terdapat
sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri dari molekul monomer dengan
berat molekul 160.000, dan sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau
lima monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai
tunggal J . Polimer tersebut mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
 Sekretori IgA
 Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak terdapat pada
sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam
sekret internal seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA
serum.
 SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul monomer, dan sebuah
komponen sekretori serta sebuah rantai J. Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel
dan dihubungkan pada bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada daerah mukosa
dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat
menghambat virus menembus mukosa.
 Imunoglobulin D
 Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil terhadap pemanasan
dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai
berat molekul 60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum
diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan
diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

2.5 IMUNOLOGI DASAR : ANTIGEN


Antigen adalah sebuah zat yang merangsang respon imun, terutama dalam menghasilkan
antibodi. Antigen biasanya berupa protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul
lainnya, termasuk molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan protein-pembawa atau carrier.
Reaksi antigen dan antibodi
Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan radikal-radikal organik kepada
protein dan menghasilkan antibodi terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi
menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda pada protein ataupun
kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda kedudukan.

Ikatan kimia antara antigen dan antibodi

Terdiri dari ikatan non kovalen, (seperti ikatan hidrogen, van der Waals, elektrostatik,
hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula (reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung
kepada jarak antara paratop dan bagian-bagian tertentu pada epitop.

Reaksi pelarutan (precipitation)

Antara antibodi khusus dengan antigen larut seperti protein. Penelitian yang dilakukan oleh
Heidelberger dan Kendall menunjukkan reaksi ini dapat optimum pada zona kesetaraan (equivalence
zone) di mana antibodi dan antigen terbentuk pada kondisi yang paling sesuai untuk membentuk
satuan ikatan (lattice). Pada zona antibodi berlebih (antibody excess zone) dan zona antigen Berlioz
(antigen excess zone) maka pembentukan satuan ikatan tidak optimum dan masih terdapat antibodi
atau antigen bebas yang tidak terdapat dalam larutan.

Reaksi pembekuan (aglutinasi)

Antara antibodi khusus dengan antigen partikulat seperti bakteria, sel dll. Prinsip-prinsip
reaksi pembekuan adalah sama seperti reaksi pelarutan.
Di dalam percobaan di atas antibodi spesifik terhadap antigen dicairkan dalam satu set
telaga piring mikrotiter (baris atas), kemudian antigen pada kepekatan yang sama ditambah kepada
setiap telaga yang mengandung antibodi. Selepas eraman untuk jangka masa yang sesuai telaga-
telaga dicerap untuk melihat sama ada terdapat pembentukan aglutinat (baris kedua). Keputusan
yang diperolehi menunjukkan terdapat aglutinat terbentuk dalam telaga 2 – 5 dan tidak dalam
telaga-telaga lain. Dalam telaga pertama aglutinat tidak terbentuk walaupun terdapat banyak
antibodi kerana nisbah antigen:antibodi tidak optimum untuk pembentukan aglutinat. Kepekatan
antibodi adalah terlalu tinggi berbanding antigen. Ini dipanggil sebagai fenomenon prozon. Dalam
telaga 6 dan 7 kepekatan antibodi adalah terlalu rendah dan tidak cukup untuk untuk menghasilkan
aglutinat. Dalam percubaan di atas titer antibodi terdapat pada telaga 5 kerana ini ialah cairan
tertinggi yang menghasilkan tindak balas positif, iaitu penglutinatan. Rajah sebelah bawah
menunjukkan mekanisme tindak balas penghemaglutinatan tak terus (indirect hemagglutination
reaction). Dalam kaedah ini antigen larut diselaputkan ke permukaan eritrosit dan kehadiran
antibodi terhadap antigen tersebut dikesan.

Mendakan dalam tiub

Tindak balas pemendakan juga boleh dilakukan dalam medium separa pepejal seperti gel
dan prinsip tindak balas adalah sama seperti tindak balas dalam larutan. Kaedah ini boleh dilakukan
dalam tiub atau atas slaid.
Rajah di atas menerangkan prinsip pemendakan dalam tiub. Dalam kaedah pertama (gambar
atas) larutan antigen ditambah kepada tiub yang mengandungi antibodi. Selepas eraman garis
mendakan akan terbentuk pada zon kesetaraan antara larutan antigen dan antibodi. Kaedah kedua
(gambar tengah) menunjukkan tindak balas pemendakan dalam gel. Antibodi dicampurkan dengan
gel dan dibekukan dalam tiub. Kemudian antigen ditambah dan tiub tersebut dieram. Antigen akan
menyerap masuk ke dalam gel dan membentuk satu cerun kepekatan dan garis mendakan
(precipitin line) terbentuk di mana terdapat zon kesetaraan wujud. Lebih dari satu garis mendakan
akan terbentuk jika terdapat lebih dari satu antigen yang dicam oleh antibodi. Gambar ketiga
menunjukkan peralihan garis mendakan (pseudomigration) yang berlaku semasa eraman. Ini berlaku
kerana semasa eraman lebih banyak antigen akan menyerap masuk ke dalam gel dan bahagian di
mana terdapat zon kesetaraan akan bertukar kerana kepekatan antibodi dalam gel adalah malar.
Rajah ini juga menunjukkan di mana zon antigen dan antibodi berlebih wujud dalam gel tersebut.

Kaidah imunoserapan bulatan

Kaidah ini berguna untuk menentukan kehadiran atau menentukan kepekatan antigen.
Dalam rajah di bawah kepekatan IgG dalam sampel ditentukan menggunakan kaedah ini. Anti-IgG
dicampurkan dengan gel dan dibekukan di atas slaid. Kemudian telaga-telaga ditebuk di dalam gel
tersebut dan satu set piawai IgG ditambah ke dalam telaga. Selepas eraman garis mendakan
berbentuk bulatan akan terbentuk di keliling setiap telaga dan diameter bulatan ini bergantung
kepada kepekatan antigen (IgG) yang ditambah. Satu lengkok piawai diplot dan jika terdapat satu
telaga yang mengandungi IgG yang tidak diketahui kepekatannya, kepekatan IgG dalam sampel
tersebut boleh ditentukan berdasarkan diameter garis mendakan yang terdapat keliling telaga
tersebut dan lengkok piawai yang ada.

Kaidah Ouchterlony

Kaidah ini berguna untuk menentukan perhubungan antigen (antigenic relationship). Corak
pertama di atas menunjukkan tindak balas seiras (reaction of identity) yang berlaku apabila epitop-
epitop pada antigen 1 dan 2 yang dicam oleh antibodi adalah sama. Dalam tindak balas kedua
epitop-eitop yang terdapat pada antigen 1 dan 3 adalah berbeza dan tidak dikongsikan. Ini
menghasilkan corak tindak balas tak seiras (reaction of non-identity). Jika terdapat epitop-epitop
yang dikongsikan antara dua antigen dan pada masa yang sama terdapat epitop-epitop unik pada
satu antigen, corak separa iras (reaction of partial identity) akan terhasil. Dalam corak ketiga, antigen
1 dan 4 mempunyai epitop-epitop yang sepunya, tetapi antigen 1 mempunyai epitop-epitop unik
yang dicam oleh antibodi dan ini akan menghasilkan pacu (spur). Dalam corak keempat, antibodi
hanya mengcam epitop pada antigen 1 yang tidak mempunyai epitop yang dikongsikan dengan
antigen 5.

Kaidah imunojerapan berpaut enzim (ELISA)

Kaidah ini tergolong ke dalam asai imunoenzim kerana melibatkan


tindak balas enzim dengan substrat. Kaedah ELISA terus digunakan untuk
mengesan kehadiran antigen sementara kaedah tak terus digunakan untuk
mengesan kehadiran antibodi.

Rajah di atas menunjukkan prinsip ELISA untuk mengesan kehadiran antibodi. Telaga piring
mikrotiter diselaputkan dengan antigen (berwarna biru) kemudian sampel ujian ditambah. Jika
terdapat antibodi spesifik (berwarna merah) untuk antigen dalam sampel tersebut ia akan
bergabung dengan antigen. Kehadiran antibodi ini dikesan menggunakan antibodi sekunder (biru)
berlabel enzim (kuning). Selepas penambahan substrat, warna produk ditentukan berdasarkan
serapan dan nilai serapan ini adalah berkadaran dengan kuantiti antibodi yang tergabung kepada
antigen.

Kaidah pemblotan Western

Kaidah pemblotan Western digunakan untuk mengesan kehadiran antigen. Dalam kaedah ini
antigen tercampur dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Kemudian antigen-antigen tersebut
dipindahkan kepada membran pepejal menggunakan arus elektrik. Kehadiran antigen spesifik pada
membran dikesan menggunakan antibodi spesifik untuk sesuatu antigen.
Rajah di atas menunjukkan antigen-antigen yang terpisah selepas elektroforesis (warna
kuning) yang kemudian dipindahkan kepada membran. Kehadiran antigen spesifik pada membran
dikesan dengan antibodi spesifik berlabel dan warna boleh dibangunkan menggunakan tindak balas
enzim-substrat. Kehadiran antigen-antigen ini dibandingkan dengan satu gel lain (warna cokelat)
yang diwarnakan untuk mengesan semua antigen dalam sampel.

Kaidah pewarnaan berpendarfluor

Kaidah ini menggunakan antibodi spesifik berlabel pendarfluor seperti fluorescein


isothiocyanate (FITC). Rajah di bawah menunjukkan pengesanan bakteria menggunakan antibodi
berpendarfluor. Antibodi berlabel FITC dicampurkan dengan sampel (E. coli) dan kemudian sampel
dicerap menggunakan mikroskop pendarfluor.
Penangkapan dan Presentasi Antigen
Respons imun spesifik dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali antigen. Limfosit B
dan T mengenali jenis antigen yang berbeda. Reseptor di limfosit B yaitu antibodi yang terikat di
membran (membrane-bound antibody) dapat mengenali berbagai makromolekul (protein,
polisakarida, lipid, dan asam nukleat) serta bahan-bahan kimia kecil yang terlarut atau terdapat di
permukaan sel. Sebaliknya, limfosit T hanya dapat mengenali fragmen peptida dari antigen protein,
dan hanya jika peptida tersebut dipresentasikan oleh molekul tertentu di sel pejamu.
Pengenalan antigen oleh limfosit T
Sebagian besar limfosit T mengenali antigen peptida yang terikat dengan molekul major
histocompatibility complex (MHC) yang terdapat di antigen-presenting cell (APC). Pada setiap
individu, berbagai klon sel T dapat mengenali suatu peptida apabila peptida tersebut dipresentasikan
oleh MHC. Sifat sel T ini disebut sebagai restriksi MHC (MHC restriction). Setiap sel T mempunyai
spesifisitas ganda. Hal ini berarti T cell receptor (TCR) mengenali peptida antigen dan juga mengenali
molekul MHC yang membawa peptida tersebut.
Sel yang berfungsi khusus untuk menangkap antigen mikroba dan mengikatnya supaya dapat
dikenali oleh limfosit T dinamakan antigen-presenting cell (APC). Limfosit T naif memerlukan
presentasi antigen oleh APC agar dapat memulai respons imun.
Penangkapan antigen protein oleh APC
Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh APC, kemudian
terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke
dalam tubuh terutama melalui kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC yang tergolong dalam sel
dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih
imatur karena tidak efisien untuk menstimulasi sel T.
Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit dengan cara
fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk antigen terlarut). Sel dendrit memiliki
reseptor untuk berikatan dengan mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal
(terminal mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak ada pada
glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu dengan mikroba, sel tersebut
mengeluarkan sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja
pada sel dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit terlepas dari epitel.
Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di kelenjar getah bening
yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke
pembuluh limfe dan menuju ke kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit
bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC yang dapat menstimulasi
limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan
diekspresikan di permukaan APC.
Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan ikat/parenkim,
mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur dan dibawa ke kelenjar getah bening.
Antigen terlarut di saluran limfe diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening,
sedangkan antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa. Antigen protein
dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat
bertemu dengan limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar getah bening
paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel T naif di kelenjar getah bening sangat
efisien. Jika suatu antigen mikroba masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan
dimulai di kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.
Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun tergantung sel T (T
cell-dependent immune response). Interdigitating dendritic cells merupakan APC yang paling poten
dalam mengaktivasi limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons sel T
namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya, terdapat beberapa jenis sel dendrit
yang dapat mengarahkan diferensiasi sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan
suatu jenis mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua jaringan. Pada respons
imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan mempresentasikannya ke sel T efektor, yang
kemudian mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel T helper; proses ini berperan penting
dalam perkembangan respons imun humoral. Selain itu, semua sel yang berinti dapat
mempresentasikan antigen dari mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.

2.6 IMUNOLOGI DASAR : SEL DARAH PUTIH, NETROFIL, EOSINOFIL, BASOFIL


Sel darah putih, leukosit (white blood cell, WBC, leukocyte) adalah sel yang membentuk
komponen darah. Sel darah putih ini berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit
infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih tidak berwarna, memiliki inti,
dapat bergerak secara amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler / diapedesis. Dalam keadaan
normalnya terkandung 4×109 hingga 11×109 sel darah putih di dalam seliter darah manusia dewasa
yang sehat – sekitar 7000-25000 sel per tetes.Dalam setiap milimeter kubil darah terdapat 6000
sampai 10000(rata-rata 8000) sel darah putih .Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat
hingga 50000 sel per tetes.
Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat dengan organ atau jaringan tertentu,
mereka bekerja secara independen seperti organisme sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara
bebas dan berinteraksi dan menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme
penyusup. Selain itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi dengan cara mereka
sendiri, melainkan mereka adalah produk dari sel punca hematopoietic pluripotent yang ada pada
sumsum tulang.
Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil, basofil, dan fagosit termasuk makrofaga,
neutrofil, dan sel dendritik.
Jenis
Ada beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel polimorfonuklear yaitu:

 Basofil.
 Eosinofil.
 Neutrofil.
 Halo .

dan dua jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:

 Limfosit.
 Monosit.
% dalam
Tipe Gambar Diagram tubuh Keterangan
manusia
Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri serta proses peradangan
kecil lainnya, serta biasanya juga yang memberikan
Neutrofil 65%
tanggapan pertama terhadap infeksi bakteri;
aktivitas dan matinya neutrofil dalam jumlah yang
banyak menyebabkan adanya nanah.
Eosinofil terutama berhubungan dengan infeksi
Eosinofil 4% parasit, dengan demikian meningkatnya eosinofil
menandakan banyaknya parasit.

Basofil terutama bertanggung jawab untuk memberi


Basofil <1% reaksi alergi dan antigen dengan jalan mengeluarkan
histamin kimia yang menyebabkan peradangan.

Limfositlebih umum dalam sistem limfa. Darah


mempunyai tiga jenis limfosit:

 Sel B: Sel B membuat antibodi yang


mengikat patogen lalu menghancurkannya.
(Sel B tidak hanya membuat antibodi yang
dapat mengikat patogen, tapi setelah
adanya serangan, beberapa sel B akan
mempertahankan kemampuannya dalam
menghasilkan antibodi sebagai layanan
sistem ‘memori’.)
Limfosit 25%
 Sel T: CD4+ (pembantu) Sel T mengkoordinir
tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam
infeksi HIV) sarta penting untuk menahan
bakteri intraseluler. CD8+ (sitotoksik) dapat
membunuh sel yang terinfeksi virus.
 Sel natural killer: Sel pembunuh alami
(natural killer, NK) dapat membunuh sel
tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa
dia tidak boleh dibunuh karena telah
terinfeksi virus atau telah menjadi kanker.

Monosit membagi fungsi “pembersih vakum”


(fagositosis) dari neutrofil, tetapi lebih jauh dia hidup
dengan tugas tambahan: memberikan potongan
Monosit 6%
patogen kepada sel T sehingga patogen tersebut
dapat dihafal dan dibunuh, atau dapat membuat
tanggapan antibodi untuk menjaga.
Monosit dikenal juga sebagai makrofag setelah dia
(lihat di
Makrofag meninggalkan aliran darah serta masuk ke dalam
atas)
jaringan.
Fungsi sel Darah putih

Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan badan terhadap
mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit (fago- memakan), mereka memakan
bakteria hidup yang masuk ke sistem peredaran darah. melalui mikroskop adakalanya dapat
dijumpai sebanyak 10-20 mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu menjalankan
fungsi ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan amuboidnya ia dapat bergerak bebas
didalam dan dapat keluar pembuluh darah dan berjalan mengitari seluruh bagian tubuh. dengan
cara ini ia dapat:
Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan
menghancurkannya,menyingkirkan bahan lain seperti kotoran-kotoran, serpihan-serpihan dan
lainnya, dengan cara yang sama, dan sebagai granulosit memiliki enzim yang dapat memecah
protein, yang memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan dan membuangnya. dengan
cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan penyembuhannya dimungkinkan
Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih, peradangan dapat dihentikan sama sekali.
Bila kegiatannya tidak berhasil dengan sempurna, maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi
“jenazah” dari kawan dan lawan – fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.
demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan ditambah lagi dengan
sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan sel nanah tersebut akan disingkirkan oleh
granulosit yang sehat yang bekerja sebagai fagosit.

Sel jaringan lainnya

 Histiosit, ada dalam sistem limfa bersama jarigan lainnya, tetapi tidak umum di dalam darah:
o Makrofaga
o Sel dendritik
 Mastosit

Merupakan

 Alergi dapat menyebabkan perubahan jumlah sel darah putih.

Granulosit ( granulocytes, polymorphonuclear, PMN) adalah sebuah sub-kelompok sel darah


putih yang mempunyai granula dalam sitoplasmanya. Tiga jenis granulosit dengan inti sel yang
berlainan dikeluarkan oleh sumsum tulang sebagai protein komplemen wewenang (regulatory
complement system).
Eosinofil
Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kategori granulosit yang berperan
dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit multiselular dan beberap infeksi pada makhluk
vertebrata. Bersama-sama dengan sel biang, eosinofil juga ikut mengendalikan mekanisme alergi.
Eosinofil terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi pada sumsum tulang sebelum
bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.
Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil peroksidase,
ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, [[plasminogen] dan beberapa asam amino yang dirilis
melalui proses degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksin terhadap parasit
dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan
pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang
tidak diperlukan.
Individu normal mempunyai rasio eosinofil sekitar 1 hingga 6% terhadap sel darah putih
dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.
Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara korteks otak
besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus, limpa dan lymph nodes. Tetapi
tidak dijumpai di paru, kulit, esofagus dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal, keberadaan
eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan
dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan
apabila tidak terdapat stimulasi

Neutrofil
Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN) adalah bagian sel
darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan dua sel granulosit lain: eosinofil dan basofil
yang mempunyai granula pada sitoplasma, disebut juga polymorphonuclear karena bentuk inti sel
mereka yang aneh. Granula neutrofil berwarna merah kebiruan dengan 3 inti sel.
Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses
peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat.
Dengan sifat fagositik yang mirip dengan makrofaga, neutrofil menyerang patogen dengan serangan
respiratori menggunakan berbagai macam substansi beracun yang mengandung bahan pengoksidasi
kuat, termasuk hidrogen peroksida, oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.
Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai 50-60%. Sumsum tulang normal
orang dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil sehari, dan meningkat menjadi sepuluh
kali lipatnya juga terjadi inflamasi akut.
Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan mengalami 6 tahap morfologis: mielocit,
metamielocit, neutrofil non segmen (band), neutrofil segmen.Neutrofil segmen merupakan sel aktif
dengan kapasitas penuh, yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder,
atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang rusak terlihat sebagai
nanah.
Basofil
Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu sekitar 0,01 – 0,3% dari
sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granula sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti
granulosit lain, basofil dapat tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat
teraktivasi, basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin, kondroitin, elastase dan
lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa macam sitokina. Basofil memainkan peran dalam reaksi
alergi (seperti asma).

Mekanisme kerusakan sel danjaringan pemulihan dari infeksi eliminasi mikroba

MASALAH FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFEKSI


PADA INDIVIDU

Beberapa ahli mengatakan bahwa Indonesia adalah "gudangnya" penyakit


infeksi. mungkin ada benarnya juga, kita lihat saja berapa banyak macam
penyakit infeksi di Indonesia mulai yang bersumber pada binatang sampai
penularan antar manusia. untuk menambah khasanah pengetahuan kita tentang
infeksi, artikel berikut mudah-mudahan bermanfaat...

TIPE MIKROORGANISME PENYEBAB INFEKSI


Penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies
bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan dapat hidup
didalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan dan
jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
2. Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk diproduksi.
3. Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur
4. Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit
adalah protozoa, cacing dan arthropoda.

TIPE INFEKSI

Kolonisasi
Merupakan suatu proses dimana benih mikroorganisme menjadi flora yang
menetap/flora residen.
1.Infeksi lokal : spesifik dan terbatas pada bagain tubuh dimana
mikroorganisme tinggal.
2. Infeksi sistemik : terjadi bila mikroorganisme menyebar ke bagian tubuh
yang lain dan menimbulkan kerusakan.
3. Bakterimia : terjadi ketika dalam darah ditemukan adanya bakteri
4. Septikemia : multiplikasi bakteri dalam darah sebagai hasil dari infeksi
sistemik
5. Infeksi akut : infeksi yang muncul dalam waktu singkat
6. Infeksi kronik : infeksi yang terjadi secara lambat dalam periode yang lama
(dalam hitungan bulan sampai tahun)

RANTAI INFEKSI
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai
faktor yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara
penularan, portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.

AGEN INFEKSI
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora
transient maupun resident. Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya
stabil, organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien
melekat pada kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam
aktivitas normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan
cuci tangan. Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui
cuci tangan dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan
dengan seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada:
jumlah microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit),
kemampuan untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari
host/penjamu.

RESERVOAR (Sumber Mikroorganisme)


Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik
berkembang biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah
manusia, binatang, makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan
reservoir adalah tubuh manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun
drainase. Adanya microorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu
menyebabkan penyakit pada hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya
terdapat mikroorganisme patogen bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit
(carier). Kuman akan hidup dan berkembang biak dalam reservoar jika
karakteristik reservoarnya cocok dengan kuman. Karakteristik tersebut yaitu
oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.

PORTAL OF EXIT (Jalan Keluar)


Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan
keluar (portal of exit untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi.
Sebelum menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu
dari reservoarnya. Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui
saluran pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane
mukosa yang rusak serta darah.

CARA PENULARAN (Transmission)


Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara
seperti kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau
darahnya;kontak tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka
penderita; peralatan yang terkontaminasi; makanan yang diolah tidak tepat;
melalui vektor nyamuk atau lalat.

PORTAL MASUK (Port de Entry)


Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh.
Kulit merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius.
Rusaknya kulit atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba
dapat masuk ke dalam tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan portal
keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan tubuh memperbesar
kesempatan patogen masuk ke dalam tubuh.

DAYA TAHAN HOSPES (MANUSIA)


Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen
infeksius. Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu
terhadap patogen. Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan
mikroorganisme dalam jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai
individu rentan terhadap kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu
usia, keturunan, stress (fisik dan emosional), status nutrisi, terapi medis,
pemberian obat dan penyakit penyerta.

PROSES INFEKSI
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung
dari tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu.
Dengan proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan
meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan
keperawatan yang diberikan.Berbagai komponen dari sistem imun memberikan
jaringan kompleks mekanisme yang sangat baik, yang jika utuh, berfungsi
mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas. Pada
beberapa keadaan, komponen-komponen baik respon spesifik maupun
nonspesifik bisa gagal dan hal tersebut mengakibatkan kerusakan pertahanan
hospes. Orang-orang yang mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi
dalam pertahanan dari segi hospesnya disebut hospes yang melemah.
Sedangkan orang-orang dengan kerusakan mayor yang berhubungan dengan
respon imun spesifik disebut hospes yang terimunosupres.
Efek dan gejala nyata yang berhubungan dengan kelainan pertahanan hospes
bervariasi berdasarkan pada sistem imun yang rusak. Ciri-ciri umum yang
berkaitan dengan hospes yang melemah adalah: infeksi berulang, infeksi kronik,
ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan
terhadap kanker tertentu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:

Periode/ Masa Inkubasi


Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala
pertama.
Contoh: flu 1-3 hari, campak 2-3 minggu, mumps/gondongan 18 hari

Tahap Prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik (malaise, demam ringan,
keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan penyakit ke
orang lain.

Tahap Sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis
infeksi. Contoh: demam dimanifestasikan dengan sakit tenggorokan, mumps
dimanifestasikan dengan sakit telinga, demam tinggi, pembengkakan kelenjar
parotid dan saliva.

Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi

PERTAHANAN TERHADAP INFEKSI


Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh
yang tinggal di dalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa
patogen. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan terhadap agen
infeksius. Flora normal, sistem pertahanan tubuh dan inflamasi adalah
pertahanan nonspesifik yang melindungi terhadap mikroorganisme.

Flora Normal
Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang ada pada lapisan
permukaan dan di dalam kulit, saliva, mukosa oral dan saluran gastrointestinal.
Manusia secara normal mengekskresi setiap hari trilyunan mikroba melalui
usus. Flora normal biasanya tidak menyebabkan sakit tetapi justru turut
berperan dalam memelihara kesehatan. Flora ini bersaing dengan
mikroorganisme penyebab penyakit unuk mendapatkan makanan. Flora normal
juga mengekskresi substansi antibakteri dalam dinding usus. Flora normal kulit
menggunakan tindakan protektif dengan meghambat multiplikasi organisme
yang menempel di kulit. Flora normal dalam jumlah banyak mempertahankan
keseimbangan yang sensitif dengan mikroorganisme lain untuk mencegah
infeksi. Setiap faktor yang mengganggu keseimbangan ini mengakibatkan
individu semakin berisiko mendapat penyakit infeksi.

Sistem Pertahanan Tubuh


Sejumlah sistem organ tubuh memiliki pertahanan unik terhadap
mikroorganisme. Kulit, saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal sangat
mudah dimasuki oleh mikroorganisme. Organisme patogen dengan mudah
menempel pada permukaan kulit, diinhalasi melalui pernafasan atau dicerna
melalui makanan. Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan yang
secara fisiologis disesuaikan dengan struktur dan fungsinya.

Berikut ini adalah mekanisme pertahanan normal terhadap infeksi:


Mekanisme pertahanan Faktor pengganggu pertahanan

1. Kulit
a. Permukaan, lapisan yang utuh
b. Pergantian lapisan kulit paling luar
c. Sebum
Luka abrasi, luka pungsi, daerah maserasi
Mandi tidak teratur
Mandi berlebihan

2. Mulut
a. Lapisan mukosa yang utuh
b. Saliva
Laserasi, trauma, cabut gigi
Higiene oral yang tidak baik, dehidrasi

3. Saluran pernafasan
a. Lapisan silia di jalan nafas bagian atas diselimuti oleh mukus
b. Makrofag
Merokok, karbondioksida & oksigen konsentrasi tinggi, kurang lembab, air
dingin
Merokok

4. Saluran urinarius
a. Tindakan pembilasan dari aliran urine
b. Lapisan epitel yang utuh
Obstruksi aliran normal karena pemasangan kateter, menahan kencing,
obstruksi karena pertumbuhan tumor.
Memasukkan kateter urine, pergerakan kontinyu dari kateter dalam uretra.

5. Saluran gastrointestinal
a. Keasaman sekresi gaster
b. Peristaltik yang cepat dalam usus kecil
Pemberian antasida
Melambatnya motilitas karena pengaruh fekal atau obstruksi karena massa

6. Vagina
a. Pada puberitas, flora normal menyebabkan sekresi vagina untuk mencapai pH
yang rendah
Antibiotik dan kontrasepsi oral mengganggu flora normal

Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan cairan,
produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses ini
menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan
memulai cara-cara perbaikan jaringa tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak,
kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang
terinflamasi. Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala
demam, leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar
limfe.

Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau


mikroorganisme. Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:

a. respon seluler dan vaskuler


Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang cidera berdilatasi,
memungkinkan lebih banyak darah masuk dala sirkulasi. Peningkatan darah
tersebut menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala hangat lokal
dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area yang inflamasi. Cidera
menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh mengeluarkan histamin,
bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan, protein dan sel
memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema lokal.
Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan yang terinflamasi
meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang mengakibatkan nyeri. Substansi
kimia seperti histamin menstimuli ujung syaraf. Sebagai akibat dari terjadinya
perubahan fisiologis dari inflamasi, bagian tubuh yang terkena biasanya
mengalami kehilangan fungsi sementara dan akan kembali normal setelah
inflamasi berkurang.

b. pembentukan eksudat inflamasi


akumulasi cairan dan jaringan mati serta SDP membentuk eksudat pada
daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih seperti plasma),
sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen (mengandung SDP dan
bakteri). Akhirnya eksudat disapu melalui drainase limfatik. Trombosit dan
protein plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk jala pada
tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran.

c. perbaikan jaringan
Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang sehat. Sel baru
mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut mencapai karakteristik
struktur dan bentuk yang sama dengan sel sebelumnya

Respon Imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang oleh
monosit. Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun. Materi
asing yang tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang mengubah
susunan biologis tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen tersebut
bergerak ke darah atau limfe dan memulai imunitas seluler atau humural.

1. Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan. Ikatan
ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat untuk
membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah inflamasi,
berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik &
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen

2. Imunitas humoral
Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan sintesa
imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel B
memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan imunitas,
sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi invasi
antigen.

3. Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A, M,
D, E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.

4. Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah.
Komplemen diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen
diaktifkan, maka akan terjadi serangkaian proses katalitik.

5. Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu
kemampuan virus dalam bermultiplikasi.

Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari kata Yunani nosocomium, yang berarti rumah sakit.
Maka, kata nosokomial artinya "yang berasal dari rumah sakit" kata infeksi
cukup jelas artinya, yaitu terkena hama penyakit.Menurut Patricia C Paren,
pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada saat masuk belum
mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama 48-72 jam klien menjadi
terinfeksi Infeksi nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien
yang lain, alat dan bahan yang digunakan untuk pengobatan maupun dari
lingkungan Rumah Sakit
Unit perawatan intensif (UPI) merupakan area dalam RS yang berisiko tinggi
terkena Inos. Alasan ruang UPI berisiko terjadi infeksi nosokomial:
• Klien di ruang ini mempunyai penyakit kritis
• Peralatan invasif lebih banyak digunakan di ruang ini
• Prosedur invasif lebih banyak dilakukan
• Seringkali prosedur pembedahan dilakukan di ruang ini karena kondisi darurat
• Penggunaan antibiotik spektrum luas
• Tuntutan tindakan yang cepat membuat perawat lupa melakukan tehnik
aseptik

Infeksi iatroigenik merupakan jenis inos yg diakibatkan oleh prosedur


diagnostik (ex:infeksi pada traktus urinarius yg terjadi setelah insersi kateter).
Inos dapat terjadi secara eksogen dan endogen. Infeksi eksogen didapat dari
mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan merupakan flora
normal. Infeksi endogen terjadi bila sebagian dari flora normal klien berubah
dan terjadi pertumbuhan yang berlebihan.

Faktor yang berpengaruh pada kejadian infeksi klien:


• Jumlah tenaga kesehatan yang kontak langsung dng pasien
• Jenis dan jumlah prosedur invasif
• Terapi yang diterima
• Lamanya perawatan

Penyebab infeksi nosokomial meliputi:


1.Traktus urinarius:
Pemasangan kateter urine
Sistem drainase terbuka
Kateter dan selang tdk tersambung
Obstruksi pada drainase urine
Tehnik mencuci tangan tidak tepat

2.Traktus respiratorius:
Peralatan terapi pernafasan yang terkontaminasi
Tdk tepat penggunaan tehnik aseptif saat suction
Pembuangan sekresi mukosa yg kurang tepat
Tehnik mencuci tangan tidak tepat

3.Luka bedah/traumatik:
Persiapan kulit yg tdk tepat sblm pembedahan
Tehnik mencuci tangan tidak tepat
Tdk memperhatikan tehnik aseptif selama perawatan luka
Menggunakan larutan antiseptik yg terkontaminasi

4.Aliran darah:
Kontaminasi cairan intravena saat penggantian
Memasukkan obat tambahan dalam cairan intravena
Perawatan area insersi yg kurang tepat
Jarum kateter yg terkontaminasi
Tehnik mencuci tangan tidak tepat

Asepsis
Asepsis berarti tidak adanya patogen penyebab penyakit. Tehnik aseptik
adalah usaha yang dilakukan untuk mempertahankan klien sedapat mungkin
bebas dari mikroorganisme. Asepsis terdiri dari asepsis medis dan asepsis
bedah. Asepsis medis dimaksudkan untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme. Contoh tindakan: mencuci tangan, mengganti linen,
menggunakan cangkir untuk obat. Obyek dinyatakan terkontaminasi jika
mengandung/diduga mengandung patogen. Asepsis bedah, disebut juga tehnik
steril, merupakan prosedur untuk membunuh mikroorganisme. Sterilisasi
membunuh semua mikroorganisme dan spora, tehnik ini digunakan untuk
tindakan invasif. Obyek terkontaminasi jika tersentuh oleh benda tidak steril.

Prinsip-prinsip asepsis bedah adalah sebagai berikut:


Segala alat yang digunakan harus steril Alat yang steril akan tidak steril jika
tersentuh Alat yang steril harus ada pada area steril Alat yang steril akan tidak
steril jika terpapar udara dalam waktu lama Alat yang steril dapat
terkontaminasi oleh alat yang tidak steril Kulit tidak dapat disterilkan.

Tehnik Isolasi
Merupakan cara yang dibuat untuk mencegah penyebaran infeksi atau
mikroorganisme yang bersifat infeksius bagi kesehatan individu, klien dan
pengunjung. Dua sistem isolasi yang utama adalah:
Centers for disease control and prevention (CDC) precaution
Body Subtance Isolation (BSI) System CDC meliputi prosedur untuk:
*Category-Specific Isolation precaution
*Disease-Specific Isolation
*Universal precaution

Category-Specific Isolation precaution meliputi:


1. Strict isolation
Untuk wabah dipteri pneumonia, varicella Untuk mencegah penyebaran
lewat udara Perlu ruangan khusus, pintu harus dalam keadaan tertutup Setiap
orang yang memasuli ruangan harus menggunakan gaun, cap dan sepatu yang
direkomendasikan,Harus menggunakan masker,Harus menggunakan sarung
tangan,Perlu cuci tangan setiap kontak,Menggunakan disposal.
2. Contact isolation
Untuk infeksi pernafasan akut, influensa pada anak-anak, infeksi kulit,
herpes simplex, rubela scabies Mencegah penyebaran infeksi dengan membatasi
kontak Perlu ruangan khusus Harus menggunakan gaun jika ada cairan Harus
menggunakan masker jika kontak dengan klien Memakai sarung tangan jika
menyentuh bahan-bahan infeksius Perlu cuci tangan setiap kontak
Menggunakan disposal.

3. Respiratory isolation
Untuk epiglotis, meningitis, pertusis, pneumonia dll Untuk mencegah
penyebaran infeksi oleh tisu dan droplet pernapasan karena batuk, bersin,
inhalasi Perlu ruangan khusus Tidak perlu gaun Harus memakai masker Tidak
perlu menggunakan sarung tangan Perlu cuci tangan setiap kontak
Menggunakan disposal

4. Tuberculosis isolation
Untuk TBC Untuk mencegah penyebaran acid fast bacilli Perlu ruangan
khusus dengan tekanan negatifPerlu menggunakan gaun jika pakaian
terkontaminasiHarus memakai masker
Tidak perlu menggunakan sarung tangan
Perlu cuci tangan setiap kontak
Bersihkan disposal dan disinfektan meskipun jarang menyebabkan perpindahan
penyakit

5. Enteric precaution
Untuk hepatitis A, gastroenteritis, demam tipoid, kolera, diare dengan
penyebab infeksius, encepalitis, meningitis.Untuk mencegah penyebaran infeksi
melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan feces Perlu ruangan khusus
jika kebersihan klien burukPerlu gaun jika pakaian terkontaminasi Tidak perlu
masker Perlu sarung tangan jika menyentuh bahan-bahan infeksius
Perlu cuci tangan setiap kontak Menggunakan disposal.

6. Drainage/ secretion precaution


Untuk drainasi lesi, abses, infeksi luka bakar, infeksi kulit, luka dekubitus,
konjungtivis Mencegah penyebaran infeksi, membatasi kontak langsung
maupun tidak langsung dengan material tubuh Tidak perlu ruangan khusus
kecuali kebersihan klien buruk Perlu gaun jika pakaian terkontaminasi Tidak
perlu masker Perlu sarung tangan jika menyentuh bahan-bahan infeksius Perlu
cuci tangan setiap kontak Menggunakan disposal.

7. Blood/ body fluid precaution


Untuk hepatitis b, sipilis, AIDS, malaria Mencegah penyebaran infeksi,
membatasi kontak langsung maupun tidak langsung dengan cairan tubuh
Tidak perlu ruangan khusus kecuali kebersihan klien buruk Perlu gaun jika
pakaian terkontaminasi Tidak perlu masker Perlu sarung tangan jiak menyentuh
darah dan cairan tubuh Perlu cuci tangan setiap kontak Menggunakan disposal

Disease-Specific Isolation
Untuk pencegahan penyakit specific Contoh tuberkulosis paru Kamar khusus
Gunakan masker Tidak perlu sarung tangan

Body Subtance Isolation (BSI) System


Tujuan Mencegah transmisi silang mikroorganisme Melindungi tenaga
kesehatan dari mikroorganisme dari klien

a. Elemen BSI
a. Cuci tangan
b. Memakai sarung tangan bersih
c. Menggunakan gaun, masker, cap, sepatu, kacamata
d. Membuang semua alat invasif yg telah digunakan
e. Tempat linen sebelum dicuci
f. Tempatkan diposibel pada sebuah plastik
g. Cuci dan sterilkan alat yang telah digunakan
h. Tempatkan semua specimen pada plastik sebelum ditranport ke
laboratorium

b. Pencegahan infeksi di rumah:


a. Cuci tangan
b. Jaga kebersihan kuku
c. Gunakan alat-alat personal
d. Cuci sayuran dan buah sebelum dimakan
e. Cuci alat yang akan digunakan
f. Letakkan alat-alat yang terinfeksi pada plastik
g. Bersihkan seprei
h. Cegah betuk, bersin, bernapas langsung dengan orang lain
i. Perhatian pada tanda dan gejala infeksi
j. Pertahankan intak cairan dan nutrisi

http://firwanintianur93.blogspot.com/2013/04/masalah-faktor-faktor-yang-
mempengaruhi.html
Gambar I. Mekanisme yang berperan pada pertahanan terhadap berbagai fase infeksi virus
1. Interferon dan IgA merupakan pertahanan pertama pada epitel permukaan. 2. Beberapa virus
berkembang dalam epitel permukaan. Ada virus yang mempunyai lebih dari satu masa viraemi dan
selama ada dalam darah virus tersebut rentan terhadap antibodi. 3. Virus di dalam sel diserang
berbagai komponen sistem imun humoral dan seluler dan atau antibodi melalui ADCC. 4. Pada
umumnya pemusnahan virus di dalam sel menguntungkan tubuh, tetapi reaksi imun yang terjadi
dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang disebut imunopatologik.

Gambar II. Mekanisme pertahanan terhadap virus


Gambar III. Siklus hidup virus yang umum
1. Virion diabsorpsi sel penjamu melalui reseptor. 2,3 Virus menembus sel dan melepaskan
mantelnya. 4. Infeksi terjadi melalui beberapa fase yang bergantung pada jenis virus. Berbagai
komponen virus dibentuk di dalam sitoplasma dan atau nukleus sel. Selanjutnya komponen-
komponen tersebut menyatukan diri sehingga terbentuk virus yang matang. 5. Virus dilepas melalui
budding membran sel. 6. Virus dapat pula menyebar dari sel satu ke sel yang lain melalui kontak
tanpa adanya virus yang dilepas ke luar sel. 7. Beberapa virus tetap tinggal di dalam sel yang dapat
diaktifkan sewaktu-waktu. 8. Beberapa virus mampu menyatukan bahan genetiknya dengan genom
sel pejamu dan tinggal laten. Selanjutnya sel menjadi produktif. 9. Atau pada keadaan tertentu
melalui transformasi sel menjadi neoplastik. 10,11 Beberapa infeksi virus terjadi abortif, dalam hal
ini, sel yang mengandung virus akhirnya mati juga. Untuk membatasi penyebaran virus dan
mencegah infeksi, sistem imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan
memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya
infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh
sel-sel yang mengalami lisis. Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus
yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan beberapa cara,
di antaranya dengan menghambat cara perlekatan virus terhadap reseptor yang terdapat pada
permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel, dengan demikian replikasi virus
dapat dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen melalui
jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan melalui
proses yang sama seperti diuraikan di atas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang
dikeluarkan dari sel yang telah hancur. Tetapi seringkali antibodi tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri ( budding
off ) melalui membran sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam
sel yang berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya
adalah virus oncorna ( termasuk di dalamnya virus leukemogenik ), virus dengue, virus herpes,
rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus secara langsung, antibodi
dapat berfungsi dalam reaksi ADCC. Disamping respon antibodi, respon imun selular merupakan
respon yang paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik. Respon imun seluler
melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti-virus
cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β. Dampak anti-virus dari IFN dapat terjadi melalui: a)
Peningkatan ekspresi MHC kelas I b) Aktivasi sel NK dan makrofag c) Menghambat replikasi virus d)
Menghambat penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi Seperti
halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T sitotoksik selain bersifat protektif juga dapt
merupakan penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV
(lynphocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunh virus seperti hanya ia membunuh bakteri. Tetapi
pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya virus
memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya dapat
berkembang biak intraseluler karena ia memerlukan DNA-penjamu untuk replikasi. Akibatnya ialah
bahwa virus selanjutnya dapat merusak organ-organ tubuh yang lain terutama apabila virus itu
bersifat non-sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik dengan menyebar ke sel-sel lain. Pada infeksi
sel secara langsung di tempat masukya virus (port d’entre), misalnya di paru, virus tidak sempat
beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat menimbulkan respons primer, dan antibodi yang dibentuk
seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun seluler mempunyai
peran lebih menonjol, karena sel T sitotoksik pada penderita yang tersensitisasi bersifat sitotoksik
lansung terhadap sel yang terinfeksi virus. Sel T sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor
terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik kurang spesifik
dibandingkan antibodi dan dapat melakukan reaksi silang dengan spektrum yang lebih luas. Namun
ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas I yang berbeda. Beberapa
jenis virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga menganggu fungsinya dan mengakibatkan
imunodepresi, misalnya virus influensa, piloi, dan HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri
sendiri (self limiting), pada sebagian lagi menimbulkan gejala klinil atau subklinik. Penyembuhan dari
infeksi virus umumnya diikuti imunitas jangka panjang.

Gambar IV. Skema infeksi virus dan respons imun menunjukkan berbagai kemungkinan.
Daftar Pustaka: Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Pejamu merupakan organisme (manusia atau hewan) tempat berlabuhnya agen


penyakit.Keberadaan penjamu yang rentan terhadap penyakit menular di populasi sangat
tergantung pada mobilitas penjamu, kontak interpersonal serta derajat dan lama imunitas yang
dimiliki oleh penjamu.Faktor penjamu sendiri merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi
keterpaparan individu, kerentanan dan respon terhadap agen penyebab.Faktor penjamu meliputi
faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri dari usia, jenis kelamin, ras, genetik, fisiologi
(termasuk kebugaran dan riwwayat penyakit) serta ketanggapan imunitas. Sedangkan faktor
ekstrinsik meliputi aktifitas seksual beresiko, cara hidup/perilaku, nutrisi, pekerjaan, rekreasi dan
imunisasi. Faktor-faktor tersebut penting karena mempengaruhi resiko untuk terpapar sumber
infeksi, dan kerentanan serta resistensi dari manusia terhadap suatu penyakit atau infeksi.
A. Usia
Biasanya merupakan faktor penjamu yang terpenting dalam timbulnya penyakit. Terdapat
penyakit-penyakit tertentu yang hanya (atau biasanya) menyerang anak-anak usia tertentu, atau ada
juga yang hanya menyerang mereka yang telah dewasa atau usia lanjut.
B. Jenis Kelamin
Sebagian besar penyakit menular mempunyai kerentangan yang sama untuk jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Namun beberapa penyakit menular ditemukan lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan disebabkan peluang keterpaparan sehubungan dengan pekerjaan
serta karakteristik herediter dari jenis kelamin.
C. Ras
Faktor ini sendiri tidak mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi terjadinya penyakit
menular pada seseorang meskipun telah di temukan adanya perbedaan kejadian dan distribusi
penyakit menular berdasarkan ras.

D. Genetik
Berkaitan dengan ras.
E. Perilaku
Sehubungan dengan banyaknya variasi sumber penyakit, reservoir dan cara penularan agen
penyakit menular, perilaku individu serta adat kebiasaan dalam masyarakat dapat memudahkan
kontak agen dengan penjamu.
F. Nutrisi
Makin baik status gizi sesorang, maka makin baik system pertahanan tubuh orang tersebut
(secara umum).
G. Imunitas dan Kerentanan Pejamu
Kerentanan pejamu tergantung pada faktor genetika, faktor ketahanan tubuh secara umum,
dan imunitas spesifik yang di dapat.Faktor ketahanan tubuh yang penting adalah yang berhubungan
dengan kulit, selaput lendir, keasaman lambung, silia pada saluran pernafasan, dan refleks batuk.
Faktor yang meningkatkan kerentanan adalah malnutrisi, bila menderita penyakit lain, depresi
system immunologi yang dapat terjadi pada penbobatan penyakit lain (misalnya AIDS). Disamping itu
faktor imunitas sangat berpengaruh dalam timbulnya suatu penyakit.
Adapun karakteristik dari Host adalah :
1. Resistensi
Kemampuan dari pejamu untuk bertahan terhadap suatu infeksi.
2. Imunitas
Kesanggupan Host untuk mengembangkan suatu respon immunologis sehinnga tubuh kebal
terhadap penyakit tertentu.
3. Infektifnes
Potensi pejamu yang terinfeksi untuk menularkan penyakit pada orang lain

FAKTOR LINGKUNGAN
Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal (diluar agen dan pejamu) yang mempengaruhi
agen dan peluang untuk terpapar yang menyebabkan atau memungkinkan transmisi penyakit.
Lingkungan dapat diklasifikasikan dalam 4 komponen, yaitu : Lingkungan fisik, biologi, sosial dan
ekonomi.
A. Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik meliputi kondisi udara, musim, cuaca, dan kondisi geografi serta geologinya.
Kondisi udara, musim, cuaca, dapat mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap penyakit
tertentu seperti : kelembaba udara yang sangat rendah dapat mempengaruhi selaput lendir hidung
dan telinga sehingga lebih rentan terhadap infeksi seperti influenza.
Kondisi geografis sera geologi juga dapatmempengaruhi kesehatan secara langsung maupun
tidak langsung.Faktor ini berkaitan dengan topografi, sifat tanah, distribusi dan jumlah tanah serta
air yang terkandung.
B. Lingkungan Biologi
a. Hewan atau tumbuh-tumbuhan dapat berfungsi sebagai agen, reservoir, maupun vektor dari suatu
penyakit.
b. Mikroorganisme saprofit mempunyai pengaruh positif terhadap kesehatan melalui penyuburan
tanah, dan lain-lain.
c. Tumbuh-tumbuhan dapat merupakan sumber nutrient, tetapi mungkin pula menjadi tempat
bermukim binatang yang merupakan vektor suatu penyakit, atau merupakan sumber allergen.

C. Lingkungan Sosial-Ekonomi
Faktor yang timbul dari lingkungan sosial sangat mempengaruhi status kesehatan fisik dan
mental secara individu maupun kelompok, seperti :
 kepadatan penduduk
 kehidupan sosial
 stratifikasi sosial berdasarkan tingkat pendidikan
 nilai-nilai sosial yang berlaku

Faktor yang berkaitan dengan ekonomi setempat, misalnya :


 kemiskinan
 ketersediaan dan keterjanhkauan fasilitas kesehatan oleh masyarakat
 adanya pusat-pusat latihan dan penyediaan kerja
 perang
 bencana alam

Anda mungkin juga menyukai