Anda di halaman 1dari 96

Flora Normal dan Patogen

Disusun Oleh :

I Gede Argham Mahardika 171200165

I Kadek Aditya Putra 171200166

I Komang Agus Mahardika 171200167

I Made Pradnyana Putra 171200168

I Nyoman Adi Parawita 171200169

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2018
BAB I
FLORA NORMAL TUBUH MANUSIA (MIKROBIOTA)

A. Pengertian Flora Norma Tubuh Manusia (Mikrobiota)


Manusia secara konstan berhubungan dengan beribu-ribu mikroorganisme.
Mikrobe tidak hanya terdapat dilingkungan, tetapi juga menghuni tubuh manusia. Mikrobe
yang secara alamiah menhuni tubuh manusia disebut flora normal, atau mikrobiota.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 545)
Mikrobiota normal tubuh manusia yang sehat perlu diketahui karena alasan-alasan
berikut:
1. Diketahuinya hal ini dapat membantu menduga macam infeksi yang mungkin
timbul setelah terjadinya kerusakan jaringan pada situs-situs yang khusus.
2. Hal ini memberikan petunjuk mengenai kemungkinan sumber dan pentingnya
mikroorganisme yang teramati pada beberapa infeksi klinis. Sebagai contoh,
Escherichia coli tidak berbahaya di dalam usus tetapi bila memasuki kandung
kemih dapat menyebabkan sistitis, suatu peradangan pada selaput lendir organ ini.
3. Hal ini dapat membuat kita menaruh perhatian lebih besar terhadap infeksi yang
disebabkan oleh mikroorganisme yang merupakan mikrobiota normal atau asli
pada inang manusia. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mikrobiologi, 2008: 545)
B. Asal Mula Mikrobiota Manusia
Bila seekor hewan dilahirkan dengan pembedahan perut (caesarian operations), dan
dijaga supaya tidak terjadi kontaminasi oleh mikrobe, kemudian dipelihara di suatu
lingkungan bebas kuman serta diberi makan hanya makanan yang sudah disterilkan, maka
hewan tersebut tidak membentuk mikrobiota (Gambar 1). Ini merupakan bukti bahwa
sampai waktu dilahirkan, janin tidak mengandung mikroorganisme. (Michael J. Pelczar,
Jr. dan E.C.S. Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 546)

I Gede Argham Mahardika


171200165
Gambar 1. Diagram skematik suatu unit isolator bebas kuman. Bagian dalamnya
dapat disterilkan sebelum pelaksanaan percobaan dan dipertahankan pada keadaan
tersebut.
Pada keadaan alamiah, janin manusia mula-mula memperoleh mikroorganisme
ketika lewat sepanjang saluran lahir. Jasad-jasad renik itu diperolehnya melalui kontak
permukaan, penelanan atau penghisapan. Mikrobe-mikrobe ini segera disertai oleh
mikrobe-mikrobe lain dari banyak sumber yang langsung berada di sekeliling bayi yang
baru lahir tersebut. Mikroorganisme yang menemukan lingkungan yang sesuai, pada
permukaan luar atau dalam tubuh, dengan cepat berbiak dan menetap. Jadi di dalam waktu
beberapa jam setelah lahir, bayi memperoleh flora mikrobe yang akan menjadi mikrobiota
yang asli. Setiap bagian tubuh manusia, dengan kondisi lingkungan yang khusus, dihuni
berbagai macam mikroorganisme tertentu. Sebagai contoh, di rongga mulut berkembang
populasi mikrobe alamiah yang berbeda dengan yang ada di usus. Dalam waktu singkat,
bergantung kepada faktor-faktor seperti berapa seringnya dibersihkan, nutrisinya,
penerapan prinsip-prinsip kesehatan, serta kondisi hidup, maka anak tersebut akan
mempunyai mikrobiota normal yang macamnya sama seperti yang ada pada orang dewasa.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 547)
Walaupun seorang individu mempunyai mikrobiota yang “normal”, seringkali
terjadi bahwa selama hidupnya terdapat fluktuasi pada mikrobiota ini disebabkan oleh

I Gede Argham Mahardika


171200165
keadaan kesehatan umum, nutrisi, kegiatan hormon, usia, dan banyak faktor lain. (Michael
J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 547)
C. Penggolongan Flora Normal Tubuh Manusia
Flora normal tubuh manusia berdasarkan bentuk dan sifat kehadirannya dapat digolongkan
menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Mikroorganisme tetap/normal (resident flora/indigenous)
yaitu mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya ditemukan pada bagian tubuh
tertentu dan pada usia tertentu. Keberadaan mikroorganismenya akan selalu tetap, baik
jenis ataupun jumlahnya, jika ada perubahan akan kembali seperti semula. Flora
normal/tetap yang terdapat pada tubuh merupakan organisme komensal. Flora normal
yang lainnya bersifat mutualisme. Flora normal ini akan mendapatkan makanan dari
sekresi dan produk-produk buangan tubuh manusia, dan tubuh memperoleh vitamin
atau zat hasil sintesis dari flora normal. Mikroorganisme ini umumnya dapat lebih
bertahan pada kondisi buruk dari lingkungannya. Contohnya : Streptococcus viridans,
S. faecalis, Pityrosporum ovale, Candida albicans.
2. Mikroorganisme sementara (transient flora)
yaitu mikroorganisme nonpatogen atau potensial patogen yang berada di kulit dan
selaput lendir/mukosa selama kurun waktu beberapa jam, hari, atau minggu.
Keberadaan mikroorganisme ini ada secara tiba-tiba (tidak tetap) dapat disebabkan oleh
pengaruh lingkungan, tidak menimbulkan penyakit dan tidak menetap. Flora sementara
biasanya sedikit asalkan flora tetap masih utuh, jika flora tetap berubah, maka flora
normal akan melakukan kolonisasi, berbiak dan menimbulkan penyakit.
D. Peran Flora Normal Tubuh Manusia
Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh bersifat
komensal. Pertumbuhan pada bagian tubuh tertentu bergantung pada faktor-faktor biologis
seperti suhu, kelembapan dan tidak adanya nutrisi tertentu serta zat-zat penghambat.
Keberadaan flora tersebut tidak mutlak dibutuhkan untuk kehidupan karena hewan yang
dibebaskan (steril) dari flora tersebut, tetap bisa hidup. Flora yang hidup di bagian tubuh
tertentu pada manusia mempunyai peran penting dalam mempertahankan kesehatan dan
hidup secara normal. Beberapa anggota flora tetap di saluran pencernaan mensintesis
vitamin K dan penyerapan berbagai zat makanan. Flora yang menetap diselaput lendir

I Gede Argham Mahardika


171200165
(mukosa) dan kulit dapat mencegah kolonialisasi oleh bakteri patogen dan mencegah
penyakit akibat gangguan bakteri. Mekanisme gangguan ini tidak jelas. Mungkin melalui
kompetisi pada reseptor atau tempat pengikatan pada sel penjamu, kompetisi untuk zat
makanan, penghambatan oleh produk metabolik atau racun, penghambatan oleh zat
antibiotik atau bakteriosin (bacteriocins). Supresi flora normal akan menimbulkan tempat
kosong yang cenderung akan ditempati oleh mikroorganisme dari lingkungan atau tempat
lain pada tubuh. Beberapa bakteri bersifat oportunis dan bisa menjadi patogen. (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 277-
279)
Sebaliknya, flora normal juga dapat menimbulkan penyakit pada kondisi tertentu.
Berbagai organisme ini tidak bisa tembus (non-invasive) karena hambatan-hambatan yang
diperankan oleh lingkungan. Jika hambatan dari lingkungan dihilangkan dan masuk le
dalam aliran darah atau jaringan, organisme ini mungkin menjadi patogen. (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 279).
Streptococcus viridians, bakteri yang tersering ditemukan di saluran nafas atas, bila
masuk ke aliran darah setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi dapat sampai ke katup
jantung yang abnormal dan mengakibatkan subacute bacterial endocarditis. Bacteroides
yang normal terdapat di kolon dapat menyebabkan peritonitis mengikuti suatu trauma.
(Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 30)
Spesies Bacteroides merupakan flora tetap yang paling sering dijumpai di usus
besar dan tidak membahayakan pada tempat tersebut. Tetapi jika masuk ke rongga
peritoneum atau jaringan panggul bersama dengan bakteri lain akibat trauma, mereka
menyebabkan supurasi dan bakterimia. Terdapat banyak contoh tetapi yang penting adalah
flora normal tidak berbahaya dan dapat bermanfaat bagi tubuh inang pada tempat yang
seharusnya atau tidak ada kelainan yang menyertainya. Mereka dapat menimbulkan
penyakit jika berada pada lokasi yang asing dalam jumlah banyak dan jika terdapat faktor-
faktor predisposisi. (Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical
Microbiology), 2005: 279)

I Gede Argham Mahardika


171200165
E. Penyebaran dan Terjadinya Mikrobiota Manusia.
Flora normal biasanya ditemukan di bagian-bagian tubuh manusia yang kontak
langsung dengan lingkungan misalnya kulit, hidung, mulut, usus, saluran urogenital, mata,
dan telinga. Organ-organ dan jaringan biasanya steril.
1. Kulit
Kulit secara konstan berhubungan dengan bakteri dari udara atau dari benda-benda,
tetapi kebanyakan bakteri ini tidak tumbuh pada kulit karena kulit tidak sesuai untuk
pertumbuhannya. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi,
2008: 548)
Kulit manusia terlihat lebih mudah pecah atau rusak bila dibandingkan dengan kulit
hewan, seperti badak, gajah, dan kura-kura. Namun kulit manusia memiliki sifat
sebagai pertahanan (barier) yang sangat efektif terhadap infeksi. Dalam kenyataanya,
tidak ada bakteri yang dapat menembus kulit utuh yang “telanjang” tanpa pelindung.
(universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Kulit bersifat sedikit asam dengan pH 5 % dan memiliki temperatur kurang dari
37°C. Lapisan sel-sel yang mati akan membuat permukaan kulit secara konstan
berganti sehingga bakteri yang berada dibawah permukaan kulit tersebut akan juga
dengan konstan terbuang dengan sel mati. Lubang-lubang alami yang terdapat di kulit,
seperti pori-pori, folikel rambut, atau kelenjar keringat memberikan suatu lingkungan
yang mendukung pertumbuhan bakteri. Namun lubang-lubang tersebut secara alami
dilindungi oleh lisozim (enzim yang dapat merusak peptidoglikan bakteri yang
merupakan unsur utama pembentuk dinding sel bakteri gram positif) dan lipida toksik.
(universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Pelindung lain terhadap kolonialisasi kulit oleh bakteri patogen adalah mikroflora
normal kulit. Mikroflora tersebut merupakan suatu kumpulan dari bakteri nonpatogen
yang normal berkolonisasi pada setiap area kulit yang mampu mendukung
pertumbuhan bakteri. Bakteri patogen yang akan menginfeksi kulit harus mampu
bersaing dengan mikroflora normal yang ada untuk mendapatkan tempat kolonisasi
serta nutrien untuk tumbuh dan berkembang. Mikroflora normal kulit terutama terdiri
dari bakteri gram positif. Tetapi bakteri gram negatif seperti Escherichia coli yang

I Gede Argham Mahardika


171200165
habitatnya ada di dalam usus manusia, juga bisa terdapat pada kulit manusia karena
adanya kontaminasi kotoran manusia. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Walaupun ada pertahanan tersebut di atas, beberapa bakteri patogen dapat
berkolonisasi sementara pada kulit dan dapat mengambil manfaat dari luka yang ada
pada permukaan kulit untuk memperoleh jalan masuk ke jaringan yang ada di bawah
kulit. Di bawah kulit, mereka akan menghadapi sejumlah sel yang telah terspesifikasi
yang disebut dengan skin-associated lymphoid tissue (SALT). Fungsi SALT adalah
mencegah bakteri patogen tidak sampai ke area yang lebih jauh di bawah kulit dan
mencegah mereka tidak sampai ke aliran darah. Relatif sedikit yang diketahui tentang
sel-sel yang menyusun SALT. Salah satu tipe selnya adalah sel yang memaparkan
antigen yang terspesialisasi yang membantu tipe sel yang lain, specialized skin- seeking
lymphocyte, untuk memproduksi antibodi. Sel-sel limfosit tersebut juga memproduksi
sitokin, protein yang merangsang sel-sel dari sistem imun dan memiliki sejumlah efek
lain. Komponen SALT yang lain adalah keratinosit yang banyak terdapat pada lapisan
epidemis dan bertanggung jawab untuk memelihara lingkungan mikrokulit yang
bersifat asam. Keratinosit memproduksi sitokin dan juga mampu untuk ingesti dan
membunuh bakteri.. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Pentingnya pertahanan kulit ini diilustrasikan paling baik dengan pengaruh luka
bakar yang parah, yang akan mengeliminasi semua bentuk pertahanan kulit termasuk
SALT. Seseorang yang mengalami luka bakar tingkat dua dan tiga yang ekstensif dan
orang yang bertahan hidup dari trauma inisial yang berhubungan dengan luka bakar
masih belum terbebas dari bahaya. Banyak korban luka bakar mati karena infeksi
bakterial yang terjadi sebelum kulit terbakar mengalami penyembuhan. Hilangnya
pertahanan kulit dan tereksposnya lapisan jaringan di bawah kulit yang basah dan kaya
nutrien merupakan hal yang ideal untuk kolonisasi bakteri pada area yang terbakar.
Penyebab yang paling umum pada infeksi kulit yang terbakar adalah Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus, dua spesies bakteri yang terdapat di mana-mana
pada lingkungan rumah sakit. Kedua spesies juga dikenal resisten terhadap antibiotik.
Antibiotik paling efektif bila aksi antibakterial mereka didukung dengan aktivitas
pembunuhan oleh sistem imun. Efek kombinasi dari kerusakan SALT dan resistensi
alami bakteri telah membuat infeksi luka bakar sulit untuk ditangani dengan efektif.

I Gede Argham Mahardika


171200165
Infeksi tersebut merupakan suatu penyebab utama kematian di antara penderita luka
bakar. Bahkan, bila tidak bersifat fatal, infeksi bakterial pada jaringan yang terbakar
meningkatkan jumlah kerusakan jaringan dan mencegah penyembuhan area kulit yang
terbakar. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Pada umumnya beberapa bakteri yang ada pada kulit tidak mampu bertahan hidup
lama karena kulit mengeluarkan substansi bakterisida. Sebagai contoh, kelenjar
keringat mengekskresikan lisozim, suatu enzim yang dapat menghancurkan dinding sel
bakteri. Kelenjar lemak mengekskresikan lipid yang kompleks, yang mungkin
diuraikan sebagian oleh beberapa bakteri; asam-asam lemak yang dihasilkannya sangat
beracun bagi bakteri-bakteri lain. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
Kebanyakan bakteri kulit di jumpai pada epitelium yang seakan-akan bersisik
(lapisan luar epidermis), membentuk koloni pada permukaan sel-sel mati. Kebanyakan
bakteri ini adalah spesies Staphylococcus (kebanyakan S. epidermidis dan S. aureus)
dan sianobakteri aerobik, atau difteroid. Jauh di dalam kelenjar lemak dijumpai bakteri-
bakteri anaerobik lipofilik, seperti Propionibacterium acnes, penyebab jerawat.
Jumlahnya tidak dipengaruhi oleh pencucian. Timbulnya organisme ini diperlihatkan
pada Tabel 1 ; Gambar 6 Melukiskan morfologi dan sifat-sifat mikroorganisme yang
predominan di dalam mikrobiota. Letak bakteri-bakteri ini pada atau di dalam kulit
diperlihatkan pada Gambar 2. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mirobiologi, 2008: 549)

Gambar 2. Letak-letak bakteri dalam kulit.

I Gede Argham Mahardika


171200165
Faktor-faktor yang berperan menghilangkan flora sementara pada kulit adalah pH
rendah, asam lemak pada sekresi sebasea dan adanya lisozim. Berkeringat yang berlebihan
atau pencucian dan mandi tidak menghilangkan atau mengubah secara signifikan flora
tetap. Jumlah mikroorganisme permukaan mungkin berkurang dengan menggosok secara
kuat setiap hari dengan sabun yang mengandung heksakloforen atau desinfektan lain,
namun flora secara cepat muncul kembali dari kelenjar sebasea dan keringat, meskipun
tidak ada hubungan secara total terhadap kulit bagian lain maupun lingkungan. Penggunaan
tutup rapat pada kulit cenderung menyebabkan populasi mikrobiota secara keseluruhan
sangat meningkat dan dapat menimbulkan perubahan kualitatif flora kulit. (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 279)
Bakteri anaerob dan aerob sering bersama-sama menyebabkan infeksi sinergistik
(gangrene, fasciitis nekrotik = necrotizing fasciitis), selulitis dari kulit dan jaringan lunak.
Bakteri-bakteri tersebut merupakan bagian dari flora normal. Sering sulit menentukan
suatu organisme yang spesifik bertanggungjawab terhadap lesi progresif, karena terdapat
banyak organisme yang berperan. (Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi
Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 279-280)
1.1.Mekanisme dari flora normal dalam menginfeksi kulit.
Flora normal kulit seharusnya berada di lapisan kulit terluar. Jika seandainya masuk
karena lemahnya sistem imunitas, tindakan nosocomial dan penggunaan antibiotik
yang dapat membuat flora normal menjadi infeksi opportunistik maka akan
menimbulkan penyakit. Flora normal dapat masuk ke kulit dan menyebabkan
penyakit melalui tiga jalan yaitu:
1. Mampu menembus barrier pertahanan karena ketidakseimbangan
Jika keseimbangan jumlah antara flora normal dengan patogen terganggu dapat
terjadi infeksi. Kulit dan mukus membran merupakan tempat perlekatan dan
hidupnya mikroorganisme yaitu flora normal. Jika terjadi ketidakseimbangan
maka akan menginfeksi. Misalnya pada vagina wanita. Flora normal yang
menjaga pH vagina pada 3,4-4,5. Adanya flora normal ini mencegah
pertumbuhan berlebih dari jamur Candida albicans. Jika jumlah flora normal
berkurang atau tidak ada karena adanya eliminasi dari antibiotik, atau
pembersihan yang berlebihan pada vagina, maka pH vagina akan menjadi

I Gede Argham Mahardika


171200165
netral. Kenetralan ini mendukung lingkungan yang kondusif bagi Candida
albicans untuk tumbuh.
2. Manifestasi dari infeksi sistemik
Mikroorganisme dapat menyebabkan penyakit jika ada kesempatan, misalnya
jika terdapat penurunan sistem imun, dan sebagainya. Flora normal juga dapat
menjadi oportunis, misalnya Candida albicans.
3. Serta diperantai oleh kerusakan kulit. 3
Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit yang menutupi lapisan dermis
dan jaringan subkutan. Bagian ini dikulit disebut mekanisme pertahanan
pertama, yang dapat menghalangi tumbuhnya organisme pada umumnya.
Mikroorganisme dapat melakukan penetrasi jika pada kulit terjadi luka, abrasi
atau luka bakar.

Gambar 3: Mekanisme flora normal

I Gede Argham Mahardika


171200165
2. Hidung dan Nasofaring
Flora utama hidung terdiri dari korinebakteria, stafilokokus (S. epidermidis, S.
aureus) dan streptokokus. (Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran
(Medical Microbiology), 2005: 280)
Didalam hulu kerongkongan hidung, dapat juga dijumpai bakteri Branhamella
catarrhalis (suatu kokus gram negatif) dan Haemophilus influenzae (suatu batang gram
negatif). (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 549)
Pemusnahan flora normal faring dengan penisilin dosis tinggi dapat menyebabkan
over growth: bakteria negatif Gram seperti Escherichia coli, Klebsiella, Proteus,
Pseudomonas atau jamur. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi
Kedokteran, 1994: 31)
3. Mulut
Kelembapan yang paling tinggi, adanya makanan terlarut secara konstan dan juga
partikel-partikel kecil makanan membuat mulut merupakan lingkungan ideal bagi
pertumbuhan bakteri. Mikrobiota mulut atau rongga mulut sangat beragam; banyak
bergantung pada kesehatan pribadi masing-masing individu. (Michael J. Pelczar, Jr.
dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 549)
Diperolehnya mikrobiota mulut. Pada waktu lahir, rongga mulut pada hakikatnya
merupakan suatu inkubator yang steril, hangat, dan lembap yang mengandung sebagai
substansi nutrisi. Air liur terdiri dari air, asam amino, protein, lipid, karbohidrat, dan
senyawa-senyawa anorganik. Jadi, air liur merupakan medium yang kaya serta
kompleks yang dapat dipergunakan sebagai sumber nutrien bagi mikrobe pada berbagai
situs di dalam mulut. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mirobiologi, 2008: 549-550)
Beberapa jam sesudah lahir, terdapat peningkatan jumlah mikroorganisme
sedemikian sehingga di dalam waktu beberapa hari spesies bakteri yang khas bagi
rongga mulut menjadi mantap. Jasad-jasad renik ini tergolong ke dalam genus
Streptococcus, Neisseria, Veillonella, Actinomyces, dan Lactobacillus. (Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 551)
Jumlah dan macam spesies ada hubungannya dengan nutrisi bayi serta hubungan
antara bayi tersebut dengan bayinya, pengasuhnya, dan benda-benda seperti handuk

I Gede Argham Mahardika


171200165
serta botol-botol susunya. Spesies satu-satunya yang selalu diperoleh dari rongga
mulut, bahkan sedini hari kedua setelah air, ialah Streptococcus salivarius. (Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)
Sampai munculnya gigi, kebanyakan mikroorganisme di dalam mulut adalah aerob
atau anaerob fakultatif. Ketika gigi pertama muncul, anaerob obligat seperti
Bacteroides dan bakteri fusiform (Fusiobacterium sp.), menjadi lebih jelas karena
jaringan di sekitar gigi menyediakan lingkungan anaerobik. (Michael J. Pelczar, Jr. dan
E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)
Gigi itu sendiri merupakan tempat bagi menempelnya mikrobe. Ada dua spesies
bakteri yang dijumpai berasosiasi dengan permukaan gigi: Streptococcus sanguis dan
S. mutans. Yang disebutkan terakhir ini diduga merupakan unsur etiologis (penyebab)
utama kerusakan gigi, atau pembusuk gigi. Tertahannya kedua spesies ini pada
permukaan gigi merupakan akibat sifat adhesif baik dari glikoprotein liur maupun
polisakaride bakteri. Sifat menempel ini sangat penting bagi kolonialisasi bakteri di
dalam mulut. Glikoprotein liur mampu menyatukan bakteri-bakteri tertentu dan
mengikat mereka pada permukaan gigi. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-
Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Gambar 4. Bakteri yang melekat pada permukaan gigi sebagaimana nampak pada
mikrograf electron payar. Terlihat kokus menyelubungi beberapa bakteri filamentus,
sehingga memberikan penampilan “tongkol jagung”.
Baik S. sanguins maupun S. mutans menghasilkan polisakaride ekstraselular yang
disebut dekstrans yang bekerja seperti perekat, mengikat sel-sel bakteri menjadi satu
dan juga melekatkan mereka pada permukaan gigi. Tertahannya bakteri dapat juga

I Gede Argham Mahardika


171200165
terjadi karena terperangkapnya secara mekanis di dalam celah-celah gusi, atau di
dalam lubang dan retakan gigi. Agregasi bakteri semacam itu serta bahan organik pada
permukaan gigi disebut plak (“plague”). (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan,
Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)
Plak adalah sebuah film/lapisan sel bakteri, yang berlabuh di sebuah matriks
polisakarida disekresi oleh mikroorganisme. Apabila gigi tidak dibersihkan secara
teratur, plak dapat terbentuk dengan cepat dan aktivitas bakteri tertentu, terutama
Streptococcus mutans, dapat menyebabkan kerusakan gigi (rongga). Prevalensi karies
berhubungan dengan diet. (pemburumikroba.blogspot.com/2010/09/flora-normal)
Karies merupakan suatu kerusakan gigi yang dimulai dari permukaan dan
berkembang ke arah dalam. Terjadinya karies juga tergantung pada faktor-faktor
genetik, hormonal, gizi, dan faktor lainnya. Pengendali karies gigi meliputi
pembuangan plak, pembatasan makanan yang mengandung sukrosa, gizi yang baik
mengandung cukup protein dan pengurangan pembentukan asam dalam mulut dengan
cara membatasi keberadaan karbohidrat dan pembersihan mulut yang sering.
Pemakaian flourida pada gigi atau peningkatan jumlah fluor pada air mengakibatkan
peningkatan resistensi email terhadap asam. Pengendalian penyakit periodontal
memerlukan pembuangan karang gigi dan kebersihan mulut. (Jawetz, Melnick, dan
Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 280).
4. Orofaring (“oropharinx”)
Orofaring (bagian belakang mulut juga dihuni sejumlah besar bakteri
Staphylococcus aureus dan S. epidermidis dan juga difteroid. Tetapi kelompok bakteri
terpenting yang merupakan penghuni asli orofaring ialah streptokokus α-hemolitik,
yang juga dinamakan Streptokokus viridans. Biakan yang ditumbuhkan dari orofaring
juga akan memperlihatkan adanya Branchamella catarrhalis, spesies Haemophilus,
serta gular-galur pneumokokus avirulen (Streptococcus pneumonia).(Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 554-555)
Bagian terdalam saluran pernapasan (ranting tenggorok atau bronkiole yang lebih
halus serta alveoli atau gelembung paru-paru) tidak mengandung mikroorganisme. Hal
ini disebabkan karena saluran pernapasan berlapiskan silia, yaitu embel-embel seperti
rambut, yang menyapu mikroorganisme dan bahan-bahan lain dari bagian sebelah

I Gede Argham Mahardika


171200165
dalam saluran ke bagian sebelah atas untuk dibuang. Rambut bersama dengan lendir di
dalam lubang hidung itulah yang pertama-tama membantu melindungi saluran
pernapasan dengan cara menyaring bakteri dari udara yang dihirup. (Michael J. Pelczar,
Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 555)
5. Perut
Isi perut yang sehat pada praktisnya steril karena adanya asam hidroklorat di dalam
sekresi lambung. Setelah ditelannya makanan, jumlah bakteri bertambah tetapi segera
menurun kembali dengan disekresikannya getah lambung dan pH zat alir perut pun
menurun. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008:
555)
6. Usus Kecil
Usus kecil bagian atas (atau usus dua belas jari) mengandung beberapa bakteri. Di
antara yang ada, sebagian besar adalah kokus dan basilus gram positif. Di dalam
jejunum atau usus halus kosong (bagian kedua usus kecil, di antara usus dua belas jari
dan ileum atau usus halus gelung) kadang kala dijumpai spesies-spesies enterokokus,
laktobasilus, dan difteroid. Khamir Candida albicans dapat juga dijumpai pada bagian
usus kecil ini. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008:
555)
Pada bagian usus kecil yang jatuh (ileum), mikrobiota mulai menyerupai yang
dijumpai pada usus besar. Bakteri anaerobik dan enterobakteri mulai nampak dalam
jumlah besar. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008:
555)
7. Usus Besar
Di dalam tubuh manusia, kolon atau usus besar, mengandung populasi mikrobe
yang terbanyak. Telah diperkirakan bahwa jumlah mikroorganisme di dalam spesimen
tinja adalah kurang lebih 1012 organisme per gram. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S
Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 556)
Basilus gram negatif anaerobik yang ada meliputi spesies Bacteroides (B. fragilis,
B. melaninogenicus, B. oralis) dan Fusobacterium. Basilus gram positif diwakili oleh
spesies-spesies Clostridium (termasuk Cl. Perfringens yang mempunyai kaitan dengan
kelemayuh, suatu infeksi jaringan disertai gelembung gas dan keluar nanah) serta

I Gede Argham Mahardika


171200165
spesies-spesies Lactobacillus. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mirobiologi, 2008: 557)
Sangatlah menarik perhatian bahwa mikrobiota usus seorang bayi yang disusui oleh
ibunya hampir seluruhnya terdiri dari laktobasilus. Dengan diberikan susu botol,
jumlah laktobasilus menurun dan akhirnya, dengan diberikannya makanan padat serta
nutrisi tipe dewasa, maka mikrobiota gram negatif menjadi predominan. (Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 557)
Spesies-spesies anaerobik fakultatif yang dijumpai di dalam usus tergolong dalam
genus Escherichia, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Peptostreptokokus
(streptokokus anaerobik) juga umum. Khamir Candida albicans juga dijumpai.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)
Flora saluran pencernaan berperan dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen
empedu dan asam empedu, absorpsi zat makanan serta antagonis mikroba patogen.
8. Saluran Kemih
Pada orang sehat, ginjal, ureter (saluran dari ginjal ke kandung kemih), dan
kandung kemih bebas dari mikroorganisme, namun bakteri pada umunya dijumpai
pada uretra (saluran dari kandung kemih ke luar) bagian bawah baik pada pria maupun
wanita. Tetapi jumlahnya berkurang di dekat kandung kemih, agaknya disebabkan efek
antibakterial yang dilancarkan oleh selaput lendir uretra dan seringnya epitelium
terbilas oleh air seni. Ciri populasi ini berubah menurut variasi daur haid. Penghuni
utama vagina dewasa adalah laktobasilus yang toleran terhadap asam. Bakteri ini
mengubah glikogen yang dihasilkan epitelium vagina, dan di dalam proses tesebut
menghasilkan asam. Penumpukan glikogen pada dinding vagina disebakan oleh
kegiatan indung telur; hal ini tidak dijumpai sebelum masa akil balig ataupun setelah
menopause (mati haid). Sebagai akibat perombakan glikogen, maka pH di dalam
vagina terpelihara pada sekitar 4.4 sampai 4,6. Mikrooganisme yang mampu
berkembang baik pada pH rendah ini dijumpai di dalam vagina dan mencakup
enterokokus, Candida albicans, dan sejumlah besar bakteri anaerobik. (Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 557-558)
Sistem urinari dan genital secara anatomis terletak berdekatan, suatu penyakit yang
menginfeksi satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain khususnya pada laki-

I Gede Argham Mahardika


171200165
laki. Saluran urin bagian atas dan kantong urine steril dalam keadaan normal. Saluran
uretra mengandung mikroorganisme seperti Streptococcus, Bacteriodes,
Mycobacterium, Neisseria dan enterik. Sebagian besar mikroorganisme yang
ditemukan pada urin merupakan kontaminasi dari flora normal yang terdapat pada
kulit. Keberadaan bakteri dalam urine belum dapat disimpulkan sebagai penyakit
saluran urine kecuali jumlah mikroorganisme di dalam urine melebihi 105 sel/ml.
(universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)
9. Mata (Konjungtiva) dan Telinga
Mikroorganisme konjungtiva terutama adalah difteroid (Coynebacterium xerosis),
S. epidermidis dan streptokukus non hemolitik. Neiseria dan basil gram negatif yang
menyerupai spesies Haemophilus (Moraxella) seringkali juga ada. Flora konjungtiva
dalam keadaan normal dikendalikan oleh aliran air mata, yang mengandung lisozim.
(Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology),
2005: 283)
Flora liang telinga luar biasanya merupakan gambaran flora kulit. Dapat dijumpai
Streptococcus pneumonia, batang gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus dan kadang-kadang Mycobacteria saprofit. Telinga bagian
tengah dan dalam biasanya steril. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi
Kedokteran, 1994: 31)
10. Bakteri di Darah dan jaringan
Pada keadaan normal darah dan jaringan adalah steril. Kadang-kadang karena
manipulasi sederhana seperti mengunyah, menyikat gigi, ekstraksi gigi, flora komensal
dari mulut dapat masuk ke jaringan atau darah. Dalam keadaan normal mikroorganisme
tersebut segera dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh. Hal seperti itu dapat terjadi
pula dengan flora faring, saluran cerna dan saluran kemih. Pada keadaan abnormal
seperti adanya katup jantung abnormal, atau protesa lain, bakteremia di atas dapat
mengarah pada pembentukan koloni dan infeksi. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran
UI, Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 32)

I Gede Argham Mahardika


171200165
BAB II

PATOGEN

A. Definisi Patogenesis
Patogen adalah materi atau organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada
inang misalnya bakteri. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari
permukaan kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Sedangkan
Patogenesis sendiri adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit.
Infeksi merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan
jaringan inang. Infeksi berbeda dengan penyakit.
Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan
kriteria ini, bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen
oportunistik, nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang
menyebabkan suatu penyakit (Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah bakteri yang
berkemampuan sebagai patogen ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (contoh
E. coli menginfeksi saluran urin ketika sistem pertahanan inang dikompromikan
(diperlemah). Nonpatogen adalah bakteri yang tidak pernah menjadi patogen. Namun
bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena kemampuan adaptasi terhadap efek
mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan mekanisme resistensi.
Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula nonpatogen, berubah menjadi patogen yang
menyebabkan pneumonia, infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang terkompromi.
Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding lurus
dengan kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh
jumlah bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan inang, dan faktor
virulensi bakteri. Secara eksperimental virulensi diukur dengan menentukan jumlah bakteri
yang menyebabkan kematian, sakit, atau lesi dalam waktu yang ditentukan setelah
introduksi.
Mikroba patogen diketahui memasuki inang melalui organ-organ tubuh antara lain:
1. Saluran pernapasan, melalui hidung dan mulut yang dapat menyebabkan
penyakit saluran pernapasan seperti salesma, pneumonia, tuberculosis.

I Gede Argham Mahardika


171200165
2. Saluran pencernaan melalui mulut yang dapat menyebabkan penyakit tifus,
para tifus, disesntri, dll.
3. Kulit dan selaput lendir. Adanya luka mesekipun kecil dapat
memungkinkan mikroba seperti staphylicoccus yang menyebabkan bisul.
4. Saluran urogenital darah
B. Mekanisme Patogenisitas
Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh bersifat
komensal. Pertumbuhan pada bagian tubuh tertentu bergantung pada faktor -faktor biologis
seperti suhu, kelembapan dan tidak adanya nutrisi tertentu serta zat -zat penghambat.
Keberadaan flora tersebut tidak mutlak dibutuhkan untuk kehidupan karena hewan yang
dibebaskan (steril) dari flora tersebut, tetap bisa hidup. Flora yang hidup di bagian tubuh
tertentu pada manusi a mempunyai peran penting dalam mempertahankan kesehatan dan
hidup secara normal. Beberapa anggota flora tetap di saluran pencernaan mensintesis
vitamin K dan penyerapan berbagai zat makanan.
Flora yang menetap diselaput lendir (mukosa) dan kulit dapat mencegah
kolonialisasi oleh bakteri patogen dan mencegah penyakit akibat gangguan bakteri.
Mekanisme gangguan ini tidak jelas. Mungkin melalui kompetisi pada reseptor atau tempat
pengikatan pada sel penjamu, kompetisi untuk zat makanan, penghambatan oleh produk
metabolik atau racun, penghambatan oleh zat antibiotik atau bakteriosin (bacteriocins).
Supresi flora normal akan menimbulkan tempat kosong yang cenderung akan ditempati
oleh mikroorganisme dari lingkungan atau tempat lain pada tubuh. Beberapa bakteri
bersifat oportunis dan bisa menjadi patogen. (Jawetz, Melnick, dan Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran(Medical Microbiology), 2005: 277-279)
Sebaliknya, flora normal juga dapat menimbulkan penyakit pada kondisi tertentu.
Berbagai organisme ini tidak bisa tembus (non-invasive) karena hambatan-hambatan yang
diperankan oleh lingkungan. Jika hambatan dari lingkungan dihilangkan dan masuk le
dalam aliran darah atau jaringan, organisme ini mungkin menjadi patogen (Jawetz,
Melnick, dan Adelbergs,Mikrobiologi Kedokteran(Medical Microbiology), 2005: 279).
Streptococcus viridians, bakteri yang tersering ditemukan di saluran nafas atas, bila
masuk ke aliran darah setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi dapat sampai ke katup
jantung yang abnormal dan mengakibatkan subacute bacterial endocarditis. Bacteroides

I Gede Argham Mahardika


171200165
yang normal terdapat di kolon dapat menyebabkan peritonitis mengikuti suatu trauma (Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 30)
Spesies Bacteroides merupakan flora tetap yang paling sering dijumpai di usus
besar dan tidak membahayakan pada tempat tersebut. Tetapi jika masuk ke rongga
peritoneum atau jaringan panggul bersama dengan bakteri lain akibat trauma, mereka
menyebabkan supurasi dan bakterimia. Terdapat banyak contoh tetapi yang penting adalah
flora normal tidak berbahaya dan dapat bermanfaat bagi tubuh inang pada tempat yang
seharusnya atau tidak ada kelainan yang menyertainya. Mereka dapat menimbulkan
penyakit jika berada pada lokasi yang asing dalam jumlah banyak dan jika terdapat faktor-
faktor predisposisi. (Jawetz, Melnick, dan Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran (Medical
Microbiology),2005: 279)
C. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Escherichia coli
a. Ciri-ciri Escherichia coli:
 Berbentuk batang
 Bakteri gram negative
 Tidak memiliki spora
 Memiliki pili
 Anaerobik fakultatif
 Suhu optimum 370C
 Flagella peritrikus
 Dapat memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan gas
 Patogenik, menyebabkan infeksi saluran kemih

Gambar 1. Esherichia coli

I Gede Argham Mahardika


171200165
b. Habitat
Habitat utama Escherichia coli adalah dalam saluran pencernaan manusia tepatnya
di saluran gastrointestinal dan juga pada hewan berdarah hangat. Bakteri ini termasuk
umumnya hidup pada rentang 20-40 derajat C, optimum pada 37 derajat. Total bakteri
ini sekitar 0,1% dari total bakteri dalam saluran usus dewasa.
c. Virulensi dan Infeksi
Penyebab diare dan Gastroenteritis (suatu peradangan pada saluran usus). Infeksi
melalui konsumsi air atau makanan yang tidak bersih. Racunnya dapat menghancurkan
sel-sel yang melapisi saluran pencernaan dan dapat memasuki aliran darah dan
berpindah ke ginjal dan hati. Menyebabkan perdarahan pada usus, yang dapat
mematikan anak-anak dan orang tua. E. coli dapat menyebar ke makanan melalui
konsumsi makanan dengan tangan kotor, khususnya setelah menggunakan kamar
mandi. Solusi untuk penyebaran bakteri ini adalah mencuci tangan dengan sabun.
d. Mekanisme
Escherichia coli adalah bagian flora normal saluran usus, yang bertahun-tahun
dicurigai sebagai penyebab diare sedang sampai gawat yang kadang-kadang timbul
pada manusia dan hewan. Berbagai jalur E. coli mungkin menyebabkan diare dengan
salah satu dari dua mekanisme:
1) Escherichia colimemproduksi enterotoksin, disebut juga Escherichia
colienteroksinogen, memproduksi salah satu atau kedua toksin yang berbeda.
Salah satu toksin yang tahan panas (ST) dan toksin yang labil terhadap panas
(LT). Toksin LT menyebabkan peningkatan aktifitas enzim adenil siklase
dalam sel mukosa usus halus dan merangsang sekresi cairan, kekuatannya 100
kali lebih rendah dibandingkan toksin kolera dalam menimbulkan diare. Toksin
ST, tidak merangsang aktivitas enzim adenil siklase, namun bekerja dengan
cara mengaktivasi enzim guanilat siklase menghasilkan cyclic guanosin
monofosfat menyebabkan gangguan absorbsi klorida dan antrium, selain itu
menurunkan motilitas usus halus.
2) Escherichia coli menimbulkan diare dengan invasi langsung lapisan epitelium
dinding usus. Kelihatannya mungkin bahwa sekali invasi lapisan usus terjadi,
hal ini karen pengaruh racun lipopolisakarida dinding sel (endotoksin).

I Kadek Aditya Putra


171200166
e. Patogenesis
Untuk Escherichia coli, penyakit yang sering ditimbulkan adalah diare. E. coli
sendiri diklasifikasikan berdasarkan sifat virulensinya dan setiap grup klasifikasinya
memiliki mekanisme penularan yang berbeda-beda.
1) Coli Enteropatogenik (EPEC)
E. coli ini menyerang manusia khususnya pada bayi. EPEC melekatkan diri
pada sel mukosa kecil. Faktor yang diperantarai oleh kromosom akan
menimbulkan pelekatan yang kuat. Pada usus halus, bakteri ini akan
membentuk koloni dan menyerang pili sehingga penyerapannya terganggu.
Akibatnya adalah adanya diare cair yang biasanya sembuh diri tetapi dapat
juga menjadi kronik. EPEC sedikit fimbria, ST dan LT toksin, tetapi EPEC
menggunakan adhesin yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang sel
usus. SelEPEC invasive (jika memasuki sel inang) dan menyebabkan radang.
2) Coli Enterotoksigenik (ETEC)
Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk menimbulkan pelekatan ETEC
pada sel epitel usus kecil. Lumen usus terengang oleh cairan dan
mengakibatkan hipermortilitas serta diare, dan berlangsung selama beberapa
hari. Beberapa strain ETEC menghasilkan eksotosin tidak tahan panas.
Prokfilaksis antimikroba dapat efektif tetapi bisa menimbulkan peningkatan
resistensi antibiotic pada bakteri, mungkin sebaiknya tidak dianjurkan secara
umum. Ketika timbul diare, pemberian antibiotic dapat secara efektif
mempersingkat lamanya penyakit. Diare tanpa disertai demam ini terjadi pada
manusia, babi, domba, kambing, kuda, anjing, dan sapi. ETEC menggunakan
fimbrial adhesi (penonjolan dari dinding sel bakteri) untuk mengikat sel – sel
enterocit di usus halus. ETEC dapat memproduksi 2 proteinous enterotoksin:
dua protein yang lebih besar, LT enterotoksin sama pada struktur dan fungsi
toksin kolera hanya lebih kecil, ST enterotoksin menyebabkan akumulasi
cGMP pada sel target dan elektrolit dan cairan sekresi berikutnya ke lumen
usus. ETEC strains tidak invasive dan tidak tinggal pada lumen usus.
3) Coli Enterohemoragik (EHEC)

I Kadek Aditya Putra


171200166
Menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksinya pada sel Vero,
suatu sel hijau dari monyet hijau Afrika. Terdapat sedikitnya dua bentuk
antigenic dari toksin. EHEC berhubungan dengan holitis hemoragik, bentuk
diare yang berat dan dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat
gagal ginja akut, anemia hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia.
Banyak kasus EHEC dapat dicegah dengan memasak daging sampai matang.
Diare ini ditemukan pada manusia, sapi, dan kambing.
4) Coli Enteroinvansif (EIEC)
Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis. Memproduksi
toksin Shiga, sehingga disebut juga Shiga-toxin producing strain(STEC).
Toksin merusak sel endotel pembuluh darah, terjadi pendarahan yang
kemudian masuk ke dalam usus. EIEC menimbulkan penyakit melaluii
invasinya ke sel epitel mukosa usus.
5) Coli Enteroagregatif (EAEC)
Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang.
Bakeri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya pada sel manusia. EAEC
menproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC.

Gambar 2. Patogenesis Escherichia coli

I Kadek Aditya Putra


171200166
f. Penularan
Penularan pada bakteri ini adalah dengan kontak dengan tinja yang terinfeksi secara
langsung, seperti :
- makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari
oleh serangga atau kontaminasi oleh tangan yang kotor
- Tidak mencuci tangan dengna bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja yang terinfeksi, sehingga kontaminasi perabotan dan alat-
alat yang dipegang.
D. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Salmonella sp.
1. Ciri-ciri:
 Batang gram negative
 Terdapat tunggal
 Tidak berkapsul
 Tidak membentuk spora
 Peritrikus
 Aerobik, anaerobik fakultatif
 Patogenik, menyebabkan gastroenteritis
2. Patogenesis
 Menghasilkan toksin LT.
 Invasi ke sel mukosa usus halus.
 Tanpa berproliferasi dan tidak menghancurkan sel epitel.
 Bakteri ini langsung masuk ke lamina propria yang kemudian menyebabkan
infiltrasi sel-sel radang.

I Kadek Aditya Putra


171200166
Gambar 6. Patogenesis dari salmonella

3. Mekanisme Salmonella masuk pada manusia


Corwin (2000) mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk ke dalam
tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum terminalis yang mengalami hipertropi.
Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman
salmonella typhi kemudian menembus ke dalam lamina profia, masuk aliran limfe dan
mencapai kelenjar limfe mesentrial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati
kelenjar-kelenjar limfe ini, salmonella typhi masuk aliran darah melalui duktus
toracicus. Kuman-kuman salmonella typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari
usus. Salmonella typhi bersarang di plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain
dari sistem retikulo endotelial.
Hasil studi terbaru yang ditemukan oleh tim peneliti National Institutes of Health,
Amerika Serikat, dapat menjelaskan bagaimana Salmonella menyebar secara efisien
pada manusia. Tim peneliti ini menemukan adanya reservoir dimana kuman ini
melakukan replikasi secara cepat di dalam sel-sel epitel, yang kemudian menginfeksi
sel-sel lain. Kuman didorong dari lapisan epitelial oleh suatu mekanisme yang
membebaskan kuman salmonella agar mampu menginfeksi sel lain atau berkembang
biak dalam usus.
Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang menular dengan kecepatan luar biasa,
dan bisa memperburuk dalam waktu yang sangat cepat. Infeksi Salmonella, disebabkan
oleh bakteri Salmonellosis, bisa menyebabkan dehidrasi ekstrim dan juga kematian.
Salmonellosis disebarkan kepada orang-orang dengan memakan bakteri Salmonella
yang mengkontaminasi dan mencemari makanan. Salmonella ada diseluruh dunia dan
dapat mencemari hampir segala tipe makanan. Namun sumber dari penyakit baru-baru
ini melibatkan makanan-makanan seperti telur-telur mentah, daging mentah, sayur-
sayur segar, sereal, dan air yang tercemar. Pencemaran dan penyebaran infeksi dan
bakteri Salmonella ini dapat datang dari feces hewan atau manusia yang berhubungan
dengan makanan selama pemrosesannya atau panen. Dari hasil yang tersedia dari U.S.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atau FDA, sumber-sumber
I Kadek Aditya Putra
171200166
langsung yang berpotensi dari Salmonella adalah hewan-hewan peliharaan seperti
kura-kura, anjing-anjing, kucing-kucing, kebanyakan hewan-hewan ternak, dan
manusia-manusia yang terinfeksi.
Menurut penelitian-penelitian di seluruh dunia, para ahli menyarankan sumber-
sumber makanan, air, atau sumber-sumber lain dari pencemaran mengandung jumlah-
jumlah yang besar dari bakteri-bakteri. Meskipun asam lambung manusia dapat
mengurangi, menguras sedikit dan membunuh infeksi Salmonella, masih ada beberapa
bakteri-bakteri dapat lolos ke dalam usus besar maupun usus kecil, dan kemudian
melekat dan menembus sel-sel dalam tubuh manusia.
Racun-racun yang dihasilkan oleh bakteri dapat merusak dan membunuh sel-sel
yang melapisi usus-usus, yang berakibat pada kehilangan cairan usus (diare). Beberapa
Salmonella dapat selamat dalam sel-sel dari sistem imun dan dapat mencapai aliran
darah, menyebabkan infeksi darah (bacteremia). Tidak hanya itu, ketika infeksi
Salmonella sudah memasuki dan mencapai aliran darah, akan mengakibatkan panas
dalam, muntaber dan sakit perut yang ekstrim. Biasanya, yang terinfeksi oleh infeksi
Salmonella adalah masa bayi-bayi, masa kanak-kanak, masa tua dan orang yang
mempunyai system imun yang sangatlah lemah.
4. Cara Penularan
Tidak semua bakteri atau infeksi saling menular. Bakteri saling menular dengan 3
cara yaitu secara bersentuhan, secara berterbangan di udara, dan secara makanan
ataupun minuman yang kita konsumsi setiap hari. Bakteri Salmonellosis adalah bakteri
yang menular dengan semua cara tersebut dengan kecepatan yang luar biasa. Dari hasil
penelitian, para ahli menyatakan bahwa bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang
mudah dihilangkan tetapi ketika tubuh kita diberi antibiotik, bakteri Salmonellosis
tersebut bisa tambah aktif dan membuat proses penularan lebih cepat dibandingkan
biasanya. Efek-efek dari serangan bakteri Salmonellosis ini juga sangat berbahaya jika
tidak diobati atau dirawat karena bisa menghancurkan sistem imun dengan fatal.
Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang menular dengan cara bersentuhan.
Contohnya adalah hewan peliharaan kita atau hewan reptil seperti ular dan cicak.
Ketika kita menyentuh hewan yang membawa bakteri tersebut, bakterinya akan
menyangkut dan menempel di rambut kulit dan lama kelamaan, bisa masuk ke dalam

I Kadek Aditya Putra


171200166
tubuh kita. Bakteri Salmonellosis ini juga menular dengan sangat cepat lewat udara.
Ketika tubuh kita terinfeksi oleh Infeksi Salmonella, kita akan mengalami flu yang
berat. Dengan flu tersebut, udara yang mengelilingi kita akan terkontaminasi oleh
bakteri-bakteri Salmonellosis, yang bisa mengakibatkan penularan yang cepat. Tidak
hanya lewat udara dan penyentuhan, bakteri Salmonellosis ini saling menular dengan
cara makanan atau minuman. Kalau makanan dan minuman kita terkontaminasi oleh
bakteri ini, kita akan mendapat Infeksi Salmonella dengan cara memakan atau
meminumnya.
Secara umum, adapun cara penularan dari salmonella adalah sebagai berikut:
1. Melalui makanan yang terkontaminasi oleh bakteri.
2. Melalui air untuk keperluan rumah tangga yang tidak memenuhi syarat
kesehatan.
3. Melalui daging, telur, susu yang berasal dari hewan sakit yang dimasak
kurang matang.
4. Makanan dan minuman berhubungan dengan binatang yang mengandung
bakteri salmonella typh, seperti lalat, tikus, kucing dan ayam.

Setelah sembuh dari penyakitnya, penderita akan kebal terhadap typhus, untuk
waktu cukup lama. Interksi ulang (reinfeksi) dapat terjadi, tetapi biasanya gejalanya
sangat ringan. Makanan penderita dapat juga menjadi karier karena bakteri menetap
dan berkembang biak dalam kandung empedunya. Bahan yang berbahaya untuk
penularan adalah feses penderita atau karier.

5. Pengobatan
Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Kadang
makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika
terjadi perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis
bakteri akan masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan
untuk memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi. Anti
biotika yang sering digunakan:
 Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas.

I Kadek Aditya Putra


171200166
 Tiamfenikol: Dosis ; 4×500 mg.
 Kotrimoksazol : Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol
400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
 Ampisilin dan amoksisilin : dosis : 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama
2 minggu.
 Sefalosporin generasi ketiga : dosis 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5
hari.
6. Pencegahan
Vaksin tifus per-oral (ditelan) memberikan perlindungan sebesar 70%. Vaksin ini
hanya diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi
dan orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para
pelancong). Adapun untuk mencegahnya adalah melakukan hal-hal berikut:
a) Menyediakan tempat pembuangan yang sehat dan higienis.
b) Mencuci tangan sebelum mengkonsumsi jajanan.
c) Menghindari jajan di tempat yang kurang terjamis kebersihan dan
kesehatannya.
d) Menjaga agar sumber air yang digunakan tidak terkontaminasi oleh bakteri
thypus. Masak air hingga 100˚C
e) Melakukan pengawasan terhadap rumah makan dan penjual
makanan/jajanan.
f) Mencari informasi mengenai bahaya penyakit thypus. Jika memahami
tentang penyakit ini, maka pelajar akan lebih mudah untuk menjaga diri dan
lingkungannya agar selalu bersih dan sehat.
g) Mengkonsumsi makanan yang masih panas sehingga kebersihannya
terjamin.
h) Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya
secara sembarangan
i) Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.
j) Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup
dan teratur, olah raga secara teratur 3-4 kali seminggu).

I Kadek Aditya Putra


171200166
E. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Helicobacter pylori
1. Ciri-ciri
 Berbentuk batang melengkung
 Bakteri gram negative
 Mikroaerofilik
 Memiliki 4-6 flagella
 Dapat mengoksidasi hidrogen
 Menghasilkan oksidase, katalase, dan urease
 Patogenik, menyebabkan gastrointestinal
2. Pathogenesis
 Setelah H. pylori tertelan, bakteri memasuki lumen lambung, atau rongga.
 Karena memiliki flagela Helicobacter pylori dapat menahan kontraksi otot perut.
 Setelah tiba di lapisan lendir, bakteri kemudian melubang lapisan
tersebutmenggunakan flagela dan bentuk heliks untuk membuat gerakan seperti
sekrup.

Gambar 8. Patogenesis Helicobacter pylori

I Kadek Aditya Putra


171200166
3. Mekanisme
Menurut Tuheteru (2004), infeksi H.pylori seringkali dijumpai pada anak-anak.
Di negara berkembang, prevalensi infeksi H.pylori pada anak-anak berusia dibawah 10
tahun besarnya sekitar 80%, sedangkan di negara maju prevalensi infeksi H.pylori pada
anak-anak prasekolah dan sekolah dasar besarnya sekitar 10%. Di Indonesia,
berdasarkan pemeriksaan serologi, prevalensi H.pylori pada anak sekolah dasar
ditemukan sebesar 13,5 - 26,8%.
Alur penularan H.pylori adalah fekal-oral atau oral-oral. Manusia merupakan
tempat hidup primer H.pylori. Pernah dilaporkan H.pylori ditemukan pada kucing
maupun di tempat lainnya seperti tinja dan air. Sampai saat ini, belum diketahui secara
pasti hubungan antara H.pylori yang hidup di luar tubuh manusia dan terjadinya infeksi
bakteri tersebut pada manusia. Beberapa keadaan diduga sebagai faktor risiko
terjadinya infeksi H.pylori, yaitu kepadatan tempat tinggal, daerah endemik, dan sosial
ekonomi rendah.
Terdapat tiga kelainan yang dapat ditemukan sebagai akibat infeksi H.pylori
pada anak. Pertama, infeksi akut H.pylori pada lambung dapat menyebabkan
hipoklorhidria akibat adanya proses inflamasi yang menyebabkan disfungsi sel parietal.
Dalam beberapa bulan, keadaan hipoklorhidria ini dapat sembuh dan pH lambung
kembali normal, sedangkan pada infeksi kronis, H.pylori akan terus merangsang
produksi asam lambung. Mekanisme terjadinya keadaan tersebut belum diketahui
secara pasti. Ada hipotesis yang menyatakan bahwa inflamasi merangsang peningkatan
produksi gastrin. Urease juga merupakan faktor penting untuk timbulnya infeksi kronis.
Kelainan kedua yang ditemukan adalah inflamasi lambung. Infeksi H.pylori dapat
menginduksi respon humoral sistemik dan mukosa, namun antibodi yang terbentuk
tidak dapat mengeradikasi kuman. Hal ini diduga disebabkan adanya mukus lambung
yang melindungi H.pylori, sehingga tidak dapat ditembus oleh antibodi spesifik.
Kolonisasi H.pylori di lambung biasanya disertai proses inflamasi sehingga dapat
ditemukan sel neutrofil, sel T, sel plasma, dan makrofag secara bersamaan dengan
berbagai derajat degenerasi dan kerusakan sel epitel.
Ulserasi merupakan kemungkinan kelainan ketiga yang tergantung dari virulensi
strain H.pylori. Masing-masing strain H.pylori mempunyai tingkat virulensi yang

I Kadek Aditya Putra


171200166
berbeda. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh dua protein yang merupakan produk gen,
yaitu vacuolating cytotoxin A (VacA) dan cytotoxic-associated gene A (CagA).(10)
VacA diproduksi oleh semua strain H.pylori dan lebih banyak dijumpai pada pasien
dengan ulkus lambung. CagA dihasilkan oleh lebih kurang 60% strain H.pylori.
Gastritis atrofi, ulkus duodenum, dan karsinoma lambung lebih banyak dijumpai pada
pasien yang terinfeksi oleh H.pylori yang memproduksi CagA.
Untuk lebih jelasnya tentang mekanisme infeksi bakteri H.pylori dapat dilihat
pada gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme Infeksi H.pylory


Keterangan gambar:
 Hp dapat merubah lingkungan mikro di sekitarnya menjadi bersifat agak basa,
sehingga bisa tinggal dan berkoloni di lapisan lendir mukosa lambung.
 Hp mempunyai flagel, untuk mengebor mukosa lambung, sehingga bisa lebih
mudah masuk kedalam dasar kripta (cekungan mukosa) dan menetap di tempat
itu.
 Hp mempengaruhi sistem imunitas tubuh kita untuk tidak mengenali dirinya
sebagai benda asing, melainkan sebagai bagian organ jaringan lambung
sehingga tidak dapat dikenali sebagai penyusup yang harus diberantas oleh sel
limfosit-T. Maka bakteri Hp terlewat dari penyisiran sistem imun kita, karena
Hp tidak terdeteksi sebagai benda asing.

I Kadek Aditya Putra


171200166
 Hp bisa tahan terhadap terapi yang diberikan, dengan cara bakteri tersebut
membuat zat anti terhadap bahan aktif anti-mikroba yang diberikan (Fitria,
2009).
4. Pengobatan
Infeksi H.pylori merupakan tantangan pengobatan yang unik. Kebutuhan untuk
memberikan terapi yang optimal, efektif, dan aman dengan biaya yang terjangkau dan
efek samping yang minimal. Menurut World Congres of Gastroenterology tahun 1994,
tidak semua penderita infeksi H.pylori perlu dilakukan eradikasi. Penderita yang perlu
dilakukan eradikasi adalah bila: (i) ada gejala klinis, (ii) pada endoskopi didapatkan
gastritis kronis aktif, ulkus ventrikuli atau ulkus duodenum, dan (iii) uji CLO atau
biakan menunjukkan H.pylori positif. Helycobacter pylori merupakan organisme yang
sulit diobati sehingga untuk memperoleh hasil eradikasi yang optimal diperlukan
kombinasi dua atau lebih antibiotika. Antisekretorik diberikan untuk menghilangkan
gejala dan merangsang penyembuhan.
Kombinasi dua antibiotika dan satu antisekretorik selama 7 hari sering
digunakan pada anak. Obat tersebut adalah metronidazol, klaritromisin, dan omeprazol.
Kombinasi tersebut mempunyai tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu 95%. Dosis yang
dianjurkan adalah omeprazol 2 mg/kg/hari, klaritromisin 15 mg/kg/hari, dan
metronidazol 20-30 mg/kg/hari.
Apabila terjadi kegagalan terapi, maka obat yang dipilih selanjutnya harus
memperhatikan jenis dan atau sensitivitas obat sebelumnya. Pada kasus yang resisten
terhadap metronidazol dapat diberikan kombinasi omeprazol, klaritromisin dan
amoksisilin 30-50 mg/kg/hari selama 7 hari atau omeprazol, amoksisilin, dan
metronidazol bila resisten terhadap klaritromisin (Tuhuteru, 2004).
5. Pencegahan
Hanya sekitar 1% penderita yang mengalami infeksi H.pylori akan berkembang
menjadi kanker lambung. Untuk itu tidak dapat dibenarkan untuk melakukan
penyaringan dan pengobatan secara luas untuk individu yang menderita infeksi
H.pylori. Strategi lain untuk mencegah terjadinya infeksi H.pylori adalah pemberian
vaksinasi. Vaksinasi yang potensial untuk mencegah infeksi H.pylori masih dalam taraf
penyelidikan. Namun belum terbukti vaksinasi dapat mencegah infeksi pada manusia.

I Kadek Aditya Putra


171200166
Di samping itu, mengingat kecilnya prevalensi kanker lambung pada individu yang
terinfeksi dapat mengakibatkan tingginya harga vaksin.
Pencegahan lebih ditujukan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi
H.pylori. Perbaikan status sosioekonomi, gizi dan lingkungan seperti penyediaan air
bersih terbukti mampu menurunkan prevalensi infeksi H.pylori pada anak. Monitoring
kecenderungan kolonisasi dan penyakit gastrointerstinal bagian atas pada berbagai
populasi dapat memberikan gambaran kecenderungan terjadinya infeksi H.pylori
(Tuhuteru, 2004).
F. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Treponema pallidum
1. Morfologi,Struktur, dan Fisiologi
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang
ramping dengan lebar kira-kira 0,2 μm dan panjang 5-15 μm. Lengkung
spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1 μm,
dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini aktif bergerak,
berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan setelah menempel
pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi
kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme tersebut dapat membuat
lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula. Spiralnya sangat
tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan pewarnaan
imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop elektron (gambar 2).
(Lafond RE,2006)

Gambar 2. Treponema pallidum Menggunakan Mikroskop Elektron

I Kadek Aditya Putra


171200166
Struktur Treponema pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dinding
selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran sel bagian luar.Flagel
periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel) ditemukan didalam ruang periplasmik,
antara dua membran (gambar 3). Organel ini yang menyebabkan gerakan tersendiri
bagi Treponema pallidum seperti alat pembuka tutup botol (Corkscrew).13 Filamen
flagel memiliki sarung/ selubung dan struktur inti yang terdiri dari sedikitnya empat
polipeptida utama. Genus Treponema juga memiliki filamen sitoplasmik, disebut juga
dengan fibril sitoplasmik. Filamen bentuknya seperti pita, lebarnya 7-7,5 nm. Partikel
protein intramembran membran bagian luar Treponema pallidum sedikit. Konsentrasi
protein yang rendah ini diduga menyebabkan Treponema pallidum dapat menghindar
dari respons imun pejamu(Norris SJ,1993).

Gambar 3. Struktur Sel Treponema pallidum.


Treponema pallidum merupakaan salah satu bakteri yang patogen terhadap
manusia (parasit obligat intraselular) dan sampai saat ini tidak dapat dikultur secara
invitro. Dahulu Treponema pallidum dianggap sebagai bakteri anaerob obligat,
sekarang telah diketahui bahwa Treponema pallidum merupakan organisme
mikroaerofilik, membutuhkan oksigen hanya dalam konsentrasi rendah (20%). Kuman
ini dapat mati jika terpapar dengan oksigen, antiseptik, sabun, pemanasan, pengeringan
sinar matahari dan penyimpanan di refrigerator. Bakteri ini berkembang biak dengan
pembelahan melintang dan menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas
toksigenik yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia.
Mekanisme biosintesis lipopolisakarida dan lipid Treponema pallidum sedikit.
Kemampuan metabolisme dan adaptasinya minimal dan cenderung kurang, hal ini

I Kadek Aditya Putra


171200166
dapat dilihat dari banyak jalur seperti siklus asam trikarboksilik, komponen fosforilasi
oksidatif dan banyak jalur biosintesis lainnya. Keseimbangan penggunaan dan
toksisitas oksigen adalah kunci pertumbuhan dan ketahanan Treponema pallidum.
Organisme ini juga tergantung pada sel host untuk melindunginya dari radikal oksigen,
karena Treponema pallidum membutuhkan oksigen untuk metabolisme tetapi sangat
sensitif terhadap efek toksik oksigen. Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila
terpapar oksigen dengan tekanan atmosfer 21%.20,21 Keadaan sensitivitas tersebut
dikarenakan bakteri ini kekurangan superoksida dismutase, katalase, dan oxygen
radical scavengers.19 Super-oksida dismutase yang mengkatalisis perubahan anion
superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, tidak ditemukan pada kuman ini.
(Austin FE,1981)
Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti bangku,
tempat duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas
digunakan/dipakai oleh pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang
cocok untuk organisme ini adalah 30-37⁰C dan rentang pH adalah 7,2-7,4.
2. Pathogenesis dan Respon Imun
Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa
vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang
menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan.
Treponema pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan
kulit yang lecet, kemudian kedalam kelenjar getah bening, masuk aliran darah,
kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk keruang intersisial
jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup botol). Beberapa jam
setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala klinis dan serologi belum
kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih
dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak Treponema pallidum
selama masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer muncul di tempat
kuman pertama kali masuk, biasa-nya bertahan selama 4-6 minggu dan kemudian
sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi dan
tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan
sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak

I Kadek Aditya Putra


171200166
hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler
(endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada
daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre(Plorde JJ,1994)
Informasi mengenai patogenesis sifilis lebih banyak didapatkan dari percobaan
hewan karena keterbatasan informasi yang dapat diambil dari penelitian pada manusia.
Penelitian yang dilakukan pada kelinci percobaan, dimana dua Treponema pallidum
diinjeksikan secara intrakutan, menyebabkan lesi positif lapangan gelap pada 47%
kasus. Peningkatan kasus mencapai 71% dan 100% ketika 20 dan 200.000 Treponema
pallidum diinokulasikan secara intrakutan pada kelinci percobaan. Periode inkubasi
bervariasi tergantung banyaknya inokulum, sebagai contoh 10 Treponema pallidum
akan menimbulkan chancre dalam waktu 5-7 hari. Organisme ini akan muncul dalam
waktu menit didalam kelenjar limfe dan menyebar luas dalam beberapa jam, meskipun
mekanisme Treponema pallidum masuk sel masih belum diketahui secara pasti.
Thomas dkk, menyatakan bahwa perlekatan Treponema pallidum dengan sel host
melalui spesifik ligan yaitu molekul fibronektin.
Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami
selengkapnya, tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena
didalam dinding selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin. Meskipun
didalam lesi primer dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan kerusakan
jaringan yang cukup luas karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan
terbunuh oleh fagosit tetapi ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat
bertahan di dalam sel makrofag dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya
sel endotel dan fibroblas. Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa
Treponema pallidum dapat hidup dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama,
yaitu selama masa asimtomatik yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat
invasif Treponema sangat membantu memperpanjang daya tahan kuman di dalam
tubuh manusia.( Singh AE,1999)

I Kadek Aditya Putra


171200166
3. Manifestasi klinis
Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis stadium
dini dan lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan stadium lanjut.
Sifilis stadium dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini. Sifilis
stadium lanjut termasuk sifilis tersier (gumatous, sifilis kardio-vaskular, neurosifilis)
dan sifilis laten lanjut.(Ho KK, 2002)
a) Sifilis Primer
Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam
satu sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi
klasik dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan
dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh
spirokaeta dan berlokasi pada sisi Treponema pallidum pertama kali masuk.
Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, servik,
dinding vagina rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung
spirokaeta yang dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau
imunofluresen pada sediaan kerokan chancre. ( Singh AE,1999)

Gambar 4. Perjalanan Penyakit Sifilis.

I Kadek Aditya Putra


171200166
Gambar 5. Chancre genital

Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini
hanya 31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-
3,0 cm, terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).( Singh AE,1999). Pada sifilis primer
sering dijumpai limfadenopati regional, tidak nyeri dan ipsilateral terhadap
chancre, muncul pada 80% pasien dan sering berhubungan dengan lesi
genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut, jari
tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari 3-90 hari dan
sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu. ( Singh AE,1999)

Gambar 6. Chancre Ekstragenital

I Kadek Aditya Putra


171200166
b) Sifilis Sekunder
Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul
dalam 2 sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah
chancre muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan
spirokaeta yang menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam
aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala
yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena
adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf
pusat.2,6 Tanda tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit
makulopapula yang terjadi pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus,
makula 10% kasus, dan papula anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya
simetrik, tidak gatal dan mungkin meluas.(Prince SA, 2006)
Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini
disebut dengan lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan
gambaran yang paling khas pada 4% sampai 11% pasien. Treponema
pallidum dapat menginfeksi folikel rambut yang menyebabkan alopesia
pada kulit kepala. Bersamaan dengan munculnya lesi sekunder, sekitar
10% pasien mengidap kondilomata. Lesinya berukuran besar, muncul di
daerah yang hangat dan lembab termasuk di perineum dan anus.
Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran mukosa mulut, lidah dan
genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis sekunder disertai
dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. Treponema pallidum
telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan
sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen
treponema-imunoglobulin yang berada pada glomeruli yang
menyebabkan kerusakan ginjal. Sindroma nefrotik juga dapat terjadi.
Sekitar 5% pasien dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala
neurosifilis termasuk meningitis dan penyakit mata.(Lafond RE,2006)

Komang Agus Mahardika


171200167
Gambar 7. Makulopapula Pada Telapak Tangan
c) Sifilis Laten
Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala
klinis sifilis sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier
muncul. Sifilis laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini
dan lanjut. Pembagian berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus
secara spontan pada pasien yang tidak diobati. Sekitar 90% infeksi
berulang muncul dalam satu tahun, 94% muncul dalam dua tahun dan
dorman selama empat tahun. Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun
setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya mengalami relaps sifilis
sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu
tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis
laten dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan
serologi pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi penularan secara
seksual tidak.(Prince SA, 2006)
d) Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal
dan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%,
neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%.
Sepertiga pasien berkembang menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan.
Pasien dengan sifilis tersier tidak menular. Sifilis gumatous atau sifilis
benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun setelah infeksi awal, dengan
Komang Agus Mahardika
171200167
rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya
guma kronik, lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang
berbeda-beda. Guma ini biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi
dapat juga muncul dibahagian lain.(Pommerville JC, 2010)
Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan
nekrosis sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal,
meskipun guma bisa juga muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak
biasanya mengenai kulit dan tulang, meskipun bisa juga muncul di hati,
jantung, otak, lambung dan traktus respiratorius atas. Lesi jarang yang
sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara cepat dengan terapi
antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak menyebab-kan komplikasi
yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut (late benign syphilis)
.(Lafond RE,2006)

Gambar 8. Guma Sifilis yang Ulser dan Soliter.


Neurosifilis merupakan infeksi yang melibatkan sistem saraf
sentral, dapat muncul lebih awal, asimtomatik atau dalam bentuk sifilis
meningitis, lebih lanjut sifilis meningovaskular, general paresis, atau
tabes dorsalis. Sifilis meningovaskular muncul 5-10 tahun setelah infeksi
awal. Sifilis meningovaskular ditandai dengan apati, seizure dan general
paresis dengan dimensia dan tabes dorsalis. General paresis biasanya
muncul 15-20 tahun setelah infeksi awal, sedangkan tabes dorsalis 25-30
tahun. Komplikasi yang paling sering adalah aortitis sifilis yang dapat
menyebabkan aneurisma.(Winn W, 2006)
4. Diagnosis Sifilis
Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih
chancre (ulser). Pemeriksaan Treponema pallidum dengan mikroskop lapangan gelap
Komang Agus Mahardika
171200167
dan DFA-TP positif. Sifilis sekunder ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus
yang terlokalisir atau difus dengan limfadenopati. Terkadang chancre masih
ditemukan. Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP positif. Sifilis laten
tanpa gejala klinis sifilis dengan pemeriksaan nontreponemal dan treponemal reaktif
(tanpa diagnosis sifilis sebelumnya), riwayat terapi sifilis dengan titer uji
nontreponemal yang meningkat dibandingkan dengan hasil titer nontreponemal
sebelumnya. Sifilis tersier ditemukan guma dengan pemeriksaan treponemal reaktif,
sekitar 30% dengan uji nontreponemal yang tidak reaktif.(Larsen SA, 1995)
5. Terapi Sifilis
Pengobatan dilakukan dengan memberikan Antibiotika seperti Penisilin atau
turunannya. Pemantauan serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XII tahun
pertama dan setiap 6 bulan pada tahun kedua. Selain itu, kepada penderita perlu
diberikan penjelasan yang jelas dan menyeluruh tentang penyakitnya dan kemungkinan
penularan sehingga turut mencegah transmisi penyakit lebih lanjut. Bagi penderita
yang tidak tahan dengan penisilin dapat diganti dengan tetrasiklin atau eritromisin,
yang harus dimakan 15 hari. Sifilis yang telah menyebabkan penderita lumpuh
biasanya tidak dapat diobati lagi.(Larsen SA, 1995)

G. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Staphylococcus aureus


a. Pengertian
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang bersifat oportunistik
(menyerang individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah) dan menyebabkan
infeksi. Sebenarnya Staphylococcus epidermidis adalah flora normal yang terdapat
pada manusia. Pada tubuh yang sehat, bakteri ini tidak membahayakan dan tidak
menyebabkan penyakit. Bakteri ini hanya berbahaya jika telah menginfeksi, sehingga
pertumbuhannya menjadi tidak terkendali. Seseorang dengan kekebalan tubuh yang
lemah, antara lain bayi yang baru lahir, penderita AIDS, pengguna narkoba, pasien
kritis, dan pasien rumah sakit yang telah menjalani masa perawatan yang
lama,Staphylococcus epidermidis dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
Bakteri ini adalah salah satu patogen utama infeksi nosokomial, khususnya yang
berkaitan dengan infeksi benda asing. Orang yang paling rentan terhadap infeksi ini
adalah pengguna narkoba suntikan, bayi baru lahir, lansia, dan mereka yang
Komang Agus Mahardika
171200167
menggunakan kateter atau peralatan buatan lainnya. Organisme ini menghasilkan
glycocalyx "lendir" yang bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel,
dan juga menyebabkan resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenis antibiotik.
Staphylococcus epidermidis memberikan kontribusi sekitar 65-90% dari semua
staphylococcus yang ditemukan dari flora aerobik manusia . Orang yang sehat dapat
memiiliki hingga 24 strain (jenis) dari spesies, beberapa di antaranya dapat bertahan di
permukaan yang kering untuk waktu yang lama. Hospes bagi organisme ini adalah
manusia dan hewan berdarah panas lainnya (Nilsson, 1998).
b. Ciri – ciri Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis memiliki beberapa karakteristik, antara lain (Jawetz, dkk.,
2005) :
 Bakteri gram positif, koagulase negatif, katalase positif.
 Aerob atau anaerob fakultatif.
 Berbentuk bola atau kokus ,berkelompok tidak teratur.
 berdiameter 0,5 – 1,5 µm.
 Tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih
 Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37C.
 Staphylococcus epidermidis merupak flora normal pada manusia.
 Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka.
Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan
menyebar luas dalam jaringan.
c. Klasifikasi
Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis (Breed, dkk.,1957) :
Divis : Eukariota
Kelas : Schizomycetes
Bangsa : Eubacteriales
Suku : Micrococcaceae
Marga : Staphylococcus
Jenis : Staphylococcus epidermidis
d. Patologi

Komang Agus Mahardika


171200167
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan perangkat
intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dan lain-lain) , tetapi biasanya terjadi pada
sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced
UTI menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil
sangat menyakitkan.
Septicaemia dan endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan
kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi akibat infeksi neonatal,
terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisan dalam dari otot jantung.
Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan
permukaan lingkungan.
e. Morfologi
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan sebagai
flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia. Sthapylococcus epidermidis
merupakan salah satu bakteri Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam
rangkaian tidak beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini
merupakan penyebab infeksi kulit ringan yang disertai abses (Syarurachman et al.,
1994). Bakteri ini juga berperan dalam pelepasan asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh
lipase yang diduga berpengaruh terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008)
f. Patogenitas
Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada kulit manusia
dan pada umumnya tidak menjadi masalah bagi orang normal yang sehat. Akan tetapi,
kini organisme ini menjadi patogen oportunis yang menyebabkan infeksi nosokomial
pada persendian dan pembuluh darah. Staphylococcus epidermidis memproduksi
sejenis toksin atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir yang
memudahkannya untuk menempel di mana-mana, termasuk di permukaan alat-alat
yang terbuat dari plastik atau kaca. Lendir ini pula yang membat bakteri
Staphylococcus epidermidis lebih tahan terhadap fagositosis (salah satu mekanisme
pembunuhan bakteri oleh sistem kekebalan tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu
(Sinaga, 2004).

Komang Agus Mahardika


171200167
Staphylococcus epidermidis umumnya dapat menimbulkan penyakit
pembengkakan (abses) seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran kemih, dan infeksi
ginjal (Radji, 2011). Selain itu, Staphylococcus epidermidis juga dapat menimbulkan
infeksi pada neonatus, orang-orang yang sistem kekebalannya rendah dan pada
penderita yang menggunakan alat yang dipasang di dalam tubuh (Hart dan Shears,
2004).
g. Virulensi
Kemampuan untuk membentuk biofilm pada perangkat plastik merupakan faktor
virulensi utama untuk S. epidermidis. Salah satu penyebab yang mungkin adalah
protein permukaan yang mengikat protein darah dan matriks ekstraselular. Ini
menghasilkan bahan ekstraselular dikenal sebagai adhesi polisakarida interselular
(PIA), yang terdiri dari sulfat polisakarida . Hal ini memungkinkan bakteri lain untuk
mengikat ke biofilm yang sudah ada, membuat biofilm multilayer.
Biofilm tersebut menurunkan aktivitas metabolisme bakteri di dalamnya. Ini
penurunan metabolisme, dalam kombinasi dengan difusi gangguan antibiotik,
membuat sulit untuk antibiotik untuk secara efektif membersihkan jenis infeksi. S.
epidermidis strain sering resisten terhadap antibiotik, termasuk penisilin , amoksisilin
, dan methicillin Organisme resisten yang paling sering ditemukan dalam usus, namun
organisme hidup bebas di kulit juga bisa menjadi kebal karena paparan rutin terhadap
antibiotik disekresi dalam keringat.
h. Penyakit
Staphylococcus epidermidis menyebabkan biofilm tumbuh pada perangkat
plastik yang ditempatkan di dalam tubuh. Hal ini terjadi paling sering pada intravena
kateter dan medis prostesis . Infeksi juga dapat terjadi pada pasien dialisis atau siapa
pun dengan perangkat plastik implan yang mungkin telah terkontaminasi . Hal ini juga
menyebabkan endokarditis , paling sering pada pasien dengan katup jantung yang
rusak. Dalam beberapa kasus lain, sepsis dapat terjadi pada pasien rumah sakit (Sinaga,
2004).
Antibiotik tidak efektif dalam membersihkan biofilm. Pengobatan yang paling
umum untuk infeksi ini adalah untuk menghapus atau mengganti implan yang
terinfeksi, meskipun dalam semua kasus, pencegahan sangat ideal. Obat pilihan sering

Komang Agus Mahardika


171200167
vankomisin , yang rifampisin atau aminoglikosida dapat ditambahkan. Mencuci tangan
telah terbukti mengurangi penyebaran infeksi.
Penelitian awal juga menunjukkan S. epidermidis secara universal ditemukan di
dalam mempengaruhi jerawat vulgaris pori-pori, di mana Propionibacterium acnes
biasanya satu-satunya penduduk.
Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan perangkat
intravaskular (katup jantung buatan, shunts, dll), tetapi biasanya terjadi pada sendi
buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced UTI
menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil
sangat menyakitkan.
Septicaemia dan endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan
Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan
kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi akibat infeksi neonatal,
terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah.Sedangkan, Endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisan dalam dari otot jantung.
Staphylococcus epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan
permukaan lingkungan.
i. Pengobatan
Infeksi Staphylococcus epidermidis sulit disembuhkan sebab kuman tumbuh
pada alat protese dimana bakteri dapat menghindar dari sirkulasi sehingga terhindar
dari obat antimikroba. Staphylococcus epidermidis lebih sering resisten terhadap
antimikroba daripada Staphylococcus aureus, hampir 75% strain Staphylococcus
epidermidis resisten terhadap nafsilin. (Jawetz, dkk., 2005)
Karena banyak galur yang resisten obat, maka tiap isolat stafilococcus harus
diuji kepekaan antimikrobanya untuk membantu memilih obat sistemik. Resistensi
terhadap grup eritromisin terjadi sangat cepat sehingga jangan digunakan secara
tunggal untuk mengobati infeksi kronik. Resistensi obat (terhadap penicilin, tetrasiklin,
aminoglikosida, dan eritromisin) ditentukan oleh plasmid yang ditransmisikan oleh
stafilokokki dengan transdksi dan juga dengan konjungasi. (Jawetz, dkk., 2005)
Staphylococcus epidermidis merupakan bagian dari flora normal manusia, telah
mengembangkan resistensi terhadap antibiotik yang umum seperti methicillin,

Komang Agus Mahardika


171200167
novobiocin, klindamisin, dan penisilin benzil. Untuk mengobati infeksi digunakan
vankomisin, hasil atau rifampicin. (Jawetz, dkk., 2005)
j. Epidemologi
Stafilokokus terutama merupakan parasit manusia yang ada dimana-mana.
Sumber infeksi utama adalah tumpukan bakteri pada lesi manusia, benda – benda yang
terkontaminasi lesi tersebut., dan saluran respirasi manusia serta kulit. Penyebaran
infeks melalui kontak telah dianggap sebagai faktor yang penting di rumah sakit,
dimana populasi luas dari staf dan pasien membawa stafilokokus yang resisten
antibiotika pada hidung atau kulit mereka. Meskipun kebersian, higienis, dan
penatalaksanaan lesi secara aseptik dapat mengendalikan penyebaran Stafilokokus dari
lesi tersebut beberapa metode tersedia untuk mencegah penyebarluasan stafilokokus
dari pembawa. Di rumah sakit yang merupakan daerah dengan risiko infeksi
stafilokokus paling tinggi adalah ruang perawatan bayi, unit perawatan intensif, ruang
operasi, dan bangsal kemoterapi kanker (Geo, 2005).
k. Pencegahan
Mengingat ancaman yang diberikan oleh bakteri Staphylococcus epidermidis, kita
sebisa mungkin jauh dari bakteri ini . Agar tidak teinfeksi Staphylococcus epidermidis,
ada beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain :
1. Senantiasa menjaga daya tahan tubuh agar tidak menurun.
2. Menjaga kebersihan diri.
3. Menjaga kebersihan berbagai peralatan yang dapat menjadi media penularan
infeksi Staphylococcus epidermidis.
H. Bakteri Clostridium botulinum
a. Pengertian
Clostridium botulinum yang merupakan bakteria berspora, berbentuk batang,
Gram positif dan bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum tersebar dalam tanah,
tumbuh-tumbuhan, isi usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam kondisi tertentu,
spora dapat bergerminasi menjadi sel vegetatif yang dapat menghasilkan toksin. Hal
ini yang menyebabkan C. botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin
dalam kondisi anaerobik seperti pada bangkai hewan ataupun dalam makanan
kalengan.

Komang Agus Mahardika


171200167
Berdasarkan karakteristik atau aktivitas metabolik bakterinya, C. botulinum
dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok I termasuk tipe A dan galur proteolitik tipe B
dan F. Kelompok II termasuk tipe E dan galur nonproteolitik tipe B dan F. Kelompok
III termasuk galur nonproteolitik tipe C dan D. Kelompok IV adalah tipe G. Secara
umum, kelompok proteolitik I dari C. botulinum bekerja dengan enzim endogenous
dari bakteri, tetapi neurotoksin yang dihasilkan oleh galur proteolitik kelompok II
memerlukan protease eksternal seperti tripsin untuk aktifasinya (DAHLENBORG
et.al., 2003).
Toksin C. botulinum adalah toksin biologis terkuat dari semua toksin lain yang
pernah dikenal. Dosis toksik tipe A sekitar 0,001 μg/kg, sehingga dosis yang dapat
membunuh manusia dengan berat badan sekitar 70 kg dengan rute per oral adalah
sekitar 70 μg, dengan rute pernafasan: 0,7 – 0,9 μg dan secara intravenous 0,09 sampai
0,15 μg. (SOBEL, 2005; DEMBEK et al., 2009). Karena potensinya, toksin dari C.
botulinum merupakan salah satu senjata biologis pertama yang telah dikembangkan di
beberapa negara seperti Jepang, Jerman, Amerika, Rusia dan Irak (SUGISHIMA,
2003). Senjata biologis toksin botulinum biasanya disebarkan secara aerosol atau
melalui makanan.
Spora C. botulinum dapat bertahan sampai 3 – 4 jam jika dididihkan atau pada
suhu 105°C selama 100 menit. Spora dapat dibunuh oleh klorin atau larutan hipoklorit.
Spora C. botulinum dapat bergerminasi jika diaktivasi oleh panas. Pengamatan untuk
C. botulinum tipe A, menunjukkan kemampuan bergerminasi dengan perlakuan panas
atau heat shocking pada suhu 80°C selama 10 – 20 menit. Spora sangat resisten
terhadap pengeringan dan bertahan hidup dalam keadaan kering untuk waktu lebih dari
30 tahun. Demikian pula spora resisten terhadap sinar ultraviolet, alkohol dan senyawa
fenol (SMITH dan SUGIYAMA, 1988).
b. Pathogenesis
Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui
kontaminasi luka, mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam
tubuh dapat memproduksi toksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang
luka karena lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Toksin tidak
diabsorbsi melalui kulit yang utuh.

Komang Agus Mahardika


171200167
Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan
ditransportasikan menuju synaps cholinergik perifer terutama neuromuscular junction.
Pada tempat ini, heavy chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian
presynaptic synaps perifer. Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-
mediated endocytosis. Light chain dari toksin menyeberangi membran vesikel
endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam sitoplasma, light chain toksin (yaitu
senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah beberapa protein yang
membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein
soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors (SNARE),
termasuk synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah
oleh toksin tipe C), dan synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh
toksin tipe A, C, E) (ARNON, 2001).
Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE
sebelum terjadi pemecahan (BREIDENBACH dan BRUNGER, 2004). Kompleks
synaptic fussion akan menyatukan vesikel synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan
membran terminal neuron. Pecahnya kompleks synaptic fussion mencegah vesikel
mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan acetylcholine ke
dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang berhubungan
tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholine dapat
berlangsung beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui
kembalinya protein SNARE ke dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps yang
baru. Kematian akibat botulismus secara akut terjadi karena obstruksi udara
pernafasan atau kelumpuhan otot-otot pernafasan.
Pengaruh langsung botulinum neurotoxin (BoNT) pada sistem syaraf pusat
belum dapat diperlihatkan secara jelas. BoNT tidak dapat melakukan penetrasi ke
blood-brain barrier karena ukurannya yaitu 150kDa, (DRESSLER et al., 2005).
Pengaruh BoNT pada neuromuscular junction dan organ otot dapat mempengaruhi
sistem syaraf pusat secara tidak langsung.
c. Morfologi
Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk
ukuran bakteri. Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm

Komang Agus Mahardika


171200167
hingga 1,2 μm. C. botulinum termasuk bakteri Gram positif.. Lapisan paling luar spora
disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing – masing
species, terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum.
Lapisan di bawah exosporium disebut dengan membran spora, terdiri atas
protein yang strukturnya tidak biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora,
ribosom, enzim, dan kation. Kandungan logam pada spora C. botulinum berbeda dari
kandungan metal pada Bacillus. Strain proteolitik C. Botulinum dapat menghasilkan
spora yang sangat resisten dengan pemanasan tinggi.C. botulinum merupakan bakteri
anaerob yang tidak dapat tumbuh di lingkungan anaerob.
Hasil uji pertumbuhan pada media agar aerob adalah negatif. C. botulinum
bersifat motil atau dapat bergerak dengan flagel yang berbentuk peritirik. C.botulinum
merupakan bakteri Gram positif yang memiliki kandungan peptidoglikan antara 80 –
90% dari komponen dinding sel. C. botulinum tidak dapat membentuk kapsula maupun
plasmid.
d. Fisiologi
C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum
untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk strain jenis E.
Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun pernah juga dilaporkan
bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain spora jenis F dilaporkan
tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 oC . Strain jenis E memiliki suhu
maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu
300 C (Suardana, 2001; Cliver, 1990 ; Jay, 1978).
Sel vegetatif Clostrium Botulinum tidak terlalu tahan panas sehingga proses
panas dirancang untuk menonaktifkan spora yang tahan panas dari patogennya. Yang
paling tahan panas dari Clostrium Botulinum Grup I yaitu (D121°C – 21 menit).
Akibatnya makanan yang akan disimpan disuhu 10°C atau di atasnya diberi perlakuan
“botulinum cook” untuk menginaktifkan spora dari grup I. Biasanya dilakukan pada
makanan botol / kaleng yang mempunyai pH >4.6. “Botulinum Cook” biasanya
dilakukan pada suhu 121°C selama minimal 3 menit. Sedangkan grup II tidak begitu
tahan panas daripada grup I. Pada makanan yang didinginkan C.botulinum dapat
tumbuh (pH >4.9 dan Aw 0.96) sehingga diperlukan proses panas untuk

Komang Agus Mahardika


171200167
menonaktifkan, yang biasanya terjadi pada akhir proses pada minimum 90°C selama
10 menit. Semua racun yang dihasilkan oleh Clostrium Botulinum dapat dinonaktifkan
dengan pemanasan 80°C selama setidaknya 10 menit. Namun, racun lebih stabil panas
pada pH yang rendah.
Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh
di dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff,
1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap
produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan waktu
penyimpanan.
Berdasarkan atas pH, C. botulinum tidak mampu tumbuh pada pH di bawah 4,5.
Lebih jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan
toksin pada pH 5,5-8,0 (Suardana, 2001; Jay, 1978). Nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan bersifat kompleks, diperlukan asam amino, vitamin B dan mineral. C.
botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air 0,94 dan jenis E pada 0,97 Dilaporkan
bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat pertumbuhan jenis A
dan B.
e. Mekanisme
Otot rangka tubuh disyarafi oleh motoneuron yang mempunyai sel-sel dalam
batang otak atau sumsum punggung. Axon dari motoneuron lewat dan keluar dari
sistem susunan syaraf pusat di bagian anterior akar spinal untuk membentuk syaraf
perifer yang cabangnya berada dalam otot rangka lalu ke terminal dan berhubungan
dengan serabut otot lurik/kasar, membentuk synapses neuromuskuler. Satu kelompok
serabut otot kasar disyarafi oleh motoneuron tunggal membentuk motor unit. Sinyal
yang dikirim ke otot untuk berkontraksi berasal dari sistem syaraf pusat dan berlanjut
ke serabut otot rangka sebagai aksi potensial motoneuron. Aksi potensial
mendepolarisasi terminal motoneuron untuk menstimulasi pelepasan acetylcholine ke
dalam celah neuromuskular synaptic melalui peningkatan konsentrasi Ca2+.
Acetylcholine dilepaskan dari cytosol oleh Ca2+ yang mengatur exocytosis,
suatu proses multi tahap yang melibatkan partisipasi dari beberapa protein yang secara
kolektif disebut SNAREs (soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment

Komang Agus Mahardika


171200167
protein receptors). Ketika acetylcholine mencapai membran otot postsynaptic,
ikatannya terhadap nicotinic cholinergic receptors membuka saluran transmembran,
menghasilkan suatu influx ion sodium (Na+) ke dalam serabut otot dan berikutnya
efflux dari potasium (K+); reduksi permulaan ini dalam potensial membran serabut
otot menimbulkan endplate potensial. Ketika endplate potensial mencapai ambangnya,
aksi potensial dibentuk dalam otot, dan menyebabkannya berkontraksi (DOLLY et al.,

1994).
Gambar 1. Acetylcholine pada syaraf terminal dikemas dalam vesikel. Pada stimulasi
syaraf, yang meningkatkan konsentrasi intra-neuronal Ca2+, membran vesikel berfusi
dengan plasmalemma dari syaraf terminal, membebaskan transmitter ke dalam
synaptic cleft. Proses ini dimediasi oleh satu serial protein yang secara kolektif disebut
protein SNARE. BoNT, memasuki syaraf terminal, memecah protein SNARE,
mencegah pembentukan functional fusion complex, dan memblokir pembebasan
acetylcholine.
Mekanisme multi tahap dari kerja BoNT pada syaraf motor terminal pertama kali
dikemukakan oleh SIMPSON (1979) dan kemudian ada bukti eksperimental yang
menjelaskan prosesnya (DOLLY et al., 1984; BLACK dan DOLLY, 1986 a, b;
DOLLY et al., 1994). Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Pengikatan pada ecto-

Komang Agus Mahardika


171200167
acceptor pada syaraf cholinergic terminal 2. Internalisasi acceptor mediated 3.
Translokasi pada cytosol dan penghambatan pelepasan Ca2+ dependent
neurotransmitter (THAKKER dan RUBIN, 2004).
Pengikatan pada presynaptic acceptor membutuhkan C-terminal, sebagian dari
heavy chain (100 kDa), yang dapat dipertahankan dalam konfirmasi yang sesuai oleh
asosiasinya dengan light chain (50kDa). Toksin ini kemudian diinternalisasi oleh
receptor mediated endocytosis sampai dikelilingi secara keseluruhan dalam bentuk
vesikel. Pada saat itu, (Gambar 1), moiety aktif melewati dinding vesikel dan protease
rantai pendek memecah satu dari protein yang bertanggung jawab untuk fusi vesikel
dan pelepasan acetylcholine (DOLLY, 1997; AOKI, 2004). Pada Tabel 1 disebutkan
berbagai protein SNARE atau tempat target-target dari setiap serotipe BoNT yang
memecahnya secara selektif (AOKI dan GUYER, 2001).
BoNT tipe A, C1 dan E memecah synaptosomal-associated protein 25 kDa
(SNAP-25), dan tipe B,D,F dan G memecah vesicle-associatedmembrane protein
(VAMP), yang juga dikenal sebagai synaptobrevin. Pemecahan proteolitik dari
SNAREs menyebabkan ketidakmampuan kerja exocytotic, sehingga exocytosis dari
acetylcholine dihambat. Jika jaringan targetnya adalah otot, pengaruh pada syaraf
secara kimia menghasilkan peristiwa kelumpuhan. Toksin tipe A dapat menyebabkan
neuroparalisis yang berkepanjangan, berlangsung hingga ber bulan-bulan pada
manusia. Hal ini mungkin disebabkan oleh: a. Aktivitas protease toksin yang berumur
panjang; b. Tertanamnya rantai pendek pada membran presynaptic; c. Persistensi
toxin-truncated SNAP-25; dan d. Endplate remodelling.
l. Bentuk dari bakteri Clostridium botulinum
Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk bacill (batang), anaerobik
(tidak dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), Gram-positif,
dapat membentuk spora, dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya
tahan panas dan dapat bertahan hidup dalam makanan dengan pemrosesan yang kurang
sesuai atau tidak benar.
Ada tujuh tipe botulisme (A, B, C, D, E, F dan G) yang dikenal, berdasarkan ciri
khas antigen dari racun yang diproduksi oleh setiap strain. Tipe A, B, E, dan F dapat
menyebabkan botulisme pada manusia. Tipe C dan D menyebabkan sebagian besar

Komang Agus Mahardika


171200167
botulisme pada hewan. Hewan yang paling sering terinfeksi adalah unggas liar dan
unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan. Walaupun tipe G telah diisolasi dari
tanah di Argentina, belum ada kasus yang diketahui disebabkan oleh strain ini. Ikan
sangat sensitif terhadap toksin tipe E.
m. Gejala
Pada botulismus yang disebabkan oleh makanan, gejala mulai tampak beberapa
jam sampai beberapa hari (2-8 hari) setelah tertelannya makanan yang terkontaminasi.
Umumnya terjadi dalam 12-72 jam setelah makan. Gejala dari foodborne botulism
yang disebabkan toksin C.botulinum serotipe A biasanya lebih parah dibandingkan
dengan serotipe B dan E (Dembek et al., 2009. Kruger et al. (2012) menyatalam bahwa
tipe toksin C.botulinum yang ditemukan pada manusia dan sapi berbeda. Toksin tipe A
secara dominan ditemukan pada feses sapi sedangkan tipe E ditemukan sebagai
penyebab botulism pada manusia yang terserang dan pakan hewan yang
terkontaminasi.
Sebagai penyakit yang berakibat neuroparalysis, botulismus merupakan
penyakit akut, simetrik, descending, flaccid paralysis pada manusia atau hewan. Yang
terserang foodborne botulismus, mula-mula memperlihatkan gejala gastrointestinal
seperti mual, muntah, kram perut, mulut kering, dan diare. Gejala syaraf awal biasanya
menyerang bagian kepala seperti pandangan kabur, kelopak mata jatuh, , fotopobia,
dan disfungsi syaraf seperti kekakuan sendi, gangguan bicara, dan tidak dapat menelan
makanan Kelemahan otot dimulai dari otot yang menggerakkan kepala, otot lengan
atas, otot pernapasan, dan yang terakhir tungkai bagian bawah. Kelemahan ini biasanya
berlangsung secara simetrik. Kematian biasanya akibat dari kegagalan sistem
pernapasan.
Gejala klinis yang timbul akibat terhirupnya toksin melalui saluran napas
(biasanya terjadi di laboraturium) menimbulkan gejala klinis yang serupa dengan
foodborne botulism (Varma et al.,2004).
Kelumpuhan akibat botulismus dapat berlangsung lama. Ventilasi mekanis
mungkin diperlukan selama 2 sampai 8 minggu dan kelumpuhan dapat berlangsung
selama 7 bulan. Suhu tubuh biasanya normal (Dembek et al.,2009).

Komang Agus Mahardika


171200167
Pada penderita yang terserang senjata biologis neurotoksin botulinum melalui
aerosol atau makanan akan terlihat gejala akut, simetrik, descending flaccid paralysis
dan kelumpuhan bola mata, jatuhnya kelopak mata, kekakuan sendi, gangguan bicara
dan tidak dapat menelan makanan. Gejala tersebut tampak setelah 12-72 jam setelah
terpapar (Arnon et al.,2001). Kecepatan diagnosis, tindakan pengobatan dengan
pemberian antitoksin yang sesuai akan menentukan kesembuhan penderita.
Gejala klinis botulismus hanya berbeda sedikit antara yang terjadi pada manusia
dan hewan (Critchley, 1991). Pada sapid an kkuda terlihat depresi, malas bergerak dan
tidak ada nafsu makan, tidak dapat menelan dan pakan jatuh dari mulut, kemudian
terlihat adanya kembung, dan muntah. Penyakit tidak menunjukkan gejala demam,
tetapi ada flaccid paralysis, dimulai dengan kelemahan, tremor otot, dan sulit berdiri.
Cara hewan berbaring juga tidak normal. Kelemahan dari kaki belakang menjalar ke
kaki depan, kepala, dan leher. Mata dapat terlihat menitup, pupil dilatasi. Diagnosis
dapat mudah dilakukan dengan cara menarik lidah keluar dari rongga mulut dan terlihat
kelumpuhan otot lidah. Ketidakmampuan menelan diikuti dengan kelumpuhan otot
dada dan sulit bernapas.
Clostrodium botulinum berperan pada stadium awal terjadinya dekomposisi
bangkai hewan, atau bahan sayuran. Dalam kondisi anaerob dan peningkatan kondisi
alkali dan suhu, spora akan bergerminasi dan menghasilkan toksin. Ketika ituk, burung
air liar bermain di danau, sopra C.botulinum yang terdapat pada dasar sedimen danau
tertelan. Spora ini dapat tinggal dalam tubuh unggas tersebut untuk beberapa lama
sampai saatnya unggas tersebut mati karena berbagai sebab. Sesudah unggas mati,
terciptalah suatu kondisi anaerob yang menyebabkan aktifnya spora yang ada dalam
bangkai unggas mati tersebut dan memproduksi toksin yang mematikan. Serangga/lalat
biasanya tertarik pada bangkai dan bertelur pada bangkai tersebut, yang kemudian
menjadi larva. Larva tidak terpengaruh oleh toksin, tetapi toksin terakumulasi di
dalamnya. Unggas yang kemudian memakan larva tersebut akan mati akibat toksin
yang terkandung di dalamnya (Locke dan Friend, 1989). Kematian pada ayam dapat
menunjukkan adanya inkoordinasi, flaccid paralysis dari otot kaki, sayap dan leher,
leher memanjang dan diare. Tidak ada lesi mikroskopik atau mikroskopik yang dapat

Komang Agus Mahardika


171200167
diamati. Toksin C.botulinum ditemukan dari darah jantung dan ceca (Trampel et
al.,2005).

n. Struktur dari bakteri Clostridium botulinum


Struktur dan fungsi dasar pada sel bakteri meliputi dinding sel, membran plasma,
sitoplasma, ribosom, DNA, dan granula penyimpanan.
1. Dinding sel
Dinding sel berfungsi sebagai pelindung dan pemberi bentuk bakteri. Dinding
sel bakteri tersusun dari peptidoglikan, yaitu gabungan protein dan polisakarida.
Berdasarkan perbedaan ketebalan lapisan peptidoglikan dinding sel, bakteri
dapat dibedakan atas bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri
Clostridium botulium adalah gram positif. Bakteri Gram positif adalah bakteri
yang memiliki dinding sel dengan lapisan peptidoglikan yang tebal. Bakteri ini
akan berwarna ungu jika diwarnai dengan pewarnaan Gram.
2. Membran plasma
Membran plasma adalah membran yang menyelubungi sitoplasma. Membran
plasma tersusun dari lapisan fosfolipid dan protein. Membran plasma bersifat
selektif permeabel dan berfungsi untuk mengatur pertukaran zat antara sel
dengan lingkungannya.
3. Sitoplasma
Sitoplasma adalah cairan sel. Sitoplasma bakteri tidak mengandung banyak
organel seperti pada sel eukariotik. Sitoplasma bakteri antara lain mengandung
ribosom, DNA, dan granula penyimpanan.
4. Ribosom
Ribosom adalah organel yang berukuran sangat kecil dan merupakan tempat
terjadinya sintesis protein yang dibantu oleh RNA (ribonucleic acid: asam
ribonukleat).
5. DNA
DNA (deoxyribonucleic acid: asam deosiribonukleat) adalah materi pembawa
informasi genetik. DNA bakteri berupa rantai tunggal berbentuk melingkar
(nukleoid). Beberapa bakteri memiliki tambahan DNA melingkar yang lain yang

Komang Agus Mahardika


171200167
lebih kecil yang disebut plasmid. DNA bakteri tidak mengandung protein histon
dan dengan demikian disebut dengan DNA telanjang.
6. Granula penyimpanan
Granula penyimpanan berfungsi untuk menyimpan cadangan makanan.
Umumnya bakteri menyimpan cadangan makanan yang dibutuhkannya. Struktur
dan fungsi tambahan pada sel bakteri meliputi bagian kapsul, flagellum, pilus,
dan fimbria, klorosom, vakuola gas, serta endospora.
o. Pengobatan
 Antitoksin untuk mengobati botulisme harus disuntikkan langsung ke dalam
aliran darah. Antitoksin akan menempel pada toksin di dalam darah dan
mencegahnya mengakibatkan kerusakan. Pemberian antitoksin tidak dapat
menghentikan kerusakan, tetapi dapat memperlambat atau menghentikan
kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga tubuh dapat mengadakan
perbaikan selama beberapa bulan. Antitoksin diberikan sesegera mungkin
setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian ini pada umumnya efektif bila
dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya gejala. Antitoksin tidak
dianjurkan untuk diberikan pada bayi, karena efektivitasnya pada infant
botulism masih belum terbukti.
 Jika makanan penyebab botulisme teridentifikasi, isi perut mungkin
dibersihkan untuk menghilangkan makanan yang tidak tercerna. Untuk
mengeluarkan toksin yang tidak diserap dilakukan:
- perangsangan muntah
- pengosongan lambung melalui lavase lambung
- pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus
 Selanjutnya, obat-obatan dapat diberikan untuk menginduksi gerakan usus.
Sementara dalam kasus botulisme luka, jaringan di sekitar luka mungkin harus
diangkat melalui pembedahan.
 Dalam kasus botulisme pada bayi, antitoksin tidak dianjurkan melainkan
Botulism Immune Globulin Intravenous-Human
 Sebuah bentuk alternatif pengobatan yang dikenal sebagai globulin botulisme
tersedia untuk mengobati bayi.

I Made Pradnyana Putra


171200168
 Jika pasien mengalami kesulitan bernafas, dokter mungkin menggunakan
ventilator untuk membantu pernapasan pasien botulisme. Perawatan intensif
telah mengurangi angka kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun
1900 sekarang menjadi 10%. Tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi,
frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin.
 Pada botulisme luka, luka yang terinfeksi mungkin perlu dibuang.
p. Pencegahan
Berikut ini adalah tindakan pencegahan yang sebaiknya diperhatikan secara serius.
Secara ringkas, higienitas adalah kunci pencegahannya.
- Mencegah Botulisme pada Bayi
 Dari hasil penelitian, madu sebagai sumber kontaminan, oleh karena itu
sebaiknya tidak diberikan pada bayi berusia dibawah satu tahun.
 Selain itu, apabila memberikan susu formula, perhatikan tata cara perlakuan
sebelum dikonsumsi bayi. Diantaranya merebus botol susu, menutup segera
bungkus susu yang tersisa dan menyimpannya di tempat yang aman dan
bersih.
- Mencegah Botulisme pada Luka
 Menghindari luka dari kotoran khususnya dari tanah.
 Segera memberikan cairan antiseptic.
 Tidak menutup luka rapat-rapat (kedap udara).
- Mencegah Botulisme Makanan
 Sebelum membeli makanan kaleng, perhatikan bentuk wadahnya. Bentuk
yang terkontaminasi kembung secara menonjol, relatif jauh berbeda dengan
yang normal.
 Ikuti tata cara perlakuan sebelum mengkonsumsi makanan awetan,
khususnya yang dikalengkan, atau rebus hingga mendidih selama 10 menit,
waktu dihitung mulai saat mendidih. Akan jauh lebih baik apabila direbus di
dalam panci presto. Demikian juga untuk jenis makanan awetan tertutup
lainnya.

I Made Pradnyana Putra


171200168
 Jika membungkus kentang dalam aluminium foil sebelum memasaknya,
makanlah saat panas/hangat atau simpan di dalam kulkas (bukan dalam suhu
kamar).

I. Bakteri Mycobacterium leprae


a. Morfologi
Mycobacterium leprae juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang
menyebabkan penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri
intraselular. M. leprae merupakan gram-positif berbentuk tongkat. Mycobacterium
leprae merupakan pathogen intrasel obligat sehingga belum dapat dibiakkan invitro
(media tak hidup). Bakteri sering ditemukan pada sel endothelial pembuluh darah atau
sel mononuclear (makrofag) sebagai lingkungan yang baik untuk bertahan hidup dan
perkembangbiakan. Perkiraan waktu bagi bakteri ini bereplikasi adalah 10-12 hari
(Martiny, 2006).

Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin
karena kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan berakumulasi
hingga mencapai 1010 basil/gram jaringan pada kasus lepratype lepromatus.
Kerusakan syaraf perifer yang terjadi merupakan sebuah respon dari system imun
Karena adanya basil ini sebagai antigen. Pada lepra type tuberkuloid, terjadi granuloma
yang sembuh dengan sendirinya bersifar berisi sedikit basil tahan asam (Martiny,
2006).

I Made Pradnyana Putra


171200168
Bakteri Mycobacterium leprae berbentuk batang, langsing atau sedikit
membengkok dengan kedua ujung bakteri tumpul, tidak bergerak, tidak memiliki spora
dan tidak berselubung. Sel-sel panjang, ada kecenderungan untuk bercabang.
Berukuran 1-7 x 0,2-0,5µm, bersifat gram positif, tahan asam, letak susunan bakteri
tunggal atau sering bergerombol serupa tumpukan cerutu sehingga sering disebut
packed of cigarette, atau merupakan kelompok padat sehingga tidak dapat dibedakan
antara bakteri yang satu dengan yang lainnya, kadang-kadang terdapat granulaBentuk-
bentuk M. leprae yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis adalah :
1) Bentuk utuh (solid): dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat warna
secara sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan ditengahnya juga
dapat dikatakan solid
2) Bentuk globus: adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat dibagi
2, yaitu :
• Globus besar terdiri dari 200-300 bakteri
• Globus kecil terdiri dari 40-60 bakteri
3) Bentuk pecah (fragmented): dinding bakteri biasanya terputus sebagian atau
seluruhnya, tidak menyerap zat warna secara merata.
4) Bentuk berbutir-butir (granuler): tampak seperti titik-titik yang tersusun
5) Bentuk clump adalah bentuk granuler yang membentuk kelompok tersendiri,
biasanya llebih dari 500 bakteri.
(Martiny, 2006).
b. Struktur Mycobacterium Leprae
Meicobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intra-seluler (hanya
bisa hidup dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi fagositosis karena mempunyai
dinding sel yang sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim. Mikroskop elektron

I Made Pradnyana Putra


171200168
menunjukkan ultrastruktur yang umum untuk semua mikobakteria. M.leprae berupa
batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,3 µm. Pada jaringan
yang terinfeksi batang sering tersusun bersama-sama membentuk globi.
1. Kapsul
Sekeliling organisme merupakan zona elektron transparan seperti busa atau
material vesikular, merupakan struktur yang unik dari M.leprae. Komposisinya
terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate yang dianggap berperan pada
perlindungan pasif, phenolic glicolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula yang
mengalami metilasi terpaut pada molekul fenol dari lemak (phthiocerol).
Trisaccharida ini membuat M.leprae unik secara kimia dan menjadi antigen
yang spesifik.
2. Dinding sel
Terdiri dari dua lapisan :
- Lapisan luar berupa elektron transparan dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami
esterifikasi dengan mycolic acid rantai panjang, mirip dengan
mikobakteria lain.
- Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan : karbohidrat terpaut dengan
peptidanya dimana urutan asam aminonya spesifik untuk M.leprae
meskipun peptida tersebut sangat kecil untuk dijadikan sebagai antigen
diagnostik.
3. Membrane
Hanya melekat dibawah dinding sel, merupakan membran untuk transpor
molekul ke dalam dan keluar dari mikroorganisme. Membran terdiri dari lipid
dan protein. Protein kebanyakan berupa enzim dan menurut teori merupakan
target utama dari kemoterapi. Mereka juga merupakan ’protein permukaan
antigen’ yang diekstraksi dari dinding sel M.leprae yang telah dirusak
kemudian dianalisa secara luas.
4. Sitoplasma
Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari timbunan granul, materi genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang

I Made Pradnyana Putra


171200168
mengalami translasi dan multiplikasi. Analisa DNA berguna dalam konfirmasi
identitas mikrobakteria yang diisolasi dari armadilos liar, dan menunjukkan
suatu M.leprae, melalui perbedaan secara genetik dan berhubungan erat dengan
M.tuberkulosis dan M. scrofulaceum.
5. Biokimia dan metabolisme
Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah sulit untuk dipelajari. M.
leprae memetabolisme sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari
glikolisis, hexose monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid. Energi
dibentuk oleh konversi ADP menjadi ATP dan dihasilkan oleh ATP yang telah
mengalami perubahan ADP. Sehingga oksigen dapat digunakan. Semua
bakteri membutuhkan basa purin dari nukleotida untuk membentuk asam
nukleat dan metabolisme oksidatif. Tidak seperti mikobakteria lain M. leprae
tidak melakukan sintesa seperti ini, dan kita dapat mencari mereka dalam sel
host. Mikobakteria juga membutuhkan besi yang diambil dari host oleh
chelate mikobactin. M. leprae kekurangan mikobactin. Defek metabolik
seperti ini mungkin menjelaskan mengapa organisme ini sulit untuk dibiakkan
in vitro.Komponen kimia utama dari M.leprae adalah adalah antigenic.

c. Koloni dan sifat pertumbuhan


Micobakteria adalah bakteri aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa
karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Aktivitas biokimianya
tidak khas, dan laju pertumbuhannya lebih lambat dari bakteri lain, waktu pembelahan

I Made Pradnyana Putra


171200168
adalah sekitar 18 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37º C. Koloni cembung, kering
dan kuning gading.
d. Pathogenesis
Mycobacterium leprae merupakan basil patogen terutama pada manusia,
berkembang lambat (replikasi setiap 20-30 hari), fuchsin positif, tahan asam, dan tidak
mengeluarkan toksin. Sel schwann merupakan target utama basil ini yang akhirnya
menyebabkan kerusakan saraf, hilangnya axon, demielinisasi, dan kecacatan. Pure
neural leprosy diyakini sebagai fase awal patogenesis lepra sebelum lesi kulit muncul.
Basil ini masuk terutama melalui saluran pernapasan atas dan dapat juga melalui
kulit, kemudian menuju filamen eksoplasmik dan masuk ke dalam sel schwann dan
saraf. Mycobacterium leprae dapat masuk ke dalam sel schwann melalui beberapa
cara. Pertama, selama bakteremia, karena ia memiliki 21kDa specific laminin binding
protein dan phenolic glycolipid I (PGL-1), yaitu suatu glikokonjugat unik pada
permukaan dinding sel basil lepra yang memungkinkan M. leprae menembus
perineural dan masuk ke dalam saraf. Kedua, menembus ujung saraf di dermo-
epidermal junction dan berjalan sentripetal sepanjang akson.
Basil di dalam saraf dan sel schwann kemudian melakukan multiplikasi dan
diseminasi, memulai siklus baru yang invasive dan membentuk granuloma perineural
setelah meninggalkan sel saraf. Sel schwann tidak memiliki enzim lisosom yang
mampu menghancurkan basil ini, sehingga basil lepra dapat bertahan hidup lama di
dalam saraf. Awalnya, basil mungkin difagosit oleh neutrofil, sehingga terjadi lisis
parsial dan terbentuk vakuola fagositosis (phagosomes), namun M. leprae tetap bisa
hidup dan bereplikasi. Kemudian basil ini bermigrasi ke jaringan ikat perivaskular dan
ditangkap oleh makrofag yang kaya enzim lisosom yang mampu membunuh
organisme. Pada pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda-positif, makrofag dapat
menghancurkan semua basil dan mendapatkan sinyal antigenik untuk bertindak
sebagai antigen presenting cell (APC), merangsang cell mediated immunity (CMI),
dan akhirnya membentuk granuloma epiteloid. Sedangkan pada pasien dengan hasil
pemeriksaan Mitsuda negatif, hanya terjadi lisis parsial dan fosfolipid bakteri tetap
bertahan. Sel lepra atau virchowcytes mungkin muncul, tetapi sinyal antigeniknya
tidak lengkap dan sel-sel tidak dapat bertindak sebagai APC. Infiltrasi M. lepra ke

I Made Pradnyana Putra


171200168
dalam sel saraf menyebabkan inflamasi yang menimbulkan kompresi dan kerusakan
saraf sensorik yang tidak bermielin dan saraf otonom. Proses ini akhirnya akan
mengenai saraf motorik yang bermielin. Inflamasi berat akan menyebabkan nekrosis,
sehingga merusak saraf.
e. Siklus hidup
Seperti mikobakteri lainnya ( atau bakteri ' acid - fast ' ), Mycobacterium leprae
memiliki waktu yang lama untuk mereplikasi dirinya di luar sel inang. Beberapa
peneliti berpendapat bahwa Mycobacterium leprae adalah parasit intraseluler
fakultatif, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa bakteri tidak bisa bereplikasi sama
sekali di luar sel. Didukung oleh fakta bahwa Mycobacterium leprae belum pernah
dikultur in vitro. Ketika Mycobacterium leprae menemukan host yang tepat maka
bakteri ini akan bereplikasi dengan memakan waktu hingga 13 hari untuk menjalani
satu siklus replikasi. Kusta ditandai dengan replikasi bakteri di dalam vesikel
intraseluler makrofag, sel Schwann, dan sel endotel. Secara umum, Mycobacterium
leprae lebih memilih sel-sel tersebut pada suhu lebih rendah dari tubuh manusia, yang
mengapa cenderung memanifestasikan dirinya di dekat permukaan kulit . Metabolisme
Ideal terjadi pada 33 ° C dan pH antara 5,1 dan 5,6.
f. Pengobatan
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada
pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan
lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya
menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi
dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat
dan kombinasi tiga obat pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada
1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan
sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan

I Made Pradnyana Putra


171200168
selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson.
Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan
dapson.
F. Vibrio cholerae
a. Morfologi
Vibrio cholerae termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang bengkok
seperti koma dengan ukuran panjang 2-4 um.(Gambar 1) Pada isolasi, Koch
menamakannya “kommabacillus”, Tapi bila biakan diperpanjang , kuman ini bisa
menjadi batang yang lurus yang mirip dengan bakteri enteric gram negative. Kuman
ini dapat bergerak sangat aktif karena mempunyai satu buah flagella polar yang halus
(monotrikh). Kuman ini tidak membentuk spora. Pada kultur dijumpai koloni yang
cembung (convex), halus dan bulat yang keruh (opaque) dan bergranul bila disinari.

b. Fisiologi
Vibrio cholerae bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Suhu optimum untuk
pertumbuhan pada suhu 18-37°C. Dapat tumbuh pada berbagai jenis media, termasuk
media tertentu yang mengandung garam mineral dan asparagin sebagai sumber karbon
dan nitrogen. V. cholerae ini tumbuh baik pada agar Thiosulfate-citrate-bile-sucrose
(TCBS), yang menghasilkan koloni berwarna kuning (Gambar 2) dan pada media
TTGA (Telurite-taurocholate-gelatin-agar).
Salah satu ciri khas dari vibrio cholerae ini adalah dapat tumbuh pada pH yang
sangat tinggi (8,5-9,5) dan sangat cepat mati oleh asam. Pertumbuhan sangat baik pada
pH 7,0. Karenanya pembiakan pada media yang mengandung karbohidrat yang dapat
difermentasi, akan cepat mati. . V. cholerae meragi sukrosa dan manosa tanpa
menghasilkan gas tetapi tidak meragi arabinosa. Kuman ini juga dapat meragi nitrit.
I Made Pradnyana Putra
171200168
Ciri khas lain yang membedakan dari bakteri enteric gram negative lain yang tumbuh
pada agar darah adalah pada tes oksidasi hasilnya positif.
c. Struktur antigen
Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel
H ini bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif.
Pada uji aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang
penting dalam pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholerae. Antigen somatic
O ini terdiri dari lipopolisakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir.
Antibodi terhadap antigen O bersifat protektif.. Vibrio cholerae serogroup O1 memiliki
3 faktor antigen : A, B dan C yang membagi grup O1 menjadi serotipe Ogawa, Inaba
dan Hikojima.

d. Pathogenesis
Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia.
Seseorang yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak
1010 atau lebih V. cholerae dalam air agar dapat menginfeksi, sebab kuman ini sangat
sensitive pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102 - 104
organisme yang diperlukan, karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan.
Beberapa pengobatan dan keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung
membuat seseorang lebih sensitive terhadap infeksi Vibrio cholera.
1. Entecotoksin
V. cholerae ini menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas,
dengan berat molekul sekitar 90.000 yang mengandung 98% protein, 1% lipid
dan 1% karbohidrat.
I Made Pradnyana Putra
171200168
Pada tiap molekul enterotoksin Vibrio cholerae terdiri dari 5 sub unit B
(binding) dan 1 sub unit A (active). Sub unit A ini mempunyai 2 komponen A1
dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor ganglion pada permukaan
enterocytes melalui 5 sub unit B. Sedangkan komponen A2 sub unit
mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen A1 sub unit bertugas
meningkatkan aktivitas Adenil siklase akibatnya produksi cyclic AMP
meningkat yang menyebabkan meningkatnya sekresi cairan dan elektrolit
(Gambar 4) sehingga menimbulkan diare massif dengan kehilangan cairan
mencapai 20 liter perhari “watery diarrhea”, pada kasus berat dengan gejala
dehidrasi, syok, gangguan elektrolit dan kematian.
2. Perlekatan
V. cholerae tidak bersifat invasive, kuman ini tidak masuk ke dalam aliran darah
tetapi tetap berada di saluran usus. V. cholerae yang virulen harus menempel
pada mikrovili permukaan sel epitelial usus baru menimbulkan keadaan patogen.
Disana mereka melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera diserap
di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan klorida
dan menghambat absorpsi natrium. Akibatnya kehilangan banyak cairan dan
elektrolit, Secara histology, usus tetap normal.

Gambar 4. Gambaran skematis aktivitas dari enterotoksin Vibrio cholera


e. Pengobatan
Prinsip dalam pengobatan kolera ini adalah mengganti air dan elektrolit untuk
mengurangi dehidrasi dan kekurangan garam dengan memasukkan secara intravena
cairan yang mengandung Natrium, Kalium, Chloride dan Bicarbonate. Antibiotika
I Made Pradnyana Putra
171200168
yang sering digunakan untuk melawan kuman ini adalah Tetrasiklin. Tetrasiklin yang
diberikan peroral dapat mengurangi keluarnya tinja yang mengandung kuman kolera
dan memperpendek masa ekskresi Vibrio cholerae.
Tetrasiklin juga memperpendek waktu timbulnya gejala klinis pada penderita
kolera. Pada beberapa daerah endemic, V. cholerae yang resisten dengan tetrasiklin
telah muncul, dibawa oleh plasmid yang mudah berpindah. Tetrasiklin juga berguna
pada penderita carrier sebab konsentrasinya pada empedu.
f. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan perbaikan sanitasi khususnya makanan dan air
melalui pendidikan. Pasien kolera seharusnya diisolasi, ekskresinya didisinfeksi dan
orang-orang kontak diawasi. Khemoprofilaksis dengan obat antimikroba mungkin
diperlukan.
G. Clostridium tetani
a. Morfologi
Clostridium tetani berbentuk batang yang panjang dan halus dengan ukuran
panjang berkisar 3-8 µm dan lebar 2-5 µm. Pada pewarnaan termasuk dalam golongan
bakteri gram positif, tetapi pada biakan yang lama dapat menjadi bakteri gram negative.
Bakteri ini juga dapat bergerak aktif karena memiliki flagella peritrich.
Clostridium tetani mempunyai ciri khas memiliki spora yang lebih besar dari
diameter badan kumannya sehingga kelihatan menggembung. Letak spora biasanya di
terminal dari badan kuman sehingga bakteri ini kelihatan seperti “raket tennis”
(Gambar 1). Spora ini tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan terlihat seperti
bagian kosong dari badan kuman. Pada biakan yang lama, sel vegetatif akan rusak dan
melepaskan sporanya menjadi spora yang bebas.

I Made Pradnyana Putra


171200168
Gambar 1. Clostridium tetani dengan karakteristik seperti raket tennis.
b. Fisiologi
Kuman ini hanya dapat tumbuh dalam suasana yang anaerob (obligate anaerob)
dengan temperature pertumbuhan 37ºC dan pH optimum 7,4. . Hal ini disebabkan
kuman ini tidak mampu menggunakan oksigen sebagai akseptor hydrogen akhir dan
tidak mempunyai sitokrom, serta sitokrom oksidase sehingga tidak dapat memecah
hydrogen proksidase. Karena itu bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun
sampai mencapai level toksik. Yang dapat menyebabkan kuman ini akan mati.

Gambar 2. Clostridium tetani dengan endospora di terminal


Untuk mendapatkan suasana anaerob dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Lempeng agar atau tabung reaksi diletakkan dalam anaerobic jar (bejana
anaerob), dimana udara dibuang dan diganti dengan nitrogen dan CO2 10%
atau oksigen juga dapat dibuang dengan menggunakan gaspack.
2. Kultur cair diletakkan dalam tabung panjang yang mengandung jaringan hewan
segar (misalnya cincangan daging rebus) atau agar-agar 0,1% dari Tioglikolat.
Dan ditambahkan paraffin diatasnya untuk menciptakan suasana anaerob.
Bakteri anaerob hanya dapat melangsungkan metabolismenya pada potensial
reduksi oksidasi negative (E1) yaitu dalam lingkungan yang sangat kuat mereduksi.
Bentuk koloni pada Clostridium tetani, akan kita temukan koloni yang tumbuh
tipis yang meluas dalam jalinan filament yang halus pada agar darah. Pada agar darah
juga akan membentuk daerah hemolisis. Pada media cooked meat broth dijumpai
pertumbuhan kuman dalam jumlah kecil setelah 48 jam.
c. Struktur antigen

I Made Pradnyana Putra


171200168
Antigen flagella (H), somatic (O) dan antigen spora dapat dijumpai pada Clostridium
tetani. Antigen spora berbeda dari antigen H dan antigen O pada sel somatic.
Organisme ini dapat dibagi menjadi 10 tipe berdasarkan antigen flagellarnya.
Clostridium tetani mempunyai kelompok agglutinasi somatic tunggal untuk semua
strain yaitu dengan menggunakan fluorescein-labeled antisera. Dan menghasilkan
neurotoksin dari tipe antigenic yang sama, yaitu tetanospasmin serta dinetralisasi
dengan antitoxin tunggal.
d. Pathogenesis
Clostridium tetani bukanlah kuman yang bersifat invasive, dia tetap berada pada daerah
luka / jaringan yang rusak, tempat dimana spora masuk. Bila keadaan memungkinkan
yaitu dalam keadaan anaerob maka kuman ini berkembang dengan cepat dan dapat
menimbulkan toksemia. Keadaan anaerob ini biasanya terjadi karena adanya :
 Jaringan nekrotik.
 Adanya garam kalsium.
 Adanya kuman piogenik lainnya, maka spora akan menjadi bentuk vegetatif
dan eksotoksin yang dibentuk akan menjalar menuju Susunan Saraf Pusat,
melalui jaringan perineural, pembuluh darah atau pembuluh limfe.

Pada Susunan Saraf Pusat toksin ini mengikat diri pada ganglion di batang otak
dan sumsum tulang belakang. Toksin bekerja secara blockade, dengan dikeluarkannya
mediator penghambat sinapsis neuron motorik. Hasilnya hiperrefleksia dan spasme
otot tubuh terhadap rangsangan apa saja.
Satu tetanospasmin yang sudah terikat dengan jaringan saraf tidak dapat lagi
dinetralisasi dengan antitoxin. Tetanospasmin juga mengganggu system saraf
otonomik, Dengan manifestasi klinis seperti keringat yang berlebihan, turun naiknya
tekanan darah, takikardi dan arritmia cordis serta meningkatnya pelepasan
katekolamin.
e. Manifestasi klinis
Masa inkubasi penyakit tetanus ini berkisar antara 5 hari – 15 minggu, rata-rata
8-12 hari. Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului oleh ketegangan otot
terutama otot rahang (lock jaw) dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut
(trismus) karena spasme dari otot maseter. Diikuti dengan kejang pada kuduk, dinding
I Made Pradnyana Putra
171200168
perut dan sepanjang tulang belakang (opistotonus). Bila serangan kejang tonik sedang
berlangsung, tampak risus sardonicus, akibat spasme otot muka. Serangan dapat
dicetuskan oleh rangsang suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat juga timbul
spontan. Karena kontraksi sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin
bahkan dapat terjadi fraktur columna vertebralis (pada anak).
Ciri khas dari penderita tetanus ini, walau telah terjadi kejang tonik diseluruh
otot-otot bergaris, pasien masih dalam kesadaran penuh dan merasa sangat nyeri.
Kematian biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pernafasan. Angka kematian
tetanus secara umum masih sangat tinggi.
H. Mycoplasma pneumonia
a. Karakteristik umum
Asal mula mikoplasma tidak diketahui dengan jelas. Genom terkecil mikoplasma lebih
kecil daripada dua kali genom virus besar tertentu. Mikoplasma adalah organisme
terkecil yang dapat hidup bebas di alam dan bereplikasi sendiri pada medium
laboratorium. Bakteri ini mempunyai karakteristik umum sebagai berikut:
1. Ukuran terkecil mikoplasma yaitu 125-250 nm
2. Mikoplasma sangat pleomorfik karena dinding selnya tidak kaku dan dilapisi
tiga lapis membran unit yang mengandung sterol (mikoplasma memerlukan
tambahan serum atau kolesterol ke dalam medium agar dapat menghasilkan
sterol untuk pertumbuhannya)
3. Mikoplasma sangat resisten terhadap penisilin karena pada dinding selnya tidak
terdapat struktur tempat penisilin beraksi, tetapi mikoplasma dihambat oleh
tetrasiklin atau eritromisin.
4. Mikoplasma dapat bereproduksi dalam media bebas sel; pada agar, pusat
keseluruhan koloni melekat di bawah permukaanya
5. Pertumbuhan dihambat oleh antibodi yang spesifik
6. Mikoplasma mempunyai afinitas untuk membran sel mamalia
b. Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Divisi : Tenericutes
Class : Mollicutes

I Made Pradnyana Putra


171200168
Order : Mycoplasmatales
Family : Mycoplasmataceae
Genus : Mycoplasma
Spesies : Mycoplasma pneumoniae
(Somerson et al., 1963)
c. Morfologi dan identifikasi
Mikoplasma tidak dapat dipelajari dengan metode bakteriologi biasa karena
ukuran koloninya yang kecil dan plastisitas serta kehalusan sel-selnya (karena dinding
selnya tidak kaku). Pertumbuhan dalam medium cair menghasilkan banyak bentuk
yang berbeda. Pertumbuhan pada medium padat terutama terdiri dari protoplasmik
plastis dengan bentuk yang tidak pasti yang dapat dengan mudah mengalami
perubahan. Struktur-struktur ini memiliki ukuran yang sangat bervariasi, diameternya
berukuran mulai dari 50 sampai 300 nm. Morfologinya tampak berbeda-beda,
tergantung pada metode pemeriksaanya (misalnya lapangan gelap, imunofluoresensi,
film pewarnaan Giemsa dan medium padar, cair dan fiksasi agar).
Pertumbuhan dalam pembenihan cair menghasilkan berbagai bentuk yaitu,
cincin, batang dan badan spiral, filament, dan granula. Pertumbuhan pada pembenihan
padat pada dasarnya terdiri atas massa protoplasma plastis dengan bentuk tidak teratur
dan mudah berubah. Mikoplasma mempunyai struktur sangay primitif, yang dapat
berubah bentuk dari bulat yang berdiameter 125-250 nm sampai bentuk filamen kecil
dengan panjang antara beberapa nm sampai 850 nm.

I Made Pradnyana Putra


171200168
d. Struktur antigen
Banyak spesies mikoplasma yang secara antingenik dapat dibedakan dari binatang dan
manusia. Spesies diklasifikasikan dengan gambaran biokimia dan serologik. Antingen
CF mikoplasma adalah glikolipid. Antingen untuk uji Elisa adakah protein. Beberapa
spesies mempunyai lebih dari satu serotipe.
e. Epidemologi
Infeksi Myoplasma pneumonia dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat
endemik. Prevalensi kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas
sampai ke awal musim gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi
tersebar luas dan satu orang ke orang lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu
batuk. Itulah sebabnya infeksi kelihatan menyebar lebih mudah antara populasi yang
padat manusianya misalnya di sekolah, asrama, pemukiman yang padat dan kompleks
militer. Penelitian surveilans menemukan dalam satu keluarga dengan tiga anak
berturut-turut masuk ke Rumah Sakit dengan keluhan gejala respiratorik yang mana
sebelum masuk RS telah mendapat pengobatan Ampisilin tapi tidak menunjukkan
adanya perbaikan. Setelah pemeriksaan serologik ditemui kenaikan empat kali atau
lebih titer antibodi fiksasi komplemen untuk Mycoplasma pneumoniae pada ketiga
anak tersebut. Masa inkubasi penyakit ini relatif lama kira-kira 2-3 minggu, itulah
sebabnya biasanya dalam beberapa anggota keluarga tidak terjadi sakit dalam waktu
yang bersamaan. Biasanya penyakit ini akan memakan waktu yang lama. M.pneumonia
yang sudah lama berada pada host yang telah terinfeksi ini mungkin merupakan suatu
faktor penting juga dalam penyakit epidemik yang disebabkan oleh organisme ini.
f. Patologi
Baru sedikit informasi yang diperoleh mengenai gambaran histopatologi infeksi
M. pneumonia ini pada manusia, penyakit ini jarang menyebabkan kematian. Pada
beberapa kematian yang telah pernah dilaporkan ditemui gambaran interstitial
pneumonia dan bronkiolitis yaitu penebalan dinding bronkus karena edema,
penyempitan pembuluh darah dan infiltrat dari sel mononuklear (Knight, 1980).
Adanya hiperemis pada cabang trakeobronkial dan paru pada umumnya dan
pada trakea terlihat penurunan yang jelas dari aksi cilia dan diikuti dengan hilangnya
cilia dan kemudian terkelupasnya sel epitelnya (Baum, 1985).

I Made Pradnyana Putra


171200168
g. Pathogenesis
Peranan imunitas (kekebalan) tubuh manusia pada patogenese Pneumonia
mikoplasma masih banyak yang belum jelas. Beberapa penelitian te1ah
mernperlihatkan bahwa anak yang kecil mungkin telah pernah terinfeksi M.
pneumoniae, tapi menunjukkan gejala klinis. Ini oleh karena antigen antibodi yang
menimbulkan infiltrat kurang intensitasnya, sehingga kalau reaksi yang sangat lemah
ini tidak menimbulkan gejala klinik. Tetapi apabila terjadi infeksi yang berulang akan
menyebabkan akumulasi imunitas yang sehingga gejala klinis akan nampak jelas
(Wirjodiarjo, 1988).
Perawatan di Chapel Hill membuktikan bahwa anak yang lebih kecil dari 5 tahun
Apabila terinfeksi M. pneumoniae jarang menimbulkan gejala klinis walaupun
mempunyai antibodi yang beredar, tapi limfosit yang beredar itu tidak dapat distimulir
oleh antigen M. pneumoniae, sebaliknya anak umur 5 lebih selain mempunyai beredar,
juga mempunyai limfosit yang respon terhadap antigen M. pneumoniae spesifik
(Denny, 1984).
Respon imun yang khas ditimbulkan yakni respon imun yang spesifik dan non
spesifik. Respon imun yang non spesifik yaitu Antibodi Aglutinin dingin, antibodi
fiksasi komplemen, dan respon imun yang spesifik yaitu pembentukan respon imun
humoral dan respon imun selular. Teknik diagnostik secara serologik pada umumnya
terjadinya respon imun non spesifik (Denny, 1984).
h. Siklus hidup
M.pneumoniae ditularkan melalui ludah penderita kemudian tertelan dan masuk ke
inang yang baru. Bakteri ini hanya dapat berkembangbiak didalam tubuh
manusia/hospes. Jika diluar tubuh hospes hanya dapat bertahan beberapa jam saja
itupun dalam keadaan lembab seperti air ludah kemudian mati. Berkembang sangat
pesat dalam paru-paru lebih tepatnya dalam bronchitis. Akibat banyaknya populasi
dalam bronchitis, bakteri akan naik ke faring untuk mencari jalan dan keluar saat
penderita meludah atau bersin. Jika bersin atau air liur terhirup maka M.pneumonia
akan masuk dalam inang baru dan tinggal untuk berkembamgbiak kembali.

I Made Pradnyana Putra


171200168
Gambar 1:Sel Mycoplasma pneumoniae pada fase I (8 jam). Membentuk karakteristik
morfologi tubuhnya.
Gambar 2: Mycoplasma pneumoniae pada fase I yang tumbuh (2 hari). Sel menjadi
pendek, kuat dan mulai membentuk filamen sebagai alat gerak.
Gambar 3: Mycoplasma pneumoniae pada fase II (3 hari). Membelah dan membentuk
koloni yang memiliki filamen disekelilingnya.
Gambar 4: Mycoplasma pneumoniae pada fase antara II-III (4 hari).
Gambar 5: Mycoplasma pneumoniae pada fase akhir II (6 hari). Filamen memendek
dengan pusat (inti) yang hampir sama.
i. Pengobatan
1. Antibiotika
Ampisilin tidak sensitif terhadap infeksi M.Pneumonia ini, karena
mikroorganisme ini tidak mempunyai dinding sel. Kultur secara invitro
memperlihatkan sensitivitas terhadap Eritromisin dan Tetrasiklin,7 obat ini
merupakan drug of choice untuk M.Pneumonia. Pada anak yang lebih kecil dari 10

I Nyoman Adi Parawita


171200169
tahun obat pilihan adalah eritromisin, sedangkan Tetrasiklin dianjurkan oleh karena
adanya efek samping terhadap anak. Obat ini diberi dengan dosis penuh yaitu 250-
500 mg 4 kali sehari selama 7-10 hari. Secara rinci pengobatan untuk infeksi ini
yaitu
 Dosis Dewasa dengan BB ≥ 26 kg : Tetrasiklin 1000 mg/hari dibagi 4 dosis
Eritromisin 1500 mg/hari dibagi 4 dosis
 Anak-anak BB ≤ 25 kg : Tetrasiklin 25 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis
Eritromisin 30-50 mg/kg BB/hari Diberi selama 2 - 3 minggu.

Dengan pemberian obat ini dalam jangka waktu pendek menunjukkan hasil
yang baik dengan menghilangnya manifestasi klinik secara cepat, tapi
mikrorganisme ini bisa tidak segera hilang dari sputum atau hapusan tenggorokan,
sehingga dapat mempengaruhi fungsi paru dikemudian hari. Obat baru saat
sekarang ini yang banyak dipakai adalah Roxytromycin yaitu Antibiotik dari
golongan Makrolide ternyata cukup efektif terhadap M.pneumonia dengan efek
samping yang sedikit dengan pemberian yang sederhana dengan dosis 5-10 mg/kg
BB/hari dibagi dalam 2 dosis diberi per ora1, diberikan selama 7-14 hari.6 Steroid
dapat diberi bila ditemui komplikasi Stevens-Johnson Syndrom.Pengobatan
Simptomatik, yaitu dengan istirahat, pemberian analgetik/antipiretik, antitussive
dan asupan cairan jika diperlukan.

I. Shigella dysenteriae
a. Pengertian
Genus Shigella ditemukan sebagai penyebab bacillary disentri oleh ahli
mikrobiologi Jepang, Kiyoshi Shiga pada 1898. Shigella adalah penyakit yang
ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella menyebabkan disentri basiler
dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan invasi
bakteri.
Bakteri Shigella dysenteriae dapat menyebabkan penyakit disentri basilar.
Disentri basilar adalah infeksi usus besar oleh bakteri patogen genus Shigella. Shigella
dysenteriae merupakan penyebab penyakit yang paling ganas dan menimbulkan
epidemi hebat di daerah tropis dan subtropis (Soedarto,1996). Pengobatan infeksi dapat

I Nyoman Adi Parawita


171200169
digunakan dengan antibiotik yang telah diresepkan secara luas seperti pada saat
sekarang ini (Gould and Brooker, 2003).
Shigellosis adalah infeksi enterik invasif akut yang disebabkan oleh bakteri yang
masuk kedalam genus Shigella, secara klinis ditunjukkan dengan diare yang sering
berdarah. Shigellosis banyak menjadi endemik di banyak negara berkembang dan juga
menjadi epidemi yang menyebabkan cukup morbiditas dan kematian.
Di antara empat jenis shigella, Shigella dysenteriae tipe 1 ( sd1 ) merupakan yang
penting karena dapat menyebabkan penyakit yang paling parah dan dapat menjadi
epidemi di daerah besar. Kendala utama untuk mengontrol Shigellosis adalah cepat
menyebarnya Shigella dari orang ke orang dan perlawanan antimikrobial yang
berkembang cepat.
Makanan yang sering terkontaminasi Shigella adalah salad, sayuran segar
(mentah), susu dan produk susu, serta air yang terkontaminasi. Sayuran segar yang
tumbuh pada tanah terpolusi dapat menjadi faktor penyebab penyakit, seperti disentri
basiler atau Shigellosis yang disebabkan oleh Shigella. Menurut USFDA (1999),
diperkirakan 300.000 kasus Shigellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun.
Dengan perlakuan secara biokimia shigella relative menjadi tidak aktif bila
dibandingkan dengan spesies Escherichia. Studi-studi yang berkaitan tentang DNA
telah menunjukkan bahwa mereka masuk dalam genus yang sama, nmaun
pengelompokan keduanya tetap dipertahankan karena tidak seperti Escherichia,
kebanyakan Shigella adalah patogen dan berpotensi menyebabkan penyakit yang
parah.
b. Sistematika dan klasifikasi
Sistematika dari Shigella dysenteriae adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Shigella
Spesies : Shigella dysenteriae

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Shigella adalah genus gamma proteobacteria dalam keluarga
Enterobacteriaceae. Shigella adalah bakteri Gram-negatif, nonmotile, dan merupakan
kuman patogen usus yang dikenal sebagai agen penyebab penyakit disentri
basiler.Bakteri ini menginfeksi saluran pencernaan dan menyebabkan berbagai gejala,
dari diare, kram, muntah, dan mual, sampai komplikasi yang lebih serius dan penyakit.
Terdapat 4 species organisme:
1. Shigella sonnei, menyebabkan disentri ringan dan bertanggung jawab atas
95% kasus di Inggris.
2. Shigella flexneri, menyebabkan disentri sedan, timbul terutama di negara
tropis dan subtropis dan bertanggung jawab atas 5% kasus di Inggris
terutama di rumah sakit jiwa.
3. Shigella boydii, menyebabkan disentri sedang, timbul terutama di negara
tropis dan subtropis.
4. Shigella shiga, menyebabkan disentri berat, timbul terutama di Timur jauh.
Genus Shigella meliputi empat spesies: S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii dan
S. sonnei, masing – masing juga disebut sebagai Grup A, B, C dan D. Tiga spesies
pertama meliputi beberapa serotipe. S. sonnei dan S. boydii biasanya menyebabkan
penyakit yang relatif ringan dalam diare yang mungkin berair atau berdarah. S. flexneri
adalah penyebab utama dari shigellosis yang endemik di negara berkembang. Imunitas
adalah serotypespesifik. Shigella dysenteriae tipe 1, juga dikenal sebagai bacillus
Shiga, berbeda dari Shigella lain dalam 4 hal yaitu :
1. Menghasilkan cytotoxin ampuh (Shiga racun)
2. Menyebabkan penyakit yang lebih parah, lebih berkepanjangan , dan lebih
sering fatal daripada penyakit yang disebabkan oleh Shigella lain.
3. Perlawanan terhadap antimicrobials terjadi lebih sering daripada antara lain
Shigella
4. Menyebabkan epidemi besar yang sering terjadi didaerah, sering dengan
angka serangan yang tinggi dan kasus kematian yang lebih tinggi.
c. Morfologi
Shigella dysenteriae merupakan bakteri Gram negatif yang tipis atau ramping,
tidak berkapsul, tidak membentuk spora, bentuk Coccobacilli terjadi pada perbenihan

I Nyoman Adi Parawita


171200169
muda. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri fakultatif anaerob, tetapi dapat tumbuh
dengan baik secara aerob. Koloni Shigella cembung, bundar, transparan dengan
diameter sampai kira-kira 2 mm dalam 24 jam. Semua Shigella memfermentasi
glukosa. Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang memproduksi gas.
Bakteri ini tidak meragi laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya
untuk meragikan laktosa membedakan bakteri Shigella pada perbenihan diferensial.
Shigella juga dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian yang dapat
memfermentasi manitol dan yang tidak dapat memfermentasi manitol (Jawetz et al.,
2005).
Shigella sp mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak
tumpang tindih dalam sifat serologi berbagai spesies dan sebagian besar bekteri ini
mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh bakteri enteric lainnya. Antigen somatic
O dari Shigella sp. adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya tergantung pada
polisakarida dan terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella sp didasarkan pada
sifat-sifat biokimia dan antigeniknya ( Jawetz et al.,2005).
Semua spesies Shigella menyebabkan diare berdarah yang akut dengan
menyerang dan menyebabkan kehancuran dari colonic epitelium. Hal ini menyebabkan
pembentukan micro-ulcers dan peradangan exudates, dan menyebabkan peradangan
sel (polymorphonuclear leucocytes, PMNS ) dan darah muncul pada feses. Feses
diarrhoeal yang berisi 106- 108 Shigellae per gram. Sekali diekskresikan, organisme
yang sangat peka terhadap kondisi lingkungan akan hidup dan mati dengan cepat ,
terutama ketika kondisi lingkungan kering atau terkena sinar matahari langsung.
d. Sifat biakan
Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara aerob.
Koloni berbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan mencapai
diameter sekitar 2 mm dalam 24 jam. Bakteri Shigella dysentriae berkembang biak
dengan pembelahan biner, artinya Pada pembelahan ini, sifat sel anak yang dihasilkan
sama dengan sifat sel induknya. Pembelahan biner mirip mitosis pada sel eukariot.
Badanya, pembelahan biner pada sel bakteri tidak melibatkan serabut spindle dan
kromosom. Pembelahan Biner dapat dibagi atas tiga fase, yaitu sebagai berikut: (1)
Fase pertama, sitoplasma terbelah oleh sekat yang tumbuh tegak lurus (2) Fase kedua,

I Nyoman Adi Parawita


171200169
tumbuhnya sekat akan diikuti oleh dinding melintang (3) Fase ketiga, terpisahnya
kedua sel anak yang identik. Ada bakteri yang segera berpisah dan terlepas sama sekali.
Sebaliknya, ada pula bakteri yang tetap bergandengan setelah pembelahan, bakteri
demikian merupakan bentuk koloni.
Pada keadaan normal bakteri dapat mengadakan pembelahan setiap 20 menit
sekali. Jika pembelahan berlangsung satu jam, maka akan dihasilkan delapan anakan
sel. Tetapi pembelahan bakteri mempunyai faktor pembatas misalnya kekurangan
makanan, suhu tidak sesuai, hasil eksresi yang meracuni bakteri, dan adanya organisme
pemangsa bakteri. Jika hal ini tidak terjadi, maka bumi akan dipenuhi bakteri.
e. Struktur antigen
Shigella mempunyai struktur antigen yang kompleks. Sebagian besar kuman
mempunyai antigen O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya. Antigen
I Nyoman somatik
Adi Parawita
O Shigella adalah lipopolisakarida. Spesifikasi serologiknya171200169
bergantung pada
polisakarida itu. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella didasarkan pada
sifat-sifat biokimia dan antigennya.

Golongan dan jenis Manitol Ornitin


Dekarboksilase
Shigella dysenteriae A - -
Shigella flexneri B + -
Shigella boydii C + -
Shigella sonnei D + +
f. Sifat pertumbuhan
Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei, shigella tidak
memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya memfermentasikan laktosa
membedakan shigella pada medium diferensial. Shigella membentuk asam dari
karbohidrat tetapi jarang menghasilkan gas. Organisme ini dapat dibagi menjadi
organisme yang memfermentasikan manitol dan tidak memfermentasikan manitol.
g. Fisiologi
Sifat pertumbuhan adalah aerob dan fakultatif anaerob, pH pertumbuhan 6,4 – 7,8 suhu
pertumbuhan optimum 370C kecuali S. sonnei dapat tumbuh pada suhu 450 C. Sifat
biokimia yang khas adalah negative pada reaksi adonitol tidak membentuk gas pada
I Nyoman Adi Parawita
171200169
fermentasi glukosa, tidak membentuk H2S kecuali S.flexneri, negative terhadap sitrat,
DNase, lisin, fenilalanin, sukrosa, urease, VP, manitol, laktosa secara lambat, manitol,
xylosa dan negative pada test motilitas. Sifat koloni kuman adalah sebagai berikut :
kecil, halus, tidak berwarna, bila ditanam pada media agar SS, EMB, Endo, Mac
Conkey.
h. Variasi
Mutan-mutan dengan sifat-sifat biokimia, antigen dan pathogen yang berbeda sering
timbul dari strain induk. Variasi dari bentuk koloni halus (H) menjadi kasar (K)
dihubungkan dengan hilangnya daya invasi.
i. Habitat
Habitat alami Shigella dysenteriae terbatas pada usus besar manusia dan binatang
menyusui, dimana Shigella dysenteriae memproduksi eksitoksin yang tidak tahan
panas yang mempengaruhi usus dan susunan saraf pusat. Penyebaran Shigella
dysenteriae selalu terbatas pada saluran pencernaan, penyebaran ke dalam alirandarah
sangat jarang. Bakteri Shigella dysenteriae dapat menimbulkan penyakit yang sangat
menular (Jawetz et al., 2005).
j. Daya tahan
Shigella sp yang kurang tahan terhadap agen fisik dan kimia dibandingkan Salmonella.
Tahan dalam ½ % fenol selama 5 jam dan dalam 1% fenol dalam ½ jam. Tahan dalam
es selama 2 bulan. Dalam laut selama 2-5 bulan. Toleran terhadap suhu rendah dengan
kelembaban yang cukup. Garam empedu konsentrasi yang tinggi mengambat
pertumbuhan strain tertentu. Kuman akan mati pada suhu 55⁰C.
k. Siklus hidup
Siklus hidup Bila kita menginovulasikan (penanaman bakteri) sejumlah tertentu sel
bakteri pada suatu media di inkubasikan pada kondisi optimum dalam waktu 18-24
jam, maka akan didapat kurva pertumbuhan jumlah sel bakteri yang hidup. Karena
jumlah bakteri sangat besar dan waktu generasi sangat pendek. Tahapannya yaitu fase
penyesuaian (fase lack/adaptasi), fase logaritmik (fase eksponensial/sangat cepat), fase
pengurangan pertumbuhan (pertumbuhan lambat), fase pertumbuhan tetap (statis), fase
menuju kematian (mati).
l. Pathogenesis dan patologi

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Shigellosis disebut juga Disentri basiler, disentri sendiri artinya salah satu dari
berbagai gangguan yang ditandai dengan peradangan usus, terutama kolon dan disertai
nyeri perut, tenesmus dan buang air besar yang sering mengandung darah dan mucus.
Habitat alamiah bakteri disentri adalah usus besar manusia, tempat bakteri tersebut
dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi S.dysenteriae praktis selalu terbatas pada
saluran pencernaan, dan invasi bakteri ke dalam darah sangat jarang. S.dysenteriae
menimbulkan penyakit yang sangat menular dengan dosis infektif dari bakteri
S.dysenteriae adalah kurang dari 103 organisme dan merupakan golongan Shigella sp
yang cenderung resisten terhadap antibiotic (Jewetz et al., 2005).
Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lender, mikroabses
pada dinding usus besar dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan nekrosis
selaput lender, ulserasi superficial, pendarahan, pembentukan “pseudomembran” pada
daerah ulkus. Ini terdiri dari fibrin, leukosit, sisa sel, selaput lender yang nekrotik dan
bakteri. Waktu proses patologik berkurang, jaringan granulasi akan mengisis ulkus
sehingga terbentuk jaringan parut (Jewetz et al., 2005). S. dysenteriae dapat
menyebabkan 3 bentuk diare :
 Disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, mucus dan
pus
 Watery diarrhea
 Kombinasi antara disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai
darah, mucus, pus dengan watery diarrhea.
Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam,
BAB berdarah, dan feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen,
dan diare cair tanpa darah, kemudian feses berdarah setelah 3 – 5 hari kemudian.
Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari, pada kasus yang lebih parah
menetap selama 3 – 4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis ulseratif,
dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala
pernapasan, gejala neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome.
Artritis oligoartikular asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri.

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Pulasan cairan feses menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses
dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.
Penata laksanaan Shigellosis dengan pemberian antibakteri seperti
kotrimoksazol, ciprofloksasin, ampisilin, asam nalidixic atau ceftriaxone dapat
membantu memperpendek masa sakit dan sekresi patogen serta meringankan penyakit.
Obat-obat antibakteri tersebut harus digunakan pada situasi tertentu dengan indikasi
yang jelas, indikasi tersebut antara lain untuk mengurangi beratnya penyakit, untuk
melindungi kontak dan indikasi epidemiologis. Resistensi bakteri Shigella sp terhadap
antibiotic dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru, dimana
selama 5 dekade terakhir bakteri Shigellasp telah resisten terhadap berbagai antibakteri
baru yang pada awalnya sangat efektif terhadap infeksi Shigella sp yang resisten
terhadap multiantibiotik, seperti S. dysenteriae tipe 1, ditemukan di seluruh dunia dan
timbul sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. Akibat sering
terjadinya resistensi terhadap suatu antibakteri maka pemilihan antibakteri yang tepat
perlu dilakukan, dimana pemilihan antibakteri tergantung kepada gambaran resistensi
bakteri setempat sesuai prevalensi infeksi yang terjadi pada daerah tersebut (James,
2001).
Sesudah masa inkubasi yang pendek (1-2 hari), ada serangan tiba-tiba berupa
sakit perut, demam, dan diare cair. Diare terjadi akibat pengaruh eksotoksin dalam usus
kecil. Eksotoksin merupakan sebuah protein antigenik (merangsang produksi
antitoksin) dan mematikan pada binatang percobaan. Pada manusia, eksotoksin dapat
menghambat penyerapan gula dan asam amino pada usus kecil (Jawetz et al., 2005).
Shigella sp menghasilkan toksin yang disebut Shigatoksin dan mengadakan
multiplikasi tanpa invasi di dalam jejunum kemudian memproduksi toksin. Toksin ini
kemudian berikatan dengan reseptor dan menyebabkan aktivasi proses sekresi sehingga
terjadi diare cair yang tampak pada awal penyakit, hal ini merupakan tanda dari sifat
enterotoksik shigatoksin. Selanjutnya, perjalanan penyakit melibatkan usus besar dan
invasi jaringan dimana aksi shigatoksin akan memperberat gejalanya. Efek
enterotoksin shigatotoksin lebih pada penghambatan absorpsi elektrolit, glukosa, dan
asam amino dari lumen intestinal (Dzen dkk, 2003). Toksin shigella dysenteriae dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :

I Nyoman Adi Parawita


171200169
1. Endotoksin
Pada waktu terjadi autolisis, semua Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya
yang toksik. Endotoksin ini mungkin menambah iritasi pada dinding usus.
2. Eksotoksin (Shigella dysentriae)
S. Dysentriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas yang
dapat mempengaruhi saluran pencernaan dan sistem saraf pusat. Eksotoksin
merupakan protein yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan
mematikan hewan percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini dpat menimbulkan
diare, sebagaimana halnya enterotoksin. Terapi dengan rehidrasi yang adekuat
secara oral atau intravena, tergantung dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus
dihindari. Terapi antimikroba diberikan untuk mempersingkat berlangsungnya
penyakit dan penyebaran bakteri.Trimetoprim-sulfametoksazole atau
fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik yang dianjurkan.
Antibiotik terpilih untuk infeksi Shigella adalah ampisilin, kloramfenikol,
sulfametoxazol-trimetoprim. Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa
kanamisin, streptomisin dan neomisin merupakan antibiotik yang dianjurkan untuk
kasus-kasus infeksi Shigella. Masalah resistensi kuman Shigella terhadap antibiotik
dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Shigella yang
resisten terhadap multiantibiotik (seperti S. dysentriae 1) ditemukan di seluruh
dunia dan sebagai akibat pemakaian antibiotika.
J. Propionibacterium acne
a. Pengertian
Propionibacterium acne termasuk dalam kelompok bakteri Corynebacteria.
Propionibacterium acne merupakan difteroid anaerob yang biasanya menetap pada
kulit normal. Bakteri ini ikut serta dalam pathogenesis jerawat dengan menghasilkan
lipase, yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat
menimbulkan radang jaringan dan ikut menyebabkan jerawat (Pramasanti, 2008).
Propionibacterium acne merupakan bagian flora kulit normal, kadang-kadang bakteri
ini muncul dalam biakan darah dan harus dibedakan sebagai suatu pencemarbiakan
atau penyebab sebenarnya dari penyakit. Propionibacterium acne kadang-kadang

I Nyoman Adi Parawita


171200169
menyebabkan infeksi katup jantung prostetik dan pintas cairan serebrospinal (Jawetzb
et al., 1996).

Gambar 1 Propionibacterium acnes


Adapun klasifikasi dari Propionibacterium acne adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Species : P. Acne
(Brannan, 2007).
b. Morfologi
Propionibacterium acnes adalah berbentuk batang tak teratur dengan ujung
meruncing yang tampak pada pewarnaan gram positif. Bakteri ini dapat tumbuh di
udara dan tidak menghasilkan endospora. Bakteri ini dapat berbentuk filamen
bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan bentuk kokoid/bulat.
Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 – 0,8 μm dan memiliki panjang 3-4 μm.
Propionibacterium acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob fakultatif
sampai ke mikroerofilik atau anaerob. Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang
tumbuh relatif lambat. Bakteri ini termasuk tipe bakteri anaerob gram positif yang
toleran terhadap udara (Pramasanti, 2008).

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Propionibacterium acnes terdapat dalam genus bakteri Corynebacteria. Bakteri ini
sebenarnya termasuk flora normal kulit. Bakteri ini biasanya terdapat pada folikel
sebasea. Namun tidak hanya itu, Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada
jaringan prostat dan juga paru-paru. Kulit merupakan habitat utama dari bakteri ini,
namun dapat pula diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran
telinga eksternal, konjungtiva, usus besar, uretra bahkan vagina. Propionibacterium
acnes berfungsi pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah
asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi
jaringan ketiak yang berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terbentuknya
jerawat. Dalam sebuah penelitian, menunjukkan bahwa genome dari bakteri ini dapat
menghasilkan enzim untuk meluruhkan kulit dan protein, yang mungkin immunogenik
(mampu mengaktifkan sistem kekebalan tubuh).(Pramasanti, 2008).

c. Portal of Entry Propionibacterium acnes


Propionibacterium acnes adalah suatu bagian dari flora normal yang terdapat pada
kulit dan dapat menyebabkan infeksi oportunistik yang menghasilkan lipase sebagai
konstributor pada pembentukan jerawat (Levinson, 2004). Flora anaerobik seperti
Propionibacterium acnes, tinggal di lapisan kulit lebih dalam, dalam folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Strohl W.A., 2001)
Acne terjadi ketika lubang kecil pada permukaan kulit yang disebut pori-pori
tersumbat. Pori-pori merupakan lubang bagi saluran yang disebut folikel, yang
mengandung rambut dan kelenjar minyak. Biasanya, kelenjar minyak membantu
menjaga kelembaban kulit dan mengangkat sel kulit mati. Ketika kelenjar minyak
memproduksi terlalu banyak minyak, pori-pori akan banyak menimbun kotoran
(tersumbat) (Tirta, 2010). Pada saaat pori-pori tersumbat, maka bakteri
Propionibacterium acnes juga akan berkembang lebih banyak. Akibat dari
pertumbuhan bakteri yang melebihi jumlah normal sebagai bakteri flora normal, maka
akan terjadi infeksi oportunistik yang menyebabkan terjadinya jerawat (Serena
Falcocchio, 2006).
Di antara aktivitas enzimatik, P. acnes lipase (GehA, gliserol-ester hidrolase A)
telah diteliti sebagai salah satu faktor virulensi yang terlibat dalam patogenesis jerawat.
Enzim GehA bertanggung jawab untuk hidrolisis triasilgliserida sebum, sehingga
I Nyoman Adi Parawita
171200169
melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol merupakan sumber nutrisi bagi P.
acnes, sedangkan asam lemak mediator inflamasi, kemotaksis, dan iritasi pada sel-sel
folikel sebasea. Selain itu, asam lemak menyebabkan hiperkornifikasi (penebalan kulit
ari) oleh adhesi keratinosit, dan meningkatkan adhesi antara P. acnes satu dengan yang
lain dan antara P. acnes dan sel folikel, yang mendukung kolonisasi dan pembentukan
biofilm P. acnes (Serena Falcocchio, 2006).
d. Mekanisme infeksi dan Manifestasi Klinik
Bakteri ini merusak stratum corneum dan stratum germinativum dengan cara
menyekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori. Senyawa kimia yang
dihasilkan oleh bakteri ini yaitu lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan
neurimidase yang memegang peranan penting pada proses peradangan.
Propionibacterium acnes mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh
yang menyebabkan sebum menjadi padat. Jika produksi sebum bertambah,
Propionibacterium acnes juga akan bertambah banyak yang keluar dari kelenjar
sebasea, karena Propionibacterium acnes merupakan pemakan lemak (Harahap,2000)

Gambar 2 Sebum yang terinfeksi bakteri P. acnes

Setelah menghancurkan dinding pori yang kemudian P.acnes membentuk luka


jerawat (acne lesion). Kondisi ini dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan
minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi akan
meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang mengeras akan membesar
(Anggita Rahmi H, 2015).

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Gambar 3 Sel darah putih pada saat terjadinya inflamasi

Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator-


mediator proinflamasi yang berdifusi melalui dinding folikel. Penelitian terkini
menunjukkan bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like receptor-2 pada monosit dan
neutrofil. Aktivasi toll-like receptor-2 ini kemudian akan memicu produksi sitokin
proinflamasi yang multipel, seperti IL-12, IL-8, dan TNF. Berikut adalah tahapan
terjadinya jerawat yang menimbulkan inflamasi :

Gambar 4 Tahapan terbentuknya jerawat

 Tahap 0

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Tahap ini berarti ada tanda-tanda kecil dari jerawat dan sebenarnya tidak perlu
dikhawatirkan, termasuk munculnya jerawat kecil-kecl. Kondisi ini bisa hilang
dalam waktu 1-2 hari, kecuali jika ada tanda bahwa jerawat tersebut membesar.
 Tahap 1
Ini adalah tahapan awal dari jerawat yang biasanya dimulai dengan adanya komedo
(whitehead). Terlihat beberapa bintik putih di wajah terutama di ujung hidung,
sudut hidung dan bawah bibir. Kondisi ini tidak menyebabkan peradangan, tapi
beberapa hari kemudian akan timbul titik hitam di daerah tersebut. Jika seseorang
menghilangkannya dengan cara tidak steril, maka akan ada kesempatan bagi
jerawat untuk berkembang lebih lanjut.
 Tahap 2
Pada tahap ini akan terlihat peradangan ringan yang biasanya disertai dengan
papula. Papula adalah lesi (luka) kulit yang sedikit membesar tapi dalam ukuran
kecil dan padat. Kondisi ini juga dikenal dengan jerawat ringan, jika bisa diberikan
pengobatan yang baik maka bisa mengendalikan jerawat.
 Tahap 3
Dalam tahap ini papula pada kulit sudah mulai berkembang dan terlihat meradang.
Pengobatan ini biasanya harus membutuhkan bantuan medis.
 Tahap 4
Jerawat yang muncul sudah berubah menjadi pastules. Pada dasarnya pastules ini
berisi nanah, terlihat meradang dan ada semacam tip putih. Jika sudah mencapai
tahap ini, sebaiknya jerawat tidak dipencet sembarangan.
 Tahap 5
Jika masalah kulit ini tidak terkendali, maka bisa memasuki tahap yang parah.
Gumpalan (nodule) akan mulai muncul pada tahap ini. Pastules yang ada lebih
berkembang di wajah yang berisi nanah, sel-sel kulit mati, sel darah putih, bakteri
dan sebum. Gumpalan yang meradang ini bisa meluas ke bagian kulit yang lebih
dalam dan menyebabkan rasa sakit. Jika sudah mencapai kulit yang dalam, maka
bisa menyebabkan parut.
 Tahap 6

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Pada tahap ini kulit akan terlihat memerah dan darah bisa muncul dari jerawat ini
jika timbul luka. Tahap ini mengakibatkan infeksi dan meningkatkan potensi
jerawat berikutnya.
e. Portal of Exit
Propionibacterium tidak secara langsung menyebabkan kerusakan yang
signifikan pada kulit. Sebaliknya, sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh
jerawat adalah karena proses inflamasi oleh sistem imun.
Sistem imun dari beberapa orang mungkin lebih sensitif terhadap P. acnes dan
dapat meresponnya secara kuat, yang dapat menyebabkan gejala inflamasi. Beberapa
orang dapat mudah mengenali antigen seperti peptidoglikan, lipopolysacharides dan
protein dari bakteri Propionibacterium acnes. Bahkan DNAnya dapat dikenali sebagai
antigen oleh sistem imun. Bakteri bahkan tidak harus hidup untuk memicu respon imun
yang kuat, bakteri mati juga dapat memicu alarm dengan sistem kekebalan tubuh.
Dalam situasi yang normal, sel darah putih menelan (menfagositosis) semua
bakteri yang menginfeksi dan merangsang inflamasi. Setelah ditelan, sel darah putih
mengisolasi bakteri ke kompartemen intraselular yang disebut fagosom, dan bersama
lisosom akan membentuk fagolisosom. Lisosom akan menghancurkan dan mencerna
bakteri menjadi fragmen-fragmen kecil. Beberapa fragmen yang tidak dapat dicerna
akan dikeluarkan oleh fagosit menuju portal of exit yaitu kulit (pori-pori)
Pada kasus yang kronis, reaksi inflamasi oleh sel system imun mengalami kesulitan
dalam menangani invasi bakteri. Sel system imun mulai mengalami disfungsi akibat
proses “cerna” bakteri yang dapat berlangsung lama. Akibatnya, sel system imun akan
terus mengeluarkan sitokin yang merangsang reaksi inflamasi terus menerus. Sampai
suatu saat, sel system imun tidak berhasil menangani bakteri dan mengalami apoptosis
(kematian). Akibatnya bakteri akan terus membelah dan memberikan infeksi yang
lebih parah. Jika hal ini terjadi, maka pasien perlu obat untuk mengobatinya.
f. Pencegahan
Berikut adalah beberapa tips untuk mencegah timbulnya jerawat:
 Jagalah selalu kebersihan kulit dengan mencucinya minimal dua atau tiga kali
sehari dengan sabun yang dianjurkan bagi kesehatan kulit. Dan pastikan kulit
sudah bersih saat hendak tidur (bersih dan jangan memakai kosmetik).

I Nyoman Adi Parawita


171200169
 Hindari semua jenis makanan dengan gula yang berlebih, terutama coklat dan
kacang-kacangan. Sebaiknya hanya mengonsumsi makanan yang sederhana dan
seimbang yang terdiri dari banyak buah-buahan dan sayur-sayuran segar.
 Minumlah banyak air dan jus buah, namun tetap harus menghindari minuman yang
terlampau manis.
 Penggunaan tablet vitamin A juga membantu menjaga kesehatan kulit, namun
harus sesuai dengan kebutuhan.
 Untuk istirahat, usahakanlah tidur minimal delapan jam setiap malam (bukan
delapan jam setiap hari).
 Hindari stres, dan rajinlah berolahraga dan terus jalankan prinsip-prinsip hidup
sehat.
 Menjemur kulit di panas matahari setiap hari, selain untuk memperoleh vitamin
D, panas matahari berguna untuk kesehatan kulit asal tidak dilakukan berlebihan.
g. Pengobatan
Obat jerawat terdapat dalam bentuk sediaan topikal atau obat luar berupa salep,
krim, lotion, jeli dan sabun. Obat jerawat topikal dibagi menjadi 2 yaitu dengan
komedolitik/keratolitik dan antibiotik. Hal ini tergantung dari beratnya radang/infeksi
yang diderita.
 Obat jerawat jenis komedolitik/keratolitik
Obat jerawat jenis komedolitik/keratolitik bisa didapat di pasaran sebagai obat
bebas. Zat aktif yang terkandung dalam obat jerawat jenis obat bebas adalah
benzoil peroksida, asam salisilat, resorsinol.
Benzoil peroksida bekerja secara perlahan-lahan melepaskan oksigen aktif
yang memberikan efek bakteriostatik juga mempunyai efek keratolitik dan
mengeringkan sehingga dapat menunjang efek pengobatan.
Resorsinol mempunyai efek antifungi, antibakteri dan keratolitik, sedangkan
Asam salisilat mempunyai sifat keratolitik, yang dapat melunakkan kulit sehingga
dapat membantu penyerapan obat lain dan fungisida yang lemah.
Sedangkan obat jerawat yang perlu resep dokter sebagai komedolitik/ keratolitik adalah
azelaic acid, tretinoin dan turunannya.
 Obat jerawat jenis antibiotika

I Nyoman Adi Parawita


171200169
Antibiotika untuk obat jerawat adalah klindamisin, eritromisin, dalam
sediaannya bisa tunggal atau kombinasi dengan tretinoin atau benzoil peroksida.
Kombinasi ini bertujuan untuk mencegah resistensi.

I Nyoman Adi Parawita


171200169
DAFTAR PUSTAKA

AOKI, K.R. and B. GUYER. 2001. Botulinum toxin type A and other botulinum toxin serotypes:
A comparative review of biochemical and pharmacological actions. Eur. J. Neurol.
8(suppl 5): 21 – 29.
Austin FE, Barbieri JT, Corin RE, Grigas KE, Cox CD. Distribution of superoxide dismutase,
catalase, and peroxidase activities among Treponema pallidum and other spirochetes.
Infect. Immun.1981; (33): 372-9.
ARNON, S.S. 2001. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA 285(8): 1059 – 1070.
Albert Balows, William J. Hausler, JR, Kenneth L.Herrmann, Henry D.Isenberg, H. Jean Shadomy
; Manual of Clinical Microbiology, Fifth Edition, American Society For Microbiology,
1991, pp. 390-391
Anggita Rahmi H, T. C. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica
(L.) LESS) terhadap Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat. Bandung: Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati.
Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen, A.M.2005. Mikrobiologi Kedokteran.Alih Bahasa : Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Jakarta : Salemba Medika.
Breed, R.S., Murray, E.G.D. ,Smith N.R. 1957. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.
Seventh Edition.U.S.A : The williams and Wil kins Company.
Brannan, D.K. 2007. Biology of Microbes. Di Dalam: Geis, P.A., editor. Cosmetics Microbiology:
A Practical Approach, Second Edition. Taylor&Francis Group. New York.
Critchley, W. dan K. Siegert. 1991. Water Harvesting. A manual for the design and construction
of water harvesting schemes for plant production. Food And Agriculture Organization Of
The United Station. Rome.
Davis CP, Baron S (editor). Medical Microbiology 4th Edition, Chapter 6: Normal Flora.
Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996
DEMBEK, Z.F., L.A. SMITH and J.M. RUSNAK. 2009. Botulinum Toxin. Medical Aspects of
Biological Warfare. Chap. 16. US Army Medical Department. Borden Institute. pp. 337
– 353.
DOLLY, J.O. 1997. Theurapeutic and research exploitation of botulinum neurotoxins. Eur. J.
Neurol. 4(suppl 2): S5 – S10.
DAHLENBORG, M. E. BORCH, and P. RADSTROM. 2003. Prevalence of Clostridium
botulinum type B, E and F in faecal samples from Sweddish cattle Int. J. Food Microbiol.
82: 105 – 110.
Denny,F.W. : Infections of the respiratory tract due to mycoplasma pnemnonia, in Kendig JR EL,
Chernick V, Disorder of respository tract in children 4th Ed.WB.Saunders Company,
PhiJadelphia pp.338-345, 1984
Freter R, Brickner J, Botney M. et al. Survival and implantation of Escherichia coli in the intestinal
tract .[Internet]. [cited 30 November 2018]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC348005/.
Guyman LT. Treponema pallidum. In: The Spirochetes, Zinsser Microbiology, 20th ed, editors
Joklik WK, Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, Appleton & Lange, California. 1992. Hlm.
657-66.
Harsono (Ed.), Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada University press, edisi 2, oktober 2003, hal
189,192,224.
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Ho KK. Review on serologic diagnosis of syphilis, in social hygiene service (venereology),
Department of Health, Hong Kong. 2002; (10): 10-8.
Hart, T dan Shears, P., 2004. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Hipokrates. Jakarta
Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2005. Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology).
Jakarta: Salemba Medika.
Joklik, Willet, Amos ; Zinsser Microbiology, Seventeenth Edition, Appleton Century-Crofts, 1980,
pp. 750-754.
Jawetz, Melnick & Adelberg's, Medical Microbiology, McGraw-Hill Companies Inc, Twenty
Second Edition, 2001, pp. 235-237.
Keyser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Keyser’s Medical Microbiology. Germany:
Thieme; 2005.
KRUGER, M., A.G. HERRENTHEY, W. SCHRODL, A. GERLACH and A. RODLOFF. 2012.
Visceral botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of
Clostridium botulinum in feces of cows, in animal feeds, in feces of the farmers and in
house dust. Anaerobe 30:1 – 3.
Lafond RE, Lukehart SA. biological basis for syphilis. Clin. Microbiol. Rev.2006;(19): 29
Larsen SA, Steiner BM, Rudolph AH. Laboratory diagnosis and interpretation of tests for
syphilis. Clinical Microbiology Reviews. 1995; (8): 1–21.

Lukehart SA. Syphilis. In: Spirochetal Diseases, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
editors Kasper DL, fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Jameson JL, 16th ed, McGraw
Hills, New York. 2005.p: 977-988.
Liu J, Howell JK, Bradley SD, Zheng Y, Zhou ZH, Norris SJ. Cellular architecture of treponema
pallidum: novel flagellum, periplasmic cone, and cell envelope as revealed by cryo
electron tomography. Journal of Molecular Biology. 2010; (403): 546-61.
Levinson, W. (2004). Medical Microbiology and Imunology, 8th edition. New York: Mc Graw-
Hill book company.
Michael J. Pelczar and E.C.S Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: UI-Press
Movita, T. (2013). Acne Vulgaris. Continuing Medical Education , 269-272.
Norris SJ. Polypeptides of treponema pallidum: progress toward understanding their structural,
functional, and immunologic rolest’ in Microbiological Reviews. 1993; (57):750-79.
Plorde JJ. Treponemain Spirochetes, Sherris Medical Microbiology An Introduction to Infectious
Diseases, 3th ed, editor Ryan KJ, Printice Hall International Inc. 1994. p; 385-90
Prince SA, Wilson LM. Sifilis dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 6th,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2006.hlm. 1338-40
Pommerville JC. Syphilis is a chronic infection disease. In: Alcamo’s Fundamentals Of
Microbiology, Body Systems Edition, Jones And Bartlett Publishers. 2010. hlm. 822-5.
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Bina
Rupa Aksara.
Singh AE, Romanowski B. Syphilis: review with emphasis on clinical, epidemiologic, and some
biologic features, in Clinical Microbiology Reviews. 1999; (12); 187–209.
SMITH, L.D.S. and H. SUGIYAMA. 1988. Botulism. The organism, its toxins, the disease.
Charles C. Thomas (ed). Springfield. III. USA. 171 p.
SUGISHIMA, M. 2003. Aum Shinrikyo and the Japanese law on bioterorism. 2003. Preshop.
Disast. Med. 18: 179 – 183.
Saising, J.; Hiranrat, A.; Mahabusarakan, W.; Ongsakul, M. & Voravuthikunchai, S.P. 2008.
Rhodomythone from Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. As a Natural Antibiotic for
Staphylococcus Cutaneous Infection. Journal of Health Science, 54(5) 589-595.
Sinaga, E. 2004. Infeksi Nosokomial dan Staphylococcus epidermidis. EGC. Jakarta
Staf pengajar FK UI, Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, 1993, hal. 174- 175.
Stutman,AR.: Stevens-Johnson. Syndrome and Mycoplasma Pneumonine. Evidence for cutaneous
infection. J.Pediatrics III, pp 845-847, 1987.
Strohl W.A., R. H. (2001). Lippincott’s Illustrated Reviews: Microbiology. Pennsylvania :
Lippincott Williams & Wilkins,.
Serena Falcocchio, e. a. (2006). Propionibacterium acnes GehA lipase, an enzyme involved in acne
development, can be successfully inhibited by defined natural substances. Journal of
Molecular Catalysis B: Enzymatic 40 , 132–137.
THAKKER, M.M. and P.A. RUBIN. 2004. Pharmacology and clinical applicationof botulinum
toxins A and B. Int. Ophtalmol. Clin. 44: 147 – 163.
Tirta, A. S. (2010). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Kelopak Rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn) terhadap Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus, Dan
Escherichia coli Serta Uji Bioautografi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Wirjodiarjo M.; Sigarlaki JM., Boediman L, Rahajoe,N.N.; Mycoplasma sebagai penyebab infeksi
saluran nafas akut (ISNA) pada anak . MKI 38, hal 518-522, 1988
Winn W, Allen S, Janda W, Koneman E, Procop G, Schreckenberger P, Woods G. Spirochetal
infections, in Koneman’s Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, 7th ed,
Lippincott Williams & Wilkins. 2006. hlm. 1125-34.
Warren Levinson & Ernest Jawetz, Medical Microbiology & Immunology, McGraw-Hill
Companies, Seventh Edition, pp. 125 - 126.
Yeva Rosana. Bakteri dan jamur penyebab infeksi kulit dan jaringan penunjang serta flora normal
[Lecture Slides]. Microbiology Department Medical Faculty, Univeristy of Indonesia ;
2014.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai