KRIM
DISUSUN OLEH
-Ferry Ariyanto
2021
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………………………….1
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………………….…2
BAB 1
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………..…….3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………………….……5-6
BAB III
PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………….7
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………15
3.2 Saran………………………………………………………………………………………..………15
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………..……16
BAB I
PENDAHULUAN
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
duspersi mikrokristal asam-basa lemak atau alcohol berantai panjang dalam air yang dapat
dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Krim
dapat digunakan untukn pemberian obat melalui vaginal (Ditjen POM, 1995)
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak
kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada dua yaitu: krim
tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dalam air (M/A). Untuk membuat krim
digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-surfaktan anionic, kationik dan
nonionic (Anief,2008).
Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada permukaan
tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau
dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk mengatasi
penyakit kulit seperti jamur, infeksi atau pun sebagai anti radang yang disebabkan oleh
berbagai jenis penyakit (Anwar,2012)
Krim minyak dalam air mempunyai air sebagai fase kontinu, dengan tetesan
minyak sebagai fase disperse. Untuk krim air dalam minyak, berlaku sebaliknya. Bagian
realtif lemak dan cairanmempengarui sifat reologi atau aliran suatu krim. Lebih cair
konsistensinya maka lebih mudah mengoleskannya sehingga lebih mudah memakai krim
ini (Polano, 1987)
Terdapat patokan klasik dermatoterapi bahwa pada kelainan yang dinamai
dermatosis yang mudah terangsang (dermatitis akut eksudatif), maka terapi harus dimulai
dengan obat yang lembut seperti kompres basah atau pasta penyejuk. Patokan ini tidak
menjadi kuno dengan ditemukan steroid, yang dapat diterima oleh masyarakat oleh
umumnya dijual dalam bentuk salep atau lebih praktis seperti krim, walaupun
kortikosteroid bisa juga digabung dalam pasta penyejuk atau tanpa kortikosteroid tetap
sangat diperlukan pada keadaan vesikula atau basah akut dan parah. Pada kasus kurang
parah, mungkin cukup krim kortikosteroid saja. Krim menjadi semakin penting dalam
dermatologi karena kemajuannya cepat dalam teknologi emulsi serta ditemukannya
kortikosteroi. Krim biasanya digunakan siang hari dan salep digunakan pada malam hari,
jika diperlukan ia bisa ditutupi dengan perban (Polano, 1987).
BAB III
PEMBAHASAN
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan
obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.Krim mempunyai
konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air.
Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak
dalam air atau dispersi mikrokristal asam asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam
air yang dapat dicuci dengan air (Anonim, 2010).
Selain itu, menurut farmakope Indonesia edis III, Krim adalah bentuk sediaan
setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan
untuk pemakaian luar.
Berdasarkan komposisinya, basis salep dapat digolongkan dalam 4 kelompok besar yaitu
sebagai berikut :
Basis ini lebih mudah dicuci dengan air dibanding basis salep berminyak. Namun basis
ini kurang tepat bila digunakan sebagai pendukung bahan-bahan yang kurang stabil
dengan adanya air. Menurut Jenkins dkk (1957) ada 2 tipe pokok dari basis salep
absorpsi yaitu :
1. Basis anhidrous yaitu yang tidak mengandung air dan mempunyai kemampuan
menyerap air membentuk emulsi minyak air. Contoh: adeps lanae dan hydrophilic
petrolatum.
2. Basis hidrous yaitu basis yang mengandung air, tetapi masih mampumenyerap air
yang ditambahkan; seperti cold cream dan lanolin.
1. Basis emulsi tipe A/M, yaitu emulsi air dalam minyak. Basis ini golongan larut
dalam air dan susah dicuci dengan air. Mengandung emulgator lipofil yang
memiliki daya serap terhadap air yang tinggi maupun air dan kulit. Mudah
dioleskan dan memiliki daya sebar yang baik. Emulgatornya adalah surfaktan yang
mempunyai HLB antara 3-8 bila dipakai surfaktan non ionik. Untuk surfaktan
anionik digunakan sabun bivalen / polivalen
2. Basis emulsi tipe M/A, yaitu emulsi minyak dalam air. Basis ini tidak larut dalam
air, mudah diratakan dan dapat dicuci dengan air. Umumnya emulgator yang
dipakai mempunyai HLB antara 8-16 untuk surfaktan nonionik, misalnya tween dan
eter alkohol lemak atau ester asam lemak dan polioksi etilen, dan sabun monovalen
bila digunakan surfaktan anionik. Contohnya hydrophilic ointment. Basis ini dapat
bercampur dengan sebagian besar bahan obat. Namun tidak menutup kemungkinan
terjadi beberapa peristiwa tak tercampurkan pada obat tertentu. Basis ini tidak
dianjurkan untuk penggunaan salep mata, karena dapat menimbulkan iritasi. Basis
emulsi baik yang bertipe A/M maupun M/A bermasalah dengan penguapan air yang
terkandung dalam sediaan karena dapat menyababkan sediaan menjadi kering. Oleh
karena itu dalam formulasinya perlu ditambahkan humectan yang dapat mencegah
penguapan air, misalnya; propilen glikol dan gliserin.
d. Basis larut dalam air.
Basis ini bersifat anhidrous, larut dalam air dan mudah dicuci dengan air. Contoh
dari golongan ini adalah polietilen glikol (PEG). PEG merupakan hasil kondensasi
etilenoksida dan air. Konsistensinya berbedabeda mulai dari cairan sampai bentuk
padatan tergantung pada berat molekulnya. Sebagian besar obat yang larut dalam air
akan larut pula dalam polietilen glikol (Jenkins dkk, 1957).
Oleh karena krim merupakan sediaan yang berbentuk emulsi, sehingga metode
pembuatannya sesuai dengan metode pada pembuatan emulsi yaitu:
Emulgator disuspensikan ke dalam fase yang tidak terlarut (fase dalam) dengan
menggerusnya secara hati-hati. Suspensi ini selanjutnya diracik dengan bagian fase
yang lain (emulgator larut dalam fase ini, paling tidak terbasahi) menjadi suatu emulsi
primer. Oleh karena emulgator terdistribusi halus dalam bentuk suspensi dan sangat
lambat berubah menjadi emulsi melalui fase yang ditambahkan maka disarankan agar
emulsi primer dibiarkan sebentar, baru kemudian disatukan dengan sisa fase tragakan
untuk membuat emulsi M/A. Menurut aturan umum pembuatan emulsi primer dari
minyak, gom arab dan air dipertahankan perbandingan jumlah 2:1:1:5 bagian (Voigt,
1995).
2. Zat pengawet
Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan dan dimaksudkan untuk
meningkatkan stabilitas sediaan dengan mencegah terjadinya kontaminasi
mikroorganisme. Karena pada sediaan krim mengandung fase air dan lemak maka
pada sediaan ini mudah ditumbuhi bakteri dan jamur.Oleh karena itu perlu
penambahan zat yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Zat
pengawet yang digunakan umumnya metil paraben 0.12% sampai 0,18% atau propil
paraben 0,02%-0,05%.
3. Pendapar
4. Pelembab
5. Pengompleks (sequestering)
Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan tujuan zat ini dapat membentuk
kompleks dengan logam yang mungkin terdapat dalam sediaan, timbul pada proses
pembuatan atau pada penyimpanan karena wadah yang kurang baik. Contoh : Sitrat,
EDTA, dsb.
6. Anti Oksidan
a) Anti oksidan sejati (anti oksigen) Kerjanya: mencegah oksidasi dengan cara
bereaksi dengan radikal bebas dan mencegah reaksi cincin. Contoh: tokoferol,
alkil gallat, BHA, BHT.
b) Anti oksidan sebagai agen produksi. Zat zat ini mempunyai potensial reduksi lebih
tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi dibandingkan zat yang lain kadang-kadang
bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal bebas. Contoh; garam Na dan K dari
asam sulfit.
c) Anti oksidan sinergis. Yaitu senyawa yang bersifat membentuk kompleks dengan
logam, karena adanya sedikit logam dapat merupakan katalisator reaksi oksidasi.
Contoh: sitrat, tamat, EDTA.
7. Peningkat Penetrasi
Zat tambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah zat yang terpenetrasi
agar dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik lewat dermal (kulit).
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penjelsan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpuln
bahwa krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.Krim
mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Krim merupakan salah satu contoh dari emulsi. Dalam krim
terdapat beberapa bahan yang mendukung sediaannya seperti basis, emulgator, zat
aktif, pelarut, pengawet maupun zat tambahan lainnya. Basis terdiri dari berbagai
macam sumber yang bisa diterapkan dalam proses pembuatan krim.
3.2 SARAN
Dengan semakin beredarnya macam-macam sediaan krim saat ini khususnya
dibidang kosmetika, diharapkan pemerintah harus lebih ketat lagi dalam pemeriksaan
kandungan yang terdapat dalam sediaan-sediaan krim terutama krim kecantikan yang
sekarang lagi marak digunakan kaum wanita
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.
Anwar, E.., (2012), Eksipien Dalam Sediaan Farmasi; Karakterisasi dan Aplikasi EdisiI, Dian
Rakyat, Jakarta, Hal: 196, 264-267
Polano, M. K., 1987, Terapi Kulit Topikal, diterjemahkan oleh Petris Adrianto, 16-17, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Anief, 1999, Ilmu Meracik Obat, Cetakan ke-7, 71-73, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Anief, M, 2005, Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Jenkins. 1957. Scoville’s The Art Of Compounding.9th Edition. London: The Blankiston
Division MC Graw Hiill Book Company. Pp : 257.
Martin Alfred, dkk. 1993. Farmasi fisik Edisi Ketiga. UI-PRESS: Jakarta
Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh Soendani N. S., UGM
Press, Yogyakarta
Munson, J.W., 1991, Analisis Farmasi, diterjemahkan oleh Harjana, 231-235, Univeresitas Air
Langga, Surabaya.