Anda di halaman 1dari 20

PATOLOGI

NAMA : EVI APRIANI ARIFIN

NIM : B1A119401

KELAS : 02 ALIH JENJANG

RESPON TUBUH TERHADAP AGEN MENULAR

I. PENDAHULUAN

Penyakit menular terjadi karena adanya proses interaksi antara agen,

penjamu dan lingkungan. Proses interaksiini dapat terjadi kepada individu atau

kelompok. Penyakit ini memiliki berbagai efek dan bervariasi mulai dari

infeksi, kondisi tubuh terlihat normal (terlihat tanpa ada tanda-tanda atau

gejala), kemudian penyakit bertambah parah dan dapat menimbulkan kematian.

Tujuan utama epidemiologi penyakit menular adalah memperjelas proses

infeksi dengan tujuan mengembangkan, melaksanakan,dan mengevaluasi

langkah-langkah pengendalian penyakit dengan tepat (Surahman, 2016).

Agen adalah faktor penyebab penyakit dapat berupa unsur hidup atau mati

yang terdapat dalam jumlah berlebih atau kurang. Agen antara lain dapat

berupa mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit,protozoa), fisika (cahaya,

sinar radio aktif), kimia (pestisida, logam-logam berat, karbon monoksida),

fisik (tekanan atau benturan, unsur pokok kehidupan (udara dan air)),dan gizi

(garam berlebih dan kurang serat) (Surahman, 2016).


Penyakit infeksi adalah Masuknya kuman penyakit kedalam tubuh hingga

menimbulkan gejala-gejala penyakit. Atau juga dapat diartikan sebagai invasi

dan pembiakan mikroorganisme pada jaringan tubuh terutama yang

menyebabkan cidera seluler local akibat kompetisi metabolism, toksin,

replikasi intraseluler atau respon antigen-antibodi.

Infeksi merupakan bagian dari kehidupan yang universal, prinsip-prinsip

yang berpengaruh terhadap hubungan hospes dan agen menular dimana

keadaan yang tepat dari berbagai infeksi yaitu menegaskan bahwa penyakit

menular itu hanya suatu keadaan hasil interaksi antara hospes dan mikroba

yang berlangsung secara kebetulan (Sylvia, 2003).

II. TUJUAN

Mahasiswa mampu menjelaskan respon tubuh terhadap agen menular.

III. BAHAN KAJIAN

(Menurut Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Dan Proses-Proses Penyakit,

Vol. 1 Ed. 6 Oleh: Sylvia A. Price Dan Lorraine M. Wilson).

A. Faktor hospes pada infeksi

Syarat timbulnya infeksi adalah bahwa organisme yang menular

harus mampu melekat, menduduki, atau memasuki hospes dan

berkembang biak paling tidak sampat taraf tertentu. Karena itu tidaklah

mengherankan, bila dalam perjalanan evolusi, spesies hewan termasuk

manusia, sudah mengembangkan mekanisme pertahanan tertentu pada

berbagai tempat yang berhubungan dengan lingkungan.


1. Kulit dan mukosa Oraring

Batas utama antara lingkungan dan tubuh manusia adalah

kulit. Kulit yang utuh memiliki lapisan keratin atau lapisan

tanduk pada permukaan luar dan epitel berlapis gepeng sebagai

barier meanis yang baik sekali terhadap infeksi. Namun jika

terjadi luka iris, abrasi atau maserasi (seperti pada lipatan tubuh

yang selalu basah) dapat memungkinkan agen menular masuk.

Selain sebagai barier sederhana, kulit juga mempunyai

kemampuan tertentu untuk melakukan dekontaminasi terhadap

dirinya sendiri.

Organisme yang melekat pada permukaan luar kulit akan

dilepaskan pada waktu lapisan kulit mengelupas. Selain

dekontaminasi fisik juga terdapat kontaminasi kimiawi yang

terjadi dengan cara berkeringat dan sekresi kelnjar sebasca

yang membersihkan permukaan kulit.

Kulit juga memiliki flora normal yang dapat berpengaruh

terhadap dekotaminasi biologis dengan menghalangi

pembiakan organisme-organisme lain yang melekat pada kulit.

Lapisan mulut dan sebagian besar faring serupa dengan

kulit karena terdiri dari epitel berlapis yang merupakan bagian

dari barier mekanisme untuk mencegah invasi mikroba.

Namun,barier mekanis ini sebenernya memiliki kelemahan

disepanjang gusi dan di daerah tonsil. Mukosa orofaring juga


didekontaminasi oleh aliran saliva yang dengan mudah

menghanyutkan partikel-partikel yang ada. Selain itu terdapat

zat-zat dalam saliva yang menghambat mikroorganisme

tertentu.Mulut dan faring juga memiliki banyak flora normal

yang dapat bekerja untuk menghalangi pertumbuhan beberapa

kuman yang.

2. Saluran Pencernaan

Mukosa lambung adalah tipe kelnjar dan bukan merupakan

barier mekanisme yang baik.Sering teerjadi luka-luka kecil atau

erosi pada lapisan lambung,tetapi tidak mempunyai arti pada

proses infeksi,sebab suasana lambung sendiri sangat tidak

sesuai untuk banyak mikroorganisme. Sebagian besar

disebabkan oleh keasaman lambung yang tinggi dan lambung

cenderung memindahkan isinya ke usus halus dengan proses

yang relatif cepat.

Lapisan usus halus juga bukan barier mekanisme yang

baik,dan secara mudah dapat ditembus oleh banyak bakteri.

Gerakan peristaltic untuk mendorong isi usus berlangsung

cepat sekali sehingga populas bakteri dalam lumen

dipertahankan tetap sedikit.Bila motilitas usus terganggu,

jumlah jasad renik dalam usus halus akan meningkat dan akan

menginvasi mukosa. Bakteri normal yang jumlahnya banyak


ini berkompetisi untuk mendapatkan makanan atau mereka

benar-benar mengeluarkan substansi antibakteri (antibiotik).

3. Saluran pernapasan

Epitel pada saluran nafas misalnya pada lapisan hidung,

lapisan nasofaring, trakea dan bronkus, terdiri dari sel – sel

tinggi yang beberapa diantaranya mengeluarkan mukus, tetapi

sebagian besar diperlengkapi dengan silia pada permukaan

lumen mereka. Tonjolan-tonjolan kecil ini bergetar seperti

cambuk dengan gerakan yang diarahkan kemulut, hidung dan

keluar tubuh. Jika jasad renik terhirup, mereka cenderung

menegnai selimut mukosa yang dihasilkan dari mukus, untuk

digerakkan keluar dan atau dibatukkan atau ditelan.Kerja

perlindungan ini dipertinggi dengan adanya antibodi didalam

sekresi. Jika beberapa agen menghindar dari pertahanan ini dan

mencapai ruang-ruang udara didalam paru-paru, maka disana

selalu terdapat makrofag alveoler yang merupakan barisan

pertahanan lain.

4. Sawaran pertahanan lain

Permukaan lain dalam tubuh dilengkapi dengan

mekanisme-mekanisme pertahanan yang serupa. Dalam saluran

kemih,lapisan epitelnya adalah epitel berlapis banyak yang

memiliki barier mekanis,tetapi salah satu pertahanan utama

saluran kemih adalah kerja aliran kemih dalam menghalau


mikroba keluar.Semua hal yang mengganggu kelancaran aliran

kemih yang normal, apakah itu penyumbatan ureter atau hanya

kebiasaan buruk menahan kencing dapat memudahkan

terjadinya infeksi. Konjungtiva mata sebagian dilindungi secara

mekanis dan yang lain oleh air mata. Mukosa vagina

merupakan epitel yang kuat,berlapis banyak dan sifat

pertahanan mekanismenya diperkuat oleh adanya flora normal

yang berjumlah banyak dan sekresi mucus.

B. Radang sebagai pertahanan

Jika agen yang menular berhail menembus salahs satu barier tubuh

yang memasuki jaringan, maka barisan pertahanan berikutnya dalah

reaksi peradangan akut. Reaksi peradangan adalah suatu keadaan saat

aspek humoral (antibodi) dan aspek seluler pertahanan tubuh bersatu,

efek ofsonisasi antibodi dan komponen-komponen komplemen misalnya,

akan meningkatkan aktivitas fagosit antimikroba. Contoh lian,

mekanisme kekebalan seluler dapat meningkatkan kerja pertahanan yang

dimiliki makrofag.

Jika reaksi peradangan akut tidak sanggup mengatasi kuman itu,

infeksi tersebut dapat meyebar lebih luas keseluruh tubuh. Biasanya

penyebaran terjadi secara pasif bila dipandang dari kerja mikroba, dan

biasanya organisme tersebut dibawah oleh cairan tubuh. Pengeluaran

cairan eksudat dapat memindahkan infeksi. Sebenarnya fagosit juga

dapat menjadi sarana penyebaran jika fagosit tersebut tidak langsung


membunuh kuman tetapi berkelana terlebih dahulu ketempat lain dalam

tubuh. Penyeabaran cenderung terjadi pada ruang perdekatan. Misalnya,

jika ada bagian saluran gastrointestinal yang mengalami ferforasi dan

organisme di dalamnya memasuki ruang peritoneum maka organisme

tersebut dapat menyebar keseluruh permukaan peritonium jika beberapa

agen mencapai suatu permukaan jaringan ikat, seperti sepanjang otot

maka agen tersebut dapat menyebar dengan cepat sepanjang permukaan

itu. Jika organisme yang menular itu dapat mencapai selaput otak

(selaput yang meliputi seluruh sistem sarafpusat), maka organisme itu

akna menyebar dengan cepat keseluruh poros serebrospinalis.

C. Pembuluh limf pada infeksi

Karena alasan-alasan yang penting, maka aliran limf dipercepat

pada keadaan radang akut. Sayangnya hal ini berarti bahwa agen-agen

menular kadang-kadang ikut menyebar dengan cepat sepanjang

pembuluh limfa bersamaan dengan aliran limfa tersebut. Kadang-kadang

mengakibatkan terjadinya limfangitis, tetapi lebih sering agen-agen

menular itu langsung terbawa kekelenjar limfa disini agen tersebut

dengan cepat difagositosis oleh makrofag pada keadaan ini maka cairan

limfa yang mengalir tanpa melewati kelenjar limfa mungkin dapat

terbebas dari agen-agen menular tersebut.

D. Pertahanan terakhir

Jika penyebaran agen menular tidak terhenti pada kelenjar limfa

atau jika agen tersebut langsung memasuki vena pada saat pertama kali,
maka dapat terjadi infeksi pada aliran darah ledakan bakteri dalam aliran

darah dapat terjadi dan peristiwa yang dinamakan bakterimia ini

biasanya didatangi secara cepat dan efektif oleh makrofag dari sistem

monosit makrofag. Namun, jika organisme yang masuk itu berjumlah

sangat besar dan jika organisme tersebut vukup resisten, maka sistem

makrofag dapat ditaklukkan hal ini mengakibatkan organisme tersebut

dapat menetap di dalam darah, dan menimbulkan gejala-gejala malese,

kelemahan dan tanda-tanda demam, menggigil, dan sebagainya. Keadaan

ini dinamakan seftikenia atau sepsis, atau sering juga disebut “keracunan

darah”. Akhirnya pada beberapa keadaan , organisme tersebut dapat

mencapai jumlah yang sangat besar, sehinga mereka bersirkulasi dalam

bentuk gumpalan-gumpalan tersangkut pada banyak organ dan

menimbulkan banyak sekali mikroabses. Keadaan seperti ini dinamakan

septikopiemia atau singkatnya piemia.

E. Faktor mikroba pada infeksi

1. Daya transmisi

Faktor yang penting dalam terjadinya infeksi adalah cara

masuknya agen menular hidup kedalam tubuh cara pemindahan

infeksi yang mungkin paling jelas adalah pemindahan secara

langsung dari satu orang keorang lain, misalnya melalui batuk,

bersin, dan berciuman.

Secara tidak langsung organisme dipindahkan dengan berbagia

cara. Individu yang terinfeksi mengeluarkan organisme ke


lingkungan sekitar dan akan mengendap pada berbagai permukaan,

kemudian organisme tersebut dapat dilepaskan kembali ke udara,

sehingga menyebar secara tidak langsung kepada hospes lain.

Dengan cara serupa, organisme dapat sampai kedalam tanah, air,

makanan atau rantai pemindahan tidak langsung lainnya. Dirumah

sakit, infeksi juga dapat disebarkan melalui eksudat-eksudat dan

ekskreta. Transfusi darah dapat juga menjadi sarana penyebaran

infeksi, seperti pada kasus hepatis virus. Jenis pemindahan . renik

dari satu tempat ke tempat lainnya atau dapat pula bekerja secara

biologis yaitu berperan sebagai hospes perantara dalam beberapa

bagian penting siklus hidu agen menular tersebut.

Sifat intrinsik mikroorganisme tertentu jelas mempengaruhi

daya transmisi atau daya komunikasi. Organisme yang sangat tahan

terhadap kekeringan, seperti organisme yang membentuk spora,

dengan mudah dapat dipindahkan melalui lingkungan. Sebaliknya,

beberapa organisme misalnya spiroketa penyebab sipilis, sangat

sensitif terhadap kekeringan dan perubahan suhu, dua faktor yang

jelas membatasi cara transmisi kuman tersebut faktor selektif

alamiah lain yang memengaruhi daya komunikasi mikroba adalah

daya tahannya terhadap anti bioktika . sering ditemukan dikeadaan

yang mengkhawatirkan yaityu timbulnya strain mikroorganisme

yang tahan terhadap anrtibioktika dan kemudian bergerak dengan

relatif bebas duidalam lingkungan rumah sakit. Satu kepriahatinan


timbul ketika strain mikroganisme yang tahan terhadap antibioktika

muncul dan menyebar dalam lingkungan masyarakat, khususnya

akibat penggunaan regimen pengobatan yang tidak optimal yang

diperbolehkan jika dalam keadaan darurat.

2. Daya Invasi

Sekali masuk kedalam hospes baru, agen mikroba harus mampu

bertahan pada atau dodalam tubuh hospes tersebut untuk dapat

menmbulkan infeksi. Terdapat banyak cara yang digunakan oleh

berbagai agen menular agar dapat hidup pada atau dalam tubuh

hospes. Misalnya kolera disebabkan oleh organism yang tidak pernah

memasuki jaringan, tetapi hanya menduduki epitel usus, melekat

dengan kuat pada permukaan sehingga tidak terhanyut oleh gerakan

usus. Beberapa organism lain, misalnya yang menimbulkan disentri

basiler hanya memasuki lapisan superficial usus, tetapi tidak pernah

masuk lebih jauh kedalam tubuh. Kemudian terdapat organisme lain

seperti agen penyebab tifoid yang tidak saja memasuki lapisan

superfisial usus tetapi juga mencapai aliran darah dan menyebar

keseluruh tubuh. Penyebaran yang serupa dapat dilakukan oleh

spiroketa sifilis, yang dapat menembus membrane mukosa atau kulit

sebagai pintu masuknya dan disebarkan melalui aliran darah dengan

sangat cepat.

Beberapa organisme, setelah memasuki jaringan dan

mendudukinya tidak pernah menyebar sama sekali. Organism yang


menimbulkan tetanus, misalnya tidak menyebar keseluruh tubuh.

Sewaktu tubuh secara lokal organisme ini mensekresi racun yang

dapat dibawah oleh darah dan menimbulkan efek yang tersebar luas

yang menandai adanya penyakit ini. Alas an tentang adanya

perbedaan daya invasi dari berbagai organisme ini tidak diketahui

dengan pasti, tetapi tidak diragukan lagi bahwa semua ini berkaitan

dengan kebutuhan kimia spesifik organisme tersebut dan perluasan

kebutuhan ini dapat dipenuhi pada beberapa tempat.

Mikroorganisme mempunyai cara-cara tertentu untuk menerobos

barier hospes atau menghindari mekanisme pertahanan hospes.

Misalnya, beberapa organisme membentuk kapsul berlendir sehingga

sel-sel fagositik hospes tidak dapat menelan secara efisien.

Organisme lain dapat membentuk enzimatik yang menyebar melalui

zat dasar jaringan ikat melalui proses pencernaan kimia. Organisme

yang lain menyekresi racun yang mematikan leukosit, dengan

demikian organisme ini tidak tertangkap. Berbagai organism bahkan

membentuk daya tahan terhadap lingkungan intraseluler didalam

fagosit dan organisme ini misalnya basil tuberculosis cenderung

menetap sebagai parasit intraselular.

3. Kemampuan Untuk Menimbulkan Penyakit

Pengetahuan kita tentang bagaimana suatu agen menular dapat

menimbulkan penyakit secara kimiawi maupun molekuler relatif

masih sedikit dan baru sekarang ini mulai berkembang. Yang paling
banyak dimengerti adalah keadaan bahwa agen menular sebenarnya

mengeluarkan eksotoksin yang dapat larut kemudian bersirkulasi dan

menimbulkan perubahan-perubahan fisiologis yang nyata yang

bekerja pada sel-sel tertentu. Jadi mekanisme kimia timbulnya

penyakit pada tetanus dan difteri secara relatif sudah diketahui

dengan baik.

Banyak mikroorganisme lain seperti bakteri gram negatif,

sebagian dari strukturnya mengandung endotoksin kompleks yang

dilepaskan waktu mikroorganisme tersebut mengalami lisis.

Walaupun peran biologis endotoksin semacam itu belum dimengerti

dengan sempurna, tetapi sudah diketahui bahwa pelepasan

endotoksin ada hubungannya dengan timbulnya demam dan dalam

keadaan-keadaan yang lebih ekstrim seperti septikemia gram

negative, dengan timbulnya sindrom syok.

Beberapa organisme sebenarnya menyebabkan cedera pada

hospes, sebagian besar melalui cara imunologis. Misalnya, basil

tuberkulosis yang tidak memiliki toksin sendiri. Agaknya penderita

alergi terhadap basil tuberkel (Mekanisme imun yang diperantarai

oleh sel) dan nekrosis kaseosa yang khas terjadi pada peyakit ini

timbul akibat proses imunologis. Dengan cara yang serupa, beberapa

organisme merusak hospes dengan membantu pembentukan

kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya dapat menimbulkan

kelainan seperti melalui timbulnya kompleks imun glomerulonefritis.


Ujung akhir dari spectrum adalah virus yang merupakan parasit

obligat intraselular. Secara singkat virus adalah potongan sederhana

bahan genetik DNA dan RNA yang mempunyai alat untuk

menyusupkan dirinya kedalam sel hospes. Sel ini mengalami cedera

bila ada akibat informasi genetik baru yang diwujudkan pada fungsi

sel yang diubah. Satu wujud informasi genetic tambahan semacam

itu adalah replikasi virus menular, yang dapat disertai oleh lisis sel-

sel yang terkena. Sel dapat juga berubah tanpa menjadi nekrotik.

Tenyata sel bahkan dapat dirangsang untuk berproliferasi, seperti

pada kasus tumor yang diinduksi oleh virus. Virus juga dapat

mencederai hospes dengan menimbulkan berbagai reaksi imunologi

pada keadaan ini bagian dari virus tersebut atau sel yang terinfeksi

virus bertindak sebagai antigen.

F. Cara interaksi hospes dan mikroba

Sering dianggap bahwa interaksi antara hospes dan agen menular

merupakan suatu peperangan dengan seluruh kemampuan yang ada atau

“Pertarungan sampai mati”. Ada kecendrungan besar yang menganggap

agen menular sebagai benda yang buruk secara intrinsic, karena

ditakdirkan untuk menimbulkan penyakit. Namun secara biologi,

sebenarnya setiap agen yang hidup bukan untuk menimbulkan penyakit,

melainkan untuk menghasilkan lebih banyak agen yang jenisnya sama.

Secara singkat, agen mikroba tertentu tidak dapat diremehkan dalam

menimbulkan penyakit pada hospes. Ternyata, agen menular yang ideal


dengan mudah dapat berkembang biak didalam hospes tertentu yang

merupakan penyuplai makanan dan tidak membahayakan hospes atau

merusak hospes.

Dibanding dari segi evolusi, bila agen menular tertentu menjadi

sangat efektif menimbulkan penyakit sehingga dapat mematikan setiap

hospes yang dimsukinya, organisme itu dengan cepat akan kehabisan

suplai makanan dan mati. Segi lainnya adalah jika spesies hospes

tertentu tetap hidup dalam perjalanan evolusi, maka agen-agen menular

didalam lingkungan itu akan dapat dikontrol dengan baik. Seleksi

alamiah jelas akan menguntungkan hospes yang lebih kuat. Oleh karena

itu, dalam perjalanan evolusi, hospes yang lebih resisten dan agen yang

kurang mematikan cenderung lebih berkembang. Dengan demikian,

ketentuan-ketentuan berevolusi kebanyakan interaksi antara hospes dan

agen menular akhirnya berubah menjadi sesuatu yang agak

menyenangkan, karena tidak menimbulkan bahaya bagi kedua belah

pihak. Jika hubungan antara hospes dan agen menular tidak saling

merugikan maka jenis interaksi ini disebut sebagai komensalisme. Jika

interaksi memberikan beberapa keuntungan bagi kedua pihak, maka

interaksi itu disebut sebagai mutualisme. Komensalisme dan mutualisme

merupakan hasil interaksi infeksi dialam yang paling sering terjadi dan

timbulnya penyakit menular dalam arti evolusi ternyata banyak sekali

merupakan penyimpangan dari keadaan ini.


Dengan alasan ini, mudah diduga bahwa sebagian besar penyakit

menular adalah ringan atau bahkan sebagian besar infeksi tidak sampai

menimbulkan penyakit. Jadi pada keadaan yang normal, keberadaan

pathogen mikroba pada atau didalam hospes tidak berarti atau tidak

terlihat, dan bila sampai terjadi penyakit berarti terjadi suatu

pengecualian dari keadaan yang normal. Jadi untuk setiap individu yang

menderita penyakit menular tertentu, kemungkinan ada juga beberapa

orang disekitarnya yang telah terinfeksi tetapi tidak menjadi sakit sama

sekali. Pneumokokus, stafilokokus, meningokokus dan banyak pathogen

lain dapat ditemukan dengan mudah pada individu yang sangat sehat

dalam populasi.

Tentu terdapat pengecualian-pengecualian terhadap prinsip yang

menyatakan bahwa infeksi pada umumnya ringan atau tidak tampak.

Pengecualian-pengecualian ini biasanya dapat diterangkan dengan dasar-

dasar evolusi. Misalnya rabies, hamper 100% mematikan bagi manusia.

Spesies manusia tidak mengalami evolusi dengan virus ini, tetapi secara

kebetulan masuk pada rantai infeksi yang biasanya melibatkan spesies

mamalia lain yang berdaptasi lebih baik terhadap infeksi tersebut.

Terjadi hal yang sama pada banyak penyakit hewan lain yang dapat

menulari manusia, penyakitnya dapat menjadi lebih hebat dibandingkan

pada spesies hewan tertentu yang sudah beradaptasi untuk infeksi ini.

Jenis pengecualian evolusi lain terlihat apabila organisme baru

dimasukkan kedalam populasi manusia yang sebelumnya terasing.


Dengan demikian, apabila suku primitif dengan tiba-tiba diserbu

oleh individu dari dunia luar atau apabila penduduk pulau terkena agen

yang biasa kita temukan misalnya campak maka laju serangan dan laju

kematian dapat terlihat menyolok. Prinsip evolusi yang sama ini juga

berperan dalam penyebaran strain virus influenza tertentu diseluruh

dunia. Pada keadaan yang terakhir ini virus bertindak seakan-akan

seperti baru karena perkembangan sifat-sifat antigenik yang tidak

dikenal oleh populasi yang menanggung resiko itu.

Hanya dengan mengetahui cara pemindahan penyakit menular dari

hospes ke hospes lain,tidak bias menerangkan sepenuhnya insiden

penyakit menular. Untuk memahami epidemiologi penyakit semacam itu

secara lengkap, kita harus mengetahui segi-segi interaksi antara hospes

dan jasad renik yang mengubah infeksi biasa yang tidak berbahaya atau

tidak terlihat menjadi penyakit menular yang secara klinis bermakna.

G. Infeksi oportunistik

Konsep infeksi oportunistik menunjukkan kenyataan bahwa

banyak organisme yang tidak terpikir akan berbuat banyak terhadap

individu sehat, tetapi dengan adanya lingkungan yang sesuai, organisme

itu akan berubah dan menimbulkan penyakit menular. Organisme-

organisme semacam itu disebut oportunistik sebab kelihatanya

mengambil keuntungan pada keadaan tertentu dari hospes. Sebagian

besar oportunistik adalah organisme yang secara tepat tinggal dalam


hospes, dan keadaan ini kadang-kadang disebut sebagai agen menular

endogen. Beberapa agen eksogen juga bertingkah laku oportunistik.

Infeksi oportunistik timbul jika beberapa faktor atau sekelompok

faktor membahayakan mekanisme pertahanan intrinsik hospes atau

denga cara menguubah ekologi mikroba penghuni normal. Banyak

infeksi oportunistik menyerang pasien yang sedang dirawat dirumah

sakit yang keadaanya memburuk akibat penyakit-penyakit gangguan

gizi, reaksi imunologis atau kemampuan untuk menghasilkan leukosit

yang berfungsi secara efektif telah terganggu. Leukemia dan berbagai

bentuk kanker lainnya tercantum dalam urutan atas daftar penyakit-

penyakit akibat infeksi oportunistik. Demikian pula dengan agen

farmakologi yang dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu

dapat memiliki efek samping yang tidak diinginkan yaitu berupa

penekanan kekebalan atau penekanan reaksi perdangan, sehingga

memudahkan timbulnya infeksi oportunistik. Kortikosteroid adrenal

yang dalam beberapa hal memiliki efek antiradang dan merupakan agen

sitotoksik yang diberikan untuk kemoterapi kanker atau terapi

imunosupresif, menduduki tempat yang tinggi dalam daftar ini. Terapi

antimikroba kadang-kadang juga dapat menimbulkan infeksi

oportunistik, terlihat dengan adanya supresi sebagian flora mikroba

normal. Terapi antimikroba juga dapat mengubah keseimbangan ekologi

yang kritis sehingga anggota lain dari flora tersebut dapat muncul dan

tumbuh melebihi flora lainnya, dan dengan demikian timbul penyakit.


Terapi antimikroba dapat juga membuat hospes lebih muda terkena

bebrapa agen yang biasanya tidak mendapatkan tempat berpijak akibat

adanya flora mikroba normal.

Banyak hal-hal terjadi pada pasien rawat inap yang cenderung

lebih muda terkena infeksi organisme menular, termasuk fenomena yang

berhubungan dengan anesthesia,syok,dan luka bakar. Banyak penyakit

yang menjadi predisposisi bagi individu tertentu untuk menimbulkan

penyakit menular. Misalnya jenis kanker tertentu yang menyerang

kelenjar limf tubuh menyebabkan penekanan reaksi kekebalan seluler.

Individu dengan defisiensi seperti ini akan terserang penyakit menular

yang disebabkan oleh agen-agen yang biasanya dikendalikan sistem

limfosit –makrofag. Akhirnya, suatu penyakit menular dapat menjadi

faktor predisposisi bagi penyakit menular lainnya. Misalnya, seseorang

penderita flu karena virus dapat mudah terserang penyakit pneumonia

bakteri sebagai komplikasinya.

Terdapat banyak faktor lingkungan didalam masyarakat luas yang

cenderung lebih menguntungkan organisme tertentu daripada hospesnya.

Contoh dari faktor lingkungan semacam itu adalah penderita penyakit

akibat kerja, seperti pajanan debu silica membuat penderita tersebut

mudah menderita tuberculosis. Seluruh populasi masyarakat dapat pula

terserang secara bersamaan, misalnya pada keadaan kekurangan

makanan depresi yang merupakan respons hospes dapat mengakibatkan

epidemic berbagai penyakit seperti tuberculosis. Akhirnya, perubahan


cuaca dapat juga memengaruhi insiden penyakit menular. Bermacam-

macam studi telah mengindikasikan bahwa agen-agen menular tertentu

dapat ditemukan dalam populasi manusia sepanjang tahun, tetapi infeksi

simtomatik oleh karena agen tersebut timbul secara musiman,

kemungkinan berkaitan dengan cuaca.

Tidak ada satupun pembicaraan-pembicaraan diatas yang

bermaksud untuk mengecilkan arti pentingnya kuman pada penyakit atau

untuk mematahkan semangat dalam memutuskan rantai penularan agen

menular diantara individu. Namun yang harus ditekankan disini adalah

bahwa organisme tertentu mungkin membutuhkan syarat-syarat untuk

menimbulkan suatu penyakit tanpa harus berada dalam keadaan yang

sesuai. Interaksi yang kompleks dari hospes dan faktor-faktor

lingkungan yang akhirnya menentukan timbulnya infeksi. Karena

alasan-alasan ini, harus mempertimbangkan virulensi atau patogenesitas

mikroorganisme tertentu, dalam kaitannya dengan status hospes tersebut

pada waktu itu.


DAFTAR PUSTAKA

Surahman, 2016. Mikrobiologi. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik


Indonesia.
Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-
Proses Penyakit, Ed.6, Vol. 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai