Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tubuh manusia harus selalu menjaga dirinya dari invasi zat lain, seperti
benda asing, agens infeksius, dan sel abnormal (LeMone, 2016). Untuk menjaga
dirinya dari invasi zat lain, maka tubuh manusia akan memiliki
pertahanan/pelindung diri. Tubuh mempertahankan diri dari invasi zat lain dengan
dua mekanisme yang berbeda tetapi saling berhubungan yaitu imun bawaan
(merespon lebih cepat dan bertindak sebagai pertahanan awal, seperti mekanisme
batuk dan bersin) dan imun adaptif (dimiliki oleh sistem imun adaptif berupa
sistem imun humoral oleh limfosit B dan sistem imun seluler oleh limfosit T).
Dan, gabungan dari sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi
terhadap infeksi disebut sistem imun (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun yang terdapat dalam tubuh, bekerja secara bersama-sama
melindungi tubuh dari ancaman dengan menggunakan fungsi pertahanan /terhadap
ancaman dari luar tubuh (Black & Hawks, 2014). Mekanisme ini sangat penting
dalam menjaga kesehatan tubuh kita. Tetapi, terkadang mekanisme tersebut
mengalami gangguan karena adanya infeksi atau penurunan fungsi akibat
konsumsi jenis obat-obatan tertentu atau kemoterapi.
Sistem imun terbentuk dari sel-sel darah putih, sumsum tulang dan
jaringan limfoid yang mencakup kelenjar timus, kelenjar limfe, lien, tonsil serta
adenoid. Diantara sel-sel darah putih yang terlibat dalam imunitas terdapat
limfotik B (sel B) dan limfosit limfosit T (sel T). Kedua sel ini berasal dari
limfoblast yang dibuat dalam sumsum tulang. Limfosit B mencapai maturitasnya
dalam sumsum tulang dan kemudian memasuki sirkulasi darah, limfosit T
bergerak dari sumsum tulang ke kelenjar timus tempat sel-sel tersebut mencapai
maturitasnya menjadi beberapa jenis sel yang dapat melaksanakan berbagai fungsi
yang berbeda (Brunner & Suddarth, 2014).

1
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2. Sistem Imun
2.1. Pengertian Sistem Imun
Sistem imun adalah gabungan sel, molekul dan jaringan yang komplek
dan rumit yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi (Baratawidjaja, 2006).
Sistem imun mempertahankan dan melindungi tubuh dari infeksi akibat bakteri,
virus, jamur, dan parasit, menghilangkan dan mengganggu sel yang rusak/ mati,
serta mengidentifikasi dan merusak sel maligna sehingga mencegah
perkembangan menjadi tumor lebih lanjut (LeMone, et. al, 2016). Dapat
disimpulkan bahwa sistem imun merupakan respon internal tubuh terhadap benda-
benda yang dikenal sebagai benda asing.

2.2. Konsep anatomis


Black & Hawks (2014) menyatakan bahwa garis pertahanan pertama tubuh
merupakan resistensi yang mencegah masuknya agen berbahaya atau kondisi
lingkungan yang mengancam homeostatis. Sehingga, sistem pertahanan
membentuk mekanisme resistensi terhadap penyakit dengan memerangi apa saja
yang tidak dikenali sebagai bagian dirinya sendiri, atau dikenal sebagai benda
asing. Menurut Bruner & Suddarth (2014), anatomis sistem imun terdiri atas:
2.2.1. Pertahanan lini pertama
Kulit yang utuh dan membran mukosa dikombinasikan dengan
mekanisme pembersih permukaan merupakan pembatas yang menghambat
penetrasi jaringan oleh patogen. Lizozim pada air mata dan cairan empedu pada
usus menghambat bakteri gram positif, asam hidroklorit di dalam lambung
mampu membunuh berbagai macam patogen, asam lemak juga membantu
melindungi kulit dari agen infeksius. Sel fagositosis mononuklear makrofag
termasuk dalam sistem retikuloendotelial (reticuloendothelial system, RES).
Makrofag pada sinusoid hati, limfa, dan sumsum tulang bertugas mengawasi
sirkulasi darah serta membuang substansi asing atau sel yang mati. Makrofag di
nodus limfa (kelenjar getah bening) menghancurkan partikel asing. Makrofag di

2
ruang alveolar merupakan sel RES yang paling aktif dan membantu
menghancurkan partikel yang terisap hingga bagian bawah paru-paru

2.2.2. Organ imun


Terdapat situs tepian untuk produksi molekul dan sel yang berperan
sebagai unit respon imun dan organ sentral yang menyiapkan antigen untuk
pengenalan, yaitu:
2.2.2.1. Nodus limfa
Brunner & Suddarth (2014) mengatakan bahwa nodus
limfa merupakan organ terkecil (banyak yang memiliki diameter ≤ 5 mm) yang
tersebar di seluruh tubuh dan saling berhubungan melalui pembuluh limfa.
Struktur nodus limfa relatif kompleks dan berperan pada sistem imun dan RES.
Makrofag yang terdapat di nodus limfa memonitor keberadaan partikel asing
dalam cairan limfa yang melalui nodus limfa dan kemudian menghancurkan
partikel tersebut melalui fagositosis. Substansi antigen dan partikel asing terlarut
akan dimakan oleh makrofag atau sel dendritik yang berperan sebagai sel yang
menampilkan antigen (antigen presenting cell, APC). Sel imunokompeten pada
nodus limfa dapat menginisiasi respon imun hormonal dan sistem imun seluler.
Nodus limfa berada pada seluruh tubuh. Lokasi nodus limfa
tersebar di daerah leher, ketiak, dan lipatan paha. Nodus servikal berada di
sepanjang leher, nodus aksilaris berada di ketiak, dan nodus inguinal berada di
lipatan paha (Black & Hawks, 2014). Ketika terjadi inflamasi, nodus-nodus
tersebut akan mengalami pembengkakan dan dapat diraba, kondisi ini dapat
digunakan sebagai diagnostik
2.2.2.2. Nodus limfatikus
Memiliki struktur yang lebih terorganisai dibandingkan
nodus limfa. Nodus limfatikus terdapat pada mukosa epitel pelapis saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan saluran perkemihan. Material antigen
ditranslokasikan dari epitel oleh sel khusus pertama sel M. Material yang
ditranslokasikan akan dipaparkan langsung pada nodulus dan diambil oleh
antigen presenting cell. Sel imunokompeten B di nodulus limfatikus

3
menghasilkan IgE atau IgA. Imunoglobulin ini berperan pada respon alergi atau
reaksi hipersensitivitas segera, atau IgA berperan pada respon imun mukosa.
2.2.2.3 Limfa
Rosdahl dan Kowalski (2015) menyatakan bahwa fungsi
pertahanan yang dilakukan limfa adalah melalui pembersihan darah yang
difasilitasi makrofag yang terdapat pada sinusoid. Selain itu, limfa juga
merupakan tempat utama terjadinya respon imun humoral terhadap patogen yang
menular melalui darah.
2.2.2.4 Timus
Morton (2011) menyatakan bahwa timus merupakan organ
endokrin yang menyekresikan hormon yang berkontribusi pada pemeliharaan dan
fungsi populasi sel T perifer. Sel T menggunakan reseptor antigen sel T dan B
memiliki monomer tetrapeptida yang disebut sengan imunoglobulin permukaan
(surface imunoglobulin, Sig). Setiap sel memiliki reseptor unik yang mampu
bereaksi dengan satu determinan antigen. Kekhususan setiap sel dalam bereaksi
disebut klonotipe akan memproduksi unit efektor dan sebuah sel memori.
Keduanya memiliki kekhususan identik dengan klonotipe yang awal. Proses
selektif positif dan negatif timus memungkinkan sel untuk mengenali substansi
diri sendiri (self) dan asing (non-self) pada fungsi imun. Pembedaan ini
didapatkan dengan pengenalan antigen yang bergantung pada komposisi
individual produk transkripsi dari lokus gen yang terdapat pada daerah gen
histokompatibilitas utama.
2.2.2.5 Sumsum tulang
LeMone, et al (2015), sumsum tulang merupakan jaringan
organik lunak yang ditemukan di ruang berongga dari tulang panjang. Tulang
panjang yang meliputi bagian femur, humerus serta tulang pipih dari pelvis, iga,
dan sternum.
2.2.2.6 Darah
Darah merupakan cairan kompleks yang mengandung sel
darah merah, sel darah putih, dan zat pembekuan darah yang terdapat dalam
plasma. Darah bersirkulasi secara terus-menerus melalui jantung dan sistem
pembuluh darah. (Black & Hawks, 2014)

4
2.3 Klasifikasi Sistem Imun
Menurut Baratawidjaja (2006), pertahanan sistem imun terdiri atas :
2.3.1 Sistem imun bawaan atau nonspesifik
Mekanisme fisiologis imunitas nonspesifik berupa komponen
normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap
mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan
mikroba tersebut. Jumlahnya dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya
jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit.
Menurut Sloane (2004), sistem imun bawaan/non-spesifik terdiri dari :
2.3.1.1.Pertahanan fisik, kimia dan mekanik terhadap agen infeksius
a. Kulit
Kulit memberikan barier fisik dan menyekresi enzim yang
membunuh atau mengurangi virulensi bakteri. Walaupun beberapa organisme
dapat masuk ke tubuh melalui kelenjar sebasea dan folikel rambut, efek
antimikroba keringat dan sekresi sebasea (akibat asam laktat dan asam lemak)
meminimalkan kemungkinan rute ini. Jika kulit hilang, seperti pada luka bakar
atau saat kulit terluka, infeksi dapat terjadi.
b. Membran mukosa
Membran mukosa melapisi permukaan bagian dalam tubuh
mensekresi mukus untuk menjebak mikroba dan partikel asing lainnya serta
menutup jalur masuknya sel epitel. Sebagai contoh, partikel besar yang masuk
dalam ruang nasal disaring oleh rambut dalam hidung dan tertahan dalam mukus.
Partikel besar yang masuk dalam saluran pernafasan atas akan dikeluarkan saat
bersin atau batuk. Partikel kecil dan mikroorganisme yang mungkin lolos dari
barier mukus akan masuk ke saluran pernafasan, tetapi dikeluarkan oleh silia pada
lapisan epitel.
c. Cairan tubuh
Sebagian cairan tubuh mengandung agens antimikroba. Misalnya
mikroorganisme dapat dihancurkan oleh enzim lisozim dalam saliva, sekresi
nasal, dan air mata; oleh enzim dan asam dalam cairan pencernaan; oleh enzim
proteolitik dan cairan empedu dalam usus halus; dan oleh asiditas vagina. Zat

5
kimia pelindung ini membentuk lingkungan yang tidak nyaman untuk beberapa,
tidak semua organisme.
d. Faktor mekanik
Aksi pembilasan oleh air mata, saliva, dan urine juga turut
berperan dalam perlindungan.

2.3.1.2 Fagositosis
Menurut Sloane (2004), neutrofil darah dan makrofag jaringan
yang merupakan derivat monosit darah.
a. Neutrofil
Sel darah putih pertama yang datang ke tempat cedera atau infeksi
dan berperan penting dalam proses peradangan. Sel-sel ini segera mulai memakan
sel dan sisa-sisa sel. Neutrofil memulai proses peradangan melalui vasodilatasi
dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Secara klinis, neutrofil seringditunjuk
sebagai sel polimorfonuklear (polymorphonuclear, PMN) atau neutrofi tersegmen
(segs) karena kemunculannya yang tersegmentasi dari inti sel berlobus ganda.
Pada orang dewasa, sekitar 50% sel darah putih yang bersirkulasi adalah neutrofil.
b. Makrofag
Sel besar yang mampu mencerna bakteri dan sisa sel dalam jumlah
yang sangat besar. Makrofag dapat memfagositosis sel darah merah dan sel darah
putih lain yang telah lisis. Sebagian sel makrofag mengkoloni jaringan misalnya
kulit, kelenjar limfa, dan paru, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Sel-sel
ini berfungsi menyapu berbagai mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh
melalui rute-rute tersebut. Sistem sel monosit makrofag disebut sistem
retikuloendotel. Sekitar 3%-7% monosit dalam sel darah putih bersirkulasi
ditemukan pada orang dewasa.

2.3.1.3 Inflamasi
Inflamasi adalah respon jaringan terhadap cedera akibat infeksi,
abrasi, terbakar, objek asing, atau toksin (produk bakteri yang merusak sel hospes
atau jaringan hospes). Inflamasi meliputi rangkaian peristiwa kompleks yang
dapat bersifat akut (jangka pendek) atau kronik. Tanda-tanda lokal respon

6
inflamasi meliputi kemerahan, panas, pembengkakan, dan nyeri. Gejala kelima
yang kadang terjadi adalah hilangnya fungsi, bergantung luas area cedera.
Menurut Rosdahl & Kowalski (2016), rangkaian peristiwa dalam inflamasi adalah
sebagai berikut:
a. Tahap pertama adalah produksi faktor-faktor kimia vasoaktif
oleh sel rusak di area cedera. Faktor-faktor ini meliputi histamin (dari sel mast),
serotonin (dari trombosit), derivatif asam arakidonat (leukotrien, prostaglandin
dan tromboksan) dan kinin (protein plasma teraktivasi). Faktor-faktor ini
mengakibatkan efek berikut: vasodilatasi (pelebaran diameter pembuluh darah)
pada area yang rusak meningkatkan aliran darah dan menyebabkan
kemerahan/eritema, nyeri berdenyut, dan panas. Peningkatan permeabilitas
kapiler, mengakibatkan hilangnya cairan dari pembuluh ke dalam ruang
interseluler. Akumulasi cairan dalam jaringan menyebabkan
pembengkakan/edema. Pembatasan area cedera, terjadi akibat lepasnya
fibrinogen dari plasma untuk membentuk bekuan yang akan mengisolasi lokasi
yang rusak dari jaringan yang masih utuh.
b. Tahap kedua adalah kemotaksis (gerakan fagosit ke area cedera),
terjadi dalam satu jam setelah permulaan proses inflamasi. Marginasi adalah
perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding endotelial kapiler pada area
yang rusak. Diapedesis adalah migrasi fagosit melalui dinding kaliler menuju area
cedera. Yang pertama kali sampai di area yang rusak adalah neutrofil, monosit
menyusul ke dalam jaringan dan menjadi makrofag.
c. Fagositosis agen berbahaya terjadi pada area cedera
Neutrofil dan makrofag akan terurai secara enzimatik dan mati
setelah menelan sejumlah besar mikrooganisme. Leukosit mati dan berbagai jenis
cairan tubuh membentuk pus yang terus terbentuk sampai infeksi teratasi. Pus
bergerak menuju permukaan tubuh untuk diuraikan menuju rongga internal yang
pada akhirnya akan dihancurkan dan diabsorpsi tubuh.
d. Pemulihan melalui regenerasi jaringan atau pembentukan
jaringan parut merupakan tahap akhir proses inflamasi.
Pada regenerasi jaringan, sel-sel sehat dalam jaringan yang
terkena akan membelah secara mitosis untuk berpoliferasi dan mengembalikan

7
masa jaringan. Pembentukan jaringan parut oleh fibroblas adalah respon alternatif
terhadap regenerasi jaringan. Jaringan parut mengganti jaringan asli yang rusak.
Sifat jaringan yang rusak dan luasnya area cedera akan menentukan apakah akan
terjadi regenerasi atau pembentukan jaringan parut. Kulit memiliki kemampuan
yang tinggi untuk melakukan regenerasi lengkap kecuali jika cedera terlalu
dalam/luas.
Sloane (2004) menyatakan bahwa efek sistemik inflamasi meliputi demam
dan leukositosis. Demam, yang abnormal dapat terjadi kaitannya dengan
inflamasi. Demam akan mereda jika infeksi teratasi, kadar pirogen berkurang dan
kendali termoreguler normal tercapai. Leukositosis (peningkatan jumlah leukosit
dalam darah) terjadi akibat peningkatan kebutuhan jumlah sel darah putih
tambahan dan peningkatan produksi sel tersebut dalam sumsum tulang.

2.3.1.4 Zat antivirus dan antibakteri nonspesifik


Diproduksi tubuh untuk perlindungan tubuh terhadap infeksi. Cara kerja
zat ini tidak membutuhkan interaksi antigen-antibodi sebagai pemicunya.
a. Interferon (IFN)
Protein antivirus yang dapat disintesis oleh hampir setiap jenis
sel hospes sebagai respon terhadap infeksi virus, stimulasi imun/kimia. Fungsi
interferon, untuk menghalangi multiplikasi virus dan juga memegang peranan
dalam memodulasi aktivitas imunologi.
b. Sistem komplemen
Sekelompok protein plasma inaktif yang bersirkulasi dalam
darah. Komponen-komponen diberi nama sesuai dengan kemampuannya untuk
meningkatkan/melengkapi sistem pertahanan tubuh. Dan berfungsi untuk
menyerang dan menghancurkan mikroorganisme penyusup (Kresno, 2003).

2.3.2 Sistem imun yang didapat atau spesifik (adaptive)


Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal
benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul
dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi
sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpajan ulang akan

8
dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya
dapat menyingkirkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun
spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Pada umumnya
terjalin kerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag
(Baratawidjaja, 2006).
2.3.2.1 Karakteristik sistem imun yang didapat/spesifik
Menurut Kresno (2003), karakteristik sistem imun yang
didapat/spesifik adalah:
a. Spesifitas yang artinya sistem imun dapat membedakan
berbagai zat asing dan responnya terutama jika dibutuhkan.
b. Memori dan amplifikasi yang artinya respon imun memiliki
kemampuan untuk mengingat kembali kontak sebelumnya dengan suatu agen
tertentu, sehingga pajanan berikutnya akan menimbulkan respon yang lebih cepat
dan lebih besar.
c. Pengenalan bagian diri dan bukan bagian diri (asing) yang
artinya Sistem imun dapat membedakan agen-agen asing, dan sel-sel tubuh sendiri
serta protein. Walaupun demikian, respon imun terhadap diri sendiri dapat terjadi
dan membentuk suatu kondisi yang disebut autoimunitas.

2.3.2.2 Komponen respon imun


Menurut Brunner & Suddarth (2014), yang termasuk dalam
komponen respon imun adalah:
a. Antigen
Adalah suatu zat yang menyebabkan respon imun spesifik.
Antigen biasanya berupa zat dengan berat molekul besar dan juga kompleks zat
kimia seperti protein dan polisakarida. Determinan antigenik (epitop) adalah
sekelompok kimia kecil dari suatu antigen dapat memiliki dua/lebih molekul
determinan antigenik, satu molekul pun dalam keadaan yang sesuai dapat
menstimulus respon yang jelas. Hapten adalah senyawa kecil yang jika sendirian
tidak dapat menginduksi respon imun, tetapi senyawa ini menjadi imunogeniik
jika bersatu dengan carrier yang berat molekulnya besar seperti protein serum.

9
b. Antibodi
Adalah suatu protein dapat larut yang dihasilkan sistem imun
sebagai respon terhadap keberadaan antigen dan akan bereaksi khusunya dengan
antigen tersebut. Ada lima kelas imunoglobulin: IgA, IgD, IgE, IgG, IgM,
menurut Black & Hawks (2014), yaitu:
IgG, adalah antibodi yang paling banyak ditemukan dan mencakup sekitar
80%-85% dari semua imunoglobulin dalam darah. IgG adalah antibodi utama
yang melintasi plasenta ibu kepada janinnya selama kehamilan. Kadar IgG
meningkat secara lambat selama respon primer terhadap suatu antigen, tetapi
meningkat secara cepat dan dengan kekuatan yang lebih besar pada pajanan
kedua. Berfungsi sebagai pelindung terhadap mikroorganisme dan toksin yang
bersirkulasi, mengaktifasi sistem komplemen dan meningkatkan keefektifan sel
fagositik.
IgM, adalah antibodi pertama yang tiba disisi infeksi pada pajanan awal
terhadap antigen. Pajanan kedua mengakibatkan peningkatan produksi IgG. IgM
mengaktivasi komplemen dan memperbanyak fagositosis, tetapi umurnya relatif
pendek. Karena ukurannya, maka molekul ini menetap dalam pembuluh darah dan
tidak memasuki jaringan sekitar.
IgA, paling banyak terdapat dalam sekresi misalnya, air liur, mukus vagina,
air susu, sekresi saluran cerna dan paru, dan semen. IgA lebih bekerja secara lokal
daripada sistemik. IgA ibu disalurkan kepada bayinya sewaktu menyusui Fungsi
utama IgA adalah melawan mikroorganisme pada setiap titik masuk potensial ke
dalam tubuh.
IgE, pada kebanyakan orang IgE terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit
dalam darah. Pengecualian pada orang yang mengalami alergi atopik atau infeksi
parasit cacing. IgE pada manusia umumnya menempel pada permukaan kulit sel
mast, yakni tempat antigen akan menempel dan memicu pelepasan mediator
kimiawi seperti histamin yang berperan dalam kaskade ekspresi alergi atopik.
IgD , terdapat dalam konsentrasi rendah dalam darah, dan terdapat dalam
jumlah yang banyak pada permukaan sel limfosit B primitif. Perannya dalam
respon imun tidak diketahui, meski diakui membantu proses kematangan dan
diferensiasi semua sel B dan hanya berperan dalam pengenalan antigen.

10
Tabel 2.1 Antibodi dalam Tubuh
Kelas Karakteristik
Kelas %Total Karakteristik
Ig G 75  Terdapat dalam sirkulasi dan ruang
jaringan
 Opsonisasi antigen
 Mengaktifkan komplemen
 Dapat ditransportasikan via plasenta
 Ig yang pertama kali dibentuk pada respon
imun kedua
Ig A 15  Berada dalam sirkulasi dan sekresi
seromukus
 Menghambat pelekatan mikroorganisme
di lapisan mukosa
Ig M 10  Berada dalam sirkulasi
 Antibodi yang aglutinasi yang kuat
 Ig pertama dalam respon imun primer
 Mengaktifkan komplemen
Ig E <1,0  Memediasi reaksi hipersensitivitas
 Berikan dengan sel mast dan memicu
pelepasan mediator
Ig D <1,0  Diferensiasi limfosit
 Fungsi selengkapnya tidak diketahui
Sumber: Kosasih. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik.
Tanggerang: Karisma

c. Interaksi antibodi-antigen
Chandrasoma & Taylor (2001) menyatakan bahwa sisi pengikat
antigen pada regio variabel antibodi akan berikatan dengan sisi penghubung
determinan antigenik pada antigen untuk membentuk komplek antigen-antibodi
(atau imun). Pengikatan ini memungkinkan inaktivasi antigen melalui proses
fiksasi, netralisasi, aglutinasi dan presipitasi.
d. Fiksasi komplemen
Terjadi jika bagian molekul antibodi mengikat komplemen,
ikatan molekul komplemen diaktivasi melalui jalur klasik yang memicu efek
cascade untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat organisme atau toksin
penyusup.efek yang paling penting meliputi: (1) Opsonisasi merupakan partikel
antigen diselubungi antibodi/komponen komplemen yang memfasilitasi proses
fagositosis partikel. Selain itu suatu produk protein berlekuk dari cascade
komplemen juga berinteraksi dengan reseptor khusus pada neutrofil dan makrofag

11
dan meningkatkan fagositosis. (2) Sitolisis adalah kombinasi dari faktor-faktor
komplemen multiple mengakibatkan rupturnya membran plasma bakteri atau
penyusup lain dan menyebabkan isi seluler keluar. (3) Inflamasi merupakam
produk komplemen berkontribusi dalam inflamasi akut melalui aktivasi sel mast,
basofil, dan trombosit darah.

2.3.3 Jenis imunitas


Menurut Sloane (2004), jenis imunitas dapat dibagi dua yaitu:
2.3.3.1 Imunitas aktif
Didapat akibat kontak langsung dengan mikroorganisme atau
toksin sehingga tubuh memproduksi antibodinya sendiri. Dan imunitas aktif
dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Imunitas aktif dapatan secara alami. Terjadi jika seseorang terpapar
satu penyakit dan sistem imun memproduksi antibodi serta limfosit khusus.
Imunitas dapat bersifat seumur hidup (campak, cacar) atau sementara
(pneumonia pneumokokal, gonore).
b. Imunitas aktif dapatan secara buatan (terinduksi) merupakan hasil
vaksinasi. Vaksin ini dapat merangsang respon imun, tetapi tidak
menyebabkan penyakit.

2.3.3.2 Imunitas pasif


Terjadi jika antibodi dipindahkan dari satu individu ke individu
lain. Dan imunitas pasif dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Imunitas pasif alami. Terjadi pada janin saat antibodi IgG ibu
masuk menembus plasenta. Antibodi IgG memberi perlindungan sementara
(mingguan sampai bulanan) pada sistem imun yang matur.
b. Imunitas pasif buatan. Adalah imunitas yang diberikan melalui
injeksi antibiotik yang diproduksi oleh orang atau hewan yang kebal karena
pernah terpapar suatu antigen. Misalnya, antibodi dari kuda yang sudah
kebal terhadap racun ular tertentu dapat diinjeksikan pada individu yang
dipatuk ular sejenis.

12
Tabel 2.2 Jenis Imunitas

Jenis imunitas Cara perkembangan Contoh


Imunitas aktif Alami Didapat dari infeksi oleh Cacar air,
antigen sehingga hepatitis A
menyebabkan produksi
antibodi
Buatan Didapat dari imunisasi dengan Polio, DPT,
antiggen, seperti vaksin hidup vaksin hepatitis B
yang dilemahkan
Imunitas pasif Alami Didapat dari pemindahan Neonatus
antibodi ibu ke janin atau awalnya
neonatus melalui plasenta/ASI dilindungi dari
MMR jika ibu
kebal
Buatan Didapat oleh pemberian Injeksi gamma
antibodi atau antitoksin dalam globulin setelah
imunoglobulin pemajanan
hepatitis A
Sumber: LeMone, et.al. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1.
Edisi 5. Jakarta: EGC

2.3.4 Sel-sel yang terlibat dalam respon imun


Ada tiga sel yang memegang peranan penting dalam imunitas yaitu
sel B (limfosit B), sel T (limfosit T) dan makrofag.
2.3.4.1 Sel B (limfosit B)
a. Fungsi sel B. Adalah antigen spesifik yang berpoliferasi untuk
merespon antigen tertentu. Sel B berdiferensiasi menjadi sel plasma nonpoliferasi
yang mensintesis dan mensekresi antibodi.
b. Respon sel B. Ketika menghadapi antigen spesifik, sel B berikatan
dengan antigen tersebut seperti “kunci dan gemboknya”. Hal ini menyebabkan sel
B berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel plasma pada gilirannya mulai
mensekresi jutaan molekul antibodi yang dibentuk secara spesifik untuk melawan
antigen. Setelah dibentuk, antibodi yang disebut imunoglobulin beredar melalui
darah menemukan antigen yang merangsang pembentukannya dan akhirnya
menghancurkannya. Respon yang diperantarai antibodi diperlukan sebgai
mekanisme pertahanan terhadap bakteri dan virus yang bersirkulasi serta terhadap
toksin yang dihasilkan bakteri.

13
2.3.4.2 Sel T (limfosit T)
a. Fungsi sel T. Adalah menunjukkan spesifisitas antigen dan akan
berpoliferasi jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memperoduksi antibodi. Sel T
mengenali dan berinterasi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu protein
permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi. Sel T
memproduksi zat aktif secara imunologis yang disebut limfokin, yang berfungsi
untuk membantu limfosit B merespon antigen, membunuh sel-sel asing tertentu,
dan mengatur respon imun.
b. Respon sel T. Sewaktu berikatan dengan antigen imunogenik, sel T
terangsang untuk matur dan berproduksi. Hal ini menghasilkan paling sediikit
empat subtipe sel T yang mampu bekerja pada satu antigen: sel T sitotoksik, sel T
helper, sel T regulatori, dan sel T pengingat. Respon sel T terhadap antigen disebut
respon diperantarai sel, karena sel T berespon secara langsung, sel ini tidak perlu
menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi untuk menghancurkan antigen.
c. Makrofag. Fungsi magrofag adalah menelan zat asing dan melalui
kerja enzimatik menguraikan materi yang tertelan untuk diekskresi dan untuk
pemakaian ulang.

2.3.5 Gangguan Imun


2.3.5.1.Hipersensitivitas
Hipersensitivitas terjadi setelah IgE melawan substansi asing tertentu
dan terikat pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Produksi IgE sebagai
respon terhadap alergen menyebabkan alergi individual. Dua kategori reaksi
hipersensivitas adalah (1) reaksi cepat (humoral atau antigen-antibodi) dan (2)
lambat (seluler atau diperantarai sel). Reaksi cepat (antigen-antibodi) terjadi
dalam hitungan menit setelah paparan antigen. Produksi IgE memerantarai respon
cepat dengan mengaktivasi sel mast dan basofil, menyebabkan degranulasi dan
melepaskan mediator seperti histamin, leukotrien dari basofil dan prostaglandin,
serta faktor pengaktivasi trombosit dari eosinofil. Reaksi lambat terlihat saat
terdapat respon yang lama terhadap paparan awal alergen. Sel T berperan pada
respon inflamasi lambat yang terjadi 2-8 jam setelah sel mast teraktivasi oleh
alergen.

14
Brunner & Suddarth (2014), reaksi hipersentivitas dibagi menjadi empat yaitu:
a. Hipersensitivitas Tipe 1 (anafilaksis)
Respon anafilaksis berlangsung cepat dan diperantarai IgE. Alergen
berikatan dengan IgE yang menarik sel mast dan basofil, mengakibatkan
dilepaskannya mediator. Contoh hipersensitivitas tipe 1 adalah alergi
rinitis dan reaksi alergi obat akut.
b. Hipersensitivitas Tipe 2 (Sitolitik atau Sitotoksik)
Reaksi sitolitik bergantung komplemen dan melibatkan IgG dan IgM.
Ikatan antigen-antibodi mengakibatkan aktivasi sistem komplemen dan
menghancurkan sel yang mengikat alergen. Contohnya yaitu anemia
hemolitik, Rh hemolitik bayi baru lahir, hipertiroidisme autoimun,
miastenia gravis, dan reaksi transfusi darah. Selama transfusi darah,
ketidakcocokan golongan darah menyebabkan lisis sel, yang menghasilkan
reaksi transfusi. Reaksi transfusi merupakan hasil hemolisis sel darah
merah intravaskuler dan termasuk nyeri kepala serta nyeri punggung, nyeri
dada seperti angina, mual dan muntah, takikardia dan hipotensi, dan
urtikaria.
c. Hipersensitivitas Tipe 3 (Kompleks Imun)
Inflamasi kompleks imun dilakukan oleh IgG dan IgM, antigen, dan
komplemen. Mediator inflamasi termasuk peptida yang mengaktifkan sel
mast, nuetrofil, monosit, dan sel lain. Pelepasan granula lisosom sel darah
putih dan makrofag mengakibatkan cedera jaringan lebih lanjut. Kompleks
antigen-antibodi dibentuk dalam aliran darah dan terperangkap dikapiler
atau pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan urtikaria, artritis,
atau glomerulonefritis. Alternatifnya, kompleks antigen- antibodi dapat
terbentuk di ruang sendi mengakibatkan sinovitis , seperti pada artritis
reumatoid dan lupus eritematosus sistemik. Antigen bersirkulasi pada
serum sickness. Serum sickness terjadi setelah 6-14 hari injeksi serum
asing. Penumpukan kompleks pada dinding pembuluh darah
mengakibatkan aktivasi komplemen yang menghasilkan edema, demam,
inflamasi pembuluh darah dan sendi, dan urtikaria.

15
d. Hipersensitivitas Tipe 4 (Diperantarai Sel atau Fase Lambat)
Sel T tersensitisasi merespon antigen dengan melepaskan limfokin
yang langsung pada aktivitas fagositosis. Reaksi terjadi dalam 24-72 jam
setelah paparan antigen. Dermatitis kontak merupakan reaksi tipe 4 yang
lain terjadi setelah sensitisasi alergen, biasanya kosmetik, adhesif, obat
topikal, obat tambahan (misalnya lanolin pada lotion), atau racun tumbuhan.
Pada paparan pertama tidak reaksi, namun antigen terbentuk. Pada paparan
berikutnya, reaksi hipersensitivitas terpicu yang menyebabkan gatal,
eritema, dan lesi vaskular.

2.3.6 Pengkajian
2.3.6.1 Riwayat kesehatan
Meninjau kembali data demografi meliputi usia, jenis
kelamin, ras dan latar belakang etnis. Banyak gangguan
autoimun lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki.
Kaji tinggi badan, berat badan, kehilangan berat badan
yang terlihat terkait nutrisi. Karena kehilangan berat badan
dan kehabisan protein merupakan faktor resiko penyembuhan
dan mengakibatkan komplikasi luka. Contoh pasien yang
mengalami proses inflamasi /penyembuhan luka memerlukan
diet yang seimbang dan cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh.
Kaji adanya penggunaan obat-obatan (antiinflamasi dan
kortikoteroid)
Kaji tentang status kehamilan, adanya infeksi, imunisasi,
gangguan autoimun, penyakit kronis seperti Diabetes melitus,
kanker dan riwayat merokok.

2.3.6.2 Riwayat keluarga


Penting untuk dikaji karena terdapat komponen genetik yang
mempengaruhi sistem imun.

16
2.3.6.3 Keluhan
Perasaan tidak enak, gelisah, pening, telapak tangan dan kulit
kepala gatal, bengkak pada kelopak mata, bibir, lidah, tangan,
kaki dan genitalia. Pembengkakan juga dapat terjadi pada
uvula dan laring, yang dapat mengganggu pernafasan yang
mengakibatkan stridor, mengi dan batuk kering. Dan dapat
juga terjadi mual,muntah, diare, dan kram.

2.3.6.4 Pengkajian fisik


a. Inspeksi
Penampilan umum, adanya keletihan/kelemahan
dapat mengindikasi penyakit akut/kronis/imunodefisiensi.
Catat apakah usia yang dikatakan terlihat serupa.
Observasi kemudahan pasien dalam bergerak. Periksa
tanda-tanda vital. Peningkatan suhu dapat
mengidentifikasi infeksi atau respon imunodefisiensi.
Mata, adanya kemerahan atau mengeluarkan air
mata.
Membran mukosa pada hidung dan mulut, terkait
warna dan kondisi. Mukosa hidung yang pucat dan berair
(edema) sering kali berkaitan dengan alergi kronis. Catat
petekie, noda putih atau plak putih berjaringan pada
mukosa oral, tanda-tanda ini dapat mengindikasi
imunodefiensi.
Kulit, kaji warna, suhu dan kelembapan. Kulit
pucat/ikterus dapat mengindikasi reaksi hemolitik. Pucat
juga dapat mengindikasi supresi sumsum tulang yang
disertai dengan imunodefisiensi terkait. Inspeksi kulit
terhadap adanya ruam/lesi, seperti petekie, memar yang
banyak, noda ungu/biru/lesi yang mengindikasi sarkoma.

17
Dan luka yang mengalami infeksi, inflamasi/tidak sembuh.
Catat lokasi dan distribusi setiap ruam/lesi.
Inspeksi servikal, aksila dan nodus limfe pangkal
paha terhadap adanya limmfadenopati (pembengkakan)
Sendi, terhadap kemerahan, bengkak yang dapat
mengindikasi gangguan autoimun. Dan kaji rentang gerak
sendi
b. Palpasi
Servikal, aksila dan nodus limfe pangkal paha
terhadap adanya nyeri tekan.
Sendi, terkait nyeri tekan atau deformitas yang
dapat mengindikasi gangguan autoimun.

2.3.7 Pemeriksaan diagnostik


Sebagian besar immunodefisiensi dapat diidentifikasi melalui tiga tes
darah, (1) hitung leukosit dan hitung jenis leukosit, (2) kadar imunoglobulin dan
(3) total serum komplemen. Imunodefisiensi tambahan dapat ditentukan melalui
uji kompleks, termasuk immunophenotyping leukosit, pengukuran subklas
imunoglobulin, complement assay, dan keberadaan antibodi spesifik (setelah
imunisasi atau paparan antigen penyakit menular).

Tabel 2.3 Nilai Normal Pemeriksaan Darah


Pengukuran Nilai
Leukosit
Hitung sel darah putih (jumlah sel/mm3 darah) 4000-9000/ mm3
Hitung jenis leukosit
Granulosit
Neutrofil 55-70%
Eosinofil 1-4%
Basofil 0,5-1,0%
Agranulosit
Limfosit 20-40%
Monosit 2-8%

Platelet
Hitung platelet (trombosit) (jumlah sel/mm3 150.000-450.000/ mm3
darah)

18
Sumber: Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, buku 3.
Singapore: Elsevier

Tabel 2.4 Kadar Imunoglobulin dalam darah


Imunoglobulin (g/L) mg/L mg/dL
Ig A 0,7-3,0 70-300
Ig G 6,4-14,3 640-1430
Ig M 0,2-1,4 20-40
Ig D <80 <8
Ig E 0,1-0,4 0,01-0,04
Sumber: Kosasih. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik.
Tanggerang: Karisma

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen. (2006). Imunologi Dasar. Edisi ke 7. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah, Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Edisi 8, Buku 3. Singapore: Elsevier.

Brunner & Suddarth. (2014). Medical Surgical Nursing. Edition 10th. Singapore:
Elsevier.

19
Chandrasoma & Taylor. (2001). Concise Pathology, Third Edition. Singapore:
McGraw-Hill

Corwin, Elizabeth. (2009). Buku Saku Patofisiologi (Handbook of


Pathophysiology). Edisi 3. Jakarta: EGC

Kosasih. (2008). Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Tangerang:


Karisma

Kreno, Siti. (2003). Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI

LeMone, et.al. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1. Edisi 5.
Jakarta: EGC

Rosdahl & Kowalski. (2016). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Edisi 10. Jakarta:
EGC.

Sloane, Ethel. (2004). Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: EGC

20

Anda mungkin juga menyukai