Anda di halaman 1dari 110

Flora Normal dan Patogen

Disusun Oleh :

I Kadek Aditya Putra


171200165
I Gede Argham Mahardika
171200166
I Komang Agus Mahardika
171200167
I Made Pradnyana Putra
171200168
I Nyoman Adi Parawita
171200169

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

DENPASAR

2018
BAB I

FLORA NORMAL TUBUH MANUSIA (MIKROBIOTA)

A. Pengertian Flora Norma Tubuh Manusia (Mikrobiota)

Manusia secara konstan berhubungan dengan beribu-ribu mikroorganisme. Mikrobe tidak hanya
terdapat dilingkungan, tetapi juga menghuni tubuh manusia. Mikrobe yang secara alamiah
menhuni tubuh manusia disebut flora normal, atau mikrobiota. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S
Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 545)

Mikrobiota normal tubuh manusia yang sehat perlu diketahui karena alasan-alasan berikut:

Diketahuinya hal ini dapat membantu menduga macam infeksi yang mungkin timbul setelah
terjadinya kerusakan jaringan pada situs-situs yang khusus.

Hal ini memberikan petunjuk mengenai kemungkinan sumber dan pentingnya mikroorganisme
yang teramati pada beberapa infeksi klinis. Sebagai contoh, Escherichia coli tidak berbahaya di
dalam usus tetapi bila memasuki kandung kemih dapat menyebabkan sistitis, suatu peradangan
pada selaput lendir organ ini.

Hal ini dapat membuat kita menaruh perhatian lebih besar terhadap infeksi yang disebabkan
oleh mikroorganisme yang merupakan mikrobiota normal atau asli pada inang manusia.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 545)

Asal Mula Mikrobiota Manusia

Bila seekor hewan dilahirkan dengan pembedahan perut (caesarian operations), dan dijaga
supaya tidak terjadi kontaminasi oleh mikrobe, kemudian dipelihara di suatu lingkungan
bebas kuman serta diberi makan hanya makanan yang sudah disterilkan, maka hewan
tersebut tidak membentuk mikrobiota (Gambar 1). Ini merupakan bukti bahwa sampai waktu
dilahirkan, janin tidak mengandung mikroorganisme. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S.
Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 546)
Gambar 1. Diagram skematik suatu unit isolator bebas kuman. Bagian dalamnya dapat disterilkan
sebelum pelaksanaan percobaan dan dipertahankan pada keadaan tersebut.

Pada keadaan alamiah, janin manusia mula-mula memperoleh mikroorganisme ketika lewat sepanjang
saluran lahir. Jasad-jasad renik itu diperolehnya melalui kontak permukaan, penelanan atau penghisapan.
Mikrobe-mikrobe ini segera disertai oleh mikrobe-mikrobe lain dari banyak sumber yang langsung berada
di sekeliling bayi yang baru lahir tersebut. Mikroorganisme yang menemukan lingkungan yang sesuai, pada
permukaan luar atau dalam tubuh, dengan cepat berbiak dan menetap. Jadi di dalam waktu beberapa jam
setelah lahir, bayi memperoleh flora mikrobe yang akan menjadi mikrobiota yang asli. Setiap bagian tubuh
manusia, dengan kondisi lingkungan yang khusus, dihuni berbagai macam mikroorganisme tertentu.
Sebagai contoh, di rongga mulut berkembang populasi mikrobe alamiah yang berbeda dengan yang ada di
usus. Dalam waktu singkat, bergantung kepada faktor-faktor seperti berapa seringnya dibersihkan,
nutrisinya, penerapan prinsip-prinsip kesehatan, serta kondisi hidup, maka anak tersebut akan mempunyai
mikrobiota normal yang macamnya sama seperti yang ada pada orang dewasa. (Michael J. Pelczar, Jr. dan
E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 547)

Walaupun seorang individu mempunyai mikrobiota yang “normal”, terjadi bahwa selama hidupnya
terdapat fluktuasi pada mikrobiota ini disebabkan oleh
keadaan kesehatan umum, nutrisi, kegiatan hormon, usia, dan banyak faktor lain. (Michael

J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 547)

Penggolongan Flora Normal Tubuh Manusia

Flora normal tubuh manusia berdasarkan bentuk dan sifat kehadirannya dapat digolongkan
menjadi 2 jenis, yaitu :

Mikroorganisme tetap/normal (resident flora/indigenous)

yaitu mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya ditemukan pada bagian tubuh tertentu dan
pada usia tertentu. Keberadaan mikroorganismenya akan selalu tetap, baik jenis ataupun
jumlahnya, jika ada perubahan akan kembali seperti semula. Flora normal/tetap yang terdapat
pada tubuh merupakan organisme komensal. Flora normal yang lainnya bersifat mutualisme.
Flora normal ini akan mendapatkan makanan dari sekresi dan produk-produk buangan tubuh
manusia, dan tubuh memperoleh vitamin atau zat hasil sintesis dari flora normal.
Mikroorganisme ini umumnya dapat lebih bertahan pada kondisi buruk dari lingkungannya.
Contohnya : Streptococcus viridans, S. faecalis, Pityrosporum ovale, Candida albicans.

Mikroorganisme sementara (transient flora)

yaitu mikroorganisme nonpatogen atau potensial patogen yang berada di kulit dan selaput
lendir/mukosa selama kurun waktu beberapa jam, hari, atau minggu. Keberadaan
mikroorganisme ini ada secara tiba-tiba (tidak tetap) dapat disebabkan oleh pengaruh
lingkungan, tidak menimbulkan penyakit dan tidak menetap. Flora sementara biasanya
sedikit asalkan flora tetap masih utuh, jika flora tetap berubah, maka flora normal akan
melakukan kolonisasi, berbiak dan menimbulkan penyakit.

Peran Flora Normal Tubuh Manusia

Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh bersifat komensal.
Pertumbuhan pada bagian tubuh tertentu bergantung pada faktor-faktor biologis seperti suhu,
kelembapan dan tidak adanya nutrisi tertentu serta zat-zat penghambat. Keberadaan flora tersebut
tidak mutlak dibutuhkan untuk kehidupan karena hewan yang dibebaskan (steril) dari flora
tersebut, tetap bisa hidup. Flora yang hidup di bagian tubuh tertentu pada manusia mempunyai
peran penting dalam mempertahankan kesehatan dan hidup secara normal. Beberapa anggota
flora tetap di saluran pencernaan mensintesis vitamin K dan penyerapan berbagai zat makanan.
Flora yang menetap diselaput lendir
(mukosa) dan kulit dapat mencegah kolonialisasi oleh bakteri patogen dan mencegah penyakit akibat
gangguan bakteri. Mekanisme gangguan ini tidak jelas. Mungkin melalui kompetisi pada reseptor atau
tempat pengikatan pada sel penjamu, kompetisi untuk zat makanan, penghambatan oleh produk
metabolik atau racun, penghambatan oleh zat antibiotik atau bakteriosin (bacteriocins). Supresi flora
normal akan menimbulkan tempat kosong yang cenderung akan ditempati oleh mikroorganisme dari
lingkungan atau tempat lain pada tubuh. Beberapa bakteri bersifat oportunis dan bisa menjadi patogen.
(Jawetz,

Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi005:277- Kedo

279)

Sebaliknya, flora normal juga dapat menimbulkan penyakit pada kondisi tertentu. Berbagai organisme
ini tidak bisa tembus (non-invasive) karena hambatan-hambatan yang diperankan oleh lingkungan. Jika
hambatan dari lingkungan dihilangkan dan masuk le dalam aliran darah atau jaringan, organisme ini
mungkin menjadi patogen. (Jawetz,

Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi. Kedo

Streptococcus viridians, bakteri yang tersering ditemukan di saluran nafas atas, bila masuk ke aliran
darah setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi dapat sampai ke katup jantung yang abnormal dan
mengakibatkan subacute bacterial endocarditis. Bacteroides yang normal terdapat di kolon dapat
menyebabkan peritonitis mengikuti suatu trauma. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi
Kedokteran, 1994: 30)

Spesies Bacteroides merupakan flora tetap yang paling sering dijumpai di usus besar dan tidak
membahayakan pada tempat tersebut. Tetapi jika masuk ke rongga peritoneum atau jaringan panggul
bersama dengan bakteri lain akibat trauma, mereka menyebabkan supurasi dan bakterimia. Terdapat banyak
contoh tetapi yang penting adalah flora normal tidak berbahaya dan dapat bermanfaat bagi tubuh inang pada
tempat yang seharusnya atau tidak ada kelainan yang menyertainya. Mereka dapat menimbulkan penyakit
jika berada pada lokasi yang asing dalam jumlah banyak dan jika terdapat faktor-

faktor predisposisi. (Jawetz, Melnick, dan

Microbiology), 2005: 279)


E. Penyebaran dan Terjadinya Mikrobiota Manusia.

Flora normal biasanya ditemukan di bagian-bagian tubuh manusia yang kontak langsung dengan
lingkungan misalnya kulit, hidung, mulut, usus, saluran urogenital, mata, dan telinga. Organ-organ dan
jaringan biasanya steril.

1. Kulit

Kulit secara konstan berhubungan dengan bakteri dari udara atau dari benda-benda, tetapi kebanyakan
bakteri ini tidak tumbuh pada kulit karena kulit tidak sesuai untuk pertumbuhannya. (Michael J. Pelczar, Jr.
dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mikrobiologi, 2008: 548)

Kulit manusia terlihat lebih mudah pecah atau rusak bila dibandingkan dengan kulit hewan, seperti badak,
gajah, dan kura-kura. Namun kulit manusia memiliki sifat sebagai pertahanan (barier) yang sangat efektif
terhadap infeksi. Dalam kenyataanya,

tidak ada bakteri yang dapat menembus ku

(universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Kulit bersifat sedikit asam dengan pH 5 % dan memiliki temperatur kurang dari 37°C. Lapisan sel-sel yang
mati akan membuat permukaan kulit secara konstan berganti sehingga bakteri yang berada dibawah
permukaan kulit tersebut akan juga dengan konstan terbuang dengan sel mati. Lubang-lubang alami yang
terdapat di kulit, seperti pori-pori, folikel rambut, atau kelenjar keringat memberikan suatu lingkungan yang
mendukung pertumbuhan bakteri. Namun lubang-lubang tersebut secara alami dilindungi oleh lisozim
(enzim yang dapat merusak peptidoglikan bakteri yang merupakan unsur utama pembentuk dinding sel
bakteri gram positif) dan lipida toksik. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Pelindung lain terhadap kolonialisasi kulit oleh bakteri patogen adalah mikroflora normal kulit. Mikroflora
tersebut merupakan suatu kumpulan dari bakteri nonpatogen yang normal berkolonisasi pada setiap area
kulit yang mampu mendukung pertumbuhan bakteri. Bakteri patogen yang akan menginfeksi kulit harus
mampu bersaing dengan mikroflora normal yang ada untuk mendapatkan tempat kolonisasi serta nutrien
untuk tumbuh dan berkembang. Mikroflora normal kulit terutama terdiri dari bakteri gram positif. Tetapi
bakteri gram negatif seperti Escherichia coli yang
habitatnya ada di dalam usus manusia, juga bisa terdapat pada kulit manusia karena
adanya kontaminasi kotoran manusia. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Walaupun ada pertahanan tersebut di atas, beberapa bakteri patogen dapat


berkolonisasi sementara pada kulit dan dapat mengambil manfaat dari luka yang ada
pada permukaan kulit untuk memperoleh jalan masuk ke jaringan yang ada di bawah
kulit. Di bawah kulit, mereka akan menghadapi sejumlah sel yang telah terspesifikasi
yang disebut dengan skin-associated lymphoid tissue (SALT). Fungsi SALT adalah
mencegah bakteri patogen tidak sampai ke area yang lebih jauh di bawah kulit dan
mencegah mereka tidak sampai ke aliran darah. Relatif sedikit yang diketahui tentang
sel-sel yang menyusun SALT. Salah satu tipe selnya adalah sel yang memaparkan
antigen yang terspesialisasi yang membantu tipe sel yang lain, specialized skin-
seeking lymphocyte, untuk memproduksi antibodi. Sel-sel limfosit tersebut juga
memproduksi sitokin, protein yang merangsang sel-sel dari sistem imun dan memiliki
sejumlah efek lain. Komponen SALT yang lain adalah keratinosit yang banyak
terdapat pada lapisan epidemis dan bertanggung jawab untuk memelihara lingkungan
mikrokulit yang bersifat asam. Keratinosit memproduksi sitokin dan juga mampu
untuk ingesti dan membunuh bakteri.. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Pentingnya pertahanan kulit ini diilustrasikan paling baik dengan pengaruh luka bakar
yang parah, yang akan mengeliminasi semua bentuk pertahanan kulit termasuk SALT.
Seseorang yang mengalami luka bakar tingkat dua dan tiga yang ekstensif dan orang
yang bertahan hidup dari trauma inisial yang berhubungan dengan luka bakar masih
belum terbebas dari bahaya. Banyak korban luka bakar mati karena infeksi bakterial yang
terjadi sebelum kulit terbakar mengalami penyembuhan. Hilangnya pertahanan kulit dan
tereksposnya lapisan jaringan di bawah kulit yang basah dan kaya nutrien merupakan hal
yang ideal untuk kolonisasi bakteri pada area yang terbakar. Penyebab yang paling umum
pada infeksi kulit yang terbakar adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus, dua spesies bakteri yang terdapat di mana-mana pada lingkungan rumah sakit.
Kedua spesies juga dikenal resisten terhadap antibiotik. Antibiotik paling efektif bila aksi
antibakterial mereka didukung dengan aktivitas pembunuhan oleh sistem imun. Efek
kombinasi dari kerusakan SALT dan resistensi alami bakteri telah membuat infeksi luka
bakar sulit untuk ditangani dengan efektif.
Infeksi tersebut merupakan suatu penyebab utama kematian di antara penderita luka
bakar. Bahkan, bila tidak bersifat fatal, infeksi bakterial pada jaringan yang terbakar
meningkatkan jumlah kerusakan jaringan dan mencegah penyembuhan area kulit
yang terbakar. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Pada umumnya beberapa bakteri yang ada pada kulit tidak mampu bertahan hidup
lama karena kulit mengeluarkan substansi bakterisida. Sebagai contoh, kelenjar
keringat mengekskresikan lisozim, suatu enzim yang dapat menghancurkan dinding
sel bakteri. Kelenjar lemak mengekskresikan lipid yang kompleks, yang mungkin
diuraikan sebagian oleh beberapa bakteri; asam-asam lemak yang dihasilkannya
sangat beracun bagi bakteri-bakteri lain. (universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

Kebanyakan bakteri kulit di jumpai pada epitelium yang seakan-akan bersisik (lapisan
luar epidermis), membentuk koloni pada permukaan sel-sel mati. Kebanyakan bakteri
ini adalah spesies Staphylococcus (kebanyakan S. epidermidis dan S. aureus) dan
sianobakteri aerobik, atau difteroid. Jauh di dalam kelenjar lemak dijumpai bakteri-
bakteri anaerobik lipofilik, seperti Propionibacterium acnes, penyebab jerawat.
Jumlahnya tidak dipengaruhi oleh pencucian. Timbulnya organisme ini diperlihatkan
pada Tabel 1 ; Gambar 6 Melukiskan morfologi dan sifat-sifat mikroorganisme yang
predominan di dalam mikrobiota. Letak bakteri-bakteri ini pada atau di dalam kulit
diperlihatkan pada Gambar 2. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mirobiologi, 2008: 549)

Gambar 2. Letak-letak bakteri dalam kulit.


Faktor-faktor yang berperan menghilangkan flora sementara pada kulit adalah pH rendah, asam lemak pada
sekresi sebasea dan adanya lisozim. Berkeringat yang berlebihan atau pencucian dan mandi tidak
menghilangkan atau mengubah secara signifikan flora tetap. Jumlah mikroorganisme permukaan mungkin
berkurang dengan menggosok secara kuat setiap hari dengan sabun yang mengandung heksakloforen atau
desinfektan lain, namun flora secara cepat muncul kembali dari kelenjar sebasea dan keringat, meskipun
tidak ada hubungan secara total terhadap kulit bagian lain maupun lingkungan. Penggunaan tutup rapat pada
kulit cenderung menyebabkan populasi mikrobiota secara keseluruhan sangat meningkat dan dapat
menimbulkan perubahan kualitatif flora kulit. (Jawetz,
Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi Kedo

Bakteri anaerob dan aerob sering bersama-sama menyebabkan infeksi sinergistik (gangrene, fasciitis
nekrotik = necrotizing fasciitis), selulitis dari kulit dan jaringan lunak. Bakteri-bakteri tersebut
merupakan bagian dari flora normal. Sering sulit menentukan suatu organisme yang spesifik
bertanggungjawab terhadap lesi progresif, karena terdapat

banyak organisme yang berperan. (Jawetz,

Kedokteran (Medical Microbiology), 2005: 279-280) 1.1.Mekanisme dari flora normal dalam
menginfeksi kulit.

Flora normal kulit seharusnya berada di lapisan kulit terluar. Jika seandainya masuk karena lemahnya
sistem imunitas, tindakan nosocomial dan penggunaan antibiotik yang dapat membuat flora normal
menjadi infeksi opportunistik maka akan menimbulkan penyakit. Flora normal dapat masuk ke kulit dan
menyebabkan penyakit melalui tiga jalan yaitu:

Mampu menembus barrier pertahanan karena ketidakseimbangan

Jika keseimbangan jumlah antara flora normal dengan patogen terganggu dapat terjadi infeksi. Kulit dan
mukus membran merupakan tempat perlekatan dan hidupnya mikroorganisme yaitu flora normal. Jika terjadi
ketidakseimbangan maka akan menginfeksi. Misalnya pada vagina wanita. Flora normal yang menjaga pH
vagina pada 3,4-4,5. Adanya flora normal ini mencegah pertumbuhan berlebih dari jamur Candida albicans.
Jika jumlah flora normal berkurang atau tidak ada karena adanya eliminasi dari antibiotik, atau pembersihan
yang berlebihan pada vagina, maka pH vagina akan menjadi
netral. Kenetralan ini mendukung lingkungan yang kondusif bagi Candida

albicans untuk tumbuh.

Manifestasi dari infeksi sistemik

Mikroorganisme dapat menyebabkan penyakit jika ada kesempatan, misalnya jika


terdapat penurunan sistem imun, dan sebagainya. Flora normal juga dapat
menjadi oportunis, misalnya Candida albicans.

Serta diperantai oleh kerusakan kulit. 3

Epidermis merupakan lapisan terluar dari kulit yang menutupi lapisan dermis dan
jaringan subkutan. Bagian ini dikulit disebut mekanisme pertahanan pertama,
yang dapat menghalangi tumbuhnya organisme pada umumnya. Mikroorganisme
dapat melakukan penetrasi jika pada kulit terjadi luka, abrasi atau luka bakar.
Gambar 3: Mekanisme flora normal
2.
Hidung dan Nasofaring

Flora utama hidung terdiri dari korinebakteria, stafilokokus (S. epidermidis, S.

aureus) dan streptokokus. (Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrobiologi

(Medical Microbiology), 2005: 280)

Didalam hulu kerongkongan hidung, dapat juga dijumpai bakteri Branhamella

catarrhalis (suatu kokus gram negatif) dan Haemophilus influenzae (suatu batang
gram

negatif). (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008:
549)

Pemusnahan flora normal faring dengan penisilin dosis tinggi dapat


menyebabkan

over growth: bakteria negatif Gram seperti Escherichia coli, Klebsiella,


Proteus,

Pseudomonas atau jamur. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI,


Mikrobiologi

Kedokteran, 1994: 31)


3.
Mulut

Kelembapan yang paling tinggi, adanya makanan terlarut secara konstan dan juga
partikel-partikel kecil makanan membuat mulut merupakan lingkungan ideal bagi
pertumbuhan bakteri. Mikrobiota mulut atau rongga mulut sangat beragam;
banyak bergantung pada kesehatan pribadi masing-masing individu. (Michael J.
Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 549)

Diperolehnya mikrobiota mulut. Pada waktu lahir, rongga mulut pada hakikatnya
merupakan suatu inkubator yang steril, hangat, dan lembap yang mengandung
sebagai substansi nutrisi. Air liur terdiri dari air, asam amino, protein, lipid,
karbohidrat, dan senyawa-senyawa anorganik. Jadi, air liur merupakan medium
yang kaya serta kompleks yang dapat dipergunakan sebagai sumber nutrien bagi
mikrobe pada berbagai situs di dalam mulut. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S
Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 549-550)
Beberapa jam sesudah lahir, terdapat peningkatan jumlah mikroorganisme
sedemikian sehingga di dalam waktu beberapa hari spesies bakteri yang khas bagi
rongga mulut menjadi mantap. Jasad-jasad renik ini tergolong ke dalam genus
Streptococcus, Neisseria, Veillonella, Actinomyces, dan Lactobacillus. (Michael
J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 551)

Jumlah dan macam spesies ada hubungannya dengan nutrisi bayi serta hubungan
antara bayi tersebut dengan bayinya, pengasuhnya, dan benda-benda seperti
handuk
serta botol-botol susunya. Spesies satu-satunya yang selalu diperoleh dari rongga mulut, bahkan
sedini hari kedua setelah air, ialah Streptococcus salivarius. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S
Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Sampai munculnya gigi, kebanyakan mikroorganisme di dalam mulut adalah aerob atau anaerob
fakultatif. Ketika gigi pertama muncul, anaerob obligat seperti Bacteroides dan bakteri fusiform
(Fusiobacterium sp.), menjadi lebih jelas karena jaringan di sekitar gigi menyediakan lingkungan
anaerobik. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Gigi itu sendiri merupakan tempat bagi menempelnya mikrobe. Ada dua spesies bakteri yang
dijumpai berasosiasi dengan permukaan gigi: Streptococcus sanguis dan S. mutans. Yang
disebutkan terakhir ini diduga merupakan unsur etiologis (penyebab) utama kerusakan gigi, atau
pembusuk gigi. Tertahannya kedua spesies ini pada permukaan gigi merupakan akibat sifat
adhesif baik dari glikoprotein liur maupun polisakaride bakteri. Sifat menempel ini sangat
penting bagi kolonialisasi bakteri di dalam mulut. Glikoprotein liur mampu menyatukan bakteri-
bakteri tertentu dan mengikat mereka pada permukaan gigi. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S
Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Gambar 4. Bakteri yang melekat pada permukaan gigi sebagaimana nampak pada mikrograf
electron payar. Terlihat kokus menyelubungi beberapa bakteri filamentus,

sehingga memberikan penampilan “tongkol

Baik S. sanguins maupun S. mutans menghasilkan polisakaride ekstraselular yang disebut


dekstrans yang bekerja seperti perekat, mengikat sel-sel bakteri menjadi satu dan juga
melekatkan mereka pada permukaan gigi. Tertahannya bakteri dapat juga
terjadi karena terperangkapnya secara mekanis di dalam celah-celah gusi, atau di dalam lubang dan retakan
gigi. Agregasi bakteri semacam itu serta bahan organik pada

permukaan gigi disebut plak (“plague”).

Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Plak adalah sebuah film/lapisan sel bakteri, yang berlabuh di sebuah matriks

polisakarida disekresi oleh mikroorganisme. Apabila gigi tidak dibersihkan secara

teratur, plak dapat terbentuk dengan cepat dan aktivitas bakteri tertentu, terutama

Streptococcus mutans, dapat menyebabkan kerusakan gigi (rongga). Prevalensi karies

berhubungan dengan diet. (pemburumikroba.blogspot.com/2010/09/flora-normal)

Karies merupakan suatu kerusakan gigi yang dimulai dari permukaan dan

berkembang ke arah dalam. Terjadinya karies juga tergantung pada faktor-faktor

genetik, hormonal, gizi, dan faktor lainnya. Pengendali karies gigi meliputi

pembuangan plak, pembatasan makanan yang mengandung sukrosa, gizi yang baik

mengandung cukup protein dan pengurangan pembentukan asam dalam mulut dengan

cara membatasi keberadaan karbohidrat dan pembersihan mulut yang sering.

Pemakaian flourida pada gigi atau peningkatan jumlah fluor pada air mengakibatkan

peningkatan resistensi email terhadap asam. Pengendalian penyakit periodontal

memerlukan pembuangan karang gigi dan kebersihan mulut. (Jawetz, Melnick, dan

Adelberg’s,robiologiKedokteranMik (Medical Microbiology), 2005: 280).

4. Orofaring (“oropharinx”)

Orofaring (bagian belakang mulut juga dihuni sejumlah besar bakteri

Staphylococcus aureus dan S. epidermidis dan juga difteroid. Tetapi kelompok bakteri

terpenting yang merupakan penghuni asli orofaring-hemolitik, ia

yang juga dinamakan Streptokokus viridans. Biakan yang ditumbuhkan dari orofaring
juga akan memperlihatkan adanya Branchamella catarrhalis, spesies Haemophilus,

serta gular-galur pneumokokus avirulen (Streptococcus pneumonia).(Michael J.

Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 554-555)

Bagian terdalam saluran pernapasan (ranting tenggorok atau bronkiole yang lebih

halus serta alveoli atau gelembung paru-paru) tidak mengandung mikroorganisme. Hal

ini disebabkan karena saluran pernapasan berlapiskan silia, yaitu embel-embel seperti

rambut, yang menyapu mikroorganisme dan bahan-bahan lain dari bagian sebelah
dalam saluran ke bagian sebelah atas untuk dibuang. Rambut bersama dengan lendir di
dalam lubang hidung itulah yang pertama-tama membantu melindungi saluran
pernapasan dengan cara menyaring bakteri dari udara yang dihirup. (Michael J. Pelczar,
Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 555)

5. Perut

Isi perut yang sehat pada praktisnya steril karena adanya asam hidroklorat di dalam
sekresi lambung. Setelah ditelannya makanan, jumlah bakteri bertambah tetapi segera
menurun kembali dengan disekresikannya getah lambung dan pH zat alir perut pun
menurun. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 555)

6. Usus Kecil

Usus kecil bagian atas (atau usus dua belas jari) mengandung beberapa bakteri. Di antara
yang ada, sebagian besar adalah kokus dan basilus gram positif. Di dalam jejunum atau
usus halus kosong (bagian kedua usus kecil, di antara usus dua belas jari dan ileum atau
usus halus gelung) kadang kala dijumpai spesies-spesies enterokokus, laktobasilus, dan
difteroid. Khamir Candida albicans dapat juga dijumpai pada bagian usus kecil ini.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 555)

Pada bagian usus kecil yang jatuh (ileum), mikrobiota mulai menyerupai yang dijumpai
pada usus besar. Bakteri anaerobik dan enterobakteri mulai nampak dalam jumlah besar.
(Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 555)

7. Usus Besar

Di dalam tubuh manusia, kolon atau usus besar, mengandung populasi mikrobe yang
terbanyak. Telah diperkirakan bahwa jumlah mikroorganisme di dalam spesimen tinja
adalah kurang lebih 1012 organisme per gram. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan,
Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 556)

Basilus gram negatif anaerobik yang ada meliputi spesies Bacteroides (B. fragilis, B.
melaninogenicus, B. oralis) dan Fusobacterium. Basilus gram positif diwakili oleh spesies-
spesies Clostridium (termasuk Cl. Perfringens yang mempunyai kaitan dengan kelemayuh,
suatu infeksi jaringan disertai gelembung gas dan keluar nanah) serta
spesies-spesies Lactobacillus. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar
Mirobiologi, 2008: 557)

Sangatlah menarik perhatian bahwa mikrobiota usus seorang bayi yang disusui oleh
ibunya hampir seluruhnya terdiri dari laktobasilus. Dengan diberikan susu botol, jumlah
laktobasilus menurun dan akhirnya, dengan diberikannya makanan padat serta nutrisi tipe
dewasa, maka mikrobiota gram negatif menjadi predominan. (Michael J. Pelczar, Jr. dan
E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 557)

Spesies-spesies anaerobik fakultatif yang dijumpai di dalam usus tergolong dalam genus
Escherichia, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Peptostreptokokus (streptokokus
anaerobik) juga umum. Khamir Candida albicans juga dijumpai. (Michael J. Pelczar, Jr.
dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi, 2008: 552)

Flora saluran pencernaan berperan dalam sintesis vitamin K, konversi pigmen empedu
dan asam empedu, absorpsi zat makanan serta antagonis mikroba patogen.

8. Saluran Kemih

Pada orang sehat, ginjal, ureter (saluran dari ginjal ke kandung kemih), dan kandung
kemih bebas dari mikroorganisme, namun bakteri pada umunya dijumpai pada uretra
(saluran dari kandung kemih ke luar) bagian bawah baik pada pria maupun wanita. Tetapi
jumlahnya berkurang di dekat kandung kemih, agaknya disebabkan efek antibakterial
yang dilancarkan oleh selaput lendir uretra dan seringnya epitelium terbilas oleh air seni.
Ciri populasi ini berubah menurut variasi daur haid. Penghuni utama vagina dewasa
adalah laktobasilus yang toleran terhadap asam. Bakteri ini mengubah glikogen yang
dihasilkan epitelium vagina, dan di dalam proses tesebut menghasilkan asam.
Penumpukan glikogen pada dinding vagina disebakan oleh kegiatan indung telur; hal ini
tidak dijumpai sebelum masa akil balig ataupun setelah menopause (mati haid). Sebagai
akibat perombakan glikogen, maka pH di dalam vagina terpelihara pada sekitar 4.4
sampai 4,6. Mikrooganisme yang mampu berkembang baik pada pH rendah ini dijumpai
di dalam vagina dan mencakup enterokokus, Candida albicans, dan sejumlah besar
bakteri anaerobik. (Michael J. Pelczar, Jr. dan E.C.S Chan, Dasar-Dasar Mirobiologi,
2008: 557-558)

Sistem urinari dan genital secara anatomis terletak berdekatan, suatu penyakit yang
menginfeksi satu sistem akan mempengaruhi sistem yang lain khususnya pada laki-
laki. Saluran urin bagian atas dan kantong urine steril dalam keadaan normal. Saluran uretra
mengandung mikroorganisme seperti Streptococcus, Bacteriodes, Mycobacterium, Neisseria dan
enterik. Sebagian besar mikroorganisme yang ditemukan pada urin merupakan kontaminasi dari flora
normal yang terdapat pada kulit. Keberadaan bakteri dalam urine belum dapat disimpulkan sebagai
penyakit saluran urine kecuali jumlah mikroorganisme di dalam urine melebihi 105 sel/ml.
(universitasmuhammadiyahyogyakarta.ac.id)

9. Mata (Konjungtiva) dan Telinga

Mikroorganisme konjungtiva terutama adalah difteroid (Coynebacterium xerosis), S. epidermidis dan


streptokukus non hemolitik. Neiseria dan basil gram negatif yang menyerupai spesies Haemophilus
(Moraxella) seringkali juga ada. Flora konjungtiva dalam keadaan normal dikendalikan oleh aliran air
mata, yang mengandung lisozim.

(Jawetz, Melnick, dan Adelberg’s, Mikrob

2005: 283)

Flora liang telinga luar biasanya merupakan gambaran flora kulit. Dapat dijumpai Streptococcus
pneumonia, batang gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan
kadang-kadang Mycobacteria saprofit. Telinga bagian tengah dan dalam biasanya steril. (Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 31)

10. Bakteri di Darah dan jaringan

Pada keadaan normal darah dan jaringan adalah steril. Kadang-kadang karena manipulasi sederhana
seperti mengunyah, menyikat gigi, ekstraksi gigi, flora komensal dari mulut dapat masuk ke jaringan
atau darah. Dalam keadaan normal mikroorganisme tersebut segera dimusnahkan oleh sistem
kekebalan tubuh. Hal seperti itu dapat terjadi pula dengan flora faring, saluran cerna dan saluran kemih.
Pada keadaan abnormal seperti adanya katup jantung abnormal, atau protesa lain, bakteremia di atas
dapat mengarah pada pembentukan koloni dan infeksi. (Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI,
Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 32)
BAB II

PATOGEN

A. Definisi Patogenesis

Patogen adalah materi atau organisme yang dapat menyebabkan penyakit pada inang
misalnya bakteri. Bakteri dapat merusak sistem pertahanan inang dimulai dari permukaan
kulit, saluran pencernaan, saluran respirasi, saluran urogenitalia. Sedangkan Patogenesis
sendiri adalah mekanisme infeksi dan mekanisme perkembangan penyakit. Infeksi
merupakan invasi inang oleh mikroba yang memperbanyak dan berasosiasi dengan jaringan
inang. Infeksi berbeda dengan penyakit.

Kapasitas bakteri menyebabkan penyakit tergantung pada patogenitasnya. Dengan kriteria ini,
bakteri dikelompokan menjadi 3, yaitu agen penyebab penyakit, patogen oportunistik,
nonpatogen. Agen penyebab penyakit adalah bakteri patogen yang menyebabkan suatu penyakit
(Salmonella spp.). Patogen oportunistik adalah bakteri yang berkemampuan sebagai patogen
ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (contoh E. coli menginfeksi saluran urin ketika
sistem pertahanan inang dikompromikan (diperlemah). Nonpatogen adalah bakteri yang tidak
pernah menjadi patogen. Namun bakteri nonpatogen dapat menjadi patogen karena kemampuan
adaptasi terhadap efek mematikan terapi modern seperti kemoterapi, imunoterapi, dan
mekanisme resistensi. Bakteri tanah Serratia marcescens yang semula nonpatogen, berubah
menjadi patogen yang menyebabkan pneumonia, infeksi saluran urin, dan bakteremia pada inang
terkompromi.

Virulensi adalah ukuran patogenitas organisme. Tingkat virulensi berbanding lurus dengan
kemampuan organisme menyebabkan penyakit. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh jumlah
bakteri, jalur masuk ke tubuh inang, mekanisme pertahanan inang, dan faktor virulensi
bakteri. Secara eksperimental virulensi diukur dengan menentukan jumlah bakteri yang
menyebabkan kematian, sakit, atau lesi dalam waktu yang ditentukan setelah introduksi.

Mikroba patogen diketahui memasuki inang melalui organ-organ tubuh antara lain:

Saluran pernapasan, melalui hidung dan mulut yang dapat menyebabkan penyakit saluran
pernapasan seperti salesma, pneumonia, tuberculosis.
Saluran pencernaan melalui mulut yang dapat menyebabkan penyakit tifus, para tifus,
disesntri, dll.

Kulit dan selaput lendir. Adanya luka mesekipun kecil dapat memungkinkan mikroba seperti
staphylicoccus yang menyebabkan bisul.

Saluran urogenital darah

Mekanisme Patogenisitas

Mikroorganisme yang secara tetap terdapat pada permukaan tubuh bersifat komensal.
Pertumbuhan pada bagian tubuh tertentu bergantung pada faktor -faktor biologis seperti suhu,
kelembapan dan tidak adanya nutrisi tertentu serta zat -zat penghambat. Keberadaan flora
tersebut tidak mutlak dibutuhkan untuk kehidupan karena hewan yang dibebaskan (steril)
dari flora tersebut, tetap bisa hidup. Flora yang hidup di bagian tubuh tertentu pada manusi a
mempunyai peran penting dalam mempertahankan kesehatan dan hidup secara normal.
Beberapa anggota flora tetap di saluran pencernaan mensintesis vitamin K dan penyerapan
berbagai zat makanan.

Flora yang menetap diselaput lendir (mukosa) dan kulit dapat mencegah kolonialisasi oleh
bakteri patogen dan mencegah penyakit akibat gangguan bakteri. Mekanisme gangguan ini
tidak jelas. Mungkin melalui kompetisi pada reseptor atau tempat pengikatan pada sel
penjamu, kompetisi untuk zat makanan, penghambatan oleh produk metabolik atau racun,
penghambatan oleh zat antibiotik atau bakteriosin (bacteriocins). Supresi flora normal akan
menimbulkan tempat kosong yang cenderung akan ditempati oleh mikroorganisme dari
lingkungan atau tempat lain pada tubuh. Beberapa bakteri bersifat oportunis dan bisa menjadi
patogen. (Jawetz, Melnick, dan Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran(Medical Microbiology),
2005: 277-279)

Sebaliknya, flora normal juga dapat menimbulkan penyakit pada kondisi tertentu. Berbagai
organisme ini tidak bisa tembus (non-invasive) karena hambatan-hambatan yang diperankan
oleh lingkungan. Jika hambatan dari lingkungan dihilangkan dan masuk le dalam aliran darah
atau jaringan, organisme ini mungkin menjadi patogen (Jawetz, Melnick, dan
Adelbergs,Mikrobiologi Kedokteran(Medical Microbiology), 2005: 279).

Streptococcus viridians, bakteri yang tersering ditemukan di saluran nafas atas, bila masuk ke
aliran darah setelah ekstraksi gigi atau tonsilektomi dapat sampai ke katup jantung yang
abnormal dan mengakibatkan subacute bacterial endocarditis. Bacteroides
yang normal terdapat di kolon dapat menyebabkan peritonitis mengikuti suatu trauma (Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran UI, Mikrobiologi Kedokteran, 1994: 30)

Spesies Bacteroides merupakan flora tetap yang paling sering dijumpai di usus besar dan
tidak membahayakan pada tempat tersebut. Tetapi jika masuk ke rongga peritoneum atau
jaringan panggul bersama dengan bakteri lain akibat trauma, mereka menyebabkan supurasi
dan bakterimia. Terdapat banyak contoh tetapi yang penting adalah flora normal tidak
berbahaya dan dapat bermanfaat bagi tubuh inang pada tempat yang seharusnya atau tidak
ada kelainan yang menyertainya. Mereka dapat menimbulkan penyakit jika berada pada
lokasi yang asing dalam jumlah banyak dan jika terdapat faktor-faktor predisposisi. (Jawetz,
Melnick, dan Adelbergs, Mikrobiologi Kedokteran (Medical Microbiology),2005: 279)

Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Escherichia coli a. Ciri-ciri Escherichia coli:

Berbentuk batang

Bakteri gram negative

Tidak memiliki spora

Memiliki pili

Anaerobik fakultatif

Suhu optimum 370C

Flagella peritrikus

Dapat memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan gas

Patogenik, menyebabkan infeksi saluran kemih


Gambar 1. Esherichia coli
b. Habitat

Habitat utama Escherichia coli adalah dalam saluran pencernaan manusia tepatnya di
saluran gastrointestinal dan juga pada hewan berdarah hangat. Bakteri ini termasuk
umumnya hidup pada rentang 20-40 derajat C, optimum pada 37 derajat. Total bakteri ini
sekitar 0,1% dari total bakteri dalam saluran usus dewasa.

c. Virulensi dan Infeksi

Penyebab diare dan Gastroenteritis (suatu peradangan pada saluran usus). Infeksi melalui
konsumsi air atau makanan yang tidak bersih. Racunnya dapat menghancurkan sel-sel yang
melapisi saluran pencernaan dan dapat memasuki aliran darah dan berpindah ke ginjal dan
hati. Menyebabkan perdarahan pada usus, yang dapat mematikan anak-anak dan orang tua. E.
coli dapat menyebar ke makanan melalui konsumsi makanan dengan tangan kotor, khususnya
setelah menggunakan kamar mandi. Solusi untuk penyebaran bakteri ini adalah mencuci
tangan dengan sabun.
d. Mekanisme

Escherichia coli adalah bagian flora normal saluran usus, yang bertahun-tahun dicurigai
sebagai penyebab diare sedang sampai gawat yang kadang-kadang timbul pada manusia
dan hewan. Berbagai jalur E. coli mungkin menyebabkan diare dengan salah satu dari
dua mekanisme:

Escherichia colimemproduksi enterotoksin, disebut juga Escherichia colienteroksinogen,


memproduksi salah satu atau kedua toksin yang berbeda. Salah satu toksin yang tahan
panas (ST) dan toksin yang labil terhadap panas (LT). Toksin LT menyebabkan
peningkatan aktifitas enzim adenil siklase dalam sel mukosa usus halus dan merangsang
sekresi cairan, kekuatannya 100 kali lebih rendah dibandingkan toksin kolera dalam
menimbulkan diare. Toksin ST, tidak merangsang aktivitas enzim adenil siklase, namun
bekerja dengan cara mengaktivasi enzim guanilat siklase menghasilkan cyclic guanosin
monofosfat menyebabkan gangguan absorbsi klorida dan antrium, selain itu menurunkan
motilitas usus halus.

Escherichia coli menimbulkan diare dengan invasi langsung lapisan epitelium dinding
usus. Kelihatannya mungkin bahwa sekali invasi lapisan usus terjadi, hal ini karen
pengaruh racun lipopolisakarida dinding sel (endotoksin).
e. Patogenesis

Untuk Escherichia coli, penyakit yang sering ditimbulkan adalah diare. E. coli sendiri
diklasifikasikan berdasarkan sifat virulensinya dan setiap grup klasifikasinya memiliki
mekanisme penularan yang berbeda-beda.

Coli Enteropatogenik (EPEC)

E. coli ini menyerang manusia khususnya pada bayi. EPEC melekatkan diri pada sel mukosa
kecil. Faktor yang diperantarai oleh kromosom akan menimbulkan pelekatan yang kuat. Pada
usus halus, bakteri ini akan membentuk koloni dan menyerang pili sehingga penyerapannya
terganggu. Akibatnya adalah adanya diare cair yang biasanya sembuh diri tetapi dapat juga
menjadi kronik. EPEC sedikit fimbria, ST dan LT toksin, tetapi EPEC menggunakan adhesin
yang dikenal sebagai intimin untuk mengikat inang sel usus. SelEPEC invasive (jika
memasuki sel inang) dan menyebabkan radang.

Coli Enterotoksigenik (ETEC)

Faktor kolonisasi ETEC yang spesifik untuk menimbulkan pelekatan ETEC pada sel epitel
usus kecil. Lumen usus terengang oleh cairan dan mengakibatkan hipermortilitas serta diare,
dan berlangsung selama beberapa hari. Beberapa strain ETEC menghasilkan eksotosin tidak
tahan panas. Prokfilaksis antimikroba dapat efektif tetapi bisa menimbulkan peningkatan
resistensi antibiotic pada bakteri, mungkin sebaiknya tidak dianjurkan secara umum. Ketika
timbul diare, pemberian antibiotic dapat secara efektif mempersingkat lamanya penyakit.
Diare tanpa disertai demam ini terjadi pada manusia, babi, domba, kambing, kuda, anjing,
dan sapi. ETEC menggunakan fimbrial adhesi (penonjolan dari dinding sel bakteri) untuk
mengikat sel –sel enterocit di usus halus. ETEC dapat memproduksi 2 proteinous
enterotoksin: dua protein yang lebih besar, LT enterotoksin sama pada struktur dan fungsi
toksin kolera hanya lebih kecil, ST enterotoksin menyebabkan akumulasi cGMP pada sel
target dan elektrolit dan cairan sekresi berikutnya ke lumen usus. ETEC strains tidak invasive
dan tidak tinggal pada lumen usus.

Coli Enterohemoragik (EHEC)


Menghasilkan verotoksin, dinamai sesuai efek sitotoksinya pada sel Vero, suatu sel
hijau dari monyet hijau Afrika. Terdapat sedikitnya dua bentuk antigenic dari
toksin. EHEC berhubungan dengan holitis hemoragik, bentuk diare yang berat dan
dengan sindroma uremia hemolitik, suatu penyakit akibat gagal ginja akut, anemia
hemolitik mikroangiopatik, dan trombositopenia. Banyak kasus EHEC dapat
dicegah dengan memasak daging sampai matang. Diare ini ditemukan pada
manusia, sapi, dan kambing.
Coli Enteroinvansif (EIEC)

Menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigellosis. Memproduksi


toksin Shiga, sehingga disebut juga Shiga-toxin producing strain(STEC). Toksin
merusak sel endotel pembuluh darah, terjadi pendarahan yang kemudian masuk
ke dalam usus. EIEC menimbulkan penyakit melaluii invasinya ke sel epitel
mukosa usus.

Coli Enteroagregatif (EAEC)

Menyebabkan diare akut dan kronik pada masyarakat di Negara berkembang.


Bakeri ini ditandai dengan pola khas pelekatannya pada sel manusia. EAEC
menproduksi hemolisin dan ST enterotoksin yang sama dengan ETEC.

Gambar 2. Patogenesis Escherichia coli


Penularan

Penularan pada bakteri ini adalah dengan kontak dengan tinja yang terinfeksi secara
langsung, seperti :

makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari oleh serangga
atau kontaminasi oleh tangan yang kotor

Tidak mencuci tangan dengna bersih setelah selesai buang air besar atau membersihkan tinja
yang terinfeksi, sehingga kontaminasi perabotan dan alat-alat yang dipegang.

Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Salmonella sp.

Ciri-ciri:

Batang gram negative

Terdapat tunggal

Tidak berkapsul

Tidak membentuk spora

Peritrikus

Aerobik, anaerobik fakultatif

Patogenik, menyebabkan gastroenteritis

Patogenesis

Menghasilkan toksin LT.

Invasi ke sel mukosa usus halus.

Tanpa berproliferasi dan tidak menghancurkan sel epitel.

Bakteri ini langsung masuk ke lamina propria yang kemudian menyebabkan infiltrasi sel-sel
radang.
Gambar 6. Patogenesis dari salmonella

3. Mekanisme Salmonella masuk pada manusia

Corwin (2000) mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk ke dalam tubuh
manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat
ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi
kemudian menembus ke dalam lamina profia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar
limfe mesentrial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar
limfe ini, salmonella typhi masuk aliran darah melalui duktus toracicus. Kuman-kuman
salmonella typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi
bersarang di plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain dari sistem retikulo
endotelial.

Hasil studi terbaru yang ditemukan oleh tim peneliti National Institutes of Health,
Amerika Serikat, dapat menjelaskan bagaimana Salmonella menyebar secara efisien pada
manusia. Tim peneliti ini menemukan adanya reservoir dimana kuman ini melakukan
replikasi secara cepat di dalam sel-sel epitel, yang kemudian menginfeksi sel-sel lain.
Kuman didorong dari lapisan epitelial oleh suatu mekanisme yang membebaskan kuman
salmonella agar mampu menginfeksi sel lain atau berkembang biak dalam usus.

Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang menular dengan kecepatan luar biasa, dan bisa
memperburuk dalam waktu yang sangat cepat. Infeksi Salmonella, disebabkan oleh bakteri
Salmonellosis, bisa menyebabkan dehidrasi ekstrim dan juga kematian. Salmonellosis
disebarkan kepada orang-orang dengan memakan bakteri Salmonella yang mengkontaminasi
dan mencemari makanan. Salmonella ada diseluruh dunia dan dapat mencemari hampir
segala tipe makanan. Namun sumber dari penyakit baru-baru ini melibatkan makanan-
makanan seperti telur-telur mentah, daging mentah, sayur-sayur segar, sereal, dan air yang
tercemar. Pencemaran dan penyebaran infeksi dan bakteri Salmonella ini dapat datang dari
feces hewan atau manusia yang berhubungan dengan makanan selama pemrosesannya atau
panen. Dari hasil yang tersedia dari U.S. Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
atau FDA, sumber-sumber
langsung yang berpotensi dari Salmonella adalah hewan-hewan peliharaan seperti kura-
kura, anjing-anjing, kucing-kucing, kebanyakan hewan-hewan ternak, dan manusia-
manusia yang terinfeksi.

Menurut penelitian-penelitian di seluruh dunia, para ahli menyarankan sumber-sumber


makanan, air, atau sumber-sumber lain dari pencemaran mengandung jumlah-jumlah
yang besar dari bakteri-bakteri. Meskipun asam lambung manusia dapat mengurangi,
menguras sedikit dan membunuh infeksi Salmonella, masih ada beberapa bakteri-bakteri
dapat lolos ke dalam usus besar maupun usus kecil, dan kemudian melekat dan
menembus sel-sel dalam tubuh manusia.

Racun-racun yang dihasilkan oleh bakteri dapat merusak dan membunuh sel-sel yang
melapisi usus-usus, yang berakibat pada kehilangan cairan usus (diare). Beberapa
Salmonella dapat selamat dalam sel-sel dari sistem imun dan dapat mencapai aliran
darah, menyebabkan infeksi darah (bacteremia). Tidak hanya itu, ketika infeksi
Salmonella sudah memasuki dan mencapai aliran darah, akan mengakibatkan panas
dalam, muntaber dan sakit perut yang ekstrim. Biasanya, yang terinfeksi oleh infeksi
Salmonella adalah masa bayi-bayi, masa kanak-kanak, masa tua dan orang yang
mempunyai system imun yang sangatlah lemah.

4. Cara Penularan

Tidak semua bakteri atau infeksi saling menular. Bakteri saling menular dengan 3 cara yaitu
secara bersentuhan, secara berterbangan di udara, dan secara makanan ataupun minuman
yang kita konsumsi setiap hari. Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang menular dengan
semua cara tersebut dengan kecepatan yang luar biasa. Dari hasil penelitian, para ahli
menyatakan bahwa bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang mudah dihilangkan tetapi
ketika tubuh kita diberi antibiotik, bakteri Salmonellosis tersebut bisa tambah aktif dan
membuat proses penularan lebih cepat dibandingkan biasanya. Efek-efek dari serangan
bakteri Salmonellosis ini juga sangat berbahaya jika tidak diobati atau dirawat karena bisa
menghancurkan sistem imun dengan fatal. Bakteri Salmonellosis adalah bakteri yang
menular dengan cara bersentuhan. Contohnya adalah hewan peliharaan kita atau hewan reptil
seperti ular dan cicak. Ketika kita menyentuh hewan yang membawa bakteri tersebut,
bakterinya akan menyangkut dan menempel di rambut kulit dan lama kelamaan, bisa masuk
ke dalam
tubuh kita. Bakteri Salmonellosis ini juga menular dengan sangat cepat lewat udara.
Ketika tubuh kita terinfeksi oleh Infeksi Salmonella, kita akan mengalami flu yang berat.
Dengan flu tersebut, udara yang mengelilingi kita akan terkontaminasi oleh bakteri-bakteri
Salmonellosis, yang bisa mengakibatkan penularan yang cepat. Tidak hanya lewat udara
dan penyentuhan, bakteri Salmonellosis ini saling menular dengan cara makanan atau
minuman. Kalau makanan dan minuman kita terkontaminasi oleh bakteri ini, kita akan
mendapat Infeksi Salmonella dengan cara memakan atau meminumnya.

Secara umum, adapun cara penularan dari salmonella adalah sebagai berikut:

Melalui makanan yang terkontaminasi oleh bakteri.

Melalui air untuk keperluan rumah tangga yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

Melalui daging, telur, susu yang berasal dari hewan sakit yang dimasak kurang matang.

Makanan dan minuman berhubungan dengan binatang yang mengandung bakteri


salmonella typh, seperti lalat, tikus, kucing dan ayam.

Setelah sembuh dari penyakitnya, penderita akan kebal terhadap typhus, untuk waktu
cukup lama. Interksi ulang (reinfeksi) dapat terjadi, tetapi biasanya gejalanya sangat
ringan. Makanan penderita dapat juga menjadi karier karena bakteri menetap dan
berkembang biak dalam kandung empedunya. Bahan yang berbahaya untuk penularan
adalah feses penderita atau karier.

5. Pengobatan

Dengan antibiotik yang tepat, lebih dari 99% penderita dapat disembuhkan. Kadang
makanan diberikan melalui infus sampai penderita dapat mencerna makanan. Jika terjadi
perforasi usus, diberikan antibiotik berspektrum luas (karena berbagai jenis bakteri akan
masuk ke dalam rongga perut) dan mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk
memperbaiki atau mengangkat bagian usus yang mengalami perforasi. Anti biotika yang
sering digunakan:

Kloramfenikol : Dosis : 4 x 500mg/hari . Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.


Tiamfenikol: Dosis ; 4×500 mg.

Kotrimoksazol : Dosis : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80


mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

Ampisilin dan amoksisilin : dosis : 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

Sefalosporin generasi ketiga : dosis 3-4 gram dalam dektrosa 100 cc diberikan selama ½
jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

Pencegahan

Vaksin tifus per-oral (ditelan) memberikan perlindungan sebesar 70%. Vaksin ini hanya
diberikan kepada orang-orang yang telah terpapar oleh bakteri Salmonella typhi dan
orang-orang yang memiliki resiko tinggi (termasuk petugas laboratorium dan para
pelancong). Adapun untuk mencegahnya adalah melakukan hal-hal berikut:

Menyediakan tempat pembuangan yang sehat dan higienis.

Mencuci tangan sebelum mengkonsumsi jajanan.

Menghindari jajan di tempat yang kurang terjamis kebersihan dan kesehatannya.

Menjaga agar sumber air yang digunakan tidak terkontaminasi oleh bakteri thypus. Masak
air hingga 100˚C

Melakukan pengawasan terhadap rumah makan dan penjual makanan/jajanan.

Mencari informasi mengenai bahaya penyakit thypus. Jika memahami tentang penyakit
ini, maka pelajar akan lebih mudah untuk menjaga diri dan lingkungannya agar selalu
bersih dan sehat.

Mengkonsumsi makanan yang masih panas sehingga kebersihannya terjamin.

Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya secara
sembarangan

Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.

Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup dan teratur, olah
raga secara teratur 3-4 kali seminggu).
Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Helicobacter pylori

Ciri-ciri

Berbentuk batang melengkung

Bakteri gram negative

Mikroaerofilik

Memiliki 4-6 flagella

Dapat mengoksidasi hidrogen

Menghasilkan oksidase, katalase, dan urease

Patogenik, menyebabkan gastrointestinal

Pathogenesis

Setelah H. pylori tertelan, bakteri memasuki lumen lambung, atau rongga.

Karena memiliki flagela Helicobacter pylori dapat menahan kontraksi otot perut.

Setelah tiba di lapisan lendir, bakteri kemudian melubang lapisan tersebutmenggunakan


flagela dan bentuk heliks untuk membuat gerakan seperti sekrup.
Gambar 8. Patogenesis Helicobacter pylori
3. Mekanisme

Menurut Tuheteru (2004), infeksi H.pylori seringkali dijumpai pada anak-anak. Di negara
berkembang, prevalensi infeksi H.pylori pada anak-anak berusia dibawah 10 tahun
besarnya sekitar 80%, sedangkan di negara maju prevalensi infeksi H.pylori pada anak-
anak prasekolah dan sekolah dasar besarnya sekitar 10%. Di Indonesia, berdasarkan
pemeriksaan serologi, prevalensi H.pylori pada anak sekolah dasar ditemukan sebesar
13,5 - 26,8%.

Alur penularan H.pylori adalah fekal-oral atau oral-oral. Manusia merupakan tempat
hidup primer H.pylori. Pernah dilaporkan H.pylori ditemukan pada kucing maupun di
tempat lainnya seperti tinja dan air. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti
hubungan antara H.pylori yang hidup di luar tubuh manusia dan terjadinya infeksi bakteri
tersebut pada manusia. Beberapa keadaan diduga sebagai faktor risiko terjadinya infeksi
H.pylori, yaitu kepadatan tempat tinggal, daerah endemik, dan sosial ekonomi rendah.

Terdapat tiga kelainan yang dapat ditemukan sebagai akibat infeksi H.pylori pada anak.
Pertama, infeksi akut H.pylori pada lambung dapat menyebabkan hipoklorhidria akibat
adanya proses inflamasi yang menyebabkan disfungsi sel parietal. Dalam beberapa bulan,
keadaan hipoklorhidria ini dapat sembuh dan pH lambung kembali normal, sedangkan
pada infeksi kronis, H.pylori akan terus merangsang produksi asam lambung. Mekanisme
terjadinya keadaan tersebut belum diketahui secara pasti. Ada hipotesis yang menyatakan
bahwa inflamasi merangsang peningkatan produksi gastrin. Urease juga merupakan
faktor penting untuk timbulnya infeksi kronis. Kelainan kedua yang ditemukan adalah
inflamasi lambung. Infeksi H.pylori dapat menginduksi respon humoral sistemik dan
mukosa, namun antibodi yang terbentuk tidak dapat mengeradikasi kuman. Hal ini
diduga disebabkan adanya mukus lambung yang melindungi H.pylori, sehingga tidak
dapat ditembus oleh antibodi spesifik. Kolonisasi H.pylori di lambung biasanya disertai
proses inflamasi sehingga dapat ditemukan sel neutrofil, sel T, sel plasma, dan makrofag
secara bersamaan dengan berbagai derajat degenerasi dan kerusakan sel epitel.

Ulserasi merupakan kemungkinan kelainan ketiga yang tergantung dari virulensi strain
H.pylori. Masing-masing strain H.pylori mempunyai tingkat virulensi yang
berbeda. Tingkat virulensi dipengaruhi oleh dua protein yang merupakan produk gen,
yaitu vacuolating cytotoxin A (VacA) dan cytotoxic-associated gene A (CagA).(10)
VacA diproduksi oleh semua strain H.pylori dan lebih banyak dijumpai pada pasien
dengan ulkus lambung. CagA dihasilkan oleh lebih kurang 60% strain H.pylori.
Gastritis atrofi, ulkus duodenum, dan karsinoma lambung lebih banyak dijumpai pada
pasien yang terinfeksi oleh H.pylori yang memproduksi CagA.

Untuk lebih jelasnya tentang mekanisme infeksi bakteri H.pylori dapat dilihat pada
gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme Infeksi H.pylory

Keterangan gambar:

Hp dapat merubah lingkungan mikro di sekitarnya menjadi bersifat agak basa,


sehingga bisa tinggal dan berkoloni di lapisan lendir mukosa lambung.

Hp mempunyai flagel, untuk mengebor mukosa lambung, sehingga bisa lebih mudah
masuk kedalam dasar kripta (cekungan mukosa) dan menetap di tempat itu.

Hp mempengaruhi sistem imunitas tubuh kita untuk tidak mengenali dirinya sebagai
benda asing, melainkan sebagai bagian organ jaringan lambung sehingga tidak dapat
dikenali sebagai penyusup yang harus diberantas oleh sel limfosit-T. Maka bakteri Hp
terlewat dari penyisiran sistem imun kita, karena Hp tidak terdeteksi sebagai benda
asing.
Hp bisa tahan terhadap terapi yang diberikan, dengan cara bakteri tersebut membuat zat
anti terhadap bahan aktif anti-mikroba yang diberikan (Fitria, 2009).

Pengobatan

Infeksi H.pylori merupakan tantangan pengobatan yang unik. Kebutuhan untuk


memberikan terapi yang optimal, efektif, dan aman dengan biaya yang terjangkau dan
efek samping yang minimal. Menurut World Congres of Gastroenterology tahun 1994,
tidak semua penderita infeksi H.pylori perlu dilakukan eradikasi. Penderita yang perlu
dilakukan eradikasi adalah bila: (i) ada gejala klinis, (ii) pada endoskopi didapatkan
gastritis kronis aktif, ulkus ventrikuli atau ulkus duodenum, dan (iii) uji CLO atau biakan
menunjukkan H.pylori positif. Helycobacter pylori merupakan organisme yang sulit
diobati sehingga untuk memperoleh hasil eradikasi yang optimal diperlukan kombinasi
dua atau lebih antibiotika. Antisekretorik diberikan untuk menghilangkan gejala dan
merangsang penyembuhan.

Kombinasi dua antibiotika dan satu antisekretorik selama 7 hari sering digunakan pada
anak. Obat tersebut adalah metronidazol, klaritromisin, dan omeprazol. Kombinasi
tersebut mempunyai tingkat eradikasi yang tinggi, yaitu 95%. Dosis yang dianjurkan
adalah omeprazol 2 mg/kg/hari, klaritromisin 15 mg/kg/hari, dan metronidazol 20-30
mg/kg/hari.

Apabila terjadi kegagalan terapi, maka obat yang dipilih selanjutnya harus
memperhatikan jenis dan atau sensitivitas obat sebelumnya. Pada kasus yang resisten
terhadap metronidazol dapat diberikan kombinasi omeprazol, klaritromisin dan
amoksisilin 30-50 mg/kg/hari selama 7 hari atau omeprazol, amoksisilin, dan
metronidazol bila resisten terhadap klaritromisin (Tuhuteru, 2004).

5. Pencegahan

Hanya sekitar 1% penderita yang mengalami infeksi H.pylori akan berkembang menjadi
kanker lambung. Untuk itu tidak dapat dibenarkan untuk melakukan penyaringan dan
pengobatan secara luas untuk individu yang menderita infeksi

H.pylori. Strategi lain untuk mencegah terjadinya infeksi H.pylori adalah pemberian
vaksinasi. Vaksinasi yang potensial untuk mencegah infeksi H.pylori masih dalam taraf
penyelidikan. Namun belum terbukti vaksinasi dapat mencegah infeksi pada manusia.
Di samping itu, mengingat kecilnya prevalensi kanker lambung pada individu yang terinfeksi dapat
mengakibatkan tingginya harga vaksin.

Pencegahan lebih ditujukan untuk menurunkan risiko terjadinya infeksi

H.pylori. Perbaikan status sosioekonomi, gizi dan lingkungan seperti penyediaan air bersih terbukti mampu
menurunkan prevalensi infeksi H.pylori pada anak. Monitoring kecenderungan kolonisasi dan penyakit
gastrointerstinal bagian atas pada berbagai populasi dapat memberikan gambaran kecenderungan terjadinya
infeksi H.pylori

(Tuhuteru, 2004).

Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Treponema pallidum 1. Morfologi,Struktur, dan Fisiologi

Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang

ramping dengan lebar kira-kira 0,2 μm -15dan μmpanjang.Lengku5 spiralnya/gelombang secara teratur terpi
dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini aktif bergerak,

berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan setelah menempel pada sel melalui
ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat
organisme tersebut dapat membuat lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke posisi semula.
Spiralnya sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan pewarnaan
imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop elektron (gambar 2).
Gambar 2. Treponema pallidum Menggunakan Mikroskop Elektron
Struktur Treponema pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dinding selnya
dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran sel bagian luar.Flagel
periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel) ditemukan didalam ruang periplasmik,
antara dua membran (gambar 3). Organel ini yang menyebabkan gerakan tersendiri
bagi Treponema pallidum seperti alat pembuka tutup botol (Corkscrew).13 Filamen
flagel memiliki sarung/ selubung dan struktur inti yang terdiri dari sedikitnya empat
polipeptida utama. Genus Treponema juga memiliki filamen sitoplasmik, disebut
juga dengan fibril sitoplasmik. Filamen bentuknya seperti pita, lebarnya 7-7,5 nm.
Partikel protein intramembran membran bagian luar Treponema pallidum sedikit.
Konsentrasi protein yang rendah ini diduga menyebabkan Treponema pallidum dapat
menghindar dari respons imun pejamu.

Gambar 3. Struktur Sel Treponema pallidum.

Treponema pallidum merupakaan salah satu bakteri yang patogen terhadap manusia
(parasit obligat intraselular) dan sampai saat ini tidak dapat dikultur secara invitro.
Dahulu Treponema pallidum dianggap sebagai bakteri anaerob obligat, sekarang telah
diketahui bahwa Treponema pallidum merupakan organisme mikroaerofilik,
membutuhkan oksigen hanya dalam konsentrasi rendah (20%). Kuman ini dapat mati
jika terpapar dengan oksigen, antiseptik, sabun, pemanasan, pengeringan sinar matahari
dan penyimpanan di refrigerator. Bakteri ini berkembang biak dengan pembelahan
melintang dan menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas toksigenik
yang kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia. Mekanisme
biosintesis lipopolisakarida dan lipid Treponema pallidum sedikit.
Kemampuan metabolisme dan adaptasinya minimal dan cenderung kurang, hal ini dapat
dilihat dari banyak jalur seperti siklus asam trikarboksilik, komponen fosforilasi oksidatif dan
banyak jalur biosintesis lainnya. Keseimbangan penggunaan dan toksisitas oksigen adalah
kunci pertumbuhan dan ketahanan Treponema pallidum. Organisme ini juga tergantung pada
sel host untuk melindunginya dari radikal oksigen, karena Treponema pallidum
membutuhkan oksigen untuk metabolisme tetapi sangat sensitif terhadap efek toksik oksigen.
Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila terpapar oksigen dengan tekanan atmosfer
21%.20,21 Keadaan sensitivitas tersebut dikarenakan bakteri ini kekurangan superoksida
dismutase, katalase, dan oxygen radical scavengers.19 Super-oksida dismutase yang
mengkatalisis perubahan anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, tidak
ditemukan pada kuman ini.

Treponema pallidum tidak dapat menular melalui benda mati seperti bangku, tempat
duduk toilet, handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh
pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk organisme ini
adalah 30-370C dan rentang pH adalah 7,2-7,4.

2. Pathogenesis dan Respon Imun

Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran mukosa vagina dan
uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau dari ibu yang menderita sifilis
ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir kehamilan. Treponema pallidum masuk
dengan cepat melalui membran mukosa yang utuh dan kulit yang lecet, kemudian kedalam
kelenjar getah bening, masuk aliran darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh.
Bergerak masuk keruang intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti
membuka tutup botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun
gejala klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu. Darah dari pasien yang baru terkena
sifilis ataupun yang masih dalam masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembangbiak
Treponema pallidum selama masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam. Lesi primer
muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasa-nya bertahan selama 4-6 minggu dan
kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multifikasi
dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit, makrofag dan
sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak
hanya terbatas di tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler
(Treponema pallidum berada diantara endotel kapiler dan sekitar jaringan), hal ini
mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler
(endarteritis obliterans). Kerusakan vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada
daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini
disebut chancre

Informasi mengenai patogenesis sifilis lebih banyak didapatkan dari percobaan hewan
karena keterbatasan informasi yang dapat diambil dari penelitian pada manusia.
Penelitian yang dilakukan pada kelinci percobaan, dimana dua Treponema pallidum
diinjeksikan secara intrakutan, menyebabkan lesi positif lapangan gelap pada 47%
kasus. Peningkatan kasus mencapai 71% dan 100% ketika 20 dan 200.000
Treponema pallidum diinokulasikan secara intrakutan pada kelinci percobaan.
Periode inkubasi bervariasi tergantung banyaknya inokulum, sebagai contoh 10
Treponema pallidum akan menimbulkan chancre dalam waktu 5-7 hari. Organisme ini
akan muncul dalam waktu menit didalam kelenjar limfe dan menyebar luas dalam
beberapa jam, meskipun mekanisme Treponema pallidum masuk sel masih belum
diketahui secara pasti. Thomas dkk, menyatakan bahwa perlekatan Treponema
pallidum dengan sel host melalui spesifik ligan yaitu molekul fibronektin.

Sifat yang mendasari virulensi Treponema pallidum belum dipahami selengkapnya,


tidak ada tanda-tanda bahwa kuman ini bersifat toksigenik karena didalam dinding
selnya tidak ditemukan eksotoksin ataupun endotoksin. Meskipun didalam lesi primer
dijumpai banyak kuman namun tidak ditemukan kerusakan jaringan yang cukup luas
karena kebanyakan kuman yang berada diluar sel akan terbunuh oleh fagosit tetapi
ada sejumlah kecil Treponema yang dapat tetap dapat bertahan di dalam sel makrofag
dan di dalam sel lainya yang bukan fagosit misalnya sel endotel dan fibroblas.
Keadaan tersebut dapat menjadi petunjuk mengapa Treponema pallidum dapat hidup
dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama, yaitu selama masa asimtomatik
yang merupakan ciri khas dari penyakit sifilis. Sifat invasif Treponema sangat
membantu memperpanjang daya tahan kuman di dalam tubuh manusia.
3. Manifestasi klinis

Perjalanan penyakit sifilis bervariasi dan biasanya dibagi menjadi sifilis stadium dini dan
lanjut. Stadium dini lebih infeksius dibandingkan dengan stadium lanjut. Sifilis stadium
dini terbagi menjadi sifilis primer, sekunder dan laten dini. Sifilis stadium lanjut termasuk
sifilis tersier (gumatous, sifilis kardio-vaskular, neurosifilis) dan sifilis laten lanjut.

Sifilis Primer

Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam satu sampai
beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer
disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri,
merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan berlokasi pada sisi Treponema
pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat ditemukan dimana saja tetapi paling sering
di penis, servik, dinding vagina rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung
spirokaeta yang dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada
sediaan kerokan chancre.
Gambar 4. Perjalanan Penyakit Sifilis.
Gambar 5. Chancre genital

Ada juga morfologi lain dari variasi lesi pada stadium primer yang
menyebabkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sensitivitas gejala klasik ini
hanya 31% tetapi spesifisitasnya 98%. Ukuran chancre bervariasi dari 0,3-
3,0 cm, terkadang terdapat lesi multipel pada pasien dengan acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS).2,8 Pada sifilis primer sering
dijumpai limfadenopati regional, tidak nyeri dan ipsilateral terhadap
chancre, muncul pada 80% pasien dan sering berhubungan dengan lesi
genital. Chancre ekstragenital paling sering ditemukan di rongga mulut,
jari tangan dan payudara. Masa inkubasi chancre bervariasi dari 3-90 hari
dan sembuh spontan dalam 4 sampai 6 minggu.
Gambar 6. Chancre Ekstragenital
b) Sifilis Sekunder

Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2
sampai 6 bulan setelah pajanan, 2 sampai 8 minggu setelah chancre
muncul. Sifilis sekunder adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang
menyebar dari chancre dan kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke
seluruh tubuh, dan menimbulkan beragam gejala yang jauh dari lokasi
infeksi semula. Sistem yang paling sering terkena adalah kulit, limfe,
saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan susunan saraf pusat.2,6 Tanda
tersering pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapula yang terjadi
pada 50% - 70% kasus, papula 12% kasus, makula 10% kasus, dan papula
anula 6% - 14% kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal dan mungkin
meluas.

Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan
lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang
paling khas pada 4% sampai 11% pasien. Treponema pallidum dapat
menginfeksi folikel rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala.
Bersamaan dengan munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap
kondilomata. Lesinya berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan
lembab termasuk di perineum dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah
membran mukosa mulut, lidah dan genital. Pada kasus yang jarang bisa
ditemukan sifilis sekunder disertai dengan kelainan lambung, ginjal dan
hepatitis. Treponema pallidum telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang
diambil dari pasien dengan sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena
kompleks antigen treponema-imunoglobulin yang berada pada glomeruli yang
menyebabkan kerusakan ginjal. Sindroma nefrotik juga dapat terjadi. Sekitar
5% pasien dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk
meningitis dan penyakit mata.
Gambar 7. Makulopapula Pada Telapak Tangan

c) Sifilis Laten

Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis
sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis
laten dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut.
Pembagian berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan
pada pasien yang tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam
satu tahun, 94% muncul dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun.
Sifilis laten dini terjadi kurang satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder,
25% diantaranya mengalami relaps sifilis sekunder yang menular,
sedangkan sifilis laten lanjut muncul setelah satu tahun. Relaps ini dapat
terus timbul sampai 5 tahun. Pasien dengan sifilis laten dini dianggap lebih
menular dari sifilis laten lanjut. Pemeriksaaan serologi pada stadium laten
lanjut adalah positif, tetapi penularan secara seksual tidak.

d) Sifilis Tersier

Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat
dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis
lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Sepertiga pasien
berkembang menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis
tersier tidak menular. Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya
muncul 1-46 tahun setelah infeksi awal, dengan
rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium ini ditandai dengan adanya guma kronik,
lembut, seperti tumor yang inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini
biasanya mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat juga muncul dibahagian lain

Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan nekrosis sentral, muncul paling
cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa juga muncul lebih lambat. Lesi ini
bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan tulang, meskipun bisa juga muncul di hati,
jantung, otak, lambung dan traktus respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi
dapat sembuh secara cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak
menyebab-kan komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut (late benign
syphilis)

Gambar 8. Guma Sifilis yang Ulser dan Soliter. Neurosifilis merupakan infeksi yang
melibatkan sistem saraf

sentral, dapat muncul lebih awal, asimtomatik atau dalam bentuk sifilis meningitis, lebih
lanjut sifilis meningovaskular, general paresis, atau tabes dorsalis. Sifilis
meningovaskular muncul 5-10 tahun setelah infeksi awal. Sifilis meningovaskular
ditandai dengan apati, seizure dan general paresis dengan dimensia dan tabes dorsalis.
General paresis biasanya muncul 15-20 tahun setelah infeksi awal, sedangkan tabes
dorsalis 25-30 tahun. Komplikasi yang paling sering adalah aortitis sifilis yang dapat
menyebabkan aneurisma.

4. Diagnosis Sifilis

Sifilis primer didiagnosis berdasarkan gejala klinis ditemukannya satu atau lebih chancre
(ulser). Pemeriksaan Treponema pallidum dengan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP
positif. Sifilis sekunder ditandai dengan ditemukannya lesi mukokutaneus
yang terlokalisir atau difus dengan limfadenopati. Terkadang chancre masih ditemukan.
Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap dan DFA-TP positif. Sifilis laten tanpa gejala
klinis sifilis dengan pemeriksaan nontreponemal dan treponemal reaktif (tanpa diagnosis
sifilis sebelumnya), riwayat terapi sifilis dengan titer uji nontreponemal yang meningkat
dibandingkan dengan hasil titer nontreponemal sebelumnya. Sifilis tersier ditemukan
guma dengan pemeriksaan treponemal reaktif, sekitar 30% dengan uji nontreponemal
yang tidak reaktif.

5. Terapi Sifilis

Pengobatan dilakukan dengan memberikan Antibiotika seperti Penisilin atau turunannya.


Pemantauan serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XII tahun pertama dan setiap 6
bulan pada tahun kedua. Selain itu, kepada penderita perlu diberikan penjelasan yang
jelas dan menyeluruh tentang penyakitnya dan kemungkinan penularan sehingga turut
mencegah transmisi penyakit lebih lanjut. Bagi penderita yang tidak tahan dengan
penisilin dapat diganti dengan tetrasiklin atau eritromisin, yang harus dimakan 15 hari.
Sifilis yang telah menyebabkan penderita lumpuh biasanya tidak dapat diobati lagi

G. Penyakit yang Ditimbulkan oleh Bakteri Staphylococcus aureus a. Pengertian

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang bersifat oportunistik (menyerang


individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah) dan menyebabkan infeksi.
Sebenarnya Staphylococcus epidermidis adalah flora normal yang terdapat pada manusia.
Pada tubuh yang sehat, bakteri ini tidak membahayakan dan tidak menyebabkan
penyakit. Bakteri ini hanya berbahaya jika telah menginfeksi, sehingga pertumbuhannya
menjadi tidak terkendali. Seseorang dengan kekebalan tubuh yang lemah, antara lain bayi
yang baru lahir, penderita AIDS, pengguna narkoba, pasien kritis, dan pasien rumah sakit
yang telah menjalani masa perawatan yang lama,Staphylococcus epidermidis dapat
menimbulkan gangguan kesehatan.

Bakteri ini adalah salah satu patogen utama infeksi nosokomial, khususnya yang
berkaitan dengan infeksi benda asing. Orang yang paling rentan terhadap infeksi ini
adalah pengguna narkoba suntikan, bayi baru lahir, lansia, dan mereka yang
menggunakan kateter atau peralatan buatan lainnya. Organisme ini menghasilkan
glycocalyx "lendir" yang bertindak sebagai perekat mengikuti ke plastik dan sel-sel, dan
juga menyebabkan resistensi terhadap fagositosis dan beberapa jenis antibiotik.
Staphylococcus epidermidis memberikan kontribusi sekitar 65-90% dari semua
staphylococcus yang ditemukan dari flora aerobik manusia . Orang yang sehat dapat
memiiliki hingga 24 strain (jenis) dari spesies, beberapa di antaranya dapat bertahan di
permukaan yang kering untuk waktu yang lama. Hospes bagi organisme ini adalah
manusia dan hewan berdarah panas lainnya (Nilsson, 1998).

Ciri –ciri Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis memiliki beberapa karakteristik, antara lain (Jawetz, dkk.,


2005) :

Bakteri gram positif, koagulase negatif, katalase positif.

Aerob atau anaerob fakultatif.

Berbentuk bola atau kokus ,berkelompok tidak teratur.

berdiameter 0,5 –1,5 µm.

Tidak membentuk spora dan tidak bergerak, koloni berwarna putih

Bakteri ini tumbuh cepat pada suhu 37C.

Staphylococcus epidermidis merupak flora normal pada manusia.

Staphylococcus epidermidis terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul dan luka. Dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas
dalam jaringan.

Klasifikasi

Sistematika bakteri Sthapylococcus epidermidis (Breed, dkk.,1957)


:
Divis
: Eukariota

Kelas
: Schizomycetes

Bangsa
: Eubacteriales

Suku
: Micrococcaceae

Marga
: Staphylococcus

Jenis
: Staphylococcus epidermidis

d. Patologi

Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan perangkat intravaskular (katup


jantung buatan, shunts, dan lain-lain) , tetapi biasanya terjadi pada
sendi buatan, kateter, dan luka besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced UTI
menyebabkan peradangan serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat
menyakitkan.

Septicaemia dan endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan


Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan
kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi akibat infeksi neonatal,
terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah. Sedangkan, endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisan dalam dari otot jantung. Staphylococcus
epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan permukaan lingkungan.

e. Morfologi

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang sering ditemukan sebagai flora


normal pada kulit dan selaput lendir manusia. Sthapylococcus epidermidis merupakan
salah satu bakteri Gram positif berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam rangkaian tidak
beraturan seperti anggur dan bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini merupakan penyebab
infeksi kulit ringan yang disertai abses (Syarurachman et al., 1994). Bakteri ini juga
berperan dalam pelepasan asam oleat, hasil hidrolisisnya oleh lipase yang diduga
berpengaruh terhadap perkembangan jerawat (Saising et al., 2008)

f. Patogenitas

Staphylococcus epidermidis terdapat sebagai flora normal pada kulit manusia dan pada
umumnya tidak menjadi masalah bagi orang normal yang sehat. Akan tetapi, kini
organisme ini menjadi patogen oportunis yang menyebabkan infeksi nosokomial pada
persendian dan pembuluh darah. Staphylococcus epidermidis memproduksi sejenis toksin
atau zat racun. Bakteri ini juga memproduksi semacam lendir yang memudahkannya
untuk menempel di mana-mana, termasuk di permukaan alat-alat yang terbuat dari plastik
atau kaca. Lendir ini pula yang membat bakteri Staphylococcus epidermidis lebih tahan
terhadap fagositosis (salah satu mekanisme pembunuhan bakteri oleh sistem kekebalan
tubuh) dan beberapa antibiotika tertentu (Sinaga, 2004).

Staphylococcus epidermidis umumnya dapat menimbulkan penyakit pembengkakan (abses)


seperti jerawat, infeksi kulit, infeksi saluran kemih, dan infeksi
ginjal (Radji, 2011). Selain itu, Staphylococcus epidermidis juga dapat menimbulkan
infeksi pada neonatus, orang-orang yang sistem kekebalannya rendah dan pada penderita
yang menggunakan alat yang dipasang di dalam tubuh (Hart dan Shears, 2004).

g. Virulensi

Kemampuan untuk membentuk biofilm pada perangkat plastik merupakan faktor


virulensi utama untuk S. epidermidis. Salah satu penyebab yang mungkin adalah protein
permukaan yang mengikat protein darah dan matriks ekstraselular. Ini menghasilkan
bahan ekstraselular dikenal sebagai adhesi polisakarida interselular (PIA), yang terdiri
dari sulfat polisakarida . Hal ini memungkinkan bakteri lain untuk mengikat ke biofilm
yang sudah ada, membuat biofilm multilayer.

Biofilm tersebut menurunkan aktivitas metabolisme bakteri di dalamnya. Ini penurunan


metabolisme, dalam kombinasi dengan difusi gangguan antibiotik, membuat sulit untuk
antibiotik untuk secara efektif membersihkan jenis infeksi. S. epidermidis strain sering
resisten terhadap antibiotik, termasuk penisilin , amoksisilin , dan methicillin Organisme
resisten yang paling sering ditemukan dalam usus, namun organisme hidup bebas di kulit
juga bisa menjadi kebal karena paparan rutin terhadap antibiotik disekresi dalam keringat.

h. Penyakit

Staphylococcus epidermidis menyebabkan biofilm tumbuh pada perangkat plastik yang


ditempatkan di dalam tubuh. Hal ini terjadi paling sering pada intravena kateter dan
medis prostesis . Infeksi juga dapat terjadi pada pasien dialisis atau siapa pun dengan
perangkat plastik implan yang mungkin telah terkontaminasi . Hal ini juga menyebabkan
endokarditis , paling sering pada pasien dengan katup jantung yang rusak. Dalam
beberapa kasus lain, sepsis dapat terjadi pada pasien rumah sakit (Sinaga, 2004).

Antibiotik tidak efektif dalam membersihkan biofilm. Pengobatan yang paling umum
untuk infeksi ini adalah untuk menghapus atau mengganti implan yang terinfeksi,
meskipun dalam semua kasus, pencegahan sangat ideal. Obat pilihan sering vankomisin ,
yang rifampisin atau aminoglikosida dapat ditambahkan. Mencuci tangan telah terbukti
mengurangi penyebaran infeksi.
Penelitian awal juga menunjukkan S. epidermidis secara universal ditemukan di dalam
mempengaruhi jerawat vulgaris pori-pori, di mana Propionibacterium acnes biasanya
satu-satunya penduduk.

Infeksi Staphylococcus epidermidis berhubungan dengan perangkat intravaskular (katup


jantung buatan, shunts, dll), tetapi biasanya terjadi pada sendi buatan, kateter, dan luka
besar. Infeksi kateter bersama dengan kateter-induced UTI menyebabkan peradangan
serius dan sekresi nanah. Dalam hal ini, buang air kecil sangat menyakitkan.

Septicaemia dan endokarditis termasuk penyakit yang berhubungan dengan


Staphylococcus epidermidis. Gejala yang timbul adalah demam, sakit kepala, dan
kelelahan untuk anoreksia dan dyspnea. Septicemia terjadi akibat infeksi neonatal,
terutama ketika bayi lahir dengan berat badan sangat rendah.Sedangkan, Endokarditis
adalah infeksi katup jantung dan bagian lapisan dalam dari otot jantung. Staphylococcus
epidermidis dapat mencemari peralatan perawatan pasien dan permukaan lingkungan.

i. Pengobatan

Infeksi Staphylococcus epidermidis sulit disembuhkan sebab kuman tumbuh pada alat
protese dimana bakteri dapat menghindar dari sirkulasi sehingga terhindar dari obat
antimikroba. Staphylococcus epidermidis lebih sering resisten terhadap antimikroba
daripada Staphylococcus aureus, hampir 75% strain Staphylococcus epidermidis resisten
terhadap nafsilin. (Jawetz, dkk., 2005)

Karena banyak galur yang resisten obat, maka tiap isolat stafilococcus harus diuji kepekaan
antimikrobanya untuk membantu memilih obat sistemik. Resistensi terhadap grup eritromisin
terjadi sangat cepat sehingga jangan digunakan secara tunggal untuk mengobati infeksi
kronik. Resistensi obat (terhadap penicilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan eritromisin)
ditentukan oleh plasmid yang ditransmisikan oleh stafilokokki dengan transdksi dan juga
dengan konjungasi. (Jawetz, dkk., 2005)

Staphylococcus epidermidis merupakan bagian dari flora normal manusia, telah


mengembangkan resistensi terhadap antibiotik yang umum seperti methicillin,
novobiocin, klindamisin, dan penisilin benzil. Untuk mengobati infeksi digunakan
vankomisin, hasil atau rifampicin. (Jawetz, dkk., 2005)
j. Epidemologi

Stafilokokus terutama merupakan parasit manusia yang ada dimana-mana. Sumber infeksi
utama adalah tumpukan bakteri pada lesi manusia, benda –benda yang terkontaminasi lesi
tersebut., dan saluran respirasi manusia serta kulit. Penyebaran infeks melalui kontak telah
dianggap sebagai faktor yang penting di rumah sakit, dimana populasi luas dari staf dan
pasien membawa stafilokokus yang resisten antibiotika pada hidung atau kulit mereka.
Meskipun kebersian, higienis, dan penatalaksanaan lesi secara aseptik dapat mengendalikan
penyebaran Stafilokokus dari lesi tersebut beberapa metode tersedia untuk mencegah
penyebarluasan stafilokokus dari pembawa. Di rumah sakit yang merupakan daerah dengan
risiko infeksi stafilokokus paling tinggi adalah ruang perawatan bayi, unit perawatan intensif,
ruang operasi, dan bangsal kemoterapi kanker (Geo, 2005).

Pencegahan

Mengingat ancaman yang diberikan oleh bakteri Staphylococcus epidermidis, kita sebisa
mungkin jauh dari bakteri ini . Agar tidak teinfeksi Staphylococcus epidermidis, ada
beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain :

Senantiasa menjaga daya tahan tubuh agar tidak menurun.

Menjaga kebersihan diri.

Menjaga kebersihan berbagai peralatan yang dapat menjadi media penularan infeksi
Staphylococcus epidermidis.

Bakteri Clostridium botulinum a. Pengertian

Clostridium botulinum yang merupakan bakteria berspora, berbentuk batang, Gram positif
dan bersifat anaerobik. Spora dari C. botulinum tersebar dalam tanah, tumbuh-tumbuhan, isi
usus hewan mamalia, unggas dan ikan. Dalam kondisi tertentu, spora dapat bergerminasi
menjadi sel vegetatif yang dapat menghasilkan toksin. Hal ini yang menyebabkan C.
botulinum dapat tumbuh dan menghasilkan neurotoksin dalam kondisi anaerobik seperti pada
bangkai hewan ataupun dalam makanan kalengan.

Berdasarkan karakteristik atau aktivitas metabolik bakterinya, C. botulinum dibagi menjadi 4


kelompok. Kelompok I termasuk tipe A dan galur proteolitik tipe B
dan F. Kelompok II termasuk tipe E dan galur nonproteolitik tipe B dan F. Kelompok III termasuk galur
nonproteolitik tipe C dan D. Kelompok IV adalah tipe G. Secara umum, kelompok proteolitik I dari C.
botulinum bekerja dengan enzim endogenous dari bakteri, tetapi neurotoksin yang dihasilkan oleh galur
proteolitik kelompok II memerlukan protease eksternal seperti tripsin untuk aktifasinya
(DAHLENBORG et.al., 2003).

Toksin C. botulinum adalah toksin biologis terkuat dari semua toksin lain yang pernah dikenal. Dosis
toksik tipeyangdapat A seki membunuh manusia dengan berat badan sekitar 70 kg dengan rute per oral
adalah sekitar 70 μg, dengan–0,9 μgrutedanpernafasan:secaraintra0 0,15 μg. (SOBEL, 2005; DEMBEK
et al., 20 botulinum merupakan salah satu senjata biologis pertama yang telah dikembangkan di

beberapa negara seperti Jepang, Jerman, Amerika, Rusia dan Irak (SUGISHIMA, 2003). Senjata
biologis toksin botulinum biasanya disebarkan secara aerosol atau melalui makanan.

Spora C. botulinum dapat bertahan sampai 3 –4 jam jika dididihkan atau pada suhu 105°C selama 100
menit. Spora dapat dibunuh oleh klorin atau larutan hipoklorit. Spora C. botulinum dapat bergerminasi jika
diaktivasi oleh panas. Pengamatan untuk

C. botulinum tipe A, menunjukkan kemampuan bergerminasi dengan perlakuan panas atau heat
shocking pada suhu 80°C selama 10 –20 menit. Spora sangat resisten terhadap pengeringan dan
bertahan hidup dalam keadaan kering untuk waktu lebih dari 30 tahun. Demikian pula spora resisten
terhadap sinar ultraviolet, alkohol dan senyawa fenol (SMITH dan SUGIYAMA, 1988).

b. Pathogenesis

Mekanisme masuknya C. botulinum toksigenik ke dalam tubuh dapat melalui kontaminasi luka,
mulut/makanan dan inhalasi. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh dapat memproduksi toksin
dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena lingkungannya mendukung untuk
pertumbuhannya. Toksin tidak diabsorbsi melalui kulit yang utuh.

Sesudah toksin diabsorbsi, maka toksin masuk dalam aliran darah dan ditransportasikan menuju synaps
cholinergik perifer terutama neuromuscular junction.
Pada tempat ini, heavy chain toksin berikatan dengan membran neuronal pada bagian presynaptic
synaps perifer. Toksin kemudian memasuki sel neuronal melalui receptor-mediated endocytosis. Light
chain dari toksin menyeberangi membran vesikel endocytic dan memasuki sitoplasma. Di dalam
sitoplasma, light chain toksin (yaitu senyawa zinc-yang mengandung endopeptidase) memecah
beberapa protein yang membentuk synaptic fusion complex. Protein synaptic ini disebut sebagai protein
soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors (SNARE), termasuk
synaptobrevin (terpecah oleh toksin tipe B, D, F dan G), syntaxin (terpecah oleh toksin tipe C), dan
synaptosomal- associatedprotein (SNAP-25; terpecah oleh toksin tipe A, C, E) (ARNON, 2001).

Neurotoksin clostridial mula-mula tampak terikat pada kompleks SNARE sebelum terjadi pemecahan
(BREIDENBACH dan BRUNGER, 2004). Kompleks synaptic fussion akan menyatukan vesikel
synaptic (yang berisi acetyl choline) dengan membran terminal neuron. Pecahnya kompleks synaptic
fussion mencegah vesikel mengalami fusi dengan membran, yang akan mencegah pelepasan
acetylcholine ke dalam celah synaptic. Tanpa pelepasan acetylcholine neuronal, otot yang berhubungan
tidak dapat berkontraksi dan menjadi lumpuh. Blokade pelepasan acetylcholine dapat berlangsung
beberapa bulan. Fungsi normal akan kembali dengan lambat melalui kembalinya protein SNARE ke
dalam sitoplasma atau melalui produksi synaps yang baru. Kematian akibat botulismus secara akut
terjadi karena obstruksi udara pernafasan atau kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Pengaruh langsung botulinum neurotoxin (BoNT) pada sistem syaraf pusat belum dapat diperlihatkan
secara jelas. BoNT tidak dapat melakukan penetrasi ke blood-brain barrier karena ukurannya yaitu
150kDa, (DRESSLER et al., 2005). Pengaruh BoNT pada neuromuscular junction dan organ otot dapat
mempengaruhi sistem syaraf pusat secara tidak langsung.

c. Morfologi

Sel vegetatif C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran bakteri.
Panjangnya–8μm. antaraLebarnya3 μmanth hingga C1,2.botulinumμmtermasuk. bakteri Gram positif..
Lapisan paling luar spora
disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing –masing species, terkenal pada
species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum.

Lapisan di bawah exosporium disebut dengan membran spora, terdiri atas protein yang strukturnya
tidak biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora, ribosom, enzim, dan kation. Kandungan
logam pada spora C. botulinum berbeda dari kandungan metal pada Bacillus. Strain proteolitik C.
Botulinum dapat menghasilkan spora yang sangat resisten dengan pemanasan tinggi.C. botulinum
merupakan bakteri anaerob yang tidak dapat tumbuh di lingkungan anaerob.

Hasil uji pertumbuhan pada media agar aerob adalah negatif. C. botulinum bersifat motil atau dapat
bergerak dengan flagel yang berbentuk peritirik. C.botulinum merupakan bakteri Gram positif yang
memiliki kandungan peptidoglikan antara 80 – 90% dari komponen dinding sel. C. botulinum tidak
dapat membentuk kapsula maupun plasmid.

Fisiologi

C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 370
C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B
adalah 12,50 C namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain
spora jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 oC . Strain jenis E memiliki
suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C
(Suardana, 2001; Cliver, 1990 ; Jay, 1978).

Sel vegetatif Clostrium Botulinum tidak terlalu tahan panas sehingga proses panas dirancang untuk
menonaktifkan spora yang tahan panas dari patogennya. Yang paling tahan panas dari Clostrium
Botulinum Grup I yaitu (D121°C –21 menit).

Akibatnya makanan yang akan disimpan disuhu 10°C atau di atasnya diberi perlakuan

“botulinum enginaktifkancook” sporauntukdarigrup mI.Biasanya dilakukan pada makanan botol /


kaleng yang mempunyai p dilakukan pada suhu 121°C selama minimal 3 menit. Sedangkan grup II
tidak begitu

tahan panas daripada grup I. Pada makanan yang didinginkan C.botulinum dapat tumbuh (pH >4.9 dan
Aw 0.96) sehingga diperlukan proses panas untuk menonaktifkan, yang biasanya terjadi pada akhir
proses pada minimum 90°C selama
10 menit. Semua racun yang dihasilkan oleh Clostrium Botulinum dapat dinonaktifkan
dengan pemanasan 80°C selama setidaknya 10 menit. Namun, racun lebih stabil panas
pada pH yang rendah.

Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh di
dalam makanan dan menjadi autolisis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff,
1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial terhadap
produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperatur dan waktu
penyimpanan.

Berdasarkan atas pH, C. botulinum tidak mampu tumbuh pada pH di bawah 4,5. Lebih
jauh dilaporkan bahwa organisme akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan toksin
pada pH 5,5-8,0 (Suardana, 2001; Jay, 1978). Nutrisi yang diperlukan untuk
pertumbuhan bersifat kompleks, diperlukan asam amino, vitamin B dan mineral. C.
botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air 0,94 dan jenis E pada 0,97 Dilaporkan
bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat pertumbuhan jenis A dan
B.

e. Mekanisme

Otot rangka tubuh disyarafi oleh motoneuron yang mempunyai sel-sel dalam batang otak
atau sumsum punggung. Axon dari motoneuron lewat dan keluar dari sistem susunan
syaraf pusat di bagian anterior akar spinal untuk membentuk syaraf perifer yang
cabangnya berada dalam otot rangka lalu ke terminal dan berhubungan dengan serabut
otot lurik/kasar, membentuk synapses neuromuskuler. Satu kelompok serabut otot kasar
disyarafi oleh motoneuron tunggal membentuk motor unit. Sinyal yang dikirim ke otot
untuk berkontraksi berasal dari sistem syaraf pusat dan berlanjut ke serabut otot rangka
sebagai aksi potensial motoneuron. Aksi potensial mendepolarisasi terminal motoneuron
untuk menstimulasi pelepasan acetylcholine ke dalam celah neuromuskular synaptic
+
melalui peningkatan konsentrasi Ca2 .

Acetylcholine dilepaskan dari cytosol oleh Ca2+ yang mengatur exocytosis, suatu proses
multi tahap yang melibatkan partisipasi dari beberapa protein yang secara kolektif disebut
SNAREs (soluble N-ethylmaleimide-sensitive factor attachment protein receptors). Ketika
acetylcholine mencapai membran otot postsynaptic,
ikatannya terhadap nicotinic cholinergic receptors membuka saluran transmembran,
menghasilkan suatu influx ion sodium (Na+) ke dalam serabut otot dan berikutnya
efflux dari potasium (K+); reduksi permulaan ini dalam potensial membran serabut
otot menimbulkan endplate potensial. Ketika endplate potensial mencapai
ambangnya, aksi potensial dibentuk dalam otot, dan menyebabkannya berkontraksi
(DOLLY et al., 1994).

Gambar 1. Acetylcholine pada syaraf terminal dikemas dalam vesikel. Pada stimulasi
syaraf, yang meningkatkan konsentrasi intra-neuronal Ca2+, membran vesikel
berfusi dengan plasmalemma dari syaraf terminal, membebaskan transmitter ke
dalam synaptic cleft. Proses ini dimediasi oleh satu serial protein yang secara kolektif
disebut protein SNARE. BoNT, memasuki syaraf terminal, memecah protein
SNARE, mencegah pembentukan functional fusion complex, dan memblokir
pembebasan acetylcholine.

Mekanisme multi tahap dari kerja BoNT pada syaraf motor terminal pertama kali
dikemukakan oleh SIMPSON (1979) dan kemudian ada bukti eksperimental yang
menjelaskan prosesnya (DOLLY et al., 1984; BLACK dan DOLLY, 1986 a, b;
DOLLY et al., 1994). Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Pengikatan pada ecto-
acceptor pada syaraf cholinergic terminal 2. Internalisasi acceptor mediated 3.
Translokasi pada cytosol dan penghambatan pelepasan Ca2+ dependent neurotransmitter
(THAKKER dan RUBIN, 2004).

Pengikatan pada presynaptic acceptor membutuhkan C-terminal, sebagian dari heavy


chain (100 kDa), yang dapat dipertahankan dalam konfirmasi yang sesuai oleh
asosiasinya dengan light chain (50kDa). Toksin ini kemudian diinternalisasi oleh receptor
mediated endocytosis sampai dikelilingi secara keseluruhan dalam bentuk vesikel. Pada
saat itu, (Gambar 1), moiety aktif melewati dinding vesikel dan protease rantai pendek
memecah satu dari protein yang bertanggung jawab untuk fusi vesikel dan pelepasan
acetylcholine (DOLLY, 1997; AOKI, 2004). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai protein
SNARE atau tempat target-target dari setiap serotipe BoNT yang memecahnya secara
selektif (AOKI dan GUYER, 2001).

BoNT tipe A, C1 dan E memecah synaptosomal-associated protein 25 kDa (SNAP-25),


dan tipe B,D,F dan G memecah vesicle-associatedmembrane protein (VAMP), yang juga
dikenal sebagai synaptobrevin. Pemecahan proteolitik dari SNAREs menyebabkan
ketidakmampuan kerja exocytotic, sehingga exocytosis dari acetylcholine dihambat. Jika
jaringan targetnya adalah otot, pengaruh pada syaraf secara kimia menghasilkan peristiwa
kelumpuhan. Toksin tipe A dapat menyebabkan neuroparalisis yang berkepanjangan,
berlangsung hingga ber bulan-bulan pada manusia. Hal ini mungkin disebabkan oleh: a.
Aktivitas protease toksin yang berumur panjang; b. Tertanamnya rantai pendek pada
membran presynaptic; c. Persistensi toxin-truncated SNAP-25; dan d. Endplate
remodelling.

l. Bentuk dari bakteri Clostridium botulinum

Clostridium botulinum merupakan bakteri berbentuk bacill (batang), anaerobik (tidak


dapat tumbuh di lingkungan yang mengandung oksigen bebas), Gram-positif, dapat
membentuk spora, dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya tahan panas
dan dapat bertahan hidup dalam makanan dengan pemrosesan yang kurang sesuai atau
tidak benar.

Ada tujuh tipe botulisme (A, B, C, D, E, F dan G) yang dikenal, berdasarkan ciri khas antigen
dari racun yang diproduksi oleh setiap strain. Tipe A, B, E, dan F dapat menyebabkan
botulisme pada manusia. Tipe C dan D menyebabkan sebagian besar botulisme pada hewan.
Hewan yang paling sering terinfeksi adalah unggas liar dan
unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan. Walaupun tipe G telah diisolasi dari
tanah di Argentina, belum ada kasus yang diketahui disebabkan oleh strain ini. Ikan
sangat sensitif terhadap toksin tipe E.

m. Gejala

Pada botulismus yang disebabkan oleh makanan, gejala mulai tampak beberapa jam
sampai beberapa hari (2-8 hari) setelah tertelannya makanan yang terkontaminasi.
Umumnya terjadi dalam 12-72 jam setelah makan. Gejala dari foodborne botulism yang
disebabkan toksin C.botulinum serotipe A biasanya lebih parah dibandingkan dengan
serotipe B dan E (Dembek et al., 2009. Kruger et al. (2012) menyatalam bahwa tipe
toksin C.botulinum yang ditemukan pada manusia dan sapi berbeda. Toksin tipe A secara
dominan ditemukan pada feses sapi sedangkan tipe E ditemukan sebagai penyebab
botulism pada manusia yang terserang dan pakan hewan yang terkontaminasi.

Sebagai penyakit yang berakibat neuroparalysis, botulismus merupakan penyakit akut,


simetrik, descending, flaccid paralysis pada manusia atau hewan. Yang terserang
foodborne botulismus, mula-mula memperlihatkan gejala gastrointestinal seperti mual,
muntah, kram perut, mulut kering, dan diare. Gejala syaraf awal biasanya menyerang
bagian kepala seperti pandangan kabur, kelopak mata jatuh, , fotopobia, dan disfungsi
syaraf seperti kekakuan sendi, gangguan bicara, dan tidak dapat menelan makanan
Kelemahan otot dimulai dari otot yang menggerakkan kepala, otot lengan atas, otot
pernapasan, dan yang terakhir tungkai bagian bawah. Kelemahan ini biasanya
berlangsung secara simetrik. Kematian biasanya akibat dari kegagalan sistem pernapasan.

Gejala klinis yang timbul akibat terhirupnya toksin melalui saluran napas (biasanya
terjadi di laboraturium) menimbulkan gejala klinis yang serupa dengan foodborne
botulism (Varma et al.,2004).

Kelumpuhan akibat botulismus dapat berlangsung lama. Ventilasi mekanis mungkin


diperlukan selama 2 sampai 8 minggu dan kelumpuhan dapat berlangsung selama 7
bulan. Suhu tubuh biasanya normal (Dembek et al.,2009).

Pada penderita yang terserang senjata biologis neurotoksin botulinum melalui aerosol
atau makanan akan terlihat gejala akut, simetrik, descending flaccid paralysis
dan kelumpuhan bola mata, jatuhnya kelopak mata, kekakuan sendi, gangguan bicara
dan tidak dapat menelan makanan. Gejala tersebut tampak setelah 12-72 jam setelah
terpapar (Arnon et al.,2001). Kecepatan diagnosis, tindakan pengobatan dengan
pemberian antitoksin yang sesuai akan menentukan kesembuhan penderita.

Gejala klinis botulismus hanya berbeda sedikit antara yang terjadi pada manusia dan
hewan (Critchley, 1991). Pada sapid an kkuda terlihat depresi, malas bergerak dan
tidak ada nafsu makan, tidak dapat menelan dan pakan jatuh dari mulut, kemudian
terlihat adanya kembung, dan muntah. Penyakit tidak menunjukkan gejala demam,
tetapi ada flaccid paralysis, dimulai dengan kelemahan, tremor otot, dan sulit berdiri.
Cara hewan berbaring juga tidak normal. Kelemahan dari kaki belakang menjalar ke
kaki depan, kepala, dan leher. Mata dapat terlihat menitup, pupil dilatasi. Diagnosis
dapat mudah dilakukan dengan cara menarik lidah keluar dari rongga mulut dan
terlihat kelumpuhan otot lidah. Ketidakmampuan menelan diikuti dengan
kelumpuhan otot dada dan sulit bernapas.

Clostrodium botulinum berperan pada stadium awal terjadinya dekomposisi bangkai


hewan, atau bahan sayuran. Dalam kondisi anaerob dan peningkatan kondisi alkali
dan suhu, spora akan bergerminasi dan menghasilkan toksin. Ketika ituk, burung air
liar bermain di danau, sopra C.botulinum yang terdapat pada dasar sedimen danau
tertelan. Spora ini dapat tinggal dalam tubuh unggas tersebut untuk beberapa lama
sampai saatnya unggas tersebut mati karena berbagai sebab. Sesudah unggas mati,
terciptalah suatu kondisi anaerob yang menyebabkan aktifnya spora yang ada dalam
bangkai unggas mati tersebut dan memproduksi toksin yang mematikan.
Serangga/lalat biasanya tertarik pada bangkai dan bertelur pada bangkai tersebut,
yang kemudian menjadi larva. Larva tidak terpengaruh oleh toksin, tetapi toksin
terakumulasi di dalamnya. Unggas yang kemudian memakan larva tersebut akan mati
akibat toksin yang terkandung di dalamnya (Locke dan Friend, 1989). Kematian pada
ayam dapat menunjukkan adanya inkoordinasi, flaccid paralysis dari otot kaki, sayap
dan leher, leher memanjang dan diare. Tidak ada lesi mikroskopik atau mikroskopik
yang dapat diamati. Toksin C.botulinum ditemukan dari darah jantung dan ceca
(Trampel et al.,2005).
Struktur dari bakteri Clostridium botulinum

Struktur dan fungsi dasar pada sel bakteri meliputi dinding sel, membran plasma,
sitoplasma, ribosom, DNA, dan granula penyimpanan.

Dinding sel

Dinding sel berfungsi sebagai pelindung dan pemberi bentuk bakteri. Dinding sel bakteri
tersusun dari peptidoglikan, yaitu gabungan protein dan polisakarida. Berdasarkan
perbedaan ketebalan lapisan peptidoglikan dinding sel, bakteri dapat dibedakan atas
bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Bakteri Clostridium botulium adalah gram
positif. Bakteri Gram positif adalah bakteri yang memiliki dinding sel dengan lapisan
peptidoglikan yang tebal. Bakteri ini akan berwarna ungu jika diwarnai dengan
pewarnaan Gram.

Membran plasma

Membran plasma adalah membran yang menyelubungi sitoplasma. Membran plasma


tersusun dari lapisan fosfolipid dan protein. Membran plasma bersifat selektif permeabel
dan berfungsi untuk mengatur pertukaran zat antara sel dengan lingkungannya.

Sitoplasma

Sitoplasma adalah cairan sel. Sitoplasma bakteri tidak mengandung banyak organel
seperti pada sel eukariotik. Sitoplasma bakteri antara lain mengandung ribosom, DNA,
dan granula penyimpanan.

Ribosom

Ribosom adalah organel yang berukuran sangat kecil dan merupakan tempat terjadinya
sintesis protein yang dibantu oleh RNA (ribonucleic acid: asam ribonukleat).

DNA

DNA (deoxyribonucleic acid: asam deosiribonukleat) adalah materi pembawa informasi


genetik. DNA bakteri berupa rantai tunggal berbentuk melingkar (nukleoid). Beberapa
bakteri memiliki tambahan DNA melingkar yang lain yang lebih kecil yang disebut
plasmid. DNA bakteri tidak mengandung protein histon dan dengan demikian disebut
dengan DNA telanjang.

Granula penyimpanan
Granula penyimpanan berfungsi untuk menyimpan cadangan makanan. Umumnya
bakteri menyimpan cadangan makanan yang dibutuhkannya. Struktur dan fungsi
tambahan pada sel bakteri meliputi bagian kapsul, flagellum, pilus, dan fimbria,
klorosom, vakuola gas, serta endospora.

Pengobatan

Antitoksin untuk mengobati botulisme harus disuntikkan langsung ke dalam aliran darah.
Antitoksin akan menempel pada toksin di dalam darah dan mencegahnya mengakibatkan
kerusakan. Pemberian antitoksin tidak dapat menghentikan kerusakan, tetapi dapat
memperlambat atau menghentikan kerusakan fisik dan mental yang lebih lanjut, sehingga
tubuh dapat mengadakan perbaikan selama beberapa bulan. Antitoksin diberikan sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian ini pada umumnya efektif bila
dilakukan dalam waktu 72 jam setelah terjadinya gejala. Antitoksin tidak dianjurkan
untuk diberikan pada bayi, karena efektivitasnya pada infant botulism masih belum
terbukti.

Jika makanan penyebab botulisme teridentifikasi, isi perut mungkin dibersihkan untuk
menghilangkan makanan yang tidak tercerna. Untuk mengeluarkan toksin yang tidak
diserap dilakukan:

perangsangan muntah

pengosongan lambung melalui lavase lambung

pemberian obat pencahar untuk mempercepat pengeluaran isi usus

Selanjutnya, obat-obatan dapat diberikan untuk menginduksi gerakan usus. Sementara


dalam kasus botulisme luka, jaringan di sekitar luka mungkin harus diangkat melalui
pembedahan.

Dalam kasus botulisme pada bayi, antitoksin tidak dianjurkan melainkan Botulism
Immune Globulin Intravenous-Human

Sebuah bentuk alternatif pengobatan yang dikenal sebagai globulin botulisme tersedia
untuk mengobati bayi.

Jika pasien mengalami kesulitan bernafas, dokter mungkin menggunakan ventilator untuk
membantu pernapasan pasien botulisme. Perawatan intensif telah mengurangi angka
kematian karena botulisme, dari 90% pada awal tahun
1900 sekarang menjadi 10%. Tanda-tanda vital (tekanan darah, denyut nadi,

frekuensi nafas dan suhu) harus diukur secara rutin.

Pada botulisme luka, luka yang terinfeksi mungkin perlu dibuang.

Pencegahan

Berikut ini adalah tindakan pencegahan yang sebaiknya diperhatikan secara serius.
Secara ringkas, higienitas adalah kunci pencegahannya.

Mencegah Botulisme pada Bayi

Dari hasil penelitian, madu sebagai sumber kontaminan, oleh karena itu sebaiknya tidak
diberikan pada bayi berusia dibawah satu tahun.

Selain itu, apabila memberikan susu formula, perhatikan tata cara perlakuan sebelum
dikonsumsi bayi. Diantaranya merebus botol susu, menutup segera bungkus susu yang
tersisa dan menyimpannya di tempat yang aman dan bersih.

Mencegah Botulisme pada Luka

Menghindari luka dari kotoran khususnya dari tanah.

Segera memberikan cairan antiseptic.

Tidak menutup luka rapat-rapat (kedap udara).

Mencegah Botulisme Makanan

Sebelum membeli makanan kaleng, perhatikan bentuk wadahnya. Bentuk yang


terkontaminasi kembung secara menonjol, relatif jauh berbeda dengan yang normal.

Ikuti tata cara perlakuan sebelum mengkonsumsi makanan awetan, khususnya yang
dikalengkan, atau rebus hingga mendidih selama 10 menit, waktu dihitung mulai saat
mendidih. Akan jauh lebih baik apabila direbus di dalam panci presto. Demikian juga
untuk jenis makanan awetan tertutup lainnya.

Jika membungkus kentang dalam aluminium foil sebelum memasaknya, makanlah saat
panas/hangat atau simpan di dalam kulkas (bukan dalam suhu kamar).
Bakteri Mycobacterium leprae a. Morfologi

Mycobacterium leprae juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan
penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae
merupakan gram-positif berbentuk tongkat. Mycobacterium leprae merupakan pathogen
intrasel obligat sehingga belum dapat dibiakkan invitro (media tak hidup). Bakteri sering
ditemukan pada sel endothelial pembuluh darah atau sel mononuclear (makrofag) sebagai
lingkungan yang baik untuk bertahan hidup dan perkembangbiakan. Perkiraan waktu bagi
bakteri ini bereplikasi adalah 10-12 hari (Martiny, 2006).

Basil lepra ini tahan terhadap degradasi intraseluler oleh makrofag, mungkin karena
kemampuannya keluar dari fagosom ke sitoplasma makrofag dan berakumulasi hingga
mencapai 1010 basil/gram jaringan pada kasus lepratype lepromatus. Kerusakan syaraf
perifer yang terjadi merupakan sebuah respon dari system imun Karena adanya basil ini
sebagai antigen. Pada lepra type tuberkuloid, terjadi granuloma yang sembuh dengan
sendirinya bersifar berisi sedikit basil tahan asam (Martiny, 2006).
Bakteri Mycobacterium leprae berbentuk batang, langsing atau sedikit membengkok dengan
kedua ujung bakteri tumpul, tidak bergerak, tidak memiliki spora dan tidak berselubung. Sel-
sel panjang, ada kecenderungan untuk bercabang. Berukuran 1-7 x 0,2-0,5µm, bersifat gram
positif, tahan asam, letak susunan bakteri tunggal atau sering bergerombol serupa tumpukan
cerutu sehingga sering disebut packed of cigarette, atau merupakan kelompok padat sehingga
tidak dapat dibedakan antara bakteri yang satu dengan yang lainnya, kadang-kadang terdapat
granulaBentuk-bentuk M. leprae yang dapat ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopis
adalah :

Bentuk utuh (solid): dinding sel bakteri tidak terputus, mengambil zat warna secara
sempurna. Jika terdapat daerah kosong/transparan ditengahnya juga dapat dikatakan
solid

Bentuk globus: adalah bentuk solid yang membentuk kelompok, dapat dibagi 2, yaitu :

•Globus besar terdiri dari 200-300 bakteri

•Globus kecil terdiri dari 40-60 bakteri

Bentuk pecah (fragmented): dinding bakteri biasanya terputus sebagian atau seluruhnya,
tidak menyerap zat warna secara merata.

Bentuk berbutir-butir (granuler): tampak seperti titik-titik yang tersusun

Bentuk clump adalah bentuk granuler yang membentuk kelompok tersendiri, biasanya
llebih dari 500 bakteri.

(Martiny, 2006).

Struktur Mycobacterium Leprae

Meicobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intra-seluler (hanya bisa
hidup dalam sel) dan dapat bertahan terhadap aksi fagositosis karena mempunyai dinding sel
yang sangat kuat dan resisten terhadap aksi lisozim. Mikroskop elektron menunjukkan
ultrastruktur yang umum untuk semua mikobakteria. M.leprae berupa batang lurus dengan
panjang sekitar 1 sampai 8 µm dan diameter 0,3 µm. Pada jaringan yang terinfeksi batang
sering tersusun bersama-sama membentuk globi.
Kapsul

Sekeliling organisme merupakan zona elektron transparan seperti busa atau material
vesikular, merupakan struktur yang unik dari M.leprae. Komposisinya
terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate yang dianggap berperan pada perlindungan
pasif, phenolic glicolipid, yang terdiri dari tiga molekul gula yang mengalami metilasi terpaut
pada molekul fenol dari lemak (phthiocerol). Trisaccharida ini membuat M.leprae unik secara
kimia dan menjadi antigen yang spesifik.

Dinding sel

Terdiri dari dua lapisan :

Lapisan luar berupa elektron transparan dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari
rantai cabang arabinogalaktan yang mengalami esterifikasi dengan mycolic acid rantai panjang,
mirip dengan mikobakteria lain.

Dinding dalam yang terdiri dari peptidoglikan : karbohidrat terpaut dengan peptidanya dimana
urutan asam aminonya spesifik untuk M.leprae meskipun peptida tersebut sangat kecil untuk
dijadikan sebagai antigen diagnostik.

Membrane

Hanya melekat dibawah dinding sel, merupakan membran untuk transpor molekul ke dalam dan
keluar dari mikroorganisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein kebanyakan berupa
enzim dan menurut teori merupakan

target utama dari kemoterapi. Mereka antigen’ yang diekstraksi dari dindi kemudian dianalisa
secara luas.

Sitoplasma

Kandungan bagian dalam dari sel terdiri dari timbunan granul, materi genetik asam
deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang mengalami translasi dan
multiplikasi. Analisa DNA berguna dalam konfirmasi identitas mikrobakteria yang diisolasi dari
armadilos liar, dan menunjukkan suatu M.leprae, melalui perbedaan secara genetik dan
berhubungan erat dengan M.tuberkulosis dan M. scrofulaceum.
Biokimia dan metabolisme

Tanpa adanya organisme yang dikultur sangatlah sulit untuk dipelajari. M. leprae
memetabolisme sumber-sumber karbon melalui jalur klasik dari glikolisis, hexose
monophosphat shunt dan siklus tricarboxylic acid. Energi dibentuk oleh konversi ADP
menjadi ATP dan dihasilkan oleh ATP yang telah mengalami perubahan ADP. Sehingga
oksigen dapat digunakan. Semua bakteri membutuhkan basa purin dari nukleotida untuk
membentuk asam nukleat dan metabolisme oksidatif. Tidak seperti mikobakteria lain M.
leprae tidak melakukan sintesa seperti ini, dan kita dapat mencari mereka dalam sel host.
Mikobakteria juga membutuhkan besi yang diambil dari host oleh chelate mikobactin.
M. leprae kekurangan mikobactin. Defek metabolik seperti ini mungkin menjelaskan
mengapa organisme ini sulit untuk dibiakkan in vitro.Komponen kimia utama dari
M.leprae adalah adalah antigenic.

Koloni dan sifat pertumbuhan

Micobakteria adalah bakteri aerob obligat. Energi didapat dari oksidasi senyawa karbon
yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan. Aktivitas biokimianya tidak khas,
dan laju pertumbuhannya lebih lambat dari bakteri lain, waktu pembelahan adalah sekitar
18 jam. Suhu pertumbuhan optimum 37º C. Koloni cembung, kering dan kuning gading.
d. Pathogenesis

Mycobacterium leprae merupakan basil patogen terutama pada manusia, berkembang lambat
(replikasi setiap 20-30 hari), fuchsin positif, tahan asam, dan tidak mengeluarkan toksin. Sel
schwann merupakan target utama basil ini yang akhirnya menyebabkan kerusakan saraf,
hilangnya axon, demielinisasi, dan kecacatan. Pure neural leprosy diyakini sebagai fase awal
patogenesis lepra sebelum lesi kulit muncul.

Basil ini masuk terutama melalui saluran pernapasan atas dan dapat juga melalui kulit,
kemudian menuju filamen eksoplasmik dan masuk ke dalam sel schwann dan saraf.
Mycobacterium leprae dapat masuk ke dalam sel schwann melalui beberapa cara.
Pertama, selama bakteremia, karena ia memiliki 21kDa specific laminin binding protein
dan phenolic glycolipid I (PGL-1), yaitu suatu glikokonjugat unik pada permukaan
dinding sel basil lepra yang memungkinkan M. leprae menembus perineural dan masuk
ke dalam saraf. Kedua, menembus ujung saraf di dermo-epidermal junction dan berjalan
sentripetal sepanjang akson.

Basil di dalam saraf dan sel schwann kemudian melakukan multiplikasi dan diseminasi,
memulai siklus baru yang invasive dan membentuk granuloma perineural setelah
meninggalkan sel saraf. Sel schwann tidak memiliki enzim lisosom yang mampu
menghancurkan basil ini, sehingga basil lepra dapat bertahan hidup lama di dalam saraf.
Awalnya, basil mungkin difagosit oleh neutrofil, sehingga terjadi lisis parsial dan
terbentuk vakuola fagositosis (phagosomes), namun M. leprae tetap bisa hidup dan
bereplikasi. Kemudian basil ini bermigrasi ke jaringan ikat perivaskular dan ditangkap
oleh makrofag yang kaya enzim lisosom yang mampu membunuh organisme. Pada
pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda-positif, makrofag dapat menghancurkan semua
basil dan mendapatkan sinyal antigenik untuk bertindak sebagai antigen presenting cell
(APC), merangsang cell mediated immunity (CMI), dan akhirnya membentuk granuloma
epiteloid. Sedangkan pada pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda negatif, hanya
terjadi lisis parsial dan fosfolipid bakteri tetap bertahan. Sel lepra atau virchowcytes
mungkin muncul, tetapi sinyal antigeniknya tidak lengkap dan sel-sel tidak dapat
bertindak sebagai APC. Infiltrasi M. lepra ke dalam sel saraf menyebabkan inflamasi
yang menimbulkan kompresi dan kerusakan saraf sensorik yang tidak bermielin dan
saraf otonom. Proses ini akhirnya akan
mengenai saraf motorik yang bermielin. Inflamasi berat akan menyebabkan nekrosis,
sehingga merusak saraf.

e. Siklus hidup

Seperti mikobakteri lainnya ( atau bakteri ' acid - fast ' ), Mycobacterium leprae memiliki
waktu yang lama untuk mereplikasi dirinya di luar sel inang. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa Mycobacterium leprae adalah parasit intraseluler fakultatif, tetapi
ada juga yang mengatakan bahwa bakteri tidak bisa bereplikasi sama sekali di luar sel.
Didukung oleh fakta bahwa Mycobacterium leprae belum pernah dikultur in vitro.
Ketika Mycobacterium leprae menemukan host yang tepat maka bakteri ini akan
bereplikasi dengan memakan waktu hingga 13 hari untuk menjalani satu siklus replikasi.
Kusta ditandai dengan replikasi bakteri di dalam vesikel intraseluler makrofag, sel
Schwann, dan sel endotel. Secara umum, Mycobacterium leprae lebih memilih sel-sel
tersebut pada suhu lebih rendah dari tubuh manusia, yang mengapa cenderung
memanifestasikan dirinya di dekat permukaan kulit . Metabolisme Ideal terjadi pada 33 °
C dan pH antara 5,1 dan 5,6.

f. Pengobatan

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada
pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan
klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.

Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan


rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat dan
kombinasi tiga obat pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara
ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat
tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan
dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk
kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson.
Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Vibrio cholerae a. Morfologi

Vibrio cholerae termasuk bakteri gram negative, berbentuk batang bengkok seperti koma dengan ukuran
panjang 2-4 um.(Gambar 1) Pada isolasi, Koch

menamakannya “kommabacillus”, Tapi bila menjadi batang yang lurus yang mirip dengan bakteri enteric
gram negative. Kuman

ini dapat bergerak sangat aktif karena mempunyai satu buah flagella polar yang halus (monotrikh).
Kuman ini tidak membentuk spora. Pada kultur dijumpai koloni yang cembung (convex), halus dan bulat
yang keruh (opaque) dan bergranul bila disinari.

b. Fisiologi

Vibrio cholerae bersifat aerob atau anaerob fakultatif. Suhu optimum untuk pertumbuhan pada suhu 18-
37°C. Dapat tumbuh pada berbagai jenis media, termasuk media tertentu yang mengandung garam
mineral dan asparagin sebagai sumber karbon dan nitrogen. V. cholerae ini tumbuh baik pada agar
Thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS), yang menghasilkan koloni berwarna kuning (Gambar 2) dan
pada media TTGA (Telurite-taurocholate-gelatin-agar).

Salah satu ciri khas dari vibrio cholerae ini adalah dapat tumbuh pada pH yang sangat tinggi (8,5-9,5) dan
sangat cepat mati oleh asam. Pertumbuhan sangat baik pada pH 7,0. Karenanya pembiakan pada media
yang mengandung karbohidrat yang dapat difermentasi, akan cepat mati. . V. cholerae meragi sukrosa dan
manosa tanpa menghasilkan gas tetapi tidak meragi arabinosa. Kuman ini juga dapat meragi nitrit.
Ciri khas lain yang membedakan dari bakteri enteric gram negative lain yang tumbuh
pada agar darah adalah pada tes oksidasi hasilnya positif.

c. Struktur antigen

Semua Vibrio cholerae mempunyai antigen flagel H yang sama. Antigen flagel H ini
bersifat tahan panas. Antibodi terhadap antigen flagel H tidak bersifat protektif. Pada uji
aglutinasi berbentuk awan. Antigen somatik O merupakan antigen yang penting dalam
pembagian grup secara serologi pada Vibrio cholerae. Antigen somatic O ini terdiri dari
lipopolisakarida. Pada reaksi aglutinasi berbentuk seperti pasir. Antibodi terhadap antigen
O bersifat protektif.. Vibrio cholerae serogroup O1 memiliki 3 faktor antigen : A, B dan C
yang membagi grup O1 menjadi serotipe Ogawa, Inaba dan Hikojima.

d. Pathogenesis

Dalam keadaan alamiah, Vibrio cholerae hanya pathogen terhadap manusia. Seseorang
yang memiliki asam lambung yang normal memerlukan menelan sebanyak 1010 atau
lebih V. cholerae dalam air agar dapat menginfeksi, sebab kuman ini sangat sensitive
pada suasana asam. Jika mediatornya makanan, sebanyak 102 - 104 organisme yang
diperlukan, karena kapasitas buffer yang cukup dari makanan. Beberapa pengobatan dan
keadaan yang dapat menurunkan kadar asam dalam lambung membuat seseorang lebih
sensitive terhadap infeksi Vibrio cholera.

Entecotoksin

V. cholerae ini menghasilkan enterotoksin yang tidak tahan asam dan panas, dengan berat
molekul sekitar 90.000 yang mengandung 98% protein, 1% lipid dan 1% karbohidrat.
Pada tiap molekul enterotoksin Vibrio cholerae terdiri dari 5 sub unit B (binding) dan 1 sub unit A
(active). Sub unit A ini mempunyai 2 komponen A1 dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor
ganglion pada permukaan enterocytes melalui 5 sub unit B. Sedangkan komponen A2 sub unit
mempercepat masuknya enterotoksin ke sel dan komponen A1 sub unit bertugas meningkatkan aktivitas
Adenil siklase akibatnya produksi cyclic AMP meningkat yang menyebabkan meningkatnya sekresi
cairan dan elektrolit (Gambar 4) sehingga menimbulkan diare massif dengan kehilangan cairan

mencapai 20 liter perhari “watery dia dehidrasi, syok, gangguan elektrolit dan kematian.

Perlekatan

V. cholerae tidak bersifat invasive, kuman ini tidak masuk ke dalam aliran darah tetapi tetap berada di
saluran usus. V. cholerae yang virulen harus menempel pada mikrovili permukaan sel epitelial usus baru
menimbulkan keadaan patogen. Disana mereka melepaskan toksin kolera (enterotoksin). Toksin kolera
diserap di permukaan gangliosida sel epitel dan merangsang hipersekresi air dan klorida dan
menghambat absorpsi natrium. Akibatnya kehilangan banyak cairan dan elektrolit, Secara histology,
usus tetap normal.

Gambar 4. Gambaran skematis aktivitas dari enterotoksin Vibrio cholera e. Pengobatan

Prinsip dalam pengobatan kolera ini adalah mengganti air dan elektrolit untuk mengurangi dehidrasi dan
kekurangan garam dengan memasukkan secara intravena cairan yang mengandung Natrium, Kalium,
Chloride dan Bicarbonate. Antibiotika
yang sering digunakan untuk melawan kuman ini adalah Tetrasiklin. Tetrasiklin yang diberikan peroral
dapat mengurangi keluarnya tinja yang mengandung kuman kolera dan memperpendek masa ekskresi Vibrio
cholerae.

Tetrasiklin juga memperpendek waktu timbulnya gejala klinis pada penderita kolera. Pada beberapa daerah
endemic, V. cholerae yang resisten dengan tetrasiklin telah muncul, dibawa oleh plasmid yang mudah
berpindah. Tetrasiklin juga berguna pada penderita carrier sebab konsentrasinya pada empedu.

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan perbaikan sanitasi khususnya makanan dan air melalui pendidikan.
Pasien kolera seharusnya diisolasi, ekskresinya didisinfeksi dan orang-orang kontak diawasi.
Khemoprofilaksis dengan obat antimikroba mungkin diperlukan.

G. Clostridium tetani

Morfologi

Clostridium tetani berbentuk batang yang panjang dan halus dengan ukuran panjang berkisar 3-8 µm dan lebar 2-
5 µm. Pada pewarnaan termasuk dalam golongan bakteri gram positif, tetapi pada biakan yang lama dapat
menjadi bakteri gram negative. Bakteri ini juga dapat bergerak aktif karena memiliki flagella peritrich.

Clostridium tetani mempunyai ciri khas memiliki spora yang lebih besar dari diameter badan kumannya
sehingga kelihatan menggembung. Letak spora biasanya di

terminal dari badan kuman sehingga bakt

(Gambar 1). Spora ini tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan terlihat seperti bagian kosong dari
badan kuman. Pada biakan yang lama, sel vegetatif akan rusak dan melepaskan sporanya menjadi spora
yang bebas.
Gambar 1. Clostridium tetani dengan karakteristik seperti raket tennis.

b. Fisiologi

Kuman ini hanya dapat tumbuh dalam suasana yang anaerob (obligate anaerob) dengan
temperature pertumbuhan 37ºC dan pH optimum 7,4. . Hal ini disebabkan kuman ini
tidak mampu menggunakan oksigen sebagai akseptor hydrogen akhir dan tidak
mempunyai sitokrom, serta sitokrom oksidase sehingga tidak dapat memecah hydrogen
proksidase. Karena itu bila terdapat oksigen, H2O2 cenderung tertimbun sampai
mencapai level toksik. Yang dapat menyebabkan kuman ini akan mati.

Gambar 2. Clostridium tetani dengan endospora di terminal Untuk mendapatkan suasana


anaerob dapat dilakukan dengan 2 cara :

Lempeng agar atau tabung reaksi diletakkan dalam anaerobic jar (bejana anaerob),
dimana udara dibuang dan diganti dengan nitrogen dan CO2 10% atau oksigen juga dapat
dibuang dengan menggunakan gaspack.

Kultur cair diletakkan dalam tabung panjang yang mengandung jaringan hewan segar
(misalnya cincangan daging rebus) atau agar-agar 0,1% dari Tioglikolat.

Dan ditambahkan paraffin diatasnya untuk menciptakan suasana anaerob. Bakteri


anaerob hanya dapat melangsungkan metabolismenya pada potensial

reduksi oksidasi negative (E1) yaitu dalam lingkungan yang sangat kuat mereduksi.
Bentuk koloni pada Clostridium tetani, akan kita temukan koloni yang tumbuh

tipis yang meluas dalam jalinan filament yang halus pada agar darah. Pada agar darah
juga akan membentuk daerah hemolisis. Pada media cooked meat broth dijumpai
pertumbuhan kuman dalam jumlah kecil setelah 48 jam.

c. Struktur antigen
Antigen flagella (H), somatic (O) dan antigen spora dapat dijumpai pada Clostridium
tetani. Antigen spora berbeda dari antigen H dan antigen O pada sel somatic. Organisme
ini dapat dibagi menjadi 10 tipe berdasarkan antigen flagellarnya. Clostridium tetani
mempunyai kelompok agglutinasi somatic tunggal untuk semua strain yaitu dengan
menggunakan fluorescein-labeled antisera. Dan menghasilkan neurotoksin dari tipe
antigenic yang sama, yaitu tetanospasmin serta dinetralisasi dengan antitoxin tunggal.

Pathogenesis

Clostridium tetani bukanlah kuman yang bersifat invasive, dia tetap berada pada daerah luka /
jaringan yang rusak, tempat dimana spora masuk. Bila keadaan memungkinkan yaitu dalam
keadaan anaerob maka kuman ini berkembang dengan cepat dan dapat menimbulkan
toksemia. Keadaan anaerob ini biasanya terjadi karena adanya :

Jaringan nekrotik.

Adanya garam kalsium.

Adanya kuman piogenik lainnya, maka spora akan menjadi bentuk vegetatif dan
eksotoksin yang dibentuk akan menjalar menuju Susunan Saraf Pusat, melalui jaringan
perineural, pembuluh darah atau pembuluh limfe.

Pada Susunan Saraf Pusat toksin ini mengikat diri pada ganglion di batang otak dan
sumsum tulang belakang. Toksin bekerja secara blockade, dengan dikeluarkannya
mediator penghambat sinapsis neuron motorik. Hasilnya hiperrefleksia dan spasme otot
tubuh terhadap rangsangan apa saja.

Satu tetanospasmin yang sudah terikat dengan jaringan saraf tidak dapat lagi dinetralisasi
dengan antitoxin. Tetanospasmin juga mengganggu system saraf otonomik, Dengan
manifestasi klinis seperti keringat yang berlebihan, turun naiknya tekanan darah,
takikardi dan arritmia cordis serta meningkatnya pelepasan katekolamin.

e. Manifestasi klinis

Masa inkubasi penyakit tetanus ini berkisar antara 5 hari –15 minggu, rata-rata 8-12 hari.
Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak, didahului oleh ketegangan otot terutama otot
rahang (lock jaw) dan leher. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus) karena
spasme dari otot maseter. Diikuti dengan kejang pada kuduk, dinding
perut dan sepanjang tulang belakang (opistotonus). Bila serangan kejang tonik sedang
berlangsung, tampak risus sardonicus, akibat spasme otot muka. Serangan dapat dicetuskan
oleh rangsang suara, cahaya maupun sentuhan, akan tetapi dapat juga timbul spontan. Karena
kontraksi sangat kuat dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi urin bahkan dapat terjadi
fraktur columna vertebralis (pada anak).

Ciri khas dari penderita tetanus ini, walau telah terjadi kejang tonik diseluruh otot-otot
bergaris, pasien masih dalam kesadaran penuh dan merasa sangat nyeri. Kematian biasanya
terjadi akibat gangguan mekanisme pernafasan. Angka kematian tetanus secara umum masih
sangat tinggi.

Mycoplasma pneumonia

Karakteristik umum

Asal mula mikoplasma tidak diketahui dengan jelas. Genom terkecil mikoplasma lebih kecil
daripada dua kali genom virus besar tertentu. Mikoplasma adalah organisme terkecil yang
dapat hidup bebas di alam dan bereplikasi sendiri pada medium laboratorium. Bakteri ini
mempunyai karakteristik umum sebagai berikut:

Ukuran terkecil mikoplasma yaitu 125-250 nm

Mikoplasma sangat pleomorfik karena dinding selnya tidak kaku dan dilapisi tiga lapis
membran unit yang mengandung sterol (mikoplasma memerlukan tambahan serum atau
kolesterol ke dalam medium agar dapat menghasilkan sterol untuk pertumbuhannya)

Mikoplasma sangat resisten terhadap penisilin karena pada dinding selnya tidak terdapat
struktur tempat penisilin beraksi, tetapi mikoplasma dihambat oleh tetrasiklin atau
eritromisin.

Mikoplasma dapat bereproduksi dalam media bebas sel; pada agar, pusat keseluruhan koloni
melekat di bawah permukaanya

Pertumbuhan dihambat oleh antibodi yang spesifik

Mikoplasma mempunyai afinitas untuk membran sel mamalia

Klasifikasi

Kingdom : Bacteria

Divisi : Tenericutes

Class : Mollicutes
Order : Mycoplasmatales

Family : Mycoplasmataceae

Genus : Mycoplasma

Spesies : Mycoplasma pneumoniae

(Somerson et al., 1963)

c. Morfologi dan identifikasi

Mikoplasma tidak dapat dipelajari dengan metode bakteriologi biasa karena ukuran
koloninya yang kecil dan plastisitas serta kehalusan sel-selnya (karena dinding selnya
tidak kaku). Pertumbuhan dalam medium cair menghasilkan banyak bentuk yang
berbeda. Pertumbuhan pada medium padat terutama terdiri dari protoplasmik plastis
dengan bentuk yang tidak pasti yang dapat dengan mudah mengalami perubahan.
Struktur-struktur ini memiliki ukuran yang sangat bervariasi, diameternya berukuran
mulai dari 50 sampai 300 nm. Morfologinya tampak berbeda-beda, tergantung pada
metode pemeriksaanya (misalnya lapangan gelap, imunofluoresensi, film pewarnaan
Giemsa dan medium padar, cair dan fiksasi agar).

Pertumbuhan dalam pembenihan cair menghasilkan berbagai bentuk yaitu, cincin, batang
dan badan spiral, filament, dan granula. Pertumbuhan pada pembenihan padat pada
dasarnya terdiri atas massa protoplasma plastis dengan bentuk tidak teratur dan mudah
berubah. Mikoplasma mempunyai struktur sangay primitif, yang dapat berubah bentuk
dari bulat yang berdiameter 125-250 nm sampai bentuk filamen kecil dengan panjang
antara beberapa nm sampai 850 nm.
Struktur antigen

Banyak spesies mikoplasma yang secara antingenik dapat dibedakan dari binatang dan
manusia. Spesies diklasifikasikan dengan gambaran biokimia dan serologik. Antingen CF
mikoplasma adalah glikolipid. Antingen untuk uji Elisa adakah protein. Beberapa spesies
mempunyai lebih dari satu serotipe.

Epidemologi

Infeksi Myoplasma pneumonia dapat dijumpai di seluruh dunia dan bersifat endemik.
Prevalensi kasus yang paling banyak dijumpai biasanya pada musim panas sampai ke awal
musim gugur yang dapat berlangsung satu sampai dua tahun. Infeksi tersebar luas dan satu
orang ke orang lain dengan percikan air liur (droplet) sewaktu batuk. Itulah sebabnya infeksi
kelihatan menyebar lebih mudah antara populasi yang padat manusianya misalnya di sekolah,
asrama, pemukiman yang padat dan kompleks militer. Penelitian surveilans menemukan
dalam satu keluarga dengan tiga anak berturut-turut masuk ke Rumah Sakit dengan keluhan
gejala respiratorik yang mana sebelum masuk RS telah mendapat pengobatan Ampisilin tapi
tidak menunjukkan adanya perbaikan. Setelah pemeriksaan serologik ditemui kenaikan empat
kali atau lebih titer antibodi fiksasi komplemen untuk Mycoplasma pneumoniae pada ketiga
anak tersebut. Masa inkubasi penyakit ini relatif lama kira-kira 2-3 minggu, itulah sebabnya
biasanya dalam beberapa anggota keluarga tidak terjadi sakit dalam waktu yang bersamaan.
Biasanya penyakit ini akan memakan waktu yang lama. M.pneumonia yang sudah lama
berada pada host yang telah terinfeksi ini mungkin merupakan suatu faktor penting juga
dalam penyakit epidemik yang disebabkan oleh organisme ini.

f. Patologi

Baru sedikit informasi yang diperoleh mengenai gambaran histopatologi infeksi M.


pneumonia ini pada manusia, penyakit ini jarang menyebabkan kematian. Pada beberapa
kematian yang telah pernah dilaporkan ditemui gambaran interstitial pneumonia dan
bronkiolitis yaitu penebalan dinding bronkus karena edema, penyempitan pembuluh
darah dan infiltrat dari sel mononuklear (Knight, 1980).

Adanya hiperemis pada cabang trakeobronkial dan paru pada umumnya dan pada trakea
terlihat penurunan yang jelas dari aksi cilia dan diikuti dengan hilangnya cilia dan
kemudian terkelupasnya sel epitelnya (Baum, 1985).
g. Pathogenesis

Peranan imunitas (kekebalan) tubuh manusia pada patogenese Pneumonia mikoplasma


masih banyak yang belum jelas. Beberapa penelitian te1ah mernperlihatkan bahwa anak
yang kecil mungkin telah pernah terinfeksi M. pneumoniae, tapi menunjukkan gejala
klinis. Ini oleh karena antigen antibodi yang menimbulkan infiltrat kurang intensitasnya,
sehingga kalau reaksi yang sangat lemah ini tidak menimbulkan gejala klinik. Tetapi
apabila terjadi infeksi yang berulang akan menyebabkan akumulasi imunitas yang
sehingga gejala klinis akan nampak jelas (Wirjodiarjo, 1988).

Perawatan di Chapel Hill membuktikan bahwa anak yang lebih kecil dari 5 tahun Apabila
terinfeksi M. pneumoniae jarang menimbulkan gejala klinis walaupun mempunyai
antibodi yang beredar, tapi limfosit yang beredar itu tidak dapat distimulir oleh antigen
M. pneumoniae, sebaliknya anak umur 5 lebih selain mempunyai beredar, juga
mempunyai limfosit yang respon terhadap antigen M. pneumoniae spesifik (Denny,
1984).

Respon imun yang khas ditimbulkan yakni respon imun yang spesifik dan non spesifik.
Respon imun yang non spesifik yaitu Antibodi Aglutinin dingin, antibodi fiksasi
komplemen, dan respon imun yang spesifik yaitu pembentukan respon imun humoral dan
respon imun selular. Teknik diagnostik secara serologik pada umumnya terjadinya respon
imun non spesifik (Denny, 1984).

Siklus hidup

M.pneumoniae ditularkan melalui ludah penderita kemudian tertelan dan masuk ke inang
yang baru. Bakteri ini hanya dapat berkembangbiak didalam tubuh manusia/hospes. Jika
diluar tubuh hospes hanya dapat bertahan beberapa jam saja itupun dalam keadaan
lembab seperti air ludah kemudian mati. Berkembang sangat pesat dalam paru-paru lebih
tepatnya dalam bronchitis. Akibat banyaknya populasi dalam bronchitis, bakteri akan
naik ke faring untuk mencari jalan dan keluar saat penderita meludah atau bersin. Jika
bersin atau air liur terhirup maka M.pneumonia akan masuk dalam inang baru dan tinggal
untuk berkembamgbiak kembali.
Gambar 1:Sel Mycoplasma pneumoniae pada fase I (8 jam). Membentuk karakteristik
morfologi tubuhnya.

Gambar 2: Mycoplasma pneumoniae pada fase I yang tumbuh (2 hari). Sel menjadi
pendek, kuat dan mulai membentuk filamen sebagai alat gerak.

Gambar 3: Mycoplasma pneumoniae pada fase II (3 hari). Membelah dan membentuk


koloni yang memiliki filamen disekelilingnya.

Gambar 4: Mycoplasma pneumoniae pada fase antara II-III (4 hari).

Gambar 5: Mycoplasma pneumoniae pada fase akhir II (6 hari). Filamen memendek


dengan pusat (inti) yang hampir sama.

Pengobatan

1. Antibiotika

Ampisilin tidak sensitif terhadap infeksi M.Pneumonia ini, karena mikroorganisme ini tidak
mempunyai dinding sel. Kultur secara invitro memperlihatkan sensitivitas terhadap
Eritromisin dan Tetrasiklin,7 obat ini merupakan drug of choice untuk M.Pneumonia. Pada
anak yang lebih kecil dari 10
tahun obat pilihan adalah eritromisin, sedangkan Tetrasiklin dianjurkan oleh karena adanya efek samping
terhadap anak. Obat ini diberi dengan dosis penuh yaitu 250-500 mg 4 kali sehari selama 7-10 hari. Secara
rinci pengobatan untuk infeksi ini yaitu

Dosis Dewasa dengan BB ≥ 26 kg : Tet

Eritromisin 1500 mg/hari dibagi 4 dosis

Anak-anak BB ≤ 25 kg : Tetrasiklin 25

Eritromisin 30-50 mg/kg BB/hari Diberi selama 2 - 3 minggu.

Dengan pemberian obat ini dalam jangka waktu pendek menunjukkan hasil yang baik dengan
menghilangnya manifestasi klinik secara cepat, tapi mikrorganisme ini bisa tidak segera hilang dari sputum
atau hapusan tenggorokan, sehingga dapat mempengaruhi fungsi paru dikemudian hari. Obat baru saat
sekarang ini yang banyak dipakai adalah Roxytromycin yaitu Antibiotik dari golongan Makrolide ternyata
cukup efektif terhadap M.pneumonia dengan efek samping yang sedikit dengan pemberian yang sederhana
dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis diberi per ora1, diberikan selama 7-14 hari.6 Steroid
dapat diberi bila ditemui komplikasi Stevens-Johnson Syndrom.Pengobatan Simptomatik, yaitu dengan
istirahat, pemberian analgetik/antipiretik, antitussive dan asupan cairan jika diperlukan.

Shigella dysenteriae a. Pengertian

Genus Shigella ditemukan sebagai penyebab bacillary disentri oleh ahli mikrobiologi Jepang, Kiyoshi Shiga
pada 1898. Shigella adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan atau air. Organisme Shigella
menyebabkan disentri basiler dan menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui enterotoksin dan
invasi bakteri.

Bakteri Shigella dysenteriae dapat menyebabkan penyakit disentri basilar. Disentri basilar adalah infeksi usus
besar oleh bakteri patogen genus Shigella. Shigella dysenteriae merupakan penyebab penyakit yang paling ganas
dan menimbulkan epidemi hebat di daerah tropis dan subtropis (Soedarto,1996). Pengobatan infeksi dapat
digunakan dengan antibiotik yang telah diresepkan secara luas seperti pada saat sekarang
ini (Gould and Brooker, 2003).

Shigellosis adalah infeksi enterik invasif akut yang disebabkan oleh bakteri yang masuk
kedalam genus Shigella, secara klinis ditunjukkan dengan diare yang sering berdarah.
Shigellosis banyak menjadi endemik di banyak negara berkembang dan juga menjadi
epidemi yang menyebabkan cukup morbiditas dan kematian.

Di antara empat jenis shigella, Shigella dysenteriae tipe 1 ( sd1 ) merupakan yang penting
karena dapat menyebabkan penyakit yang paling parah dan dapat menjadi epidemi di
daerah besar. Kendala utama untuk mengontrol Shigellosis adalah cepat menyebarnya
Shigella dari orang ke orang dan perlawanan antimikrobial yang berkembang cepat.

Makanan yang sering terkontaminasi Shigella adalah salad, sayuran segar (mentah), susu
dan produk susu, serta air yang terkontaminasi. Sayuran segar yang tumbuh pada tanah
terpolusi dapat menjadi faktor penyebab penyakit, seperti disentri basiler atau Shigellosis
yang disebabkan oleh Shigella. Menurut USFDA (1999), diperkirakan 300.000 kasus
Shigellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahun.

Dengan perlakuan secara biokimia shigella relative menjadi tidak aktif bila dibandingkan
dengan spesies Escherichia. Studi-studi yang berkaitan tentang DNA telah menunjukkan
bahwa mereka masuk dalam genus yang sama, nmaun pengelompokan keduanya tetap
dipertahankan karena tidak seperti Escherichia, kebanyakan Shigella adalah patogen dan
berpotensi menyebabkan penyakit yang parah.

Sistematika dan klasifikasi

Sistematika dari Shigella dysenteriae adalah sebagai berikut: Kingdom : Bacteria

Phylum : Proteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae

Genus : Shigella

Spesies : Shigella dysenteriae


Shigella adalah genus gamma proteobacteria dalam keluarga Enterobacteriaceae. Shigella
adalah bakteri Gram-negatif, nonmotile, dan merupakan kuman patogen usus yang
dikenal sebagai agen penyebab penyakit disentri basiler.Bakteri ini menginfeksi saluran
pencernaan dan menyebabkan berbagai gejala, dari diare, kram, muntah, dan mual,
sampai komplikasi yang lebih serius dan penyakit. Terdapat 4 species organisme:

Shigella sonnei, menyebabkan disentri ringan dan bertanggung jawab atas 95% kasus di
Inggris.

Shigella flexneri, menyebabkan disentri sedan, timbul terutama di negara tropis dan
subtropis dan bertanggung jawab atas 5% kasus di Inggris terutama di rumah sakit jiwa.

Shigella boydii, menyebabkan disentri sedang, timbul terutama di negara tropis dan
subtropis.

Shigella shiga, menyebabkan disentri berat, timbul terutama di Timur jauh. Genus Shigella
meliputi empat spesies: S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii dan

sonnei, masing –masing juga disebut sebagai Grup A, B, C dan D. Tiga spesies pertama
meliputi beberapa serotipe. S. sonnei dan S. boydii biasanya menyebabkan penyakit yang
relatif ringan dalam diare yang mungkin berair atau berdarah. S. flexneri adalah penyebab
utama dari shigellosis yang endemik di negara berkembang. Imunitas adalah
serotypespesifik. Shigella dysenteriae tipe 1, juga dikenal sebagai bacillus Shiga, berbeda
dari Shigella lain dalam 4 hal yaitu :

Menghasilkan cytotoxin ampuh (Shiga racun)

Menyebabkan penyakit yang lebih parah, lebih berkepanjangan , dan lebih sering fatal
daripada penyakit yang disebabkan oleh Shigella lain.

Perlawanan terhadap antimicrobials terjadi lebih sering daripada antara lain Shigella

Menyebabkan epidemi besar yang sering terjadi didaerah, sering dengan angka serangan
yang tinggi dan kasus kematian yang lebih tinggi.

Morfologi

Shigella dysenteriae merupakan bakteri Gram negatif yang tipis atau ramping,

tidak berkapsul, tidak membentuk spora, bentuk Coccobacilli terjadi pada perbenihan
muda. Bakteri ini merupakan salah satu bakteri fakultatif anaerob, tetapi dapat tumbuh
dengan baik secara aerob. Koloni Shigella cembung, bundar, transparan dengan diameter
sampai kira-kira 2 mm dalam 24 jam. Semua Shigella memfermentasi glukosa. Shigella
membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang memproduksi gas.

Bakteri ini tidak meragi laktosa, kecuali Shigella sonnei. Ketidakmampuannya untuk
meragikan laktosa membedakan bakteri Shigella pada perbenihan diferensial. Shigella
juga dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu bagian yang dapat memfermentasi manitol
dan yang tidak dapat memfermentasi manitol (Jawetz et al., 2005).

Shigella sp mempunyai susunan antigen yang kompleks. Terdapat banyak tumpang tindih
dalam sifat serologi berbagai spesies dan sebagian besar bekteri ini mempunyai antigen O
yang juga dimiliki oleh bakteri enteric lainnya. Antigen somatic O dari Shigella sp.
adalah lipopolisakarida. Kekhususan serologiknya tergantung pada polisakarida dan
terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi Shigella sp didasarkan pada sifat-sifat biokimia
dan antigeniknya ( Jawetz et al.,2005).

Semua spesies Shigella menyebabkan diare berdarah yang akut dengan menyerang dan
menyebabkan kehancuran dari colonic epitelium. Hal ini menyebabkan pembentukan micro-
ulcers dan peradangan exudates, dan menyebabkan peradangan sel (polymorphonuclear
leucocytes, PMNS ) dan darah muncul pada feses. Feses diarrhoeal yang berisi 106- 108
Shigellae per gram. Sekali diekskresikan, organisme yang sangat peka terhadap kondisi
lingkungan akan hidup dan mati dengan cepat , terutama ketika kondisi lingkungan kering
atau terkena sinar matahari langsung.

d. Sifat biakan

Shigella bersifat fakultatif anaerob tetapi tumbuh paling baik secara aerob. Koloni
berbentuk konveks, bulat, transparan dengan tepi yang utuh dan mencapai diameter
sekitar 2 mm dalam 24 jam. Bakteri Shigella dysentriae berkembang biak dengan
pembelahan biner, artinya Pada pembelahan ini, sifat sel anak yang dihasilkan sama
dengan sifat sel induknya. Pembelahan biner mirip mitosis pada sel eukariot. Badanya,
pembelahan biner pada sel bakteri tidak melibatkan serabut spindle dan kromosom.
Pembelahan Biner dapat dibagi atas tiga fase, yaitu sebagai berikut: (1) Fase pertama,
sitoplasma terbelah oleh sekat yang tumbuh tegak lurus (2) Fase kedua,
tumbuhnya sekat akan diikuti oleh dinding melintang (3) Fase ketiga, terpisahnya kedua sel anak
yang identik. Ada bakteri yang segera berpisah dan terlepas sama sekali. Sebaliknya, ada pula
bakteri yang tetap bergandengan setelah pembelahan, bakteri demikian merupakan bentuk
koloni.

Pada keadaan normal bakteri dapat mengadakan pembelahan setiap 20 menit sekali. Jika pembelahan
berlangsung satu jam, maka akan dihasilkan delapan anakan sel. Tetapi pembelahan bakteri
mempunyai faktor pembatas misalnya kekurangan makanan, suhu tidak sesuai, hasil eksresi yang
meracuni bakteri, dan adanya organisme pemangsa bakteri. Jika hal ini tidak terjadi, maka bumi akan
dipenuhi bakteri.
Struktur antigen

Shigella mempunyai struktur antigen yang kompleks. Sebagian besar kuman mempunyai antigen
O yang juga dimiliki oleh kuman enterik lainnya. Antigen somatik O Shigella adalah
lipopolisakarida. Spesifikasi serologiknya bergantung pada polisakarida itu. Terdapat lebih dari
40 serotipe. Klasifikasi Shigella didasarkan pada sifat-sifat biokimia dan antigennya.

Golongan dan jenis


Manitol
Ornitin

Dekarboksilase

Shigella dysenteriae
A
-
-

Shigella flexneri
B
+
-

Shigella boydii
C
+
-

Shigella sonnei
D
+
+

Sifat pertumbuhan

Semua Shigella memfermentasikan glukosa. Kecuali Shigella sonnei, shigella tidak


memfermentasikan laktosa. Ketidakmampuannya memfermentasikan laktosa membedakan
shigella pada medium diferensial. Shigella membentuk asam dari karbohidrat tetapi jarang
menghasilkan gas. Organisme ini dapat dibagi menjadi organisme yang memfermentasikan
manitol dan tidak memfermentasikan manitol.

Fisiologi
Sifat pertumbuhan adalah aerob dan fakultatif anaerob, pH pertumbuhan 6,4 –7,8 suhu pertumbuhan
optimum 370C kecuali S. sonnei dapat tumbuh pada suhu 450 C. Sifat biokimia yang khas adalah
negative pada reaksi adonitol tidak membentuk gas pada fermentasi glukosa, tidak membentuk H2S
kecuali S.flexneri, negative terhadap sitrat, DNase, lisin, fenilalanin, sukrosa, urease, VP, manitol,
laktosa secara lambat, manitol, xylosa dan negative pada test motilitas. Sifat koloni kuman adalah
sebagai berikut : kecil, halus, tidak berwarna, bila ditanam pada media agar SS, EMB, Endo, Mac
Conkey.

Variasi

Mutan-mutan dengan sifat-sifat biokimia, antigen dan pathogen yang berbeda sering timbul dari strain
induk. Variasi dari bentuk koloni halus (H) menjadi kasar (K) dihubungkan dengan hilangnya daya
invasi.

Habitat

Habitat alami Shigella dysenteriae terbatas pada usus besar manusia dan binatang menyusui, dimana
Shigella dysenteriae memproduksi eksitoksin yang tidak tahan panas yang mempengaruhi usus dan
susunan saraf pusat. Penyebaran Shigella dysenteriae selalu terbatas pada saluran pencernaan,
penyebaran ke dalam alirandarah sangat jarang. Bakteri Shigella dysenteriae dapat menimbulkan
penyakit yang sangat menular (Jawetz et al., 2005).

Daya tahan

Shigella sp yang kurang tahan terhadap agen fisik dan kimia dibandingkan Salmonella. Tahan dalam ½ %
fenol selama 5 jam dan dalam 1% fenol dalam ½ jam. Tahan dalam es selama 2 bulan. Dalam laut selama 2-5
bulan. Toleran terhadap suhu rendah dengan kelembaban yang cukup. Garam empedu konsentrasi yang
tinggi mengambat

pertumbuhan strain tertentu. Kuman akan m

Siklus hidup

Siklus hidup Bila kita menginovulasikan (penanaman bakteri) sejumlah tertentu sel bakteri pada suatu media
di inkubasikan pada kondisi optimum dalam waktu 18-24 jam, maka akan didapat kurva pertumbuhan
jumlah sel bakteri yang hidup. Karena jumlah bakteri sangat besar dan waktu generasi sangat pendek.
Tahapannya yaitu fase penyesuaian (fase lack/adaptasi), fase logaritmik (fase eksponensial/sangat cepat),
fase
pengurangan pertumbuhan (pertumbuhan lambat), fase pertumbuhan tetap (statis), fase menuju
kematian (mati).

l. Pathogenesis dan patologi

Shigellosis disebut juga Disentri basiler, disentri sendiri artinya salah satu dari berbagai gangguan yang
ditandai dengan peradangan usus, terutama kolon dan disertai nyeri perut, tenesmus dan buang air besar
yang sering mengandung darah dan mucus. Habitat alamiah bakteri disentri adalah usus besar manusia,
tempat bakteri tersebut dapat menyebabkan disentri basiler. Infeksi S.dysenteriae praktis selalu terbatas
pada saluran pencernaan, dan invasi bakteri ke dalam darah sangat jarang. S.dysenteriae menimbulkan
penyakit yang sangat menular dengan dosis infektif dari bakteri S.dysenteriae adalah kurang dari 103
organisme dan merupakan golongan Shigella sp yang cenderung resisten terhadap antibiotic (Jewetz et
al., 2005).

Proses patologik yang penting adalah invasi epitel selaput lender, mikroabses pada dinding usus besar
dan ileum terminal yang cenderung mengakibatkan nekrosis

selaput lender, ulserasi superficial, pendarahan, pemben daerah ulkus. Ini terdiri dari fibrin, leukosit, sisa
sel, selaput lender yang nekrotik dan

bakteri. Waktu proses patologik berkurang, jaringan granulasi akan mengisis ulkus sehingga terbentuk
jaringan parut (Jewetz et al., 2005). S. dysenteriae dapat menyebabkan 3 bentuk diare :

Disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai darah, mucus dan pus

Watery diarrhea

Kombinasi antara disentri klasik dengan tinja yang konsisten lembek disertai

darah, mucus, pus dengan watery diarrhea.

Secara klasik, Shigellosis timbul dengan gejala adanya nyeri abdomen, demam, BAB berdarah, dan
feses berlendir. Gejala awal terdiri dari demam, nyeri abdomen, dan diare cair tanpa darah, kemudian
feses berdarah setelah 3 –5 hari kemudian. Lamanya gejala rata-rata pada orang dewasa adalah 7 hari,
pada kasus yang lebih parah menetap selama 3 –4 minggu. Shigellosis kronis dapat menyerupai kolitis
ulseratif, dan status karier kronis dapat terjadi.
Manifestasi ekstraintestinal Shigellosis dapat terjadi, termasuk gejala pernapasan, gejala
neurologis seperti meningismus, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Artritis oligoartikular
asimetris dapat terjadi hingga 3 minggu sejak terjadinya disentri. Pulasan cairan feses
menunjukkan polimorfonuklear dan sel darah merah. Kultur feses dapat digunakan untuk
isolasi dan identifikasi dan sensitivitas antibiotik.

Penata laksanaan Shigellosis dengan pemberian antibakteri seperti kotrimoksazol,


ciprofloksasin, ampisilin, asam nalidixic atau ceftriaxone dapat membantu
memperpendek masa sakit dan sekresi patogen serta meringankan penyakit. Obat-
obat antibakteri tersebut harus digunakan pada situasi tertentu dengan indikasi yang
jelas, indikasi tersebut antara lain untuk mengurangi beratnya penyakit, untuk
melindungi kontak dan indikasi epidemiologis. Resistensi bakteri Shigella sp terhadap
antibiotic dengan segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru, dimana
selama 5 dekade terakhir bakteri Shigellasp telah resisten terhadap berbagai
antibakteri baru yang pada awalnya sangat efektif terhadap infeksi Shigella sp yang
resisten terhadap multiantibiotik, seperti S. dysenteriae tipe 1, ditemukan di seluruh
dunia dan timbul sebagai akibat pemakaian antibiotika yang tidak rasional. Akibat
sering terjadinya resistensi terhadap suatu antibakteri maka pemilihan antibakteri
yang tepat perlu dilakukan, dimana pemilihan antibakteri tergantung kepada
gambaran resistensi bakteri setempat sesuai prevalensi infeksi yang terjadi pada
daerah tersebut (James, 2001).

Sesudah masa inkubasi yang pendek (1-2 hari), ada serangan tiba-tiba berupa sakit
perut, demam, dan diare cair. Diare terjadi akibat pengaruh eksotoksin dalam usus
kecil. Eksotoksin merupakan sebuah protein antigenik (merangsang produksi
antitoksin) dan mematikan pada binatang percobaan. Pada manusia, eksotoksin dapat
menghambat penyerapan gula dan asam amino pada usus kecil (Jawetz et al., 2005).

Shigella sp menghasilkan toksin yang disebut Shigatoksin dan mengadakan


multiplikasi tanpa invasi di dalam jejunum kemudian memproduksi toksin. Toksin ini
kemudian berikatan dengan reseptor dan menyebabkan aktivasi proses sekresi
sehingga terjadi diare cair yang tampak pada awal penyakit, hal ini merupakan tanda
dari sifat enterotoksik shigatoksin. Selanjutnya, perjalanan penyakit melibatkan usus
besar dan invasi jaringan dimana aksi shigatoksin akan memperberat gejalanya. Efek
enterotoksin shigatotoksin lebih pada penghambatan absorpsi elektrolit, glukosa, dan
asam amino dari lumen intestinal (Dzen dkk, 2003). Toksin shigella dysenteriae dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :

Endotoksin

Pada waktu terjadi autolisis, semua Shigella mengeluarkan lipopolisakaridanya yang


toksik. Endotoksin ini mungkin menambah iritasi pada dinding usus.

Eksotoksin (Shigella dysentriae)

S. Dysentriae tipe 1 (basil Shiga) memproduksi eksotoksin tidak tahan panas yang dapat
mempengaruhi saluran pencernaan dan sistem saraf pusat. Eksotoksin merupakan protein
yang bersifat antigenik (merangsang produksi antitoksin) dan mematikan hewan
percobaan. Sebagai enterotoksin, zat ini dpat menimbulkan diare, sebagaimana halnya
enterotoksin. Terapi dengan rehidrasi yang adekuat secara oral atau intravena, tergantung
dari keparahan penyakit. Derivat opiat harus dihindari. Terapi antimikroba diberikan
untuk mempersingkat berlangsungnya penyakit dan penyebaran bakteri.Trimetoprim-
sulfametoksazole atau fluoroquinolon dua kali sehari selama 3 hari merupakan antibiotik
yang dianjurkan. Antibiotik terpilih untuk infeksi Shigella adalah ampisilin,
kloramfenikol, sulfametoxazol-trimetoprim. Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa
kanamisin, streptomisin dan neomisin merupakan antibiotik yang dianjurkan untuk kasus-
kasus infeksi Shigella. Masalah resistensi kuman Shigella terhadap antibiotik dengan
segala aspeknya bukanlah merupakan suatu hal yang baru. Shigella yang resisten
terhadap multiantibiotik (seperti S. dysentriae 1) ditemukan di seluruh dunia dan sebagai
akibat pemakaian antibiotika.

J. Propionibacterium acne a. Pengertian

Propionibacterium acne termasuk dalam kelompok bakteri Corynebacteria.


Propionibacterium acne merupakan difteroid anaerob yang biasanya menetap pada kulit
normal. Bakteri ini ikut serta dalam pathogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase,
yang memecahkan asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat menimbulkan
radang jaringan dan ikut menyebabkan jerawat (Pramasanti, 2008). Propionibacterium
acne merupakan bagian flora kulit normal, kadang-kadang bakteri
ini muncul dalam biakan darah dan harus dibedakan sebagai suatu pencemarbiakan atau penyebab
sebenarnya dari penyakit. Propionibacterium acne kadang-kadang menyebabkan infeksi katup jantung
prostetik dan pintas cairan serebrospinal (Jawetzb et al., 1996).

Gambar 1 Propionibacterium acnes

Adapun klasifikasi dari Propionibacterium acne adalah sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Species : P. Acne

(Brannan, 2007).

b. Morfologi

Propionibacterium acnes adalah berbentuk batang tak teratur dengan ujung meruncing yang tampak
pada pewarnaan gram positif. Bakteri ini dapat tumbuh di udara dan tidak menghasilkan endospora.
Bakteri ini dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara bentuk batang/filamen dengan
bentuk kokoid/bulat.

Propionibacterium acnes memiliki lebar 0,5 –0,8 μm dan memiliki-4μm. p

Propionibacterium acnes memerlukan oksigen mulai dari aerob atau anaerob fakultatif sampai ke
mikroerofilik atau anaerob. Propionibacterium acnes termasuk bakteri yang
tumbuh relatif lambat. Bakteri ini termasuk tipe bakteri anaerob gram positif yang toleran
terhadap udara (Pramasanti, 2008).

Propionibacterium acnes terdapat dalam genus bakteri Corynebacteria. Bakteri ini


sebenarnya termasuk flora normal kulit. Bakteri ini biasanya terdapat pada folikel
sebasea. Namun tidak hanya itu, Propionibacterium acnes juga dapat ditemukan pada
jaringan prostat dan juga paru-paru. Kulit merupakan habitat utama dari bakteri ini,
namun dapat pula diisolasi dari rongga mulut, saluran pernafasan bagian atas, saluran
telinga eksternal, konjungtiva, usus besar, uretra bahkan vagina. Propionibacterium
acnes berfungsi pada patogenesis jerawat dengan menghasilkan lipase yang memecah
asam lemak bebas dari lipid kulit. Asam lemak ini dapat mengakibatkan inflamasi
jaringan ketiak yang berhubungan dengan sistem imun dan mendukung terbentuknya
jerawat. Dalam sebuah penelitian, menunjukkan bahwa genome dari bakteri ini dapat
menghasilkan enzim untuk meluruhkan kulit dan protein, yang mungkin immunogenik
(mampu mengaktifkan sistem kekebalan tubuh).(Pramasanti, 2008).

c. Portal of Entry Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes adalah suatu bagian dari flora normal yang terdapat pada kulit dan
dapat menyebabkan infeksi oportunistik yang menghasilkan lipase sebagai konstributor pada
pembentukan jerawat (Levinson, 2004). Flora anaerobik seperti

Propionibacterium acnes, tinggal di lapisan kulit lebih dalam, dalam folikel rambut,
kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Strohl W.A., 2001)

Acne terjadi ketika lubang kecil pada permukaan kulit yang disebut pori-pori tersumbat.
Pori-pori merupakan lubang bagi saluran yang disebut folikel, yang mengandung rambut
dan kelenjar minyak. Biasanya, kelenjar minyak membantu menjaga kelembaban kulit
dan mengangkat sel kulit mati. Ketika kelenjar minyak memproduksi terlalu banyak
minyak, pori-pori akan banyak menimbun kotoran (tersumbat) (Tirta, 2010). Pada saaat
pori-pori tersumbat, maka bakteri

Propionibacterium acnes juga akan berkembang lebih banyak. Akibat dari pertumbuhan
bakteri yang melebihi jumlah normal sebagai bakteri flora normal, maka akan terjadi
infeksi oportunistik yang menyebabkan terjadinya jerawat (Serena Falcocchio, 2006).
Di antara aktivitas enzimatik, P. acnes lipase (GehA, gliserol-ester hidrolase A)

telah diteliti sebagai salah satu faktor virulensi yang terlibat dalam patogenesis jerawat.

Enzim GehA bertanggung jawab untuk hidrolisis triasilgliserida sebum, sehingga

melepaskan gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol merupakan sumber nutrisi bagi P.

acnes, sedangkan asam lemak mediator inflamasi, kemotaksis, dan iritasi pada sel-sel

folikel sebasea. Selain itu, asam lemak menyebabkan hiperkornifikasi (penebalan kulit

ari) oleh adhesi keratinosit, dan meningkatkan adhesi antara P. acnes satu dengan yang

lain dan antara P. acnes dan sel folikel, yang mendukung kolonisasi dan pembentukan

biofilm P. acnes (Serena Falcocchio, 2006).

d. Mekanisme infeksi dan Manifestasi Klinik

Bakteri ini merusak stratum corneum dan stratum germinativum dengan cara
menyekresikan bahan kimia yang menghancurkan dinding pori. Senyawa kimia yang
dihasilkan oleh bakteri ini yaitu lipase, hialuronidase, protease, lesitinase, dan
neurimidase yang memegang peranan penting pada proses peradangan.
Propionibacterium acnes mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh
yang menyebabkan sebum menjadi padat. Jika produksi sebum bertambah,
Propionibacterium acnes juga akan bertambah banyak yang keluar dari kelenjar sebasea,
karena Propionibacterium acnes merupakan pemakan lemak (Harahap,2000)
Gambar 2 Sebum yang terinfeksi bakteri P. acnes

Setelah menghancurkan dinding pori yang kemudian P.acnes membentuk luka

jerawat (acne lesion). Kondisi ini dapat menyebabkan inflamasi. Asam lemak dan
minyak kulit tersumbat dan mengeras. Jika jerawat disentuh maka inflamasi akan
meluas sehingga padatan asam lemak dan minyak kulit yang mengeras akan
membesar (Anggita Rahmi H, 2015).

Gambar 3 Sel darah putih pada saat terjadinya inflamasi

Propionibacterium acnes menstimulasi inflamasi melalui produksi mediator-mediator


proinflamasi yang berdifusi melalui dinding folikel. Penelitian terkini menunjukkan
bahwa P. acnes mengaktifkan toll-like receptor-2 pada monosit dan neutrofil. Aktivasi
toll-like receptor-2 ini kemudian akan memicu produksi sitokin proinflamasi yang
multipel, seperti IL-12, IL-8, dan TNF. Berikut adalah tahapan terjadinya jerawat
yang menimbulkan inflamasi :
Gambar 4 Tahapan terbentuknya jerawat
Tahap 0

Tahap ini berarti ada tanda-tanda kecil dari jerawat dan sebenarnya tidak perlu
dikhawatirkan, termasuk munculnya jerawat kecil-kecl. Kondisi ini bisa hilang dalam
waktu 1-2 hari, kecuali jika ada tanda bahwa jerawat tersebut membesar.

Tahap 1

Ini adalah tahapan awal dari jerawat yang biasanya dimulai dengan adanya komedo
(whitehead). Terlihat beberapa bintik putih di wajah terutama di ujung hidung, sudut
hidung dan bawah bibir. Kondisi ini tidak menyebabkan peradangan, tapi beberapa
hari kemudian akan timbul titik hitam di daerah tersebut. Jika seseorang
menghilangkannya dengan cara tidak steril, maka akan ada kesempatan bagi jerawat
untuk berkembang lebih lanjut.

Tahap 2

Pada tahap ini akan terlihat peradangan ringan yang biasanya disertai dengan papula.
Papula adalah lesi (luka) kulit yang sedikit membesar tapi dalam ukuran kecil dan
padat. Kondisi ini juga dikenal dengan jerawat ringan, jika bisa diberikan pengobatan
yang baik maka bisa mengendalikan jerawat.

Tahap 3

Dalam tahap ini papula pada kulit sudah mulai berkembang dan terlihat meradang.
Pengobatan ini biasanya harus membutuhkan bantuan medis.

Tahap 4

Jerawat yang muncul sudah berubah menjadi pastules. Pada dasarnya pastules ini
berisi nanah, terlihat meradang dan ada semacam tip putih. Jika sudah mencapai tahap
ini, sebaiknya jerawat tidak dipencet sembarangan.

Tahap 5

Jika masalah kulit ini tidak terkendali, maka bisa memasuki tahap yang parah.
Gumpalan (nodule) akan mulai muncul pada tahap ini. Pastules yang ada lebih
berkembang di wajah yang berisi nanah, sel-sel kulit mati, sel darah putih, bakteri dan
sebum. Gumpalan yang meradang ini bisa meluas ke bagian kulit yang lebih dalam
dan menyebabkan rasa sakit. Jika sudah mencapai kulit yang dalam, maka bisa
menyebabkan parut.

Tahap 6
Pada tahap ini kulit akan terlihat memerah dan darah bisa muncul dari jerawat ini jika timbul luka.
Tahap ini mengakibatkan infeksi dan meningkatkan potensi jerawat berikutnya.

e. Portal of Exit

Propionibacterium tidak secara langsung menyebabkan kerusakan yang signifikan pada kulit.
Sebaliknya, sebagian besar kerusakan yang disebabkan oleh jerawat adalah karena proses inflamasi oleh
sistem imun.

Sistem imun dari beberapa orang mungkin lebih sensitif terhadap P. acnes dan dapat meresponnya secara
kuat, yang dapat menyebabkan gejala inflamasi. Beberapa orang dapat mudah mengenali antigen seperti
peptidoglikan, lipopolysacharides dan protein dari bakteri Propionibacterium acnes. Bahkan DNAnya dapat
dikenali sebagai antigen oleh sistem imun. Bakteri bahkan tidak harus hidup untuk memicu respon imun
yang kuat, bakteri mati juga dapat memicu alarm dengan sistem kekebalan tubuh.

Dalam situasi yang normal, sel darah putih menelan (menfagositosis) semua bakteri yang menginfeksi
dan merangsang inflamasi. Setelah ditelan, sel darah putih mengisolasi bakteri ke kompartemen
intraselular yang disebut fagosom, dan bersama lisosom akan membentuk fagolisosom. Lisosom akan
menghancurkan dan mencerna bakteri menjadi fragmen-fragmen kecil. Beberapa fragmen yang tidak
dapat dicerna akan dikeluarkan oleh fagosit menuju portal of exit yaitu kulit (pori-pori)

Pada kasus yang kronis, reaksi inflamasi oleh sel system imun mengalami kesulitan dalam menangani
invasi bakteri. Sel system imun mulai mengalami disfungsi akibat

proses “cerna” bakteri yang dapat berlang terus mengeluarkan sitokin yang merangsang reaksi inflamasi
terus menerus. Sampai

suatu saat, sel system imun tidak berhasil menangani bakteri dan mengalami apoptosis (kematian). Akibatnya
bakteri akan terus membelah dan memberikan infeksi yang lebih parah. Jika hal ini terjadi, maka pasien perlu
obat untuk mengobatinya.

Pencegahan

Berikut adalah beberapa tips untuk mencegah timbulnya jerawat:

Jagalah selalu kebersihan kulit dengan mencucinya minimal dua atau tiga kali sehari dengan sabun yang
dianjurkan bagi kesehatan kulit. Dan pastikan kulit sudah bersih saat hendak tidur (bersih dan jangan
memakai kosmetik).
Hindari semua jenis makanan dengan gula yang berlebih, terutama coklat dan kacang-
kacangan. Sebaiknya hanya mengonsumsi makanan yang sederhana dan seimbang yang
terdiri dari banyak buah-buahan dan sayur-sayuran segar.

Minumlah banyak air dan jus buah, namun tetap harus menghindari minuman yang
terlampau manis.

Penggunaan tablet vitamin A juga membantu menjaga kesehatan kulit, namun harus
sesuai dengan kebutuhan.

Untuk istirahat, usahakanlah tidur minimal delapan jam setiap malam (bukan delapan jam
setiap hari).

Hindari stres, dan rajinlah berolahraga dan terus jalankan prinsip-prinsip hidup sehat.

Menjemur kulit di panas matahari setiap hari, selain untuk memperoleh vitamin D, panas
matahari berguna untuk kesehatan kulit asal tidak dilakukan berlebihan. X

Pengobatan

Obat jerawat terdapat dalam bentuk sediaan topikal atau obat luar berupa salep, krim,
lotion, jeli dan sabun. Obat jerawat topikal dibagi menjadi 2 yaitu dengan
komedolitik/keratolitik dan antibiotik. Hal ini tergantung dari beratnya radang/infeksi
yang diderita.

 Obat jerawat jenis komedolitik/keratolitik

Obat jerawat jenis komedolitik/keratolitik bisa didapat di pasaran sebagai obat bebas. Zat
aktif yang terkandung dalam obat jerawat jenis obat bebas adalah benzoil peroksida,
asam salisilat, resorsinol.

Benzoil peroksida bekerja secara perlahan-lahan melepaskan oksigen aktif yang


memberikan efek bakteriostatik juga mempunyai efek keratolitik dan mengeringkan
sehingga dapat menunjang efek pengobatan.

Resorsinol mempunyai efek antifungi, antibakteri dan keratolitik, sedangkan Asam


salisilat mempunyai sifat keratolitik, yang dapat melunakkan kulit sehingga dapat
membantu penyerapan obat lain dan fungisida yang lemah.

Sedangkan obat jerawat yang perlu resep dokter sebagai komedolitik/ keratolitik adalah
azelaic acid, tretinoin dan turunannya.
 Obat jerawat jenis antibiotika

Antibiotika untuk obat jerawat adalah klindamisin, eritromisin, dalam sediaannya


bisa tunggal atau kombinasi dengan tretinoin atau benzoil peroksida. Kombinasi ini
bertujuan untuk mencegah resistensi.
DAFTAR PUSTAKA

AOKI, K.R. and B. GUYER. 2001. Botulinum toxin type A and other botulinum toxin serotypes: A comparative
review of biochemical and pharmacological actions. Eur. J. Neurol. 8(suppl 5): 21 –29.

ARNON, S.S. 2001. Botulinum toxin as biological weapon. JAMA 285(8): 1059 –1070.

Albert Balows, William J. Hausler, JR, Kenneth L.Herrmann, Henry D.Isenberg, H. Jean Shadomy ; Manual of
Clinical Microbiology, Fifth Edition, American Society For Microbiology, 1991, pp. 390-391

Anggita Rahmi H, T. C. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica (L.) LESS)
terhadap Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat. Bandung: Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan
Gunung Djati.

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen, A.M.2005. Mikrobiologi Kedokteran.Alih Bahasa : Bagian Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.Jakarta : Salemba Medika.

Breed, R.S., Murray, E.G.D. ,Smith N.R. 1957. Bergey’s Manual of Determi

Seventh Edition.U.S.A : The williams and Wil kins Company.

Brannan, D.K. 2007. Biology of Microbes. Di Dalam: Geis, P.A., editor. Cosmetics Microbiology: A Practical
Approach, Second Edition. Taylor&Francis Group. New York.

Critchley, W. dan K. Siegert. 1991. Water Harvesting. A manual for the design and construction of water
harvesting schemes for plant production. Food And Agriculture Organization Of The United Station. Rome.

Davis CP, Baron S (editor). Medical Microbiology 4th Edition, Chapter 6: Normal Flora. Galveston (TX):
University of Texas Medical Branch at Galveston; 1996

DEMBEK, Z.F., L.A. SMITH and J.M. RUSNAK. 2009. Botulinum Toxin. Medical Aspects of Biological
Warfare. Chap. 16. US Army Medical Department. Borden Institute. pp. 337

–353.

DOLLY, J.O. 1997. Theurapeutic and research exploitation of botulinum neurotoxins. Eur. J. Neurol. 4(suppl 2):
S5 –S10.

DAHLENBORG, M. E. BORCH, and P. RADSTROM. 2003. Prevalence of Clostridium botulinum type B, E


and F in faecal samples from Sweddish cattle Int. J. Food Microbiol. 82: 105 –110.
Denny,F.W. : Infections of the respiratory tract due to mycoplasma pnemnonia, in Kendig JR EL, Chernick V,
Disorder of respository tract in children 4th Ed.WB.Saunders Company, PhiJadelphia pp.338-345, 1984

Freter R, Brickner J, Botney M. et al. Survival and implantation of Escherichia coli in the intestinal tract .
[Internet]. [cited 30 November 2018]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC348005/.X

Guyman LT. Treponema pallidum. In: The Spirochetes, Zinsser Microbiology, 20th ed, editors Joklik WK,
Willett HP, Amos DB, Wilfert CM, Appleton & Lange, California. 1992. Hlm. 657-66.

Harsono (Ed.), Kapita Selekta Neurologi, Gajah Mada University press, edisi 2, oktober 2003, hal 189,192,224.

Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.

Hart, T dan Shears, P., 2004. Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Hipokrates. Jakarta Jawetz, Melnick
and Adelberg’s,MikrobiologiKedokteran 2005(Medical.Microbiology).

Jakarta: Salemba Medika.

Joklik, Willet, Amos ; Zinsser Microbiology, Seventeenth Edition, Appleton Century-Crofts, 1980,

pp. 750-754.

Jawetz, Melnick & Adelberg's, Medical Microbiology, McGraw-Hill Companies Inc, Twenty Second Edition,
2001, pp. 235-237.

Keyser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Keyser’s Medical.Germany:Microb

Thieme; 2005.

KRUGER, M., A.G. HERRENTHEY, W. SCHRODL, A. GERLACH and A. RODLOFF. 2012.

Visceral botulism at dairy farms in Schleswig Holstein, Germany- Prevalence of Clostridium botulinum in feces
of cows, in animal feeds, in feces of the farmers and in house dust. Anaerobe 30:1 –3.

Lukehart SA. Syphilis. In:PrinciplesSpirochetalofInternalMedicine, Disea editors Kasper DL, fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Jameson JL, 16th ed, McGraw

Hills, New York. 2005.p: 977-988.

Liu J, Howell JK, Bradley SD, Zheng Y, Zhou ZH, Norris SJ. Cellular architecture of treponema pallidum:
novel flagellum, periplasmic cone, and cell envelope as revealed by cryo electron tomography. Journal of
Molecular Biology. 2010; (403): 546-61.
Levinson, W. (2004). Medical Microbiology and Imunology, 8th edition. New York: Mc Graw-Hill book
company.

Michael J. Pelczar and E.C.S Chan. 2008. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 2. Jakarta: UI-Press Movita, T.
(2013). Acne Vulgaris. Continuing Medical Education , 269-272.

Norris SJ. Polypeptides of treponema pallidum: progress toward understanding their structural, functional, and
immunologic.1993;rolest’(57):750-79. in Mi

Plorde JJ. Treponemain Spirochetes, Sherris Medical Microbiology An Introduction to Infectious Diseases, 3th
ed, editor Ryan KJ, Printice Hall International Inc. 1994. p; 385-90

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran UI. 1994. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Singh AE, Romanowski B. Syphilis: review with emphasis on clinical, epidemiologic, and some biologic
features, in Clinical Microbiology Reviews. 1999; (12); 187–209.

SMITH, L.D.S. and H. SUGIYAMA. 1988. Botulism. The organism, its toxins, the disease. Charles C. Thomas
(ed). Springfield. III. USA. 171 p.

SUGISHIMA, M. 2003. Aum Shinrikyo and the Japanese law on bioterorism. 2003. Preshop. Disast. Med. 18:
179 –183.

Saising, J.; Hiranrat, A.; Mahabusarakan, W.; Ongsakul, M. & Voravuthikunchai, S.P. 2008.

Rhodomythone from Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. As a Natural Antibiotic for Staphylococcus
Cutaneous Infection. Journal of Health Science, 54(5) 589-595.

Sinaga, E. 2004. Infeksi Nosokomial dan Staphylococcus epidermidis. EGC. Jakarta Staf pengajar FK UI,
Mikrobiologi Kedokteran, Binarupa Aksara, 1993, hal. 174- 175.

Stutman,AR.: Stevens-Johnson. Syndrome and Mycoplasma Pneumonine. Evidence for cutaneous infection.
J.Pediatrics III, pp 845-847, 1987.

Strohl W.A., R. H. (2001). Lippincott’s IllustratedPennsylvaniaReviews: Lippincott Williams & Wilkins,.

Serena Falcocchio, e. a. (2006). Propionibacterium acnes GehA lipase, an enzyme involved in acne
development, can be successfully inhibited by defined natural substances. Journal of Molecular Catalysis B:
Enzymatic 40 , 132–137.

THAKKER, M.M. and P.A. RUBIN. 2004. Pharmacology and clinical applicationof botulinum toxins A and B.
Int. Ophtalmol. Clin. 44: 147 –163.
Tirta, A. S. (2010). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Kelopak Rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn) terhadap Propionibacterium acne, Staphylococcus aureus,
Dan Escherichia coli Serta Uji Bioautografi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Wirjodiarjo M.; Sigarlaki JM., Boediman L, Rahajoe,N.N.; Mycoplasma sebagai


penyebab infeksi saluran nafas akut (ISNA) pada anak . MKI 38, hal 518-522, 1988

Warren Levinson & Ernest Jawetz, Medical Microbiology & Immunology, McGraw-Hill
Companies, Seventh Edition, pp. 125 - 126.

Yeva Rosana. Bakteri dan jamur penyebab infeksi kulit dan jaringan penunjang serta
flora normal [Lecture Slides]. Microbiology Department Medical Faculty, Univeristy of
Indonesia ; 2014.

Anda mungkin juga menyukai