Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM TEKNOLOGI FORMULASI

SEDIAAN NON STERIL


PRAKTIKUM IV: KRIM

Hari, Tanggal Praktikum : Kamis, 7 November 2019

Kelas A2D Farmasi Klinis

Kelompok III

1. I Putu Pasek Ardita Nindya (171200247)


2. I Wayan Juniarsa (171200248)
3. Khoiriyyahtus Sa’diyah (171200249)
4. Komang Ayu Tri Utami Dewi (171200250)
5. Komang Ratih Tirtayani (171200251)
6. Kurniawan Wisnu Putra (171200252)

Dosen Pengampu : I Gusti Ngurah Agung Windra W. P, S.Farm., M.Sc., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL

DENPASAR

2019
KRIM

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Agar mahasiswa mengetahui formulasi dan cara pembuatan krim beserta cara
uji kualitasnya.

II. DASAR TEORI


2.1 Definisi Krim
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk
pemakaian luar.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan setengah
padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar
yang sesuai.
Menurut Formularium nasional, krim adalah sediaan setengah padat, berupa
emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimasudkan untuk pemakaian
luar.
Secara tradisional istilah krim digunakan untuk sediaan setengah padat yang
mempunyai konsistensi relative cair di formulasi sebagai emulsi air dalam minyak
(a/m) atau minyak dalam air (m/a) (Budiasih, 2008).
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat berupa emulsi yang mengandung
satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai
(mengandung air tidak kurang dari 60%) (Ilmu Resep hal 74).
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim
mempunyai konsistensi relative cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri
dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alcohol
berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air (Anonim, 2010).
Krim merupakan obat yang digunakan sebagai obat luar yang dioleskan ke
bagian kulit badan. Obat luar adalah obat yang pemakaiannya tidak melalui mulut,
kerongkongan, dan ke arah lambung. Menurut definisi tersebut yang termasuk obat luar
adalah obat luka, obat kulit, obat hidung, obat mata, obat tetes telinga, obat wasir,
injeksi, dan lainnya (Rowe, 2009).
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak
kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada 2 yaitu: krim
tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dal
am air (M/A). Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumya berupa
surfaktan-surfaktan anionik, kationik dan nonionik (Anief, 2008).
Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada
permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci
atau dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk
mengatasi penyakit kulit seperti jamur, infeksi ataupun sebagai anti radang yang
disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Anwar, 2012).
Kualitas dasar krim, yaitu stabil, selama masih dipakai mengobati. Maka krim
harus bebas dari inkopatibilitas, stabil pada suhu kamar, dan kelembaban yang ada
dalam kamar. Lunak, yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi
lunak dan homogen. Mudah dipakai, umumnya krim tipe emulsi adalah yang paling
mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit. Terdistribusi merata, obat harus terdispersi
merata melalui dasar krim padat atau cair pada penggunaan (Anief, 1994).
Basis krim merupakan bagian terbesar dari bentuk sediaan krim. Umumnya
basis bertendensi memperlambat absorpsi obat menembus epidermis dan permukaan
mukosa. Dari berbagai penelitian ternyata basis mempunyai pengaruh besar terhadap
efektivitas obat yang dibawanya, disebabkan karena jumlahnya yang besar bila
dibandingkan dengan obat yang dibawanya. Berdasarkan pengaruh basis yang
digunakan dalam krim maka perlu diadakan penelitian untuk mencari alternatif yang
mampu memperbaiki kecepatan pelepasan obat dari basis, sehingga obat dapat cepat
diabsorpsi dan menimbulkan efek. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan
kecepatan pelepasan obat dapat ditingkatkan dengan penambahan surfaktan (Lachman,
dkk., 1986).

2.2 Penggolongan Krim


Krim terdiri dari emulsi minyak di dalam air atau disperse mikrokristal asam-
asam lemak atau alcohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan
lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetik dan estetika.
Ada 2 tipe krim, yaitu :
a. Tipe M/A atau O/W
Krim m/a (vanishing cream) yang digunakan melalui kulit akan hilang
tanpa bekas. Pembuatan krim m/a sering menggunakan zat pengemulsi
campuran dari surfaktan (jenis lemak yang ampifil) yang umumnya
merupakan rantai panjang alcohol walaupun untuk beberapa sediaan
kosmetik pemakaian asam lemak lebih popular. Contoh : vanishing cream.
Vanishing cream adalah kosmetika yang digunakan untuk maksud
membersihkan, melembabkan, dan sebagai alas bedak. Vanishing cream
sebagai pelembab (moisturizing) meninggalkan lapisan berminyak/film
pada kulit.
b. Tipe A/M atau W/O
Yaitu minyak terdispersi dalam air. Krim berminyak mengandung zat
pengemulsi A/M yang spesifik seperti adaps lanae, wool alcohol atau ester
asam lemak dengan atau garam dari asam lemak dengan logam bervalesi 2,
misal Ca.
Krim A/M dan M/A membutuhkan emulgator yang berbeda-beda. Jika
emulgator tidak tepat, dapat terjadi pembalikan fasa. Contoh : cold cream.
Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud
memberikan rasa dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pemebersih berwarna
putih dan bebas dari butiran. Cold cream mengandung oil dalam jumlah besar.

2.3 Persyaratan Krim Sebagai obat luar


Persyaratan Krim Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa
persyaratan berikut:
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati, oleh karena itu, krim harus
bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
b. Lunak, semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk yang
dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
c. Mudah dipakai, umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling mudah
dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata, obat harus terdispersi merata melalui dasar
krim padat atau cair pada penggunaan. (Widodo, 2013)
2.4 Dasar salep emulsi
Dasar salep emulsi, ada dua macam yaitu:
a. Dasar salep emulsi tipe A/M seperti lanolin dan cold cream.
b. Dasar salep emulsi tipe M/A seperti vanishing cream dan hydrophilic
ointment. (Anief, 1994)
1) Lanolin cream suatu bentuk emulsi tipe A/M yang mengandung air 25%
dan digunakan sebagai pelumas dan penutup kulit dan mudah dipakai.
2) Cold cream suatu emulsi tipe A/M dibuat dengan pelelehan cera alba,
Cetaceum dan Oleum Amydalarum ditambahkan larutan boraks dalam
air panas, diaduk sampai dingin. Dasar salep ini harus dibuat baru dan
digunakan sebagai pendingin, pelunak dan bahan pembawa obat.
3) Vanishing cream, sebagai dasar untuk kosmetik dengan tujuan
pengobatan kulit. (Anief, 1994)

2.5 Penyimpanan krim


Penyimpanan krim biasanya dikemas baik dalam botol atau dalam tube, botol
yang digunakan biasanya berwarna gelap atau buram. Wadah dari gelas guram dan
berwarna berguna untuk krim yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya.
Tube biasa saja terbuat dari kaleng atau plastic, beberapa diantaranya diberi
tambahan kemasan bila krim akan digunakan untuk penggunaan khusus. Tube dari krim
kebanyakan dikemas dalam tube kaleng dan dapat dilipat yang dapat menampung
sekitar 8,6 gram krim. Tube krim untuk pemakaian topical lebih sering dari ukuran 5
sampai 15 gram (Ansel, 1989).

2.6 Formulasi dasar krim


1. Fase minyak
Fase minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak, bersifat asam.
Contoh : asam asetat, paraffin liq, octaceum, cera, vaselin, setil alcohol,
stearil alcohol dan sebagainya.
2. Fase air
Fase air yaitu bahan obat yang larut dalam air, bersifat basa. Contoh : ntar,
tetraboat (borax, Na, biborat), TEA, NAOH, KOH, gliserin, Na2CO3,
propilenglikol, dan sebagainya.
2.7 Bahan Penyusun Krim
Bahan penyusun krim, antara lain :
a. Zat berkhasiat
b. Minyak
c. Air
d. Pengemulsi (bahan pengemulsi yang digunakan dalam sediaan krim
disesuaikan dengan jenis dan sifat krim yang akan dibuat atau dikehendaki.
Sebagai bahan pengemulsi dapat digunakan emulgide, lemak bulu domba,
setaseum, setil alcohol, stearil alcohol, trietanolamin stearate polisorbat,
PEG.

2.8 Bahan-bahan tambahan dalam sediaan krim


a. Zat Pengawet (untuk meningkatkan stabilitas sediaan )
b. Bahan pengawet (umunya digunakan metal paraben 0,12-0,18% propel
paraben 0,02-0,05%)
c. Pendapar (untuk mempertahankan pH sediaan )
d. Pelembab
e. Anti oksidan (untuk mencegah ketengekin akibat oksidasi oleh cahaya pada
minyak tak jenuh)
2.9 Kelebihan krim
a. Mudah menyebar rata
b. Praktis
c. Mudah dibersihkan atau dicuci
d. Cara kerja berlangsung pada jaringan setempat
e. Tidak lengket terutama tipe m/a
f. Memberikan rasa dingin (cold cream) berupa tipe a/m
g. Digunakan sebagai kosmetik
h. Bahan untuk pemakaian topical jumlah yang diabsorbsi tidak cukup
beracun

2.10 Kekurangan Krim


a. Susah dalam pembuatannya karena pembuatan krim harus dalam keadaan
panas
b. Mudah pecah disebabkan dalam pembuatan formula tidak pas
c. Mudah kering dan mudah rusak khusunya tipe a/m karena terganggu system
campuran terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan
komposisi disebabkan penambahan salah satu fase secara berlebihan.

2.11 Uji kualitas


a. Uji Organoleptis
b. Uji Daya Lekat
Uji daya melekat. Ditimbang krim 0,23 gram diletakkan diatas gelas
obyek yang telah ditentukan luasnya. Diletakkan gelas objek yang lain
diatas krim tersebut. Ditekan dengan beban 1 kg selama 5 menit. Dipasang
gelas objek pada alat tes. Dilepas beban seberat 80 gram. Dicatat waktunya
hingga kedua objek kedua gelas tersebut terlepas.
c. Uji Daya Sebat
Uji daya menyebar. Ditimbang 0,5 gram krim diletakkan ditengah
cawan petri yang berada dalam posisi terbalik. Diletakkan cawan petri yang
lain diatas krim. Dibiarkan selama 1 menit. Diukur diameter krim yang
menyebar. Ditambahkan 50 gram beban tambahan. Didamkan 1 menit dan
diukur diameter setealah beban mencapai 500 gram.

III. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
1) Cawan porselen
2) Spatel logam
3) Penjepit kayu
4) Mortir dan stamper
5) Gelas ukur
6) Waterbath
7) Batang pengaduk
8) Stopwatch
9) Alat evaluasi sediaan
b. Bahan
1) Kloramfenikol 400 mg
2) Nipagin 20 mg
3) Parfum 20 mg
4) Asam stearate 3 mg
5) Trietonalamin 300 mg
6) Lemak bulu domba 600 mg
7) Paraffin cair 5 gram
8) Aquadest 11 gram

IV. PEMBERIAN BAHAN


a. Koramfenikol (Chloramphenicolum, farmakope III (143))
Pemerian : Habur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih sampai
putih kelabu atau putih kekuningan; tidak berbau; rasa sangat pahit.
Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian
etanol (95%)P dan dalam 7 bagian propilenglikol P; sukar larut dalam
kloroform P dan dalam eter P.
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Khasiat : Antibiotikum
b. Nipagin (Methylis parabenum farmakope III (378))
Pemerian : Serbuk hablur halus; putih; hampir tidak berbau; tidak
mempunyai rasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal.
Kelarutan : Larut dalam 500 bagian air, dalam 20 bagian air mendidih,
dalam 3,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 3 bagian aseton P;
mudah larut dalam eter P dan dalam alkali hidroksida; larut
dalam 60 bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak
lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat : Zat tambahan; zat pengawet.
c. Asam Stearate (Acidum stearicum farmakope III (57))
Pemerian : Zat padat keras mengkilat menunjukan sususan hablur; putih
atau kuning pucat; mirip lemak lilin.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut daalam 20 bagian etanol
(95%) P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian eter P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat : Zat tambahan.
d. Trietanolamin (Triaethanolaminum farmakope III (612))
Pemerian : Cairan kental; tidak berwarna hingga kuning pucat; bau lemah
mirip amoniak; hiroskopik.
Kelarutan : Mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%)P; larut dalam
kloroform P.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya.
Khasiat : Zat tambahan.
e. Lemak bulu domba (Adeps Lanae farmakope III (61))
Pemerian : Zat serupa lemak, liat, lekat; kuninng muda atau kuning pucat,
agak tembus cahaya; bau lemah dan khas.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol
(95%)p; mudah larut dalam kloroform p dan dalam eter p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup, baik terlindung dari cahaya di tempat sejuk.
Khasiat : Zat tambahan.
f. Paraffin cair (Paraffinum liquidum farmakope III (474))
Pemerian : Cairan kental, tranparan, tidak berfluoresensi; tidak berwarna;
hampir tidak berbau; hampir tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : Praktis tidak arut dalam air dan dalam etanol (95%) P ; larut
dalam kloroform p dan dalam eter p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya.
Khasiat : Laksativum.
V. CARA KERJA

Siapkan alat dan bahan

Timbang bahan sesuai dengan perhitungan

Masukkan kloramfenikol kedalam mortir, tambahkan nipagin aduk


sampai homogen.

Tambahkan sebagian aquadest aduk sampai homogen (campuran 1)

Buat basis krim : asam stearate, trietanolamin, adeps lanae, paraffin


cair dan sebagian aquadest daam cawan perselin dilebur di atas
watterbath hingga melebur sempurna (campuran 2)

Campurkan campuran 1 dan campuran 2 dalam mortir panas, aduk


cepat

Tambahkan parfum, aduk hingga homogen

Masukkan dalam pot


VI. PERHITUNGAN BAHAN
a) Kloramfenikol 400 mg
b) Vaselin kuning 80 g
c) Adeps lanae 10 g
d) Nipagin 20 g
VII. Data Pengamatan
1. Uji Organoleptis

Produk dipasaran Produk dibuat dilab


(pembanding) (uji )
Warna Putih Kuning

Tekstur Mudah menghilang Mudah menghilang

Bau Khas Khas

2. Uji daya sebar

Beban Produk dipasaran Produk dibuat dilab


(pembanding) (uji )
Tanpa beban 4,1 cm 3,8 cm

Beban 50 g 4,3 cm 3,9 cm

Beban 100 g 4,5 cm 4,1 cm

Beban 150 g 4,8 cm 4,2 cm

Beban 200 g 5,1 cm 4,4 cm

Beban 250 g 5,2 cm 4,5 cm

Beban 300 g 5,4 cm 4,6 cm

Beban 350 g 5,6 cm 4,8 cm

Beban 400 g 5,8 cm 4,9cm

Beban 450 g 6cm 5cm

Beban 500 g 6,1cm 5,1 cm

VIII. Pembahasan
Praktikum kali ini membuat krim yang merupakan salah satu jenis sediaan
semisolida untuk penggunaan topikal. Adapun formulasi krim yang dibuat dengan
bahan aktif antara lain kloramfenikol, Vaseline Kuning, adeps lanae, dan nipagin.
Kloramfenikol merupakan salah satu antimikroba dan antibiotika yang dapat bekerja
dengan menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol umumnya bersifat
bakteriostatik. Kloramfenikol yang digunakan sebesar 1%, sesuai dengan yang telah
ditetapkan dalam literatur yakni kloramfenikol digunakan sebanyak 0,5-1% dalam
sediaan.
Pembuatan sediaan krim harus memiliki basis yang halus agar dalam
penggunaannya tidak mengiritasi kulit pada saat digunakan. Adapun formulasi yang
digunakan pada praktikum kali ini adalah :
R/ Kloramfenikol 400 mg
Vaselin Kuning 80 g
Adeps lanae 10 g
Nipagin 20 mg
Pada praktikum kali ini pembuatan formulasi sediaan krim, kami membuat krim
tipe minyak air ( m/a ), atau fase minyak dalam fase air. Dalam formulasi krim
chloramphenicol dengan menggunakan basis vanishing cream (pelembab) , juga
terdapat 2 fase, yaitu fase air dan fase minyak. Setelah sediaan krim yang kami buat
selesai maka dilakukan uji kualitas dengan membandingkan krim yang beredar
dipasaran (miconazole) dengan krim yang kami buat pada saat praktikum. Dengan cara
uji kualitas menggunakan metode uji organoleptis dan uji daya sebar.
Uji organoleptis, yaitu dengan cara mengamati sediaan dari warna, bau, dan
tekstur. Dari produk krim dipasaran dilihat dari warna, sediaan krim memiliki warna
putih, tekstur yang mudah menghilang dan memiliki bau yang khas. Sedangkan krim
yang kami buat memiliki warna kuning, tekstur yang mudah menghilang dan memiliki
bau yang khas.
Uji daya sebar, untuk melakukan uji daya sebar diperlukan sebanyak 0,5
gram krim yang diletakkan dibagian tengah cawan petri yang terbalik, kemudian
bagian atasnya ditutup dengan cawan petri yang lain dan diukur diameter yang
terjadi sebelum dan setelah ditambahkan beban. Adapun beban yang ditambahkan
adalah 50, 100, 150, 200, 250, 300, 350, 400, 450, 500 gram dan setelah pemberian
masing – masing beban di diamkan selama 1 menit. Setelah 1 menit beban diangkat,
kemudian diukur diameter sebarnya. Pada krim dari pasaran percobaan pertama
dengan beban 50 g, dimana diameter yang diperoleh adalah 4,3 cm. Percobaan kedua
dengan menambahkan beban sebesar 100 g diperoleh diameter yaitu 4,5 cm ; dengan
beban 150 g diperoleh diameter 4,8 cm ; dengan beban 200 g diperoleh diameter yang
sama yaitu 5,1 cm ; penambahan beban 250 g terjadi pelebaran penyebaran krim dimana
diperoleh hasil diameter menjadi 5,2 cm ; beban ditambah menjadi 300 g diperoleh
diameter 5,4 cm ; dengan beban 350 g diperoleh diameter 5,6 cm ; dengan beban 400 g
diperoleh diameter 5,8 cm ; dengan beban 450 g terjadi pelebaran diameter menjadi 6
cm ; dengan beban 500 g pelebaran penyebaran krim menjadi 6,1 cm. Pada uji daya
sebar ini didapatkan bahwa terjadi pelebaran diameter rata-rata 1-2 cm setiap
penambahan beban 50 g. Sedangkan pada krim yang kami buat pada percobaan
pertama penambahan beban sebesar 50 g dimana diameter yang diperoleh adalah 3,9
cm. Percobaan kedua dengan menambahkan beban sebesar 100 g diperoleh diameter
yaitu 4, cm ; dengan beban 150 g diperoleh diameter 4,12 cm ; dengan beban 200 g
diperoleh diameter yaitu 4,4 cm ; penambahan beban 250 g terjadi pelebaran
penyebaran dimana diperoleh hasil diameter menjadi 4,5 cm ; beban ditambah menjadi
300 g diperoleh diameter 4,6 cm ; dengan beban 350 g diperoleh diameter 4,8 cm ;
dengan beban 400 g diperoleh diameter 4,9 cm ; dengan beban 450 g terjadi pelebaran
diameter menjadi 5 cm; dengan beban 500g pelebaran penyebaran krim menjadi 5,1
cm. Pada uji daya sebar ini didapatkan bahwa terjadi pelebaran diameter rata-rata 1-2
cm setiap ditambahkan beban 50 g. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
pelebaran diameter krim yang beredar dipasaran dan yang kami buat karna pelebaran
diameter antara keduanya memiliki rata-rata 1-2 cm.
Pengujian daya sebar ini bertujuan untuk mengetahui kelunakan masa krim
sehingga dapat dilihat kemudahan pengolesan sediaan krim ke kulit. Menurut literatur
persyaratan daya sebar untuk sediaan topikal adalah 5-7 cm. Namun produk krim yang
dibuat pada praktikum kali ini memiliki ukuran diameter yang kurang dari 5-7 cm maka
sediaan yang kami buat dapat dikatakan tidak sesuai dengan literatur, hal ini disebabkan
karena konsistensi dari salep sehingga menyebabkan penyebaran krim menjadi tidak
maksimal.

IX. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan menunjukkan untuk melihat
kualitas sediaan uji yang kita buat dan di pasaran perlu dilakukan uji organoleptis dan
uji daya sebar. Untuk uji organoleptis kedua sediaan berbeda pada warna, sedangkan
pada tekstur dan bau sama. Uji daya sebar ini bertujuan untuk mengetahui kelunakan
masa krim sehingga dapat dilihat kemudahan pengolesan sediaan krim ke kulit.
Menurut literatur persyaratan daya sebar untuk sediaan topikal adalah 5-7 cm. Namun
produk krim yang dibuat pada praktikum kali ini memiliki ukuran diameter yang kurang
dari 5-7 cm maka sediaan yang kami buat dapat dikatakan tidak sesuai dengan literatur,
hal ini disebabkan karena konsistensi dari salep sehingga menyebabkan penyebaran
krim menjadi tidak maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. (1994). Ilmu Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 130-
131.

Anief, Moh. (2008). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 71.

Anonim. (2010). Pedoman Penelitian Kualitatif

Ansel, H, C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi , diterjemahkan oleh Farida Ibrahim,
Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700 Jakarta, UI Press

Anwar, E. (2012). Eksipien Dalam Sediaan Farmasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Dian
Rakyat. Hal. 197.

Budiasih, K. S. 2008. Handbook ibu menyusui. Bandung: Hayati Qualiti

DepKes RI, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Ditjen POM. (1995). Farmakope indonesia Edisi ke IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Hal. 1061, 1066.

Lachman, L., Lieberman, H.A., and Kanig, J.L., 1986, The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy,2nd ed., Lea and Febiger, Philadelphia. 648 – 659

Rowe, R.C, et Al. (2009). Handbook Of Pharmaceutical Excipients, 6th Ed, The
Pharmaceutical Press, Lomdon

Widodo, H. (2013). Ilmu Meracik Obat Untuk Apoteker. Cetakan Pertama. Jogjakarta: Penerbit
D-Medika. Hal. 169, 172-175.

Anda mungkin juga menyukai