Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FARMASETIKA DASAR

KRIM

DISUSUN OLEH

Nama kelompok : -Anjelir Rohmah

-Ferry Ariyanto

-Juwita Admi Inna Matto

-Nimas Ayu Andini

Dosen pengampu : Aji Tetuko, S.farm,M.Sc.,Apt

LABORATORIUM FARMASETIKA DASAR

PRODI S1 FARMASI STIKES AKBIDYO

2021
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………………………………….1

DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………………….…2

BAB 1

PENDAHULUAN………………………………………………………………………………..…….3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………………..…3


1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………………….…………4
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………………………………………..….4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………………….……5-6

BAB III

PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………….7

2.1 Definisi Krim………………………………………………………………………………………7

2.2 Tipe Krim…………………………………………………………………………………………..7

2.3 Basis krim……………………………………………………………………………………….…8-9

2.4 Emulgator Untuk Krim……………………………………………………………………….……10

2.5 Manfaat Krim……………………………………………………………………………...…….…10

2.6 Kelemahan dan Kelebihan krim……………………………………………………………………11

2.7 Cara Pembuatan Krim………………………………………………………………………………12

2.8 Zat Tambahan Krim…………………………………………………………………………..……12-14

BAB IV

PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………………………15

3.2 Saran………………………………………………………………………………………..………15

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………..……16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan berbagai perkembangan teknologi saat ini dibidang kefarmasian, bermacam-
macam bentuk sediaan telah beredar begitu pesat dikalangan masyarakat. Mulai dari
sediaan solid, semi solid hingga liquid telah hadir guna untuk memenuhi permintaan pasar
yang menuntut adanya sediaan farmasi yang lebih baik. Bentuk sediaan solid diantaranya
serbuk, tablet dan kapsul. Untuk semi solid terdapat salep, krim, pasta dan gel. Sedangkan
liquid terdiri atas potio, solution, sirup, susupensi, tetes mata, dan tetes hidung. Dari
berbagai jenis sediaan semi solid, krim merupakan salah satu jenis sediaan semi solid
yang sering digunakan dikalanagn masyarakat.
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relative cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Berbeda dengan
sediaan semi solid (salep) yang mengandung air kurang dari 60%, krim berupa emulsi
kentang mengandung air tapi kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar
(topical).
Penggunaan krim tidak sebatas untuk obat namun juga digunakan sebagai kosmetik
sehingga sediaan ini terus berkembang. Metode serta bahan-bahan pembuatan krim
sangat banyak sekali sehingga diperlukan pembelajaran lebih dalam lagi. Oleh karena itu
perlu dipelajari mengenai krim, tipe krim, basis krim, emulgator untuk krim, manfaat
krim, kelemahan dan kelebihan krim, cara pembuatan krim, dan zat tambahan krim
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari krim?
2. Apa saja tipe dari krim?
3. Apa saja basis dari krim?
4. Apa saja emulgator untuk krim?
5. Apa saja manfaat dari krim?
6. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari krim?
7. Bagaiman cara pembuatan krim?
8. Apa saja zat tambahan dari krim?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari krim
2. Untuk mengetahui tipe dari krim
3. Untuk mengetahui basis dari krim
4. Untuk mengetahui emulgator untuk krim
5. Untuk mengetahui manfaat dari krim
6. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari krim
7. Untuk mengetahui cara pembuatan krim
8. Untuk mengetahui zat tambahan dari krim
BAB II
TUNJAUAN PUSTAKA

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat
terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah
digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
duspersi mikrokristal asam-basa lemak atau alcohol berantai panjang dalam air yang dapat
dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Krim
dapat digunakan untukn pemberian obat melalui vaginal (Ditjen POM, 1995)
Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak
kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada dua yaitu: krim
tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dalam air (M/A). Untuk membuat krim
digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-surfaktan anionic, kationik dan
nonionic (Anief,2008).
Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada permukaan
tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau
dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk mengatasi
penyakit kulit seperti jamur, infeksi atau pun sebagai anti radang yang disebabkan oleh
berbagai jenis penyakit (Anwar,2012)
Krim minyak dalam air mempunyai air sebagai fase kontinu, dengan tetesan
minyak sebagai fase disperse. Untuk krim air dalam minyak, berlaku sebaliknya. Bagian
realtif lemak dan cairanmempengarui sifat reologi atau aliran suatu krim. Lebih cair
konsistensinya maka lebih mudah mengoleskannya sehingga lebih mudah memakai krim
ini (Polano, 1987)
Terdapat patokan klasik dermatoterapi bahwa pada kelainan yang dinamai
dermatosis yang mudah terangsang (dermatitis akut eksudatif), maka terapi harus dimulai
dengan obat yang lembut seperti kompres basah atau pasta penyejuk. Patokan ini tidak
menjadi kuno dengan ditemukan steroid, yang dapat diterima oleh masyarakat oleh
umumnya dijual dalam bentuk salep atau lebih praktis seperti krim, walaupun
kortikosteroid bisa juga digabung dalam pasta penyejuk atau tanpa kortikosteroid tetap
sangat diperlukan pada keadaan vesikula atau basah akut dan parah. Pada kasus kurang
parah, mungkin cukup krim kortikosteroid saja. Krim menjadi semakin penting dalam
dermatologi karena kemajuannya cepat dalam teknologi emulsi serta ditemukannya
kortikosteroi. Krim biasanya digunakan siang hari dan salep digunakan pada malam hari,
jika diperlukan ia bisa ditutupi dengan perban (Polano, 1987).
BAB III
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan
obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.Krim mempunyai
konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air.
Sekarang batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak
dalam air atau dispersi mikrokristal asam asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam
air yang dapat dicuci dengan air (Anonim, 2010).
Selain itu, menurut farmakope Indonesia edis III, Krim adalah bentuk sediaan
setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan
untuk pemakaian luar.

2.2 Tipe Krim

Tipe krim terbagi dua yaitu:


1. Krim tipe air- minyak (A/M) atau O/W
Contoh : sabun polivalen, span, adeps lanac, kolesterol dan cera.
Krim berminyak mengandung zat pengemulsi A/M yang spesifik seperti adeps lane,
wool alcohol atau ester asam lemak dengan atau garam dari asam lemak dengan logam
bervalensi 2, missal Ca.
2. Krim tipe minyak-air (M/A) atau W/O
Contoh : sabun monovalent seperti triethanolaminum stearat, natrium stearat, kalium
stearat dan ammonium stearat (Anief, 2005).
Pembuatan krim m/a sering menggunakan zat pengemulsi campuran dari surfaktan
(jenis lemak yang ampifil) yang umumnya merupakan rantai panjang alcohol walaupun
untuk beberapa sediaan kosmetik pemakaian asam lemak lebih popular.
2.3 Basis Krim

Berdasarkan komposisinya, basis salep dapat digolongkan dalam 4 kelompok besar yaitu
sebagai berikut :

a. Basis salep berminyak

Golongan ini meliputi minyak tumhuh-tumbuhan, lemak-lemak hewan dan hidrokarbon


yang setengah padat. Basis ini tidak dapat campur dengan air dan tidak diabsorpsi oleh
kulit. Keuntungan basis golongan ini adalah sifatnya yang inert dan hanya menyerap
sedikit air dan formulasi atau kulit, serta dapat membentuk lapisan film tahan air yang
mampu mencegah penguapan air sehingga kulit tidak mudah kering dan pecah.
Kelemahan basis ini yaitu kecilnya daya serap air, mudah menjadi rancid (tengik) dan
daya tembus terhadap kulit kecil.

b. Basis salep absorpsi

Basis ini lebih mudah dicuci dengan air dibanding basis salep berminyak. Namun basis
ini kurang tepat bila digunakan sebagai pendukung bahan-bahan yang kurang stabil
dengan adanya air. Menurut Jenkins dkk (1957) ada 2 tipe pokok dari basis salep
absorpsi yaitu :

1. Basis anhidrous yaitu yang tidak mengandung air dan mempunyai kemampuan
menyerap air membentuk emulsi minyak air. Contoh: adeps lanae dan hydrophilic
petrolatum.
2. Basis hidrous yaitu basis yang mengandung air, tetapi masih mampumenyerap air
yang ditambahkan; seperti cold cream dan lanolin.

c. Basis salep emulsi


Basis salep golongan ini ada 2 tipe yaitu:

1. Basis emulsi tipe A/M, yaitu emulsi air dalam minyak. Basis ini golongan larut
dalam air dan susah dicuci dengan air. Mengandung emulgator lipofil yang
memiliki daya serap terhadap air yang tinggi maupun air dan kulit. Mudah
dioleskan dan memiliki daya sebar yang baik. Emulgatornya adalah surfaktan yang
mempunyai HLB antara 3-8 bila dipakai surfaktan non ionik. Untuk surfaktan
anionik digunakan sabun bivalen / polivalen

2. Basis emulsi tipe M/A, yaitu emulsi minyak dalam air. Basis ini tidak larut dalam
air, mudah diratakan dan dapat dicuci dengan air. Umumnya emulgator yang
dipakai mempunyai HLB antara 8-16 untuk surfaktan nonionik, misalnya tween dan
eter alkohol lemak atau ester asam lemak dan polioksi etilen, dan sabun monovalen
bila digunakan surfaktan anionik. Contohnya hydrophilic ointment. Basis ini dapat
bercampur dengan sebagian besar bahan obat. Namun tidak menutup kemungkinan
terjadi beberapa peristiwa tak tercampurkan pada obat tertentu. Basis ini tidak
dianjurkan untuk penggunaan salep mata, karena dapat menimbulkan iritasi. Basis
emulsi baik yang bertipe A/M maupun M/A bermasalah dengan penguapan air yang
terkandung dalam sediaan karena dapat menyababkan sediaan menjadi kering. Oleh
karena itu dalam formulasinya perlu ditambahkan humectan yang dapat mencegah
penguapan air, misalnya; propilen glikol dan gliserin.
d. Basis larut dalam air.

Basis ini bersifat anhidrous, larut dalam air dan mudah dicuci dengan air. Contoh
dari golongan ini adalah polietilen glikol (PEG). PEG merupakan hasil kondensasi
etilenoksida dan air. Konsistensinya berbedabeda mulai dari cairan sampai bentuk
padatan tergantung pada berat molekulnya. Sebagian besar obat yang larut dalam air
akan larut pula dalam polietilen glikol (Jenkins dkk, 1957).

Masing-masing basis salep mempunyai keuntungan dan kelemahan, oleh sebab


itu perlu pertimbangan terlebih dahulu sebelum memilih basis salep. Faktor penting
yang mempengaruhi difusi obat ke dalam fase reseptor adalah kelarutanya di dalam zat
pembawa dan reseptor. Pelepasan optimal diperoleh dari pembawa yang mengandung
konsentrasi minimum pelarut yang diperlukan untuk melarutkan obat tersebut dengan
sempurna. Kontrol kecepatan pelepasan obat dari basis salep dapat dilakukan dengan
metode in vitro maupun in vivo (Lachman dkk, l986). Pelepasan dari bentuk-bentuk
sediaan yang kemudian diabsorpsi di dalam tubuh dikontrol pula oleh sifat fisika kimia
dari obat dan bentuk yang diberikan serta sifat fisika kimia dan fisiologi dari sistem
biologi (Martin dkk, 1993).
2.4 Emulgator/Suspense Untuk Krim

Oleh karena krim merupakan sediaan yang berbentuk emulsi, sehingga metode
pembuatannya sesuai dengan metode pada pembuatan emulsi yaitu:

a. Metode suspensi (Metode Kontinental)

Emulgator disuspensikan ke dalam fase yang tidak terlarut (fase dalam) dengan
menggerusnya secara hati-hati. Suspensi ini selanjutnya diracik dengan bagian fase
yang lain (emulgator larut dalam fase ini, paling tidak terbasahi) menjadi suatu emulsi
primer. Oleh karena emulgator terdistribusi halus dalam bentuk suspensi dan sangat
lambat berubah menjadi emulsi melalui fase yang ditambahkan maka disarankan agar
emulsi primer dibiarkan sebentar, baru kemudian disatukan dengan sisa fase tragakan
untuk membuat emulsi M/A. Menurut aturan umum pembuatan emulsi primer dari
minyak, gom arab dan air dipertahankan perbandingan jumlah 2:1:1:5 bagian (Voigt,
1995).

b. Metode larutan (Metode Inggris)

Emulgator dilarutkan dalam fase luar, fase dalam kemudian diemulsikan ke


dalamnya. Pada umumnya dilakukan peracikan fase terdispersi sedikit demi sedikit ke
dalam bahan pendispersi yang mengandung emulgator (Voigt, 1995).

2.5 Manfaat krim


Krim memiiki manfaat sebagai berikut :
a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit
b. Sebagai bahan pelumas bagi kulit
c. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak langsung dengan zat-zat
berbahaya. (Anief, 1999)
2.6 Kelebihan dan kelemahan Krim
a. Kelebihan krim :
 Mudah menyebar rata
 Praktis Lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air terutama tipe M/A
(minyakdalam air.)
 Cara kerja langsung pada jaringan setempat .
 Tidak lengket, terutama pada tipe M/A (minyak dalam air).
 Bahan untuk pemakaian topical jumlah yang diabsorbsi tidak cukup
beracun,sehingga pengaruh absorpsi biasanya tidak diketahui pasien
 Aman digunakan dewasa maupun anak-anak.
 Memberikan rasa dingin, terutama pada tipe A/M (air dalam minya.k)
 Bisa digunakan untuk mencegah lecet pada lipatan kulit terutama pada bayi, pada
fase A/M (air dalam minyak) karena kadar lemaknya cukup tinggi.
 Bisa digunakan untuk kosmetik, misalnya mascara, krim mata, krim kuku, dan
deodorant.
 Bisa meningkatkan rasa lembut dan lentur pada kulit, tetapi tidak menyebabkan kulit
berminyak
b. kelemahan krim :
 Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe A/M (air dalam minyak) karena
terganggu system campuran terutama disebebkan karena perubahan suu dan
perubahan komposisi disebabkan penambahan salah satu fase secara berlebihan atau
pencampuran dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tersatukan.
 Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan krim harus dalam keadaan panas.
 Mudah lengket, terutama tipe A/M (air dalam minyak).
 Mudah pecah, disebabkan karena dalam pembuatan fomulanya tidak pas.
 Pembuatannya harus secara aseptis
2.7 Cara Pembuatan Krim
1. pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses emulsifikasi. Biasanya
komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan
bersama sama di penangas air pada suhu 70-75°C, sementara itu semua larutan berair
yang tahan panas, komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu yang sama
dengan komponen lemak.
2. Kemudian larutan berair secara perlahan lahan ditambahkan ke dalam campuran
lemak yang cair dan diaduk secara konstan, temperatur dipertahankan selama 5-10
menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak.
3. Selanjutnya campuran perlahan lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus
menerus sampai campuran mengental. Bila larutan berair tidak sama temperaturnya
dengan leburan lemak, maka beberapa lilin akan menjadi padat, sehingga terjadi
pemisahan antara fase lemak dengan fase cair (Munson, 1991).

2.8 Zat tambahan krim

1. Zat untuk memperbaiki konsistensi

Konsistensi sediaan topical diatur untuk mendapatkan bioavabilitas yang


maksimal, selain itu juga dimaksudkan untuk mendapatkan formula yang “estetis” dan
“acceptable”. Konsistensi yang disukai umumnya adalah sediaan yang dioleskan, tidak
meninggalkan bekas, tidak terlalu melekat dan berlemak.Hal yang penting lain adalah
mudah dikeluarkan dari tube. Perbaikan konsistensi dapat dilakukan dengan mengatur
komponen sediaan emulsi diperhatikan ratio perbandingan fasa. Untuk krim adalah
jumlah konsentrat campuran zat pengemulsi.

2. Zat pengawet

Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan dan dimaksudkan untuk
meningkatkan stabilitas sediaan dengan mencegah terjadinya kontaminasi
mikroorganisme. Karena pada sediaan krim mengandung fase air dan lemak maka
pada sediaan ini mudah ditumbuhi bakteri dan jamur.Oleh karena itu perlu
penambahan zat yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Zat
pengawet yang digunakan umumnya metil paraben 0.12% sampai 0,18% atau propil
paraben 0,02%-0,05%.
3. Pendapar

Pendapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH sediaan untuk menjaga


stabilitas sediaan. pH dipilih berdasarkan stabilitas bahan aktif. Pemilihan pendapar
harus diperhitungkan ketercampurannya dengan bahan lainnya yang terdapat dalam
sediaan, terutama pH efektif untuk pengawet.Perubahan pH sediaan dapat terjadi
karena: perubahan kimia zat aktif atau zat tambahan dalam sediaan pada penyimpanan
karena mungkin pengaruh pembawa atau lingkungan. Kontaminasi logam pada proses
produksi atau wadah (tube) seringkali merupakan katalisator bagi pertumbuhan kimia
dari bahan sediaan.

4. Pelembab

Pelembab atau humectan ditambahkan dalam sediaan topical dimaksudkan untuk


meningkatkan hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit menyebabkan jaringan menjadi lunak,
mengembang dan tidak berkeriput sehingga penetrasi zat akan lebih efektif. Contoh
zat tambahan ini adalah: gliserol, PEG, sorbitol.

5. Pengompleks (sequestering)

Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan tujuan zat ini dapat membentuk
kompleks dengan logam yang mungkin terdapat dalam sediaan, timbul pada proses
pembuatan atau pada penyimpanan karena wadah yang kurang baik. Contoh : Sitrat,
EDTA, dsb.

6. Anti Oksidan

Antioksidan dimaksudkan untuk mencegah tejadinya ketengikan akibat oksidasi


oleh cahaya pada minyak tidak jenuh yang sifatnya autooksidasi, antioksidan terbagi
atas :

a) Anti oksidan sejati (anti oksigen) Kerjanya: mencegah oksidasi dengan cara
bereaksi dengan radikal bebas dan mencegah reaksi cincin. Contoh: tokoferol,
alkil gallat, BHA, BHT.
b) Anti oksidan sebagai agen produksi. Zat zat ini mempunyai potensial reduksi lebih
tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi dibandingkan zat yang lain kadang-kadang
bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal bebas. Contoh; garam Na dan K dari
asam sulfit.
c) Anti oksidan sinergis. Yaitu senyawa yang bersifat membentuk kompleks dengan
logam, karena adanya sedikit logam dapat merupakan katalisator reaksi oksidasi.
Contoh: sitrat, tamat, EDTA.

7. Peningkat Penetrasi

Zat tambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah zat yang terpenetrasi
agar dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik lewat dermal (kulit).
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan penjelsan yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik kesimpuln
bahwa krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih
bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.Krim
mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Krim merupakan salah satu contoh dari emulsi. Dalam krim
terdapat beberapa bahan yang mendukung sediaannya seperti basis, emulgator, zat
aktif, pelarut, pengawet maupun zat tambahan lainnya. Basis terdiri dari berbagai
macam sumber yang bisa diterapkan dalam proses pembuatan krim.

3.2 SARAN
Dengan semakin beredarnya macam-macam sediaan krim saat ini khususnya
dibidang kosmetika, diharapkan pemerintah harus lebih ketat lagi dalam pemeriksaan
kandungan yang terdapat dalam sediaan-sediaan krim terutama krim kecantikan yang
sekarang lagi marak digunakan kaum wanita
DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.

Anief, M (2008). Manajemen Farmasi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Anwar, E.., (2012), Eksipien Dalam Sediaan Farmasi; Karakterisasi dan Aplikasi EdisiI, Dian
Rakyat, Jakarta, Hal: 196, 264-267

Polano, M. K., 1987, Terapi Kulit Topikal, diterjemahkan oleh Petris Adrianto, 16-17, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Anief, 1999, Ilmu Meracik Obat, Cetakan ke-7, 71-73, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Anief, M, 2005, Ilmu Meracik Obat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Jenkins. 1957. Scoville’s The Art Of Compounding.9th Edition. London: The Blankiston
Division MC Graw Hiill Book Company. Pp : 257.

Martin Alfred, dkk. 1993. Farmasi fisik Edisi Ketiga. UI-PRESS: Jakarta

Voigt, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh Soendani N. S., UGM
Press, Yogyakarta

Munson, J.W., 1991, Analisis Farmasi, diterjemahkan oleh Harjana, 231-235, Univeresitas Air
Langga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai