PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2. Sistem Imun
2.1. Pengertian Sistem Imun
Sistem imun adalah gabungan sel, molekul dan jaringan yang komplek
dan rumit yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun mempertahankan dan melindungi tubuh dari infeksi akibat bakteri,
virus, jamur, dan parasit, menghilangkan dan mengganggu sel yang rusak/ mati,
serta mengidentifikasi dan merusak sel maligna sehingga mencegah
perkembangan menjadi tumor lebih lanjut (LeMone, et. al, 2016). Dapat
disimpulkan bahwa sistem imun merupakan respon internal tubuh terhadap benda-
benda yang dikenal sebagai benda asing.
2
ruang alveolar merupakan sel RES yang paling aktif dan membantu
menghancurkan partikel yang terisap hingga bagian bawah paru-paru
3
menghasilkan IgE atau IgA. Imunoglobulin ini berperan pada respon alergi atau
reaksi hipersensitivitas segera, atau IgA berperan pada respon imun mukosa.
2.2.2.3 Limfa
Rosdahl dan Kowalski (2015) menyatakan bahwa fungsi
pertahanan yang dilakukan limfa adalah melalui pembersihan darah yang
difasilitasi makrofag yang terdapat pada sinusoid. Selain itu, limfa juga
merupakan tempat utama terjadinya respon imun humoral terhadap patogen yang
menular melalui darah.
2.2.2.4 Timus
Morton (2011) menyatakan bahwa timus merupakan organ
endokrin yang menyekresikan hormon yang berkontribusi pada pemeliharaan dan
fungsi populasi sel T perifer. Sel T menggunakan reseptor antigen sel T dan B
memiliki monomer tetrapeptida yang disebut sengan imunoglobulin permukaan
(surface imunoglobulin, Sig). Setiap sel memiliki reseptor unik yang mampu
bereaksi dengan satu determinan antigen. Kekhususan setiap sel dalam bereaksi
disebut klonotipe akan memproduksi unit efektor dan sebuah sel memori.
Keduanya memiliki kekhususan identik dengan klonotipe yang awal. Proses
selektif positif dan negatif timus memungkinkan sel untuk mengenali substansi
diri sendiri (self) dan asing (non-self) pada fungsi imun. Pembedaan ini
didapatkan dengan pengenalan antigen yang bergantung pada komposisi
individual produk transkripsi dari lokus gen yang terdapat pada daerah gen
histokompatibilitas utama.
2.2.2.5 Sumsum tulang
LeMone, et al (2015), sumsum tulang merupakan jaringan
organik lunak yang ditemukan di ruang berongga dari tulang panjang. Tulang
panjang yang meliputi bagian femur, humerus serta tulang pipih dari pelvis, iga,
dan sternum.
2.2.2.6 Darah
Darah merupakan cairan kompleks yang mengandung sel
darah merah, sel darah putih, dan zat pembekuan darah yang terdapat dalam
plasma. Darah bersirkulasi secara terus-menerus melalui jantung dan sistem
pembuluh darah. (Black & Hawks, 2014)
4
2.3 Klasifikasi Sistem Imun
Menurut Baratawidjaja (2006), pertahanan sistem imun terdiri atas :
2.3.1 Sistem imun bawaan atau nonspesifik
Mekanisme fisiologis imunitas nonspesifik berupa komponen
normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap
mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan
mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya
jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit.
Menurut Sloane (2004), sistem imun bawaan/non-spesifik terdiri dari :
2.3.1.1.Pertahanan fisik, kimia dan mekanik terhadap agen infeksius
a. Kulit
Kulit memberikan barier fisik dan menyekresi enzim yang
membunuh atau mengurangi virulensi bakteri. Walaupun beberapa organisme
dapat masuk ke tubuh melalui kelenjar sebasea dan folikel rambut, efek
antimikroba keringat dan sekresi sebasea (akibat asam laktat dan asam lemak)
meminimalkan kemungkinan rute ini. Jika kulit hilang, seperti pada luka bakar
atau saat kulit terluka, infeksi dapat terjadi.
b. Membran mukosa
Membran mukosa melapisi permukaan bagian dalam tubuh
mensekresi mukus untuk menjebak mikroba dan partikel asing lainnya serta
menutup jalur masuknya sel epitel. Sebagai contoh, partikel besar yang masuk
dalam ruang nasal disaring oleh rambut dalam hidung dan tertahan dalam mukus.
Partikel besar yang masuk dalam saluran pernafasan atas akan dikeluarkan saat
bersin atau batuk. Partikel kecil dan mikroorganisme yang mungkin lolos dari
barier mukus akan masuk ke saluran pernafasan, tetapi dikeluarkan oleh silia pada
lapisan epitel.
c. Cairan tubuh
Sebagian cairan tubuh mengandung agens antimikroba. Misalnya
mikroorganisme dapat dihancurkan oleh enzim lisozim dalam saliva, sekresi
nasal, dan air mata; oleh enzim dan asam dalam cairan pencernaan; oleh enzim
proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus; dan oleh asiditas vagina. Zat
5
kimia pelindung ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk beberapa,
tidak semua organisme.
d. Faktor mekanik
Aksi pembilasan oleh air mata, saliva, dan urine juga turut
berperan dalam perlindungan.
2.3.1.2 Fagositosis
Menurut Sloane (2004), neutrofil darah dan makrofag jaringan
yang merupakan derivat monosit darah.
a. Neutrofil
Sel darah putih pertama yang datang ke tempat cedera atau infeksi
dan berperan penting dalam proses peradangan. Sel-sel ini segera mulai memakan
sel dan sisa-sisa sel. Neutrofil memulai proses peradangan melalui vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Secara klinis, neutrofil seringditunjuk
sebagai sel polimorfonuklear (polymorphonuclear, PMN) atau neutrofi tersegmen
(segs) karena kemunculannya yang tersegmentasi dari inti sel berlobus ganda.
Pada orang dewasa, sekitar 50% sel darah putih yang bersirkulasi adalah neutrofil.
b. Makrofag
Sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam jumlah
yang sangat besar. Makrofag dapat memfagositosis sel darah merah dan sel darah
putih lain yang telah lisis. Sebagian sel makrofag mengkoloni jaringan misalnya
kulit, kelenjar limfa, dan paru, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sel-sel
ini berfungsi menyapu berbagai mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh
melalui rute-rute tersebut. Sistem sel monosit makrofag disebut sistem
retikuloendotel. Sekitar 3%-7% monosit dalam sel darah putih bersirkulasi
ditemukan pada orang dewasa.
2.3.1.3 Inflamasi
Inflamasi adalah respon jaringan terhadap cedera akibat infeksi,
abrasi, terbakar, objek asing, atau toksin (produk bakteri yang merusak sel hospes
atau jaringan hospes). Inflamasi meliputi rangkaian peristiwa kompleks yang
dapat bersifat akut (jangka pendek) atau kronik. Tanda-tanda lokal respon
6
inflamasi meliputi kemerahan, panas, pembengkakan, dan nyeri. Gejala kelima
yang kadang terjadi adalah hilangnya fungsi, bergantung luas area cedera.
Menurut Rosdahl & Kowalski (2016), rangkaian peristiwa dalam inflamasi adalah
sebagai berikut:
a. Tahap pertama adalah produksi faktor-faktor kimia vasoaktif
oleh sel rusak di area cedera. Faktor-faktor ini meliputi histamin (dari sel mast),
serotonin (dari trombosit), derivatif asam arakidonat (leukotrien, prostaglandin
dan tromboksan) dan kinin (protein plasma teraktivasi). Faktor-faktor ini
mengakibatkan efek berikut: vasodilatasi (pelebaran diameter pembuluh darah)
pada area yang rusak meningkatkan aliran darah dan menyebabkan
kemerahan/eritema, nyeri berdenyut, dan panas. Peningkatan permeabilitas
kapiler, mengakibatkan hilangnya cairan dari pembuluh ke dalam ruang
interseluler. Akumulasi cairan dalam jaringan menyebabkan
pembengkakan/edema. Pembatasan area cedera, terjadi akibat lepasnya
fibrinogen dari plasma untuk membentuk bekuan yang akan mengisolasi lokasi
yang rusak dari jaringan yang masih utuh.
b. Tahap kedua adalah kemotaksis (gerakan fagosit ke area cedera),
terjadi dalam satu jam setelah permulaan proses inflamasi. Marginasi adalah
perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding endotelial kapiler pada area
yang rusak. Diapedesis adalah migrasi fagosit melalui dinding kaliler menuju area
cedera. Yang pertama kali sampai di area yang rusak adalah neutrofil, monosit
menyusul ke dalam jaringan dan menjadi makrofag.
c. Fagositosis agen berbahaya terjadi pada area cedera
Neutrofil dan makrofag akan terurai secara enzimatik dan mati
setelah menelan sejumlah besar mikrooganisme. Leukosit mati dan berbagai jenis
cairan tubuh membentuk pus yang terus terbentuk sampai infeksi teratasi. Pus
bergerak menuju permukaan tubuh untuk diuraikan menuju rongga internal yang
pada akhirnya akan dihancurkan dan diabsorpsi tubuh.
d. Pemulihan melalui regenerasi jaringan atau pembentukan
jaringan parut merupakan tahap akhir proses inflamasi.
Pada regenerasi jaringan, sel-sel sehat dalam jaringan yang
terkena akan membelah secara mitosis untuk berpoliferasi dan mengembalikan
7
masa jaringan. Pembentukan jaringan parut oleh fibroblas adalah respon alternatif
terhadap regenerasi jaringan. Jaringan parut mengganti jaringan asli yang rusak.
Sifat jaringan yang rusak dan luasnya area cedera akan menentukan apakah akan
terjadi regenerasi atau pembentukan jaringan parut. Kulit memiliki kemampuan
yang tinggi untuk melakukan regenerasi lengkap kecuali jika cedera terlalu
dalam/luas.
Sloane (2004) menyatakan bahwa efek sistemik inflamasi meliputi demam
dan leukositosis. Demam, yang abnormal dapat terjadi kaitannya dengan
inflamasi. Demam akan mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang dan
kendali termoreguler normal tercapai. Leukositosis (peningkatan jumlah leukosit
dalam darah) terjadi akibat peningkatan kebutuhan jumlah sel darah putih
tambahan dan peningkatan produksi sel tersebut dalam sumsum tulang.
8
dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya
dapat menyingkirkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun
spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Pada umumnya
terjalin kerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag
(Baratawidjaja, 2006).
2.3.2.1 Karakteristik sistem imun yang didapat/spesifik
Menurut Kresno (2003), karakteristik sistem imun yang
didapat/spesifik adalah:
a. Spesifitas yang artinya sistem imun dapat membedakan
berbagai zat asing dan responnya terutama jika dibutuhkan.
b. Memori dan amplifikasi yang artinya respon imun memiliki
kemampuan untuk mengingat kembali kontak sebelumnya dengan suatu agen
tertentu, sehingga pajanan berikutnya akan menimbulkan respon yang lebih cepat
dan lebih besar.
c. Pengenalan bagian diri dan bukan bagian diri (asing) yang
artinya Sistem imun dapat membedakan agen-agen asing, dan sel-sel tubuh sendiri
serta protein. Walaupun demikian, respon imun terhadap diri sendiri dapat terjadi
dan membentuk suatu kondisi yang disebut autoimunitas.
9
b. Antibodi
Adalah suatu protein dapat larut yang dihasilkan sistem imun
sebagai respon terhadap keberadaan antigen dan akan bereaksi khusunya dengan
antigen tersebut. Ada lima kelas imunoglobulin: IgA, IgD, IgE, IgG, IgM,
menurut Black & Hawks (2014), yaitu:
IgG, adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar
80%-85% dari semua imunoglobulin dalam darah. IgG adalah antibodi utama
yang melintasi plasenta ibu kepada janinnya selama kehamilan. Kadar IgG
meningkat secara lambat selama respon primer terhadap suatu antigen, tetapi
meningkat secara cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar pada pajanan
kedua. Berfungsi sebagai pelindung terhadap mikroorganisme dan toksin yang
bersirkulasi, mengaktifasi sistem komplemen dan meningkatkan keefektifan sel
fagositik.
IgM, adalah antibodi pertama yang tiba disisi infeksi pada pajanan awal
terhadap antigen. Pajanan kedua mengakibatkan peningkatan produksi IgG. IgM
mengaktivasi komplemen dan memperbanyak fagositosis, tetapi umurnya relatif
pendek. Karena ukurannya, maka molekul ini menetap dalam pembuluh darah dan
tidak memasuki jaringan sekitar.
IgA, paling banyak terdapat dalam sekresi misalnya, air liur, mukus vagina,
air susu, sekresi saluran cerna dan paru, dan semen. IgA lebih bekerja secara lokal
daripada sistemik. IgA ibu disalurkan kepada bayinya sewaktu menyusui Fungsi
utama IgA adalah melawan mikroorganisme pada setiap titik masuk potensial ke
dalam tubuh.
IgE, pada kebanyakan orang IgE terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit
dalam darah. Pengecualian pada orang yang mengalami alergi atopik atau infeksi
parasit cacing. IgE pada manusia umumnya menempel pada permukaan kulit sel
mast, yakni tempat antigen akan menempel dan memicu pelepasan mediator
kimiawi seperti histamin yang berperan dalam kaskade ekspresi alergi atopik.
IgD , terdapat dalam konsentrasi rendah dalam darah, dan terdapat dalam
jumlah yang banyak pada permukaan sel limfosit B primitif. Perannya dalam
respon imun tidak diketahui, meski diakui membantu proses kematangan dan
diferensiasi semua sel B dan hanya berperan dalam pengenalan antigen.
10
Tabel 2.1 Antibodi dalam Tubuh
Kelas Karakteristik
Kelas %Total Karakteristik
Ig G 75 Terdapat dalam sirkulasi dan ruang
jaringan
Opsonisasi antigen
Mengaktifkan komplemen
Dapat ditransportasikan via plasenta
Ig yang pertama kali dibentuk pada respon
imun kedua
Ig A 15 Berada dalam sirkulasi dan sekresi
seromukus
Menghambat pelekatan mikroorganisme
di lapisan mukosa
Ig M 10 Berada dalam sirkulasi
Antibodi yang aglutinasi yang kuat
Ig pertama dalam respon imun primer
Mengaktifkan komplemen
Ig E <1,0 Memediasi reaksi hipersensitivitas
Berikan dengan sel mast dan memicu
pelepasan mediator
Ig D <1,0 Diferensiasi limfosit
Fungsi selengkapnya tidak diketahui
Sumber: Kosasih. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik.
Tanggerang: Karisma
c. Interaksi antibodi-antigen
Chandrasoma & Taylor (2001) menyatakan bahwa sisi pengikat
antigen pada regio variabel antibodi akan berikatan dengan sisi penghubung
determinan antigenik pada antigen untuk membentuk komplek antigen-antibodi
(atau imun). Pengikatan ini memungkinkan inaktivasi antigen melalui proses
fiksasi, netralisasi, aglutinasi dan presipitasi.
d. Fiksasi komplemen
Terjadi jika bagian molekul antibodi mengikat komplemen,
ikatan molekul komplemen diaktivasi melalui jalur klasik yang memicu efek
cascade untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat organisme atau toksin
penyusup.efek yang paling penting meliputi: (1) Opsonisasi merupakan partikel
antigen diselubungi antibodi/komponen komplemen yang memfasilitasi proses
fagositosis partikel. Selain itu suatu produk protein berlekuk dari cascade
komplemen juga berinteraksi dengan reseptor khusus pada neutrofil dan makrofag
11
dan meningkatkan fagositosis. (2) Sitolisis adalah kombinasi dari faktor-faktor
komplemen multiple mengakibatkan rupturnya membran plasma bakteri atau
penyusup lain dan menyebabkan isi seluler keluar. (3) Inflamasi merupakam
produk komplemen berkontribusi dalam inflamasi akut melalui aktivasi sel mast,
basofil, dan trombosit darah.
12
Tabel 2.2 Jenis Imunitas
13
2.3.4.2 Sel T (limfosit T)
a. Fungsi sel T. Adalah menunjukkan spesifisitas antigen dan akan
berpoliferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memperoduksi antibodi. Sel T
mengenali dan berinterasi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein
permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T
memproduksi zat aktif secara imunologis yang disebut limfokin, yang berfungsi
untuk membantu limfosit B merespon antigen, membunuh sel-sel asing tertentu,
dan mengatur respon imun.
b. Respon sel T. Sewaktu berikatan dengan antigen imunogenik, sel T
terangsang untuk matur dan berproduksi. Hal ini menghasilkan paling sediikit
empat subtipe sel T yang mampu bekerja pada satu antigen: sel T sitotoksik, sel T
helper, sel T regulatori, dan sel T pengingat. Respon sel T terhadap antigen disebut
respon diperantarai sel, karena sel T berespon secara langsung, sel ini tidak perlu
menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi untuk menghancurkan antigen.
c. Makrofag. Fungsi magrofag adalah menelan zat asing dan melalui
kerja enzimatik menguraikan materi yang tertelan untuk diekskresi dan untuk
pemakaian ulang.
14
Brunner & Suddarth (2014), reaksi hipersentivitas dibagi menjadi empat yaitu:
a. Hipersensitivitas Tipe 1 (anafilaksis)
Respon anafilaksis berlangsung cepat dan diperantarai IgE. Alergen
berikatan dengan IgE yang menarik sel mast dan basofil, mengakibatkan
dilepaskannya mediator. Contoh hipersensitivitas tipe 1 adalah alergi
rinitis dan reaksi alergi obat akut.
b. Hipersensitivitas Tipe 2 (Sitolitik atau Sitotoksik)
Reaksi sitolitik bergantung komplemen dan melibatkan IgG dan IgM.
Ikatan antigen-antibodi mengakibatkan aktivasi sistem komplemen dan
menghancurkan sel yang mengikat alergen. Contohnya yaitu anemia
hemolitik, Rh hemolitik bayi baru lahir, hipertiroidisme autoimun,
miastenia gravis, dan reaksi transfusi darah. Selama transfusi darah,
ketidakcocokan golongan darah menyebabkan lisis sel, yang menghasilkan
reaksi transfusi. Reaksi transfusi merupakan hasil hemolisis sel darah
merah intravaskuler dan termasuk nyeri kepala serta nyeri punggung, nyeri
dada seperti angina, mual dan muntah, takikardia dan hipotensi, dan
urtikaria.
c. Hipersensitivitas Tipe 3 (Kompleks Imun)
Inflamasi kompleks imun dilakukan oleh IgG dan IgM, antigen, dan
komplemen. Mediator inflamasi termasuk peptida yang mengaktifkan sel
mast, nuetrofil, monosit, dan sel lain. Pelepasan granula lisosom sel darah
putih dan makrofag mengakibatkan cedera jaringan lebih lanjut. Kompleks
antigen-antibodi dibentuk dalam aliran darah dan terperangkap dikapiler
atau pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan urtikaria, artritis,
atau glomerulonefritis. Alternatifnya, kompleks antigen- antibodi dapat
terbentuk di ruang sendi mengakibatkan sinovitis , seperti pada artritis
reumatoid dan lupus eritematosus sistemik. Antigen bersirkulasi pada
serum sickness. Serum sickness terjadi setelah 6-14 hari injeksi serum
asing. Penumpukan kompleks pada dinding pembuluh darah
mengakibatkan aktivasi komplemen yang menghasilkan edema, demam,
inflamasi pembuluh darah dan sendi, dan urtikaria.
15
d. Hipersensitivitas Tipe 4 (Diperantarai Sel atau Fase Lambat)
Sel T tersensitisasi merespon antigen dengan melepaskan limfokin
yang langsung pada aktivitas fagositosis. Reaksi terjadi dalam 24-72 jam
setelah paparan antigen. Dermatitis kontak merupakan reaksi tipe 4 yang
lain terjadi setelah sensitisasi alergen, biasanya kosmetik, adhesif, obat
topikal, obat tambahan (misalnya lanolin pada lotion), atau racun tumbuhan.
Pada paparan pertama tidak reaksi, namun antigen terbentuk. Pada paparan
berikutnya, reaksi hipersensitivitas terpicu yang menyebabkan gatal,
eritema, dan lesi vaskular.
2.3.6 Pengkajian
2.3.6.1 Riwayat kesehatan
Meninjau kembali data demografi meliputi usia, jenis
kelamin, ras dan latar belakang etnis. Banyak gangguan
autoimun lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki.
Kaji tinggi badan, berat badan, kehilangan berat badan
yang terlihat terkait nutrisi. Karena kehilangan berat badan
dan kehabisan protein merupakan faktor resiko penyembuhan
dan mengakibatkan komplikasi luka. Contoh pasien yang
mengalami proses inflamasi /penyembuhan luka memerlukan
diet yang seimbang dan cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh.
Kaji adanya penggunaan obat-obatan (antiinflamasi dan
kortikoteroid)
Kaji tentang status kehamilan, adanya infeksi, imunisasi,
gangguan autoimun, penyakit kronis seperti Diabetes melitus,
kanker dan riwayat merokok.
16
2.3.6.3 Keluhan
Perasaan tidak enak, gelisah, pening, telapak tangan dan kulit
kepala gatal, bengkak pada kelopak mata, bibir, lidah, tangan,
kaki dan genitalia. Pembengkakan juga dapat terjadi pada
uvula dan laring, yang dapat mengganggu pernafasan yang
mengakibatkan stridor, mengi dan batuk kering. Dan dapat
juga terjadi mual,muntah, diare, dan kram.
17
Dan luka yang mengalami infeksi, inflamasi/tidak sembuh.
Catat lokasi dan distribusi setiap ruam/lesi.
Inspeksi servikal, aksila dan nodus limfe pangkal
paha terhadap adanya limmfadenopati (pembengkakan)
Sendi, terhadap kemerahan, bengkak yang dapat
mengindikasi gangguan autoimun. Dan kaji rentang gerak
sendi
b. Palpasi
Servikal, aksila dan nodus limfe pangkal paha
terhadap adanya nyeri tekan.
Sendi, terkait nyeri tekan atau deformitas yang
dapat mengindikasi gangguan autoimun.
Platelet
Hitung platelet (trombosit) (jumlah sel/mm3 150.000-450.000/ mm3
darah)
18
Sumber: Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, buku 3.
Singapore: Elsevier
DAFTAR PUSTAKA
Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah, Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Edisi 8, Buku 3. Singapore: Elsevier.
Brunner & Suddarth. (2014). Medical Surgical Nursing. Edition 10th. Singapore:
Elsevier.
19
Chandrasoma & Taylor. (2001). Concise Pathology, Third Edition. Singapore:
McGraw-Hill
LeMone, et.al. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1. Edisi 5.
Jakarta: EGC
Rosdahl & Kowalski. (2016). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10. Jakarta:
EGC.
20