Disusun Oleh :
DENPASAR
2018
BAB I
FLORA NORMAL TUBUH MANUSIA (MIKROBIOTA)
Gambar 4. Bakteri yang melekat pada permukaan gigi sebagaimana nampak pada
mikrograf electron payar. Terlihat kokus menyelubungi beberapa bakteri filamentus,
sehingga memberikan penampilan “tongkol jagung”.
Baik S. sanguins maupun S. mutans menghasilkan polisakaride ekstraselular yang
disebut dekstrans yang bekerja seperti perekat, mengikat sel-sel bakteri menjadi satu
dan juga melekatkan mereka pada permukaan gigi. Tertahannya bakteri dapat juga
PATOGEN
A. Definisi Patogenesis
Patogen adalah materi atau organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada
inang misalnya bakteri. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari
permukaan kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Sedangkan
Patogenesis sendiri adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.
Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan
jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit.
Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan
kriteria ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen
oportunistik, nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang
menyebabkan suatu penyakit (Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah bakteri yang
berkemampuan sebagai patogen ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (contoh
E. coli menginfeksi saluran urin ketika sistem pertahanan inang dikompromikan
(diperlemah). Nonpatogen adalah bakteri yang tidak pernah menjadi patogen. Namun
bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek
mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme resistensi.
Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula nonpatogen, berubah menjadi patogen yang
menyebabkan pneumonia, infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang terkompromi.
Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding lurus
dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh
jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan inang, dan faktor
virulensi bakteri. Secara eksperimental virulensi diukur dengan menentukan jumlah bakteri
yang menyebabkan kematian, sakit, atau lesi dalam waktu yang ditentukan setelah
introduksi.
Mikroba patogen diketahui memasuki inang melalui organ-organ tubuh antara lain:
1. Saluran pernapasan, melalui hidung dan mulut yang dapat menyebabkan
penyakit saluran pernapasan seperti salesma, pneumonia, tuberculosis.
Setelah sembuh dari penyakitnya, penderita akan kebal terhadap typhus, untuk
waktu cukup lama. Interksi ulang (reinfeksi) dapat terjadi, tetapi biasanya gejalanya
sangat ringan. Makanan penderita dapat juga menjadi karier karena bakteri menetap
dan berkembang biak dalam kandung empedunya. Bahan yang berbahaya untuk
penularan adalah feses penderita atau karier.
5. Pengobatan
Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Kadang
makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika
terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis
bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan
untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi. Anti
biotika yang sering digunakan:
Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas.
Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini
hanya 31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-
3,0 cm, terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).( Singh AE,1999). Pada sifilis primer
sering dijumpai limfadenopati regional, tidak nyeri dan ipsilateral terhadap
chancre, muncul pada 80% pasien dan sering berhubungan dengan lesi
genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut, jari
tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari 3-90 hari dan
sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu. ( Singh AE,1999)
1994).
Gambar 1. Acetylcholine pada syaraf terminal dikemas dalam vesikel. Pada stimulasi
syaraf, yang meningkatkan konsentrasi intra-neuronal Ca2+, membran vesikel berfusi
dengan plasmalemma dari syaraf terminal, membebaskan transmitter ke dalam
synaptic cleft. Proses ini dimediasi oleh satu serial protein yang secara kolektif disebut
protein SNARE. BoNT, memasuki syaraf terminal, memecah protein SNARE,
mencegah pembentukan functional fusion complex, dan memblokir pembebasan
acetylcholine.
Mekanisme multi tahap dari kerja BoNT pada syaraf motor terminal pertama kali
dikemukakan oleh SIMPSON (1979) dan kemudian ada bukti eksperimental yang
menjelaskan prosesnya (DOLLY et al., 1984; BLACK dan DOLLY, 1986 a, b;
DOLLY et al., 1994). Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Pengikatan pada ecto-
Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin
karena kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan berakumulasi
hingga mencapai 1010 basil/gram jaringan pada kasus lepratype lepromatus.
Kerusakan syaraf perifer yang terjadi merupakan sebuah respon dari system imun
Karena adanya basil ini sebagai antigen. Pada lepra type tuberkuloid, terjadi granuloma
yang sembuh dengan sendirinya bersifar berisi sedikit basil tahan asam (Martiny,
2006).
b. Fisiologi
Vibrio cholerae bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Suhu optimum untuk
pertumbuhan pada suhu 18-37°C. Dapat tumbuh pada berbagai jenis media, termasuk
media tertentu yang mengandung garam mineral dan asparagin sebagai sumber karbon
dan nitrogen. V. cholerae ini tumbuh baik pada agar Thiosulfate-citrate-bile-sucrose
(TCBS), yang menghasilkan koloni berwarna kuning (Gambar 2) dan pada media
TTGA (Telurite-taurocholate-gelatin-agar).
Salah satu ciri khas dari vibrio cholerae ini adalah dapat tumbuh pada pH yang
sangat tinggi (8,5-9,5) dan sangat cepat mati oleh asam. Pertumbuhan sangat baik pada
pH 7,0. Karenanya pembiakan pada media yang mengandung karbohidrat yang dapat
difermentasi, akan cepat mati. . V. cholerae meragi sukrosa dan manosa tanpa
menghasilkan gas tetapi tidak meragi arabinosa. Kuman ini juga dapat meragi nitrit.
I Made Pradnyana Putra
171200168
Ciri khas lain yang membedakan dari bakteri enteric gram negative lain yang tumbuh
pada agar darah adalah pada tes oksidasi hasilnya positif.
c. Struktur antigen
Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel
H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif.
Pada uji aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang
penting dalam pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholerae. Antigen somatic
O ini terdiri dari lipopolisakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir.
Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif.. Vibrio cholerae serogroup O1 memiliki
3 faktor antigen : A, B dan C yang membagi grup O1 menjadi serotipe Ogawa, Inaba
dan Hikojima.
d. Pathogenesis
Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia.
Seseorang yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak
1010 atau lebih V. cholerae dalam air agar dapat menginfeksi, sebab kuman ini sangat
sensitive pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102 - 104
organisme yang diperlukan, karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan.
Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung
membuat seseorang lebih sensitive terhadap infeksi Vibrio cholera.
1. Entecotoksin
V. cholerae ini menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas,
dengan berat molekul sekitar 90.000 yang mengandung 98% protein, 1% lipid
dan 1% karbohidrat.
I Made Pradnyana Putra
171200168
Pada tiap molekul enterotoksin Vibrio cholerae terdiri dari 5 sub unit B
(binding) dan 1 sub unit A (active). Sub unit A ini mempunyai 2 komponen A1
dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor ganglion pada permukaan
enterocytes melalui 5 sub unit B. Sedangkan komponen A2 sub unit
mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen A1 sub unit bertugas
meningkatkan aktivitas Adenil siklase akibatnya produksi cyclic AMP
meningkat yang menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit
(Gambar 4) sehingga menimbulkan diare massif dengan kehilangan cairan
mencapai 20 liter perhari “watery diarrhea”, pada kasus berat dengan gejala
dehidrasi, syok, gangguan elektrolit dan kematian.
2. Perlekatan
V. cholerae tidak bersifat invasive, kuman ini tidak masuk ke dalam aliran darah
tetapi tetap berada di saluran usus. V. cholerae yang virulen harus menempel
pada mikrovili permukaan sel epitelial usus baru menimbulkan keadaan patogen.
Disana mereka melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera diserap
di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan klorida
dan menghambat absorpsi natrium. Akibatnya kehilangan banyak cairan dan
elektrolit, Secara histology, usus tetap normal.
Pada Susunan Saraf Pusat toksin ini mengikat diri pada ganglion di batang otak
dan sumsum tulang belakang. Toksin bekerja secara blockade, dengan dikeluarkannya
mediator penghambat sinapsis neuron motorik. Hasilnya hiperrefleksia dan spasme
otot tubuh terhadap rangsangan apa saja.
Satu tetanospasmin yang sudah terikat dengan jaringan saraf tidak dapat lagi
dinetralisasi dengan antitoxin. Tetanospasmin juga mengganggu system saraf
otonomik, Dengan manifestasi klinis seperti keringat yang berlebihan, turun naiknya
tekanan darah, takikardi dan arritmia cordis serta meningkatnya pelepasan
katekolamin.
e. Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit tetanus ini berkisar antara 5 hari – 15 minggu, rata-rata
8-12 hari. Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului oleh ketegangan otot
terutama otot rahang (lock jaw) dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut
(trismus) karena spasme dari otot maseter. Diikuti dengan kejang pada kuduk, dinding
I Made Pradnyana Putra
171200168
perut dan sepanjang tulang belakang (opistotonus). Bila serangan kejang tonik sedang
berlangsung, tampak risus sardonicus, akibat spasme otot muka. Serangan dapat
dicetuskan oleh rangsang suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat juga timbul
spontan. Karena kontraksi sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin
bahkan dapat terjadi fraktur columna vertebralis (pada anak).
Ciri khas dari penderita tetanus ini, walau telah terjadi kejang tonik diseluruh
otot-otot bergaris, pasien masih dalam kesadaran penuh dan merasa sangat nyeri.
Kematian biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pernafasan. Angka kematian
tetanus secara umum masih sangat tinggi.
H. Mycoplasma pneumonia
a. Karakteristik umum
Asal mula mikoplasma tidak diketahui dengan jelas. Genom terkecil mikoplasma lebih
kecil daripada dua kali genom virus besar tertentu. Mikoplasma adalah organisme
terkecil yang dapat hidup bebas di alam dan bereplikasi sendiri pada medium
laboratorium. Bakteri ini mempunyai karakteristik umum sebagai berikut:
1. Ukuran terkecil mikoplasma yaitu 125-250 nm
2. Mikoplasma sangat pleomorfik karena dinding selnya tidak kaku dan dilapisi
tiga lapis membran unit yang mengandung sterol (mikoplasma memerlukan
tambahan serum atau kolesterol ke dalam medium agar dapat menghasilkan
sterol untuk pertumbuhannya)
3. Mikoplasma sangat resisten terhadap penisilin karena pada dinding selnya tidak
terdapat struktur tempat penisilin beraksi, tetapi mikoplasma dihambat oleh
tetrasiklin atau eritromisin.
4. Mikoplasma dapat bereproduksi dalam media bebas sel; pada agar, pusat
keseluruhan koloni melekat di bawah permukaanya
5. Pertumbuhan dihambat oleh antibodi yang spesifik
6. Mikoplasma mempunyai afinitas untuk membran sel mamalia
b. Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Divisi : Tenericutes
Class : Mollicutes
Dengan pemberian obat ini dalam jangka waktu pendek menunjukkan hasil
yang baik dengan menghilangnya manifestasi klinik secara cepat, tapi
mikrorganisme ini bisa tidak segera hilang dari sputum atau hapusan tenggorokan,
sehingga dapat mempengaruhi fungsi paru dikemudian hari. Obat baru saat
sekarang ini yang banyak dipakai adalah Roxytromycin yaitu Antibiotik dari
golongan Makrolide ternyata cukup efektif terhadap M.pneumonia dengan efek
samping yang sedikit dengan pemberian yang sederhana dengan dosis 5-10 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 2 dosis diberi per ora1, diberikan selama 7-14 hari.6 Steroid
dapat diberi bila ditemui komplikasi Stevens-Johnson Syndrom.Pengobatan
Simptomatik, yaitu dengan istirahat, pemberian analgetik/antipiretik, antitussive
dan asupan cairan jika diperlukan.
I. Shigella dysenteriae
a. Pengertian
Genus Shigella ditemukan sebagai penyebab bacillary disentri oleh ahli
mikrobiologi Jepang, Kiyoshi Shiga pada 1898. Shigella adalah penyakit yang
ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler
dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi
bakteri.
Bakteri Shigella dysenteriae dapat menyebabkan penyakit disentri basilar.
Disentri basilar adalah infeksi usus besar oleh bakteri patogen genus Shigella. Shigella
dysenteriae merupakan penyebab penyakit yang paling ganas dan menimbulkan
epidemi hebat di daerah tropis dan subtropis (Soedarto,1996). Pengobatan infeksi dapat
Tahap 0
AOKI, K.R. and B. GUYER. 2001. Botulinum toxin type A and other botulinum toxin serotypes:
A comparative review of biochemical and pharmacological actions. Eur. J. Neurol.
8(suppl 5): 21 – 29.
Austin FE, Barbieri JT, Corin RE, Grigas KE, Cox CD. Distribution of superoxide dismutase,
catalase, and peroxidase activities among Treponema pallidum and other spirochetes.
Infect. Immun.1981; (33): 372-9.
ARNON, S.S. 2001. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA 285(8): 1059 – 1070.
Albert Balows, William J. Hausler, JR, Kenneth L.Herrmann, Henry D.Isenberg, H. Jean Shadomy
; Manual of Clinical Microbiology, Fifth Edition, American Society For Microbiology,
1991, pp. 390-391
Anggita Rahmi H, T. C. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica
(L.) LESS) terhadap Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat. Bandung: Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati.
Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen, A.M.2005. Mikrobiologi Kedokteran.Alih Bahasa : Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Jakarta : Salemba Medika.
Breed, R.S., Murray, E.G.D. ,Smith N.R. 1957. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.
Seventh Edition.U.S.A : The williams and Wil kins Company.
Brannan, D.K. 2007. Biology of Microbes. Di Dalam: Geis, P.A., editor. Cosmetics Microbiology:
A Practical Approach, Second Edition. Taylor&Francis Group. New York.
Critchley, W. dan K. Siegert. 1991. Water Harvesting. A manual for the design and construction
of water harvesting schemes for plant production. Food And Agriculture Organization Of
The United Station. Rome.
Davis CP, Baron S (editor). Medical Microbiology 4th Edition, Chapter 6: Normal Flora.
Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996
DEMBEK, Z.F., L.A. SMITH and J.M. RUSNAK. 2009. Botulinum Toxin. Medical Aspects of
Biological Warfare. Chap. 16. US Army Medical Department. Borden Institute. pp. 337
– 353.
DOLLY, J.O. 1997. Theurapeutic and research exploitation of botulinum neurotoxins. Eur. J.
Neurol. 4(suppl 2): S5 – S10.
DAHLENBORG, M. E. BORCH, and P. RADSTROM. 2003. Prevalence of Clostridium
botulinum type B, E and F in faecal samples from Sweddish cattle Int. J. Food Microbiol.
82: 105 – 110.
Denny,F.W. : Infections of the respiratory tract due to mycoplasma pnemnonia, in Kendig JR EL,
Chernick V, Disorder of respository tract in children 4th Ed.WB.Saunders Company,
PhiJadelphia pp.338-345, 1984
Freter R, Brickner J, Botney M. et al. Survival and implantation of Escherichia coli in the intestinal
tract .[Internet]. [cited 30 November 2018]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC348005/.
Guyman LT. Treponema pallidum. In: The Spirochetes, Zinsser Microbiology, 20th ed, editors
Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, Appleton & Lange, California. 1992. Hlm.
657-66.
Harsono (Ed.), Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada University press, edisi 2, oktober 2003, hal
189,192,224.
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Ho KK. Review on serologic diagnosis of syphilis, in social hygiene service (venereology),
Department of Health, Hong Kong. 2002; (10): 10-8.
Hart, T dan Shears, P., 2004. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Hipokrates. Jakarta
Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2005. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology).
Jakarta: Salemba Medika.
Joklik, Willet, Amos ; Zinsser Microbiology, Seventeenth Edition, Appleton Century-Crofts, 1980,
pp. 750-754.
Jawetz, Melnick & Adelberg's, Medical Microbiology, McGraw-Hill Companies Inc, Twenty
Second Edition, 2001, pp. 235-237.
Keyser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Keyser’s Medical Microbiology. Germany:
Thieme; 2005.
KRUGER, M., A.G. HERRENTHEY, W. SCHRODL, A. GERLACH and A. RODLOFF. 2012.
Visceral botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of
Clostridium botulinum in feces of cows, in animal feeds, in feces of the farmers and in
house dust. Anaerobe 30:1 – 3.
Lafond RE, Lukehart SA. biological basis for syphilis. Clin. Microbiol. Rev.2006;(19): 29
Larsen SA, Steiner BM, Rudolph AH. Laboratory diagnosis and interpretation of tests for
syphilis. Clinical Microbiology Reviews. 1995; (8): 1–21.
Lukehart SA. Syphilis. In: Spirochetal Diseases, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
editors Kasper DL, fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Jameson JL, 16th ed, McGraw
Hills, New York. 2005.p: 977-988.
Liu J, Howell JK, Bradley SD, Zheng Y, Zhou ZH, Norris SJ. Cellular architecture of treponema
pallidum: novel flagellum, periplasmic cone, and cell envelope as revealed by cryo
electron tomography. Journal of Molecular Biology. 2010; (403): 546-61.
Levinson, W. (2004). Medical Microbiology and Imunology, 8th edition. New York: Mc Graw-
Hill book company.
Michael J. Pelczar and E.C.S Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: UI-Press
Movita, T. (2013). Acne Vulgaris. Continuing Medical Education , 269-272.
Norris SJ. Polypeptides of treponema pallidum: progress toward understanding their structural,
functional, and immunologic rolest’ in Microbiological Reviews. 1993; (57):750-79.
Plorde JJ. Treponemain Spirochetes, Sherris Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases, 3th ed, editor Ryan KJ, Printice Hall International Inc. 1994. p; 385-90
Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.hlm. 1338-40
Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s Fundamentals Of
Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett Publishers. 2010. hlm. 822-5.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Bina
Rupa Aksara.
Singh AE, Romanowski B. Syphilis: review with emphasis on clinical, epidemiologic, and some
biologic features, in Clinical Microbiology Reviews. 1999; (12); 187–209.
SMITH, L.D.S. and H. SUGIYAMA. 1988. Botulism. The organism, its toxins, the disease.
Charles C. Thomas (ed). Springfield. III. USA. 171 p.
SUGISHIMA, M. 2003. Aum Shinrikyo and the Japanese law on bioterorism. 2003. Preshop.
Disast. Med. 18: 179 – 183.
Saising, J.; Hiranrat, A.; Mahabusarakan, W.; Ongsakul, M. & Voravuthikunchai, S.P. 2008.
Rhodomythone from Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. As a Natural Antibiotic for
Staphylococcus Cutaneous Infection. Journal of Health Science, 54(5) 589-595.
Sinaga, E. 2004. Infeksi Nosokomial dan Staphylococcus epidermidis. EGC. Jakarta
Staf pengajar FK UI, Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, 1993, hal. 174- 175.
Stutman,AR.: Stevens-Johnson. Syndrome and Mycoplasma Pneumonine. Evidence for cutaneous
infection. J.Pediatrics III, pp 845-847, 1987.
Strohl W.A., R. H. (2001). Lippincott’s Illustrated Reviews: Microbiology. Pennsylvania :
Lippincott Williams & Wilkins,.
Serena Falcocchio, e. a. (2006). Propionibacterium acnes GehA lipase, an enzyme involved in acne
development, can be successfully inhibited by defined natural substances. Journal of
Molecular Catalysis B: Enzymatic 40 , 132–137.
THAKKER, M.M. and P.A. RUBIN. 2004. Pharmacology and clinical applicationof botulinum
toxins A and B. Int. Ophtalmol. Clin. 44: 147 – 163.
Tirta, A. S. (2010). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Kelopak Rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus, Dan
Escherichia coli Serta Uji Bioautografi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Wirjodiarjo M.; Sigarlaki JM., Boediman L, Rahajoe,N.N.; Mycoplasma sebagai penyebab infeksi
saluran nafas akut (ISNA) pada anak . MKI 38, hal 518-522, 1988
Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P, Woods G. Spirochetal
infections, in Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, 7th ed,
Lippincott Williams & Wilkins. 2006. hlm. 1125-34.
Warren Levinson & Ernest Jawetz, Medical Microbiology & Immunology, McGraw-Hill
Companies, Seventh Edition, pp. 125 - 126.
Yeva Rosana. Bakteri dan jamur penyebab infeksi kulit dan jaringan penunjang serta flora normal
[Lecture Slides]. Microbiology Department Medical Faculty, Univeristy of Indonesia ;
2014.
Lampiran