Anda di halaman 1dari 335

SISTEM IMUN

Mekanisme Pertahanan
Tubuh Terhadap Bakteri
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang


mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut
dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba
patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena
itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai macam
mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik
spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang
berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap
bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular
mempunyai karakteristik tertentu pula

Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi
matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah
tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi
oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan
cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan
negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan
tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.

Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi
bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit
dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh,
sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan
antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan
gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk
mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang


melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini mendeteksi berbagai macam
pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi,
bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan
memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat
berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki
cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang
menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh
sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang
berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman,
ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang
disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang lebih
berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi
vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel,
organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin.
Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata
mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi
membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama
pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima
adalah basis dari vaksinasi.

Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah


mikroba yang masuk. Mekanisme pertahanan tubuh dalam
mengatasi agen yang berbahaya meliputi
1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak
dan asam laktat melalui kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan
silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisosom dalam
air mata
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat
yang dapat mencegah invasi mikroorganisme
3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel
polimorfonuklear (PMN) dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast,
protein fase akut, interferon, sel NK(natural killer) dan mediator
eosinofil
4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler.
Secara umum pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus,
protozoa, jamur dan beberapa bakteri intraselular fakultatif terutama
membutuhkan imunitas yang diperani oleh sel yang dinamakan
imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular dan toksin
membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan
imunitas humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan
nonimunologik (nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam
pengontrolan terjadinya penyakit infeksi.
Invasi Patogen
Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk menghindar dari
respon imun. Patogen telah mengembangkan beberapa metode yang menyebabkan
mereka dapat menginfeksi sementara patogen menghindari kehancuran akibat
sistem imun.Bakteri sering menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang
mendalami isi perisai, contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi.
Sebagai kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka
dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran langsung untuk
protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik tubuh; protein yang dikirim
melalui tuba sering digunakan untuk mematikan pertahanan.
Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk mengelakan sistem
imun bawaan adalah replikasi intraselular (juga disebut patogenesis intraselular).
Disini, patogen mengeluarkan mayoritas lingkaran hidupnya kedalam sel yang
dilindungi dari kontak langsung dengan sel imun, antibodi dan komplemen.
Beberapa contoh patogen intraselular termasuk virus, racun makanan,
bakteri Salmonella dan parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium
falciparum) dan leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain,
seperti Mycobacterium tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang
mencegah lisis oleh komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang
mengurangi respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.
Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari sel dan
protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang berhasil,
seperti Pseudomonas aeruginosakronik dan Burkholderia
cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis. Bakteri lain menghasilkan protein
permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi tidak efektif;
contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus aureus(protein A),
dan Peptostreptococcus magnus (protein L).
Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak,bacteria), adalah kelompok terbanyak
dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan
uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa
nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas.
Struktur sel mereka dijelaskan lebih lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena
bakteri merupakan prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang
memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah “bakteri” telah diterapkan
untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung pada
gagasan mengenai hubungan mereka.
Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka tersebar
(berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain.
Banyak patogen merupakan bakteri. Kebanyakan dari mereka kecil, biasanya hanya
berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau 0,3 mm dalam diameter
(Thiomargarita). Mereka umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan
jamur, tetapi dengan komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang
bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela
kelompok lain.
\
SPECIFIC ATTACHMENTS OF BACTERIA TO HOST CELL OR TISSUE
SURFACES

Adhesin Receptor Attachment site Disease

Streptococcu Amino terminus of Pharyngeal


s pyogenes Protein F fibronectin epithelium Sore

Streptococcu Salivary
s mutans Glycosyl transferase glycoprotein Pellicle of tooth Dent

Buccal
Streptococcu epithelium of
s salivarius Lipoteichoic acid Unknown tongue None

N-
Streptococcu acetylhexosamine-
s galactose Mucosal
pneumoniae Cell-bound protein disaccharide epithelium pneu

Staphylococc Amino terminus of Mucosal


us aureus Cell-bound protein fibronectin epithelium Vario
Type IV pili (N- Glucosamine-
Neisseria methylphenyl- galactose Urethral/cervical
gonorrhoeae alanine pili) carbohydrate epithelium Gono

Enterotoxige Species-specific Intestinal


nic E. coli Type-I fimbriae carbohydrate(s) epithelium Diarr

Uropathogen Complex Urethral


icE. coli Type I fimbriae carbohydrate epithelium Ureth

Uropathogen Globobiose linked Upper urinary


icE. coli P-pili (pap) to ceramide lipid tract Pyelo

Fimbriae Galactose on
Bordetella (“filamentous sulfated Respiratory Who
pertussis hemagglutinin”) glycolipids epithelium coug

N- Fucose and
Vibrio methylphenylalanin mannose Intestinal
cholerae e pili carbohydrate epithelium Chole

Treponema Peptide in outer Surface protein Mucosal


pallidum membrane (fibronectin) epithelium Syph

Respiratory
Mycoplasma Membrane protein Sialic acid epithelium Pneu

Conjunctival or
urethral
Chlamydia Unknown Sialic acid epithelium

INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER


Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam
sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis
bakteri yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab
sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit.
Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit
karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang
mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada
infeksi bakteri berkapsulStreptococcus pneumoniae atau Haemophylus
influenzae. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada
permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan
adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat
dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni
leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non
fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .

Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari
kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan
pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut,
sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b
konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan
menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.

Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi


produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi
komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara
mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy
protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa
organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat
insersi komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .

Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk
menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-
lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga
dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim
yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan
sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah
gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik (neutropenia)
atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).
Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.
Invasin Bacteria Involved Activity
Streptococci,
Hyaluronidas staphylococci and Degrades hyaluronic of connective
e clostridia tissue

Dissolves collagen framework of


Collagenase Clostridiumspecies muscles

Vibrio
Neuraminida choleraeand Shigella Degrades neuraminic acid of
se dysenteriae intestinal mucosa

Converts fibrinogen to fibrin which


Coagulase Staphylococcus aureus causes clotting

Staphylococci and Converts plasminogen to plasmin


Kinases streptococci which digests fibrin

Disrupts neutrophil membranes and


causes discharge of lysosomal
Leukocidin Staphylococcus aureus granules

Repels phagocytes and disrupts


phagocyte membrane and causes
Streptolysin Streptococcus pyogenes discharge of lysosomal granules
Streptococci, Phospholipases or lecithinases that
staphylococci and destroy red blood cells (and other
Hemolysins clostridia cells) by lysis

Lecithinases Clostridium perfringens Destroy lecithin in cell membranes

Phospholipas Destroy phospholipids in cell


es Clostridium perfringens membrane

One component (EF) is an


adenylate cyclase which causes
increased levels of intracellular
Anthrax EF Bacillus anthracis cyclic AMP

One toxin component is an


adenylate cyclase that acts locally
producing an increase in
Pertussis AC Bordetella pertussis intracellular cyclic AMP

EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEINS THAT ARE CONSIDERED


INVASINS
Mekanisme pertahanan tubuh

Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek


toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui
fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam
dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa
adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis
bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat
pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel
lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan
IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular
pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel
inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme
pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis
protein fase akut.

Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan
menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu
terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi
sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang
mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan
sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.

Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap
bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi
biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel
target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif
infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi
dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat
berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks
membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin
bertambah.

Opsonisasi

Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang


berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang
tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.

Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat
terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r
dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen
pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai
fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri
Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan
opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap
proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi
oleh antibodi.

Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang


diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada
permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi
dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b,
sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of
multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun
merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.

Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat
masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel.
Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga
menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari
komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik
terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.

Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi
infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang
dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih
dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor
kemotaktik.

Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada
dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN
pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada
proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel.
Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri
yang telah menginfeksi.

Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan


pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga
bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam
fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan
menghancurkan bakteri tersebut.

Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi
maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat
itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses
oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang
terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat
dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam
hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H 2O2 dengan superoksida
dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi
berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein,
sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan
bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein
yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat
merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat
terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim.
Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai
antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan
nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi
oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis
bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai
oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2
pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara
melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di
membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap
neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil
melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak
antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen
respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan
permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi
IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil
akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab
infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-
komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat
permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit
dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler,
yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan
obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi
tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah
bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini
dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi,
sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda
dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil
tuberkel dan leprosi, dan organismeListeria dan Brucella menghindari perlawanan
sistem imun dengan cara hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit
mononuklear, karena sel tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh.
Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami
opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan
perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga
mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid
mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive
oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom
dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag
dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya
Mekanisme pertahanan tubuh
Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat
penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan
partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag
yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin
IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler,
terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide
(NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi
yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang
diperantarai oleh sel T CD8.

Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang
kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang
membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal
ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan
gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh
respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.

Daftar Pustaka
 Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4:
Bacterial Toxins. Marcel Dekker, New York, 1988
 Iglewski BH, Clark VL (eds): Molecular Basis of Bacterial
Pathogenesis. Vol. XI of The Bacteria: A Treatise on Structure and
Function. Academic Press, Orlando, FL, 1990
 Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.
 Luderitz O, Galanos C: Endotoxins of gram-negative bacteria. p.307.
In Dorner F, Drews J (eds): Pharmacology of Bacterial Toxins.
International Encyclopedia of Pharmacology and Therapeutics, Section
119. Pergamon, Elmsford, NY, 1986
 Mims CA: The Pathogenesis of Infectious Disease. Academic Press,
London, 1976
 Payne SM: Iron and virulence in the family Enterobacteriaceae. Crit
Rev Microbiol 16:81, 1988
 Sack RB: Human diarrheal disease caused by
enterotoxigenic Escherichia coli. Annu Rev Microbiol 29:333, 1975
 Salyers, AA, Whitt DD: Bacterial Pathogenesis – A Molecular
Approach ASM Press, 1994
 Smith H: Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol
Rev 41:475, 1977
 Smith H, Turner JJ (eds): The Molecular Basis of Pathogenicity. Verlag
Chemie, Deerfield Beach, FL, 1980
 Weinberg ED: Iron withholding: a defense against infection and
neoplasia. Physiol Rev 64:65, 1984
 Eisenstein TK, Actor P, Friedman H: Host Defenses to Intracellular
Pathogens. Plenum Publishing Co, New York, 1983
 Finlay BB, Falkow S: Common themes in microbial pathogenicity.
Microbiol Rev 53:210, 1989
 Foster TJ: Plasmid-determined resistance to antimicrobial drugs and
toxic metal ions in bacteria. Microbiol Rev 47:361, 1983
MEKANISME RESPON TUBUH TERHADAP
SERANGAN MIKROBA
Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam
beberapa jenjang tahapan. Tahapan awal bersifat nonspesifik
atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan kedua
bersifat spesifik dan didapat, yang diinduksi oleh komponen
antigenik mikroba. Tahapan terakhir adalah respons peningkatan
dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik
yang diatur oleh berbagai produk komponen respons inflamasi,
seperti mediator kimia.

Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan
dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada
autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh dari


komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya guna merespon
infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel tubuh (intraselular)
seperti misalnya virus, maupun yang berkembang biak di luar sel tubuh
(ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang menguntungkan.
Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak nyaman oleh karena efek
samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik senyawa organik yang dikeluarkan
sepanjang proses perlawanan berlangsung

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari
tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang
siap melumat organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit,
dengan tidak dilengkapi oleh antibodi.Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang


sama, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :
 sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem
kekebalan turunan
 sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,
sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.
 sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk
“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat
saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan
turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Respon inflamasi dan fagositosis dari tuan rumah untuk menyerang bakteri yang
segera dan nonspesifik. Sebuah respon, imun spesifik akan segera ditemui oleh
bakteri invasif. Kekuatan imun adaptif dari antibodi-mediated imunitas (AMI) dan
imunitas diperantarai sel (CMI) yang dibawa ke dalam presentasi antigen bakteri ke
sistem imunologi.

Meskipun AMI adalah respon imunologi utama efektif terhadap bakteri ekstraseluler,
respon defensif dan protektif terhadap bakteri intraselular utama adalah CMI. Pada
permukaan epitel, pertahanan kekebalan utama tertentu dari tuan rumah adalah
perlindungan yang diberikan oleh antibodi IgA sekretori. Setelah permukaan epitel
telah ditembus, namun pertahanan kekebalan dari AMI dan CMI yang ditemukan.
Jika ada cara bagi organisme untuk berhasil melewati atau mengatasi pertahanan
imunologi, maka beberapa bakteri patogen mungkin telah “ditemukan” itu. Bakteri
berkembang sangat cepat dalam kaitannya dengan tuan rumah mereka, sehingga
sebagian besar anti-tuan strategi layak kemungkinan telah dicoba dan
dimanfaatkan. Akibatnya, bakteri patogen telah mengembangkan berbagai cara
untuk memotong atau mengatasi pertahanan imunologi dari host, yang berkontribusi
pada virulensi dari mikroba dan patologi penyakit.

STRATEGI PERTAHANAN PATHOGEN MELAWAN PERTAHANAN


INMUNITAS SPESIFIK

Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri

Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik
dalam respon imun terhadap antigen tertentu (Ag). Toleransi ke Ag bakteri tidak
melibatkan kegagalan umum dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam
kaitannya dengan antigen tertentu (s) dari bakteri tertentu. Jika ada respon
kekebalan yang tertekan terhadap antigen yang relevan dari parasit, proses infeksi
difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik AMI atau CMI atau kedua lengan dari
respon imunologi.
Toleransi terhadap suatu Ag dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang
mungkin relevan dengan infeksi bakteri.

1. Paparan Antigen Janin terpapar Ag.Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari
perkembangan imunologi, mikroba Ag dapat dilihat sebagai “diri”, dengan demikian
menyebabkan toleransi (kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Ag yang
dapat bertahan bahkan setelah kelahiran.
1. High persistent doses of circulating Ag . Toleransi terhadap bakteri
atau salah satu produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar
antigen bakteri yang beredar dalam darah. The immunological system
becomes overwhelmed. Sistem kekebalan menjadi kewalahan.

2. Molecular mimicry . Jika Ag bakteri sangat mirip dengan “antigen”


host normal, respon kebal terhadap Ag ini mungkin lemah
memberikan tingkat toleransi. Kemiripan antara Ag bakteri dan host
Ag disebut sebagai mimikri molekuler. Dalam hal ini determinan
antigenik dari bakteri sangat erat terkait kimiawi untuk host
komponen jaringan yang sel-sel imunologi tidak dapat membedakan
antara dua dan respon imunologi tidak dapat ditingkatkan. Beberapa
kapsul bakteri tersusun dari polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic)
sehingga mirip dengan host polisakarida jaringan yang mereka tidak
imunogenik.

Antigenic Disguises
Beberapa patogen dapat menyembunyikan antigen unik dari antibodi opsonizing
atau pelengkap. Bakteri mungkin dapat untuk melapisi diri dengan protein host
seperti fibrin, fibronektin, atau bahkan molekul immunolobulin. Dengan cara ini
mereka dapat menyembunyikan komponen antigen permukaan mereka sendiri dari
sistem imunologi.

S. aureus menghasilkan sel-terikat koagulase dan faktor penggumpalan yang


menyebabkan fibrin untuk membeku dan untuk deposit pada permukaan sel. Ada
kemungkinan bahwa ini menyamarkan bakteri imunologi sehingga mereka tidak
mudah diidentifikasi sebagai antigen dan target untuk respon imunologi.

Protein A diproduksi oleh S. aureus , dan Protein G analog yang dihasilkan oleh
Streptococcus pyogenes, mengikat bagian Fc dari imunoglobulin, sehingga lapisan
bakteri dengan antibodi dan membatalkan kapasitas opsonizing mereka dengan
disorientasi. Lapisan fibronektin Treponema pallidum memberikan menyamar
imunologi untuk spirochete tersebut. E. coli K1, yang menyebabkan meningitis pada
bayi baru lahir, memiliki kapsul terdiri terutama asam sialic memberikan menyamar
antigen, seperti halnya kapsul asam hialuronat Streptococcus pyogenes.

Imunosupresi

Beberapa patogen (terutama virus dan protozoa, jarang bakteri) penyebab


imunosupresi dalam inang terinfeksi mereka. Ini berarti bahwa tuan rumah
menunjukkan respon imun terhadap antigen depresi pada umumnya, termasuk
mereka dari patogen menginfeksi.

Tanggapan kekebalan ditekan kadang-kadang diamati selama infeksi bakteri kronis


seperti kusta dan TBC. Hal ini penting mengingat sepertiga dari populasi dunia
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Dalam bentuk ekstrim dari kusta, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, ada
respon yang buruk terhadap antigen lepra, serta antigen yang tidak terkait. Setelah
pasien telah berhasil diobati, muncul kembali reaktivitas imunologi, menunjukkan
bahwa imunosupresi umum sebenarnya karena penyakit.
Dalam kasus-kasus ringan penyakit kusta sering merupakan penekanan kekebalan
terkait yang spesifik untuk M. leprae antigens. leprae antigen. Hal ini terpisah dari
toleransi, karena antigen unik (protein) Hal ini dapat dijelaskan oleh (1) kurangnya
sinyal costimulatory (gangguan sekresi sitokin), (2) aktivasi sel T penekan, (3)
gangguan di T H1 / T H2 kegiatan sel.
Saat ini, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang patogen bakteri
menghambat respon imun umum. Tampaknya kemungkinan bahwa itu adalah
karena gangguan pada fungsi sel B, sel T atau makrofag. Sejak bakteri intraseluler
banyak menginfeksi makrofag, mungkin diharapkan bahwa mereka berkompromi
peran sel-sel dalam respon imunologi.

Imunosupresi Umum diinduksi dalam host mungkin nilai langsung ke patogen, tetapi
tidak ada arti khusus (untuk penyerbu) jika hanya mempromosikan infeksi oleh
mikroorganisme yang tidak terkait. Mungkin ini adalah mengapa hal itu tidak
tampaknya menjadi strategi yang umum digunakan bakteri.

Kegigihan Patogen di Situs Tubuh tidak dapat diakses untuk Respon Kekebalan
Tubuh Spesifik Beberapa patogen dapat menghindari membuka diri untuk kekuatan
kekebalan tubuh. Patogen intraseluler dapat menghindari respon host imunologi
selama mereka tinggal di dalam sel yang terinfeksi dan mereka tidak mengizinkan
Ag mikroba terbentuk pada permukaan sel. Ini terlihat dalam makrofag terinfeksi
Brucella, Listeria atau M. leprae . Makrofag mendukung pertumbuhan bakteri dan
pada saat yang sama memberikan mereka perlindungan dari respon imun..
Beberapa patogen intraseluler (Yersinia, Shigella, Listeria, E. coli) dapat mengambil
residensi di dalam sel-sel yang tidak fagosit atau APC dan antigen mereka tidak
ditampilkan di permukaan sel yang terinfeksi. Mereka hampir tak terlihat oleh sel-sel
sistem kekebalan tubuh.

Beberapa patogen bertahan pada permukaan luminal saluran pencernaan, rongga


mulut dan saluran kemih, atau lumen kelenjar ludah, kelenjar susu atau tubulus
ginjal. Jika tidak ada penghancuran sel inang, patogen dapat menghindari
menginduksi respon inflamasi, dan tidak ada cara di mana limfosit peka atau
antibodi yang beredar dapat mencapai lokasi untuk menghilangkan infeksi. Sekretori
IgA dapat bereaksi dengan antigen permukaan sel bakteri, tetapi urutan pelengkap
akan tidak diaktifkan dan sel-sel tidak akan dihancurkan. Dapat dibayangkan,
antibodi IgA dapat melumpuhkan bakteri dengan aglutinasi sel atau blok kepatuhan
bakteri pada permukaan jaringan atau sel, tetapi tidak mungkin bahwa IgA akan
membunuh bakteri secara langsung atau menghambat pertumbuhan mereka.

Beberapa contoh bakteri patogen yang tumbuh di situs jaringan umumnya tidak
dapat diakses pada kekuatan AMI dan CMI diberikan di bawah ini.

Streptococcus mutans dapat memulai karies gigi pada setiap saat setelah letusan
gigi, terlepas dari status kekebalan dari tuan rumah. Entah host tidak mengalami
respon imun IgA sekretori efektif atau berperan kecil dalam mencegah kolonisasi
dan pengembangan plak berikutnya.

Vibrio cholerae berkembang biak di saluran pencernaan dimana bakteri menguraikan


racun yang menyebabkan hilangnya cairan dan diare di host yang merupakan
karakteristik dari penyakit kolera. Antibodi IgA terhadap antigen seluler dari Vibrio
kolera tidak sepenuhnya efektif dalam mencegah infeksi oleh bakteri ini seperti yang
ditunjukkan oleh ketidakefektifan relatif dari vaksin kolera dibuat dari vibrio fenol-
tewas.

Keadaan pembawa hasil demam tifoid dari infeksi persisten oleh basil tifus,
Salmonella typhi. Organisme ini tidak dihilangkan selama infeksi awal dan tetap
dalam host untuk bulan, tahun atau waktu hidup. Dalam carrier, S typhi mampu
menjajah saluran empedu (kantung empedu) dari dari kekuatan kekebalan tubuh,
dan ditumpahkan ke dalam urin dan feses.

Beberapa bakteri menyebabkan infeksi persisten pada lumen kelenjar Brucella


abortus terus menerus menginfeksi kelenjar susu sapi dan ditumpahkan di dalam
susu.. Leptospira mengalikan terus-menerus di dalam lumen tubulus ginjal tikus dan
ditumpahkan dalam urin dan tetap menular.

Bakteri penyebab infeksi pada folikel rambut, seperti jerawat, jarang menemukan
jaringan imunologi.

Induksi Antibodi yang tidak efektif

Banyak jenis antibodi (Ab) terbentuk terhadap Ag tertentu, dan beberapa komponen
bakteri dapat menampilkan determinan antigenik yang berbeda. Antibodi cenderung
berkisar dalam kapasitas mereka untuk bereaksi dengan Ag (kemampuan Ab spesifik
untuk mengikat suatu Ag disebut aviditas).Jika Abs terbentuk terhadap Ag bakteri
dari aviditas yang rendah, atau jika mereka diarahkan terhadap determinan
antigenik yang tidak penting, mereka mungkin hanya aksi antibakteri lemah. Seperti
“tidak efektif” (non-penetral) Abs bahkan mungkin membantu patogen dengan
menggabungkan dengan permukaan Ag dan menghalangi lampiran dari setiap Abs
fungsional yang mungkin hadir.

Dalam kasus Neisseria gonorrhoeae adanya antibodi terhadap protein membran luar
disebut rmp mengganggu reaksi bakterisidal serum dan dalam beberapa cara
kompromi pertahanan permukaan dari saluran urogenital wanita. Meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi ulang sangat berhubungan dengan keberadaan sirkulasi
antibodi rmp.

Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut

Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan dalam bentuk


yang larut ke dalam cairan jaringan. Antigen ini larut dapat menggabungkan
dengan dan “menetralisir” antibodi sebelum mereka mencapai sel-sel bakteri.
Misalnya, sejumlah kecil endotoksin (LPS) dapat dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh
bakteri Gram-negatif.

Otolisis bakteri Gram-negatif atau Gram-positif dapat melepaskan komponen antigen


permukaan dalam bentuk yang larut Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis diketahui melepaskan polisakarida kapsuler selama pertumbuhan dalam
jaringan.. Mereka ditemukan dalam serum pasien dengan pneumonia pneumokokus
dan dalam cairan serebrospinal pasien dengan meningitis. Secara teoritis, antigen
permukaan dirilis bisa “mengepel” antibodi sebelum mencapai permukaan bakteri
yang seharusnya lebih diutamakan untuk patogen. Komponen-komponen sel bakteri
larut dinding adalah antigen yang kuat dan melengkapi aktivator sehingga mereka
berkontribusi dengan cara utama untuk patologi diamati pada meningitis dan
pneumonia.

Protein A, diproduksi oleh S. aureus mungkin tetap terikat pada permukaan sel
stafilokokus atau dapat dirilis dalam bentuk larut. Protein A akan mengikat ke
wilayah Fc dari IgG. Di permukaan sel, protein A mengikat IgG dalam orientasi yang
salah untuk mengerahkan aktivitas antibakteri, dan protein terlarut A agglutinates
dan sebagian inactivates IgG.

Interferensi Local dengan Aktifitas Antibody

Mungkin ada beberapa cara yang patogen mengganggu aksi antibakteri molekul
antibodi. Beberapa patogen menghasilkan enzim yang merusak antibodi.

N. Neisseria gonorrhoeae, N. meningitidis, Haemophilus influenzae, Streptococcus


pneumoniae dan Streptococcus mutans, yang dapat tumbuh pada permukaan tubuh,
memproduksi protease IgA sekretori IgA yang tidak aktif dengan membelah molekul
di daerah engsel, memisahkan wilayah Fc imunoglobulin tersebut.
Larutan bentuk Protein A S. diproduksi aureus agglutinate immunoglobulin molecules
and partially inactivate IgG. Staphylococcus molekul imunoglobulin mengaglutinasi
dan sebagian menonaktifkan IgG.

Variasi antigenik

Salah satu cara bakteri dapat mengelabui kekuatan dari respon imunologi adalah
secara berkala mengubah antigen, yaitu untuk menjalani variasi antigenik. Antigen
dapat bervariasi atau berubah dalam host selama infeksi, atau organisme dapat ada
di alam sebagai jenis antigen beberapa (serotipe atau serovarian). Variasi antigenik
adalah mekanisme penting yang digunakan oleh mikroorganisme patogen untuk
keluar dari aktivitas penetralan antibodi.

Beberapa jenis variasi antigenik selama hasil infeksi dari spesifik lokasi inversi atau
konversi gen atau penyusunan ulang gen dalam DNA dari mikroorganisme.
Demikianlah halnya dengan beberapa patogen yang mengubah antigen selama
infeksi dengan beralih dari satu jenis fimbrial yang lain, atau dengan beralih kiat
fimbrial. Hal ini membuat respon AMI asli usang dengan menggunakan fimbriae baru
yang tidak mengikat antibodi sebelumnya.

Neisseria gonorrhoeae dapat mengubah antigen fimbrial selama infeksi. Selama


tahap awal infeksi, kepatuhan terhadap sel-sel epitel leher rahim atau uretra
dimediasi oleh pili (fimbriae). Lampiran Sama efisien untuk fagosit akan tidak
diinginkan. Pergantian cepat dan mematikan gen mengendalikan pili karena itu
diperlukan pada berbagai tahap infeksi, dan N. gonorrhoeae mampu menjalani jenis
“switching pili” atau variasi fasa. Perubahan genetik dikendalikan dalam protein
membran luar juga terjadi dalam proses infeksi. Ungkapan halus dikendalikan dari
gen untuk pili dan protein permukaan mengubah pola kepatuhan terhadap sel inang
yang berbeda, dan meningkatkan ketahanan terhadap fagositosis dan lisis kekebalan
tubuh.

Kekambuhan demam disebabkan oleh spirochete, Borrelia recurrentis, adalah hasil


dari variasi antigenik oleh organisme. Penyakit ini ditandai oleh episode demam yang
kambuh (datang dan pergi) untuk jangka waktu beberapa minggu atau bulan.
Setelah infeksi, bakteri di jaringan dan menyebabkan penyakit demam sampai
timbulnya respon imunologi seminggu atau lebih kemudian. kemudian menghilang
dari darah karena fagositosis antibodi dimediasi, lisis, aglutinasi, dll, dan demam
jatuh. Kemudian seorang mutan antigenik yang berbeda muncul pada individu yang
terinfeksi, mengalikan, dan dalam 4-10 hari muncul kembali dalam darah dan ada
serangan demam. Sistem imunologi dirangsang dan merespon dengan menaklukkan
antigenik varian baru, tapi siklus terus seperti bahwa mungkin ada sampai 10
episode demam sebelum pemulihan akhir. Dengan setiap serangan antigenik varian
baru dari spirochete muncul dan satu set baru antibodi terbentuk dalam host.
Dengan demikian, perubahan dalam antigen selama infeksi memberikan kontribusi
signifikan terhadap perjalanan penyakit.
Banyak bakteri patogen ada di alam sebagai jenis antigen atau beberapa serotipe,
yang berarti bahwa mereka adalah varian strain dari spesies patogen yang sama.
Misalnya, ada beberapa serotipe Salmonella enterica berdasarkan perbedaan sel (O)
antigen dinding dan / atau (H) flagellar antigen. Ada 80 jenis antigen yang berbeda
Streptococcus pyogenes berdasarkan pada protein M-permukaan sel. . Ada lebih dari
seratus strain Streptococcus pneumoniae tergantung pada antigen kapsuler mereka
polisakarida. Berdasarkan perbedaan kecil dalam kimia permukaan struktur ada
beberapa serotipe bakteri Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Neisseria gonorrhoeae dan berbagai bakteri patogen lainnya. Variasi antigenik
adalah umum di antara patogen virus juga.

Jika respon imunologi adalah pertahanan penting melawan patogen, kemudian


mampu melepaskan antigen lama dan yang baru hadir untuk sistem kekebalan
tubuh mungkin mengizinkan infeksi atau melanjutkan invasi oleh patogen terjadi.
Selanjutnya, inang terinfeksi tampaknya akan menjadi lingkungan yang ideal untuk
selektif munculnya varian antigenik baru bakteri, memberikan faktor penentu lainnya
organisme virulensi tetap utuh. Mungkin ini menjelaskan mengapa banyak bakteri
patogen yang sukses ada di berbagai macam jenis antigen.

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel
punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping darah, neutrofil,
monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari
sel T, sel NK, sel B.
1. Tahapan Awal
 Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang
timbul sebagai akibat invasi mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri
dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel leukosit
(polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast,
sel natural killer, serta suatu sistem mediator kimia yang kompleks
baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun yang terdapat dalam
plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear (lihat bab
tentang fagosit) berfungsi pada proses awal untuk membunuh
mikroba, dan mediator kimia dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator
kimia ini akan berinteraksi satu dengan lainnya, juga dengan sel
radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik mononuklear
maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis mikroba.
Mediator tersebut antara lain adalah histamin, kinin/bradikinin,
komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin. Respons inflamasi
ini bertujuan untuk mengeliminasi dan menghambat penyebaran
mikroba.
 Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin
akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran darah dan keluarnya
sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.
Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja
enzim protease kalikrein pada kininogen. Mediator ini juga
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan
pembuluh darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam
menginduksi mediator kimia lainnya.
 Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur
alternatif dapat meningkatkan aliran darah, permeabilitas pembuluh
darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir aktivasi
komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan
fosfolipid lainnya yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit
asam arakidonat dapat menstimulasi motilitas leukosit yang
dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi
trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada.
Prostaglandin juga dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat
termoregulator di hipotalamus. Dikatakan bahwa panas juga
merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba
tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu
tubuh yang tinggi akan memberikan dampak yang buruk pada
pejamu.
 Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang
mengikat lipopolisakarida, protein amiloid A, transferin dan α1-
antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons terhadap
inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein
α1-antitripsin misalnya akan menghambat protease yang merangsang
produksi kinin. Transferin yang mempunyai daya ikat terhadap besi,
akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan mikroba. Protein yang
mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri
Gram negatif.
 Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator
yang kuat dalam respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian
diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan meningkatkan
permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi
prostaglandin dan faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel
induk hematopoietik dan meningkatkan pertumbuhan serta
diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel
endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan
monosit dan makrofag juga akan memfagosit debris pejamu dan
patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan enzim neutrofil dan
enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi
makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi
makrofag yang disekresi limfosit.

2. Tahapan kedua
 Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi
tahapan kedua berupa pertahanan spesifik yang dirangsang oleh
antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang dipresentasikan
makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas
selular.
 Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan
oleh sel plasma sebagai hasil aktivasi antigen mikroba terhadap
limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan mikroba sehingga
tidak menjadi toksis lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba
sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin,
sehingga memudahkan proses fagositosis mikroba (lihat bab tentang
imunitas humoral). Antibodi juga berperan dalam proses
ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun
sel NK sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi
juga dapat mengaktifkan komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas
selular yang diperankan oleh limfosit T melalui limfokin yang dilepas
sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel
fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang
dihuni virus (lihat Bab 3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel Tc untuk melisis sel yang
dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan
imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh
untuk terminasi infeksi mikroba intraselular seperti infeksi virus,
parasit dan bakteri intraselular.
3. Tahapan Akhir
 Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik
melalui aktivasi komplemen jalur klasik maupun peningkatan
kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan limfosit T
terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi
respons inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta
merangsang kemotaksis, pemrosesan antigen, pemusnahan
intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat teratasi.
 Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi,
sel makrofag, sel PMN, komplemen dan pertahanan nonspesifik
lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit infeksi.

IMUNOLOGI DASAR : RADANG DAN


RESPON INFLAMASI
Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Respon inflamasi distimulasi oleh trauma atau infeksi, pusat pada


inflamasi adalah menghambat inflamasi dan meningkatkan
penyembuhan. Inflamasi dapatmenghasilkan nyeri setempat, bengkak,
panas, merah, dan perubahan fungsi.

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan


alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi
pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar,
atau terinfeksi.

Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia
(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam
sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran
infeksi.

Peradangan adalah sinyal-dimediasi menanggapi penghinaan seluler oleh


agen infeksi, racun, dan tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah
penting bagi respon kekebalan tubuh, peradangan kronis yang tidak tepat
dapat menyebabkan kerusakan jaringan ( autoimunitas ,
neurodegenerative, penyakit kardiovaskular).
Gejala dan Tanda peradangan bervariasi disertai demam (pyrogenesis),
kemerahan (rubor), nyeri bengkak (turgor), (dolor), dan jaringan / organ
disfungsi (functio laesa).
Urutan kejadian inflamasi adalah:
■Stimulasi oleh trauma atau patogen → reaksi fase akut
■trombosit adhesi, vasokonstriksi pembuluh eferen
■ sitokin dilatasi vaskular diinduksi aferen (vasodilatasi menyebabkan
peningkatan aliran darah (kemerahan, panas lokal) untuk terinfeksi / rusak
daerah
■aktivasi sistem komplemen , sistem pembekuan darah , sistem
fibrinolitik , dan sistem kinin
■ leukocyte adhesion cascade celah endotel meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi protein serum (eksudat)
dan leukosit (→ neutrofil → makrofag → limfosit ) dengan jaringan yang
dihasilkan pembengkakan
■fagositosis dari bahan asing dengan pembentukan nanah

Respon inflamasi adalah bagian dari respon imun bawaan , dan


mempekerjakan agen seluler dan plasma yang diturunkan ( jalur ):
● complement system ● pelengkap sistem ● interferons (IFN) ●
interferon (IFN) ● cytokines , lymphokines , monokines ● sitokin , limfokin
, monokines
● prostaglandins and leukotrienes – arachidonic acid derivatives ●
prostaglandin dan leukotrien – asam arakidonat derivatif
● platelet activating factor (PAF) ● faktor pengaktif trombosit (PAF)
● histamine ● histamin ● kinins ( bradykinin → pain ) ● kinins ( bradikinin
→ nyeri )

Nyeri membangkitkan mediator proinflamasi termasuk sitokin , kemokin ,


proton, faktor pertumbuhan saraf , dan prostaglandin , yang diproduksi
dengan menyerang leukosit atau sel lokal.

 Protein
fase akut berfluktuasi sebagai respons terhadap cedera jaringan dan
infeksi. Mereka disintesis (oleh hepatosit) menanggapi pro-
inflamasi sitokin dan mencakup: ● C-reactive protein ( CRP ),
mannose-binding protein , complement factors , ● alpha-1 acid
glycoprotein , ● alpha 1-antitrypsin , alpha 1-antichymotrypsin , ●
alpha 2-macroglobulin , ● alfa 2-macroglobulin , ● serum amyloid P
component ( SAP , amyloid ), haptoglobins (alpha-2-globulins),
ceruloplasmin , complement components C3 , C4 ,
faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor von
Willebrand, plasminogen) ● feritin
 Pro-inflamasi sitokin termasuk IL-1 , IL-6 , IL-8 , TNF-α (alfa
nekrosis faktor tumor), dan TNF-β (α lymphotoxin, LT). Sebagai respon
terhadap infeksi, makrofag mensekresi IL-1 dan TNFs , yang
spektrum luas sitokin yang merangsang respon
inflamasi dari neutrofil , fibroblas, dan sel endotel. Fibroblast dan sel
endotel menanggapi IL-1 dan TNF dengan merekrut lebih banyak sel
kekebalan untuk situs peradangan.

Nyeri: Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradang
an, banyak mediator yang disampaikan oleh sirkulasi dan /
atau dibebaskan dari penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator
Proalgesic termasuk sitokin pro inflamasi, kemokin, proton,
faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin, yang
diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk. Mediator
analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di
jaringan meradang. Ini termasuk anti-inflamasi sitokin dan
peptida opioid. Interaksi antara leukosit yang
diturunkan dari peptida opioid dan reseptor opioid
dapat menyebabkan ampuh, penghambatan klinis yang relevan dari nyeri
(analgesik). Reseptor opioid yang hadir pada ujung perifer dari neuron
sensorik. Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang
bermigrasi ke jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan
molekul adhesi.
Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen
(misalnya kortikotropin-releasing factor, sitokin, noradrenalin),
leukosit dapat mengeluarkan opioid.
Mereka mengaktifkan reseptor opioid perifer dan menghasilkan analgesia
dengan menghambat rangsangan saraf sensorik dan /
atau pelepasan neuropeptida rangsang. Konsep generasi nyeri
dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan analgesia
oleh kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhada
p infeksi:
 memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke
lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga
 menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
 mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.

Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll,
yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area
infeksi:

 pembesaran diameter pembuluh darah,


disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal
ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan
penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.
 aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembul
uh darah.
 kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi,
akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan
masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-
tanda sebagai berikut
 Rubor (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke
dalam mikrosomal lokal pada tempat peradangan.
 Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan
pada tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal.
 Dolor (Nyeri) dikarenakan pembengkakan jaringan
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada
pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.
 Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan
interstisial.
 Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ
tubuh
Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase
yaitu:
 Perubahan vaskular
Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu
yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi
perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah.
Perubahan aliran darah karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga
terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan
perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah
dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding
pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi
longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar
melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem
pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.
 Pembentukan cairan inflamasi
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya
sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut
eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan.
Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada
sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).
Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan),
Kimiawi (histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa
menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit.
Tahapan 3 fase inflamasi
1. Perubahan dalam sel-sel dan sistem sirkulasi,
ada cedera pada bagian tubuh terjadi penyempitan pembuluh darah u
ntuk mengendalikan perdarahan, sehingga terlepaslah histamin yang
gunanya untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang cedera.
Pada saat yang sama dikelurkan
kinin untuk meningkatkan permeabilitas kapiler yang
akan memudahkan masuknya protein, cairan, dan
leukosit untuk suplai daerah yang cedera.
Setelah cukup aliran darah setempat menurun untuk menjaga leukosit
agar tetap di daerah yang cedera.
2. pelepasan eksudat, terjadi setelah leukosit memakan bakteri2 ya
ng ada di daerah cedera, kemudian eksudat dikeluarkan.
3. regenerasi,
yaitu fase pemulihan perbaikan jaringan atau pembentukan jaringan b
aru.
Respon Inflamasi

Selama tahap awal dari infeksi virus,


sitokin diproduksi ketika pertahanan kekebalan bawaandiaktifkan.
Pelepasan sitokin yang cepat di tempat infeksi memulai tanggapan baru
dengan konsekuensi yang luas yang meliputi peradangan.

Salah satu yang paling awal sitokin yang dihasilkan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α), yang disintesis oleh monosit dan makrofag teraktivasi.
Sitokin ini mengubah kapiler di dekatnya sehingga sirkulasi sel
darah putih dapat dengan mudah dibawa ke tempat infeksi. TNF-
α juga dapat mengikat reseptor pada sel yang terinfeksi dan
merangsang respon antivirus. Dalam hitungan detik,
serangkaian sinyal mulai ada yang menyebabkan kematian sel,
sebuah usaha untuk mencegah penyebaran infeksi.

Ada empat tanda-tanda khas peradangan: eritema (kemerahan), panas,


bengkak, dan nyeri.
Ini adalah konsekuensi dari meningkatnya aliran darah dan
permeabilitas kapiler, masuknya sel-sel fagositik, dan kerusakan jaringan.
Peningkatan aliran darah ini disebabkan oleh penyempitan kapiler yang
membawa darah dari daerah yang terinfeksi, dan menyebabkan
pembengkakan dari jaringan kapiler. Eritema dan
peningkatan suhu jaringan menemani penyempitan kapiler. Selain itu,
permeabilitas kapiler meningkat, sel-sel dan cairan yang
memungkinkan untuk pergi dan memasuki jaringan di sekitarnya.
Cairan ini memiliki kandungan protein
lebih tinggi dari cairan biasanya ditemukan dalam jaringan, menyebabkan
pembengkakan.

Fitur lain dari peradangan adalah adanya sel-sel kekebalan tubuh,


fagosit mononuklear sebagian besar, yang tertarik pada daerah yang
terinfeksi oleh sitokin. Neutrofil adalah salah satu jenis yang paling
awal dari sel-sel fagositik yang masuk ke situs infeksi, dan
tanda klasik dari respon inflamasi (ilustrasi). Sel-sel
ini berlimpah dalam darah, dan biasanya absen dari jaringan.
Bersama dengan sel yang terinfeksi, sel dendritik, dan makrofag,
mereka menghasilkan sitokin yang dapat lebih membentuk respon
terhadap infeksi, dan juga memodulasi respon adaptif yang
dapat mengikuti.

Sifat yang tepat dari respon inflamasi tergantung pada virus dan
jaringan yang terinfeksi. Virus yang tidak membunuh sel – virus
noncytopathic – tidak menyebabkan respon inflamasi yang kuat.
Karena sel-sel dan protein dari respon inflamasi berasal dari aliran darah,
jaringan dengan akses pada darah tidak mengalami kehancuran yang
terkait dengan peradangan. Namun, hasil dari
infeksi sedemikian ‘istimewa’ situs – otak, misalnya –
mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan jaringan lain.

Salah satu komponen penting adalah ‘inflammasome’ –


struktur sitoplasma yang sangat besar dengan sifat reseptor pola dan
pemrakarsa sinyal (misalnya MDA-5 dan RIG-I ).
Temuan eksperimental terakhir menunjukkan bahwa inflammasome sanga
t penting dalam respon imun bawaan terhadap infeksi virus influenza, dan
moderator paru patologi pada pneumonia influenza.

IMUNOLOGI DASAR : RESPON IMUN DAN SISTEM


KEKEBALAN MAHLUK HIDUP
Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Sistem kekebalan atau immune system adalah sistem pertahanan
manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari
makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,
bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan
dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain
seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang
teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh


dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya
guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel
tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang
biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi
penyakit.

Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang


menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak
nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik
senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung.

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan


terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk
makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat
terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh
antibodi. Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama,


terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :


sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem
kekebalan turunan

sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,
sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.

sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk
“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat
saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan
turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.[2]

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum
tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping
darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor
limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon


neuroendokrin.
Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin
Hormon Pencerap Efek modulasi
sintesis antibodi
produksi IFN-gamma
ACTH Sel B dan Sel T, pada tikus perkembangan limfosit-B
sintesis antibodi
mitogenesis
Endorfin limpa aktivitas sel NK
meningkatkan laju sintesis antibodi
TSH Neutrofil, Monosit, sel B bersifat komitogenis dengan ConA
sel T CD8
GH PBL, timus, limpa mitogenesis
LH dan proliferasi
FSH produksi sitokina
bersifat komitogenis dengan ConA
PRL sel B dan sel T menginduksi pencerap IL-2
Produksi IL-1
meningkatkan aktivitas sel NK
CRF PBL bersifat imunosupresif
TRH Lintasan sel T meningkatkan sintesis antibodi
GHRH PBL dan limpa menstimulasi proliferasi
menghambat aktivitas sel NK
menghambat respon kemotaktis
menghambat proliferasi
SOM PBL menurunkan produksi IFN-gamma

Sistem kekebalan pada


makhluk hidup
 Perlindungan di prokariota Bakteri memiliki mekanisme
pertahanan yang unik, yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk
melindungi mereka dari patogen seperti bateriofag. Pada sistem ini,
bakteri memproduksi enzim yang disebut endonuklease restriksi, yang
menyerang dan menghancurkan wilayah spesifik dari DNA viral
bakteriofag. Endonuklease restriksi dan sistem modifikasi restriksi
hanya ada di prokariota.
 Perlindungan di invertebrata Invertebrata tidak memiliki limfosit
atau antibodi berbasis sistem imun humoral. Namun invertebrata
memiliki mekanisme yang menjadi pendahulu dari sistem imun
vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern recognition receptor)
adalah protein yang digunakan di hampir semua organisme untuk
mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan patogen mikrobial.
Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari sistem imun
yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan terdapat
di hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata, termasuk
berbagai jenis serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk respon
komplemen yang telah dimodifikasi yang dikenal dengan nama sistem
prophenoloksidase. Peptida antimikrobial adalah komponen yang telah
berkembang dan masih bertahan pada respon imun turunan yang
ditemukan di seluruh bentuk kehidupan dan mewakili bentuk utama
dari sistem imunitas invertebrata. Beberapa spesies serangga
memproduksi peptida antimikrobial yang dikenal dengan nama
defensin dan cecropin.
 Perlindungan di tanaman Anggota dari seluruh kelas patogen
yang menginfeksi manusia juga menginfeksi tanaman. Meski spesies
patogenik bervariasi pada spesies terinfeksi, bakteri, jamur, virus,
nematoda, dan serangga bisa menyebabkan penyakit tanaman.
Seperti binatang, tanaman diserang serangga dan patogen lain yang
memiliki respon metabolik kompleks yang memicu bentuk
perlindungan melawan komponen kimia yang melawan infeksi atau
membuat tanaman kurang menarik bagi serangga dan herbivora
lainnya. Seperti invertebrata, tanaman tidak menghasilkan antibodi,
respon sel T, ataupun membuat sel yang bergerak yang mendeteksi
keberadaan patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian tanaman
dibentuk agar dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang
hanya sedikit hewan mampu melakukannya. Membentuk dinding atau
memisahkan bagian tanaman membantu menghentikan penyebaran
infeksi. Kebanyakan respon imun tanaman melibatkan sinyal kimia
sistemik yang dikirim melalui tanaman. Tanaman menggunakan
reseptor pengenal pola untuk mengidentifikasi patogen dan memulai
respon basal yang memproduksi sinyal kimia yang membantu
menjaga dari infeksi. Ketika bagian tanaman mulai terinfeksi oleh
patogen mikrobial atau patogen viral, tanaman memproduksi respon
hipersensitif terlokalisasi, yang lalu membuat sel di sekitar area
terinfeksi membunuh dirinya sendiri untuk mencegah penyebaran
penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon hipersensitif memiliki
kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.

IMUNOLOGI DASAR : SEL DARAH PUTIH,


NETROFIL, EOSINOFIL, BASOFIL
Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar
Sel darah putih, leukosit (white blood cell, WBC, leukocyte)
adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah putih ini
berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit
infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah
putih tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara
amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler / diapedesis.
Dalam keadaan normalnya terkandung 4×109 hingga 11×109 sel
darah putih di dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat –
sekitar 7000-25000 sel per tetes.Dalam setiap milimeter kubil
darah terdapat 6000 sampai 10000(rata-rata 8000) sel darah
putih .Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat hingga
50000 sel per tetes.
Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat dengan organ atau
jaringan tertentu, mereka bekerja secara independen seperti organisme
sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi dan
menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme
penyusup. Selain itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi
dengan cara mereka sendiri, melainkan mereka adalah produk dari sel
punca hematopoietic pluripotent yang ada pada sumsum tulang.

Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil, basofil, dan fagosit
termasuk makrofaga, neutrofil, dan sel dendritik.

Jenis
Ada beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel
polimorfonuklearyaitu:
 Basofil.
 Eosinofil.
 Neutrofil.
 Halo .

dan dua jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:

 Limfosit.
 Monosit.

% dalam
tubuh
Tipe Gambar Diagram manusia Keterangan
Neutrofil berhubungan
dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri
serta proses peradangan
kecil lainnya, serta
biasanya juga yang
memberikan tanggapan
pertama terhadap infeksi
bakteri; aktivitas dan
matinya neutrofil dalam
jumlah yang banyak
Neutrofi menyebabkan adanya
l 65% nanah.
Eosinofil terutama
berhubungan dengan
infeksi parasit, dengan
demikian meningkatnya
Eosinofi eosinofil menandakan
l 4% banyaknya parasit.
Basofil terutama
bertanggung jawab untuk
memberi reaksi alergi dan
antigen dengan jalan
mengeluarkan histamin
kimia yang menyebabkan
Basofil <1% peradangan.
Limfosit 25% Limfositlebih umum dalam
sistem limfa. Darah
mempunyai tiga jenis
limfosit:
 Sel B: Sel B membuat
antibodi yang mengikat
patogen lalu
menghancurkannya.
(Sel B tidak hanya
membuat antibodi yang
dapat mengikat
patogen, tapi setelah
adanya serangan,
beberapa sel B akan
mempertahankan
kemampuannya dalam
menghasilkan antibodi
sebagai layanan sistem
‘memori’.)
 Sel T: CD4+
(pembantu) Sel T
mengkoordinir
tanggapan ketahanan
(yang bertahan dalam
infeksi HIV) sarta
penting untuk menahan
bakteri intraseluler.
CD8+ (sitotoksik) dapat
membunuh sel yang
terinfeksi virus.
 Sel natural killer: Sel
pembunuh
alami (natural killer,
NK) dapat membunuh
sel tubuh yang tidak
menunjukkan sinyal
bahwa dia tidak boleh
dibunuh karena telah
terinfeksi virus atau
telah menjadi kanker.
Monosit membagi fungsi
“pembersih vakum”
(fagositosis) dari neutrofil,
tetapi lebih jauh dia hidup
dengan tugas tambahan:
memberikan potongan
patogen kepada sel T
sehingga patogen tersebut
dapat dihafal dan dibunuh,
atau dapat membuat
tanggapan antibodi untuk
Monosit 6% menjaga.
Monosit dikenal juga
sebagai makrofag setelah
dia meninggalkan aliran
Makrofa (lihat di darah serta masuk ke
g atas) dalam jaringan.
Fungsi sel Darah putih
Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan
badan terhadap mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit
(fago- memakan), mereka memakan bakteria hidup yang masuk ke sistem
peredaran darah. melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak
10-20 mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu
menjalankan fungsi ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan
amuboidnya ia dapat bergerak bebas didalam dan dapat keluar pembuluh
darah dan berjalan mengitari seluruh bagian tubuh. dengan cara ini ia
dapat:
Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap
organisme hidup dan menghancurkannya,menyingkirkan bahan lain
seperti kotoran-kotoran, serpihan-serpihan dan lainnya, dengan cara yang
sama, dan sebagai granulosit memiliki enzim yang dapat memecah
protein, yang memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan
dan membuangnya. dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka
dapat dibuang dan penyembuhannya dimungkinkan

Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih, peradangan dapat
dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak berhasil dengan sempurna,
maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi “jenazah” dari kawan dan
lawan – fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.
demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan
ditambah lagi dengan sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan
sel nanah tersebut akan disingkirkan oleh granulosit yang sehat yang
bekerja sebagai fagosit.

Sel jaringan lainnya


 Histiosit, ada dalam sistem limfa bersama jarigan lainnya, tetapi
tidak umum di dalam darah:
 Makrofaga
 Sel dendritik
 Mastosit

Merupakan

 Alergi dapat menyebabkan perubahan jumlah sel darah putih.


Granulosit ( granulocytes, polymorphonuclear, PMN) adalah sebuah sub-
kelompok sel darah putih yang mempunyai granula dalam sitoplasmanya.
Tiga jenis granulosit dengan inti sel yang berlainan dikeluarkan oleh
sumsum tulang sebagai protein komplemen wewenang (regulatory
complement system).
Eosinofil
Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kategori
granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan
parasit multiselular dan beberap infeksi pada makhluk vertebrata.
Bersama-sama dengan sel biang, eosinofil juga ikut mengendalikan
mekanisme alergi.

Eosinofil terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi pada


sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.

Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil


peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, [[plasminogen] dan
beberapa asam amino yang dirilis melalui proses degranulasi setelah
eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksin terhadap parasit dan
jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi
alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat
untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan.

Individu normal mempunyai rasio eosinofil sekitar 1 hingga 6% terhadap


sel darah putih dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.

Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara


korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium,
uterus, limpa dan lymph nodes. Tetapi tidak dijumpai di paru, kulit,
esofagus dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal, keberadaan
eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu penyakit.
Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan
bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak
terdapat stimulasi
Neutrofil
Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN)
adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan
dua sel granulosit lain: eosinofil dan basofil yang mempunyai granula
pada sitoplasma, disebut jugapolymorphonuclear karena bentuk inti sel
mereka yang aneh. Granula neutrofil berwarna merah kebiruan dengan 3
inti sel.

Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri


dan proses peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang pertama
hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Dengan sifat fagositik yang
mirip dengan makrofaga, neutrofil menyerang patogen dengan serangan
respiratori menggunakan berbagai macam substansi beracun yang
mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen peroksida,
oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.

Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai 50-60%. Sumsum
tulang normal orang dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil
sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi
akut.

Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan mengalami 6 tahap


morfologis: mielocit, metamielocit, neutrofil non segmen (band), neutrofil
segmen.Neutrofil segmen merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh,
yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder,
atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang
rusak terlihat sebagai nanah.

Basofil

Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu sekitar 0,01
– 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granula
sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil dapat
tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat
teraktivasi, basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin, kondroitin,
elastase dan lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa macam sitokina.
Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi (seperti asma).

Referensi
1. Viera ’Stvrtinová, Ján Jakubovský, Ivan Hulín”Neutrophils, central
cells in acute inflammation”. Faculty of Medicine, Comenius
University,

IMUNOLOGI DASAR : SEL MASTOSIT


Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Mastosit, sel biang, sel mast (mast cell, mastocyte) adalah sel
yang mengandung granula yang kaya akan histamin dan heparin.
Mastosit sering berdiam di antara jaringan dan membran mukosa,
tempat sel ini berperan dalam sistem kekebalan turunan dengan
bertahan melawan patogen, menyembuhkan luka, dan juga
berkaitan dengan alergi dan anafilaksis.
Mastosit terdapat pada hampir seluruh jaringan yang menyelimuti
pembuluh darah, syaraf, kulit, mukosa dari paru dan saluran pencernaan,
juga pada mulut,conjunctiva dan hidung.

Ketika teraktivasi, mastosit secara cepat melepaskan granula


terkarakterisasi, kaya histamin dan heparin, bersama dengan berbagai
mediator hormonal, dan kemokina, atau kemotaktik sitokina ke
lingkungan. Histamin memperbesar pembuluh darah, menyebabkan
munculnya gejala peradangan, dan mengambil neutrofil dan makrofaga.
Mastosit pertama kali ditemukan dan dijabarkan oleh Paul Ehrlich dalam
tesis doktoral pada tahun 1878 dengan sudut pemikiran dari bentuk yang
berupa granula dan sifat noda yang dapat ditimbulkan sel ini. Pemikiran
ini yang menyebabkan Paul Ehrlich dengan keliru mempercayai bahwa
mastosit berfungsi untuk memberikan nutrisi kepada jaringan yang ada di
sekitarnya, sehingga mastosit diberikan nama Mastzelledalam bahasa
Jerman yang diambil dari bahasa Yunani masto yang berarti, aku memberi
makan.[2] Saat ini mastosit dianggap sebagai bagian dari sistem kekebalan.

Mastosit sangat mirip dengan granulosit basofil, salah satu golongan sel
darah putih dan membuat banyak spekulasi bahwa mastosit dan basofil
berasal dari jaringan yang sama, hingga bukti terkini menunjukkan bahwa
kedua sel ini berasal dari sel prekursor yang berbeda di dalam sumsum
tulang, tetapi masih mengandung molekul CD34 yang sama. Basofil
meninggalkan sumsum tulang setelah dewasa sedangkan mastosit
teredar dalam bentuk yang belum matang. Jaringan tempat mastosit
menetap dan menjadi dewasa mungkin sekali akan menentukan perilaku
sel tersebut.

Hingga saat ini hanya dikenali dua jenis mastosit, yang berada pada
jaringan penghantar, dan mastosit mukosa yang bereaksi terhadap sel T

IMUNOLOGI DASAR : SUPERANTIGEN


Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Superantigens (sags) adalah kelas antigen yang menyebabkan
aktivasi on-spesifik T-sel, berakibat aktivasi sel T oligoclonal dan
pengeluaran masif sitokin rilis Sags dapat diproduksi oleh
patogen mikroba (termasuk virus , Mycoplasma , dan bakteri )
sebagai mekanisme pertahanan terhadap sistem kekebalan
tubuh. Dibandingkan dengan antigen normal yang diinduksi
respon sel T 0,001-0,0001% dari tubuh sel T diaktifkan, sags
mampu mengaktifkan hingga 20% dari tubuh T-sel. Selain itu,
Anti- CD3 dan Anti- CD28 Antibodi ( CD28-SuperMAB) juga telah
terbukti superantigens sangat ampuh (dan dapat mengaktifkan
hingga 100% sel T.

Banyaknya ativated T-cells generates menghasilkan respon imun yang


besar yang tidak spesifik untuk setiap tertentu epitop pada SAG sehingga
melemahkan salah satu kekuatan fundamental dari sistem imun adaptif ,
yaitu kemampuannya untuk menargetkan antigen dengan kekhususan
tinggi. Lebih penting lagi, sejumlah besar sel T teraktivasi mensekresi
sejumlah besar sitokin (yang paling penting adalah TNF-alpha ). TNF-
alpha ini sangat penting sebagai bagian dari respon inflamasi tubuh, dan
dalam keadaan normal (di mana dilepaskan secara lokal di tingkat rendah)
membantu patogen sistem kekebalan kekalahan. Namun ketika dirilis
secara sistemik dalam darah dan kadar tinggi (karena massa sel T aktivasi
yang dihasilkan dari SAG mengikat), dapat menyebabkan gejala parah
dan mengancam jiwa, termasuk syok dan kegagalan organ multiple .

Struktur Sags diproduksi secara intraseluler oleh bakteri dan dilepaskan


terhadap infeksi sebagai racun matang ekstraseluler. Urutan toksin ini
relatif dilestarikan antara subkelompok yang berbeda. Lebih penting dari
homologi urutan, struktur 3D sangat mirip antara sags berbeda
mengakibatkan efek fungsional serupa di antara kelompok yang berbeda.

Struktur kristal dari enterotoksin mengungkapkan bahwa mereka yang


kompak, ellipsoid protein berbagi pola dua domain karakteristik lipat
terdiri dari NH2-terminal β barel globular domain dikenal sebagai
oligosakarida / oligonukleotida kali lipat, panjang α-heliks yang
membentang diagonal tengah molekul, dan terminal domain COOH bulat.
Domain memiliki daerah mengikat untuk histokompatibilitas Kompleks
Mayor Kelas II ( MHC Kelas II ) dan reseptor sel T (TCR), masing-masing.

Superantigens mengikat pertama yang MHC kelas II dan kemudian


berkoordinasi untuk alpha variabel atau rantai beta dari T-sel Reseptor
(TCR)

Sags menunjukkan preferensi untuk HLA-DQ bentuk molekul. Binding


rantai α-SAG menempatkan pada posisi yang tepat untuk
mengkoordinasikan dengan TCR.

Tidak seperti umumnya, sags menempel pada polimorfik MHC kelas II β-


rantai dalam sebuah interaksi dimediasi oleh seng kompleks koordinasi
ion antara tiga residu SAG dan wilayah yang sangat lestari dari HLA-DR
rantai β. Penggunaan ion seng dalam memimpin mengikat interaksi
afinitas yang lebih tinggi. Beberapa sags staphylococcal mampu silang
molekul MHC dengan mengikat kedua rantai α dan β. Mekanisme ini
merangsang sitokin ekspresi dan rilis pada antigen presenting sel serta
merangsang produksi molekul costimulatory yang memungkinkan sel
untuk mengikat dan mengaktifkan sel T lebih efektif.

Sebuah SAG diberikan dapat mengaktifkan sebagian besar penduduk T-sel


karena repertoar T-sel manusia terdiri hanya sekitar 50 jenis unsur Vβ dan
beberapa sags mampu mengikat beberapa jenis daerah VB. Interaksi ini
sedikit bervariasi di antara berbagai kelompok sags. Variabilitas di antara
orang yang berbeda dalam jenis sel T daerah yang lazim menjelaskan
mengapa beberapa orang merespon lebih kuat terhadap sags tertentu.
Kelompok I sags menghubungi Vβ pada CDR2 daerah dan kerangka
molekul. Sags dari Kelompok II berinteraksi dengan wilayah Vβ
menggunakan mekanisme yang konformasi -dependen. Interaksi ini
adalah untuk bagian yang paling independen dari asam amino tertentu Vβ
samping rantai. Hal itu menggantikan peptida antigenik jauh dari TCR dan
circumvents mekanisme normal untuk T-sel aktivasi.

SEC3 (yellow) complexed with an MHC class II molecule (green & cyan).

Kekuatan biologis dari SAG (kemampuannya untuk merangsang)


ditentukan oleh nya afinitas untuk TCR. Sags dengan afinitas tertinggi
untuk TCR mendapat respon yang kuat. SPMEZ-2 adalah SAG paling
ampuh ditemukan sampai saat ini.

T-sel signaling The SAg menghubungkan MHC dan TCR menginduksi jalur
sinyal yang mengakibatkan proliferasi sel dan produksi sitokin.
Rendahnya tingkat Zap-70 telah ditemukan di T-sel diaktifkan oleh sags,
menunjukkan bahwa jalur sinyal normal sel T aktivasi terganggu. Hal ini
diduga bahwa Fyn bukan LCK diaktifkan oleh tirosin kinase , yang
menyebabkan induksi adaptif anergi. Kedua protein kinase C dan jalur
jalur protein tirosin kinase diaktifkan, sehingga upregulating produksi
sitokin proinflamasi.

Jalur sinyal alternatif ini merusak kalsium / kalsineurin dan Ras /


MAPkinase jalur sedikit, tetapi memungkinkan untuk respon inflamasi
terfokus.

Skema MHC class II.


Efek langsung

Stimulasi Sag antigen sel peyaji dan T-sel menghasilkan tanggapan yang
terutama inflamasi, difokuskan pada aksi Th1 T-helper sel. Beberapa
produk utama IL-1 , IL-2 , IL-6 , TNF-α , interferon gamma (IFN-γ),
makrofag inflamasi protein 1α (MIP-1α), MIP-1β, dan monosit
chemoattractant protein 1 ( MCP-1 ). Mekanisme ini tidak terkoordinasi
berlebihan sitokin, (terutama TNF-α), overloads tubuh dan menghasilkan
ruam, demam , dan dapat menyebabkan multi-organ, koma kegagalan
dan kematian.
Penghapusan atau anergi dari diaktifkan T-sel berikut infeksi. Hal itu
adalah hasil dari produksi IL-10 dari kontak yang terlalu lama racun. IL-10
downregulates produksi, IL-2 MHC kelas II, dan molekul costimulatory di
permukaan APC. Efek ini menghasilkan sel memori yang tidak responsif
terhadap stimulasi antigen.

Salah satu mekanisme dimana hal ini mungkin melibatkan sitokin


penekanan sel-T. Silang MHC juga mengaktifkan jalur sinyal yang menekan
hematopoiesis dan meregulasi Fas-mediated apoptosis .

IFN-α adalah produk lain dari paparan SAG berkepanjangan. Sitokin ini
terkait erat dengan induksi autoimunitas, dan penyakit autoimun
Penyakit Kawasaki diketahui disebabkan oleh infeksi Sag.

Sag aktivasi T-sel menyebabkan produksi CD40 ligan yang mengaktifkan


beralih isotipe dalam sel B untuk IgG dan IgM dan IgE .

Untuk meringkas, T-sel dirangsang dan menghasilkan jumlah kelebihan


sitokin menghasilkan sitokin penekanan T-sel dan penghapusan sel
diaktifkan kembali sebagai tubuh untuk homeostasis. Efek toksin dari
mikroba dan SAG juga kerusakan jaringan dan sistem organ, kondisi yang
dikenal sebagai Toxic Shock Syndrome .

Jika peradangan awal selamat, sel inang menjadi anergic atau akan
dihapus, sehingga sistem kekebalan tubuh yang terancam.

Superantigenicity independen

Selain aktivitas mitogenik mereka, sags dapat menyebabkan gejala yang


merupakan ciri khas dari infeksi. Salah satu efek tersebut adalah
emesis .Efek ini terasa di kasus keracunan makanan , ketika SAG bakteri
penghasil melepaskan toksin, yang sangat tahan terhadap panas. Ada
Wilayah ini terdiri dari molekul yang aktif dalam mendorong
gastrointestinal toksisitas. Kegiatan ini juga sangat ampuh , dan jumlah
sekecil 20-35ug dari SAG dapat menginduksi muntah.

Sags mampu merangsang rekrutmen neutrofil ke tempat infeksi dalam


cara yang independen dari sel T stimulasi. Efek ini disebabkan
kemampuan sags untuk mengaktifkan monocytic sel, menstimulasi
pelepasan sitokin TNF-α, yang menyebabkan peningkatan ekspresi
molekul adhesi yang merekrut leukosit ke daerah yang terinfeksi. Hal ini
menyebabkan peradangan di paru-paru, jaringan usus, dan setiap tempat
bahwa bakteri telah dijajah . Sementara sejumlah kecil peradangan alami
dan membantu, berlebihan peradangan dapat menyebabkan kerusakan
jaringan.

Salah satu efek tidak langsung lebih berbahaya dari infeksi Sag
menyangkut kemampuan sags untuk menambah efek endotoksin dalam
tubuh. Hal ini dicapai dengan mengurangi ambang batas untuk
endotoxicity. Schlievert menunjukkan bahwa, bila diberikan conjunctively,
efek dari SAG dan endotoksin yang diperbesar sebanyak 50 000 kali. Hal
ini bisa disebabkan oleh efisiensi sistem berkurang kekebalan yang
disebabkan oleh infeksi Sag. Selain dari sinergis hubungan antara
endotoksin dan SAG, yang “hit ganda” efek dari aktivitas endotoksin dan
hasil SAG dalam efek yang lebih buruk yang yang terlihat pada infeksi
bakteri yang khas. Hal ini juga berimplikasi sags dalam perkembangan
sepsis pada pasien dengan infeksi bakteri.

The T-cell receptor complex dengan TCR-α and TCR-β chains, CD3 dan ζ-
chain accessory molecules.
Penyakit yang berhubungan dengan produksi superantigen
 Toxic Shock Syndrome
 Penyakit Kawasaki
 Eksim
 Guttate psoriasis
 Rheumatoid arthritis
 Diabetes mellitus
 Scarlet demam
 Nasal polip
Pengobatan
Tujuan utama dari pengobatan adalah menghilangkan mikroba yang
memproduksi sags. Hal ini dicapai melalui penggunaan vasopressors ,
resusitasi cairan dan antibiotik .

Tubuh secara alami menghasilkan antibodi untuk beberapa sags, dan efek
ini dapat ditambah dengan merangsang sel-B produksi antibodi.

Imunoglobulin kolam dapat menetralisir antibodi spesifik dan mencegah


sel T aktivasi. Antibodi sintetis dan peptida telah diciptakan untuk meniru
SAG-mengikat daerah pada MHC kelas II, menghalangi interaksi dan
mencegah aktivasi sel T.

Imunosupresan juga digunakan untuk mencegah aktivasi sel T dan


pelepasan sitokin. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi efek
inflamasi.

Evolusi produksi superantigen SAg

Produksi Sag secara efektif merusak respon kekebalan, yang


memungkinkan mensekresi mikroba SAG yang akan dilakukan dan dikirim
dicentang. Salah satu mekanisme dimana hal ini dilakukan adalah melalui
menginduksi anergi dari T-sel terhadap antigen dan sags. Lussow dan
MacDonald menunjukkan hal ini dengan sistematis mengekspos hewan
terhadap antigen streptokokus. Mereka menemukan bahwa paparan
antigen lain setelah infeksi SAG gagal mendapatkan respon imun. Dalam
eksperimen lain, Watson dan Lee menemukan bahwa memori T-sel
diciptakan oleh stimulasi antigen yang normal adalah anergic merosot
stimulasi dan bahwa memori T-sel dibuat setelah infeksi SAG adalah
anergic untuk semua stimulasi antigen. Mekanisme yang terjadi ini adalah
belum ditentukan. Gen-gen yang mengatur ekspresi SAG juga mengatur
mekanisme penghindaran kekebalan tubuh seperti protein M dan kapsul
bakteri ekspresi, mendukung hipotesis bahwa produksi SAG berkembang
terutama sebagai mekanisme penghindaran kekebalan tubuh.

Bila struktur domain SAG individu telah dibandingkan dengan


imunoglobulin protein pengikat streptokokus (seperti yang racun yang
diproduksi oleh E. coli ) ditemukan bahwa domain secara terpisah
menyerupai anggota keluarga-keluarga. Homologi ini menunjukkan bahwa
sags berevolusi melalui rekombinasi dua lebih kecil B-untai motif.
Endogenous SAgs

Limfosit merangsang kecil (MLS) exotoxins awalnya ditemukan di thymus


sel stroma mencit. Toksin ini dikodekan oleh gen SAG yang dimasukkan ke
dalam genom mouse dari virus tikus tumor mammae ( MMTV ). Kehadiran
gen dalam genom tikus memungkinkan tikus untuk mengekspresikan
antigen dalam timus sebagai sarana negatif memilih untuk limfosit
dengan daerah Beta variabel yang rentan terhadap rangsangan oleh SAG
virus. Hasilnya adalah bahwa tikus adalah kekebalan tubuh terhadap
infeksi oleh virus kemudian hari.

Similar endogenous SAg-dependent selection belum diidentifikasi dalam


genom manusia, tetapi sags endogen telah ditemukan dan diduga
memainkan peran integral dalam infeksi virus. Infeksi oleh virus Epstein-
Barr , diketahui menyebabkan produksi SAG dalam sel yang terinfeksi,
belum ada gen untuk racun ditemukan pada genom virus. Virus ini
memanipulasi sel yang terinfeksi untuk mengekspresikan gen sendiri SAG,
dan ini membantu untuk menghindari sistem kekebalan tubuh inang. Hasil
serupa ditemukan dengan rabies , sitomegalovirus , dan HIV .

Referensi
 Papageorgiou AC, Tranter HS, Acharya KR (March 1998). “Crystal
structure of microbial superantigen staphylococcal enterotoxin B at
1.5 A resolution: implications for superantigen recognition by MHC
class II molecules and T-cell receptors”. J. Mol. Biol. 277 (1): 61–79.
 Alouf JE, Müller-Alouf H (February 2003). “Staphylococcal and
streptococcal superantigens: molecular, biological and clinical
aspects”. Int. J. Med. Microbiol. 292 (7–8): 429–40.
 Brouillard JN, Günther S, Varma AK, et al. (April 2007). “Crystal
structure of the streptococcal superantigen SpeI and functional role of
a novel loop domain in T cell activation by group V superantigens”. J.
Mol. Biol. 367 (4): 925–34.
 Buonpane RA, Moza B, Sundberg EJ, Kranz DM (October 2005).
“Characterization of T cell receptors engineered for high affinity
against toxic shock syndrome toxin-1″. J. Mol. Biol. 353 (2): 308–21.
 Li H, Llera A, Tsuchiya D, et al. (December 1998). “Three-
dimensional structure of the complex between a T cell receptor beta
chain and the superantigen staphylococcal enterotoxin B”. Immunity 9
(6): 807–16. .
 Arcus VL, Proft T, Sigrell JA, Baker HM, Fraser JD, Baker EN (May
2000). “Conservation and variation in superantigen structure and
activity highlighted by the three-dimensional structures of two new
superantigens from Streptococcus pyogenes”. J. Mol. Biol. 299 (1):
157–68
 Watson AR, Lee WT (August 2006). “Defective T cell Receptor-
mediated Signal Transduction in Memory CD4 T Lymphocytes Exposed
to Superantigen or anti-T cell Receptor Antibodies”. Cell. Immunol. 242
(2): 80–90.
 Choi S, Schwartz RH (June 2007). “MOLECULAR MECHANISMS FOR
ADAPTIVE TOLERANCE AND OTHER T CELL ANERGY MODELS”. Semin.
Immunol. 19 (3): 140–52.
 Stiles BG, Krakauer (2005). “Staphylococcal Enterotoxins: a Purging
Experience in Review, Part I”. Clinical Microbiology Newsletter 27: 23.
 Lussow AR, MacDonald HR (February 1994). “Differential effects of
superantigen-induced “anergy” on priming and effector stages of a T
cell-dependent antibody response”. Eur. J. Immunol. 24 (2): 445–9.
 Miller C, Ragheb JA, Schwartz RH (July 1999). “Anergy and Cytokine-
Mediated Suppression as Distinct Superantigen-Induced Tolerance
Mechanisms in Vivo”. J. Exp. Med. 190 (1): 53–64.
 Yamaguchi M, Nadler S, Lee JW, Deeg HJ (September 1999).
“Induction of negative regulators of haematopoiesis in human bone
marrow cells by HLA-DR cross-linking”.Transpl. Immunol. 7 (3): 159–
68.
 Stauffer Y, Marguerat S, Meylan F, et al. (October 2001). “Interferon-
alpha-induced endogenous superantigen. a model linking environment
and autoimmunity”.Immunity 15 (4): 591–601.
 Jabara HH, Geha RS (October 1996). “The superantigen toxic shock
syndrome toxin-1 induces CD40 ligand expression and modulates IgE
isotype switching”. Int. Immunol. 8 (10): 1503–10.
 Diener K, Tessier P, Fraser J, Köntgen F, McColl SR (June 1998).
“Induction of acute inflammation in vivo by staphylococcal
superantigens I: Leukocyte recruitment occurs independently of T
lymphocytes and major histocompatibility complex Class II
molecules”. Lab. Invest. 78 (6): 647–56.
 Van Cauwenberge P, Gevaert P, Van Hoecke H, Van Zele T, Bachert
C. (2005). “New insights into the pathology of nasal polyposis: the role
of superantigens and IgE”.Verh K Acad Geneeskd Belg. 67 (5-28).
 Erlandsson E, Andersson K, Cavallin A, Nilsson A, et al. (2003).
“Identification of the Antigenic Epitopes in Staphylococcal
Enterotoxins A and E and Design of a Superantigen for Human Cancer
Therapy”. J. Mol. Biol. 333 (5): 893–905.
 Cleary PP, McLandsborough L, Ikeda L, Cue D, Krawczak J, Lam H
(April 1998). “High-frequency intracellular infection and erythrogenic
toxin A expression undergo phase variation in M1 group A
streptococci”. Mol. Microbiol. 28 (1): 157–67.
 Bachert C, Gevaert P, van Cauwenberge P (June 2002).
“Staphylococcus aureusenterotoxins: a key in airway
disease?”. Allergy 57 (6): 480
 Llewelyn M, Cohen J (March 2002). “Superantigens: microbial agents
that corrupt immunity”. Lancet Infect Dis 2 (3): 156–62.
 Schlievert PM (April 1982). “Enhancement of host susceptibility to
lethal endotoxin shock by staphylococcal pyrogenic exotoxin type
C”. Infect. Immun. 36 (1): 123–8. .
 Sriskandan S, Faulkner L, Hopkins P (2007). “Streptococcus
pyogenes: Insight into the function of the streptococcal
superantigens”. Int. J. Biochem. Cell Biol. 39 (1): 12–
9. http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1357-2725(06)00236-6.
 Petersson K, Forsberg G, Walse B (April 2004). “Interplay between
superantigens and immunoreceptors”. Scand. J. Immunol. 59 (4): 345–
55.
 Mehindate K, Thibodeau J, Dohlsten M, Kalland T, Sékaly RP, Mourad
W (November 1995). “Cross-linking of major histocompatibility
complex class II molecules by staphylococcal enterotoxin A
superantigen is a requirement for inflammatory cytokine gene
expression”. J. Exp. Med. 182 (5): 1573–7.

IMUNOLOGI DASAR : KOMPLEKS


HISTOKOMPATIBILITAS MAYOR
Diposting pada Februari 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Kompleks histokompatibilitas utama (major histocompatibility
complex atau MHC) adalah sekumpulan gen yang ditemukan pada
semua jenis vertebrata. Gen tersebut terdiri dari ± 4 juta bp yang
terdapat di kromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai
kompleks antigen leukosit manusia (HLA).Protein MHC yang
disandikan berperan dalam mengikat dan mempresentasikan
antigen peptida ke sel T. Molekul permukaan sel yang
bertanggung jawab terhadap rejeksi transplan dinamakan
molekul histokompatibilitas, dan gen yang mengkodenya disebut
gen histokompatibilitas. Nama ini kemudian disebut dengan
histokompatibilitas mayor karena ternyata MHC bukan satu-
satunya penentu rejeksi. Terdapat pula molekul lain yang
walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yang disebut
molekul histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui
bahwa molekul MHC merupakan titik sentral inisiasi respons
imun.

MOLEKUL MHC
Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T
(TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen
imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan
kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC
sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio
yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang
belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun
Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak
ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang
terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC yang
berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada
populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak
macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan
maka semua alel pada gen MHC yang berada pada satu kromosom
disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai dua haplotip,
masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya
pada individu tersebut.
Struktur protein MHC
Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan
kelas II.

Protein MHC kelas I


Protein MHC kelas I ditemukan pada semua permukaan sel berinti. Protein
ini bertugas mempresentasikan antigen peptida ke sel T sitotoksik (Tc)
yang secara langsung akan menghancurkan sel yang mengandung
antigen asing tersebut. Protein MHC kelas I terdiri dari dua polipeptida,
yaitu rantai membrane integrated alfa (α) yang disandikan oleh gen MHC
pada kromosom nomor 6, dan non-covalently associated beta-2
mikroglobulin(β2m). Rantai α akan melipat dan membentuk alur besar
antara domain α1 dan α2 yang menjadi tempat penempelan molekul MHC
dengan antigen protein. Alur tersebut tertutup pada pada kedua ujungnya
dan peptida yang terikat sekitar 8-10 asam amino. MHC kelas satu juga
memiliki dua α heliks yang menyebar di rantai beta sehingga dapat
berikatan dan berinteraksi dengan reseptor sel T.
Protein MHC kelas II
Protein MHC kelas I terdapat pada permukaan sel B, makrofag, sel
dendritik, dan beberapa sel penampil antigen (antigen presenting
cell atau APC) khusus. Melalui protein MHC kelas II inilah, APC dapat
mempresentasikan antigen ke sel-T penolong (Th) yang akan
menstimulasi reaksi inflamatori atau respon antibodi.MHC kelas II ini
terdiri dari dua ikatan non kovalen polipeptida integrated-membrane yang
disebut α dan β. Biasanya, protein ini akan berpasangan untuk
memperkuat kemampuannnya untuk berikatan dengan reseptor sel T.
Domain α1 dan β1 akan membentuk tempat untuk pengikatan MHC dan
antigen.

Gen MHC dan polimorfisme


Pada manusia, gen yang mengkodekan MHC terletak pada kromosom
nomor 6 dan terbagi menjadi dua kelas gen, yaitu kelas I untuk MHC I dan
kelas II untuk MHC II[4]. Kelompok gen yang termasuk kelas I terdiri dari
tiga lokus mayor yang disebut B, C, dan A, serta beberapa lokus minor
yang belum diketahui. Setiap lokus mayor menyandikan satu polipeptida
tertentu. Pada gen pengkode rantai alfa, terdapat banyak alel atau
dengan kata lain bersifat polimorfik. Rantai beta-2-mikroglobulin
dikodekan oleh gen yang terletak di luar kompleks gen MHC, namun
apabila terjadi kecacatan pada gen tersebut maka antigen kelas I tidak
bisa dihasilkan dan dapat terjadi defisiensi sel T sitotoksik. Kompleks gen
kelas II terdiri dari tiga lokus yaitu DP, DQ, dan DR yang masing-masing
mengkodekan satu rantai alfa atau beta.Rantai polipetida yang dihasilkan
akan saling berikatan dan membentuk antigen kelas II. Seperti halnya
antigen kelas II, antigen kelas II juga bersifat polimorfik (unik) karena
lokus DR dapat terdiri atas lebih dari satu macam gen penyandi rantai
beta
Molekul HLA

Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I polimorfik, yaitu


HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari rantai berat a
polimorfik yang berpasangan nonkovalen dengan rantai nonpolimorfik b2-
mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen MHC. Rantai a yang
mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian, yaitu regio hidrofilik
ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik
intraselular. Regio ekstraselular membentuk tiga domain al, a2, dan a3
(lihat Gambar 8-2). Domain a3 dan b2-mikroglobulin membentuk struktur
yang mirip dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya untuk mengikat
antigen sangat terbatas.

Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel berinti
mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8 (pada
umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I di timus
untuk maturasi CD8.

Pada manusia terdapat 3 macam molekulα MHC kelas II polimorfik, yaitu


HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri dari 2 rantai
polimorfik a dan b yang terikat secara nonkovalen, dan masing- masing
terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang membentuk 2 domain. Seperti
halnya rantai a HLA kelas I, maka rantai a dan b kelas II terdiri dari regio
hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik
intraselular. Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut
rantai invarian, berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC
kelas II dengan antigen.
Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel B, sel T
aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang umumnya
timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi molekul MHC kelas II adalah
untuk presentasi antigen pada sel CD4 (umumnya Th) yang merupakan
sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai molekul MHC kelas
II umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells). Molekul MHC kelas
II perlu terdapat dalam timus untuk maturasi sel T CD4

Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi
mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II.
Suatu daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III
mengkode sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim
sitokrom p450 2l-hidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a
dan b, atau gen lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk
pembentukan dan transport molekul MHC dalam sel. βα

Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai
gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen asing
tertentu. Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip
dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II
adalah produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta
tempat ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan
bahwa molekul kelas II merupakan mediator gen Ir.

Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta
perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen
spesifik, menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja
yang dapat mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat
pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II
tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.

Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE
terhadap antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-
DR2, serta respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat
berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti,
antigen ragweed dipercaya terikat pada molekul MHC kelas II.
Hubungan dengan penyakit tertentu
Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai
hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan
dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA
kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk
presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai
risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka
semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit
tersebut.

Terdapat beberapa hipotesis untuk menerangkan asosiasi penyakit


dengan HLA ini, yaitu 1) molekul HLA sebagai reseptor etiologi, 2) HLA
bersifat selektif untuk antigen, 3) TCR sebagai penentu predisposisi
penyakit, 4) agen penyebab menyerupai molekul HLA, dan 5)
penyimpangan ekspresi molekul kelas II.

Molekul HLA dapat berlaku sebagai reseptor untuk etiologi penyakit


seperti virus atau toksin. Dugaan ini berdasarkan bukti bahwa molekul lain
pada permukaan sel dapat berlaku sebagai reseptor etiologi, misalnya
molekul CD4 selaku reseptor HIV.

Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja
yang dapat mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya
individu yang mempunyai molekul HLA seperti itu saja yang dapat
menderita penyakit tersebut.

TCR sebagai penentu predisposisi penyakit

TCR bertanggung jawab terhadap predisposisi untuk suatu penyakit,


tetapi karena pengenalan antigen oleh sel T ditentukan oleh molekul HLA
maka sebetulnya asosiasi dengan penyakit tersebut adalah dengan HLA.

Agen penyebab menyerupai molekul HLA

Hipotesis ini memiliki dua alternatif. Pertama, karena kemiripan agen


penyebab dengan molekul HLA maka akan dianggap sebagai antigen diri
sehingga dapat menimbulkan kerusakan tubuh tanpa perlawanan sistem
imun. Kedua, agen penyebab dikenal sebagai antigen asing sehingga
mendapat perlawanan respons imun, dan karena mirip dengan molekul
HLA maka sistem imun tubuh akan menyerang molekul HLA pula sehingga
terjadi kerusakan jaringan seperti pada penyakit autoimun.

Penyimpangan ekspresi molekul MHC kelas II

Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak
biasa mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit.
Dalam keadaan normal, molekul spesifik pada permukaan sel selalu
mengalami pergantian dan degradasi. Bila sel tersebut tidak mempunyai
ekspresi molekul kelas II maka degradasi molekul spesifik itu tidak
membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi bila pada sel tersebut
timbul ekspresi molekul kelas II, maka degradasi molekul spesifik tersebut
akan memulai pemrosesan antigen. Fragmen peptida molekul spesifik
yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat ikatan antigen
molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang
respons imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul kelas
II tertentu saja (misalnya HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen molekul
spesifik, barulah terlihat asosiasi antara HLA dengan penyakit tertentu.

PENYAKIT AUTOIMUN

Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok


penyakit autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-
B27 dan spondilitis angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras
Kaukasia HLA-B27 (+) mempunyai risiko 91 kali lebih besar untuk
mendapat spondilitis angkilosis dibandingkan dengan individu HLA-B27 (-).
Ekspresi molekul MHC pada berbagai ras dapat berbeda bermakna
sehingga harus selalu dibandingkan dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27
terdapat pada 48% ras hitam penderita spondilitis angkilosis di USA
dibandingkan dengan 2% pada kelompok kontrol ras yang sama sehingga
risiko relatif ras hitam di USA adalah 31.

Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi
genetik pada berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya
terjadi secara acak karena terbukti bahwa beberapa alel memperlihatkan
kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan alel lain, yang disebut
sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium).
Jadi dapat saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai
berhubungan dengan alel MHC tertentu, sebetulnya dipengaruhi alel lain
yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya adalah sindrom Sjogren
yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi oleh
HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah
bahwa ternyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-DR3
cukup sering terlihat.
Defek respons imun

Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah defek respons imun.
Kemampuan individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan
dengan regio MHC kelas II, yang menentukan kemampuan presentasi
antigen kepada sel T yang harus berkaitan dengan molekul HLA. Selain itu
antigen tertentu lebih suka bergabung dengan molekul HLA tertentu pula.
Jadi suatu molekul HLA kelas II dapat lebih baik mengikat antigen
dibanding molekul HLA kelas II lainnya, sehingga presentasi antigen pun
akan lebih efektif. Karena itu jenis HLA seseorang akan menentukan baik-
buruknya respons imun yang berhubungan dengan produk MHC miliknya.

Suatu antigen hanya akan dikenal oleh sel T (melalui TCR) bila berasosiasi
dengan molekul HLA tertentu, dan hal ini dikenal sebagai terbatas HLA
(HLA restricted). Gabungan antigen dengan molekul HLA membentuk
ligan untuk TCR tertentu, dan ikatan ini dapat mengaktivasi sel T. Asosiasi
antara suatu antigen dengan molekul HLA sangat bervariasi, tetapi akan
terbatas oleh molekul HLA yang tersedia pada sel T. Bila molekul HLA
hanya sedikit maka asosiasi yang terbentuk mungkin terlalu lemah untuk
mengaktivasi sel T .
IMUNOLOGI DASAR : PENYAKIT

AUTO IMUNITAS
Diposting pada Februari 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk
mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang
memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan
tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang
diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas
sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari
tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan
tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto
imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit
seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus
sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome ,
tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik
thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.
Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali
tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada
awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana
‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri
jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi
abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit
manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan
bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut
‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh
fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus
bingung dengan alloimmunity .
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur
antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap
kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap
antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut
autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan
pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
 Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana
pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.
Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.
Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak
selalu menimbulkan penyakit.
 Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi
penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau
pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
 Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan
untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan
autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah
timbulnya penyakit.
Faktor Genetik

Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan


penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen
ditambah faktor risiko lainnya. Genetik individu tertentu cenderung tidak
selalu mengembangkan penyakit autoimun.

Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.

 Imunoglobulin
 T-sel reseptor
 Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).

Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara


inheren rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini
memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai
sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-
reaktivitas.

Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah
menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu
allotypes berkorelasi sangat

 HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus


Erythematosus , narkolepsi [6]
dan multiple sclerosis , dan berkorelasi
negatif dengan tipe DM 1.
 HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjögren , myasthenia
gravis , SLE , dan Jenis DM 1.
 HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1
diabetes mellitus , dan pemfigus vulgaris .
Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan
ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme
dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun.

Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,
pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik
diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian
Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).

Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple


termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus
erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison,
Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan
arthritis psoriatis.

Jenis Kelamin
Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun
Hashimoto thyroiditis 10/1
Graves’ disease 7/1
Multiple sclerosis (MS) 2/1
Miastenia gravis 2/1
Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1
Rheumatoid arthritis 5/2
Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam
pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling
autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta
orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan,
meskipun jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American
Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun
yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun
beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang
pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes
mellitus , Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .
Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih
besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu,
meningkatkan risiko autoimunitas. [7]
Keterlibatan steroid seks ini
ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi
sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam
siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat
kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk
penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak
mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan
ujung keseimbangan gender dalam arah betina.

Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk


mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan
kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh
Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi
eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks lainnya
terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang diselidiki.

Klasifikasi

autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-


spesifik atau lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari
masing-masing penyakit.

 Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjögren ,


skleroderma , rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini
cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang
tidak jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis kurang lebih
jaringan tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam
kelompok ini karena autoantigens sering mana-mana t-RNA sintetase.
Accepted/
Nama Penyakit suspected Tipe Autoan

Acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM) Accepted

interferon ome
transglutamina
acid carboxylas
17 hydroxylase
Addison’s Disease hydroxylase

Agammaglobulinemia

Alopecia areata Accepted T-cells

Amyotrophic Lateral Sclerosis

Ankylosing Spondylitis Accepted ANCA?

Antiphospholipid syndrome Accepted anti-cardiolipin


dehydrogenase
glycoprotein I;
phosphatidylse
apoH; Annexin

Antisynthetase syndrome

Atopic allergy I

Atopic dermatitis I

Autoimmune aplastic anemia

Autoimmune cardiomyopathy Accepted

Autoimmune enteropathy

Autoimmune hemolytic anemia Accepted II

anti-mitochond
antibodies; ANA
cell- muscle antibod
Autoimmune hepatitis Accepted mediated soluble liver an

Autoimmune inner ear disease Accepted

Autoimmune lymphoproliferative
syndrome Accepted

Autoimmune peripheral neuropathy Accepted

ANA; anti-lacto
antibodiesanti-
anhydrase anti
Autoimmune pancreatitis Accepted rheumatoid fac

Autoimmune polyendocrine Accepted Unknown


syndrome
or
multiple

Autoimmune progesterone
dermatitis Accepted

Autoimmune thrombocytopenic
purpura Accepted anti gpIIb-IIIa o

Autoimmune urticaria Accepted [11]

Autoimmune uveitis Accepted HLAB-27?

Balo disease/Balo concentric


sclerosis

Behçet’s disease

IgA (elevated in
patients), IgA (
Berger’s disease deposits on kid

Bickerstaff’s encephalitis Anti-GQ1b 2/3 p

Blau syndrome

IgG autoantibo
the type XVII co
component of
Bullous pemphigoid hemidesmosom

Cancer

Castleman’s disease
Anti-tissue tran
Celiac disease Accepted IV antibodies

Chagas disease Suspected

Anti-gangliosid
Chronic inflammatory antibodies:anti
demyelinating polyneuropathy GD1a, anti-GQ1

Chronic recurrent multifocal


osteomyelitis

Chronic obstructive pulmonary


disease Suspected

Churg-Strauss syndrome p-ANCA

Cicatricial pemphigoid anti-BP-1, anti

Cogan syndrome

Cold agglutinin disease Accepted II IgM

Complement component 2
deficiency

Contact dermatitis III

Cranial arteritis

Anti-centromer
CREST syndrome Anti-nuclear an

Crohns Disease (one of two types of


idiopathic inflammatory bowel
disease “IBD”) Accepted IV
Cushing’s Syndrome cortisol binding

Cutaneous leukocytoclastic angiitis

Dego’s disease

Dercum’s disease Suspected

IgA; anti-epide
Dermatitis herpetiformis transglutamina

histidine-tRNA
signal_recognit
Dermatomyositis Accepted Anti-Mi-2 Anti-J

Glutamic acid d
antibodies (GAD
antibodies (ICA
insulinoma-ass
autoantibodies
Diabetes mellitus type 1 Accepted IV insulin antibod

anti-nuclear an
centromere and
Diffuse cutaneous systemic scl70/anti-topo
sclerosis antibodies

myocardial neo
Dressler’s syndrome formed as a res

Drug-induced lupus anti-histone

Discoid lupus erythematosus III

Eczema

Endometriosis Suspected
Enthesitis-related arthritis .

Eosinophilic fasciitis Accepted

Eosinophilic gastroenteritis IgE

Epidermolysis bullosa acquisita

Erythema nodosum

Erthroblastosis fetalis II ABO, Rh, Kell a

Essential mixed cryoglobulinemia

Evan’s syndrome

Fibrodysplasia ossificans
progressiva

Fibrosing aveolitis aka


Idiopathic_pulmonary_fibrosis

serum antiparie
Gastritis IF antibodies

Gastrointestinal pemphigoid Accepted

Giant cell arteritis

Glomerulonephritis Sometimes IgA

Goodpasture’s syndrome Accepted II Anti-Basement


Collagen Type I

thyroid autoant
(TSHR-Ab) that
Graves’ disease Accepted II TSH-receptor (T

Guillain-Barré syndrome (GBS) Accepted IV Anti-gangliosid

Hashimoto’s encephalopathy Accepted IV alpha-enolase[3

antibodies agai
peroxidase and
Hashimoto’s thyroiditis Accepted IV thyroglobulin

immunoglobuli
complement co
Henoch-Schonlein purpura (C3)

IgG and C3 mis


Herpes gestationis aka Gestational antibodies inte
Pemphigoid protect the pla

Hidradenitis suppurativa Suspected

Hypogammaglobulinemia

Idiopathic Inflammatory
Demyelinating Diseases

Idiopathic pulmonary fibrosis

Idiopathic thrombocytopenic
purpura (See Autoimmune
thrombocytopenic purpura) Accepted II

IgA produced fr
IgA nephropathy III? rather than MA
Inclusion body myositis

Chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy anti-gangliosid

Interstitial cystitis Suspected

Juvenile idiopathic arthritis aka inconsistent AN


Juvenile rheumatoid arthritis Rheumatoid_fa

Kawasaki’s Disease Suspected

voltage-gated c
channels; Q-
type_calcium_c
Lambert-Eaton myasthenic synaptogagmin
syndrome acetylcholine re

Leukocytoclastic vasculitis

Lichen planus

Lichen sclerosus

Linear IgA disease (LAD)

Lou Gehrig’s disease (Also


Amyotrophic lateral sclerosis)
ANA and SMA,
or LKM-3; antib
soluble liver an
SLA, anti-LP) n
Lupoid hepatitis aka autoantibodies
Autoimmune_hepatitis (~20%)
Anti-nuclear
antibodies[39] an
they are often
Lupus erythematosus Accepted III Sjögren’s syndr
Majeed syndrome

major peripher
Ménière’s disease III protein P0

Microscopic polyangiitis p-ANCA myelop

Miller-Fisher syndrome see Guillain-


Barre_Syndrome Accepted anti-GQ1b

anti-nuclear an
Mixed Connective Tissue Disease Accepted U1-RNP

Morphea Suspected

Mucha-Habermann disease aka


Pityriasis_lichenoides_et_varioliform
is_acuta

Multiple sclerosis Suspected IV

nicotinic_acety
Myasthenia gravis Accepted II tor MuSK_prote

Myositis

Narcolepsy[46][47] Suspected II hypocretin or o

Neuromyelitis optica (Also Devic’s


Disease) II NMO-IgG aquap

voltage-gated p
Neuromyotonia Suspected II channels.

Occular cicatricial pemphigoid II? BP-1, BP-2


Opsoclonus myoclonus syndrome Suspected IV?

Ord’s thyroiditis

anti-cyclic citru
peptide antibod
and antikeratin
Palindromic rheumatism (AKA)

PANDAS (pediatric autoimmune


neuropsychiatric disorders
associated with streptococcus) Suspected II?
anti-Yo[57] (anti-c
Paraneoplastic cerebellar purkinje fibers)
degeneration IV? II? Tr, antiglutama

Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH) Sometimes

Parry Romberg syndrome ANA

Parsonnage-Turner syndrome

Pars planitis

Pemphigus vulgaris Accepted II Anti-Desmoglei

Pernicious anaemia Accepted II anti-parietal ce

Perivenous encephalomyelitis

POEMS syndrome

Polyarteritis nodosa

Polymyalgia rheumatica
Polymyositis Accepted IFN-gamma, IL-
Anti-p62, Anti-s
Mitochondrial(M
aka SSA.[63] Also
often present i
Primary biliary cirrhosis Accepted[62] syndrome

Primary sclerosing cholangitis

Progressive inflammatory
neuropathy Suspected

Psoriasis Accepted IV?

Psoriatic arthritis Accepted IV?

Pyoderma gangrenosum

Pure red cell aplasia

Rasmussen’s encephalitis anti-NR2A antib

Raynaud phenomenon Suspected

Relapsing polychondritis Accepted

Reiter’s syndrome

Restless leg syndrome Suspected

Retroperitoneal fibrosis

Rheumatoid arthritis Accepted III Rheumatoid fac


IgGFc), Anti-MC
ACPAs(Vimentin
streptococcal M
reacts with hum
Rheumatic_fever II [69]
anti-DNase B

Sarcoidosis Suspected IV

Schizophrenia Suspected

Schmidt syndrome another form of anti-21 hydroxy


APS hydroxylase

Schnitzler syndrome

Scleritis

Scleroderma Suspected IV? Scl-70 Anti-top

Serum Sickness III

Anti-ro. Also, th
present in Sjög
Sjögren’s syndrome Accepted syndrome.

Spondyloarthropathy

Still’s disease see Juvenile


Rheumatoid Arthritis ANA

glutamic acid d
Stiff person syndrome Suspected (GAD),

Subacute bacterial endocarditis essential mixed


(SBE) III cryoglobulinem

Susac’s syndrome
Sweet’s syndrome

Sydenham chorea see PANDAS

ocular antigens
Sympathetic ophthalmia trauma

Systemic lupus erythematosis see


Lupus erythematosis III

Takayasu’s arteritis

Temporal arteritis (also known as


“giant cell arteritis”) Accepted IV
glycoproteins I
in ITP anti-ADA
and HUS anti-c
(anti-cardiolipin
and β2glycoprot
Antiphospholip
anti-HPA-1a, an
Thrombocytopenia II and others in N

Tolosa-Hunt syndrome

Transverse myelitis Accepted

Ulcerative colitis (one of two types


of idiopathic inflammatory bowel
disease “IBD”) Accepted IV

Undifferentiated connective tissue


disease different from Mixed
connective tissue disease Accepted anti-nuclear an

Undifferentiated
spondyloarthropathy
Urticarial vasculitis II? anti C1q antibo

Vasculitis Accepted III sometimes ANC

Vitiligo Suspected

Anti-neutrophil
Wegener’s granulomatosis Accepted cytoplasmic(cA

 Sindrom Lokalyang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:


 Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto ,
penyakit Addison
 Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious
anemia
 Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo
 Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura
thrombocytopenic
 Neurologis: Miastenia gravis

Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan “organ tertentu” dan


“non-organ tertentu”, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung
penyakit autoimun. Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis
tidak memiliki asosiasi-tanda sel B dan T didorong immunopathology.
Dalam dekade terakhir telah mapan bahwa jaringan “peradangan
terhadap diri” tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.

Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas


harus dilihat sepanjang “kontinum penyakit imunologi,” dengan penyakit
autoimun klasik pada satu ekstrim dan penyakit didorong oleh sistem
kekebalan tubuh bawaan pada ekstrem lainnya. Dalam skema ini,
spektrum penuh autoimunitas dapat disertakan. Banyak umum penyakit
autoimun manusia dapat dilihat untuk memiliki immunopathology
dimediasi imun bawaan yang cukup besar menggunakan skema baru.
Skema klasifikasi baru ini memiliki implikasi untuk memahami mekanisme
penyakit dan untuk pengembangan terapi
Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas
Patogenesis autoimunitas

Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit


autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi
lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing
dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa
mekanisme penting telah dijelaskan:

 T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan


aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan
antibodi dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini bisa di bypass
dengan kasus yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme
memproduksi super antigen , yang mampu memulai aktivasi
poliklonal sel-B, atau bahkan T-sel, dengan langsung mengikat β-
subunit T-sel reseptor dalam mode non-spesifik.
 T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal
diasumsikan melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang
sama, bahkan jika kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang
sangat berbeda: konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan
pra-olahan fragmen peptida protein untuk sel T. Namun, tidak ada
sejauh kita tahu bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan
adalah bahwa sel B mengenali antigen X endocytoses dan proses
protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan
Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa
mendapatkan bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen co-
endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai bagian dari kompleks
imun. Pada penyakit celiac nampaknya sel B mengenali
transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.
 Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur
penyakit autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar
terbatas pada sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah
dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A.
reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini
memunculkan gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila
pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu dapat sinyal
menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan terikat
membran. Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG
reseptor, CD21, yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti
reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan
PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B juga bisa
dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil kolin
(pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat.
Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk
dasar hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-
sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi
kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui
reseptor sel B, dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang
bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan
hilangnya sel T diri-toleransi.
 Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi
kesamaan struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian,
antibodi apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen
diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat
respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam
rematik , yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik
streptokokus . Meskipun demam rematik telah dikaitkan dengan
mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum ada secara
resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain itu,
jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit, basal
ganglia) berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih
mungkin bahwa penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak
biasa antara kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium.
 Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop
ditemukan di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul
imunoglobulin. Plotz dan Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas
dapat timbul sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada
antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam
hal ini, reseptor sel inang dibayangkan sebagai sebuah gambar
internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi dapat bereaksi dengan
sel inang.
 Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi
dua kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka
mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2. Kategori kedua
sitokin, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama),
tampaknya memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-
inflamasi respon imun.
 Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel
dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang
cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik
limfosit aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.
 Epitope spreading or epitope drift – ketika reaksi kekebalan
perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan
epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya
tidak perlu secara struktural mirip dengan yang utama.
 Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme
penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam
sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan
samar N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan
prokariota lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan
organ hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif
mengaktifkan satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan
reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan
adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh
adaptif yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi
autoantibody meningkat. Dalam bentuk penyakit, tidak adanya
limfosit dapat mempercepat kerusakan organ, dan intravena IgG
administrasi dapat terapi. Meskipun rute ini untuk penyakit autoimun
mungkin mendasari berbagai negara penyakit degeneratif, tidak ada
diagnostik untuk mekanisme penyakit ada saat ini, sehingga perannya
dalam autoimunitas manusia saat ini tidak diketahui. Peran khusus
immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan , sel NKT , γδ T-sel
dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang diselidiki.
SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang


bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik.
Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ
tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam
organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu
atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul
yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor
hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).
Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ
multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap
molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler
yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan
unsur inti sel lainnya) .

Spektrum penyakit autoimun


Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait
Antigen diri Penyakit
Reseptor hormonReseptor Hiper atau hipotiroidismeHiper atau
TSHReseptor insulin hipoglikemia
Reseptor neurotransmiterReseptor
asetilkolin Miastenia gravis
Molekul sel adesiMolekul sel adesi
epidermal Penyakit kulit yang melepuh
Protein plasmaFaktor VIIIβ2
glikoprotein I dan protein
antikoagulan lain Hemofili didapatSindrom antifosfolipid
Antigen permukaan selSel darah Anemia hemolitikPurpura
merah (antigen multipel)Platelet trombositopenia
Enzim intraselulerPeroksidase Tiroiditis, kemungkinan
tiroidSteroid 21-hidroksilase hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal
(korteks adrenal) (penyakit Addison)
Glutamat dekarboksilase (sel β di
pulau pankreas)Enzim lisosom (sel
fagositik)Enzim mitokondria Diabetes autoimun Vaskulitis
(terutama piruvat dehidrogenase) sistemikSirosis biliar primer
Molekul intraseluler yang
melibatkan transkripsi dan
translasiRantai dua
DNAHistonTopoisomerase IAmino-
acyl t-RNA sintaseProtein SLESLESkleroderma
sentromer difusPolimiositisSkleroderma lokal
TOLERANSI DIRI
Autoimunitas dan toleransi diri
Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B
yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-
regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam
mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T
lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi
sel B. Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat
memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang
tepat dari sel Th.
Toleransi timus
Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam eliminasi
sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan
proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan
molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati.
Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan
mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan
dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan
afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah
akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing
dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif
nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di
timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan
dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas.
Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative
selection
Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi
timus adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan
kadar yang cukup di timus untuk menginduksi negative selection.
Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik
dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana,
ataupun protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus
tidak diinduksi terhadap protein spesifik jaringan.
Toleransi perifer

Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang


merupakan kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif

Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen
terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen
tersebut secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen
tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan
berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali
angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi
yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul
spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk
menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan
darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-
presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan
secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme
pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.
Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan
autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf
melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+
naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons
imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor
antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,
biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup
B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat
pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau
kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-
stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada
anergi atau kematian sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi
molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas
padaantigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya
distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan
sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus
limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa
cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan
adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah
teraktivasi sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang


mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun
mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang
mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang
sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi
atau kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik
pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya
autoimunitas.

Supresi

Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif


melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang
sama (sel T supresor)

Toleransi sel B

Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif


dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen
diri. Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum
tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses
hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat
germinal nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B
baru atau hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun
tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau
anergi.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Etiologi

Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab


penyakit autoimun.

Faktor genetik

Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan


autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota
keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam
penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun
dapat pula hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini
melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai
dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara
gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab


antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

Hormon

Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering


terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit
autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan
beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai
faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti
menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.
Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih
tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi
klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan
memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh
hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan
yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun
spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen
kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita.
Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas
estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon
wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α-
hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan
orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi
imunostimulan terutama terhadap sel T.

Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-
regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi
perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi
autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,
autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi
yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum
jelas.

Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi


secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun
dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit,
pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi
pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang
meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan
fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan
sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus
hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.

Obat

Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang


dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat
penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas
obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul
pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi
hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan
proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan
pengobatan imunosupresif.

Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti


mekanismemolecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur
yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi
perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung
dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai
kapasitas langsung untuk menginduksi respons abnormal sel T.
Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan oleh genetik.
Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada
metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat
dengan molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja
lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan
intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme
toleransi normal.
Agen fisik lain
Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar
matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan
kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat
menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada
dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE
melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi
struktur pada antigen diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi
tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui
ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan
fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La). Permukaan Ro dan La
kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan
jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga
dikaitkan dengan peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain yang
diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stres psikologis
dan faktor diet.
Patogenesis

Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis


autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran
dan kelemahan sendiri.
Berbagai teori patogenesis autoimunitas
Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan
aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi
toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel
stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen
imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul


dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak
pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat
terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan
autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah
vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark
miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan
pembentukan autoantibodi.

Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan
menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik
jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan
autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap
autoantigen.

Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel
T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang
yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran
akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting
untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek
sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi
autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik
peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas
sel B.

Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh
mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B
dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang
mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.
Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau
komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat
Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor
rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos
setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa
lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk
memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ
,antitimosit, dan antieritrosit.

Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan


mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai
sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai
fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak
diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun
diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik
karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag
berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit
autoimun masih belum konsisten.

Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang


telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,
atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen
tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan
komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.

Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan mikro


atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas dengan
jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai
predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan
cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B,
lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.

Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B
aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini
disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau
respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut.
Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih
imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya
penyakit autoimun sistemik.

Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka


kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen
yang bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah
lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons
imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini
terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit
tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.

Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan


idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun.
Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun.
Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun
terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa, autoantibodi merupakan
produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2
(anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga
bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang
menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-
idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan
produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol
walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan
erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut
berperan pada patogenesis autoimunitas.

Mekanisme rusaknya toleransi


Mengatasi toleransi perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan


dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan
anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit
autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada
keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan
yang kehilangan sitokin imunosupresif.

Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri
dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi
atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik.
Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan
juga keantigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul
MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik
pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein
intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan
konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida
tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh
virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang
telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi
rendah dan tanpa akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang
dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat
mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan)
menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan
tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang
terlibat
Penyakit yang diduga
akibat molecular
Antigen mikrobial Antigen diri mimicry
Protein grup A
streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik
Terkait dengan penyakit
Bacterial heat shock autoimun berat namun
proteins Self heat shock proteins belum terbukti
Protein inti Coxsackie Glutamat dekarboksilase Diabetes melitus
B4 sel pulau pankreas dependen insulin
GlikoproteinCampyloba Gangliosida dan
cter jejuni glikolipid terkait mielin Sindrom Guillain-Barre
Subtipe rantai HLA-DR β
Heat shock mengandung “epitop
protein dariEschericia bersama” artritis
coli reumatoid Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut


pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan
menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini
disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive)


memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam
respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat
diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-
stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang
diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif yang telah
teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan
yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi)
namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang
mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan
sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah
bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.

Mekanisme kerusakan jaringan

Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi


(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+
atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan
dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi
dengan sel T.

Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme


hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan
dengan terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada
reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.
Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand
endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi
tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang
diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi
mengenali antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan
pada permukaan sel.

DIAGNOSIS

Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis


penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai
pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga
penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang
sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan
tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.

Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah


yang akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang
tinggi dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin
(misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes
serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan.
Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen
imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa
penyakit autoimun . Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan
kemajuan penyakit.

Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun


Penyakit Antibodi
Tiroditis Hashimoto Tiroid
Miksedema primer Tiroid
Tirotoksikosis Tiroid
Anemia pernisiosa Lambung
Atrofi adrenal idiopatik Adrenal
Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit
Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer Mitokondria
Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid Antiglobulin
LES Antinuklear, DNA, sel LE
Skleroderma Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus

PENGOBATAN

Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti


imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi
terapi, seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1
diabetes mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga ini
adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet membatasi
keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit lainnya.Pengobatan
steroid atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari banyak penyakit.
Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa (misalnya
etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6
tocilizumab dan pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna
dalam mengobati RA. Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan
dengan peningkatan risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap
infeksi.

Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan


inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing). Saat ini
ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik
Necator americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang , Trichuris
atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk babi. T
vaksinasi sel juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan untuk
auto-imun gangguan.

Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons


imun atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi
merupakan metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun
endokrinologi pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada
hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat
diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik.
Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan
yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus
autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun,
terapi imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas
berat dan kematian. Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol
metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.

Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah
dengan manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik
kontrol metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin
untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12
untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-
lain.

Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam


jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan
bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk
antigen.

Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,
menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius
seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS
seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula
untuk artritis rheumatoid.

Imunosupresan

Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-


inflamasi dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk
diabetes juvenil, LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat
diambil kesimpulan akhir tentang manfaatnya.

Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang


bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat
yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut
telah sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES,
hepatitis kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.

Kontrol imunologis

Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat
terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.
Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma
untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat
sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture.
Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya.
Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap
defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem
atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus
diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.

Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B


yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian
beberapa antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4
memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan
percobaan.

Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk


dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat
bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan
membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut.
Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat
mengatasi berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.

Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas


kontrasupresor atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin,
atau mengolah berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin
bakteri ataupun bahan radioaktif.

REFERENCES RECOMMENDED
 Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-
recognition promotes the foreign antigen sensitivity of naive T
lymphocytes”. Nature 420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146.
PMID 12459785.
 Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New
Scientist
 Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X
chromosome inactivation:
 Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-
chromosome Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol
34 (3): 352–5. doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID
18157513.
 Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of
Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.
Infect Immun 75 (1): 397–407.
 Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients
 Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei
brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1
mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–
8.
 Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid
arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews
Immunology 6 (5): 394–403.
 Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,
Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and
tolerance”. Int J Hematol 81 (3): 197–203.
 Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins
following DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein
paralogue Roopa Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok
 Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and
Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects against
innate immune self-recognition and inflammation in autoimmune
disease pathogenesis” Immunity 27: 308-320.
 Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).
“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28
(10): 515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732.
PMID 16965287.
 Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune
system: consequences for evolution of human autoimmune disease”.
Nat. Rev. Immunol. 5 (5): 420–6.
 Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection
with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits
Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a
Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.
 Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection
modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.
Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID
15039389.
 Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The
immunoepidemiology of human hookworm infection”. Parasite
Immunol. 26 (11–12): 443–54. doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x.
PMID 15771680.
 Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally
anergic B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.
doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.
 Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”.
Ann Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.
 Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self
perpetuating B lymphocytes drive human autoimmune disease?”.
Immology 97: 1868–1876.
 Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two
parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.
doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.
 Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically
reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009

Referensi
 Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). “MHC: GENETICS AND
ROLE IN TRANSPLANTATION”. Microbiology and Immunology
Online.http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/mhc2000.htm.
 Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe,
Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). “Expression of MHC class
II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric
epithelium”. Journal of Gastroenterology 27 (1): 23-
28. http://www.springerlink.com/content/116u7825q2615448/fulltext.p
df?page=1.
 David S. Wilkes, William J. Burlingham (2004). Immunobiology of
organ transplantation. Springer.
 Pandjassarame Kangueane (2009). Bioinformation Discovery: Data
to Knowledge in Biology. Springer.
 Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson
(2007). Immunity: the immune response in infectious and
inflammatory disease. Oxford University Press.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI VAKSIN


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Vaksin yang ideal adalah relatif mudah untuk menentukan target
sasaran, tetapi beberapa vaksin mempunyai pendekatan yang
ideal dan tidak ada vaksin yang mempunyai target banyak
organisme. Vaksin adalah strategi satunya pelindung realistis di
masa mendatang. Banyak kesulitan dan kegagalan untuk
memproduksi vaksin. Semua mikro-organisme menyebarkan
mekanisme penghindaran yang mengganggu respon imun yang
efektif dan banyak organisme tidak jelas respon imun
yang memberikan perlindungan yang efektif. Namun, kemajuan
terbaru dalam teknologi imunologi untuk mempelajari respon
kekebalan terhadap patogen telah memberikan pemahaman yang
lebih baik mekanisme kekebalan tubuh, termasuk memori
imunologi, dan menyebabkan realisasi bahwa inisiasi respon imun
adalah suatu peristiwa kunci yang memerlukan memicu melalui
sinyal ‘bahaya’. Berdasarkan temuan ini, pengembangan adjuvant
baru, formulasi vaksin vektor dan memungkinkan stimulasi
kekebalan protektif optimal dan berkepanjangan harus mengarah
pada pengenalan vaksin untuk organisme yang sebelumnya
resisten.
 Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit.
 Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan
kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari
luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah
kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang
diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif
tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu
paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin
lainnya lebih pendek.
 Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri
akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan
secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama
karena adanya memori imunologik.
 Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada
sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan
penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang
terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang
transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya penyakit
difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses
imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu
diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh
(lihat juga bab tentang respons imun).
RESPONS IMUN

Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam
respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
 Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun
yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi
yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM
dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun
sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen
masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila
dibanding dengan respons imun sekunder
 Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi
yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang
lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun
primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons
imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat
mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif
sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori. Pada
imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan
memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa
kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan
mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan
dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.
KEBERHASILAN IMUNISASI
 Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status imun host, faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.
 Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang
semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus
campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang
memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA
sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi
umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah
pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di
subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5
bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila
vaksinasi polio secara oral diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI
masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum
dan sesudah vaksinasi.\
 Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi
mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada
permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons
kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas
opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik
serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol dibanding pada
bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin
lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi
baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang
kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda
sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.
 Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun
kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun
merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi pada individu
yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
 Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal
atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat
mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen
juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons
terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik host
 Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
 Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan
keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons
imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC
dengan non MHC.
Gen kompleks MHC
 Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan
sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC kelas II.
 Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti
bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis
terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA
tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan
HLA-B27.
Gen non MHC
 Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-
laki.
 Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran
genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya
belum diketahui.
Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa


sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap
mengandung antigenesitasnya. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas
vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan
jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang
timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di
samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan
memberikan imunitas sistemik saja.
Dosis vaksin
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi
respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan
menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu
rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang
terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder
menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,
dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian
pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin
berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,
maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten,
bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak
kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh sebab
itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.
Ajuvan
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons
imun dengan cara mempertahankan antigen pada tempat suntikan,
dan mengaktivasi sel APC untuk memproses antigen secara efektif
dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis vaksin
 Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibandingkan vaksin lainnya seperti vaksin mati atau yang diinaktivasi
(killed atau inactivated), atau komponen dari mikroorganisme.
Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi
sehingga dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi
virus yang pengeluarannya melalui budding.

Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah


untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit
yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan cara memodifikasi kondisi
tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah,
kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada
pembuatan vaksin TBC yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula
dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk
manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN
1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin,
2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori,
3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,
untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam
populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan
4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel
folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut
sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
REFERENCES RECOMMENDED
 Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of
virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996; 150:
23–44
 Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of
antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6
 Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-
specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-
Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402
 Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory
HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11
 Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of
lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev
Immunol 1989; 7: 145–73
 Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,
Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46
 Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:
263–6
 Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease
states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58
 Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-
Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms
underlying genetically determined resistance and susceptibility to
infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30
 Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.
Immunol Today 2000; 21: 420–5
 Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus
subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol
2001; 13: 442–50
 Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28
 Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human
immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T
cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9
 Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-
specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection
demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;
3: 212–7
 Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford
JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other
autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8
 Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.
Immunol Today 2000; 21: 249–50
 Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1
specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently
seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13
 McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.
Nature 2001; 410: 980–7
 Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and
immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and
activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54
 Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into
mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8
 Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to
DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8
 Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets
of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector
functions. Nature 1999; 401: 708–12
 Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell
memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and
immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29
 Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:
173–8
 Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive
immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10
 Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:
399–415
 Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr
Opin Immunol
 Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6
 Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in antigen
presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 45–
51
 Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr
Opin Immunol 2002; 14: 117–22
 Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of
microbe detection. Curr
 Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+ cytotoxic
T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A. Dendritic
cells use macropinocytosis and the mannose receptor to concentrate
macromolecules in the major histocompatiblity complex class II
compartment: downregulation by cytokines and bacterial products. J
Exp Med 1995; 182: 389–400
 Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,
Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-
restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21
 Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular
transport and loading of peptides associated with MHC class I
molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8
 Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen
presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–
6
 Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of
immunity. Nature 1998; 392: 245–52
 Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35
 Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by
CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62
 Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on
dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-
restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81
 Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand, a
member of the TNF family, is important for the generation of antiviral
CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68
 Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to
mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in
vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–
55
 Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In
interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1
responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to
induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–
6
 Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A
filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a
phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:
6453–60
 Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug
Deliv Rev 1998; 32: 155–72
 Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)
microparticles for the development of single-dose controlled-release
vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46
 Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough
DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can
promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.
Immunity 2001; 14: 461–70
 Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and
CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B
Biol Sci 2000; 355: 401–6
 Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T
lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules
(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,
and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol
1988; 140: 1401–7
 Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.
Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T
cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55
 Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,
Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.
Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J
Immunol 1993; 150: 1122–36
 Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D, Terstappen
LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I. Differential
regulation of the peripheral lymph node homing receptor L-selectin on
T cells during the virgin to memory cell transition. J Immunol 1993;
150: 1105–21
 MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell
memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R Soc
Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60
 Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human
lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:
264–5
 Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-
mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell
proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95
 Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed
R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.
Science 1999; 286: 1267–8
 Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.
Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11
 Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T
cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.
Immunol Rev 1997; 160: 31–42
 Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.
Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8
and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J
Immunol 2000; 165: 5729–37
 Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes
regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania
major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84
 Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of type
1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun 2002; 70:
498–503
 Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of
Leishmania major in mice: implications for immune memory,
vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74
 Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming
by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third
signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7
 Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable
priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of
human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in
established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85
 Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-
12 regulate the development of subsets of memory effector helper T
cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24
 Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of NK1.1+
T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production. Science
1995; 270: 1845–7
 Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse
association between tuberculin responses and atopic disorder. Science
1997; 275: 77–9

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI VAKSIN


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Vaksin yang ideal adalah relatif mudah untuk menentukan target
sasaran, tetapi beberapa vaksin mempunyai pendekatan yang
ideal dan tidak ada vaksin yang mempunyai target banyak
organisme. Vaksin adalah strategi satunya pelindung realistis di
masa mendatang. Banyak kesulitan dan kegagalan untuk
memproduksi vaksin. Semua mikro-organisme menyebarkan
mekanisme penghindaran yang mengganggu respon imun yang
efektif dan banyak organisme tidak jelas respon imun
yang memberikan perlindungan yang efektif. Namun, kemajuan
terbaru dalam teknologi imunologi untuk mempelajari respon
kekebalan terhadap patogen telah memberikan pemahaman yang
lebih baik mekanisme kekebalan tubuh, termasuk memori
imunologi, dan menyebabkan realisasi bahwa inisiasi respon imun
adalah suatu peristiwa kunci yang memerlukan memicu melalui
sinyal ‘bahaya’. Berdasarkan temuan ini, pengembangan adjuvant
baru, formulasi vaksin vektor dan memungkinkan stimulasi
kekebalan protektif optimal dan berkepanjangan harus mengarah
pada pengenalan vaksin untuk organisme yang sebelumnya
resisten.
 Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia
terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit.
 Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan
kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari
luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah
kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang
diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif
tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu
paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh imunoglobulin
lainnya lebih pendek.
 Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri
akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan
secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama
karena adanya memori imunologik.
 Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada
sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan
penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang
terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang
transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya penyakit
difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses
imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu
diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh
(lihat juga bab tentang respons imun).
RESPONS IMUN

Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam
respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.

 Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun


yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi
yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM
dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun
sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen
masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila
dibanding dengan respons imun sekunder
 Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi
yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang
lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun
primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons
imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat
mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif
sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori. Pada
imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan
memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa
kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan
mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan
dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.
KEBERHASILAN IMUNISASI
 Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status imun host, faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.
 Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang
semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus
campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang
memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA
sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi
umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah
pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di
subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5
bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila
vaksinasi polio secara oral diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI
masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum
dan sesudah vaksinasi.\
 Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi
mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada
permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons
kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas
opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik
serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol dibanding pada
bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin
lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi
baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang
kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda
sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.
 Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun
kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun
merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi pada individu
yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
 Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal
atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat
mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen
juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons
terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik host
 Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
 Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan
keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons
imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC
dengan non MHC.
Gen kompleks MHC
 Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan
sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC kelas II.
 Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti
bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis
terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA
tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan
HLA-B27.
Gen non MHC
 Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-
laki.
 Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran
genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya
belum diketahui.
Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa


sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap
mengandung antigenesitasnya. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas
vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara
pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan
jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang
timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di
samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan
memberikan imunitas sistemik saja.
Dosis vaksin
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi
respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan
menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu
rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat
diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai
dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang
terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder
menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,
dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian
pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin
berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,
maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten,
bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu bengkak
kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan kompleks
antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal. Oleh sebab
itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa yang
dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.
Ajuvan
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan
respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons
imun dengan cara mempertahankan antigen pada tempat suntikan,
dan mengaktivasi sel APC untuk memproses antigen secara efektif
dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis vaksin
 Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibandingkan vaksin lainnya seperti vaksin mati atau yang diinaktivasi
(killed atau inactivated), atau komponen dari mikroorganisme.
Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi
sehingga dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi
virus yang pengeluarannya melalui budding.

Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah


untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit
yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan cara memodifikasi kondisi
tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah,
kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada
pembuatan vaksin TBC yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula
dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk
manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN
1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin,
2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori,
3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,
untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam
populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan
4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel
folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut
sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
REFERENCES RECOMMENDED
 Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of
virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996; 150:
23–44
 Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of
antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6
 Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-
specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-
Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402
 Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory
HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11
 Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of
lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev
Immunol 1989; 7: 145–73
 Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,
Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46
 Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:
263–6
 Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease
states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58
 Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-
Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms
underlying genetically determined resistance and susceptibility to
infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30
 Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.
Immunol Today 2000; 21: 420–5
 Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus
subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol
2001; 13: 442–50
 Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28
 Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human
immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T
cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9
 Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-
specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection
demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;
3: 212–7
 Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford
JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other
autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8
 Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.
Immunol Today 2000; 21: 249–50
 Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1
specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently
seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13
 McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.
Nature 2001; 410: 980–7
 Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and
immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and
activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54
 Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into
mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8
 Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to
DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8
 Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets
of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector
functions. Nature 1999; 401: 708–12
 Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell
memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and
immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29
 Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:
173–8
 Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive
immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10
 Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:
399–415
 Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr
Opin Immunol
 Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6
 Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in antigen
presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 45–
51
 Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr
Opin Immunol 2002; 14: 117–22
 Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of
microbe detection. Curr
 Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+ cytotoxic
T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A. Dendritic
cells use macropinocytosis and the mannose receptor to concentrate
macromolecules in the major histocompatiblity complex class II
compartment: downregulation by cytokines and bacterial products. J
Exp Med 1995; 182: 389–400
 Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,
Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-
restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21
 Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular
transport and loading of peptides associated with MHC class I
molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8
 Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen
presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–
6
 Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of
immunity. Nature 1998; 392: 245–52
 Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35
 Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by
CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62
 Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on
dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-
restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81
 Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand, a
member of the TNF family, is important for the generation of antiviral
CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68
 Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to
mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in
vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–
55
 Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In
interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1
responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to
induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–
6
 Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A
filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a
phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:
6453–60
 Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug
Deliv Rev 1998; 32: 155–72
 Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)
microparticles for the development of single-dose controlled-release
vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46
 Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough
DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can
promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.
Immunity 2001; 14: 461–70
 Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and
CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B
Biol Sci 2000; 355: 401–6
 Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T
lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules
(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,
and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol
1988; 140: 1401–7
 Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.
Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T
cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55
 Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,
Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.
Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J
Immunol 1993; 150: 1122–36
 Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D, Terstappen
LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I. Differential
regulation of the peripheral lymph node homing receptor L-selectin on
T cells during the virgin to memory cell transition. J Immunol 1993;
150: 1105–21
 MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell
memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R Soc
Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60
 Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human
lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:
264–5
 Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-
mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell
proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95
 Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed
R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.
Science 1999; 286: 1267–8
 Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.
Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11
 Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T
cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.
Immunol Rev 1997; 160: 31–42
 Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.
Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8
and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J
Immunol 2000; 165: 5729–37
 Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes
regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania
major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84
 Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of type
1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun 2002; 70:
498–503
 Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of
Leishmania major in mice: implications for immune memory,
vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74
 Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming
by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third
signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7
 Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable
priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of
human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in
established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85
 Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-
12 regulate the development of subsets of memory effector helper T
cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24
 Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of NK1.1+
T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production. Science
1995; 270: 1845–7
 Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse
association between tuberculin responses and atopic disorder. Science
1997; 275: 77–9

Reaksi Hipersensitivitas
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

 Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral


maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi
berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
 Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi
menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif
sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani
kompleks imun, dan tipe IV hipersensitifcell-mediated (hipersensitif
tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut
sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
 Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah
usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit.
Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling
mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I


 Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich
lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula
sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum
diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa
sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu
histamin dan zat peradangan lainnya.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi
menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib).
Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe
Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan
reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang
bersangkutan.
 Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang
lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau
kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan
membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan
gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap
penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.
 Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil
tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat
pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada
proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).
 Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis
(ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini
merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang
sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor
kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator
yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat
akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.
 Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu
fase cepat dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe I
fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai.
Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan
alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan basofil yang berlangsung selama
beberapa jam, dapat terjadi resintesis mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas,
yang kemudian dapat responsif lagi terhadap alergen.
 Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme
terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas
benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang
menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi
tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel
mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang
menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase
aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler
yang meningkatkan sel radang.
 Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi
fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat
melepaskan histamin releasing factordan sitokin lainnya yang akan
meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.
 Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic
protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan
neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas,
serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel
yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi
fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama
eosinofil.

Mediators:

 Histamin
 Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
 Bradykinin.
 Serotonin (5-hydroxytryptamine)
 Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).
 Platelet activating factor (PAF).
 Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari
arachidonic acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah
bronchodilators dan vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah
suatu disaggregates platelets.
 Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial
tendency.

Manifestasi Klinis

 Anaphylaxis
 Atopy immediate hypersensitivity response
 Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens
atau “allergoids”.
 Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium
cromolyn, Theophylline
 Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti
telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi
interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada
membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed
mediator).Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer),
dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer
(mediator sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic
factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal
dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2
ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin
dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf
iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna
adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai
peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian
gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik
berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi
fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara
memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini
mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal
saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel
termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada
waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4
yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas
pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast
atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)


NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan fragmen
paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu. Keadaan ini terjadi dalam
beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma setelah provokasi inhalasi dengan
alergen atau setelah timbulnya urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari).
Oleh karena mediator ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan
mediator primer. Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di
tempat reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.
Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,
faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat
terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses
inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi
pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2,
PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul
di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan
limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan
permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama
sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan,
akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum
diketahui.

2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan
LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan
produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang
dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih
lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit
perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap
mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator
ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga
meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara
kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu
LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari
trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta
peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada
reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa saluran


cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak pada sel mast
manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin merupakan mediator
sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui aktivasi produk sel mast yaitu PAF
dan TxA2. Serotonin dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber
beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu
normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen
asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari
(pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu
misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2.
Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.
Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang
berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.
Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering
disebut sebagai alergen.

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,
akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu,
individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons
terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar
orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen
yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu
Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh
makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel
limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk
memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh
sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang
sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari
sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4
tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B.
Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel
limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell
stimulating factor).Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi
dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen
pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai
aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and
activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T
expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor)
yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat
menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui
stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan
mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata
dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi


peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF (nerve
growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi, pertahanan
hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast, makrofag atau monosit.
Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah jaringan yang mengalami peradangan
dalam reaksi antigen-antibodi yang ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF
(eosinophil activating factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil
manusia dengan GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi
hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh stimulus
seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).
PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI
(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)
 Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan
berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau
jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk
kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi
hipersensitivitas tipe III)
 Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-
mediated)merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang
kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel
dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target
antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya
spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap
di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh
darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh
karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu
penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan
nefritis.
Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau


berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks imun.
Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi atau
menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang diakibatkannya dengan
menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang berat, digunakan plasmapheresis
untuk mengurangi kadar autoantibodi atau kompleks imun yang beredar dalam
darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan


Manifestasi
Penyakit Antigen target Mekanisme klinopatologi

Anemia Protein membran


hemolitik eritrosit (antigen Opsonisasi dan Hemolisis,
autoimun golongan darah Rh) fagositosis eritrosit anemia

Purpura
trombositope Protein membran
nia autoimun platelet (gpIIb:integrin Opsonisasi dan
(idiopatik) IIIa) fagositosis platelet Perdarahan

Pemfigus Protein pada Aktivasi protease Vesikel kulit


vulgaris hubungan interseluler diperantarai (bula)
pada sel
epidermal(epidemal antibodi, gangguan
cadherin) adhesi interseluler

Protein non-kolagen Inflamasi yang


pada membran dasar diperantarai
Sindrom glomerulus ginjal dan komplemen dan Nefritis,
Goodpasture alveolus paru reseptor Fc perdarahan paru

Antigen dinding sel


streptokokus, antibodi
bereaksi silang
Demam dengan antigen Inflamasi, aktivasi Artritis,
reumatik akut miokardium makrofag miokarditis

Antibodi
menghambat ikatan
Miastenia asetilkolin, modulasi Kelemahan otot,
gravis Reseptor asetilkolin reseptor paralisis

Stimulasi reseptor
Penyakit TSH diperantarai
Graves Reseptor hormon TSH antibodi Hipertiroidisme

Netralisasi faktor
intrinsik, penurunan Eritropoesis
Anemia Faktor intrinsik dari sel absorpsi vitamin abnormal,
pernisiosa parietal gaster B12 anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Penyakit oleh kompleks imun
Spesifitas Manifestasi
Penyakit antibodi Mekanisme klinopatologi

Lupus Inflamasi diperantarai


eritematosus komplemen dan Nefritis,
sistemik DNA, nukleoprotein reseptor Fc vaskulitis, artritis

Poliarteritis Antigen permukaan Inflamasi diperantarai Vaskulitis


nodosa virus hepatitis B komplemen dan
reseptor Fc

Glomreulonefir Inflamasi diperantarai


tis post- Antigen dinding sel komplemen dan
streptokokus streptokokus reseptor Fc Nefritis

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Point of interest
 Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).
 Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn
menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi
inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen
komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi,
juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada
reseptor sel organ tersebut.
 Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan
membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada
pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan
oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.
PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin
dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia
pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama
oleh sel limfosit T.

 Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh


mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung
terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan
organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung
terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat
sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T
terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat
reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut
menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi
granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada
tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak
terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang
bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan
jaringan hepar.
 Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated),
kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe
lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+
CTLs
 Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang
digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan
mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau
jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan
mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi
sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+
dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada
banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel
T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan
keduanya berperan pada kerusakan jaringan.
Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi
yang diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T


Spesifitas sel T Penyakit pada Contoh pada
Penyakit patogenik manusia hewan

Diabetes Antigen sel islet


melitus (insulin, Tikus NOD, tikus
tergantung dekarboksilase Spesifisitas sel T BB, tikus
insulin (tipe I) asam glutamat) belum ditegakkan transgenik

Antigen yang tidak Spesifisitas sel T dan


Artritis diketahui di peran antibodi belum Artritis diinduksi
reumatoid sinovium sendi ditegakkan kolagen

Ensefalomieli Protein mielin Postulat : sklerosis Induksi oleh


tis alergi dasar, protein multipel imunisasi dengan
antigen mielin
eksperimenta SSP; tikus
l proteolipid transgenik

Induksi oleh
rusaknya gen IL-
Penyakit Tidak diketahui, 2 atau IL-10 atau
inflamasi peran mikroba Spesifisitas sel T kurangnya
usus intestinal belum ditegakkan regulator sel T

(Abbas AK, Lichtman AH, 2004)


DAFTAR PUSTAKA
 Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders, 2004.
 Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-
3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.
 Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral
and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular
immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.
 Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic
reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III.
Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.
 Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell
Scioentific, 1988; 233-67.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI MUKOSA


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang
penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain.
Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas, karena
hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung dengan
lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang
terdiri dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam
jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik.
Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin dicegah agar tidak
menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan
kimiawi dengan enzim-enzim mukosa.

 Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi


imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk
mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya
merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang sangat banyak.
Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun
oleh karena adanya paparan antigen.
 Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa mekanisme untuk
melindungi pejamu dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi
lumen usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang kuat,
adanya enzim luminal yang mempengaruhi antigen diri yang alami,
adanya sel T regulator spesifik yang diatur fungsinya oleh jaringan
limfoid usus, dan adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling
cocok dengan lingkungan usus.
 Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respons imunitas.
Kelainan beberapa komponen ini dapat menyebabkan peradangan
atau alergi.
Recommended nomenclature for secretory immune-function
molecules
Preferred
abbreviations Explanations
SIgA (or S-IgA) Secretory IgA
SIgM (or S-IgM) Secretory IgM
pIgA Polymeric IgA
Refers mainly to dimers but also includes larger
polymers of J-chain-containing IgA
J chain Joining chain
SC Secretory component
Exists in three forms: membrane SC; bound SC; and
free SC
pIgR Polymeric Ig receptor
The same as membrane SC

pIgA, IgA dimers/polymers; pIgR, polymeric Ig receptor; SC, secretory


component; SIgA, secretory immunoglobulin A; SIgM, secretory
immunoglobulin M.

a
Approved by IUIS/WHO Subcommittee on IgA nomenclature.8
STRUKTUR SISTEM IMUNOLOGI MUKOSA
 Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran
cerna, saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi
terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang
menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun mukosa innateberupa
eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun
mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa juga
melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan.
Sistem imun lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada
orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara
berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT), bersama-
sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.
 Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba
berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii) melindungi
pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-
protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen
tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Sehingga disini
MALT menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur
intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun
berlebih. Sistem MALT terlihat sebagai suatu sistem imun
kompartemenisasi yang bagus dan fungsi esensialnya berdiri sendiri
dari aparatus sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri dari dua
komponen yaitu jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem
imunologi mukosa tersebar.
Depiction of the human mucosal immune system. Inductive sites for
mucosal immunity are constituted by regional MALT with their B-cell
follicles and M-cell (M)-containing follicle-associated epithelium through
which exogenous antigens are transported actively to reach APCs,
including DCs, macrophages, B cells, and FDCs. In addition, quiescent
intra- or subepithelial DCs may capture antigens at the effector site
(exemplified by nasal mucosa in the middle) and migrate via draining
lymphatics to local/regional lymph nodes where they become active APCs,
which stimulate T cells for productive or downregulatory (suppressive)
immune responses. Naive B and T cells enter MALT (and lymph nodes) via
HEVs. After being primed to become memory/effector B and T cells, they
migrate from MALT and lymph nodes to peripheral blood for subsequent
extravasation at mucosal effector sites (exemplified by gut mucosa on the
right). This process is directed by the local profile of vascular adhesion
molecules and chemokines, the endothelial cells thus exerting a local
gatekeeper function for mucosal immunity. The gut lamina propria
contains few B lymphocytes but many J-chain-expressing IgA
(dimers/polymers) and IgM (pentamers) plasmablasts and plasma cells.
Also, there are normally some rare IgG plasma cells with a variable J-chain
level (J), and many T cells (mainly CD4+). Additional features are the
generation of SIgA and SIgM via pIgR (mSC)-mediated epithelial transport,
as well as paracellular leakage of smaller amounts (broken arrow) of both
locally produced and plasma-derived IgG antibodies into the lumen. There
may also be some active transport of IgG mediated by the neonatal Fc
receptor (not indicated). Note that IgG cannot interact with J chain to form
a binding site for pIgR. The distribution of intraepithelial lymphocytes
(mainly T-cell receptor / CD8+ and some /
+ +
T cells) is also depicted. The
inset (lower left corner) shows details of an M cell and its “pocket”
containing various cell types. The cartoon is modified from Brandtzaeg
and Pabst1 with permission from Elsevier. APCs, antigen-presenting cells;
DCs, dendritic cells; FDCs, follicular dendritic cells; HEVs, high endothelial
venules; MALT, mucosa-associated lymphoid tissue; mSC, membrane
secretory component; pIgR, polymeric Ig receptor; SIgA, secretory IgA;
SIgM, secretory IgM
RESPONS UMUM IMUNOLOGI MUKOSA
 Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan
sel epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di
mukosa induktif, dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-
presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC),
sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T
konvensional αβ CD4+ dan CD8+, semuanya berada pada tempat
induktif. Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan
dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga
(neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited
resevoire diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan
lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe adalah antigen non
patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa
dan APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai
sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas
sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan
patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai
pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan
kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun
yang lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor
imunitaas seluler dan tidak menghasilkan toleransi oral. Ini
diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa
membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi terakhir
ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri komensal dapat
dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu yang penting untuk
menjaga homeostasis epitel di usus.
 Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal
dimana berhubungan dengan antigen (contohnya plak payeri), transit
melewati kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian
menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa
asal dimana mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma
dan sel memori, membentuk IgA sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-
sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin pada tempat
spesifik (homing reseptors) pada permukaannya dan reseptor jaringan
spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler. Pada
penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa dapat
mempengaruhi properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan
limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan perifer,
meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa α4β7 dan reseptor
CCR9, suatu reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T memori
dan sel T CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel intestinal.
Juga, sel dendritik imprinting of gut homing specifity, terlihat terdiri
dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi
tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan
dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit teraktivasi pada
suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa jauh dari
pada oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang sama, oleh
karena kemokin, integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara
jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan sebagian,
mengapa didalam sistem imun mukosa, ada hubungan
kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya
usus dengan glandula mamae dan hidung dengan saluran pernafasan
dan genital).
 Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan
tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan.
Imunisasi oral akan menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di
proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan glandula saliva tetapi
tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil
dan genital wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan
respons antibodi yang kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan
colon proksimal. Imunisasi per nasal dan tonsil akan memberikan
respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva
dan nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons
imun di mukosa vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi HIV.
Penelitian pada tikus ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa
menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.
Mekanisme efektor pada imunologi mukosa
 Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi,
imuitas mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang
meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural
killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan
inisisasi respons imun adaptif.
 Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa
adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas
imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal manusia.
Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi
pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan
antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan sel B
menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin
(IL)10 bersama-sama dengan IL-4.Diketahui bahwa sel T mukosa
menghasilkan dalam jumlah yang banyak TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel
epitelial mukosa menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk
bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro
mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga
 Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral,
IgM dan IgG juga diproduksi secara lokal dan berperan dalam
mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T limfosit sitolitik
mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan
patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat
setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan
yang terbaru perkutaneus.
Mekanisme regulator pada imunologi mukosa
 Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk
menjaga toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada
mikroflora, antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi
tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T
regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi
atau menelan sejumlah besar protein terlarut, dan penghilangan
(deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis
nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada
4 sel T regulator, yaitu; (i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like
cells yang memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel efektor T
helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10, (iii) sel
CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF-β (T helper 3), (iv) Sel Treg
(CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu sel contact-
dependent mechanism.
 Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi
suatu bentuk sel antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa
juga mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain dengan cara
menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan
MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel sepertiinfectious
tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T
inhibitor oleh Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural
human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin α4β7 mukosa,
ketika bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T sekresi Tr
1 like IL 10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T efektor,
dimana α4β1 Treg –positif lain memperlihatkan cara yang sama dengan
cara menginduksi Thelper 3-like TGF-β-secreting supressor T cells.
 Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel
regulator yang berbeda tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi
atau ditambah (expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali
terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ γδ intraepitelial
mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi
mukosa. Jadi, mekanisme pertahanan mukosa dari autoagressive dan
penyakit alergi melibatkan berbagai tahap regulasi. Sedangkan
aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya dikontrol
oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan spesifik
meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.
(a) Bacteroides fragilis releases zwitterionic carbohydrates that enhance
CD4+ T cell development in the mammalian host. If the integrity of the
intestinal mucosa is compromised and B. fragilis invades submucosal
tissues, abscess formation is induced by zwitterionic carbohydrates.
(b) Clostridium difficile, on the other hand, causes disease only when the
endogenous commensal flora is compromised, resulting in toxin-mediated
damage (orange) to epithelial cells. (c) Helicobacter pylori adheres to the
surface of gastric epithelial cells, inducing an inflammatory response that
results in gastritis, peptic ulcers and, in some circumstances, gastric
cancer.
IMNITAS MUKOSA PADA MASING-MASING ORGAN

Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran


napas, cerna, dan urogenital.

 Sistem imunitas mukosa saluran napas Sistem imunitas


mukosa saluran napas terdiri dari nose-associated lymphoid tissue
(NALT), larynx-associated lymphoid tissue (LALT), and the bronchus-
associated lymphoid tissue (BALT).1 BALT terdiri dari folikel limfoid
dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus.
Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi
amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada
fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin
ini merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.
 Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di
epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC
yang dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas
untuk uptake dan transport antigen lumen dan kemudian dapat
mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik
submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus
merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%.
Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan
sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak terdapat pada
alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses
inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag
alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel
dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap
antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui
proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat
memulai proses imun selanjutnya
 Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT
dan kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat
melakukan ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini diperantarai
oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal
addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen
adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis
atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi
sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B
untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.
 Sistem imunitas mukosa saluran cernaLuas permukaan saluran
cerna mencapai hampir 400m2 dan selalu terpajan dengan berbagai
antigen mikroba dan makanan sehingga dapat menerangkan
mengapa sistem limfoid saluran cerna (gut associated lymphoid tissue
/GALT) memegang peranan pada hampir 2/3 seluruh sistem imun.
Pertahanan mukosa adalah struktur komplek yang terdiri dari
komponen selular dan non selular. Pertahanan yang paling kuat
masuknya antigen ke jaringan limfoid mukosa adalah adanya enzim
yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim proteolitik di
dalam lambung (pepsin, papain) dan usus halus (tripsin, kimotripsin,
protease pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan polipeptida
menjadi dipeptida dan tripeptida bertujuan agar dapat terjadi proses
digesti dan absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein
imunogenik yang bersifat nonimun (peptida dengan panjang asam
amino <8-10 bersifat imunogenik yang buruk). Efek protease berlipat
ganda dengan adanya garam empedu yang memecah karbohidrat
dan akan didapatkan suatu sistem yang poten untuk meningkatkan
paparan antigen(Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam lambung
dan usus halus dan produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai
respons imun terhadap antigen oral. Sebagian besar respons imun ini
berfungsi melindungi manusia dari bahann patogen. Perubahan untuk
merespons atau menekan respons imun berhubungan dengan cara
antigen masuk ke dalam tubuh. Patogen invasif (yang merusak
pertahanan) memicu respons agresif, sedangkan untuk kolonisasi
luminal dibutuhkan yang lebih bersifat respons toleran.
 Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin.
Glikoprotein musin melapisi permukaan epitel dari rongga
hidung/orofaring sampai ke rektum. Sel goblet yang menghasilkan
mukus secara kontinu memberikan pertahanan yang kuat pada
persambungan epitel. Partikel, bakteri dan virus menjadi terperangkap
dalam lapisan mukus dan akan dikeluarkan dengan proses persitaltik.
Pertahanan ini mencegah patogen dan antigen masuk ke bagian
bawah epitel, disebut proses eksklusi nonimun. Musin juga berfungsi
sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari epitel dan dikeluarkan
ke dalam lumen.
 Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan
bakteri/virus dan mencegah menempel pada epitel. Hubungan faktor-
faktor, disebut sebagai faktor trefoil, membantu memperkuat
pertahanan dan memicu pemulihannya bila terdapat defek. Tidak
adanya produk gen musin atau faktor trefoil, manusia menjadi lebih
rentan terhadap inflamasi dan kurang mampu memperbaiki kerusakan
barier. Apakah defek tersebut berperan pada pasien dengan alergi
makanan masih dalam penelitian.
 Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel. Bersama-sama dengan
persambungan bagian apeks dan basal yang kuat, membran dan
ruang antara sel membatasi masuknya makromolekul yang besar.
Namun demikian, persambungan yang kuat ini masih mungkin dilalui
oleh di- dan tripeptida serta oleh ion-ion tertentu. Pada keadaan
inflamasi, persambungan ini menjadi kurang kuat sehingga
makromolekul dapat masuk ke dalam lamina propria, contohnya
respons terhadap antigen makanan atau masuknya mikroorganisme
lumen. Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen
asing, dimana pada individu yang memiliki bakat alergi akan
menginduksi proses alergi menjadi berlanjut.
 Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan
mempresentasikannya ke sel T dalam lamina propria. Dalam keadaan
normal, interaksi ini menyebabkan aktivasi selektif sel T
CD8+ regulator. Pada penyakit tertentu (contohnya inflammatory
bowel disease), aktivasi beberapa sel rusak sehingga menyebabkan
inflamasi menetap. Pada alergi makanan, alergen yang menembus
epitel akan menempel pada sel mast mukosa .
 Sel T yang teraktivasi dalam Peyer’s patch setelah paparan dengan
antigen disebut sebagai Th3. Sel ini berfungsi
mengeluarkan transforming growth factor-β,memicu sel B untuk
menghasilkan IgA dan berperan pada terjadinya toleransi oral
(aktivasi antigen spesifik non respons terhadap antigen yang masuk
per oral).
 Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah dengan fenotip
CD4+ CD25+ CD45RA+. Sel ini awalnya dikenal pada gastritis
autoimun dan berfungsi menghambat kontak antar sel dan dapat
menyebabkan kelainan autoimun pada neonatus yang mengalami
timektomi.
Imunoglobulin A sekretori pada saluran cerna

Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan


komplemen (yang dapat memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama
sebagai inhibitor penempelan bakteri/virus ke epitel. Antibodi IgA dapat
menggumpalkan antigen, menjebaknya dalam lapisan mukus dan
membantu mengeluarkannya dari tubuh (Gambar 11-4). Antibodi IgA
sekretorik dilindungi oleh sel epitel dari protease lumen dengan
diproduksinya komponen sekretori yaitu glikoprotein. Molekul ini menutupi
bagian Fc dari antibodi dimer dan melindunginya dari proses proteolitik.
Sistem IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur
tersebut dapat terjadi peningkatan respons imun terhadap antigen
makanan. IgA sekretorik dari ASI dapat memberikan imunisasi pasif dalam
menghadapi patogen dan berperan menjadi barier bagi neonatus. IgE
tidak ditemukan dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh
protease lambung dan usus halus. Pada alergi makanan harus terdapat
IgE dalam saluran cerna. Hal ini dapat terjadi karena adanya antigen yang
melewati barier mukosa dan mempresentasikannya ke sel mast.

Flora komensal pada saluran cerna


Komponen terakhir dari MALT adalah flora komensal yang berperan
membentuk kumpulan imunologi dari sistem imun mukosa usus. Flora
komensal diperkirakan ada 1012-1014 bakteri per gram jaringan kolon.
Flora ini menguntungkan manusia karena membantu digesti, memicu
pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel, memproduksi vitamin, dll. Bila
ada penyakit, flora dapat terpengaruh dan terjadi pertumbuhan
berlebihan dari strain yang kurang dapat ditoleransi, contohnya pada
kolitis pseudomembran akibat Clostridium difficile. Flora komensal
normalnya dapat menjaga keseimbangan spesies bakteri ini. Pada
beberapa kasus, flora normal dapat dikembalikan dengan pemberian
probiotik.
 Sistem imunitas mukosa saluran genital Secara umum, sistem
imun mukosa di saluran genital sama dengan yang terjadi di saluran
pernafasan ataupun gastro intestinal. Pada mukosa genital wanita,
terjadi keseimbangan yang baik antara imunotoleransi terhadap
antigen asing di dalam sperma/fetus dan kebutuhan imunitas lokal
melawan patogen. Ada perbedaan epitel vagina berupa epitel
terstratifikasi yang lebih berespons terhadap kemokin dan sitokin dan
epitel endoserviks yang kolumnar yang berespons terhadap sitokin
serupa dengan pada saluran nafas dan pencernakan. Ini kemungkinan
adanya keperluan endoserviks harus relatif steril terhadap patogen.
 Berbagai macam patogen bisa melewati mukosa genital yang
menyebabkan sakit. Disini peran imunitas mukosa sangat penting.
Seperti yang terlihat pada infeksiHuman papilomavirus (HPV) di
genital. Dari penelitian terbukti bahwa eradikasi virus HPV tersebut
lebih oleh karena proses seluler dari pada proses humoral.Protein awal
HPV yang berfungsi untuk replikasi dan proliferasi dikenali oleh sel T
antigen-spesifik. Respons ini tergandung dari tingkat lesi dan
kemungkinan onkogenik oleh infeksi HPV. Infeksi alam HPV sangat
lambat dan tidak imunogenik karena sedikit sekali dipresentasikan ke
sel dendritik profesional dan tidak menimbulkan reaksi inflamasi serta
mempunyai jalur yang berbeda pada respons imun terhadap virus.
Sedangkan sekresi IgA di mukosa vagina terlihat lemah, sehingga
seakan-akan terjadi defisiensi imun relatif terhadap HPV. Padahal HPV
ini punya potensi untuk menjadikan kanker serviks. Untuk itu khusus
HPV perlu diklarifikasi mekanismenya sehingga bisa dibuat suatu
vaksin untuk HPV.
 Terhadap virus herpes simplek (HSV), mukosa vagina memberikan
efek protektif respons imun innate berupa; (i) sekresi protein,
komplemen dan defensin, (ii) respons awal terhadap virus oleh sel
epitel dan sel dendritik khas ditandai dengan produksi interferon,
yang selanjutnya mengawali respons imun adaptif, (iii) rekruitmen sel
efektor seperti neutrofil, makrofag dan sel NK. Sekali partikel virus
HSV2 mencoba menginfeksi mukosa vagina, dihadapkan pada
mekanisme pertahanan berupa; mukus, flora normal bakteri, pH asam
dan berbagai sekresi protein. Mukosa genital kaya akan substansi
seperti defensin, secretory leucocyte protease inhibitor (SLPI),
laktoferin, surfaktan, lisosim dan lainnya meskipun komplemen adalah
yang paling sebagai innate protein.
ASPEK KLINIS IMUNOLOGI MUKOSA
Imunisasi
Alasan utama menggunakan vaksinasi melalui mukosa adalah bahwa
fakta kebanyakan infeksi masuk melalui permukaan mukosa dan pada
infeksi ini, jarang diberikan vaksin topikal untuk menginduksi respons
imun protektif. Vaksinasi mukosa diharapkan akan memberikan
perlindungan dengan cara mencegah penempelan dan kolonisasi patogen
pada epitel mukosa dan mencegah penetrasi dan replikasi di mukosa
serta menangkal ikatan toksin mikrobial pada epitel mukosa dan sel lain
yang terkena. Beberapa organisme (V. cholerae) memberikan imunitas
dengan cara memproduksi IgA sekretori dan dihubungkan dengan
memori imunologi. Organisme lain (H. pylori, klamidia, herpes)
memberikan imunitas protektif dengan diperantarai oleh sel T helper CD4
dan mungkin juga sel sitolitik CD8 dan sel NK. Pada mukosa pernafasan
dan genital yang lebih permeabel dan mudah dipenetrasi oleh antibodi
daripada mukosa intestinal, juga bisa mendapatkan imunitas protektif
dengan pemberian imunisasi parenteral. Cara yang sama juga bisa terjadi
pada infeksi enterik (Shigella spp dan Salmonella typhi). Infeksi kedua
organisme ini bisa menyebabkan penyakit setelah multiplikasi dan induksi
inflamasi di kelenjar limfoid mukosa. Walaupun demikian masih ada
kesulitan dalam mengembangkan vaksin mukosa untuk mendapatkan
kadar antibodi IgAs yang memadai. Baru beberapa vaksin mukosa yang
ditemukan. Idealnya vaksin mukosa: (i) terlindungi dari eliminasi fisik dan
enzim pencernakan, (ii) tempat target masuk mukosa meliputi membran
atau sel M, (iii) paling tidak, vaksin untuk melawan infeksi, menstimulasi
secara tepat sistim imun innate yang akan mengaktifkan sistem imun
adaptif. Untuk itu perlu dicari sistem pengantaran antigen dan adjuvant
yang baik. Dalam penelitian, adjuvant yang paling baik adalah toksin
kolera. Molekul DNA bakteri atau oligodeoxynucleotide juga merupakan
adjuvant yang menjanjikan.
Pada vaksin oral polio, akan bisa menghasilkan antibodi di darah yang
menimbulkan efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat sebaran
virus polio yang menempel di sistem saraf. Kelebihan OPV dibanding
dengan IPV, OPV bisa juga mempoduksi IgAs yang memberikan respons
imun lokal di mukosa intestinal, tempat primer virus polio untuk replikasi
dan multiplikasi. Hal ini bisa mencegah penularan orang ke orang, dan
menimbulkan herd immunity. Walau ada kelemahan akan adanya virulensi
yang pulih pada virus vaksin sehingga bisa menyebabkan sakit.
Vaksin-vaksin untuk melawan infeksi enterik antara
lain V.cholerae, S.typhi dan rotavirus. Tetapi masih belum ditemukan
vaksin untuk ETEC dan shigella. Kolera merupakan organisme terbanyak
penyebab diare bakterial. Sebelumnya diberikan imunisasi parenteral
tetapi tidak menimbulkan respons imun mukosa usus sehingga sekarang
sudah ditarik. Saat ini ada 2 vaksin kolera oral yang terdiri dari pertama,
vaksin rekombinan dan vaksin inaktifasi yang terbukti aman dan stabil,
efektif, dan bisa menghasilkan herd immunity. Efek poteksi didapat dari
produksi antibodi SigA anti-toksin dan anti-bakterial di usus. Kedua, vaksin
kolera hidup yang dilemahkan terbukti aman dan bisa memberikan
proteksi 60-100% di negara tidak endemis, tetapi tidak bisa membeikan
proteksi yang bermakna di negara endemis sepeti Indonesia.

Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa vaksin sel utuh, memberikan
proteksi yang baik tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering
demam. Saat ini ada 2 jenis yang direkomendasikan yaitu vaksin yang
terdiri dari antigen Vi kapsul polisakarida murni, diberikan secara
parenteral dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan aman
ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain adalah vaksin hidup yang
dilemahkan yang diberikan secara oral memberikan perlindungan 67%
selama 3 tahun, akan tetapi proteksi imunitas mukosa lokal belum
diketahui.

Vaksin rotavirus yang terdahulu adalah suatu vaksin quadrivalen dari


rotavirus resus monyet, tetapi cepat ditarik karena dicurigai menyebabkan
intususepsi. Saat ini telah dikembangkan vaksin oral rotavirus hidup yang
dilemahkan, memberikan proteksi 62-90%.

Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain vaksin influensa dan
pneumokok yang disuntikkan. Diharapkan akan terbentuk IgG yang
melindungi penyebaran sistemik organisme tersebut. Dimana mungkin
juga secara transudasi memberikan proteksi lokal mukosa saluran
pernafasan bawah. Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan
topikal lewat nasal. Dengan cara ini tejadi respons imun seperti
alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal dengan membentuk sIgA yang
menempel di permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase dan
sistemik dengan cara membentuk IgG yang mencegah penyebaran virus
sistemik, viremia. Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi
sebesar 60-90%.

Vaksin mukosa untuk imunoterapi saat ini mulai dipikirkan. Adanya


toleransi imunologi di mukosa menjadikan pilihan strategi untuk
mengembangkannya, untuk mengobati kesakitan yang diakibatkan reaksi
imun terhadap alergen maupun antigen-self atauautoimmune disease.
Masih perlu diteliti lagi seberapa besar dan seberapa sering alergen yang
diberikan untuk bisa menimbulkan efek protektif dengan aman. Teknik-
teknik baru dengan menggunakan modifikasi alergen, vaksinasi gen
alergen atau analog peptida digabung dengan adjuvant yang sesuai
meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi mukosa pada alergi dan
asma.
Penyakit inflamasi usus
 Ada dua penyakit yang penting pada penyakit inflamasi
usus (inflammatory bowel disease) yaitu kolitis ulserativa (UC)
dan Crohn’s disease (CD). Kedua penyakit itu bisa mengenai baik
anak-anak maupun dewasa. Penyakit UC adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan adanya respons inflamasi dan perubahan morfologi
pada kolon. Inflamasi terbatas di sepanjang kolon dan dapat diikuti
dengan ulkus, edema dan perdarahan. Sedangkan CD adalah
inflamasi menyerupai UC tetapi bisa terjadi di seluruh bagian dari
usus. Bisanya segmen yang sakit diselingi bagian segmen usus yang
sehat disebut sebagai skip area.
 Respons inflamasi yang merusak disebabkan langsung oleh karena
pengenalan terhadap self-antigen seperti musin, sel goblet, kolonosit,
dan sel-sel lain. Sejumlah penelitian mencurigai CD pada manusia
adalah suatu penyakit yang diperantarai sel T helper 1 dan
berlebihan. Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa yang
memerantarainya. Beberapa studi menyebutkan bahwa profil sitokin
UC lain dengan CD. Kemungkinan yang lebih berperan dalan UD
adalah T helper 2 dibanding T helper 1, juga dicurigai adanya respons
imun humoral yang abnormal terjadi pada UC.
Imunitas mukosa saluran pernafasan pada asma dan Penyakit
Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
 Imunoglobulin A berperan pada homeostasis mukosa dan
pertahanan host serta merupakan mekanisme pertahanan pertama
terhadap kelainan jalan nafas kronis. Ini sudah diketahui, tetapi
perannya terhadap PPOK dan asma baru sedikit diketahui. Pada PPOK
diperkirakan bahwa respons IgA mukosa terganggu dan terjadi
kekurangan transport IgA melewati epitel bronkus, yang mungkin
memunculkan proteinase neutrofil, dimana akan mendegradasi
reseptor imunoglobulin yang dimediasi rute transepitelial ini.
Sebaliknya, respons IgA terhadap alergen pada asma memainkan
peran suatu proses patogenik dengan cara aktifasi eosinofil. Jadi, IgA
menginduksi degranulasi eosinofil, dimana kita ketahui bahwa produk
degranulasi eosinofil terdiri dari mediator-mediator inflamasi yang
menyebabkan klinis asma terjadi. Defisiensi IgA selektif berhubungan
dengan peningkatan prevalensi atopi, dimana pada percobaan pada
tikus dengan asma menunjukan adanya efek protektif oleh IgA.
Sehingga masih diperlukan penelitian lagi untuk mencari peran
imunitas mukosa dan kemungkinan imunoterapi yang efektif terhadap
asma dan PPOK.
Peran imunitas mukosa urogenital terhadap infeksi saluran kemih
 Selain pertahanan fisik, kimiawi dan sistem imune innate , IgA
mempunyai peran yang sangat penting dalam pertahana terhadap
antigen dan patogen di saluran urogenital. Ada satu penelitian yang
mengukur kadar IgA urine pada anak-anak perempuan dengan ISK
asimtomatik dan anak-anak ISK simtomatik dibandingkan dengan
anak sehat tanpa ISK. Mereka menemukan bukti bahwa pada anak
sehat, ekskresi IgA rendah pada bayi kurang dari 6 bulan dan pada
umur 6-15 tahun terlihat sekresi IgA meningkat dengan bertambahnya
umur. Pada anak-anak dengan ISK berulang asimtomatik tanpa
kelainan saluran kemih, ternyata mempunyai kadar IgA yang lebih
rendah dibanding kontrol. Sedangkan pada anak dengan ISK
simtomatik tanpa kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi
IgA yang lebih tinggi dari kontrol. Anak dengan ISK simtomatik dengan
kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi IgA paling tinggi.
Disimpulkan bahwa kadar IgA rendah bisa dijadikan pertanda
terjadinya ISK berulang pada anak-anak perempuan tanpa kelainan
saluran kemih.
 Imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk
tatalaksana ISK dimasa mendatang. Paling tidak ada 2 penelitian yang
mendukung hal tersebut. Penelitian dengan menggunakan vaksinasi
pervaginal terdapat perbadaan bermakna angka reinfekasi dibanding
plasebo. Pada kelompok vaksin memperlihatkan 50% pasien tidak
terjadi reinfeksi ISKdibanding hanya 17% pada plasebo. Sedangkan
penelitian yang menggunakan vaksin oral, suatu metaanalisis
menyatakan bahwa pasien ISK yang mendapatkan vaksin (18
uropatogenik E. coli) terjadi penurunan yang nyata pada angka
rekurensi dibanding dengan plasebo. Tidak didapatkan perbedaan
efek samping yang bermakna dibanding kontrol. Sehingga, dengan
adanya resistensi yang semakin meningkat, imunoterapi terhadap ISK
akan menjadi alternatif yang efeksif dan aman.
 Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba
berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii) melindungi
pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-
protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen
tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh.
 Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu;
mekanis dengan barries fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem
imune innate meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel
NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi
patogen dan inisisasi respons imun adaptif. Mekanisme pertahanan
sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem yang
diperantarai antibodi IgA sekretori. S
 istem imunitas mukosa mempunyai berbagai cara untuk menjaga
toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora,
antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi tersebut antara
lain melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian (induce-cell
death), anergi dan yang paling penting induksi sel T regulator. Adanya
toleransi imun ini melindungi tubuh dari terjadinya reaksi imun yang
berlebihan yang merugikan.
 Kelainan klinis yang berhubungan dengan imunitas mukosa
diantaranya adalah defisiensi IgA selektif, inflammatory bowel
disease, asma dan PPOK . Defisiensi IgA selektif adalah defisiensi
berat atau total tidak ada imunoglobulin A dalam serum atau sekresi,
tanpa ada defisiensi klas imunoglobulin lain dimana fungsi sel T
limfosit, fagosit dan komplemen masih normal. kemungkinan
penyebab defisiensi ini adalah gangguan sintesis akibat sel B tidak
bisa mencapai matur atau gangguan sekresi. Penyakit inflamasi usus
(inflammatory bowel disease) yaitu kolitis ulcerativa (UC) dan Crohn’s
disease (CD), penyebabnya belum diketahui. Sejumlah penelitian
mencurigai CD pada manusia adalah suatu penyakit yang diperantarai
sel T helper 1 dan berlebihan. Sedangkan untuk UC masih sedikit
diketahui apa yang memerantarainya. Pada asma, respons IgA
terhadap alergen memainkan peran suatu proses patogenik dengan
cara aktifasi eosinofil, sedangkan PPOK diperkirakan bahwa respons
IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA melewati
epitel bronkus, yang mungkin memunculkan proteinase neutrofil,
dimana akan mendegradasi reseptor imunoglobulin yang dimediasi
rute transepitelial ini.
 Sistem imunitas mukosa ternyata mempunyai sifat
kompartemenisasi dimana ada hubungan imunitas antara satu
kompartemen dengan kompartemen lain. Adanya hubungan
kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya
imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan. Vaksinasi mukosa dan
imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk
tatalaksana infeksi dimasa mendatang, menggantikan peran antibiotik
yang semakin bertambah resistensinya dan antivirus. Untuk itu,
pemahaman imunologi mukosa yang komplek dan belum sepenuhnya
dimengerti menjadi sangat penting.
REFERENCES RECOMMENDED
 Lefrancois, L. & Puddington, L. Intestinal and pulmonary mucosal T
cells: local heroes fight to maintain the status quo. Annu. Rev.
Immunol. 24, 681–704 (2006).
 Neutra, M.R., Mantis, N.J. & Kraehenbuhl, J.P. Collaboration of
epithelial cells with organized mucosal lymphoid tissues. Nat.
Immunol. 2, 1004–1009 (2001).
 Moghaddami, M., Cummins, A. & Mayrhofer, G. Lymphocyte-filled
villi: comparison with other lymphoid aggregations in the mucosa of
the human small intestine. Gastroenterology 115, 1414–1425 (1998).
 Onai, N. et al. Pivotal role of CCL25 (TECK)-CCR9 in the formation of
gut cryptopatches and consequent appearance of intraepithelial T
lymphocytes. Int. Immunol. 14, 687–694 (2002).
 Guy-Grand, D., Azogui, O., Celli, S., Darche, S., Nussenzweig, M.C.,
Kourilsky, P. et al. Extrathymic T cell lymphopoiesis: ontogeny and
contribution to gut intraepithelial lymphocytes in athymic and
enthymic mice. J. Exp. Med. 197, 333–341 (2003). |
 Pabst, O., Herbrand, H., Friedrichsen, M., Velaga, S., Dorsch, M.
Berhardt, G. et al.Adaptation of solitary intestinal lymphoid tissue in
response to microbial and chemokine receptor CCR7 signaling. J
Immunol 177, 6824–6832 (2006).
 Craig, S.W. & Cebra, J.J. Peyer’s patches: an enriched source of
precursors for IgA-producing immunocytes in the rabbit. J. Exp. Med.
134, 188–200 (1971).
 McWilliams, M., Phillips-Quagliata, J.M. & Lamm, M.E. Mesenteric
lymph node B lymphoblasts which home to the small intestine are
precommitted to IgA synthesis. J. Exp. Med. 145, 866–875 (1977).
 Guy-Grand, D., Griscelli, C. & Vassalli, P. The gut-associated
lymphoid system: nature and properties of the large dividing cells. Eur.
J. Immunol. 4, 435–443 (1974). |
 Roux, M.E., McWilliams, M., Phillips-Quagliata, J.M. & Lamm, M.E.
Differentiation pathway of Peyer’s patch precursors of IgA plasma cells
in the secretory immune system. Cell Immunol. 61, 141–153 (1981).
 Parrott, D.M. The gut as a lymphoid organ. Clin. Gastroenterol. 5,
211–228 (1976). |
 Lamm, M.E. Cellular aspects of immunoglobulin A. Adv. Immunol. 22,
223–290 (1976).
 Dunn-Walters, D.K., Isaacson, P.G. & Spencer, J. Sequence analysis of
human IgVH genes indicates that ileal lamina propria plasma cells are
derived from Peyer’s patches. Eur. J. Immunol. 27, 463–467 (1997).
 Cornes, J.S. Number, size and distribution of Peyer’s patches in the
human small intestine. Gut 6, 225–233 (1965).
 Spencer, J. & MacDonald, T.T. Ontogeny of human mucosal
immunity. In Ontogeny of the Immune System of the Gut (MacDonald,
T.T., ed) 23–50 (CRC Press, Boca Raton, FL, 1990).
 Trepel, F. Number and distribution of lymphocytes in man. A critical
analysis. Klin. Wochenschr. 52, 511–515 (1974).
 O’Leary, A.D. & Sweeney, E.C. Lymphoglandular complexes of the
colon: structure and distribution. Histopathology 10, 267–283 (1986).
 Muòoz AR. Mucosal Immunity In The Respiratory Tract: The Role Of
Iga In Protection Against Intracellular Pathogens. Doctoral Thesis from
the Department of Immunology, The Wenner-Gren Institute,
Stockholm University. Stockholm 2005
 Mayer L. Mucosal Immunity. Pediatrics. 2003;111:1595-1600.
 Brandtzaeg, P. & Pabst, R. Let’s go mucosal: communication on
slippery ground. Trends Immunol. 25, 570–577 (2004).
 Tomasi, T.B., Tan, E.M., Solomon, A. & Prendergast, R.A.
Characteristics of an immune system common to certain external
secretions. J. Exp. Med. 121, 101–124 (1965).
 Brandtzaeg, P. Presence of J chain in human immunocytes
containing various immunoglobulin classes. Nature 252, 418–420
(1974).
 Brandtzaeg, P. Mucosal and glandular distribution of immunoglobulin
components: differential localization of free and bound SC in secretory
epithelial cells. J. Immunol. 112, 1553–1559 (1974).
 Brandtzaeg, P. & Prydz, H. Direct evidence for an integrated function
of J chain and secretory component in epithelial transport of
immunoglobulins. Nature 311, 71–73 (1984).
 Brandtzaeg, P. Human secretory immunoglobulins. III.
Immunochemical and physicochemical studies of secretory IgA and
free secretory piece. Acta Pathol. Microbiol. Immunol. Scand. 79, 165–
188 (1971).
 Harmsen, A., Kusser, K., Harson, L., Tighe, M., Sunshine, M.J.,
Sedgwick, J.D. et al. Cutting edge: organogenesis of nasal-associated
lymphoid tissue (NALT) occurs independently of lymphotoxin- (LT) and
retinoic acid receptor-related orphan receptor-, but the organization of
NALT is LT dependent. J. Immunol. 168, 986–990 (2002). |
 Kiyono, H. & Fukuyama, S. NALT- versus Peyer’s-patch-mediated
mucosal immunity. Nat. Rev. Immunol. 4, 699–710 (2004).
 Fukuyama, S., Nagatake, T., Kim, D.Y., Takamura, K., Park, E.J.,
Kaisho, T. et al. Cutting edge: uniqueness of lymphoid chemokine
requirement for the initiation and maturation of nasopharynx-
associated lymphoid tissue organogenesis. J. Immunol. 177, 4276–
4280 (2006).
 Kuper, C.F., Koornstra, P.J., Hameleers, D.M., Biewenga, J., Spit, B.J.,
Duijvestijn, A.M. et al. The role of nasopharyngeal lymphoid tissue.
Immunol. Today 13, 219–224 (1992). |
 Perry, M. & Whyte, A. Immunology of the tonsils. Immunol. Today 19,
414–421 (1998).
 Brandtzaeg, P. Immunology of tonsils and adenoids: everything the
ENT surgeon needs to know. Int. Congr. Ser. (ICS) 1254, 89–99 (2003)
(Elsevier)/Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol, 2003, 67 (Suppl 1): S69–
S76.
 Kunkel, E.J. & Butcher, E.C. Chemokines and the tissue-specific
migration of lymphocytes. Immunity 16, 1–4 (2002).
 Johansen, F.-E., Baekkevold, E.S., Carlsen, H.S., Farstad, I.N., Soler,
D. & Brandtzaeg, P. Regional induction of adhesion molecules and
chemokine receptors explains disparate homing of human B cells to
systemic and mucosal effector sites: dispersion from tonsils. Blood
106, 593–600 (2005).
 Federative Committee on Anatomical Terminology (FCAT).
Terminologia Anatomica; International Anatomical Terminology 52,
100–101 Thieme Stuttgart, New York, 1998).
 Williams, P.L. (ed) Gray’s Anatomy 38th edn, 144–145 (Churchill
Livingstone, Edinburgh, 1995).
 Csencsits, K.L., Jutila, M.A. & Pascual, D.W. Mucosal addressin
expression and binding-interactions with naive lymphocytes vary
among the cranial, oral, and nasal-associated lymphoid tissues. Eur. J.
Immunol. 32, 3029–3039 (2002)
 Csencsits, K.L. & Pascual, D.W. Absence of L-selectin delays mucosal
B cell responses in nonintestinal effector tissues. J. Immunol. 169,
5649–5659 (2002).
 Brandtzaeg, P. Induction of secretory immunity and memory at
mucosal surfaces. Vaccine 25, 5467–5484 (2007).
 Turner, M.W., Russell, M.W., Gleeson, M., Brandtzaeg, P., Ferguson,
A., Hanson, L.Å. et al. Terminology: nomenclature of immunoglobulin A
and other proteins of the mucosal immune system. Bull. World Health
Organ. 76, 427–428 (1998).
 Brandtzaeg, P. & Johansen, F.-E. Mucosal B cells: phenotypic
characteristics, transcriptional regulation, and homing properties.
Immunol. Rev. 206, 32–63 (2005).
 Fagarasan, S. & Honjo, T. Intestinal IgA synthesis: regulation of front-
line body defences. Nat. Rev. Immunol. 3, 63–72 (2003).
 McDermott, M.R. & Bienenstock, J. Evidence for a common mucosal
immunologic system. I. Migration of B immunoblasts into intestinal,
respiratory, and genital tissues. J. Immunol. 122, 1892–1898 (1979
 Tschernig, T. & Pabst, R. Bronchus-associated lymphoid tissue (BALT)
is not present in the normal adult lung but in different diseases.
Pathobiology 68, 1–8 (2000). |
 Macpherson, A.J., McCoy, K., Johansen, F.-E. & Brandtzaeg, P. The
immune geography of IgA induction and function. Mucosal Immunol.,
in press (2008).
 Boursier, L., Gordon, J.N., Thiagamoorthy, S., Edgeworth, J.D. &
Spencer, J. Human intestinal IgA response is generated in the
organized gut-associated lymphoid tissue but not in the lamina
propria. Gastroenterology 128, 1879–1889 (2005).
 He, B., Xu, W., Santini, P.A., Polydorides, A.D., Chiu, A., Estrella, J. et
al. Intestinal bacteria trigger T cell-independent immunoglobulin A(2)
class switching by inducing epithelial-cell secretion of the cytokine
APRIL. Immunity 26, 812–826 (2007).
 Kett, K., Baklien, K., Bakken, A., Kral, J.G., Fausa, O. & Brandtzaeg, P.
Intestinal B-cell isotype response in relation to local bacterial load:
evidence for immunoglobulin A subclass adaptation. Gastroenterology
109, 819–825 (1995).
 Hamada, H., Hiroi, T, Nishiyama, Y, Takahashi, H, Masunaga, Y,
Hachimura, S et al.Identification of multiple isolated lymphoid follicles
on the antimesenteric wall of the mouse small intestine. J. Immunol.
168, 57–64 (2002).
 Dohi, T., Rennert, P.D., Fujihashi, K., Kiyono, H., Shirai, Y., Kawamura,
Y.I. et al. Elimination of colonic patches with lymphotoxin receptor-Ig
prevents Th2 cell-type colitis. J. Immunol. 167, 2781–2790 (2001).
 Carlsen, H.S., Baekkevold, E.S., Johansen, F.E., Haraldsen, G. &
Brandtzaeg, P. B cell attracting chemokine 1 (CXCL13) and its receptor
CXCR5 are expressed in normal and aberrant gut associated lymphoid
tissue. Gut 51, 364–371 (2002).
 Mestecky J et al. Mucosal immunology 3rd edn. Academic press, San
Diego, 2005.
 Bilsborough J, Viney JL. Gastrointestinal dendritic sel plays a role in
immunity, tolerance and disease. Gastroenterology.2004;127:300-
3009.

Imunitas seluler
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak


mengikutsertakan antibodi, tetapi mengikutsertakan aktivasi
makrofaga, sel NK, sel T sitotoksik yang mengikat antigen
tertentu, dan dikeluarkannya berbagai sitokina sebagai respon
terhadap antigen. Sistem imun terbagi menjadi dua cabang:
imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi
dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular, yang fungsi
protektifnya berkaitan dengan sel. Imunitas selular didefinisikan
sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang diperankan
oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun
lainnya.

Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi untuk
mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T.
Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan
berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons
imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas
fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam
vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan
bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar
dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada
berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut
tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus
menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu,
kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.

 Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri


kejadian yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun.
Secara garis besar, respons imun terdiri atas respons imun selular dan
humoral.
 Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada
umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut.
Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan
daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas
humoral yang lebih berperan.
 Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel
merupakan fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel
T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam
menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain
seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T
mempunyai spesifisitas terhadap peptida tertentu yang ditunjukkan
dengan major histocompatibility complex (MHC). Hal ini membuat sel
T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.
SEL LIMFOSIT T
 Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi
dengan perkembangan di bidang teknologi kedokteran, terutama
sejak ditemukannya antibodi monoklonal, maka kita mengetahui
bahwa ada 2 macam limfosit, yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya
berasal dari sel asal (stem cell) yang bersifat multipotensial, artinya
dapat berkembang menjadi berbagai macam sel induk seperti sel
induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid, dan lain-lain. Sel
induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T dan sel
pro-limfosit B. Sel pro-limfosit T dalam perkembangannya dipengaruhi
timus yang disebut juga organ limfoid primer, oleh karena itu
dinamakan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh organ yang pada burung
dinamakan bursa fabricius atau gut-associated lymphoid
tissue, karena itu dinamakan limfosit B.
 Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel
asal limfoid terus-menerus yang pada fetus berasal dari yolk sac, hati,
serta sumsum tulang; dan sesudah lahir dari sumsum tulang. Sel yang
berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat
multipotensial itu dalam lingkungan mikro timus akan berkembang
menjadi sel limfosit T yang matur, toleran diri (self tolerant) dan
terbatas MHC diri (major histocompatibllity complex restricted). Di
dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya
penataan kembali gen yang produk molekulnya merupakan reseptor
antigen pada permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekul-
molekul pada permukaan limfosit T yang dinamakan petanda
permukaan (surface marker) limfosit T. Dinamakan petanda
permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat membedakan
limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus, sebagian besar sel
limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan apoptosis.
Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi
kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga
kematian sel accidental adalah kematian sel karena kerusakan berat
(patologis), misalnya akibat infeksi mikroorganisme, trauma fisis, zat
kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain.
 TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri atas rantai α, β
atau γ, δ. Sebagian besar TCR matur merupakan dimer α, β
sedangkan dimer γ, δ merupakan TCR limfosit T awal (early). Hanya
0,5-10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang
tidak memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang
dinamakan sel limfosit T negatif ganda (double negative = DN). Sel
DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I, mungkin juga
aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum
jelas pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing.
Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (α,γ) dan
kromosom 7 (β,δ). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen
imunoglobulin, karena itu molekul TCR mempunyai struktur dasar
yang sama dengan struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen ini ada
yang akan membentuk daerah variabel M dari TCR, daerah diversitas
(D), daerah joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen gen ini
terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan kembali gen VDJC
atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan produk berupa
TCR. Penataan kembali segmen DNA ini akan memungkinkan
keragaman (diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T
hanya mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang
membedakan klon yang satu dari klon lainnya.
 Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (self antigen) akan
mengalami apoptosis karena ia telah terpajan secara dini pada
antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme yang belum jelas.
Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang
hanya bereaksi dengan antigen non self dan dinamakan toleran diri.
Di dalam timus, limfosit T juga mengalami pengenalan antigen diri
hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC diri, melalui proses yang
juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas MHC diri.
Molekul TCR III diekspresikan pada membran sel T bersama molekul
CD3, yaitu salah satu molekul petanda permukaan sel T.
Reseptor antigen sel limfosit T (TCR)
 Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan
molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran.
Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular dan merupakan
bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran
merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang
berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.
 Molekul CD3 mempunyai segmen intrasitoplasmik yang agak
panjang sesuai dengan perannya untuk sinyal intraselular. Demikian
pula molekul TCR mempunyai segmen intrasitoplasmik yang akan
mentransduksi sinyal ke dalam sel. Bagian distal ekstraselular TCR
merupakan bagian variabel yang dapat mengenal antigen, yang
membedakan satu klon sel T dari klon lainnya.
AKTIVASI SEL T
 Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T
baru bereaksi terhadap antigen yang sudah diproses menjadi peptida
kecil yang kemudian berikatan dengan molekul MHC di dalam
fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel.
Sel limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul
MHC diri. Molekul CD4 dan CD8 merupakan molekul yang menentukan
terjadinya interaksi antara CD3/TCR dengan kompleks MHC/antigen.
Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas
II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul
MHC kelas I.
 Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi
antara sel T dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini,
selain melalui kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas
I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya.
Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul
asosiasi fungsi limfosit 1 = lymphocyte function associated 1, molekul
adhesi interselular l = inter cellular adhesion molecule 1), CD2-LFA3,
CD5-CD72
 Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan
primer. Aktivasi sel T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin,
seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan oleh sel APC yang
dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen
akan ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam
sitoplasma (lihat Gambar 10-3). Sinyal ini akan mengaktifkan enzim
dan mengakibatkan naiknya Ca++ bebas intraselular, naiknya
konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk
transformasi menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan
biokimia. Tahapan ini dinamakan tahapan sekunder. Kemudian
terjadilah diferensiasi menjadi sel efektor/sel regulator dan sel
memori. Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen
limfokin dan terbentuklah berbagai macam limfokin. Melalui
pembentukan limfokin, sel regulator akan meregulasi dan
mengaktifkan sel yang berperan dalam eliminasi antigen, sedangkan
sel efektor akan melisis antigen/sel sasaran atau menimbulkan
peradangan pada tempat antigen berada, agar antigen tereliminasi.
Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat dipakai
untuk menilai fungsi sel T.
Fase-fase respons sel T
Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase yang
menyebabkan peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T naif menjadi
sel efektor. Limfosit T naif terus bersirkulasi melalui organ limfoid perifer untuk
mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai reseptor antigen dan molekul
lain yang dibutuhkan dalam pengenalan antigen. Di dalam organ limfoid, antigen
diproses dan ditunjukkan dengan molekul MHC pada antigen-presenting
cell (APC), kemudian sel T bertemu dengan antigen tersebut untuk pertama kalinya.
Pada saat itu, sel T juga menerima sinyal tambahan dari mikroba itu sendiri atau
dari respons imun alamiah terhadap mikroba.
Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi sitokin.
Beberapa sitokin bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua dari mikroba untuk
menstimulasi proliferasi sel T yang spesifik untuk antigen. Hasil dari proliferasi ini
adalah penambahan jumlah limfosit spesifik antigen dengan cepat yang
disebut clonal expansion. Fraksi dari limfosit ini menjalani proses diferensiasi
dimana sel T naif (berfungsi untuk mengenal antigen mikroba) berubah menjadi sel
T efektor (berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian sel T efektor tetap di
dalam kelenjar getah bening dan berfungsi untuk memusnahkan sel terinfeksi atau
memberikan sinyal kepada sel B untuk menghasilkan antibodi. Sebagian sel T
berkembang menjadi sel T memori yang dapat bertahan lama. Sel ini tidak aktif dan
bersirkulasi selama beberapa bulan atau tahun, serta dapat merespons dengan
cepat apabila terjadi paparan berulang dengan mikroba. Setelah sel T efektor
berhasil mengatasi infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan diferensiasi sel T
juga berhenti. Klon sel T yang sudah terbentuk akan mati dan kembali ke keadaan
basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4+ dan CD8+, namun terdapat perbedaan pada
fungsi efektornya.
Peran ko-stimulasi dalam aktivasi sel T
Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-stimulator
merupakan “sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Istilah “ko-stimulator” menunjukkan
bahwa molekul tersebut memberikan stimuli kepada sel T bersama-sama dengan
stimulasi oleh antigen. Contoh ko-stimulator adalah B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86).
Keduanya terdapat pada APC dan jumlahnya meningkat bila APC bertemu dengan
mikroba. Jadi, mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada APC. Protein B7 dikenali
oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T. Sinyal dari CD28 bekerja
bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan TCR dan ko-reseptor kompleks
peptida-MHC pada APC yang sama. Mekanisme ini penting untuk memulai respons
pada sel T naif. Apabila tidak terjadi interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak
mampu untuk mengaktivasi sel T sehingga sel T menjadi tidak responsif. Antigen
presenting cell(APC) juga mempunyai molekul lain yang struktur dan fungsinya
serupa dengan B7-1 dan B7-2. Molekul B7-like ini penting pada aktivasi sel T
efektor.
Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada APC dan
ligan CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan langsung dalam
aktivasi sel T. Interaksi CD40 dengan ligannya menyebabkan APC membentuk lebih
banyak ko-stimulator B7 dan sitokin seperti IL-12. Interaksi ini secara tidak langsung
akan meningkatkan aktivasi sel T.

Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan mengapa


antigen protein yang digunakan dalam vaksin tidak dapat menimbulkan respons
imun sel T, kecuali jika antigen tersebut diberikan bersama dengan bahan lain untuk
mengaktivasi makrofag dan APC. Bahan ini disebut adjuvant dan berfungsi untuk
merangsang pembentukan ko-stimulator pada APC, serta untuk menstimulasi
produksi sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan produk mikroba
atau bahan yang menyerupai mikroba. Adjuvant akan mengubah protein
antigen inert agar menyerupai mikroba patogen.
Aktivasi sel T CD8+ distimulasi oleh pengenalan peptida yang berhubungan dengan
MHC kelas I, serta membutuhkan kostimulasi dan/atau sel T helper. Perkembangan
sel T sitotoksik CD8+ pada infeksi virus membutuhkan sel T helper CD4 +. Pada infeksi
virus, sel yang terinfeksi dicerna oleh APC khususnya sel dendrit, kemudian antigen
virus akan dipresentasikan silang (cross-presented) oleh APC. Antigen
presenting cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari sitosol sebagai
kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen dari vesikel sebagai kompleks dengan
MHC kelas II. Oleh sebab itu, sel CD4+ dan sel CD8+ yang spesifik untuk antigen
virus tersebut akan bekerja secara berdekatan. Sel TCD4 + memproduksi sitokin atau
molekul membran untuk mengaktivasi sel TCD8+, sehingga ekspansi klonal dan
diferensiasi sel TCD8+ menjadi sel T sitotoksik (TC) efektor dan memori tergantung
dari bantuan sel TCD4+. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek respons sel
TC terhadap virus pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Selain
respons yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel T C terhadap
beberapa virus yang tidak bergantung kepada bantuan sel T CD4 +.
FUNGSI IMUNITAS SELULAR
 Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi
nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan
bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan
proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang
mengandung antigen.
 Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B
untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi
limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi
lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan
regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun.
RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK
Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa hipersensitivitas kulit
tipe lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi mikroorganisme intraselular
(bakteri, virus, jamur) serta penyakit parasit dan protozoa, imunitas selular pada
penyakit autoimun, reaksi graft versus host, penolakan jaringan transplantasi, dan
penolakan sel tumor.
 Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik
reaksi tipe IV dapat kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang
yang pernah kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri
mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya) kemudian
dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat
reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada
tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari kemudian.
Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel
mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar
pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat
pada respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada
reaksi penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada
tempat transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor.
 Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada
infeksi bakteri misalnya terlihat berupa pembentukan kavitas dan
granuloma pada infeksi denganMycobacterium tuberculosis, demikian
pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang
dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang
mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan
sel killer lainnya.
 Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat
pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan
kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini
berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen.
Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya
TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian
transmembran molekul CD3.
 Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi
virus sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel
yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit
pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe
IV dan lisis oleh sel Tc.
 Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi
jamur seperti kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan
histoplasmosis merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha
untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut
sel-sel radang ke tempat jamur berada.
 Imunitas selular pada penyakit parasit dan
protozoa Peradangan yang terlihat pada penyakit parasit dan
protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula
pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit
dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi.
 Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam
ontogeni sel T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan
normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada,
tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme
homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi
penyakit autoimun. Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah
pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat
menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga
merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc
kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon antara lain karena
gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan sel
T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal
mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka
dapat terjadi penyakit autoimun.
 Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada
reaksi graft versus host, kerusakan yang terlihat disebabkan oleh sel
imunokompeten donor terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut
berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula
dan deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal.
Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh imunitas selular.
 Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi
jaringan dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh,
setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi
imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan
transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara
histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel
polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya
iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien
mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen
diri. Pengenalan ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara
celah domain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien.
Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft
dengan merekrut sel radang.
 Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada
penolakan tumor sama dengan imunitas selular pada penolakan
jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-
satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas
humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi antigen tumor akan
mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang dilepaskan sel
T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer) untuk melisis sel
tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada
dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.
DAFTAR PUSTAKA
 Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular
immunology. Philadelphia: WE Saunders Company, 1991.
 Scandinavian Journal of Immunology. Monthly journal published
by Blackwell Science Ltd., Osney Mead Oxford OX2 OEL, UK.
 Scientific American. Monthly journal published by Scientific
American Inc., 415 Madison Avenue, N.Y., USA.
 Mims C, Playfair J, Wakelin D, and R Williams. Medical
Microbiology. 4th Ed. Mosby, London, 2007.
IMUNOLOGI DASAR : IMUNITAS HUMORAL
Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
SEL LlMFOSIT B

 Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten.


Dinamakan pluripoten karena sel ini juga merupakan progenitor sel
hematopoietik lainnya, seperti sel polimorfonuklear, sel monosit dan
sel makrofag.
 Pada masa embrio sel ini ditemukan padayolk sac, yang kemudian
bermigrasi ke hati, limpa dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel
asal (stem cell) hanya ditemukan pada sumsum tulang. Dinamakan
limfosit B karena tempat perkembangan utamanya pada burung
adalah bursa fabricius,sedangkan pada manusia tempat
perkembangan utamanya adalah sumsum tulang.
 Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel
limfosit B adalah sel yang sitoplasmanya mengandung rantai berat µ,
terdiri atas bagian variabel V dan bagian konstan C tanpa rantai
ringan L, dan tanpa imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini
dinamakan sel pro-limfosit B. Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga
memperlihatkan molekul lain pada permukaannya, antara lain antigen
HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan reseptor virus Epstein-Barr
(EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah dapat ditemukan di hati
fetus pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.

 Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada


tahap ini sel limfosit B imatur telah dapat membentuk rantai ringan L
imunoglobulin sehingga mempunyai petanda imunoglobulin pada
permukaan membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen.
Bila sel limfosit B sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan
rantai ringan L yang lengkap, maka sel ini tidak akan dapat
memproduksi rantai berat H dan rantai ringan L lain yang
mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan dengan antigen)
yang berbeda. Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu
macam bagian variabel dari imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin
yang dibentuk hanya ditujukan terhadap satu determinan antigenik
saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang unik. Jika sel ini terpajan
dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin yang ada pada
permukaan membran sel), sel ini tidak akan terstimulasi, bahkan
mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga sel menjadi
mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri
(self antigen), maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan
mengalami apoptosis sehingga tubuh menjadi toleran terhadap
antigen diri. Hal ini terjadi pada masa perkembangan di sumsum
tulang. Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang
merupakan sel limfosit B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing.
Kemudian sel limfosit B imatur yang telah memperlihatkan
imunoglobulin lengkap pada permukaannya akan keluar dari sumsum
tulang dan masuk ke dalam sirkulasi perifer serta bermigrasi ke
jaringan limfoid untuk terus berkembang menjadi sel matur (lihat
Gambar 9-1). Sel B ini memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM
dan IgD dengan bagian variabel yang sama pada permukaan
membran sel dan dinamakan sel B matur.
 Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur
tidak memerlukan stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh
lingkungan mikro dan genetik. Tahap perkembangan ini dinamakan
tahapan generasi keragaman klon(clone diversity), yaitu klon yang
mempunyai imunoglobulin permukaan dengan daya ikat terhadap
determinan antigen tertentu.
 Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan
tahapan respons imun. Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B
matur akan menjadi aktif dan dinamakan sel B aktif. Sel B aktif
kemudian akan berubah menjadi sel blast dan berproliferasi serta
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi
imunoglobulin.
 Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi
imunoglobulin kelas lain seperti IgG, IgA, dan IgE dengan bagian
variabel yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih kelas rantai
berat (isotype switching).
 Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi
imunoglobulin melainkan tetap sebagai sel B yang memperlihatkan
petanda imunoglobulin pada permukaannya dan dinamakan sel B
memori. Μ
 Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih
tinggi. Maturasi afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B
matur yang tidak distimulasi, jadi yang tidak menemukan ligannya,
akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori
akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan tanpa stimulasi antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi
secara aktif melalui pembuluh darah, pembuluh limfe, dan kelenjar
limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar
limfe, maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan
antigen tersebut pada permukaannya. Antigen yang diekspresikan
oleh sel dendrit ini akan merangsang sel B memori menjadi aktif
kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi. Dalam hal ini, kadar antibodi terhadap suatu
antigen tertentu dapat bertahan lama pada kadar protektif, sehingga
kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.
Aktivasi dan fungsi sel B
 Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B
akan berdiferensiasi menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara
antigen dan imunoglobulin pada permukaan sel B, akan
mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara imunoglobulin
permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan aktivasi enzim
kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam sitoplasma. Terjadilah
fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain
protoonkogen (proto oncogene)yang produknya meregulasi
pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi
dengan atau tanpa bantuan sel T, tergantung pada sifat antigen yang
merangsangnya. Proliferasi akan mengakibatkan ekspansi klon
diferensiasi dan selanjutnya sekresi antibodi. Fungsi fisiologis antibodi
adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi antigen yang
menginduksi pembentukannya.
 Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu
antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T cell
independent) dan antigen yang tergantung pada sel T (TD = T cell
dependent). Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi
dan mensekresi imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T
helper). Contohnya adalah antigen dengan susunan molekul
karbohidrat, atau antigen yang mengekspresikan determinan antigen
(epitop) identik yang multipel, sehingga dapat mengadakan ikatan
silang antara imunoglobulin yang ada pada permukaan sel B. Ikatan
silang ini mengakibatkan terjadinya aktivasi sel B, proliferasi, dan
diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino dan
polivinil pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga
dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula
lipopolisakarida (LPS), yaitu komponen dinding sel beberapa bakteri
Gram negatif dapat pula mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada
konsentrasi tinggi dapat merupakan aktivator sel B yang bersifat
poliklonal. Hal ini diperkirakan karena LPS tidak mengaktifkan sel B
melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.
 Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan
sel Th melalui limfokin yang dihasilkannya, agar dapat merangsang
sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi.
 Terdapat dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi
primer dan sekunder. Respons antibodi primer adalah respons sel B
terhadap pajanan antigen ligannya yang pertama kali, sedangkan
respons antibodi sekunder adalah respons sel B pada pajanan
berikutnya, jadi merupakan respons sel B memori. Kedua macam
respons antibodi ini berbeda baik secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada respons antibodi
sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih
banyak.
 Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi
terutama adalah IgM, karena sel B istirahat hanya memperlihatkan
IgM dan IgD pada permukaannya (IgD jarang disekresi). Sedangkan
pada respons antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama
adalah isotip lainnya seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip.
Afinitas antibodi yang dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih
tinggi dibanding dengan respons antibodi primer, dan dinamakan
maturasi afinitas.
 Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD,
sedangkan stimulasi oleh antigen TI pada umumnya tidak
memperlihatkan respons sel B memori dan imunoglobulin yang
dibentuk umumnya adalah IgM. Hal ini menandakan bahwa respons
antibodi sekunder memerlukan pengaruh sel Th atau limfokin yang
disekresikannya.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
 Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua
mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang
mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan
4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi
yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi
komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
 Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar
imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun
dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai
berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)
dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu
unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh
suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur
yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang
terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan
disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh
ikatan disulfid interchain.Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),
rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2
domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan
rantai M dan E masing-masing 5 domain.
 Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa
fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu
2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini
mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan
antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas
imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung
bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.
Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat
antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,
terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel
mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan
kemampuan menembus plasenta.
 Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada
gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang
mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas


mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang
berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai
berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada
perbedaan antar kelas.

Imunoglobulin G
 IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2
rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai
koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada
orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
 Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya
sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-
6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat
komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl
> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen
dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi
ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
 Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada
fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus
antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3
pada lokasi domain CH3.
 Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai
dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen
asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan
reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada
antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel
limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi
dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada
transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M
 Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul
850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah
karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada
golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
 IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan
disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer
dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya
oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

Imunoglobulin A
 IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA
dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang
80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan
sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima
monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan
disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut
mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
Sekretori IgA
 Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling
banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,
kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal
seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe
IgA serum.
 SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan
pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat
perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat
virus menembus mukosa.
Imunoglobulin D
 Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat
labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul
60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD
belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
DAFTAR PUSTAKA
 Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,
penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:
Saunders, 1991; 70-96.
 Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.
Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.
London: Blackwell. 1988; 15-30.

IMUNOLOGI DASAR : SISTEM FAGOSIT


DAN PENYAKIT
Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Proses fagositosis adalah sebagian dari respons imun non spesifik
dan yang pertama kali mempertemukan tuan rumah dengan
benda asing. Istilah endositosis lebih umum dan mempunyai dua
arti yaitu fagositosis (pencernaan partikel)
dan pinositosis(pencernaan nonpartikel, misalnya cairan). Sel
yang berfungsi menelan dan mencerna partikel atau substansi
cairan disebut sel fagositik, terdiri dari sel fagosit mononuklear
dan fagosit polimorfonuklear. Sel ini pada janin berasal dari sel
hematopoietik pluripotensial yolk sac, hati, dan sumsum tulang.
Fagosit
Fagosit (phagocyte) adalah pengolongan dari sel darah putih yang
berperan dalam sistem kekebalan dengan cara fagositosis/menelan
patogen. Fagosit berarti “sel” yang dapat memakan atau menelan
material padat. Untuk menelan partikel atau patogen, fagosit memperluas
bagian membran plasma kemudian membungkus membran di sekeliling
partikel hingga terbungkus. Sekali berada di dalam sel, patogen yang
menginvasi disimpan di dalam endosom yang lalu bersatu dengan
lisosom. Lisosom mengandung enzim dan asam yang membunuh dan
mencerna partikel atau organisme. Fagosit umumnya berkeliling dalam
tubuh untuk mencari patogen, namun mereka juga bereaksi terhadap
sinyal molekular terspesialisasi yang diproduksi oleh sel lain, disebut
sitokina.

Peran fagosit sangat vital untuk melawan infeksi, partikel asing yang
mungkin masuk ke dalam tubuh, bakteri dan sel yang mati atau
apoptosis. Ketika sel dari organisme tersebut mati, melalui proses
apoptosis ataupun oleh kerusakan akibat infeksi virus atau bakteri, sel
fagosit berperan dengan memindahkan mereka dari lokasi kejadian.
Dengan membantu memindahkan sel mati dan mendorong terbentuknya
sel baru yang sehat, fagositosis adalah bagian penting dari proses
penyembuhan jaringan yang terluka. Fagositosis sel dari organisme inang
umumnya merupakan bagian dari pembentukan dan perawatan jaringan
biasa.

Fagosit pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Ilya Ilyich
Mechnikov ketika ia mempelajari larva bintang laut.Ia memperoleh
penghargaan Nobel di bidang Fisiologi dan Medis pada tahun 1908 oleh
karena temuannya.

Manifestasi fagosit terdapat pada berbagai macam spesies. Beberapa


jenis amuba bertingkah laku layaknya fagosit makrofaga, sehingga
tercetus pemikiran bahwa fagosit telah ada sejak awal evolusi kehidupan.
Satu liter plasma darah mengandung sekitar enam milyar fagosit.
FAGOSIT MONONUKLEAR
Makrofag dan monosit

Proses menelan dan mencerna mikroorganisme dalam tubuh manusia


diperankan oleh dua golongan sel yang disebut oleh Metchnikoff sebagai
mikro- (sel polimorfonuklear) dan makrofag. Istilah retikuloendotelial
untuk monosit dan makrofag telah diganti dengan sistem fagosit
mononuklear karena fungsi fundamental kedua sel ini adalah fagositosis.
Dalam perkembangannya sel fagosit mononuklear dan sel granulosit
dipengauhi oleh hormon.

Kedua sel ini berasal dari unit sel progenitor yang membentuk granulosit
dan monosit (colony forming unit-granulocyte macrophage = CFU-
GM). Hormon tersebut adalah glikoprotein yang dinamakan faktor
stimulasi koloni (colony stimulating factor = CSF),seperti faktor stimulasi
koloni granulosit-makrofag (granulocyt macrophage colony stimulating
factor = GM-CSF), faktor stimulasi koloni makrofag (macrophage colony
stimulating factor = M-CSF) dan interleukin-3 (IL3) yang merangsang
diferensiasi sel CFU-GM menjadi sel monoblast yang kemudian menjadi sel
promonosit dan sel mieloblast menjadi sel progranulosit. Sel promonosit
dapat mengadakan endositosis tetapi daya fagositnya kurang
dibandingkan dengan monosit. Sel monosit lebih kecil dari prekusornya
tetapi mempunyai daya fagositosis dan mikrobisidal yang kuat.
Perkembangan seri mononuklear sampai berada di darah perifer
memakan waktu 6 hari dan mempunyai masa paruh di sirkulasi selama 3
hari.
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit,
yaitu sel darah yang datang ke tempat infeksi kemudian mengenali
mikroba intraselular dan memakannya (ingestion). Neutrofil (disebut juga
leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah leukosit terbanyak di dalam darah
yaitu berjumlah 4.000-10.000 per mm3. Apabila terjadi infeksi, produksi
neutrofil di sumsum tulang meningkat dengan cepat hingga mencapai
20.000 per mm3 darah. Produksi neutrofil distimulasi oleh sitokin yang
disebut colony-stimulating factor. Sitokin ini diproduksi oleh berbagai sel
sebagai respons terhadap infeksi dan bekerja pada sel stem sumsum
tulang untuk menstimulasi proliferasi dan maturasi prekursor neutrofil.
Neutrofil merupakan sel yang pertama berespons terhadap infeksi,
terutama infeksi bakteri dan jamur. Neutrofil memakan mikroba di dalam
sirkulasi, serta dapat memasuki jaringan ekstraselular di tempat infeksi
dengan cepat kemudian memakan mikroba dan mati setelah beberapa
jam.
Neutrofil dan monosit bermigrasi ke jaringan ekstravaskuler di tempat
infeksi akibat berikatan dengan molekul adhesi endotel dan sebagai
respons terhadap kemoatraktan. Jika mikroba infeksius dapat melewati
epitelium dan masuk jaringan subepitel, makrofag akan mengenali
mikroba dan memproduksi sitokin. Dua dari sitokin ini, yaitu tumor
necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1), bekerja pada endotel
pembuluh darah kecil di tempat infeksi. TNF dan IL-1 menstimulasi
endotel untuk mengekspresikan 2 molekul adhesi yang disebut E-
selectin dan P-selectin.

Sel makrofag akan menjadi aktif atas pengaruh sitokin sehingga selnya
lebih besar, membran plasmanya berlipat-lipat, banyak pseudopodia serta
mempunyai kesanggupan membunuh mikroorganisme dan sel tumor.

Sel monosit dan makrofag berperan sebagai sel yang mempresentasikan


antigen (antigen presenting cell = APC). Mikroba bakteri dan antigen
protein terlarut dipecah dalam fagolisosom menjadi partikel berukuran
kecil. Partikel ini kemudian akan ditampilkan di permukaan sel berikatan
dengan molekul peptida MHC kelas II dan akan dikenal oleh sel Th.
Peristiwa ini disebut antigen processing. Protein asing seperti virus dan
antigen tumor juga akan diproses, tetapi akan bergabung dengan molekul
MHC kelas I yang kemudian akan ditampilkan di permukaan sel APC dan
akan dikenal oleh sel limfosit Ts.
Faktor seperti faktor CSF, IL-2, IL-3, IL-4, dan interferon akan merangsang
dan memperbanyak jumlah glikoprotein MHC pada sel monosit sehingga
sel ini lebih efisien untuk mempresentasikan antigen. Jadi dapat
disimpulkan bahwa monosit dan makrofag penting dalam memulai dan
mengatur respons imun. Fungsi lain makrofag adalah untuk
menghancurkan mikroorganisme seperti Mycobacterium
tuberculosis, listeria, leismania, toksoplasma dan beberapa fungi. Peranan
makrofag dalam penolakan sel kanker belum jelas, mungkin sel tumor
dihancurkan oleh enzim metabolit oksigen seperti hidrogen
peroksidase, proteinase sitolitik, atau faktor nekrosis tumor (TNF) yang
dihasilkan oleh sel makrofag. Sebagai sel perlindungan, makrofag dengan
kesanggupan diapedesisnya dapat menembus endotel pembuluh darah
menuju tempat invasi mikroba. Faktor kemotaktik monosit antara lain
produk komplemen reaktan yang dihasilkan neutrofil, limfosit dan sel
kanker. Fungsi lain adalah eliminasi sel mati dan sisa sel. Makrofag di
dalam limpa akan memusnahkan eritrosit tua, sedangkan di dalam paru
akan mengeliminasi debu dan asap rokok yang masuk ke paru. Aktivitas
metabolik makrofag aktif akan meningkatkan sel aksi mikrobisidal dan
tumorisidal.
FAGOSIT POLIMORFONUKLEAR
Sel granulosit pada manusia mempunyai tiga bentuk morfologis, yaitu
neutrofil, eosinofil, dan basofil. Di antara ketiganya yang mempunyai sifat
fagositik hanya neutrofil dan eosinofil. Tidak seperti makrofag, neutrofil
adalah sel terakhir dari diferensiasi mieloid, jadi tidak akan terbagi lagi.
Sel ini berasal dari sel asal (stem cell) di sumsum tulang dan telah
mengalami pematangan bertahap mulai dari mieloblast, promielosit,
metamielosit, sel batang, dan akhirnya neutrofil. Berlainan dengan
monosit, karena sel ini banyak tertimbun di sumsum tulang maka bila
diperlukan dapat segera masuk ke sirkulasi. Setelah 12 jam berada di
sirkulasi, sel ini akan memasuki jaringan dan menetap untuk beberapa
hari. Sel yang sudah berada di jaringan tidak akan kembali ke sirkulasi.

Dengan pematangan sel akan terdapat 2 jenis granula, yaitu granula


azurofilik dan granula spesifik. Granula azurofilik tampak lebih padat,
mempunyai diameter 0,4 μ dan mempunyai susunan lisosom sama
dengan jaringan lain yang terdiri dari mieloperoksidase, beberapa lisozim,
beberapa kation protein, protein arginin basa, sulfat mukopolisakarida,
asam fosfat dan bermacam asam hidrolase. Granula sekunder spesifik
bukanlah lisosom sejati, bentuknya lebih kecil dari 0,3 μ dan kurang
padat, kaya akan fosfatase alkali, lisozim, aminopeptida, dan laktoferin.
Pada tingkat pematangan menengah kedua bentuk granula tersebut
sudah terlihat, dan pada tingkat lebih matang akan tampak lebih banyak
granula sekunder. Kedua granula ini penting kegunaannya dalam proses
penghancuran dan pemusnahan mikroorganisme yang diingesti. Produksi
granulosit dan peredarannya diatur oleh faktor selular dan humoral.

Neutrofil

Sel neutrofil terdapat lebih dari seperdua jumlah sel darah putih di
sirkulasi dan mempunyai nukleus multilobus dengan granula sitoplasma.
Granulanya mengandung bermacam enzim, seperti protein dan
glikosaminoglikan yang berperan pada fungsi sel. Neutrofil sangat
diperlukan untuk pertahanan tubuh sebagai fagosit dan proses
pemusnahan patogen di jaringan.

Neutrofil dari sumsum tulang (berdiameter 7-7,5 μm dan dapat melewati


pori-pori kecil dinding endotel (diameter l-3 μm), diperkirakan pasti terjadi
deformasi sel untuk dapat melewati pori-pori. Faktor stimulasi koloni
(colony stimulating factor = CSF) merangsangsel neutrofil keluar dari
sumsum tulang. Faktor lain yang juga dapat mengeluarkan neutrofil dari
sumsum tulang adalah tekanan hidrostatik sumsum tulang.
Jumlah neutrofil dipengaruhi oleh beberapa faktor patofisiologik seperti
infeksi, stres, hormon, CSF, faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor =
TNF), CSF, IL-1, IL-3. Endotoksin meningkatkan produksi neutrofil dari
sumsum tulang, walaupun efeknya diperankan oleh IL-1 dan TNF dari
monosit atau makrofag yang terstimulasi. Cara menghilangnya neutrofil
dari sirkulasi belum diketahui dengan jelas. Tetapi perpindahan sel ini ke
lokasi inflamasi akan menyebabkan neutrofil sirkulasi menghilang karena
sekali ia berada di jaringan inflamasi tidak akan kembali ke sirkulasi.
Pemusnahan neutrofil melalui kelenjar limfe tidak penting. Diperkirakan
organ sistem retikuloendotelial seperti hati dan limpa merupakan tempat
pemusnahan neutrofil tua dan neutrofil yang menjadi tua dari sirkulasi.
Neutrofil yang turut dalam proses inflamasi akan dilenyapkan oleh
makrofag. Pada sebagian besar proses inflamasi, makrofag akan
mengikuti influks sel neutrofil dan kemudian akan memakan sel neutrofil
tua, sedang pada tempat infeksi terjadi lisis neutrofil oleh aksi toksin yang
dihasilkan bakteri.
Eosinofil
Eosinofil melakukan fungsinya di jaringan dan tidak akan kembali ke
sirkulasi, serta akan dieliminasi melalui mukosa saluran nafas dan saluran
cerna. Dalam proses pematangannya terjadi perubahan granula azurofilik
ke bentuk granula sitoplasmik besar yang memnpunyai struktur kristaloid.
Granula eosinofil tidak berisi lisozim dan fagositin seperti pada neutrofil,
tetapi kaya akan asam fosfatase dan peroksidase. Terdapat eosinophilic
basic protein (EBP) pada inti kristalin, dengan ukuran 11.000 Dalton yang
sangat toksik untuk parasit (skistosoma) dan epitel trakea. Walaupun sel
ini dapat memfagosit bermacam partikel, mikroorganisme atau kompleks
antigen-antibodi terlarut, tetapi kurang efisien dibandingkan neutrofil.
Sampai sekarang peran spesifik sel ini belum diketahui, kecuali ada
hubungannya dengan alergi dan infeksi parasit. Selain untuk eliminasi
kompleks imun, ia juga berperan dalam menghambat proses inflamasi
dengan menghambat efek mediator, misahnya aril sulftase B yang
dihasilkan sel eosinofil akan menginaktifkan SRS-A yang dilepaskan sel
mast. Eosinofil berperan juga pada reaksi antibody mediated
cytotoxity dalam memusnahkan parasit.
PENYAKIT BERKAITAN DENGAN FAGOSIT MONONUKLEAR
 Dalam keadaan produk lisozim berlebihan di jaringan dan
tidak dapat dimetabolisme maka akan timbul penyakit yang
tergolong dalam kelompokinborn error of metabolism dan
hemosiderosis bila terjadi penimbunan besi seperti penyakit
Hurler dan penyakit Gaucher,
 Penyakit yang dihubungkan dengan kekurangan fungsi
fagositosis mononuklear, adalah infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis terdapat hiperplasia sel ini secara wajar, terutama di
jaringan seperti kelenjar getah bening dan limpa.
 Sel fagosit ini dapat pula mengalami proliferasi secara
berlebihan, seperti pada leukemia monositik, atau pada penyakit
histiositosis yang ganas.
 Disfungsi makrofag karena kelainan genetik seperti misalnya
pada pasien dengan penyakit granulomatosis kronik, oleh karena
pasien tersebut kekurangan enzim yang diperlukannya dalam
proses fagositosis.
 Extrinsic defects include opsonic abnormalitas sekunder, defisiensi
antibodi dan fakto komplemen.
 Intrinsic disorders : chronic granulomatous disease, glycogen
storage disease type Ib, Chediak-Higashi syndrome, and specific
granule deficiency. Intrinsic disorders of chemotaxis include hyperIgE
syndrome, leukocyte adhesion defects, Shwachman-Diamond
syndrome, syndromes periodontitis. Defek aktivasi fagositik terjadi
pada diabetes mellitus, metabolic storage disease, malnutrisi,
immaturity, luka bakar
Interaksi Anti mikroba dan Fagosit
Antimikroba memiliki sifat imunomodulator terutama terhadap neutrofil
dan monosit/makrofag. Sifat imunomodulator tersebut kadang-kadang
lebih dominan dari efek bakteriostatik dan bakterisidal dari antimikroba
tersebut. Fungsi dari sistem fagosit yang dapat dipengaruhi
adalah chemotaxis, dan kemampuan untuk membunuh kuman melalui
pembentukan superoksida. Antimikroba tertentu dapat meningkatkan
kemampuan fagosit baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Keefektifan suatu antimikroba dalam pengobatan penyakit infeksi
tergantung dari interaksi antara bakteri, obat antimikroba dan sistem
fagosit dalam tubuh. Beberapa antimikroba dilaporkan dapat
menimbulkan modifikasi terhadap sistem imunitas tubuh baik secara in
vitro maupun secara in vivo. Obat antimikroba akan mempengaruhi
interaksi antara neutrofil dengan mikroba melalui berbagai cara, dan
begitu juga sebaliknya neutrofil dapat mengganggu aktivitas antimikroba
dalam tubuh. Kebanyakan antimikroba golongan -laktam
dan quinolone memiliki efek sinergis dengan sistem fagosit dalam
menghancurkan kuman di dalam sel neutrofil, oleh karenanya obat
tersebut disebut obat yang bersifat imunostimulator. Sebaliknya beberapa
antimikroba seperti cyclins, chloramphenicol, sulfonamid dan
trimethoprim dapat menekan fungsi imunitas tubuh. Beberapa
antimikroba memiliki efek yang meragukan terhadap sistem imunitas
meningkatkan kemampuan fagosit dari neutrofil. Antimikroba akan
berpengaruh terhadap interaksi antara neutrofil dan monosit/makrofag
dengan mikroba/kuman. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
nampaknya sebelum memutuskan untuk memberikan antimikroba untuk
menangani penyakit infeksi terutama pada pasien yang sudah mengalami
gangguan pada sistem imun, perlu diketahui golongan antimikroba mana
yang dapat meningkatkan dan yang dapat menurunkan kemampuan
fagosit dari neutrofil, sehingga efek terapi yang diharapkan menjadi
lebih baik.Dalam tulisan berikut akan diuraikan berbagai aspek dari
interaksi antara antimikroba dengan netrofil dan
monosit/makrofag.Mekanisme dari Neutrofil dan Monosit/Makrofag
Memfagosit serta Menghancurkan Kuman-Kuman/Benda Asing Neutrofil
disebut juga leukosit Polymorphonuclear (PMN) merupakan 50-60% dari
komponen leukosit yang berada
dalam darah tepi. Neutrofil merupakan salah satu komponen dari sistem
imun tubuh non spesifik yang terdepan dalam mencegah infeksi oleh
berbagai mikroba seperti: bakteri, jamur, protozoa, virus dan sel-sel yang
terinfeksi oleh virus. Sedangkan monosit/makrofag merupakan sistem
fagosit yang lain dalam tubuh. Monosit merupakan bentuk permulaan dari
makrofag yang beredar dalam sirkulasi yang jumlahnya kira-kira 10% dari
seluruh leukosit. Setelah sampai pada jaringan, monosit akan
berdiferensiasi menjadi makrofag yang dapat dibagi menjadi dua yaitu
makrofag dan inflammatory macrophage. Makrofag berada dalam
berbagai jaringan tubuh dengan nama yang berbeda-beda
yaitu: histiocyte (pada jaringan), Kupffer’s cell (pada hati), Alveolar
macrophage (pada paru), Langerhans cell (pada kulit) dan makrofag
bebas pada limpa, peritoneum, pleura dan kelenjar limfe.

Meskipun antimikroba dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan


bakteri dalam tubuh, namun antimikroba juga berpengaruh terhadap
sistem fagosit baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Pengaruh tersebut ada yang menguntungkan dan ada juga yang
merugikan terutama untuk penderita yang telah mengalami gangguan
fungsi imunitas. Kebanyakan antimikroba golongan quinolone dan b-
laktam ternyata dapat meningkatkan fungsi fagosit. Antimikroba golongan
cyclins, chloramphenicol,trimethoprim, sulfamethoxazole, gyrase inhibitor
dan rifampicin dapat menurunkan fungsi fagosit. Antimikroba
aminoglycoside, fusidic acid dan lincosamide efeknya terhadap sistem
fagosit masih meragukan atau kontroversial. Sedangkan macrolide
efeknya berbeda-beda tergantung jenis macrolide.

Referensi
 Zena W. Phagocytic cells, chemotaxis and effector function of
machrophages and granulocytes. In: Stites DP, Stobo JP, Fudenberg
HH, Wells JV. Basic and clinical immunology; 5th. Singapore:
Lange/Maruzen, 1982; 104-18
 van Furth, R. (1992) Production and migration of monocytes and
kinetics of macrophages van Furth, R. eds. Mononuclear
Phagocytes ,3-12 Kluwer Academic Publishers Dordrecht
 Lekstrom-Himes, JA, Gallin JI. Immunodeficiency diseases caused by
defects in phagocytes. N Engl J Med 2000; 343:1703.

IMUNOLOGI DASAR : SISTEM KOMPLEMEN


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar
Sistem komplemen adalah protein dalam serum darah yang bereaksi
berjenjang sebagai enzim untuk membantu sistem kekebalan selulardan
sistem kekebalan humoraluntuk melindungi tubuh dari infeksi. Protein
komplemen tidak secara khusus bereaksi terhadap antigen tertentu, dan
segera teraktivasi pada proses infeksi awal dari patogen. Oleh karena itu
sistem komplemen dianggap merupakan bagian dari sistem kekebalan
turunan. Walaupun demikian, beberapa antibodi dapat memicu beberapa
protein komplemen, sehingga aktivasi sistem komplemen juga merupakan
bagian dari sistem kekebalan humoral. Sistem komplemen adalah
suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang
satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal
komplemen beredar di sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif,
yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak
tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur
alternatif. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi
berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif
yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi
sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan
tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan
mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau
bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks
antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan
terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.

Di akhir abad ke 19, serum darah telah diketahui mengandung suatu


faktor atau cara yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Pada
tahun 1896, Jules Bordet, ilmuwan muda Belgia dari Pasteur Institute,
Paris, mendemonstrasikan bahwa prinsip ini bisa dianalisis menggunakan
dua komponen: komponen panas-tetap dan komponen panas-labil. Panas-
labil menunjukkan bahwa komponen akan kehilangan kemampuannya jika
serum dipanaskan. Komponen panas-tetap ada untuk memberikan
kekebalan melawan mikroorganisme spesifik, sedangkan komponen
panas-labil bertanggung jawab terhadap aktivitas mikrobial non-spesifik
yang dimiliki serum. Komponen panas-labil ini adalah yang disebut
“komplemen”.

Istilah “komplemen” diperkenalkan oleh Paul Ehrlich di akhir tahun


1980an, sebagai bagian dari teorinya mengenai sistem kekebalan.
Menurut teorinya, sistem kekebalan terdiri dari berbagai sel yang memiliki
reseptor spesifik pada permukaannya untuk mengenali antigen. Pasca
imunisasi dengan antigen, lebih banyak reseptor terbentuk, lalu reseptor
itu mengalir dari sel ke aliran sirkulasi darah. Reseptor ini, yang saat ini
kita kenal dengan nama “antibodi”, disebut oleh Ehrlich sebagai
“amboceptor” untuk menekankan fungsi ganda reseptor dalam
melakukan pengikatan. Reseptor tesebut mampu mengenali dan mengikat
antigen spesifik, namun mereka juga mampu mengenali dan mengikat
komponen antimikrobial panas-labil dari serum. Ehrlich lalu menamakan
komponen panas-labil ini “komplemen” karena ini adalah sesuatu dalam
darah yang menjadi komplemen sel pada sistem kekebalan.

Ehrlich percaya bahwa setiap amboceptor antigen spesifik memiliki


komplemen yang spesifik, di mana Bordet percaya bahwa sebenarnya
hanya ada satu tipe komplemen. Di awal abad ke 20, kontroversi ini
terselesaikan ketika ditemukan bahwa komplemen bisa beraksi
berpasangan dengan antibodi spesifik atau secara sendirian secara non-
spesifik.

Komplemen
 Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan
komponen protein yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini
dapat dibagi menjadi protein fungsional yang menggambarkan
elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan
fungsi pengendalian.
 Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel
hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam
sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel
lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya
aktivasi.
 Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan
huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan
sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara
kerjanya
 Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi
komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Konsentrasi C3 jauh lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya,
hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang penting dalam
pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di
dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan konsentrasi
komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3 saja dapat
dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem komplemen.

Fungsi Komplemen
1. Mencerna sel, bakteri, dan virus
2. Opsonisasi, yaitu memicu fagositosis antigen partikulat
3. Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel pada sistem
kekebalan, memicu fungsi sel spesifik, inflamasi, dan beberapa
molekul imunoregulator
4. Pembersihan imun, yaitu memindahkan sisa-sisa bahan imunitas
dari sistem kekebalan dan menimbunnya di limpa dan hati
Protein dan glikoprotein yang merupakan penyusun dari sistem
komplemen disintesis di hepatosit hati. Namun, sejumlah besar sistem
penyusun sistem komplemen juga diproduksi di jaringan makrofaga,
monosit dalam darah, dan sel epitel dari saluran kelamin dan pencernaan.

Sistem komplemen memiliki kemungkinan untuk memberi kerusakan


parah kepada jaringan milik sendiri, yang berarti bahwa aktivasi sistem
komplemen harus dilakukan dengan tepat. Sistem komplemen diatur oleh
protein kontrol komplemen, yang terdapat di dalam plasma darah dalam
konsentrasi yang lebih besar dari pada protein komplemen itu sendiri.
Beberapa protein kontrol komplemen berada di membran sel untuk
mencegah penyerangan oleh sistem komplemen.

Dipercaya bahwa sistem komplemen memiliki peran dalam mengakibtkan


berbagai penyakit seperti sindrom Barraquer-Simmons, lupus
erythematosus, glomerulonephritis, berbagai arthritis, penyakit jantung
autoimun, multiple sklerosis, penyakit bowel inflamatori, dan luka
ischemia-reperfusion. Sistem komplemen juga dapat berimplikasi pada
penyakit sistem syaraf seperti Alzheimer dan kondisi degeneratif syaraf
lainnya.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus HIV dapat memanipulasi


sistem komplemen untuk mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.

Protein komplemen di dalam serum darah merupakan prekursor enzim


yang disebut zimogen. Zimogen pertama kali ditemukan pada saluran
pencernaan, sebuah protease yang disebut pepsinogen dan bersifat
proteolitik. Pepsinogen dapat teriris sendiri menjadi pepsin saat
terstimulasi derajat keasaman pada lambung.

Protein hasil irisan zimogen berguna bagi:

 peningkatan respon antibodi dan memori imunologis


 proses lisis
 pembersihan kompleks imun dan sel apoptotik
 proses kemotaksis
Mediator peradangan seperti mastosit untuk memicu proses
degranulasi antibodi IgE. melalui lintasan yang disebut:
 Lintasan klasik : C1qrs, C2, C3, C4, C1-INH, C4-BP
 Lintasan MBL : MBL, MASP, MASP2
 Lintasan alternatif : C3, Faktor B, Faktor D, Properdin, Faktor I, Faktor
H, Faktor DA, CR1
 Lintasan litik : C5, C6, C7, C8, C9, Protein
AKTIVASI KOMPLEMEN
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik
dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang
terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan
merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya ialah dengan
dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein
tersebut (pro enzim) yang tidak aktif menjadi bentuk aktif (enzim). Satu
molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul
komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit
theory.

Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun
jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan
pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai
dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir
ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) .

Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks


antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan
adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding
sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur serangan
membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen.

Aktivasi komplemen jalur klasik

Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau
disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.

1. Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui


2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3
konvertase.
2. Aktivitas C1 inhibitor. Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1
inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat
pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi
akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
3. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase
dihambat oleh beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat
berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3
konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama
dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan
potensi faktor I dalam merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga
mencegah terbentulmya C4b2b.
Aktivasi komplemen jalur alternatif

Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa
melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan
C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.

Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus


dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun
dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma.
Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b
bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB
diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase). Pada
keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga
tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat
diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya
dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan
dalam plasma.

Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan
melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi
banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak
pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat
tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin,
zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan
aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik
misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
jalur alternatif.

Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel
sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran
tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan
C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3
dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam
jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin
dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini
juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b
akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.

Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran
aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada
permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b
yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen
C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya
seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

FUNGSI BIOLOGIK PROTEIN KOMPLEMEN

Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua
golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran,
dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.

1. Sitolisis Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran)


yang berfungsi adalah C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi
pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat
melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.
2. Sifat biologik aktif
Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis

Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin
merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan
jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana
bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan
antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada
reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan
opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya fagositosis.

Anafilaksis dan kemotaksis

C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel
mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat
meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor
C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos
dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil,
netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.

Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos


menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a
adalah yang paling poten dan C4a adalah yang paling lemah.

C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh
karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-
sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke
tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak; proses ini
disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang
metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat
meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda
asing tersebut

Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan
terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya
proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing
tersebut; proses ini disebutperadangan.
Pelarutan dan eliminasi kompleks imun

Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan
dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen.
Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena
dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan
kompleks imun bilamana berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari
imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan
komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat
membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.

Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini,


sistem komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama
oleh reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit. Kompleks imun
yang beredar mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b
yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan
reseptor pada permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati
hati dan limpa, maka sel fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat
membersihkan kompleks imun yang terdapat pada permukaan sel eritrosit
tersebut.

REGULASI

Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu 1)


komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk
yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen
berikutnya akan rusak, 2) adanya beberapa inhibitor yang spesifik
misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3) pada permukaan
membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen komplemen
yang melekat.

Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2


fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3
konvertase.
1. Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1
inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat
pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi
akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
2. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase
dihambat oleh beberapa regulator.
C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat
berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3
konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama
dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan
potensi faktor I dalam merusak C4b.
Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga
mencegah terbentulmya C4b2b.
Regulasi jalur alternatif

Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein
dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran.

Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan


C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga
berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka
pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat
pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H,
CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada
permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3
konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi
C3d.

Penyakit Dalam Sistem


Komplemen
Penyakit pada manusia yang berkaitan dengan sistem komplemen dapat
terjadi oleh karena dua keadaan. Pertama adalah adanya defisiensi dari
salah satu protein komplemen atau protein regulator. Kedua, suatu sistem
komplemen yang normal diaktifkan oleh stimulus yang tidak normal
seperti mikroorganisme yang persisten atau suatu reaksi autoimun.

 Defisiensi protein regulator Pada beberapa keadaan dapat


terjadi defisiensi protein regulator, baik yang larut maupun yang
berikatan pada membran sel. Edema angioneurotik herediter (HANE)
adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi C l INH.
Manifestasi klinis kelainan ini adalah edema pada muka, ekstremitas,
mukosa laring, dan saluran cerna yang akan menghilang setelah 24
sampai 72 jam. Pada serangan berat disamping gangguan saluran
cerna juga dapat terjadi obstruksi saluran nafas. Mediator yang
berperan dalam kelainan ini adalah C3a, C4a, dan C5a yang bersifat
sebagai anafiltoksin. Di samping itu oleh karena fungsi C l INH juga
merupakan regulator kalikrein dan faktor XII, maka kemungkinan
aktivasi faktor ini juga memegang peran. Defisiensi regulator jalur
alternatif yang larut (faktor H dan I) sangat jarang terjadi. Akibat
defisiensi ini C3 akan diaktifkan terus menerus. Pasien dengan
antibodi ini sering menderita glomerulonefritis yang mungkin
disebabkan oleh kurang adekwatnya pembersihan kompleks imun dari
sirkulasi dan mengendap pada membran glomerulus ginjal.
 Defisiensi genetik Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan
alternatif meliputi C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, properdin, dan faktor D.
Defisiensi fragmen awal dari jalur klasik biasanya berhubungan
dengan penyakit autoimun seperti glomerulonefritis dan lupus
eritematosus sistemik (LES). Yang terbanyak dijumpai pada manusia
adalah defisiensi C2. Lebih dari seperdua dari pasien dengan
defisiensi C2 dan C4 menderita LES. Pasien dengan defisiensi C2 dan
C4 tidak menunjukkan kenaikan frekuensi terkena infeksi. Defisiensi
C3 biasanya berhubungan dengan sering terjadinya infeksi bakteri
piogen yang fatal. Hal ini mungkin menunjukkan pentingnya peran C3
pada opsonisasi, peningkatan fagositosis, dan penghancuran
mikroorganisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan
fungsi utama dari jalur klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun
dan jalur altematif untuk eliminasi bakteri.
 Defisiensi komplemen Defisiensi dalam sistem komplemen dapat
terjadi pada jalur klasik, altematif, kompleks serangan membran, atau
pada protein regulator. Defisiensi ini dapat terjadi sejak lahir, atau
didapat setelah lahir oleh karena terdapatnya mutasi gen.
 Defisiensi fragmen kompleks serangan membran Defisiensi
fragmen kompleks serangan membran yang mencakup C5, C6, C7, C8
dan C9 menyebabkan tidak terdapatnya kemampuan untuk melisis
organisme asing. Tetapi kenyataan yang menarik pada pasien dengan
defisiensi kompleks serangan membran, hanya mendapat infeksi
sistemik yang berat dengan bakteri neiseria intraselular termasukN.
meningitidis dali N. gonorrhoeae. Tetapi oleh karena jumlah sampel
pasiennya hanya sedikit, belum dapat disimpulkan bahwa kompleks
serangan membran terutarna penting untuk pertahanan terhadap
organisme tersebut.
Daftar Pustaka
 Frank MM. Complement and kinin. In Stites DP, Terr AI. Basic and
clinical immunology; 7th edition . NorwaIk: Appleton & Lange, 1991;
161-74.
 Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. In fundamental
immunology. 3rdedition. New York: Raven Press, l985; 645-68.
IMUNOLOGI DASAR: ANTIGEN PRESENTING
CELL (APC)
Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Antigen-presenting Cel (APC) atau sel aksesori adalah sel asing
yang menampilkan antigen kompleks dengan major
histocompatibility complex (MHC) pada permukaannya. T-sel
dapat mengenali kompleks mereka menggunakan T-sel reseptor
(TCRs). Sel ini memproses antigen dan menyajikan untuk T-sel.
Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)
terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari
mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari
antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B.Antigen yang
diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong
menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel
sebagai antigen MHC.

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di


kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan
mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke
kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit
bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC
yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul
MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan


ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur
dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe
diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan
antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.
Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan
dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan
limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar
getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel
T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba
masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di
kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.

Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun
tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating
dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi
limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons
sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,
terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi
sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis
mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua
jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi
makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;
proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.
Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari
mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap
antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat
menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan
cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat
menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini
tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T.
Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel
yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini
disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)
mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)
kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk
antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat
mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.

Jenis APC
Professional APCs
Terdapat 3 tipe utama professional antigen-presenting cell:

 Dendritic cells (DCs), Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah


monosit yang terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan
menjadi bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik
menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik tidak
bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai perantara
sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan tiruan.
 Macrophages,
 B-cells,
 Certain activated epithelial cells

Non-professional
A non-professional APC
 Fibroblasts (kulit)
 Thymic epithelial cells
 Thyroid epithelial cells
 Glial cells (otak)
 Pancreatic beta cells
 Vascular endothelial cells

Jenis-jenis antigen
presenting cell (APC)
No Jenis APC Lokasi Mobilitas Resepto MHC Presenta
r Fc/C3 kelas II si
kepada
Interdigitating
dendritic
cellsSel Parakorteks
1.2. LangerhansVeil KGBKulitSalura +++++ Sel TSel
3. ed cells n limfe AktifAktifAktif +++ + TSel T
Follicular
4. dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B
Medula
KGBHati (sel
Kupffer)Otak AktifStatikSta +++++ Sel T dan
5. Makrofag (astrosit) tik +++ + B
Sel B
(khususnya Ig
bila Jaringan permukaa
6. teraktivasi) limfoid Aktif n + Sel T

Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, Ig = imunoglobulin.

(sumber Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N, 2001)


Sel APC mensintesis molekul MHC kelas II secara terus-menerus di
retikulum endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma,
molekul MHC kelas II dicegah untuk berikatan dengan peptida di dalam
lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC class II-associated
invariant chain. Invariant chain ini mengandung suatu sekuens yaitu class
II invariant chain peptide (CLIP) yang berikatan erat denganpeptide-
binding cleft pada MHC kelas II. Invariant chain tersebut juga
mengantarkan MHC kelas II ke endosom untuk berikatan dengan peptida
antigen eksogen yang telah diproses. Endosom mengandung protein yang
dinamakan DM, fungsinya untuk melepaskan CLIP dari molekul MHC kelas
II, sehingga peptide-binding cleft akan terbuka untuk menerima peptida
antigen. Jika MHC kelas II dapat berikatan dengan peptida, akan terbentuk
kompleks yang stabil dan menuju ke permukaan sel. Namun jika molekul
MHC tidak dapat berikatan dengan peptida tersebut, molekul ini menjadi
tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalam endosom. Suatu
antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya
sedikit (satu atau dua) peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC
individu tersebut. Oleh sebab itu, hanya peptida ini yang dapat
menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga
disebutimmunodominant epitopes.
Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum
endoplasma dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T
CD8+, sedangkan antigen eksogen diproses di lisosom (endosom) dan
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+
Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T,
tetapi juga berfungsi sebagai ”sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Antigen
merupakan sinyal pertama, sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau
APC yang berespons terhadap mikroba. Peran penting dari sinyal kedua ini
adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul terhadap
mikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang tidak
berbahaya. Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non spesifik
dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan sinyal kedua bagi
aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri menghasilkan
lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan
menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan
protein permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini akan
dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel APC juga mensekresi sitokin yang
akan dikenali oleh reseptor sitokin di sel T. Ko-stimulator dan sitokin
bekerja bersama dengan pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR)
untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam hal ini, antigen
adalah sinyal pertama, sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan
sinyal kedua.

IMUNITAS NON SPESIFIK


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah
imunitas non spesifik berespons dengan cara yang sama pada
paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik
akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.
Komponen imunitas non spesifik
Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap
infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein
plasma.
Barrier epitel
Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan
saluran pernapasan dilindungi oleh epitel yang berfungsi
sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi
antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga
mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya
mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial
dapat mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan
fungsi limfosit ini masih belum jelas.
Sistem fagosit
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit,
yaitu sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali
mikroba intraselular dan memakannya (intracellular killing).
Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap
mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan
memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK
berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK
mengandung banyak granula sitoplasma dan mempunyai penanda
permukaan (surface marker) yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan
imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu
yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini
belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk
molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel
NK dan sebagian yang lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi
bertugas untuk mengenali molekul di permukaan sel pejamu yang
terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan
bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali
molekul permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara
teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal,
akan tetapi hal ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor
inhibisi yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi
sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai alel dari
molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.
Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell
immunoglobulin-like receptor (KIR), serta reseptor yang mengandung
protein CD94 dan subunit lectin yang disebut NKG2. Reseptor KIR
mempunyai struktur yang homolog dengan imunoglobulin. Kedua jenis
reseptor inhibisi ini mengandung domains structural motifs di
sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory
motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika
reseptor berikatan dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut
mengaktivasi protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase.
Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul
sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh
sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel NK
menjadi tidak aktif.
Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC
kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari
pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8+. Jika hal ini terjadi, reseptor inhibisi
sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK akan membunuh sel yang
terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi infeksi ditingkatkan
oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12).
Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai
antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang
telah diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).

Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein
dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi,
yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi
dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa
dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari
reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja
yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ)
yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama
dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba
dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk
mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk
membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut.

Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang


ditunjukkan oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan
berespons pada keadaan dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih
unggul akan menentukan hasil akhir dari infeksi.

Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang
penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen
merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi
bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik,
dan jalur lektin.Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen
diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba
tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini terdapat pada
sel tuan rumah).

Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik.

 Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau


antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas
spesifik.
 Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin
pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa
di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein
pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan
antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non
spesifik.
Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik
untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari
komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada
awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b
akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya.
Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada cara dimulainya,
tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan.
Pertama, C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba
berikatan dengan fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil
pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan
monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen.
Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa
pembentukanmembrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein
polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk
lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan
kematian mikroba.
Sitokin pada imunitas non spesifik
Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi
sitokin untuk memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik.
Sitokin merupakan protein yang mudah larut (soluble protein), yang
berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara leukosit dengan sel
lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin dengan
alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit
(namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan
bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama
sitokin adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke
reseptornya di makrofag merupakan rangsangan kuat untuk mensekresi
sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular dengan sumber
utamanya adalah sel T helper (TH).

Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus


eksternal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan
reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang
memproduksinya (autokrin) atau pada sel di sekitarnya (parakrin). Pada
respons imun non spesifik, banyak makrofag akan teraktivasi dan
mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat
sekresinya (endokrin).

Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi,


misalnya TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan
monosit ke tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan
trombosis dan menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari
kontraktilitas miokardium yang berkurang dan vasodilatasi. Infeksi bakteri
Gram negatif yang hebat dan luas dapat menyebabkan syok septik.
Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar
TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons
terhadap LPS bakteri. Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons
terhadap LPS dan mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah
mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan IFN-γ. Pada infeksi virus,
makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I.
Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran
infeksi ke sel yang belum terkena.

Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik


Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada
pertahanan melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma
bekerja dengan cara mengenali karbohidrat pada glikoprotein permukaan
mikroba dan menyelubungi mikroba untuk mempermudah fagositosis,
atau mengaktivasi komplemen melalui jalurlectin. Protein MBL ini
termasuk dalam golongan protein collectin yang homolog dengan kolagen
serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-
paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran
napas dari infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di
mikroba dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui
reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan
meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons fase akut
(acute phase response).

Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari
jenis mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit,
sistem komplemen, dan protein fase akut. Sedangkan pertahanan
terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel
NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.

Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik


Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap imunitas
non spesifik sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri
intraselular tidak dapat didestruksi di dalam fagosit. Lysteria
monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuatnya lepas dari
vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding
selMycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat
penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain
mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme ini
digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme efektor pada
imunitas selular dan humoral.
Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun
spesifik
Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk
menstimulasi imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan
suatu molekul yang bersama-sama dengan antigen akan mengaktivasi
limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap suatu antigen
membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri,
sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel
pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya
“sinyal kedua” ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons terhadap
agen infeksius, dan tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba.
Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat dirangsang oleh antigen,
tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini, pemberian antigen harus disertai
dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan merangsang
respons imun non spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar
adjuvant yang poten merupakan produk dari mikroba.

Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel
dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua”
pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag
mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-
stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian
bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan
mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag
mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif
menjadi sel efektor pada imunitas selular .

Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur


alternatif. Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan
dengan mikroba. Pada saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui
reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat pada mikroba melalui
reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini mengakibatkan
diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk komplemen
berfungsi sebagai “sinyal kedua” pada respons imun humoral.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.
Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai
struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18%
karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul
antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat
antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta
pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas
imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada
semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik
berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai
polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L
(rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua
rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga
membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan
imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam
amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H
atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh
ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan
oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A
(α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai
jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang
rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-
masing 5 domain.
Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang
identik dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai
ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian
pula rantai berat satu dengan yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul
ini oleh enzim proteolitik papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen,
yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri atas H-chain dan
L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminal-N, dan
1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang
dibentuk oleh domain terminal-C. Fragmen Fab dengan antigen binding
site, berfungsi mengikat antigen karena itu susunan asam amino di bagian
ini berbeda antara molekul imunoglobulin yang satu dengan yang lain dan
sangat variabel sesuai dengan variabilitas antigen yang merangsang
pembentukannya. Sebaliknya fragmen Fc merupakan fragmen yang
konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan mengikat antigen
tetapi dapat bersifat sebagai antigen (determinan antigen). Fragmen ini
pulalah yang mempunyai fungsi efektor sekunder dan menentukan sifat
biologik imunoglobulin bersangkutan, misalnya kemampuan
imunoglobulin untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan
imunoglobulin menembus plasenta, distribusi imunoglobulin dalam tubuh
dan lain-lain. Papain memecah imunoglobulin pada terminal asam amino
di tempat iakatan S-S yang mengikat kedua rantai H satu dengan yang
lain. Enzim proteolitik lain yaitu pepsin dapat memecah molekul
imunoglobulin dibelakang ikatan S-S. Pemecahan ini mengakibatkan
terbentuknya satu fragmen besar yang disebut F(ab’)2 yang mampu
mengikat dan menggumpalkan antigen karena ia bersifat bivalen dan
dapat membentuklattice. Pepsin selanjutnya dapat memecah fragmen Fc
menjadi beberapa bagian kecil. Bagian molekul imunoglobulin yang peka
terhadap pemecahan oleh kedua enzim diatas disebut bagian engsel
(hinge region). Kedua bentuk imunoglobulin, yaitu sIg dan Ig yang
disekresikan hanya berbeda pada domain terminal-C: sIg memiliki bagian
transmembran dan bagian intrasitoplasmik yang pendek.
Polimerisasi imunoglobulin terjadi pada IgM (pentamer atau heksamer)
dan IgA (umumnya dimer). Polimerisasi kelas imunoglobulin ini
bergantung pada rantai J (joining) dan banyaknya rantai J menentukan
proporsi molekul IgM pentamer dibanding IgM heksamer. Rantai J
membantu polimerisasi IgM dan IgA dengan cara ikat-silang disulfida pada
sesidu cysteine yang terdapat pada domain C-terminal molekul IgM dan
IgA yang disekresi
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.
Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen
yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan
asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab
memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding
site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc
yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan
asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi
memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat
pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan
basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan
menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan
karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi
satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2
tempat pengikatan antigen .
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas


mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang
berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai
berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada
perbedaan antar kelas.
Imunoglobulin G

IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai


berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien
sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal
IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.

Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai


perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai
berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa
paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya
mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen
setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4.
Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan
C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG
adalah pada domain CH2.

Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc.
Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag
memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini
terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan
kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks
imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada
sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated
cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel.
Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc
pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit.
Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta
dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin,
dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000.
Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi
IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap
antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami.
Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi
kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul
monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada
domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu
dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang
berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A

IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam
serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri
dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20%
berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang
dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai
tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien
sedimentasi 10,13,15 S.

Sekretori IgA

Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak


terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan
urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial,
amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.

SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada
daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal,
dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.

Imunoglobulin D

Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil
terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya
adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan
l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi
merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan
diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
Struktur Protein Antibodi Bermuka Dua
Dengan mengkombinasikan kristalografi sinar X dan prinsip – prinsip
kinetik larutan, sebuah tim biokimia telah membuktikan bahwa sebuah
antibodi dapat mengambil dua bentuk yang cukup berbeda satu sama
lain, sehingga memungkinkan antibodi tersebut mengikat 2 antigen yang
sama sekali berbeda. Kedua bentuk ini dapat ditemukan dalam larutan
yang sama, fakta yang mungkin dapat menjelaskan pertanyaan yang
sudah sekian lama tak terjawab mengenai bagaimana antibodi dapat
mengenali begitu banyak macam antigen secara selektif.

Penelitian ini dilaksanakan oleh rekan sejawat posdoktoral Leo C. James


dari Centre for Protein Engineering of the Medical Research Council
Centre, Cambridge, England; ilmuwan senior Dan S.Tawfik yang sekarang
berada di Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel; dan rekan
sekerja dari Cambridge , Pietro Roversi. Antibodi yang mereka pelajari
adalah monoclonal immunoglobulin yang biasanya mengikat molekul kecil
2,4-dinitrophenol. Seperti yang ditampilkan di struktur berwarna merah
muda, antigen diikat dalam sebuah lubang yang kecil dan dalam di dalam
antibodi. Tapi antibodi yang sama dapat pula mengikat antigen yang
ukuran molekulnya lebih besar seperti protein(hijau muda), seperti
ditunjukkan pada struktur biru muda, di mana protein melekatkan diri
pada bagian yang cukup luas dari lekukan yang dangkal pada permukaan
antibodi.

Para peneliti telah mengetahui bahwa antibodi yang sedang mengikat


antigen kadang mengambil bentuk yang berbeda dari bentuk awalnya
dalam larutan. Satu penjelasan yang memungkinkan ialah bahwa proses
pengikatan itu sendirilah yang menyebabkan perubahan struktur.
Kemungkinan lain ialah isomerasi struktur dari sebuah antibodi terjadi
dalam larutan dan masing-masing dapat mengikat antigen yang
berbeda.Dengan mengikat antigen, struktur baru antibodi itu sendiri
menjadi stabil. Tim riset menemukan bahwa kedua efek ini dapat
ditemukan dalam antibodi yang mereka teliti : antibodi tersebut
mengambil dua bentuk yang berbeda secara bergantian, dan mengalami
perubahan bentuk lebih lanjut segera setelah mengikat antigen.

IMUNOLOGI DASAR : RESPONS IMUN


Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine 3 komentar
Sistem kekebalan atau immune system adalah sistem pertahanan
manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari
makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,
bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan
dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain
seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang
teraberasi menjadi tumor.

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein,
terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas
mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif


atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang
tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri
atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan
pertahanan khusus untuk antigen tertentu.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh


dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya
guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel
tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang
biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi
penyakit.
Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang
menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak
nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik
senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan
berlangsung.

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan


terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk
makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat
terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh
antibodi. Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama,


terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :

 sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem


kekebalan turunan
 sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,
sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.
 sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk
“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat
saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan
turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum
tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping
darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor
limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang
ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat
berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh
non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau
ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk.
Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak
dengan antigen.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik


disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme
pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya,
lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya
seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag,
monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen
mekanisme pertahanan non spesifik.

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi


mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka
mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain
dari sistem imunitas alamiah.

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit

Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula


silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel
mikroorganisme.

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri


secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau
fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan
zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen
komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan
memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme
dan memfagositnya.

Protein fase akut


Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat
adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis
protein fase akut. C-reactive protein(CRP) merupakan salah satu protein
fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini
dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok.
Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang
akan melisis antigen.
Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus
atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan
sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus
di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi


mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme
pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh
sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya
seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka
mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.

Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen


yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga
menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host
terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas
didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik
terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi
antigen.

Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang
mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag)
sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan
meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel
limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi
antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen
dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel
yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent
cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan
atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah
limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat
pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang.
Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T
memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul
tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T.
Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda
permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi
monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster
of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus
dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T
dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda
permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4
dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang
dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi
penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat
memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T
(TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar
dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan


limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th
= CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi
sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan
limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis
sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td
= CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

Pajanan antigen pada sel T


Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent
antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel
ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th
aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen
yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel
T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya
sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan
bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II
yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag.
Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama
molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR
dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan
menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel
Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal
antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah
dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila
berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif
juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang
melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
Limfokin

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan


reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah
melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen,
dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin
merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen
yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit,
dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh
makrofag.

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk


melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan
granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab
tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah
eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga
menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen
serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B


dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan
dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat
lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya


pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada
manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang
dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan
ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor
antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen
merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada
mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada
perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD
pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini
tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai
reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan


dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim
dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast,
proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi
dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara
langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga


infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih
mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi.
Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks
antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis
serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-
antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai
reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh
sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini
disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis
antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen
yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel
memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada
imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang,
kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan
berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi
tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen
yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.

REGULASI RESPONS IMUN

Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem
imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun.
Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang
sudah terjadi.

Regulasi oleh antibodi yang terbentuk

Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi


produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah,
yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan
merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi
dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi
karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor
antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang
adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau
berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas
tinggi.

Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip


antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan
produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu,
pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar
daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks
Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat
dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B
membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah
maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam
konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk
menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi
karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen
maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop
antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B
terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan
balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor
antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada
reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor antigen
pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya
gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak
terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara
suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B
mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak
terangsang untuk mengalami transformasi blast, berproliferasi dan
berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin
berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang
makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi
tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang
mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya
belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta
memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan
bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai
reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai
idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan
seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons
imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip
antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal.
Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal
tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal.
Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi
makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang
jatuh ke dalam ir dan menimbulkan gelembung air yang makin lama
makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip adalah
regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal
sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya
untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4).
Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi
secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat
juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah
respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan
tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa
pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan
respons imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang
merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang
2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan
merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel
B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B
atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga
sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon
neuroendokrin.
Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin
Hormon Pencerap Efek modulasi
Sel B dan Sel T, sintesis antibodi produksi IFN-gamma
ACTH pada tikus perkembangan limfosit-B
Endorfin limpa sintesis antibodi mitogenesis aktivitas sel NK
Neutrofil, meningkatkan laju sintesis antibodi bersifat
TSH Monosit, sel B komitogenis dengan ConA
PBL, timus,
GH limpa sel T CD8 mitogenesis
LH dan
FSH proliferasi produksi sitokina
bersifat komitogenis dengan ConA menginduksi
PRL sel B dan sel T pencerap IL-2
Produksi IL-1 meningkatkan aktivitas sel NK
CRF PBL bersifat imunosupresif
TRH Lintasan sel T meningkatkan sintesis antibodi
GHRH PBL dan limpa menstimulasi proliferasi
menghambat aktivitas sel NK menghambat
respon kemotaktis menghambat proliferasi
SOM PBL menurunkan produksi IFN-gamma

Sistem kekebalan pada


makhluk lain
Perlindungan di prokariota
Bakteri memiliki mekanisme pertahanan yang unik, yang disebut sistem
modifikasi restriksi untuk melindungi mereka dari patogen seperti
bateriofag. Pada sistem ini, bakteri memproduksi enzim yang disebut
endonuklease restriksi, yang menyerang dan menghancurkan wilayah
spesifik dari DNA viral bakteriofag. Endonuklease restriksi dan sistem
modifikasi restriksi hanya ada di prokariota.

Perlindungan di invertebrata
Invertebrata tidak memiliki limfosit atau antibodi berbasis sistem imun
humoral. Namun invertebrata memiliki mekanisme yang menjadi
pendahulu dari sistem imun vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern
recognition receptor) adalah protein yang digunakan di hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan
patogen mikrobial. Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari
sistem imun yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan
terdapat di hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata,
termasuk berbagai jenis serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk
respon komplemen yang telah dimodifikasi yang dikenal dengan nama
sistem prophenoloksidase.

Peptida antimikrobial adalah komponen yang telah berkembang dan


masih bertahan pada respon imun turunan yang ditemukan di seluruh
bentuk kehidupan dan mewakili bentuk utama dari sistem imunitas
invertebrata. Beberapa spesies serangga memproduksi peptida
antimikrobial yang dikenal dengan nama defensin dan cecropin.

Perlindungan di tanaman
Anggota dari seluruh kelas patogen yang menginfeksi manusia juga
menginfeksi tanaman. Meski spesies patogenik bervariasi pada spesies
terinfeksi, bakteri, jamur, virus, nematoda, dan serangga bisa
menyebabkan penyakit tanaman. Seperti binatang, tanaman diserang
serangga dan patogen lain yang memiliki respon metabolik kompleks
yang memicu bentuk perlindungan melawan komponen kimia yang
melawan infeksi atau membuat tanaman kurang menarik bagi serangga
dan herbivora lainnya.

Seperti invertebrata, tanaman tidak menghasilkan antibodi, respon sel T,


ataupun membuat sel yang bergerak yang mendeteksi keberadaan
patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian tanaman dibentuk agar
dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang hanya sedikit hewan
mampu melakukannya. Membentuk dinding atau memisahkan bagian
tanaman membantu menghentikan penyebaran infeksi.

Kebanyakan respon imun tanaman melibatkan sinyal kimia sistemik yang


dikirim melalui tanaman. Tanaman menggunakan reseptor pengenal pola
untuk mengidentifikasi patogen dan memulai respon basal yang
memproduksi sinyal kimia yang membantu menjaga dari infeksi. Ketika
bagian tanaman mulai terinfeksi oleh patogen mikrobial atau patogen
viral, tanaman memproduksi respon hipersensitif terlokalisasi, yang lalu
membuat sel di sekitar area terinfeksi membunuh dirinya sendiri untuk
mencegah penyebaran penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon
hipersensitif memiliki kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI HUMORAL


Diposting pada Mei 1, 2011 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh
disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang
melibatkan limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis
keturunan ( sel B ). B Cells (with co-stimulation) berubah menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi. The co-stimulation sel B dapat berasal
dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel dendritik . Seluruh proses ini
dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.
Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti
virus atau bakteri

Studi tentang komponen molekuler dan seluler yang terdiri dari sistem
kekebalan tubuh , termasuk fungsi dan interaksi . Sistem kekebalan tubuh
dibagi menjadi primitive innate immune system, dan acquired atau
adaptive immune sistem vertebra, masing-masingmengandung komponen
humoral dan selualar.

Kekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori


yang menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat
germinal pembentukan isotipe switching, pematangan afinitas dan
memori sel generasi. Hal ini juga mengacu pada efektor fungsi antibodi,
yang mencakup netralisasi patogen dan racun, classical complement
activation, and opsonin phagocytosis dan eliminasi patogen
SEL LlMFOSIT B
 Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten.
Dinamakan pluripoten karena sel ini juga merupakan progenitor sel
hematopoietik lainnya, seperti sel polimorfonuklear, sel monosit dan
sel makrofag.
 Pada masa embrio sel ini ditemukan pada yolk sac, yang kemudian
bermigrasi ke hati, limpa dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel
asal (stem cell) hanya ditemukan pada sumsum tulang. Dinamakan
limfosit B karena tempat perkembangan utamanya pada burung
adalah bursa fabricius, sedangkan pada manusia tempat
perkembangan utamanya adalah sumsum tulang.
 Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel
limfosit B adalah sel yang sitoplasmanya mengandung rantai berat µ,
terdiri atas bagian variabel V dan bagian konstan C tanpa rantai
ringan L, dan tanpa imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini
dinamakan sel pro-limfosit B. Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga
memperlihatkan molekul lain pada permukaannya, antara lain antigen
HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan reseptor virus Epstein-Barr
(EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah dapat ditemukan di hati
fetus pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.

 Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada


tahap ini sel limfosit B imatur telah dapat membentuk rantai ringan L
imunoglobulin sehingga mempunyai petanda imunoglobulin pada
permukaan membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen.
Bila sel limfosit B sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan
rantai ringan L yang lengkap, maka sel ini tidak akan dapat
memproduksi rantai berat H dan rantai ringan L lain yang
mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan dengan antigen)
yang berbeda. Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu
macam bagian variabel dari imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin
yang dibentuk hanya ditujukan terhadap satu determinan antigenik
saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang unik. Jika sel ini terpajan
dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin yang ada pada
permukaan membran sel), sel ini tidak akan terstimulasi, bahkan
mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga sel menjadi
mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri
(self antigen), maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan
mengalami apoptosis sehingga tubuh menjadi toleran terhadap
antigen diri. Hal ini terjadi pada masa perkembangan di sumsum
tulang. Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang
merupakan sel limfosit B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing.
Kemudian sel limfosit B imatur yang telah memperlihatkan
imunoglobulin lengkap pada permukaannya akan keluar dari sumsum
tulang dan masuk ke dalam sirkulasi perifer serta bermigrasi ke
jaringan limfoid untuk terus berkembang menjadi sel matur. Sel B ini
memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM dan IgD dengan bagian
variabel yang sama pada permukaan membran sel dan dinamakan sel
B matur.
 Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur
tidak memerlukan stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh
lingkungan mikro dan genetik. Tahap perkembangan ini dinamakan
tahapan generasi keragaman klon(clone diversity), yaitu klon yang
mempunyai imunoglobulin permukaan dengan daya ikat terhadap
determinan antigen tertentu.
 Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan
tahapan respons imun. Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B
matur akan menjadi aktif dan dinamakan sel B aktif. Sel B aktif
kemudian akan berubah menjadi sel blast dan berproliferasi serta
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi
imunoglobulin.
 Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi
imunoglobulin kelas lain seperti IgG, IgA, dan IgE dengan bagian
variabel yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih kelas rantai
berat (isotype switching).
 Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi
imunoglobulin melainkan tetap sebagai sel B yang memperlihatkan
petanda imunoglobulin pada permukaannya dan dinamakan sel B
memori. Μ
 Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih
tinggi. Maturasi afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B
matur yang tidak distimulasi, jadi yang tidak menemukan ligannya,
akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori
akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan tanpa stimulasi antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi
secara aktif melalui pembuluh darah, pembuluh limfe, dan kelenjar
limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar
limfe, maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan
antigen tersebut pada permukaannya. Antigen yang diekspresikan
oleh sel dendrit ini akan merangsang sel B memori menjadi aktif
kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
memproduksi antibodi. Dalam hal ini, kadar antibodi terhadap suatu
antigen tertentu dapat bertahan lama pada kadar protektif, sehingga
kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.

Aktivasi dan fungsi sel B


 Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B
akan berdiferensiasi menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara
antigen dan imunoglobulin pada permukaan sel B, akan
mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara imunoglobulin
permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan aktivasi enzim
kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam sitoplasma. Terjadilah
fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain
protoonkogen (proto oncogene) yang produknya meregulasi
pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi
dengan atau tanpa bantuan sel T, tergantung pada sifat antigen yang
merangsangnya. Proliferasi akan mengakibatkan ekspansi klon
diferensiasi dan selanjutnya sekresi antibodi. Fungsi fisiologis antibodi
adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi antigen yang
menginduksi pembentukannya.
 Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu
antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T cell independent)
dan antigen yang tergantung pada sel T (TD = T cell dependent).
Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi dan
mensekresi imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T
helper). Contohnya adalah antigen dengan susunan molekul
karbohidrat, atau antigen yang mengekspresikan determinan antigen
(epitop) identik yang multipel, sehingga dapat mengadakan ikatan
silang antara imunoglobulin yang ada pada permukaan sel B. Ikatan
silang ini mengakibatkan terjadinya aktivasi sel B, proliferasi, dan
diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino dan
polivinil pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga
dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula
lipopolisakarida (LPS), yaitu komponen dinding sel beberapa bakteri
Gram negatif dapat pula mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada
konsentrasi tinggi dapat merupakan aktivator sel B yang bersifat
poliklonal. Hal ini diperkirakan karena LPS tidak mengaktifkan sel B
melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.
 Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan
sel Th melalui limfokin yang dihasilkannya, agar dapat merangsang
sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi.
 Terdapat dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi
primer dan sekunder. Respons antibodi primer adalah respons sel B
terhadap pajanan antigen ligannya yang pertama kali, sedangkan
respons antibodi sekunder adalah respons sel B pada pajanan
berikutnya, jadi merupakan respons sel B memori. Kedua macam
respons antibodi ini berbeda baik secara kualitatif maupun secara
kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada respons antibodi
sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih
banyak.
 Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi
terutama adalah IgM, karena sel B istirahat hanya memperlihatkan
IgM dan IgD pada permukaannya (IgD jarang disekresi). Sedangkan
pada respons antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama
adalah isotip lainnya seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip.
Afinitas antibodi yang dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih
tinggi dibanding dengan respons antibodi primer, dan dinamakan
maturasi afinitas.
 Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD,
sedangkan stimulasi oleh antigen TI pada umumnya tidak
memperlihatkan respons sel B memori dan imunoglobulin yang
dibentuk umumnya adalah IgM. Hal ini menandakan bahwa respons
antibodi sekunder memerlukan pengaruh sel Th atau limfokin yang
disekresikannya.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
 Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua
mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang
mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan
4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi
yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi
komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
 Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar
imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun
dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai
berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)
dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu
unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh
suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur
yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang
terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan
disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh
ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),
rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2
domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan
rantai M dan E masing-masing 5 domain.
 Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa
fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu
2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini
mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan
antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas
imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung
bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.
Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat
antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,
terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel
mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan
kemampuan menembus plasenta.
 Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada
gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang
mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas


mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang
berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai
berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada
perbedaan antar kelas.

 Imunoglobulin G
 IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2
rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai
koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada
orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
 Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya
sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-
6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat
komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl
> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen
dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi
ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
 Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada
fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus
antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3
pada lokasi domain CH3.
 Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai
dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen
asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan
reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada
antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel
limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi
dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada
transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

 Imunoglobulin M
 Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul
850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah
karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada
golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
 IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan C H.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan
disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer
dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya
oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

 Imunoglobulin A
 IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA
dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang
80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan
sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima
monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan
disulfida dan rantai tunggal J . Polimer tersebut mempunyai koefisien
sedimentasi 10,13,15 S.

 Sekretori IgA
 Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling
banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,
kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal
seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe
IgA serum.
 SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama
pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan
antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus
menembus mukosa.

 Imunoglobulin D
 Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat
labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul
60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD
belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

DAFTAR PUSTAKA
 Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,
penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:
Saunders, 1991; 70-96.
 Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.
Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.
London: Blackwell. 1988; 15-30.

IMUNOLOGI DASAR: ADAPTIVE IMMUNE


SYSTEM, SISTEM KEKEBALAN TIRUAN
Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Sistem kekebalan tiruan (adaptive immune system, acquired
immune system) adalah mekanisme pertahanan tubuh berupa
perlawanan terhadap antigen tertentuyang bersifat akut.Sistem
kekebalan tiruan ini tergantung pada interaksi antara limfosit B
dan limfosit T. Ada tiga jenis molekul yang penting dalam hal ini
yaitu protein MHC, imunoglobulin, dan reseptor sel T
Mekanisme sistem kekebalan tiruan
Patogen dapat mengembangkan strategi untuk mengecoh atau menekan
mekanisme pertahanan turunan demi mempertahankan infeksi yang telah
dijangkitnya. Saat replikasi antigen penyebab infeksi untuk
mencanangkan fokus infeksi – misalnya dengan membentuk koloni, telah
melampaui ambang batas sistem kekebalan turunan sehingga terjadi
perubahan metabolisme yang ditandai dengan simtoma
hiperfibrinogenemia dan hipoalbuminemia, sistem kekebalan tiruan akan
tercetus[5] dengan aktivasi memori imunologis. Respon kekebalan tiruan
diberikan oleh sel efektor dan molekul terkait, sekitar hari keempat atau
kelima setelah infeksi awal. Setelah kadar antigen menurun ke bawah
ambang batas sistem kekebalan turunan, respon kekebalan tiruan akan
berhenti, namun antibodi, sisa sel efektor dan memori imunologis akan
tetap bertahan dan memberikan perlindungan yang panjang untuk infeksi
ulang yang dapat terjadi.

Induksi yang pertama, terjadi saat sel dendritik yang berada pada
jaringan tempat terjadinya infeksi terikat antigen, teraktivasi menjadi sel
AP, kemudian bermigrasi ke dalam sistem limfatik dan berakhir di nodus
limfa atau limpa atau jaringan MALT. Sel T yang bermigrasi dari satu nodus
limfa menuju ke nodus yang lain, akan menempel pada sel AP dan
berusaha untuk mengenali antigen dengan memindai sel tersebut pada
bagian MHC kelas II. Antigen yang tidak dikenali akan segera ditinggalkan
oleh sel T untuk dipindai sel T yang lain hingga akhirnya dikenali. Pada
saat tersebut, sel T akan berhenti bermigrasi dan akan mengikat erat sel
AP. Kemudian teraktivasi untuk memicu sistem kekebalan tiruan.

Sel T0 atau sel T CD4 yang mengenali antigen melalui molekul MHC kelas II
pada sel dendritik AP akan mengaktivasi LFA-1 yang menyebabkan ikatan
kuat antara Sel T0dengan sel AP. Setelah itu akan terjadi proliferasi dan
diferensiasi sel T0, yang menghasilkan sejumlah sel T CD4 baru yang
mempunyai pencerap efektor (bahasa Inggris: armed-effector T cell).
Diferensiasi sel T sebagai berikut:
 sel TH1 akan dihasilkan jika virus atau bakteri menginduksi sekresi
IL-12 dari sel AP. IL-12 kemudian menjadi stimulasi bagi sel NKT untuk
mengeluarkan IFN-γ. Aktivasi LFA-1 pada T0 terjadi dengan stimulasi
IL-12 dan IFN-γ. Sel TH1 akan mensekresi IL-2, TNF-ß, IFN-γ.
Antigen yang dapat dikenali lebih khusus disebut sebagai imunogen,
“ dan reaksi tersebut terjadi di area antigen yang disebut epitop. ”

Sistem kekebalan tiruan juga terpicu oleh hal lain, pada saat antigen
menimbulkan reaksi terhadap molekul antibodi atau dikenali oleh
pencerap antigen yang terdapat pada sel NKT. Segera setelah terpicu,
perlawanan terhadap imunogen akan dikoordinasi antar sel agar didapat
respon yang terpadu. Koordinasi dilakukan dengan molekul sinyal seperti
limfokina, sitokina dan kemokina.Diferensiasi sel T yang terjadi:

 sel TH2 akan dihasilkan dengan aktivasi LFA-1 yang terjadi dengan
stimulasi IL-4 yang disekresi oleh sel NKT karena stimulasi dari
patogen jenis lain. TH2 akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-13.
Sel TH1 akan bertindak sebagai stimulator MAC, sedangkan sel TH2 akan
berfungsi sebagai aktivator sel B.
Komponen selular

Diferensiasi sel T CD4 menjadi sel T pembantu.

Aktivasi penuh sel T CD4 membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 hari.


Setelah itu, sel T pembantu bermigrasi dari sistem limfatik menuju
jaringan tempat terjadinya infeksi. Sepanjang ekstravasasi sel T
pembantu terstimulasi lebih lanjut oleh molekul adhesi pada proses
ekstravasasi dan terdiferensiasi menjadi sel T efektor yang berlainan,
bergantung pada jenis jaringan yang dituju.

Di dalam jaringan, sel T efektor yang mengenali antigen akan


mengeluarkan sitokina seperti TNF-α untuk mengaktivasi sel endotelial
agar terjadi sekresi selektin-E, VCAM-1 dan ICAM-2 dan kemokina RANTES.
Semuanya itu untuk merekrut lebih banyak sel T efektor, monosit dan
granulosit. TNF-α and IFN-γ yang disekresi sel T pembantu yang telah
teraktivasi juga bersifat sinergis dengan proses peradangan berupa
ekstravasasi.

Komponen humoral
Peran antibodi dalam sistem kekebalan, antara lain :[8]
 Untuk infeksi intraselular, virus dan bakteri terlebih dahulu perlu
mengikat molekul tertentu yang terdapat pada permukaan sel target.
Antibodi dapat mencegah terjadinya ikatan tersebut. Hal ini juga
sekaligus mencegah masuknya toksin yang disekresi oleh patogen ke
dalam sel.
 Antibodi yang menempel pada permukaan patogen akan
mempercepat dikenalinya patogen tersebut oleh fagosit, oleh karena
fagosit dilengkapi dengan pencerap fragmen konstan yang mengikat
antibodi pada area konstan C
 Antibodi yang terikat pada permukaan patogen dapat mengaktivasi
protein dari komponen komplemen.

IMUNOLOGI DASAR : ANTIGEN


Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Antigen adalah sebuah zat yang merangsang respon imun,


terutama dalam menghasilkan antibodi. Antigen biasanya berupa
protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul
lainnya, termasuk molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan
protein-pembawa atau carrier.
Reaksi antigen dan antibodi

Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui


penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan
radikal-radikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi
terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi
menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda
pada protein ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda
kedudukan.

Ikatan kimia antara antigen dan antibodi


Terdiri dari ikatan non kovalen, (seperti ikatan hidrogen, van der Waals,
elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula
(reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada jarak antara paratop
dan bagian-bagian tertentu pada epitop.
Reaksi pelarutan (precipitation)
Antara antibodi khusus dengan antigen larut seperti protein. Penelitian
yang dilakukan oleh Heidelberger dan Kendall menunjukkan reaksi ini
dapat optimum pada zona kesetaraan (equivalence zone) di mana
antibodi dan antigen terbentuk pada kondisi yang paling sesuai untuk
membentuk satuan ikatan (lattice). Pada zona antibodi berlebih (antibody
excess zone) dan zona antigen Berlioz (antigen excess zone) maka
pembentukan satuan ikatan tidak optimum dan masih terdapat antibodi
atau antigen bebas yang tidak terdapat dalam larutan.

Reaksi pembekuan (aglutinasi)


Antara antibodi khusus dengan antigen partikulat seperti bakteria, sel dll.
Prinsip-prinsip reaksi pembekuan adalah sama seperti reaksi pelarutan.

Di dalam percobaan di atas antibodi spesifik terhadap antigen dicairkan


dalam satu set telaga piring mikrotiter (baris atas), kemudian antigen
pada kepekatan yang sama ditambah kepada setiap telaga yang
mengandung antibodi. Selepas eraman untuk jangka masa yang sesuai
telaga-telaga dicerap untuk melihat sama ada terdapat pembentukan
aglutinat (baris kedua). Keputusan yang diperolehi menunjukkan terdapat
aglutinat terbentuk dalam telaga 2 – 5 dan tidak dalam telaga-telaga lain.
Dalam telaga pertama aglutinat tidak terbentuk walaupun terdapat
banyak antibodi kerana nisbah antigen:antibodi tidak optimum untuk
pembentukan aglutinat. Kepekatan antibodi adalah terlalu tinggi
berbanding antigen. Ini dipanggil sebagai fenomenon prozon. Dalam
telaga 6 dan 7 kepekatan antibodi adalah terlalu rendah dan tidak cukup
untuk untuk menghasilkan aglutinat. Dalam percubaan di atas titer
antibodi terdapat pada telaga 5 kerana ini ialah cairan tertinggi yang
menghasilkan tindak balas positif, iaitu penglutinatan. Rajah sebelah
bawah menunjukkan mekanisme tindak balas penghemaglutinatan tak
terus (indirect hemagglutination reaction). Dalam kaedah ini antigen larut
diselaputkan ke permukaan eritrosit dan kehadiran antibodi terhadap
antigen tersebut dikesan.

Mendakan dalam tiub


Tindak balas pemendakan juga boleh dilakukan dalam medium separa
pepejal seperti gel dan prinsip tindak balas adalah sama seperti tindak
balas dalam larutan. Kaedah ini boleh dilakukan dalam tiub atau atas
slaid.

Rajah di atas menerangkan prinsip pemendakan dalam tiub. Dalam


kaedah pertama (gambar atas) larutan antigen ditambah kepada tiub
yang mengandungi antibodi. Selepas eraman garis mendakan akan
terbentuk pada zon kesetaraan antara larutan antigen dan antibodi.
Kaedah kedua (gambar tengah) menunjukkan tindak balas pemendakan
dalam gel. Antibodi dicampurkan dengan gel dan dibekukan dalam tiub.
Kemudian antigen ditambah dan tiub tersebut dieram. Antigen akan
menyerap masuk ke dalam gel dan membentuk satu cerun kepekatan dan
garis mendakan (precipitin line) terbentuk di mana terdapat zon
kesetaraan wujud. Lebih dari satu garis mendakan akan terbentuk jika
terdapat lebih dari satu antigen yang dicam oleh antibodi. Gambar ketiga
menunjukkan peralihan garis mendakan (pseudomigration) yang berlaku
semasa eraman. Ini berlaku kerana semasa eraman lebih banyak antigen
akan menyerap masuk ke dalam gel dan bahagian di mana terdapat zon
kesetaraan akan bertukar kerana kepekatan antibodi dalam gel adalah
malar. Rajah ini juga menunjukkan di mana zon antigen dan antibodi
berlebih wujud dalam gel tersebut.

Kaidah imunoserapan bulatan


Kaidah ini berguna untuk menentukan kehadiran atau menentukan
kepekatan antigen. Dalam rajah di bawah kepekatan IgG dalam sampel
ditentukan menggunakan kaedah ini. Anti-IgG dicampurkan dengan gel
dan dibekukan di atas slaid. Kemudian telaga-telaga ditebuk di dalam gel
tersebut dan satu set piawai IgG ditambah ke dalam telaga. Selepas
eraman garis mendakan berbentuk bulatan akan terbentuk di keliling
setiap telaga dan diameter bulatan ini bergantung kepada kepekatan
antigen (IgG) yang ditambah. Satu lengkok piawai diplot dan jika terdapat
satu telaga yang mengandungi IgG yang tidak diketahui kepekatannya,
kepekatan IgG dalam sampel tersebut boleh ditentukan berdasarkan
diameter garis mendakan yang terdapat keliling telaga tersebut dan
lengkok piawai yang ada.

Kaidah Ouchterlony
Kaidah ini berguna untuk menentukan perhubungan antigen (antigenic
relationship). Corak pertama di atas menunjukkan tindak balas seiras
(reaction of identity) yang berlaku apabila epitop-epitop pada antigen 1
dan 2 yang dicam oleh antibodi adalah sama. Dalam tindak balas kedua
epitop-eitop yang terdapat pada antigen 1 dan 3 adalah berbeza dan tidak
dikongsikan. Ini menghasilkan corak tindak balas tak seiras (reaction of
non-identity). Jika terdapat epitop-epitop yang dikongsikan antara dua
antigen dan pada masa yang sama terdapat epitop-epitop unik pada satu
antigen, corak separa iras (reaction of partial identity) akan terhasil.
Dalam corak ketiga, antigen 1 dan 4 mempunyai epitop-epitop yang
sepunya, tetapi antigen 1 mempunyai epitop-epitop unik yang dicam oleh
antibodi dan ini akan menghasilkan pacu (spur). Dalam corak keempat,
antibodi hanya mengcam epitop pada antigen 1 yang tidak mempunyai
epitop yang dikongsikan dengan antigen 5.

Kaidah imunojerapan berpaut enzim (ELISA)


Kaidah ini tergolong ke dalam asai imunoenzim kerana melibatkan tindak
balas enzim dengan substrat. Kaedah ELISA terus digunakan untuk
mengesan kehadiran antigen sementara kaedah tak terus digunakan
untuk mengesan kehadiran antibodi.

Rajah di atas menunjukkan prinsip ELISA untuk mengesan kehadiran


antibodi. Telaga piring mikrotiter diselaputkan dengan antigen (berwarna
biru) kemudian sampel ujian ditambah. Jika terdapat antibodi spesifik
(berwarna merah) untuk antigen dalam sampel tersebut ia akan
bergabung dengan antigen. Kehadiran antibodi ini dikesan menggunakan
antibodi sekunder (biru) berlabel enzim (kuning). Selepas penambahan
substrat, warna produk ditentukan berdasarkan serapan dan nilai serapan
ini adalah berkadaran dengan kuantiti antibodi yang tergabung kepada
antigen.

Kaidah pemblotan Western


Kaidah pemblotan Western digunakan untuk mengesan kehadiran antigen.
Dalam kaedah ini antigen tercampur dipisahkan menggunakan
elektroforesis gel. Kemudian antigen-antigen tersebut dipindahkan kepada
membran pepejal menggunakan arus elektrik. Kehadiran antigen spesifik
pada membran dikesan menggunakan antibodi spesifik untuk sesuatu
antigen.

Rajah di atas menunjukkan antigen-antigen yang terpisah selepas


elektroforesis (warna kuning) yang kemudian dipindahkan kepada
membran. Kehadiran antigen spesifik pada membran dikesan dengan
antibodi spesifik berlabel dan warna boleh dibangunkan menggunakan
tindak balas enzim-substrat. Kehadiran antigen-antigen ini dibandingkan
dengan satu gel lain (warna cokelat) yang diwarnakan untuk mengesan
semua antigen dalam sampel.

Kaidah pewarnaan berpendarfluor


Kaidah ini menggunakan antibodi spesifik berlabel pendarfluor seperti
fluorescein isothiocyanate (FITC). Rajah di bawah menunjukkan
pengesanan bakteria menggunakan antibodi berpendarfluor. Antibodi
berlabel FITC dicampurkan dengan sampel (E. coli) dan kemudian sampel
dicerap menggunakan mikroskop pendarfluor.

Penangkapan dan Presentasi Antigen


Respons imun spesifik dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali
antigen. Limfosit B dan T mengenali jenis antigen yang berbeda. Reseptor
di limfosit B yaitu antibodi yang terikat di membran (membrane-bound
antibody) dapat mengenali berbagai makromolekul (protein, polisakarida,
lipid, dan asam nukleat) serta bahan-bahan kimia kecil yang terlarut atau
terdapat di permukaan sel. Sebaliknya, limfosit T hanya dapat mengenali
fragmen peptida dari antigen protein, dan hanya jika peptida tersebut
dipresentasikan oleh molekul tertentu di sel pejamu.
Pengenalan antigen oleh limfosit T
Sebagian besar limfosit T mengenali antigen peptida yang terikat dengan
molekul major histocompatibility complex (MHC) yang terdapat di antigen-
presenting cell (APC). Pada setiap individu, berbagai klon sel T dapat
mengenali suatu peptida apabila peptida tersebut dipresentasikan oleh
MHC. Sifat sel T ini disebut sebagai restriksi MHC (MHC restriction). Setiap
sel T mempunyai spesifisitas ganda. Hal ini berarti T cell receptor(TCR)
mengenali peptida antigen dan juga mengenali molekul MHC yang
membawa peptida tersebut.
Sel yang berfungsi khusus untuk menangkap antigen mikroba dan
mengikatnya supaya dapat dikenali oleh limfosit T dinamakan antigen-
presenting cell (APC). Limfosit T naif memerlukan presentasi antigen oleh
APC agar dapat memulai respons imun.
Penangkapan antigen protein oleh APC

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di


kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan
mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke
kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit
bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC
yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul
MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan


ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur
dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe
diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan
antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.
Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan
dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan
limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar
getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel
T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba
masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di
kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.
Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun
tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating
dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi
limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons
sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,
terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi
sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis
mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua
jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi
makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;
proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.
Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari
mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
IMUNOLOGI DASAR: ANTIGEN PRESENTING
CELL (APC)
Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Antigen-presenting Cel (APC) atau sel aksesori adalah sel asing
yang menampilkan antigen kompleks dengan major
histocompatibility complex (MHC) pada permukaannya. T-sel
dapat mengenali kompleks mereka menggunakan T-sel reseptor
(TCRs). Sel ini memproses antigen dan menyajikan untuk T-sel.
Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)
terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari
mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari
antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B.Antigen yang
diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong
menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel
sebagai antigen MHC.

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di


kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan
mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke
kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit
bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC
yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul
MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan


ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur
dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe
diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan
antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.
Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan
dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan
limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar
getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel
T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba
masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di
kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.

Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun
tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating
dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi
limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons
sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,
terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi
sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis
mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua
jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi
makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;
proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.
Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari
mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap
antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat
menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan
cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat
menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini
tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T.
Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel
yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini
disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)
mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)
kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk
antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat
mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.

Jenis APC
Professional APCs
Terdapat 3 tipe utama professional antigen-presenting cell:

 Dendritic cells (DCs), Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah


monosit yang terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan
menjadi bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik
menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik tidak
bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai perantara
sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan tiruan.
 Macrophages,
 B-cells,
 Certain activated epithelial cells

Non-professional
A non-professional APC
 Fibroblasts (kulit)
 Thymic epithelial cells
 Thyroid epithelial cells
 Glial cells (otak)
 Pancreatic beta cells
 Vascular endothelial cells

Jenis-jenis antigen
presenting cell (APC)
Presenta
Resepto MHC si
No Jenis APC Lokasi Mobilitas r Fc/C3 kelas II kepada
Interdigitating
dendritic
cellsSel Parakorteks
1.2. LangerhansVeil KGBKulitSalura +++++ Sel TSel
3. ed cells n limfe AktifAktifAktif +++ + TSel T
Follicular
4. dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B
Medula
KGBHati (sel
Kupffer)Otak AktifStatikSta +++++ Sel T dan
5. Makrofag (astrosit) tik +++ + B
Sel B
(khususnya Ig
bila Jaringan permukaa
6. teraktivasi) limfoid Aktif n + Sel T

Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, Ig = imunoglobulin.

(sumber Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N, 2001)


Sel APC mensintesis molekul MHC kelas II secara terus-menerus di
retikulum endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma,
molekul MHC kelas II dicegah untuk berikatan dengan peptida di dalam
lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC class II-associated
invariant chain. Invariant chain ini mengandung suatu sekuens yaitu class
II invariant chain peptide (CLIP) yang berikatan erat denganpeptide-
binding cleft pada MHC kelas II. Invariant chain tersebut juga
mengantarkan MHC kelas II ke endosom untuk berikatan dengan peptida
antigen eksogen yang telah diproses. Endosom mengandung protein yang
dinamakan DM, fungsinya untuk melepaskan CLIP dari molekul MHC kelas
II, sehingga peptide-binding cleft akan terbuka untuk menerima peptida
antigen. Jika MHC kelas II dapat berikatan dengan peptida, akan terbentuk
kompleks yang stabil dan menuju ke permukaan sel. Namun jika molekul
MHC tidak dapat berikatan dengan peptida tersebut, molekul ini menjadi
tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalam endosom. Suatu
antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya
sedikit (satu atau dua) peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC
individu tersebut. Oleh sebab itu, hanya peptida ini yang dapat
menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga
disebutimmunodominant epitopes.
Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum
endoplasma dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T
CD8+, sedangkan antigen eksogen diproses di lisosom (endosom) dan
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+
Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T,
tetapi juga berfungsi sebagai ”sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Antigen
merupakan sinyal pertama, sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau
APC yang berespons terhadap mikroba. Peran penting dari sinyal kedua ini
adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul terhadap
mikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang tidak
berbahaya. Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non spesifik
dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan sinyal kedua bagi
aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri menghasilkan
lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan
menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan
protein permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini akan
dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel APC juga mensekresi sitokin yang
akan dikenali oleh reseptor sitokin di sel T. Ko-stimulator dan sitokin
bekerja bersama dengan pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR)
untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam hal ini, antigen
adalah sinyal pertama, sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan
sinyal kedua.

DAFTAR LENGKAP INTERLEUKIN, ASPEK KLINIS


DAN ASPEK BIOLOGISNYA
Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Daftar Lengkap Interleukin,


Aspek Klinis dan Aspek
Biologisnya
Interleukin adalah kelompok sitokin (disekresi protein ) yang
pertama kali terlihat untuk diekspresikan oleh sel darah putih
( leukosit ). Interleukin jangka berasal dari (antar-)“sebagai
sarana komunikasi”, dan (-leukin) “berasal dari fakta bahwa
banyak dari protein yang diproduksi oleh leukosit dan bertindak
atas leukosit”. Interleukin diproduksi oleh berbagai sel tubuh.
Fungsi dari sistem kekebalan tubuh tergantung di bagian besar
padainterleukin, dan jarang kekurangan dari sejumlah dari
mereka telah dijelaskan, lengkap dengan penyakit autoimun atau
defisiensi imun. Mayoritas interleukin disintesis oleh helper CD4+
T lymphocytes, serta melalui monosit, makrofag, dan sel endotel.
Interleukin mempromosikan pengembangan dan diferensiasi T, B,
dan sel-sel hematopoietik.

Proses terjadinya penyakit dan berbagau reaksi inflamasi tubuh


tergantung dari interaksi yang terdapat diantara virus atau bakteri dan
sel yang terdapat pada sistemimmune. Interaksi ini diperantarai oleh
sitokin dan kemokin yang diproduksi oleh sel asal atau juga sel pendatang
yang terdapat pada daerah keradangan. Sel yang menghasilkan sitokin
adalah macrophage/monocyt, dendritic sel, limposit,neutropil, sel
endothelial dan fibroblast .Sitokin adalah suatu sentral patogenesa yang
akan meningkat jumlahnya bila terdapat suatu penyakit.sitokin adalah
protein larut , ia adalah mediator yang dihasilkan oleh sel dalam suatu
reaksi radang atau imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara sel
sel untukmengatur respon setempat dan kadang kadang juga secara
sistemik.Sitokin mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui
pengaturan pertumbuhan,mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel sel
lainnya.

Sitokin adalah sentral patogenesa yang akan meningkat jumlahnya bila


terdapatsuatu penyakit. Sitokin adalah protein larut , ia adalah mediator
peptide yang dihasilkan oleh seldalam suatu reaksi radang atau
imunologik , sitokin bereaksi pada penyembuhan host akibat cedera dan
berfungsi sebagai isyarat antara sel sel untuk mengaturrespon setempat
dan kadang kadang juga secara sistemik. Sitokin yang dihasilkan oleh
limfosit disebut dengan limfokin dan yang diproduksioleh macrophage
atau monosit disebut dengan monokin. Dalam fungsinya sebagaisignal
interseluler, sitokin mengatur respon inflamasi local dan sistemik.
Umumnya sitokin bertindak sebagai parakrin ( secara local dekat dengan
sel yangmemproduksinya ) atau secara autokrin yaitu langsung bereaksi
pada sel yang memproduksinya. Sitokin memodulasi reaksi pejamu
terhadap antigen asing atau agentpenyebab cedera dengan cara
mengatur penyembuhan. Mobilitas dan diferensiasileukosit beserta sel
selnya. Interaksi yang komplek antara limfosit, sel radang danelemen
seluler lainnya didalam jaringan juga dimediatori oleh sitokin.Sitokin
membantu dalam regulasi dan perkembangan sel sel imun efektor,
komunikasi antarsel atau langsung sebagai efektor. Umumnya sitokin
disintesa dan disekeresikan dalam bentuk peptide atauglikoprotein
dengan BM ( berat molekul ) rendah.

Aktifitas sitokin yang sangat spesifik, memudahkan dalam pendeteksian


dan identifikasinya, terutama dengan perkembangan tehnologi sekarang
ini.Beberapa sitokin diberi nama sesuai dengan aktifitas biologiknya,
misal; macrophace activation factor ( MAF), macrophage migration
inhibiting factor ( MIF). Leukositderived chemotactic factor
(CTX),limpotoxin ( LT), dan osteoclast activating factor( OAF).

Berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, sitokin dibedakan dalam


monokinsebagai hasil dari monosit atau macrophage dan limfokin sebagai
hasil dari limposit. Interleukin adalah sitokin proinflamasi yang berasal
dari sel T dan diproduksi utamaoleh sel dengan fenotip Th1/Th0 tetapi
bukan pada sel dengan fenotipe Th2. Namun sebagian besar sitokin sudah
diubah namanya menjadi interleukin, sesuai dengan peranannya dalam
komunikasi antara leukosit.

Dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan yang demikian pesat


hingga saat ini interleukin telah diidentifikasi sebanyak 35 jenis interleukin
berdasarkan fungsi, sumber, Target Receptors dan target cells

Daftar Lengkap Interleukin,


Aspek Klinis dam Aspek
Biologisnya
 Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-
1α, IL-1ß dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi
sistem kekebalan dan respon peradangan. IL-1α dan IL-1ß masing-
masing memiliki berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2
deret yang sama yaitu 2q14, dan merupakan sitokina pleiotropik hasil
sekresi monosit dan makrofaga berupa prohormon, sebagai respon
saat sel mengalami cedera, oleh karena itu menginduksi apoptosis.
Interleukin-1 (IL-1) merupakan keluarga dari polipeptida dengan
berbagai kegiatan biologis. Setidaknya dua produk gen yang berbeda
telah dikloning, ada mungkin lebih. Keluarga IL-1 manusia memainkan
peran penting dalam patogenesis banyak penyakit dan fungsi sebagai
mediator kunci dari respon host terhadap tantangan infeksi, inflamasi,
dan imunologi yang berbeda. IL-1 Recombinant mouse (pI 5) dan
recombinant human (pI 7) yang digunakan untuk mengkonfirmasi
beberapa sifat biologis IL-1” s tetapi penyelidikan yang cukup besar
diperlukan sebelum kegiatan tertentu (unit biologis per miligram
protein) ditetapkan untuk setiap bentuk IL-1 human. Beberapa
kegiatan IL-1 biologis seperti induksi hati fase akut sintesis protein
telah dibuktikan dalam invertebrata dalam evolusi limfosit. IL-1 adalah
sangat inflamasi dan meningkatkan konsentrasi metabolit asam
arakidonat, terutama prostaglandin E2, di otak, otot, kondrosit, dan
fibroblas sinovial. Sintesis leukotrien juga terlibat dalam mekanisme
kerja pada jaringan tertentu. Kloning dan ekspresi gen IL-1 human
akan memperluas pemahaman kita tentang IL-1 dalam berbagai
penyakit melalui sistem deteksi peningkatan dan penggunaan probe
cDNA, pengembangan antagonis IL-1, serta penggunaan IL-1 sebagai
immunomodulator, saat ini sedang dipertimbangkan. Beberapa pakar
menganggap bahwa defisiensi genetik IL1A berperan dalam
reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1ß merupakan sitokina yang diiris
oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti proliferasi,
diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokina ini di dalam
sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas
yang memberikan rasa sakit.
 IL-1raIL-1ra adalah protein asam amino 152 yang berfungsi sebagai
inhibitor spesifik dari dua anggota fungsional lainnya dari family, IL-1α
dan IL-1β. Gen manusia untuk IL-1ra adalah lengan panjang dari
kromosom 2 dalam kedekatan terhadap gen untuk IL-1α dan IL-1β.
Fakta genetis mengindikasikan bahwa IL-1ramenyimpangdariIL-1 gen
leluhur sebagai kejadian awal duplikasi parsial pada evolusi
vertebrata. IL–1ra memnagi sekitar 26% sekuen asam amino
homologidengan IL–1b dan 19% homolog dengan IL–
1a. Sebuah struktur tiga-dimensi dariIL–1ra mirip dengan IL-1a dan IL–
1b dan ada sebagai rangkaian rantai β anti-paraleldiselenggarakan
dikonfigurasi barel β ketat.IL-1ra mengeblok aksi dari ligan fungsional
IL-1α dan IL-1β melalui inhibisi kompetitif pada tingkat reseptor IL-1.
IL-1ra mengikat dengan afinitas sama atau lebih besar dibanding
dengan IL-1α dan IL-1β ke reseptor IL-1 yang terikat membran tipe
I(80kd). IL-1ra tidak berikatan dengan afinitas tinggi ke reseptor IL-
1(68 kd) tipe 2.Setelah pengikatan IL-1 ke reseptornya, terjadi signal
intraseluler setelah kompleks heterodimer dibentuk antara reseptor
tipe 1 dan protein kedua esensial yang dikenal sebagai protein asesori
IL-1. IL-1ra akan berikatan dengan afinitas tinggi ke reseptor IL-1 tipe
1 namun gagagl untuk menggunakan protein asessory IL-1. Hal ini
menempati binding-site reseptor IL-1 yang terikat membran dan
mencegah aktivitas seluler oleh IL-1α atau IL-1β oleh inhibisi sterik.
 Interleukin-2, IL-2 (T Cell Growth Factor, TCGF, lymphokine)
adalah sejenis sitokina yang disebut hormon leukositotropik,yang
berperan sebagai stimulan dalam proliferasi sel B dan sel T.IL-2
ditelisik mempunyai fungsi yang serupa dengan IL-15.IL-2 berperan
dalam apoptosis sel T yang teraktivasi bukan oleh antigen,
hal ini penting untuk mencegah autoimunitas, sedangkan IL-15
berperan dalam pemeliharaan sel T memori.
 Interleukin-3, IL-3 (multi colony stimulating factor, MULTI-CSF,
MCGF, MGC79398,
MGC79399 adalah sebuah hormon berjenis sitokina dari kelompok inte
rleukin yang
mempunyai potensi untuk memicu proliferasi beragam sel
hematopoietik menjadi sel progenitor mieloid,
termasuk memicu proliferasi beragam sel mieloid seperti eritrosit,
megakariosit, granulosit, monosit dan sel dendritik. IL-3
berperan dalam pelbagai aktivitas selular, seperti perkembangan sel,
diferensiasi sel dan apoptosis, serta memiliki potensi neurotropik.
Umumnya IL-3 disekresi oleh sel T yang
teraktivasi sebagai respon imunitas untuk menstimulasi lebih banyak
sel T dari sumsum tulang.
 Interleukin-4, IL-4 (BSF1, BCGF1, BCGF-1, MGC79402)
adalah sitokina pleiotropik yang disekresi oleh sel T yang
telah teraktivasi menjadi sel TH2, bersama-sama dengan IL-5 dan IL-
13.IL-4 berperan dominan dalam sistem kekebalan dan
merupakan faktor yang
penting dalam perkembangan hipersensitivitas,dengan fungsi selular
yang banyak tumpang-tindih dengan IL-13. IL-4 adalah sitokin
pleiotropik tinggi yang mampu untuk mempengaruhi diferensiasi sel
Th. Sekresi awal dari IL-4 mengakibatkan polarisasi dari diferensiasi
sel Th ke arah sel yang menyerupai Th2. Sel tipe Th2 mensekresikan
IL-4nya sendiri, dan diikuti produksi autokrin dari IL-4 yang
mendukung proliferasi sel. Sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-10
mengakibatkan supresi dari respon Th1 oleh penurunan regulasi
produksi dari IL-12 yang diturunkan dari makrofag dan menghambat
diferensiasi dari sel tipe Th-1.IL-4 adalah glycoprotein yang diproduksi
oleh sel Th2 matang dan sel dari sel mast atau basofil. IL-4
mengendalikan respon Th-2, memediasi perekrutan dan aktivasi dari
sel mast, dan menstimulasi produksi antibodi IgE melalui diferensiasi
dari sel B ke sel yang mensekresi IgE. IL-4 telah diketahui
memiliki efek penghambatan padaekspresi dan
pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin ini mampu menghambat atau
menekan sitokin yang berasal dari monosit, termasuk IL-1, TNF-a, IL-
6, IL-8, danMacrophage Inflammatory Protein (MIP)-1a. Sitokin ini juga
telah diketahui untuk menekan aktivitas
sitotoksik makrofag, membunuh parasit, dan produksi nitric oxide
yang diturunkan dari makrofag. Berkebalikan dengan efek inhibisi
pada produksi sitokin proinflamasi, ini menstimulasi sintesis dari
inhibitor sitokin IL-1ra.Efek imunologi dari IL-4 pada keadaaan infeksi
bakteri sangat kompleks dan belum dipahami dengan sempurna. IL-4
terbukti meningkatkan pembersihanPseudomonas Aeruginosa dari
jaringan paru pada model eksperimen dari bakteri pneumoni Gram
Negatif. Pada model infeksi bakteri gram positif, IL-4 ditemukan
memiliki aktivitas seperti faktor pertumbuhan untuk Staphylococcus
aureus,berakibat pada infeksi sistemik dan peningkatan kematian dari
sepsi bakteri. Peranan dari IL-4 pada keberadaan dari infeksi sistemik
belum cukup diketahui dan akan memerlukan investigasi klinik
tambahan.IL-4 dapat mempengaruhi keragaman dari struktur sel. Hal
ini dapat mempotensiasi proliferasi endotelium vaskular danfibroblas
kulit namun mengakibatkan penurunan proliferasi astrosit manusia
dewasa dan sel otot polos vaskular. Selain itu, IL-4 menginduksi
respon sitotoksikkuat terhadap tumor. Dalam sebuah penelitian
terhadap 63 pasien dengan stadiumIV Non-small cell lung cancer, data
pada pengobatan dengan rekombinan IL-4manusia tampaknya
menunjukkan kemungkinan respon terkait dosis.37 IL-4 dapat berperan
dengan menstabilkan penyakit dan memodifikasi tingkat
pertumbuhantumor di samping untuk menginduksi penyusutan tumor
dan kematian sel tanpa menyebabkan efek samping berat, penelitian
ini menunjukkan menunjukkan peranajuvan untuk IL-4 dalam
pengobatan penyakit ganas.
 Interleukin-5, IL-5 (eosinophil colony-stimulating factor, EDF, TRF)
adalah sitokina sekresi sel TH yang
berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel B dan eosinofil.
Peningkatan rasio IL-5 dilaporkan terkait dengan asma dan
sindrom hipereosinofilik, seperti eosinofilia. Tingginya rasio IL-5
juga ditemukan pada penderita penyakit Graves dan tiroiditis
Hashimoto.
 Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell
differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2,
Hepatocyte stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-
6) adalah sitokina yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma
darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan
menginduksi respon peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6
RA, menginduksi maturasi sel B.dan pencerap gp130. IL-6 telah lama
dianggap sebagaiproinflamasi sitokin yang diinduksi oleh LPS bersama
dengan TNF-a dan IL-1. IL-6sering digunakan sebagai penanda untuk
aktivasi sistemik dari sitokin proinflamasi.Seperti
banyak sitokin lainnya, IL-6 memiliki kedua sifat, baik proinflamasi,
maupunanti-inflamasi. Meskipun IL-6 adalah
penginduksi kuat dari respon protein fase akut,ia juga memiliki sifat
anti-inflamasi.39 Bukti terbaru yang dihasilkan dari tikus yang
dihilangkan IL-6 telah menunjukkan bahwa IL-6, seperti anggota lain
dari family ligan reseptor gp130, terutama bertindak sebagai
suatu sitokin anti–inflamasi.Setelah terikat ke reseptor α spesifik,
kompleks IL-6 dengan sinyal ubiquitin unit transduksi sinyal gp130. IL-
6 termasuk dalam famili dari ligan reseptor gp130 yang meliputi IL-
11, faktor inhibisi leukemia, ciliary neurotrophic factor, oncostatin M,
dan cardiotrophin-1. Karena molekul-molekul peptida menggunakan
reseptorseluler umum, mereka berbagi banyak gambaran fisiologis
yang diakibatkan oleh IL-6. IL-6 menurunkan sintesis IL-1 dan TNF-
α. IL-6 melemahkan sintesis dari sitokinproinflamasi ketika memiliki
sedikit efek pada sintesis dari sitokin anti-inflamasiseperti IL-
10 dan Transforming Growth Factor-β (TGF–β). IL-
6 menginduksi sintesis dari glukokortikoid dan meningkatkan
sintesis IL-1ra dan mengeluarkan reseptorTNF larut pada sukarelawan
manusia. Pada saat yang sama, IL-6 menghambat
produksi dari sitokin proinflamasi seperti GM–CSF, IFN–γ, dan MIP–
2. Hasil dari efekimunologi ini menempatkan IL-6 diantara kelompok
sitokin anti-inflamasi.
 Interleukin-8, IL
8adalah hormon golongan kemokina berupa polipeptida dengan mass
a sekitar 8-10 kDa yang digunakan untuk proses dasar,
pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan jaringan. Ciri khas IL-8
terdapat pada dua residu sisteina dekat N-terminus yang
disekat oleh sebuah asam amino. Tidak seperti sitokina umumnya, IL-
8 bukan merupakan glikoprotein. IL-8
diproduksi oleh berbagai macam sel, termasuk monosit, neutrofil, sel
T, fibroblas, sel endotelial dan sel epitelial, setelah terpapar antigen
atau stimulan radang (ischemia dan trauma). Dua bentuk IL-8 (77
CXC dan 72 CXC) merupakan sekresi neutrofil pada saat teraktivasi.
Produksi IL-8 yang
berlebihan selalu dikaitkan dengan penyakit peradangan,
seperti asma, leprosy,psoriasis dll. IL-8
juga dapat menginduksi perkembangan tumor
sebagai salah satu efek angiogenik yang ditimbulkan,
selain vaskularisasi. Dari beberapa kemokina yang
memicu kemotaksis neutrofil, IL-8 merupakanchemoattractant yang
terkuat. Sesaat setelah terpicu, neutrofil menjadi aktif dan
berubah bentuk oleh karena aktivasi integrin dan sitoskeleton aktin.
Basofil, sel T, monosit dan eosinofil
juga menunjukkan respon kemotaktik terhadap IL-8
dengan terpicunya aktivasi integrin yang
dibutuhkan untuk adhesi dengan sel endotelial pada saat migrasi.
 Interleukin-10 (human cytokine synthesis inhibitory factor, TGIF,
IL10A, MGC126450, MGC126451, IL-10, CSIF) adalah sitokina yang
banyak disekresi oleh monosit, yang
memiliki efek pleiotrofik pada sistem kekebalan dan peradangan.
Pertama kali IL-10
dikenal karena kemampuannya untuk menghambat aktivasi dan
fungsi efektor dari sel T, monosit dan makrofaga.Fungsi rutin IL-10
tampaknya terutama menghambat atau meniadakan respon peradang
an, selain mengendalikan perkembangan dan diferensiasi sel B, sel
NK, sel TH, sel T CD8, mastosit, granulosit, sel dendritik,
keratinosit dan sel endotelial, dan bersifat imunosupresif terhadap sel
mieloid. IL-10 adalah sitokin anti-inflamasi dalam respon imun
manusia. Sitokin ini adalah inhibitor kuat dari sitokin Th1, termasuk IL-
2 dan IFN-γ. Aktivitas ini berperan untuk penunjukkan awal sebagai
faktor inhibisi sintesis sitokin.44-46 Selain aktivitasnya sebagai sitokin
linfosit Th2, IL-10 adalah juga merupakan deactivator kuat dari
sintesis sitokin pro inflamasi monosit/makrofag. IL-10 adalah terutama
disintesis oleh sel Th2 CD41, monosit, dan sel-sel B dan bersirkulasi
sebagai homodimer yang terdiri dari dua erat dikemas protein 160-
asam amino proteins. Setelah melibatkan reseptor sel 110-kd yang
berafinitas tinggi, IL-10 menghambat TNF-α yang dihasilkan
monosit/makrofag, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, granulocyte colony-
stimulating faktor, MIP-1α, dan MIP-2α. IL-10 menghambat ekspresi
permukaan sel molekul Major Histocompatibility Complex kelas II,
molekul aksesori B7, dan pengenalan LPS dan molekul sinyal CD14.
Hal ini juga menghambat produksi sitokin oleh neutrofil dan sel
Natural Killer. IL-10 menghambat translokasi nukleus Nuclear Factor
kB (NF-kB) setelah LPS stimulation dan meningkatkan degradasi dari
messenger RNA untuk cytokines proinflamasi. Selain aktivitas
tersebut, IL-10 melemahkan ekspresi permukaan dari reseptor TNF
dan meningkatkan pelepasan reseptor TNF ke dalam sirkulasi
sistemik.IL-10 mudahterukur dalam sirkulasi pada pasien
dengan penyakit sistemik dan berbagai kondisi inflamasi. IL-10
harus tersedia dalam konsentrasi yang memadai untuk memiliki
pengaruh fisiologis pada respon host terhadap inflamasi sistemik.
Telah dibuktikan bahwa pasien yang mengekspresikan tingkat tinggi
dari IL-10 dan mengurangi TNF-α lebih mungkin untuk meninggal
akibat meningococcemia dan berbagai infeksi komunitas
lainnya.Respon IL-10 yang tidak memadai secara fisiologis setelah
injuri sistemik mungkin juga memiliki konsekuensi yang
merugikan. Konsentrasi paru yang rendah dari IL-10 pada pasien
dengan Acute Lung Injury menunjukkan bahwaARDS lebih
mungkin untuk dikembangkan. Administrasi IL-10 pada model
hewaneksperimen endotoksemia meningkatkan survival.50 Relawan
manusia yangdiberikan IL-10 setelah kesulitan endotoxin menderita
lebih sedikit gejala sistemik,respon neutrofil, dan produksi sitokin
dibandingkan subjek kontrol yang diber placebo. Selain itu, tikus yang
memiliki delesi genetik dari gen IL-10 lebih rentan terhadap shock
yang diinduksi endotoksin dibanding tikus normal. IL-10 pada
umumnya melindungi host dari inflamasi sistemik setelahinjuri yang
diinduksi toksin, tetapi membuat host rentan untuk mati dari
infeksi luar biasa dalam berbagai studi eksperimental.60,61 Pengamatan
ini harus dipertimbangkan ketika memberikan sitokin anti-inflamasi
pada kedokteran klinik.Tikus yang mengalamai knockout IL-1- secara
spontan berkembang menjadi Enteritis Inflamasi Kronik yang
menyerupai Inflammatory bowel disease pada manusia. Hal ini
menunjukkanbahwa konsentrasi endogen IL-10 penting dalam
membatasi respon inflamasi terhadap bakteri terkait usus. Untuk
alasan ini, IL-10 sedang dalam uji klinis sebagaiterapi anti–inflamasi
untuk Inflammatory bowel disease di antara indikasi potensi lainnya

 Interleukin 11 IL-11 adalah sitokin peptida nonglycosylated 178-


asam amino yang awalnya terisolasi dari hematopoietik
microenvironment. IL-11 memiliki banyak sifat IL-6, termasuk
penggunaan umum dari kompleks ligan reseptor gp130sebagai jalur
sinyal transduksi. IL-11 berikatan dengan reseptor α IL-11 yang
unikdan kemudian kompleks dengan membran sel gp130 dari sel
target. IL-11 pada awalnya digambarkan sebagai faktor
pertumbuhan hematopoietik dengan aktivitaskhusus
dalam stimulasi dari thrombopoiesis. IL-11 baru-baru ini telah
disetujuiuntuk penggunaan klinis sebagai agen restoratif
trombosit setelah supresi sumsum tulang akibat induksi
kemoterapi. Hal ini telah menjadi jelas bahwa IL-11 memilikiaktivitas
imunoregulator pentingyang terpisah dari faktor
pertumbuhanhematopoietik kuat. IL-11 telah terbukti untuk
melemahkan IL-1 dan sintesis TNFdari makrofag dengan
meningkatkan regulasi inhibisi sintesis NF–
kB dalammacrophage/monocyte cell line. Penghambatan NF-
kB mencegah NF-kB dari translokasi ke inti dimana fungsi NF-kB
sebagai aktivator transkripsi untuk sitokinproinflamasi. IL-11 juga
telah dibuktikan untuk menghambat sintesis dari IFN–γ dan IL-
2 oleh sel T CD4+. Fungsi IL-11 sebagai sitokin tipe Th2, dengan
induksi IL-4 danpenghambatan sitokin tipe Th1. IL-11 tidak
menginduksi sintesis IL-10 atau TGF–β.Hal ini mengindikasikan bahwa
IL-11 adalah inhibitor langsung dari limfosit Th1 dan tidak beraktivitas
secara tidak langsung melalui induksi IL-10. IL-11 jarang terukur
dalam sirkulasi sistemik tetapi telah terdeteksi dan aktif secara
fisiologis di daerah lokal peradangan, seperti arthritis
inflamasi atau inflammatory bowel disease. IL-11saat ini sedang
dalam uji klinis sebagai imunomodulator untuk sejumlah inidikasi
klinis yang berpotensi
 Interleukin 12, IL-12 adalah sejenis sitokina yang
biasanya disekresi oleh DC, MAC dan sel B limfoblastoid (NC-37),
sebagai respon terhadap stimulasi antigen. IL-12
disebut juga sebagai faktor stimulan sel T,
karena berperan dalam diferensiasi sel T CD4 menjadi sel TH0 yang
kemudian berkembang menjadi sel TH1. Sel T efektor yang
memproduksi IL-12 disebut sel T CD30. IL-12
juga stimulan bagi sitokina IFN-γ dan TNF-α. Stimulasi IFN-
γ dilakukan dengan mengurangi efek sitokina IL-4 yang
menjadi regulator IFN-γ. Lebih lanjut, produksi IFN-
γ akan meningkatkan kadar IP-10 yang bersifat anti-
angiogenik (menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru).
 Interleukin-13, IL-13 adalah sebuah protein
dengan fungsi sitokina yang disekresi berbagai sel,
tetapi terutama oleh sel TH2. Berbagai efek biologis IL-13,
seperti halnya IL-4,
terkait dengan sebuah faktor transkripsi yaitu STAT6. IL-13, sebuah
modulator in vitro dari monosit manusia dan fungsi sel
B, yang disekresikan oleh Limfosit T yang teraktivasi. Sitokin ini
adalah protein nonglikosilasi 132-asam amino dengan berat molekul
sekitar 10 kd. Gen IL-13 manusia telah dipetakan di dekat gen IL-
4 sepanjang 4.5–kilobase urutan DNA pada kromosom 5q31,
menunjukkan asal-usul yang umum. IL-13 dan IL-
4 memiliki reseptor seluler umum (Reseptor tipe 1 IL-4), dan
ini berperan untuk banyaknya persamaan antara keduasitokin anti-
inflamasi ini. IL-4 dan IL-13 hanya berbagi 20% sampai
25% homologiasam amino utama, tetapi regio α-heliks utama
yang sangat penting untuk aktivitasmereka
sangat homologous.Perbedaan fungsional utama antara IL-4 dan IL-
13terletak pada efek mereka pada sel T. IL-4 adalah mediator yang
dominan pada diferensiasi, proliferasi, dan aktivitas sel Th2,
sedangkan IL-13 memiliki efekminimal pada fungsi sel-T.IL-13 dapat
menurunkan produksi TNF, IL-1, IL-8, dan MIP-1α oleh monosit dan
mempunyai efek mendalam pada ekspresi molekul permukaan pada
monosit dan makrofag. IL-13 meningkatkan ekspresi permukaan sel
dari β2 integrin dan antigen Major Histocompatibility Complex (MHC)
kelas II dan menurunkan ekspresi CD14 dan reseptor Fcγ. IL-13
menghambat aktivasi NF-kB pada makrofag dan melindungi dari
kematian yang diinduksi LPS pada hewan models.IL-13 menekanLung
Inflammatory Injury setelah deposisi kompleks
imunIgG. Administrasi eksogen dari sitokin anti-inflamasike
dalamparu-parutikus setelah deposisi kompleks
imunIgGmengungkapkan bahwa aktivitas inhibitor terbesar
ditunjukkan oleh IL-13 dan IL-10, diikuti oleh IL-4 dan IL-6. Peran
potensial dariIL-13di kedokteran klinismasih harusdidefinisikan.

Daftar Lengkap Interleukins:


Nam Target
a receptor Target
Sumber s cells Fungsi
T helper cells co-stimulation
B cells maturation & proliferation
NK cells activation [
macrophages, B cells, macrophages, inflammation small amounts
monocytes,dendritic CD121a/IL1R1, endothelium, induce acute phase reaction, large
IL-1 cells CD121b/IL1R2 other amounts induce fever
stimulates growth and
differentiation of T cell response.
Can be used in immunotherapy to
activatedT cells treat cancer or suppressed for
and B cells, NK transplant patients. Has also been
CD25/IL2RA, cells, used in clinical trials (ESPIRIT.
CD122/IL2RB, macrophages, Stalwart) to raise CD4 counts in
IL-2 Th1-cells CD132/IL2RG oligodendrocytes HIV positive patients.
activated T helper differentiation and proliferation of
cells,[35] mast cells, NK hematopoietic myeloid progenitor cells to e.g.
cells, endothelium, CD123/IL3RA, stem cells erythrocytes, granulocytes
IL-3 eosinophils CD131/IL3RB mast cells growth and histamine release
proliferation and differentiation,
Th2 cells, just
IgG1 and IgE synthesis. Important
activated naive CD4+
activated B cells role in allergic response (IgE)
cell, memory CD4+
cells, mast cells, CD124/IL4R, T cells proliferation
IL-4 macrophages CD132/IL2RG endothelium
Th2 cells, mast cells, CD125/IL5RA, eosinophils production
IL-5 eosinophils CD131/IL3RB B cells differentiation, IgA production
activated B cells differentiation into plasma cells
plasma cells antibody secretion
hematopoietic
macrophages, stem cells differentiation
Th2 cells, B cells, induces acute phase reaction,
astrocytes, CD126/IL6RA, hematopoiesis, differentiation,
IL-6 endothelium CD130/IR6RB T cells, others inflammation
IL-7 Bone marrow CD127/IL7RA, pre/pro-B cell, differentiation and proliferation of
stromal cells and CD132/IL2RG pre/pro-T cell, NK lymphoid progenitor cells,
thymus stromal cells cells involved in B, T, and NK cell
survival, development, and
homeostasis, ↑proinflammatory
cytokines
macrophages,
lymphocytes, CXCR1/IL8RA, neutrophils,
IL-8 or epithelial cells, CXCR2/IL8RB/CD12 basophils,
CXCL8 endothelial cells 8 lymphocytes Neutrophil chemotaxis
Th2 cells, specifically Potentiates IgM, IgG, IgE,
IL-9 by CD4+ helper cells CD129/IL9R T cells, B cells stimulates mast cells
macrophages cytokine production
B cells activation
mast cells
monocytes, Th2 cells,
CD8+ T cells, mast inhibits Th1 cytokine production
cells, macrophages, B CD210/IL10RA, Th1 cells (IFN-γ, TNF-β, IL-2)
IL-10 cell subset CDW210B/IL10RB Th2 cells Stimulation
bone marrow acute phase protein production,
IL-11 bone marrow stroma IL11RA stroma osteoclast formation
differentiation into Cytotoxic T
activated [35] T cells with IL-2,[35] ↑ IFN-γ, TNF-α, ↓
dendritic cells, B cells, CD212/IL12RB1, cells, IL-10
IL-12 T cells, macrophages IR12RB2 NK cells ↑ IFN-γ, TNF-α
Stimulates growth and
differentiation of B cells (IgE),
inhibits TH1-cells and the
production of macrophage
activated Th2 cells, TH2-cells, B cells, inflammatory cytokines (e.g. IL-1,
IL-13 mast cells, NK cells IL13R macrophages IL-6), ↓ IL-8, IL-10, IL-12
controls the growth and
T cells and certain proliferation of B cells, inhibits Ig
IL-14 malignant B cells activated B cells secretion
mononuclear
phagocytes (and some
other cells), especially
macrophages
following infection by T cells, activated Induces production of Natural
IL-15 virus(es) IL15RA B cells killer cells
lymphocytes,
epithelial cells,
eosinophils, CD8+ T CD4+ T cells (Th-
IL-16 cells CD4 cells) CD4+ chemoattractant
epithelium,
T helper 17 cells CDw217/IL17RA, endothelium, osteoclastogenesis, angiogenesis,
IL-17 (Th17) IL17RB other ↑ inflammatory cytokines
Induces production of IFNγ, ↑ NK
IL-18 macrophages CDw218a/IL18R1 Th1 cells, NK cells cell activity
IL-19 – IL20R –
regulates proliferation and
IL-20 – IL20R differentiation of keratinocytes
costimulates activation and
proliferation of CD8+ T cells,
augment NK cytotoxicity,
augments CD40-driven B cell
proliferation, differentiation and
activated T helper All lymphocytes, isotype switching, promotes
IL-21 cells, NKT cells IL21R dendritic cells differentiation of Th17 cells
Activates STAT1 and STAT3 and
increases production of acute
phase proteins such as serum
amyloid A, Alpha 1-
antichymotrypsin and
IL-22 – IL22R haptoglobin in hepatoma cell lines
Increases angiogenesis but
IL-23 – IL23R reduces CD8 T-cell infiltration
Plays important roles in tumor
suppression, wound healing and
psoriasis by influencing cell
IL-24 – IL20R survival.
IL-25 – LY6E Induces the production IL-4, IL-5
and IL-13, which stimulate
eosinophil expansion
Enhances secretion of IL-10 and
IL-8 and cell surface expression of
IL-26 – IL20R1 CD54 on epithelial cells
Regulates the activity of B
IL-27 – IL27RA lymphocyte and T lymphocytes
Plays a role in immune defense
IL-28 – IL28R against viruses
Plays a role in host defenses
IL-29 – against microbes
IL-30 – Forms one chain of IL-27
May play a role in inflammation of
IL-31 – IL31RA the skin
Induces monocytes and
macrophages to secrete TNF-α, IL-
IL-32 – 8 and CXCL2
Induces helper T cells to produce
IL-33 – type 2 cytokine
Suppression of T helper cell
IL-35 regulatory T cells activation
IL-36 – Regulates DC and T cell responses

IMUNOLOGI DASAR: SITOKIN DAN


ASPEK KLINISNYA
Diposting pada Maret 18, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Sitokin adalah protein yang dibuat oleh sel-sel yang
mempengaruhi perilaku sel-sel lain. Sitokin bertindak pada
reseptor sitokin tertentu dalam sel yang mereka pengaruhi.
Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan
pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. Sitokin adalah
salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh sel-sel
tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal
antara sel-sel lokal, dan dengan demikian memiliki efek pada sel-
sel lain Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap stimulus
sistem imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor
membran spesifik, yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui
second messenger (tirosin kinase), untuk mengubah aktivitasnya
(ekspresi gen).Respon-respon terhadap sitokin diantaranya
meningkatkan atau menurunkan ekspresi protein-protein
membran termasuk reseptor-reseptor sitokin, proliferasi, dan
sekresi molekul-molekul efektor. Sitokin bisa beraksi pada sel-sel
yang mensekresinya atau aksi autokrin, pada sel-sel terdekat dari
sitokin disekresi atau aksi parakrin. Sitokin bisa juga beraksi
secara sinergis dua atau lebih sitokin beraksi secara bersama-
sama atau secara antagonis sitokin menyebabkan aktivitas yang
berlawanan.

Sitokin dibagi dalam sitokin imunologi yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β), dan tipe
2 (IL-4, IL-10, IL- 13), yang mendukung respon antibodi. Fokus utama yang
menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari dua-set sub
cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari pada yang lain.
Disregulasi kecenderungan ini masih dalam studi intensif atas peran yang
mungkin dalam patogenesis gangguan autoimun. Beberapa sitokin
inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin, sendiri
memicu pelepasan sitokin lainnya dan menyebabkan stres oksidan juga
meningkat, membuat mereka penting dalam inflamasi kronis. Disregulasi
sitokin-sitokin baru-baru ini telah dibagi menjadi dua kelompok yaitu ada
bersifat memacu dan menghambat. Bersifat memacu yaitu sesuai dengan
populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: sel T helper 1 atau 2.
Kategori kedua sitokin memiliki peran dalam pencegahan berlebihan
tanggapan kekebalan pro-inflamasi, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk
beberapa nama). Sitokin merupakan sinyal penting yang dihasilkan oleh
sel-sel tubuh untuk dapat mengaktifkan kerja sel yang lain, sehingga jenis
dari sitokin yang disekresikan oleh sel akan memberikan efek pada sel
targetnya. Beberapa penyakit autoimun ditandai dengan perubahan
komposisi Th1 vs Th2 dan keseimbangan IL-12/TNF-α vs IL-10. Pada
beberapa penyakit seperti RA, MS, DM tipe 1, penyakit tiroid autoimun,
dan Crohn’s, keseimbangan bergeser menuju Th1 (IL-12 & TNF-α),
sedangkan aktifitas Th2 (IL-10) berkurang. Pada SLE berkaitan dengan
pergeseran ke Th2 (IL-10), sedangkan produksi IL-12 dan TNF-α oleh Th1
sangat kurang. pada gambar berikut ini menjelaskan pada penyakit DM
tipe 1 yang diperantarai oleh sitokin yang dihasilkan sampai terjadinya
kerusakan sel-sel beta pakreas.

Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat-zat yang dikeluarkan oleh sel-
sel yang spesifik sistem kekebalan yang membawa sinyal lokal antara sel,
dan dengan demikian memiliki efek pada sel-sel lain. Sitikin adalah
kategori yang menandakan molekul yang digunakan secara luas dalam
komunikasi selular berupa protein, peptida atau glikoprotein. Istilah sitokin
meliputi keluarga besar dan beragam regulator polipeptida yang
dihasilkan secara luas di seluruh tubuh oleh sel asal embryological yang
beragam.

Respon-respon terhadap sitokin diantaranya meningkatkan atau


menurunkan ekspresi protein-protein membran (termasuk
reseptor-reseptor sitokin), proliferasi, dan sekresi molekul-molekul
efektor.Sitokin bisa beraksi pada sel-sel yang mensekresinya (aksi
autokrin), pada sel-sel terdekat dari sitokin disekresi (aksi
parakrin). Sitokin bisa juga beraksi secara sinergis (dua atau lebih
sitokin beraksi secara bersama-sama) atau secara antagonis
(sitokin menyebabkan aktivitas yang berlawanan).

Pada dasarnya, istilah “sitokin” telah digunakan untuk merujuk kepada


agen immunomodulating (interleukin interferon, dll.). Berisi data yang
bertentangan tentang apa yang disebut sitokin dan apa yang disebut
hormon. Anatomi dan struktural perbedaan antara sitokin dan klasik
hormon yang memudar seperti kita belajar lebih banyak tentang masing-
masing. Klasik protein hormon yang beredar dalam konsentrasi nanomolar
(10) yang biasanya bervariasi oleh kurang dari satu urutan besarnya.
Sebaliknya, beberapa sitokin seperti IL-6 beredar di picomolar konsentrasi
yang dapat meningkatkan hingga 1,000-fold selama trauma atau infeksi.
Distribusi luas sumber selular sitokin mungkin fitur yang membedakan
mereka dari hormon. Hampir semua tercampur sel, tapi terutama
endo/epitel sel dan makrofaga adalah tempat produksi IL-1, IL-6, dan TNF-
α. Sebaliknya, hormon klasik, seperti insulin, dikeluarkan dari kelenjar
(misalnya, pankreas). Terminologi saat ini merujuk sitokin sebagai agen
immunomodulating. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan di daerah
ini mendefinisikan sitokin dan hormon.

Sitokin masing-masing memiliki reseptor sel-permukaan yang cocok.


Kaskade sinyal intraselular berikutnya kemudian mengubah fungsi sel. Ini
mungkin termasuk upregulation dan / atau downregulation dari beberapa
gen dan faktor-faktor transkripsi mereka, sehingga dalam produksi sitokin
lainnya, peningkatan jumlah reseptor permukaan untuk molekul lain, atau
penindasan efek mereka sendiri dengan inhibisi umpan balik.
Sitokin Anti–inflamasi adalah
serangkaian molekul immunoregulator yang
mengontrol respon sitokin proinflamasi. Sitokin bekerja dalam kaitan
dengan inhibitorsitokin spesifik dan reseptor sitokin yang larut untuk
mengatur respon kekebalan tubuh manusia. Peran fisiologisnya dalam
peradangan dan peran patologis pada
kondisiinflamasi sistemik semakin diketahui. Sitokin anti-
inflamasi mayor termasuk antagonis reseptor interleukin (IL) -1, IL-4, IL-
6, IL-10, IL-11, dan IL-13. Reseptor Sitokin spesifikuntuk IL-1, Tumor
Necrosis Factor–α, dan IL-18 juga berfungsi sebagai inhibitor sitokinpro
inflamasi. Sifat anti–inflamasi sitokin dan
reseptor sitokin yang larut adalah fokusdari kajian
ini. Penggunaan terapi saat ini dan masa depan dari anti-
inflamasi sitokinjuga dikaji.
Respon Imun manusia diatur oleh jaringan yang sangat
kompleks dan rumit darielemen kontrol. Yang menonjol
diantara komponen-komponen regulasi ini adalahsitokin anti-inflamasi dan
inhibitor sitokin spesifik. Dalam
kondisi fisiologis, sitokininhibitor ini berfungsi sebagai
elemen imunomodulator yang membatasi efek yang berpotensi menjadi
injuri dari reaksi inflamasi berkelanjutan atau yang berlebihan.Dalam
kondisi patologis, mediator anti-inflamasi ini dapat baik (1) memberikan
kontrol yang kurang atas aktivitas proinflamasi dalam penyakit
yang dimediasi imun atau (2)kompensasi berlebihan dan
menghambat respon imun, menjadikan host beresiko terhadap infeksi
sistemik
Keseimbangan dinamis dan berubah terus terjadi
antara sitokin proinflamasi dan komponen anti–inflamasi dari sistem imun
manusia. Regulasi inflamasi oleh sitokin
daninhibitor sitokin bersifat rumit oleh fakta bahwa
sistem imun memiliki jalur berlebihan dengan beberapa elemen yang
memiliki efek fisiologis yang sama. Selain itu, dengan
pengecualian potensi dari interleukin (IL) -1 receptor antagonist (IL–1ra),
semua sitokinanti-inflamasi memiliki setidaknya beberapa sifat
proinflamasi juga. Efek murni darisitokin tergantung
pada waktu pelepasan sitokin, lingkungan lokal di mana ia
bekerja,keberadaan elemen kompetitor atau sinergis,
kepadatan reseptor sitokin, dan responjaringan
terhadap setiap sitokin. Inilah yang membuat penelitian mengenai sifat
biologissitokin yang begitu mempesona.
Gangguan dari jaringan regulasi sitokin oleh genetik, lingkungan,
atau mikrobatelah memiliki konsekuensi yang sangat merusak. Sitokin
anti-inflamasi mayor dan peran spesifik mereka pada penyakit
manusia akan menjadi fokus dari tinjauan singkat ini. Inhibitor Sitokin
ini telah terbukti efektif dalam berbagai kondisi klinis yang ditandaioleh
peradangan yang berlebihan. Potensi terapinya digunakan
dalam berbagai keadaan inflamasi lainnya juga akan dijelaskan.

Prinsip sitokin anti-inflamasi dan inhibitor sitokin dijelaskan dalam tabel


1,2. Definisi fungsional dari Sitokin antiinflamasi pada ulasan ini adalah
kemampuan dari sitokin untuk menghambat sintesis IL-1, Tumor Necrosis
Factor (TNF), dan sitokin proinflamasi utama lainnya.

Limfosit T helper CD4+ dapat diferensiasi menjadi subset dikotom yang


fungsional dari sel Th tergantung pada lingkungan mikros dari sel. Sel
Helper CD4+ yang memproduksi sitokin ke dalam sel tipe Th1 dan Th2
pada basis sitokin yang diproduksi.9,10 Sistem fungsional serupa baru-baru
ini dideskripsikan dengan sel T sitotoksik CD8+(Sel T1 CD8+ dan T2
CD8+).

Sel tipe Th1 mensekresikan IL-2, TNF-α, dan interferon-γ dengan kadar
tinggi. Aktivitas ini mengaktivasi makrofag dan sel promotor yang
dimediasi respon imun melawan patogen intraseluler yang invasif. Sel tipe
Th2 memproduksi berbagai macam sitokin anti-inflamasi, termasuk IL-4,
IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Keduanya sel TH1 dan Th2 memproduksi lebih
sedikit jumlah dari TNF-α, Granulocyte-Macrophage Colony-stimulating
Factor(GM-CSF), dan IL-3. Sitokin tipe Th2 meningkatkan respon imun
humoral melawan patogen ekstraseluler. Penghambatan saling silang
antara sitokin tipe Th-1 dan Th-2 mempolarisasi fungsional respon sel Th
ke dalam sel yang memediasi respon imun humoral. Regulasi dari aktivasi
sel T oleh sitokin anti-inflamasi adalah elemen kontrol awal yang krusial
pada proses ini (Gambar 1)

Efek dari sitokin tertentu pada sel yang diberikan tergantung pada sitokin,
kelimpahan ekstraseluler nya, kehadiran dan kelimpahan dari reseptor
komplementer pada permukaan sel, dan sinyal hilir diaktifkan oleh
reseptor mengikat; dua faktor terakhir dapat bervariasi menurut jenis sel.
Sitokin adalah ditandai dengan cukup “redundansi”, dalam banyak sitokin
muncul untuk berbagi fungsi yang sama.

Generalisasi fungsi sitokin sangat sulit dijabarkan. Meskipun demikian,


dampak klinisnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

 autokrin: jika sitokin yang bekerja pada jenis yang sama sel yang
mengeluarkan.
 parakrin: jika target dibatasi untuk sel-sel dari tipe yang berbeda di
sekitar langsung sekresi sitokin.

Hal ini tampaknya menjadi paradoks yang mengikat sitokin antibodi


memiliki efek kekebalan yang lebih kuat daripada sitokin saja. Hal ini
dapat menyebabkan untuk menurunkan dosis terapeutik.

Sekresi berlebihan sitokin dapat memicu sindrom berbahaya yang dikenal


sebagai badai sitokin, ini mungkin telah menyebabkan efek samping yang
parah selama percobaan klinis dari TGN1412.

Klasifikasi Sel Sitokin

Sitokin adalah nama umum, nama yang lain diantaranya limfokin (sitokin
yang dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit),
kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interleukin (sitokin
yang dihasilkan oleh satu leukosit dan beraksi pada leukosit lainnya).
Sitokin berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, terbagi atas monokin
dan limfokin.

Makrofag sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell / APC),


mengekspresikan peptida protein Mayor Histocompatibility Complex
(MHC) klas II pada permukaan sel dan berikatan dengan reseptor sel T
(Tcr), sel T helper. Makrofag mensekresi Interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-8, IL-12,
dan TNF-α.

Pada sel T terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok sel Th1 memproduksi
Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ (IFN- γ) dan Limfotoksin (LT). Kelompok sel
Th2 memproduksi beberapa interleukin yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-10.

Klasifikasi Struktural
Homologi struktural telah mampu membedakan antara sebagian
sitokin yang tidak menunjukkan tingkat redundansi sehingga
mereka dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis:
 Keempat famili α-helix bundel sitokin Anggota memiliki struktur tiga
dimensi dengan empat bundel α-heliks. Famili ini dibagi menjadi tiga
sub-keluarga subfamily IL-2
1. subfamili interferon (IFN)
2. subfamili IL-10
 Yang pertama dari ketiga subfamili adalah yang terbesar. Hal
itu berisi beberapa non-imunologi sitokin termasuk eritropoietin
(EPO) dan thrombopoietin (TPO). Juga, empat bundel α-helix
sitokin dapat dikelompokkan menjadi sitokin rantai panjang dan
rantai pendek.
 Famili IL-1 yang primer termasuk IL-1 and IL-18
 Famili IL-17 , yang belum sepenuhnya ditandai, meskipun sitokin
anggota memiliki efek khusus dalam mempromosikan proliferasi T-sel
yang menyebabkan efek sitotoksik
Klasifikasi Fungsional
Sebuah klasifikasi yang terbukti lebih berguna dalam praktek klinis dan
eksperimental adalah pembagian sitokin imunologi ke orang-orang yang
meningkatkan respon imun seluler yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β, dll), dan tipe
2 (IL-4, IL-10, IL -13, dll) adalah yang mendukung respon antibodi.

Fokus utama yang menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari
dua sub-set cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari
lainnya. Disregulasi dari kecenderungan ini berperan dalam patogenesis
gangguan autoimun.

Beberapa Sitokin inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin sendiri memicu
pelepasan sitokin lainnya dan juga menyebabkan stres oksidan meningkat membuat sitokin
berperan penting dalam peradangan proses kronis.

Sitokin
Imun Selektif
dan Sel
Aktivitasnya penghasil Sel target Fungsi
GM-CSF Sel Th Sel-sel progenator Pertumbuhan dan
differensiasi monosit
dan DC
MonositMakrofagSel
IL-1α IL-1β – sel BDC Sel – sel Th co-stimulasi
Sel – sel B Maturasi dan proliferasi
Sel – sel NK Aktivasi
bervariasi Inflamasi, fase respon akut, demam
Pengaktifan sel T dan B, Pertumbuhan,
IL-2 Sel-sel Th1 sel-sel NK proliferasi,aktivasi
Sel-sel ThSel-sel Pertumbuhan dan
IL-3 NK Sel pokok differensiasi
Sel mast Pertumbuhan dan pelepasan histamin
Proliferasi dan
differensiasi lgG1 dan
IL-4 Sel-sel Th2 Pengaktifan Sel B sintesis Ig E
Makrofag MHC klas II
Sel-sel T Proliferasi
Proliferasi dan
differensiasi sintesis
IL-5 Sel-sel Th2 Pengaktifan sel B lgA
MonositMakrofagSel-
sel Th2Sel-sel Differensiasi sel
IL-6 stromal Pengaktifan sel B plasma
Sel plasma Sekresi antibodi
Sel pokok Differensiasi
Bervariasi Respon fase akut
Stroma Differensiasi kedalam
Il-7 sumsum,timus Sel pokok progenitor sel T dan B.
MakrofagSel
IL-8 endotelium Neutrofil-neutrofil Kemotaksis
IL-10 Sel-sel Th2 Makrofag Produksi sitokin
Sel-sel B Aktivasi
Differansiasi CTL
IL-12 MakrofagSel-sel B Pengaktifan sel-sel Tc (dengan IL-2)
Sel-sel NK Pengaktifan
Replikasi virus,
IFN-α Leukosit Bervariasi ekspresi MCH I
Replikasi virus,
IFN-β Fibroblas Bervariasi ekspresi MCH I
Sel-sel Th1Sel-sel Tc,
IFN-γ sel-sel NK Bervariasi Replikasi virus
Makrofag Respon MHC
Pengaktifan sel B Perubahan Ig menjadi IgG2a
Sel-sel Th Proliferasi
Makrofag Eliminasi patogen
MIP-1α Makrofag Monosit, sel-sel T Kemotaksis
MIP-1β Limfosit Monosit, sel-sel T Kemotaksis
TGF-β Sel T, monosit Monosit, Makrofag Kemotaksis
Pengaktifan makrofag Sintesis IL-1
Pengaktifan sel B Sintesis lgA
Bervariasi Proliferasi
MakrofagSel mast, Ekspresi CAM dan
TNF-α sel-sel NK Makrofag sitokin
Sel tumor Sel mati
Fagositosis, tidak ada
TNF- β Sel Th1 dan Tc Fagosit-fagosit produksi
Sel tumor Sel mati

Reseptor Sitokin

Dalam beberapa tahun terakhir, reseptor sitokin telah banyak menyita


perhatian para ahli dibandingkan dengan sitokin itu sendiri, sebagian
karena karakteristiknya yang luar biasa, dan sebagian karena defisiensi
reseptor sitokin secara langsung berkaitan dengan melemahnya
immunodefisiensi.

Dalam hal ini, dan juga karena redundansi dan pleiomorpishm sitokin,
pada kenyataannya merupakan konsekuensi dari reseptor homolog
sitokin, banyak para ahli berfikir bahwa klasifikasi reseptor akan lebih
berguna secara klinis dan eksperimental. Sitokin bekerja pada sel-sel
targetnya dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik. Reseptor
dan sitokin yang cocok dengan reseptor tersebut dibagi ke dalam
beberapa kelompok berdasarkan struktur dan aktivitasnya.

Klasifikasi reseptor sitokin berdasarkan pada struktur tiga-


dimensi yang dimiliki.
 Reseptor sitokin tipe 1 ( Haemopoitin Growth Factor family )
Anggota-anggotanya memiliki motif tertentu pada ekstraseluler asam-
amino domain. Contoh, IL-2 reseptor memiliki rantai –γ (umumnya
untuk beberapa sitokin lain) yang kurang sehingga secara langsung
bertanggung jawab atas x-linked Severe Combined Immunodeficiency
(X-SCID). X-SCID menyebabkan hilangnya aktivitas kelompok sitokin
ini.
 Reseptor sitokin tipe 2 ( Interferon )
Anggota-anggotanya adalah reseptor-reseptor terutama untuk
interferon. Reseptor-reseptor kelompok interferon memiliki sistein
residu (tetapi tidak rangkain Trp-Ser-X-Trp-Ser) dan mencakup
reseptor-reseptor untuk IFNα, IFNβ, IFNγ.
 Reseptor sitokin tipe 3 ( Tumor Necrosis Factor family )
Anggota-anggotanya berbagi sistein-ekstraseluler yang umumnya
banyak mengikat domain, dan termasuk beberapa non-sitokin lain
seperti CD40, CD27, dan CD30, selain yang diberi nama (TNF).
 Reseptor kemokin
Reseptor kemokin mempunyai tujuh transmembran heliks dan
berinteraksi dengan G protein. Kelompok ini mencakup reseptor untuk
IL-8, MIP-1, dan RANTES. 1 Reseptor kemokin, dua diantaranya beraksi
mengikat protein untuk HIV (CXCR4 dan CCR5), yang juga tergolong
ke dalam kelompok ini.
 Immunoglobulin (Ig) superfamili
Immunoglobulin (Ig) yang sudah ada seluruhnya pada beberapa sel
dan jaringan dalam tubuh vertebrata, dan berbagi struktural homologi
dengan immunoglobulin (antibodi), sel molekul adhesi, dan bahkan
beberapa sitokin. Contoh, IL-1 reseptor.2
 Reseptor TGF beta 7
Anggotanya dari transformasi faktor pertumbuhan beta superfamili,
yang tergolong kelompok ini, meliputi TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3.2
Reseptor sitokin bisa keduanya merupakan membran berbatas dan
larut. Reseptor sitokin yang larut umumnya secara ekstrim sebagai
pengatur fungsi sitokin.2 Aktivitas sitokin bisa dihambat oleh
antagonisnya, yaitu molekul yang mengikat sitokin atau reseptornya.
Selama berlangsungnya respon imun, fragmen-fragmen membran
reseptor terbuka dan bersaing untuk mengikat sitokin.

Tipe Reseptor Sitokin


Tipe
Reseptor
sitokin Contoh Struktur Mekanisme
Reseptor tipe  Reseptor tipe 1 Tergantung JAK phosphory lat
1 interleukin pada motif e dan
 ekstraseluler-asam mengaktifkan
Reseptoreritropoietin amino domain protein-protein
 Reseptor GM-CSF mereka. Yang pada lintasan
 d. Reseptor faktor
interleukin
 Reseptor G-CSF
 Reseptor prolakin dihubungkan
 Reseptor faktor sampai Janus
penghambat Kinase (JAK) family transduksi
leukemia dari tirosin kinase sinyalnya.
 Reseptor tipe 2 interleukin
 Reseptor interferon α / β
Reseptor tipe 2  Reseptor gamma interferon
 Reseptor
interleukin-1 Berbagi homologi struktural
 CSF 1 dengan imunoglobin-imunoglobin
 C Reseptor (antibodi), sel molekul-molekul
Imunoglobin  ReseptorInterleuki adhesi dan bahkan berapa
superfamili n 18 sitokin.
 CD27
 CD30
 CD40
Reseptor tumor  CD120
nekrosis faktor  Reseptor Sistein-kaya akan ekstraseluler
family Lymphotoxin beta mengikat domain
 Reseptor interleukin 8
 CCR1
 CXCR4 Tujuh
Reseptor  Reseptor MCAF transmembran G protein-
kemokin  Reseptor NAP-2 heliks berpasangan
Reseptor TGF  Reseptor TGF beta 1
beta  Reseptor TGF beta 2 

 Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-


1α, IL-1ß dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi
sistem kekebalan dan respon peradangan. IL-1α dan IL-1ß masing-
masing memiliki berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2
deret yang sama yaitu 2q14, dan merupakan sitokina pleiotropik hasil
sekresi monosit dan makrofaga berupa prohormon, sebagai respon
saat sel mengalami cedera, oleh karena itu menginduksi apoptosis.
Interleukin-1 (IL-1) merupakan keluarga dari polipeptida dengan
berbagai kegiatan biologis. Setidaknya dua produk gen yang berbeda
telah dikloning, ada mungkin lebih. Keluarga IL-1 manusia memainkan
peran penting dalam patogenesis banyak penyakit dan fungsi sebagai
mediator kunci dari respon host terhadap tantangan infeksi, inflamasi,
dan imunologi yang berbeda. IL-1 Recombinant mouse (pI 5) dan
recombinant human (pI 7) yang digunakan untuk mengkonfirmasi
beberapa sifat biologis IL-1” s tetapi penyelidikan yang cukup besar
diperlukan sebelum kegiatan tertentu (unit biologis per miligram
protein) ditetapkan untuk setiap bentuk IL-1 human. Beberapa
kegiatan IL-1 biologis seperti induksi hati fase akut sintesis protein
telah dibuktikan dalam invertebrata dalam evolusi limfosit. IL-1 adalah
sangat inflamasi dan meningkatkan konsentrasi metabolit asam
arakidonat, terutama prostaglandin E2, di otak, otot, kondrosit, dan
fibroblas sinovial. Sintesis leukotrien juga terlibat dalam mekanisme
kerja pada jaringan tertentu. Kloning dan ekspresi gen IL-1 human
akan memperluas pemahaman kita tentang IL-1 dalam berbagai
penyakit melalui sistem deteksi peningkatan dan penggunaan probe
cDNA, pengembangan antagonis IL-1, serta penggunaan IL-1 sebagai
immunomodulator, saat ini sedang dipertimbangkan. Beberapa pakar
menganggap bahwa defisiensi genetik IL1A berperan dalam
reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1ß merupakan sitokina yang diiris
oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti proliferasi,
diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokina ini di dalam
sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas
yang memberikan rasa sakit. Dari percobaan yang dilakukan terhadap
manusia dan hewan, ada peranan yang kuat dari IL-1 sebagai
mediator stimulasi hilangnya tulang pada penyakit periodontal. IL-1
adalah mediator utama terhadap respon inflamasi yang dihasilkan
oleh banyak sel yang berbeda, termasuk makrofag, sel-sel endotel,
sel-sel B, fibroblas, sel-sel epitel, astrocytes, dan osteoblas. IL-1
dihasilkan sebagai respon terhadap mikroorganisme, bakteri toksin,
komponen komplemen atau injuri jaringan. Salah satu aksi terpenting
dari IL-1 adalah kemampuannya untuk menginduksi sitokin lain, dan
IL-1 muncul sebagai bagian jaringan sitokin dengan sifat self-
regulating dan self-suppressing Pada awalnya IL-1 ditemukan sebagai
faktor yang bisa menginduksi terjadinya demam, sebagai pengontrol
limfosit, meningkatkan jumlah sel-sel sumsum tulang dan
menyebabkan degenerasi komposisi tulang. Sekitar tahun 1984-1985,
IL-1 ditemukan oleh para ahli bahwa sebenarnya terdiri dari dua
protein yang terpisah, sekarang disebut dengan IL-1α dan IL-1β. IL-1α
dan IL-1β merupakan pro-inflamatori sitokin yang terlibat dalam
pertahanan imun melawan infeksi. IL-1α dan IL-1β keduanya
dihasilkan oleh makrofag, monosit, dan sel-sel dendrit. Mereka
dibentuk sebagai bagian penting terhadap respon inflamasi tubuh
melawan infeksi. Sitokin-sitokin ini meningkatkan ekspresi faktor-
faktor adhesi pada sel-sel endotel untuk memungkinkan
transmigrasinya leukosit-leukosit, sel-sel yang melawan patogen, ke
tempat infeksi dan berkumpul di pusat pengatur suhu hipotalamus,
dan menyebabkan peningkatan suhu tubuh atau demam. Dengan
demikian IL-1 disebut endogenous pyrogen. IL-1 juga penting dalam
pengaturan hematopoesis IL-1 diketahui menstimulasi fibroblas untuk
menghasilkan kolagenase. IL-1 dikenal paling berpotensi menginduksi
proses demineralisasi tulang dan sinergis dengan tumor necrosis
factor α dalam menstimulasi resorpsi tulang terutama dalam
mengubah matriks jaringan ikat. Kadar IL-1 diketahui meningkat pada
gingiva periodontitis dewasa dibandingkan dengan individu yang
secara klinis sehat atau mengalami gingivitis ringan. IL-1 juga
meningkat pada periodontitis aktif dibandingkan dengan inflamasi
yang stabil.
 Interleukin-2, IL-2 (T Cell Growth Factor, TCGF, lymphokine)
adalah sejenis sitokina yang disebut hormon leukositotropik,yang
berperan sebagai stimulan dalam proliferasi sel B dan sel T.IL-2
ditelisik mempunyai fungsi yang serupa dengan IL-15.IL-2 berperan
dalam apoptosis sel T yang teraktivasi bukan oleh antigen, hal ini
penting untuk mencegah autoimunitas, sedangkan IL-15 berperan
dalam pemeliharaan sel T memori.
 Interleukin-3, IL-3 (multi colony stimulating factor, MULTI-CSF,
MCGF, MGC79398, MGC79399 adalah sebuah hormon berjenis sitokina
dari kelompok interleukin yang mempunyai potensi untuk memicu
proliferasi beragam sel hematopoietik menjadi sel progenitor mieloid,
termasuk memicu proliferasi beragam sel mieloid seperti eritrosit,
megakariosit, granulosit, monosit dan sel dendritik. IL-3 berperan
dalam pelbagai aktivitas selular, seperti perkembangan sel,
diferensiasi sel dan apoptosis, serta memiliki potensi neurotropik.
Umumnya IL-3 disekresi oleh sel T yang teraktivasi sebagai respon
imunitas untuk menstimulasi lebih banyak sel T dari sumsum tulang.
 Interleukin-4, IL-4 (BSF1, BCGF1, BCGF-1, MGC79402) adalah
sitokina pleiotropik yang disekresi oleh sel T yang telah teraktivasi
menjadi sel TH2, bersama-sama dengan IL-5 dan IL-13.IL-4 berperan
dominan dalam sistem kekebalan dan merupakan faktor yang penting
dalam perkembangan hipersensitivitas,dengan fungsi selular yang
banyak tumpang-tindih dengan IL-13.
 Interleukin-5, IL-5 (eosinophil colony-stimulating factor, EDF, TRF)
adalah sitokina sekresi sel TH yang berperan dalam perkembangan
dan diferensiasi sel B dan eosinofil. Peningkatan rasio IL-5 dilaporkan
terkait dengan asma dan sindrom hipereosinofilik, seperti eosinofilia.
Tingginya rasio IL-5 juga ditemukan pada penderita penyakit Graves
dan tiroiditis Hashimoto.
 Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell
differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2, Hepatocyte
stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-6) adalah
sitokina yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah,
terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan menginduksi respon
peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6 RA, menginduksi
maturasi sel B.dan pencerap gp130 IL-6 merupakan sitokin pleiotropik
yang diproduksi oleh banyak tipe sel seperti monosit, fibroblas, sel-sel
endotel, dan limfosit T dan B. IL-6 tidak diekspresikan secara terus-
menerus, melainkan banyak diinduksi dan diproduksi sebagai respon
terhadap sejumlah rangsangan inflamatori seperti IL-1, TNF-α, produk-
produk bakteri, dan infeksi virus. Sitokin ini mempunyai fungsi yang
berbeda, meliputi differensiasi dan/atau aktivasi makrofag dan sel-sel
T, sel-sel pertumbuhan dan differensiasi sel-sel B, stimulasi
hematopoesis dan differensiasi neural.
 Interleukin-8, IL 8 adalah hormon golongan kemokina berupa
polipeptida dengan massa sekitar 8-10 kDa yang digunakan untuk
proses dasar, pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan
jaringan. Ciri khas IL-8 terdapat pada dua residu sisteina dekat N-
terminus yang disekat oleh sebuah asam amino. Tidak seperti sitokina
umumnya, IL-8 bukan merupakan glikoprotein. IL-8 diproduksi oleh
berbagai macam sel, termasuk monosit, neutrofil, sel T, fibroblas, sel
endotelial dan sel epitelial, setelah terpapar antigen atau stimulan
radang (ischemia dan trauma). Dua bentuk IL-8 (77 CXC dan 72 CXC)
merupakan sekresi neutrofil pada saat teraktivasi. Produksi IL-8 yang
berlebihan selalu dikaitkan dengan penyakit peradangan, seperti
asma, leprosy, psoriasis dll. IL-8 juga dapat menginduksi
perkembangan tumor sebagai salah satu efek angiogenik yang
ditimbulkan, selain vaskularisasi. Dari beberapa kemokina yang
memicu kemotaksis neutrofil, IL-8 merupakanchemoattractant yang
terkuat. Sesaat setelah terpicu, neutrofil menjadi aktif dan berubah
bentuk oleh karena aktivasi integrin dan sitoskeleton aktin. Basofil, sel
T, monosit dan eosinofil juga menunjukkan respon kemotaktik
terhadap IL-8 dengan terpicunya aktivasi integrin yang dibutuhkan
untuk adhesi dengan sel endotelial pada saat migrasi.
 Interleukin-10 (human cytokine synthesis inhibitory factor, TGIF,
IL10A, MGC126450, MGC126451, IL-10, CSIF) adalah sitokina yang
banyak disekresi oleh monosit, yang memiliki efek pleiotrofik pada
sistem kekebalan dan peradangan.[1]Pertama kali IL-10 dikenal karena
kemampuannya untuk menghambat aktivasi dan fungsi efektor dari
sel T, monosit dan makrofaga.Fungsi rutin IL-10 tampaknya terutama
menghambat atau meniadakan respon peradangan, selain
mengendalikan perkembangan dan diferensiasi sel B, sel NK, sel TH,
sel T CD8, mastosit, granulosit, sel dendritik, keratinosit dan sel
endotelial, dan bersifat imunosupresif terhadap sel mieloid.
 Interleukin 12, IL-12 adalah sejenis sitokina yang biasanya
disekresi oleh DC, MAC dan sel B limfoblastoid (NC-37), sebagai
respon terhadap stimulasi antigen. IL-12 disebut juga sebagai faktor
stimulan sel T, karena berperan dalam diferensiasi sel T CD4 menjadi
sel TH0 yang kemudian berkembang menjadi sel TH1. Sel T efektor
yang memproduksi IL-12 disebut sel T CD30. IL-12 juga stimulan bagi
sitokina IFN-γ dan TNF-α. Stimulasi IFN-γ dilakukan dengan
mengurangi efek sitokina IL-4 yang menjadi regulator IFN-γ. Lebih
lanjut, produksi IFN-γ akan meningkatkan kadar IP-10 yang bersifat
anti-angiogenik (menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru).
 Interleukin-13, IL-13 adalah sebuah protein dengan fungsi sitokina
yang disekresi berbagai sel, tetapi terutama oleh sel TH2. Berbagai
efek biologis IL-13, seperti halnya IL-4, terkait dengan sebuah faktor
transkripsi yaitu STAT6.
 Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α)
Penyakit-penyakit inflamasi tulang kronis, seperti rheumatoid arthritis,
penyakit periodontal, dan aseptik periprosthetik osteolisis,
dikarekteristikkan dengan hilangnya tulang sekitar jaringan
pendukung gigi disebabkan meningkatnya osteoklastik resorpsi
tulang. Resorpsi ini banyak diperantarai oleh peningkatan produksi
lokal sitokin pro-inflamatori seperti TNF-α.
Tumor necrosis factor juga merupakan sitokin multipotensial yang
mempunyai berbagai efek biologik dan diketahui mempunyai efek
yang mirip seperti IL-1. TNF-α diproduksi terutama oleh makrofag
terhadap respon agent seperti lipopolisakkarida. TNF-α dan IL-1
keduanya diketahui beraksi pada sel-sel endotel untuk meningkatkan
perlekatan polimorfonuklear neutrofil dan monosit, sehingga
membantu untuk mengumpulkan sel-sel tersebut masuk ke dalam
lokasi inflamasi
Molekul-molekul TNF-α menstimulasi resorpsi tulang dengan
menginduksi proliferasi dan differensiasi progenitor-progenitor
osteoklas dan mengaktifkan formasi osteoklas secara tidak langsung.
TNF-α juga sebagai mediator proses destruksi jaringan dengan
menstimulasi kolagenase dan degradasi kolagen tipe I oleh fibroblas
sehingga memicu destruksi jaringan periodonsium.
Osteoklas merupakan sel-sel multinukleat yang dibentuk dengan
proses peleburan progenitor-progenitor mononuklear di dalam
monosit atau makrofag yang diperoleh dari colony-forming units
granulacyte-macrophage (CFU-GM). Suatu penelitian mengidentifikasi
ada dua cara pengaktifan osteoklas dalam proses osteoklastogenesis.
Pertama, diaktifkannya macrophage-colony stimulating factor (M-CSF),
melalui reseptornya c-Fms, dan yang kedua diaktifkan oleh RANKL
melalui reseptornya, RANK.
TNF-α, seperti molekul-molekul stimulasi osteoklas lainnya,
merangsang produksi RANKL oleh sel-sel stroma, dan juga
menginduksi sekresi RANKL oleh limfosit T, limfosit B, dan sel-sel
endotel untuk menginduksi formasi osteoklas secara tidak langsung.
TNF-α juga menstimulasi produksi M-CSF oleh sel-
sel stroma.15Osteoclast differentiation factor (ODF, disebut juga
RANKL/TRANCE/OPGL) menstimulasi progenitor-progenitor osteoklas
pada monosit/makrofag menjadi osteoklas dengan adanya
macrophage colony-stimulating factor (M-CSF). Eksposur kronik TNF-α
meningkatkan osteoklastogenesis melalui dua mekanisme yang
berbeda (Gambar 4). TNF-α pertama kali mempengaruhi
osteoklastogenesis pada prekusor-prekusor osteoklas di dalam
sumsum tulang oleh sel-sel dasar untuk berdifferensiasi menjadi c-
Fms+/CD11b+/RANK+/- progenitor-progenitor osteoklas melalui
mekanisme independent RANKL/RANK. Prekusor-prekusor osteoklas ini
kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan jaringan perifer
kemudian berdifferensiasi menjadi osteoklas yang matang
(mekanisme dependent) berperan mempercepat proses resorpsi
tulang. Sebagai contoh, TNF-α bisa menginduksi berbagai sel,
termasuk sel-sel sinovial, sel-sel T, dan osteoblas/sel-sel stroma, untuk
meningkatkan ekspresi mereka terhadap RANKL, yang mengikat RANK
pada permukaan prekusor-prekusor
osteoklas dan menginduksi differensiasi prekusor-prekusor osteoklas.
TNF-α juga bisa mengikat reseptornya pada permukaan prekusor-
prekusor osteoklas dan secara tidak langsung menginduksi
differensiasi mereka menjadi osteoklas-osteoklas matang, kemudian
meningkatkan aksi RANKL yang diinduksi secara tidak langsung
 Interferon –Gamma (IFN-γ)
IFN-γ, merupakan sitokin yang kritis terhadap imun alami dan imun
adaptif dalam melawan virus dan infeksi bakteri intraselluler dan
untuk mengontrol tumor. Ekspresi IFN-γ dihubungkan dengan
sejumlah penyakit autoinflamatori dan autoimun. Hal yang paling
penting dari IFN-γ dalam sistem imun adalah kemampuannya untuk
menghambat replikasi virus secara langsung, Namun, yang paling
terpenting, adalah pengaruh immunostimulator dan
immunomodulatornya.
IFN-γ berbeda dalam hal biokimia dan biologiknya dibandingkan
dengan IFN-α dan IFN-β, dimana keduanya dihasilkan oleh sel-sel yang
terinfeksi virus, IFN-γ dihasilkan selama respon imun berlangsung oleh
adanya antigen spesifik sel-sel T dan natural killer cells (sel-sel NK)
yang dikumpulkan oleh IL-2. Pengaruh yang ditimbulkannya termasuk
mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan fagositosis dan
kemampuan membunuh sel-sel tumor seperti juga mengaktifkan dan
meningkatkan pertumbuhan sel-sel T sitolitik dan sel-sel NK.
 Contoh aktivitas IFN-γ adalah:
1. Meningkatkan presentasi antigen oleh makrofag
2. Mengaktifkan dan meningkatkan aktivitas lisosom di dalam
makrofag
3. Meningkatkan aktivitas sel Th2
4. Mempengaruhi sel-sel normal untuk meningkatkan ekspresi
molekul-molekul MHC klas I
5. Mempromosikan adhesi dan mengikat leukosit-leukosit yang
bermigrasi
6. Mempromosikan aktivitas sel NK
7. Mengaktifkan APCs dan merangsang differensiasi Th1 dengan
pengaturan transkripsi faktor T.

IFN-γ meregulasi ekspresi antigen MHC klas I, dan menginduksi MHC klas
II dan ekspresi reseptor Fcγ pada makrofag dan sel-sel lainnya termasuk
sel-sel limfoit, sel-sel endotel, sel-sel mast dan fibroblas sehingga IFN-γ
mempengaruhi kemampuan sel-sel tersebut untuk menyajikan antigen.
Dengan diaktifkannya MHC klas II pada sel-sel endotel, sel-sel ini
kemudian menjadi peka terhadap aksi sel-sel T sitolitik spesifik klas II.
Secara fisiologi pembentukan osteoklas diatur oleh sitokin-sitokin utama
osteoklastogenik M-CSF dan RANKL. Bagaimanapun, kondisi fisiologik
yang terjadi, seperti selama berlangsungnya inflamasi, infeksi, dan
defisiensi estrogen, resorpsi tulang secara signifikan distimulasi
sehubungan dengan penambahan produksi faktor-faktor disregulasi pro-
dan anti- osteoklastogenik, termasuk IFN-γ, yang menjadi pusat mediator
imun adaptif.

Peran Sitokin IL-17 Dalam Berbagai Penyakit


 IL-17 adalah sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan terutama oleh
limfosit T atau prekursornya. Sistem sinyal IL-17 terdapat di berbagai
jaringan, seperti kartilago sendi, tulang, meniskus, otak, jaringan
hematopoietik, ginjal, paru, kulit dan usus. Ligan famili IL-17 dan
reseptornya penting dalam menjaga homeostasis jaringan dalam
keadaan sehat maupun sakit di bawah naungan sistem imun.
 Beberapa anggota famili IL-17 telah ditemukan dimana setiap
anggota tersebut merupakan produk transkripsi gen tertentu yang
bersifat unik. Anggota famili yang menjadi prototipe adalah IL-17A.
 Karena kemajuan teknologi sekuens genom manusia dan proteomik,
lima anggota tambahan telah dikenali dan digandakan: IL-17B, IL-17C,
IL-17D, IL-17E dan IL-17F. Sedangkan reseptor-reseptor untuk anggota
famili IL-17 yang ditemukan sejauh ini adalah IL-17R, IL-17RH1, IL-
17RL (receptor-like), IL-17RD and IL-17RE. Namun, hingga saat ini
spesifisitas ligan kebanyakan reseptor ini masih belum jelas.
 Beberapa penelitian telah membuktikan peran IL-17 dalam
patogenesis berbagai penyakit. Sitokin ini telah lama dipelajari
memiliki keterlibatan dalam patogenesis psoriasis dan produksi
keratinosit atas sitokin tertentu. Sejumlah sel Th17 meningkat di
darah tepi danlesi kulit akut dermatitis atopik. Selain penyakit-
penyakit kulit, sel-sel endotel sinovial dan kondrosit yang
mengekspresikan IL-17R ditemukan pada kebanyakan pasien dengan
berbagai tipe artritis.
 Pengaruh IL-17 terhadap fungsi sel dan perannya dalam patofisiologi
penyakit. Untuk setiap pengaruh kunci IL-17, tipe target sel yang
terlibat dan produk yang dilepaskannya sebagai respon terhadap IL-
17. Setiap pengaruh biologik dikaitkan dengan sebuah kondisi sebagai
contoh dimana IL-17 ditemukan. CRP = C-reactive protein. MMP =
matriks metaloproteinase. RANKL = receptor activator of nuclear
factor-B ligand. Penelitian lain menunjukkan bahwa infiltrasi sel Th17
pada saluran nafas pasien asma berkaitan dengan aktifitas sel T yang
disertai oleh inflamasi neutrofilik.
 Ditemukan pula peningkatan sel-sel T yang menghasilkan IL-17
pada pasien tuberkulosis paru yang aktif. IL-17 juga memicu produksi
yang berlebihan atas autoantbodi dan sel mononuklear darah tepi IL-6
pada pasien nefritis lupus.
 Sebaliknya, pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik justru
mengalami penurunan produksi IL-17 yang berkaitan dengan sel
T¬h17.

Peran Sitokin Dalam rinitis


Alergi
 Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi
oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji
antigen yang terlibat,lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal
kostimulator yang diterima sel T serta faktor genetik.
 Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebutsitokin
tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-∂ dan IL-2.
 Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4,
IL-5, IL-9 danIL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN-∂ dianggap
sebagai prototipesitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe
sitokin Th2.
 Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan
mengalami polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan
kombinasi khas berbagai sitokinyang disebut pula sebagai sitokin tipe
2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GM CF
yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu
menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-
seldihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang
diproduksi antara lainyang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN-∂ dan IL-
2.Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang
diproduksioleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat
dan bersifat transien,dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan
ekspresinya hilang setelah 24-48 jam.
 Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah
mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4. Seperti
diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.
 Sitokin IFN-∂ selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh
sel NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1.
Dilaporkan bahwasebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang
kompleks reseptor sel T,sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah
sitokin yang dihasilkan olehmakrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN-
∂ sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen,
aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruhlingkungan mikrositokin yang
ada. Secara bersamaan IFN-∂ dan IL-12 terlibatdalam menentukan
diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.
 Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh
monosit-makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC)
yang lain. Yang merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit
yang memproses danmenyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T.
Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan
sel T naive dan dapat dikatakan seldendrit merupakan pengatur
diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelahdendrit
mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat
yanglain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan
endositosisnya,sedangkan kemampuan presentasi antigennya
meningkat dengan mengubahekspresi reseptor, berada di limfonodi
regional dan meningkatkan produksi sitokinimunoregulator termasuk
IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool likereceptor (TLR) yang
diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya ini
cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit
untuk memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin
tipe 1 yang lain.
 Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin
lingkungan yangterdapat selama berlangsungnya respon imun.
Mediator yang meningkatkan produksi IL-12 adalah IFN-∂ dan TNF-ß,
sedangkan yang menghambat produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B
dan IL-10. Di antara mediator-mediator tersebut IFN-∂ merupakan
stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementaraitu diketahui IL-
12 mempunyai efek memicu produksi IFN-∂, meskipun secarainvitro
untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-∂.
ProduksiIL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara
langsung olehlipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari
mikroorganisme patogen. Dengandemikian sitokin IL-12 terbukti
merupakan salah satu pengatur sentral imunitasseluler yang
mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk
diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu
sekresi IFN-∂oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif
terpicu di dalammakrofag dan monosit oleh IFN-∂ sehingga respon Th1
distabilkan oleh suatu jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin IL-
12 mengakibatkan tidak adarespon Th1 yang persisten, sementara itu
produksi IL-12 oleh monosit dapatditekan oleh sitokin lain termasuk IL-
4 dan IL-10 yang merupakan produksi selTh2.
 Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan
antarasitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya
IL-4 dan IL-13akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut
ditambahkan saatstimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama
dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi
IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi,
yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyaiefek menekan
produksi IL-12.
 Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara
luaskarena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas
yaitu hubungantimbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan
menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi
berlebihan oleh sel Th2. Sementara itudiketahui bahwa sitokin Th1
(IFN- ∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2(IL-4) dan sebaliknya,
sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1(IFN-∂).
Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi
penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin
yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah
mengalami polarisasi. Akan tetap isel Th memori yang belum
mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat diubah
sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan
demikiansel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan
bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN-∂ yang poten.
Suatu penemuan yangmenunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi
sel memori relatif fleksibel dandapat dirubah (reprogrammed)
merupakan suatu konsep penting dan mempunyaiarti yang bermakna
untuk pengobatan penyakit alergi.Kemampuan sitokin IL-12 untuk
merubah kembali respon imun Th2menjadi respon imun TH1 telah
disemonstrasikan baik secara invitro maupuninvivo. Secara in vitro
diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu
kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE
olehmonosit darah tepi.
 Penelitian lain menunjukkan bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4dan
IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN-∂ pada sel T
CD4+ pada penderita rinitis alergi.
References
1. Gilman A, Goodman LS, Hardman JG, Limbird LE (2001). The
pharmacological basis of therapeutics. Goodman & Gilman’s. New
York: McGraw-Hill.
2. Dinarello CA (August 2000). “Proinflammatory cytokines”. Chest 118
(2): 503–8.
3. Chen HF, Shew JY, Ho HN, Hsu WL, Yang YS (October 1999).
“Expression of leukemia inhibitory factor and its receptor in
preimplantation embryos”. Fertil. Steril. 72 (4): 713–9.
4. Vlahopoulos S, Boldogh I, Casola A, Brasier AR (September 1999).
“Nuclear factor-kappaB-dependent induction of interleukin-8 gene
expression by tumor necrosis factor alpha: evidence for an antioxidant
sensitive activating pathway distinct from nuclear
translocation”. Blood 94 (6): 1878–89.
5. Boyle JJ (January 2005). “Macrophage activation in atherosclerosis:
pathogenesis and pharmacology of plaque rupture”. Curr Vasc
Pharmacol 3 (1): 63–8.
6. Cannon JG (December 2000). “Inflammatory Cytokines in
Nonpathological States”.News Physiol. Sci. 15: 298–303.
7. Saito S (2001). “Cytokine cross-talk between mother and the
embryo/placenta”. J. Reprod. Immunol. 52 (1–2): 15–33.
8. David F, Farley J, Huang H, Lavoie JP, Laverty S (April 2007).
“Cytokine and chemokine gene expression of IL-1beta stimulated
equine articular chondrocytes”.Vet Surg 36 (3): 221–7.
9. Carpenter LR, Moy JN, Roebuck KA (March 2002). “Respiratory
syncytial virus and TNF alpha induction of chemokine gene expression
involves differential activation of Rel A and NF-kappa B1″. BMC Infect.
Dis. 2: 5.
10. Tian B, Nowak DE, Brasier AR (2005). “A TNF-induced gene
expression program under oscillatory NF-kappaB control”. BMC
Genomics 6: 137.
11. Gaffen SL (August 2009). “Structure and signalling in the IL-17
receptor family”.Nat. Rev. Immunol. 9 (8): 556–67.

PERANAN SEL DENDRITIK DALAM SISTEM IMUN


Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah monosit yang
terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan menjadi
bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik
menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik
tidak bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai
perantara sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan
tiruan.

Para ilmuwan telah lama mencari “penjaga gerbang” dari respon


kekebalan tubuh di mana manusia dan hewan lainnya membela diri
terhadap serangan oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Bruce
Beutler dan Jules Hoffmann menemukan protein reseptor yang dapat
mengenali seperti mikroorganisme dan mengaktifkan kekebalan bawaan,
langkah pertama dalam respon kekebalan tubuh. Ralph Steinman
menemukan sel-sel dendritik dari sistem kekebalan tubuh dan
kemampuan mereka yang unik untuk mengaktifkan dan mengatur
imunitas adaptif, tahap selanjutnya dari respon imun selama
mikroorganisme yang dibersihkan dari tubuh.

Penemuan dari tiga pemenang Nobel telah mengungkapkan bagaimana


fase bawaan dan adaptif dari respon imun diaktifkan dan dengan
demikian memberikan wawasan baru ke dalam mekanisme penyakit.
Karya mereka telah membuka jalan baru untuk pengembangan
pencegahan dan terapi terhadap infeksi, kanker, dan penyakit inflamasi.

Dua garis pertahanan dalam sistem kekebalan tubuh

Kita hidup di dunia yang berbahaya. Mikroorganisme patogen (bakteri,


virus, jamur, dan parasit) mengancam kita terus tapi kita dilengkapi
dengan mekanisme pertahanan yang kuat. Baris pertama pertahanan,
imunitas bawaan, dapat menghancurkan menyerang mikroorganisme dan
memicu peradangan yang memberikan kontribusi untuk menghalangi
serangan mereka. Jika mikroorganisme menerobos garis pertahanan,
imunitas adaptif dipanggil untuk beraksi. Dengan sel T dan sel B,
menghasilkan antibodi dan sel-sel pembunuh yang menghancurkan sel
yang terinfeksi. Setelah berhasil memerangi serangan infeksi, sistem
kekebalan tubuh kita adaptif mempertahankan memori imunologi yang
memungkinkan mobilisasi lebih cepat dan kuat dari pasukan pertahanan
saat serangan mikroorganisme yang sama. Ini garis pertahanan dua
sistem kekebalan tubuh memberikan perlindungan yang baik terhadap
infeksi tetapi mereka juga menimbulkan risiko. Jika ambang batas aktivasi
terlalu rendah, atau jika molekul endogen dapat mengaktifkan sistem,
penyakit inflamasi dapat mengikuti.

Komponen dari sistem kekebalan tubuh telah diidentifikasi langkah demi


langkah selama abad 20. Berkat serangkaian penemuan dianugerahi
Hadiah Nobel, kita tahu, misalnya, bagaimana antibodi yang dibangun dan
bagaimana sel T mengenali zat asing. Namun, sampai karya Beutler,
Hoffmann dan Steinman, mekanisme yang memicu aktivasi kekebalan
bawaan dan menengahi komunikasi antara imunitas bawaan dan adaptif
tetap misterius.
Penemu sensor kekebalan bawaan

Jules Hoffmann membuat penemuan perintis pada tahun 1996, ketika ia


dan rekan kerja menyelidiki bagaimana lalat buah memerangi infeksi.
Mereka memiliki akses ke lalat dengan mutasi pada beberapa gen
berbeda termasuk pulsa, gen yang sebelumnya ditemukan untuk terlibat
dalam pembangunan embrional oleh Christiane Nüsslein-Volhard (Nobel
1995). Ketika Hoffmann terinfeksi buahnya lalat dengan bakteri atau
jamur, ia menemukan bahwa mutan Pulsa meninggal karena mereka tidak
bisa me suatu pertahanan yang efektif. Ia juga dapat menyimpulkan
bahwa produk dari gen Tol terlibat dalam penginderaan mikroorganisme
patogen dan aktivasi Tol yang dibutuhkan untuk berhasil pertahanan
terhadap mereka.

Bruce Beutler sedang mencari reseptor yang dapat mengikat bakteri


produk, lipopolisakarida (LPS), yang dapat menyebabkan syok septik,
sebuah kondisi yang mengancam kehidupan yang melibatkan stimulasi
berlebihan dari sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1998, Beutler dan
koleganya menemukan bahwa tikus tahan terhadap LPS memiliki mutasi
pada gen yang sangat mirip dengan gen Toll dari lalat buah. Ini reseptor
Toll-like (TLR) ternyata menjadi reseptor LPS sulit dipahami. Ketika
mengikat LPS, sinyal diaktifkan yang menyebabkan peradangan dan,
ketika LPS dosis yang berlebihan, syok septik. Temuan ini menunjukkan
bahwa mamalia dan lalat buah menggunakan molekul yang mirip untuk
mengaktifkan imunitas bawaan ketika menghadapi mikroorganisme
patogen. Sensor imunitas bawaan akhirnya telah ditemukan.

Penemuan Hoffmann dan Beutler memicu ledakan penelitian dalam


kekebalan bawaan. Sekitar selusin TLRs yang berbeda kini telah
diidentifikasi pada manusia dan tikus. Setiap salah satu dari mereka
mengenali jenis tertentu dari molekul umum pada mikroorganisme.
Individu dengan mutasi tertentu dalam reseptor-reseptor ini membawa
peningkatan risiko infeksi sementara varian genetik lain dari TLR dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk penyakit peradangan kronis.

Sel yang mengontrol kekebalan adaptif

Ralph Steinman menemukan, pada tahun 1973, tipe sel baru yang ia
sebut sel dendritik. Ia berspekulasi bahwa hal itu bisa menjadi penting
dalam sistem kekebalan tubuh dan melanjutkan untuk menguji apakah
sel-sel dendritik dapat mengaktifkan sel T, jenis sel yang memiliki peran
penting dalam kekebalan adaptif dan mengembangkan memori imunologi
terhadap zat yang berbeda. Dalam percobaan kultur sel, ia menunjukkan
bahwa kehadiran sel-sel dendritik menghasilkan tanggapan yang jelas dari
sel T untuk zat-zat tersebut. Temuan ini awalnya ditanggapi dengan
skeptis tapi pekerjaan berikutnya oleh Steinman menunjukkan bahwa sel
dendritik memiliki kapasitas yang unik untuk mengaktifkan sel T.

Penelitian lebih lanjut oleh Steinman dan ilmuwan lainnya melanjutkan


untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana sistem imun adaptif
memutuskan apakah atau tidak itu harus diaktifkan ketika menghadapi
berbagai zat. Sinyal yang timbul dari respon imun bawaan dan dirasakan
oleh sel dendritik yang ditampilkan untuk mengontrol aktivasi sel T. Hal ini
memungkinkan untuk sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap
mikroorganisme patogen sambil menghindari serangan pada molekul
tubuh sendiri endogen.

Dari penelitian dasar untuk penggunaan medis

Penemuan yang dianugerahi Hadiah Nobel 2011 telah memberikan


wawasan baru ke dalam aktivasi dan regulasi sistem kekebalan tubuh kita.
Mereka telah memungkinkan pengembangan metode baru untuk
mencegah dan mengobati penyakit, misalnya dengan vaksin melawan
infeksi dan ditingkatkan dalam upaya untuk merangsang sistem
kekebalan tubuh untuk menyerang tumor. Penemuan ini juga membantu
kita memahami mengapa sistem kekebalan tubuh dapat menyerang
jaringan kita sendiri, sehingga memberikan petunjuk untuk pengobatan
penyakit inflamasi

Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)


terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari
mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari
antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B. Antigen yang
diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong
menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel
sebagai antigen MHC.
Sel dendritik memiliki beragam prekursor hemopoetis dan bermigrasi
menuju jaringan yang berbeda sesuai dengan perbedaan fungsi, morfologi
dan fenotipe.Beberapa jenis sel dendritik disebut secara khusus menurut
lokasi jaringan migrasi:

 Sel dendritik folikular – pusat germinal pada folikel limfa


sekunder. Sel dendritik folikular ( follicular dendritic cell, FDC) adalah
sejenis sel dendritik yang tidak diketahui asal muasalnya. Sel dendritik
folikular berdiam pada jaringan folikel pada
sistem limfatik.FDC memiliki pencerap Fc yang dapat mengikat
kompleks imun dengan sangat lama. Sel FDC mempunyai peranan
yang sangat penting untuk memilah-milah sel B yang teraktivasi
sepanjang respon kekebalan. Beragam sel B terikat dengan sel FDC
melalui proses yang sangat panjang.
 Interdigitating cell (IDC) – zona antarfolikular pada nodus limfa
dan timus
 Sel Langerhans – epidermis
 Veiled cell (VC) – limpa aferen
 Mucosal dendritic cell – mucosal-associated lymphoid tissue
(MALT)
Sel dendritik folikular
Sel dendritik folikular (follicular dendritic cell, FDC) adalah sejenis sel
dendritik yang tidak diketahui asal muasalnya. Sel dendritik folikular
berdiam pada jaringan folikel pada sistem limfatik.

FDC memiliki pencerap Fc yang dapat mengikat kompleks imun dengan


sangat lama. Sel FDC mempunyai peranan yang sangat penting untuk
memilah-milah sel B yang teraktivasi sepanjang respon kekebalan.
Beragam sel B terikat dengan sel FDC melalui proses yang sangat
panjang.

Sel dendritik yang terus-menerus komunikasi dengan sel-sel lainnya pada


tubuh. Komunikasi ini dapat mengambil bentuk kontak langsung sel-sel
yang didasarkan pada interaksi protein permukaan sel. Contoh ini
termasuk interaksi B7 reseptor sel dendritik dengan CD28 hadir pada
limfosit. Namun, interaksi sel-sel juga dapat dilakukan jarak jauh melalui
sitokin.
Sebagai contoh, merangsang sel dendritik ” in vivo” dengan mikroba
ekstrak menyebabkan sel dendritik yang dengan cepat mulai
memproduksi IL-12. IL-12 adalah sinyal yang membantu mengirim naif sel
CD4 T menuju Th1 fenotipe.

Konsekuensi akhir adalah priming dan aktivasi sistem kekebalan tubuh


untuk serangan terhadap antigen yang sel dendritik pada permukaannya.
Namun, ada perbedaan dalam sitokin diproduksi tergantung pada jenis sel
dendritik. DC limfoid memiliki kemampuan untuk menghasilkan jenis-1
IFN’s, yang merekrut lebih diaktifkan makrofag agar fagositosis dalam
jumlah besar.

Sel dendritik juga diklasifikasi menurut profil fenotipe imunologis,


misalnyaplasmacytoid dendritic cell (pDC) yang mempunyai ekspresi
CD123+.
Sel dendritik pertama kali ditemukan oleh Ralph M. Steinman, Dinah S.
Lustig, dan Zanvil A. Cohn pada tahun 1972.Pada saat itu ditemukan
sejumlah sel pada organ limpa yang diperkirakan berasal dari sel
prekursor pada sumsum tulang atau bagian dari limpa yang disebut
pulpa merah.Sel yang ditemukan dapat melekat pada permukaan gelas
dan plastik, dan disebut dendritik karena mempunyai fitur morfologis
fantastis berupa kemampuan untuk menampilkan berbagai proses selular
dari beragam ukuran danbentuk.Pada percobaan in vitro lebih lanjut, sel
dendritik tidak menunjukkan sifat dan fungsi seperti limfosit, makrofaga
atau sel retikular non-fagositik.

Stimulasi kurkumin pada DC akan meluruhkan ekspresi CD80, CD86 dan


MHC II, bukan MHC I, dan membuat DC sangat efektif untuk menelan
antigen dengan proses endositosis.

Lintasan sel dendritik pada silsilah limfosit

Kemungkinan adanya hubungan yang sangat dekat antara DC dan


monosit kembali diperbincangkan setelah beberapa penemuan yang
menyebutkan adanya sel prekursor yang berkembang menjadi DC dan sel
limfoid. Untuk itu, istilah, sel dendritik limfoid, dimaksudkan untuk
mengacu pada jenis dari sel dendritik yang berasal dari silsilah prekursor
limfosit.

Pada awalnya, istilah, limfoid, digunakan pada model tikus untuk


menjelaskan beberapa fitur sel dengan prekursor yang sama dengan sel T.
Fitur ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan yang terdapat
pada sel mieloid, khususnya pada ekspresi fenotipe CD11b, CD13, CD14,
dan CD33.

Di dalam darah, prekursor sel dendritik limfoid dapat berupa sel yang
mirip seperti sel plasma dengan ekspresi CD4+ dan CD11c+, atau berupa
sel progenitor yang mempunyai potensi untuk terdiferensiasi menjadi sel
T atau sel NK. Sel progenitor semacam ini banyak tersebar pada jaringan
limfoid sekunder dan kelenjar timus.
Sel dendritik limfoid juga dapat berkembang dari sel progenitor lain dari
kelenjar timus, yang terstimulasi oleh sitokina IL-3, dan dari sel prekursor
pada kelenjar amandel yang distimulasi oleh ligan CD40. Perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa IL-2 dan IL-5 dapat menstimulasi sel
progenitor berekspresi CD34+ menjadi sel dendritik yang mempunyai
beberapa sifat seperti sel NK.

Namun tidak satu pun sel dendritik limfoid dapat terdiferensiasi dari sel
prekursor, oleh stimulasi GM-CSF.
Berbagai macam fungsi dilaksanakan oleh DC limfoid, seperti
mencetuskan seleksi negatif pada kelenjar timus, costimulatory bagi sel T
CD4+ dan CD8+. Baru-baru ini DC limfoid pada manusia ditemukan
merupakan aktivator sel TH2.
Di dalam sumsum tulang belakang, ditemukan sekelompok sel progenitor
tiomosit CD10 dengan masing-masing ekspresi tambahan
CD34+ CD38+ yang memiliki kapasitas diferensiasi menjadi sel T, sel B, sel
NK dan DC, namun tidak dapat menjadi sel mieloid. Sel progenitor dengan
fenotipe tanpa ekspresi CD10 merupakan prekursor dari sel mieloid.
Sehingga ekspresi CD10 dianggap sebagai molekul yang diperlukan bagi
diferensiasi sel T, sel B, sel NK dan DC.

DC limfoid tersebar di seluruh bagian tubuh, termasuk pada medulla timik


dan area sel T pada semua organ limfoid. Pada area sel T masih terdapat
jenis DC lain, seperti DC sentinel dan DC migratori yang membawa Ags
dari jaringan. DC limfoid pada area sel T memiliki kemampuan untuk
menginduksi apoptosis pada sel T melalui mekanisme fasL18 atau CD30L
dan meredam kemungkinan oto-aktivasi sel T dengan sekresi IL-10. Oleh
karena itu DC limfoid sering disebut sebagai regulator daripada stimulator
fungsi efektor sistem kekebalan.

Protein penghambat HIV dalam sel dendritik


Para peneliti dari Universitas California Los Angeles (UCLA) menemukan
dua protein dalam sel dendritik yang menghambat pengeluaran virus
(budding) dari sel tersebut, sehingga melindungi sel lain agar tidak
tertular. Penelitian ini diterbitkan dalam versi internet sebelum diterbitkan
dalam jurnal Federation of American Societies for Experimental Biology.

Sel dendritik terlibat dalam pengintaian dan perlindungan kekebalan pada


awal terinfeksi HIV. Sel tersebut terutama terletak pada kulit, jaringan
mukosa (misalnya tenggorokan atau usus) dan kelenjar getah bening.
Apabila sel dendritik menghadapi HIV, mereka memakai protein yang
disebut DC-SIGN untuk menjebak virus dan membawanya ke sel CD4
untuk memicu tanggapan kekebalan.

Apabila HIV menginfeksi sel CD4, unsur genetik virus digandakan dan
dibungkus, lama-kelamaan budding dari sel bergerak menulari sel lain.
Walaupun sel dendritik dapat tertular HIV, budding tidak terjadi.
Shen Pang, PhD, lektor divisi biologi dan kedokteran gigi Fakultas
Kedokteran Gigi UCLA dan Qiuwei Wang, mahasiswa pascasarjana yang
bekerja dengan Pang, mengamati DC-SIGN secara lebih cermat untuk
melihat apakah protein tersebut mencegah sel dendritik membuat HIV
baru.

Pang menemukan bahwa kehadiran DC-SIGN bersamaan dengan DC-


SIGNR, protein yang serupa, menghambat pengeluaran HIV dari sel
dendritik sebanyak 95 hingga 99,5 persen. Tim Pang berpendapat bahwa
protein tersebut mengganggu kemampuan HIV untuk menyelesaikan
proses perakitan pada selaput luar sel dendritik sehingga
mencegah budding. Pang mendorong para peneliti lain untuk menyelidiki
bagaimana pengetahuan ini dapat menolong upaya untuk menghasilkan
vaksin HIV yang efektif.
References:
 Banchereau J, Steinman RM (March 1998). “Dendritic cells and the
control of immunity”. Nature 392 (6673): 245–52.
 Sallusto F, Lanzavecchia A (2002). “The instructive role of dendritic
cells on T-cell responses”. Arthritis Res. 4 Suppl 3: S127–32
 Liu YJ (2005). “IPC: professional type 1 interferon-producing cells
and plasmacytoid dendritic cell precursors”. Annu. Rev. Immunol. 23:
275–306
 Ohgimoto K, Ohgimoto S, Ihara T, Mizuta H, Ishido S, Ayata M, Ogura
H, Hotta H (2007). “Difference in production of infectious wild-type
measles and vaccine viruses in monocyte-derived dendritic
cells”. Virus Res 123 (1): 1–8.
 Merad M, Ginhoux F, Collin M. Origin, homeostasis and function of
Langerhans cells and other langerin-expressing dendritic cells. Nat
Rev Immunol. 2008;8:935–947
 Wollenberg A, Wen S, Bieber T. Phenotyping of epidermal dendritic
cells: clinical applications of a flow cytometric
micromethod. Cytometry. 1999;37:147–155
 Guttman-Yassky E, Lowes MA, Fuentes-Duculan J, Whynot J,
Novitskaya I, Cardinale I, et al. Major differences in inflammatory
dendritic cells and their products distinguish atopic dermatitis from
psoriasis. J Allergy Clin Immunol. 2007;119:1210–1217
 Bayry J, Lacroix-Desmazes S, Kazatchkine MD, Hermine O, Tough DF,
Kaveri SV. Modulation of dendritic cell maturation and function by B
lymphocytes. J Immunol. 2005 Jul 1;175(1):15-20.
 Stary G, Bangert C, Stingl G, Kopp T. Dendritic cells in atopic
dermatitis: expression of FcepsilonRI on two distinct inflammation-
associated subsets. Int Arch Allergy Immunol. 2005;138:278–290
 Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of
immunity. Nature. 1998 Mar 19;392(6673):245-52.
 Larsen JM, Steen-Jensen DB, Laursen JM, Søndergaard JN, Musavian
HS, Butt TM, Brix S. Divergent pro-inflammatory profile of human
dendritic cells in response to commensal and pathogenic bacteria
associated with the airway microbiota. PLoS One. 2012;7(2):e31976.
Epub 2012 Feb 21.
 An intercellular adhesion molecule-3 (ICAM-3) -grabbing nonintegrin
(DC-SIGN) efficiently blocks HIV viral budding 10.1096/fj.07-9443com

ASPEK KLINIS DAN ASPEK BIOLOGIS TOLL-LIKE


RECEPTOR (TLRS)
Diposting pada Maret 4, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Toll-like receptor (TLRs) adalah protein yang memainkan peran


kunci dalam sistem kekebalan bawaan. TLR adalah tunggal,
membran-spanning, non-katalitik reseptor yang mengenali
molekul struktural berasal dari mikroba. Setelah mikroba
menghaancurkan dan memasuki pertahanan fisik seperti kulit
atau mukosa saluran usus, TLRs mengaktifkan respon sel
kekebalan tubuh. TLR diberi nama berdasarkan karakteristik
protein yang dikodekan oleh gen Tol diidentifikasi pada
Drosophila pada tahun 1985 oleh Christiane Nüsslein-Volhar. Gen
tersebut, ketika bermutasi, membuat lalat Drosophila terlihat
tidak biasa.

TLRs adalah jenis pattern recognition receptor (PRR) dan mengenali


molekul yang luas dimiliki oleh patogen tetapi dibedakan dari molekul
host yang disebut sebagai pathogen-associated molecular patterns
(PAMPs). TLRs bersama dengan Interleukin-1 reseptor membentuk
superfamili reseptor, yang dikenal sebagai “Interleukin-1 Receptor/Toll-
Like Receptor Superfamily”. Semua anggota keluarga ini memiliki
kesamaan dengan TIR yang disebut TIR (Toll-IL-1 receptor) domain. Tiga
sub kelompok TIR (Toll-IL-1 receptor) domain. Protein dengan subkelompok
1 TIR (Toll-IL-1 receptor) domain adalah reseptor untuk interleukin yang
diproduksi oleh makrofag, monosit, dan sel dendritik dan semua memiliki
ekstraseluler Imunoglobulin (Ig) domain. Protein dengan sub kelompok 2
TIR (Toll-IL-1 receptor) domain adalah TLRs klasik, dan mengikat secara
langsung atau tidak langsung dengan molekul berasal dari mikroba.
Sebuah subkelompok ketiga TIR (Toll-IL-1 receptor) domain terdiri dari
protein adaptor yang eksklusif sitosol dan memediasi sinyal dari protein
dari sub kelompok 1 dan 2.

TLRs hadir dalam vertebrata, maupun avertebrata. Blok bangunan


molekul dari TLRs diwakili pada bakteri dan tanaman, dan reseptor pola
tanam pengakuan dikenal diperlukan untuk pertahanan host terhadap
infeksi. Para TLRs adalah salah satu komponen yang paling kuno dalam
sistem kekebalan tubuh. Dalam beberapa tahun terakhir TLRs
diidentifikasi juga dalam sistem saraf mamalia. Anggota keluarga TLR
terdeteksi pada glia, neuron dan sel-sel progenitor saraf di mana mereka
mengatur sel
Toll-like receptor (TLR) yang telah teridentifikasi terdiri dari 13 reseptor,
nomor dari 1 sampai 13. Fungsi umum TLR adalah untuk mendeteksi
sinyal yang menunjukkan adnya infeksi. TLRs digunakan oleh sel-sel
kekebalan penduduk terutama di membran kulit dan lendir, situs alami
dari masuknya patogen. Untuk menghadapi ancaman organisme menular
yang sangat bervariasi, TLR yang menyajikan sejumlah besar struktur di
lokasi yang berbeda. Setelah dirangsang oleh sinyal dari mikroba reseptor
mengirimkan sinyal melalui jalur yang berbeda dengan inti sel di mana
mereka mengaktifkan respon imun, menyebabkan peradangan.

TLR telah memberikan kontribusi untuk identifikasi sinyal , asal virus atau
bakteri dan peran mereka dalam perlindungan terhadap penyakit yang
berbeda. Aspek biologi dan aspek klinis TLRs dengan implikasinya dalam
penyakit autoimun dan mekanisme imunopatagonesisa dalam proses
peradangan dalam sistem imun mulai banyak diungkapkan

TLR berpartisipasi dalam pertahanan pertama terhadap serangan patogen


dan memainkan peran penting dalam inflamasi, regulasi sel imun,
kelangsungan hidup/survival, dan proliferasi. Sampai saat ini, dikenal 13
anggota dari keluarga TLR yang telah diidentifikasi, yaitu TLR1, TLR2,
TLR4, TLR5, dan TLR6 terletak pada permukaan sel, dan TLR3, TLR7,
TLR8, dan TLR9 terlokalisasi ke kompartemen endosomal/lisosomal.
Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap
organisme yang yang seharusnya untuk melindungi, sebaliknya
komponen diri yang abnormal diidentifikasi sebagai benda asing oleh
sistem kekebalan tubuh melakukan serangan sel-sel sistem kekebalan
tubuh normal dari individu. Autoantibodies ditemukan dalam darah
pasien, tanda tangan ini merusak diri reaktivitas.

Studi terbaru menunjukkan peran dari aktivasi TLRs dalam genesis


beberapa penyakit autoimun, termasuk lupus eritematosus sistemik (SLE).
SLE adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan produksi
autoantibodi besar diarahkan terhadap komponen inti sel, menyebabkan
gangguan kulit, dan sendi dan pembuluh darah viseral dalam bentuk
terburuknya.

Untuk bergerak di sekitar lingkungan mereka, bakteri menggunakan


struktur seperti flagela cambuk bernama, terutama terdiri dari flagellin
monomer. Pengenalan flagellin oleh TLR5 sinyal adanya bakteri patogen
dan pada gilirannya memicu respon imun yang melindungi tubuh
terhadap infeksi bakteri yang serius.

Pada penelitian, tikus yang tidak memiliki TLR5 tidak terlalu rentan
terhadap infeksi, kecuali mereka juga kekurangan TLR4, yang mengakui
senyawa bakteri yang berbeda. Dengan demikian, kerja sama antara TLRs
berbeda kadang-kadang penting untuk perlindungan yang optimal
terhadap infeksi.

Dua pendekatan yang berbeda untuk mempelajari biologi TLRs


menggambarkan kompleksitas dari sistem bawaan perlindungan terhadap
infeksi:

 Efek-efek efek terkait dengan hilangnya kontrol dari aktivitasnya.


 Kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai sinyal diterima
secara bersamaan untuk menghasilkan respon imun yang optimal.

TLRs diyakini berfungsi sebagai dimer. Meskipun TLRs tampak berfungsi


sebagai homodimers, TLR2 bentuk heterodimer dengan TLR1 atau TLR6,
masing-masing dimer memiliki spesifisitas ligan yang berbeda. TLRs
tergantung pada co-reseptor lainnya untuk sensitivitas ligan penuh,
seperti dalam kasus pengakuan TLR4 tentang LPS, yang membutuhkan
MD-2. CD14 dan LPS-Binding Protein (LBP) yang diketahui untuk
memudahkan penyajian LPS untuk MD-2. Protein adaptor dan kinase yang
menengahi TLR sinyal yang telah ditargetkan. Selain itu, germline
mutagenesis acak dengan ENU telah digunakan untuk menguraikan jalur
TLR sinyal. Jika diaktifkan, TLRs molekul adaptor merekrut dalam
sitoplasma sel untuk menyebarkan sinyal. Empat molekul adaptor yang
diketahui terlibat dalam signaling. Protein ini yang dikenal sebagai MyD88,
Tirap atau juga disebut Mal), Trif, dan Trem . Adapter mengaktifkan
molekul lain dalam sel, termasuk protein kinase tertentu (IRAK1, IRAK4,
TBK1, dan Ikki ) yang memperkuat sinyal, dan akhirnya menyebabkan
induksi atau penekanan gen yang mengatur respon inflamasi. Secara
keseluruhan, ribuan gen diaktifkan oleh sinyal TLR, dan secara kolektif,
TLRs merupakan salah satu pintu gerbang paling pleiotropic untuk
modulasi gen.

Toll-like receptors (TLRs) juga memainkan peranan penting dalam


memediasi respon sistemik terhadap invasi patogen selama terjadi sepsis.
Bagaimanapun juga, peranan TLRs dalam perkembangan sepsis dan jejas
organ yang berhubungan dengan sepsis (sepsis-related organ injury)
masih tetap dalam perdebatan. TLRs diekspresikan pada
monosit/makrofag; ekspresi TLR ini mungkin tidak dengan mudah menjadi
respon spesifik ligan pada lingkungan. Fakta bahwa sinyal TLR dapat
membuat TLRs mengenali mediator berbahaya yang diinduksi oleh
pathogen penginvasi adalah berhubungan dengan respon positif untuk
inflamasi di antara populasi sel yang berbeda. Mekanisme ini dapat
berperan terhadap disfungsi organ dan mortalitas yang terjadi saat sepsis.
Pemahaman yang lebih baik mengenai biologi TLRs dapat
mengungkapkan pendekatan terapi terbaru pada sepsis

13 Jenis Toll-Like Receptor


Dengan berbagai Aspek
Klinisnya
 TLR 1. TLR 1 adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor (TLRs)
tergadap pola pengenalan resepotror dari sistem imun bawaan (innate
immune system). TLR1 dikenal patogen terkait pola molekul dengan
spesifisitas untuk bakteri gram positif. TLR1 juga telah ditetapkan
sebagai CD281 (cluster diferensiasi 281). TLRs mempunyai kesamaan
struktural dan fungsional. Kakter patogen terkait pola molekul (PAMPs)
yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin
yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. Berbagai
TLRs menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini ubiquitously
disajikan, dan pada tingkat lebih tinggi dari gen TLR lainnya. Transkrip
panjang yang berbeda mungkin disebabkan dari penggunaan situs
polyadenylation alternatif, dan / atau dari splicing alternatif, telah
dicatat untuk gen ini. TLR1 dikenal sebagai peptidoglikan dan (triacyl)
lipoprotein dalam konser dengan TLR2 (sebagai heterodimer) . Hal ini
ditemukan pada permukaan makrofag dan neutrofil.
 TLR 2. Toll-like receptor (TLRs) 2 juga dikenal sebagai TLR-2 adalah
protein pada manusia yang dikodekan oleh gen TLR2. TLR2 juga telah
ditetapkan sebagai CD282 (cluster diferensiasi 282). TLR-2 berperan
dalam sistem kekebalan tubuh. TLR-2 adalah protein membran,
reseptor, yang diekspresikan pada permukaan sel tertentu dan
mengakui zat asing dan berlalu pada sinyal yang sesuai dengan sel-
sel sistem kekebalan tubuh. Protein yang dikode oleh gen ini adalah
anggota dari keluarga Toll-like receptor (TLRs), yang memainkan
peranan penting dalam patogen dan aktivasi kekebalan bawaan.
PAMPs yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi
sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif.
Berbagai TLRs menunjukkan variasi pola yang berbeda ekspresi. Gen
ini diekspresikan paling banyak dalam leukosit darah tepi, dan
memediasi respon host terhadap bakteri Gram-positif dan ragi melalui
stimulasi dari NF-kB
 TLR 3. Toll-like receptor 3 (TLR3) juga dikenal sebagai CD283
(cluster diferensiasi 283) adalah protein yang pada manusia
dikodekan oleh gen TLR3. TLR3 adalah anggota keluarga Toll-like
receptor (TLRs) dalam reseptor pengenalan pola sistem kekebalan
tubuh bawaan. TLR3 adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor
(TLRs) reseptor yang memainkan peranan penting dalam pengakuan
patogen dan aktivasi kekebalan bawaan. TLRs sangat dilestarikan dari
Drosophila kepada manusia dan berbagi kesamaan struktural dan
fungsional. TLR mengenali patogen terkait pola molekul (PAMPs) yang
disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang
diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs
berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini
paling banyak disajikan di plasenta dan pankreas, dan terbatas pada
subpopulasi dendritik dari leukosit. TLR 3 dikenai oleh dsRNA yang
berhubungan dengan infeksi virus, dan menginduksi aktivasi NF-kB
dan produksi tipe I interferon. Hal demikian dapat berperan dalam
pertahanan host terhadap virus. TLR3 mengenali RNA untai ganda,
suatu bentuk informasi genetik yang dibawa oleh beberapa virus
seperti reoviruses. TLR 3 menginduksi aktivasi NF-kB meningkatkan
produksi interferon tipe I yang sinyal sel-sel lain untuk meningkatkan
pertahanan antivirus mereka. RNA untai ganda juga dikenali oleh
reseptor sitoplasmik RIG-I dan MDA-5. TLR3 menampilkan peran
protektif pada model tikus aterosklerosis. Selain itu. Aktivator TLR3
menunjukkan efek pada sel-sel pembuluh darah manusia
 TLR 4. Toll-like receptor 4 (TLR4) adalah protein yang pada
manusia dikodekan oleh TLR4 gen . TLR 4 Mendeteksi lipopolisakarida
dari bakteri Gram-negatif bakteri dan dengan demikian penting dalam
aktivasi sistem imun alami . TLR4 juga telah ditetapkan
sebagai CD284 ( cluster diferensiasi284). Protein yang dikode oleh
gen ini adalah anggota dari keluarga Pulsa seperti (TLR) reseptor,
yang memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan
aktivasi kekebalan bawaan . TLRs sangat diwariskan
Drosophila kepada manusia berbagi kesamaan struktural dan
fungsional. TLR4 juga mengenali patogen terkait pola molekul
( PAMPs ) yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi
sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif.
TLRs berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini
paling banyak diproduksi di plasenta , dan dalam myelomonocytic
subpopulasi dari leukosit . Telah terlibat dalam transduksi sinyal
peristiwa yang disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS) ditemukan di
sebagian besar bakteri gram negatif . Mutasi pada gen ini telah
dikaitkan dengan perbedaan respon LPS. Juga, beberapa varian
transkrip gen ini telah ditemukan, namun potensi penyandi protein
dari kebanyakan mereka tidak pasti
 TLR 5. Toll-like receptor 5 (TLR5) juga dikenal sebagai TLR5, adalah
protein yang pada manusia dikodekan oleh TLR5 gen. Protein yang
dikode oleh gen ini adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor 4
(TLR4) yang memainkan peranan penting dalam pengenalan patogen
dan aktivasi kekebalan bawaan . TLRs sangat diwariskan Drosophila
kepada manusia dengan berbagi kesamaan struktural dan fungsional.
MTLRs5 mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs)
yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin
yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. TLRs
berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Produk gen ini
diekspresikan dalam sel myelomonocytic, dan mengenali flagellin
bakteri, komponen utama dari flagela bakteri dan faktor virulensi. The
activation of this receptor mobilizes the nuclear factor NF-κB and
stimulates tumor necrosis factor-alpha production. Aktivasi reseptor
ini memobilisasi faktor nuklir NF-kB dan merangsang produksi
nekrosis faktor alfa tumor produksi. TLR5 mengenali flagellin .
Flagellin adalah monomer protein yang membentuk filamen dari
flagela bakteri, ditemukan di hampir semua bakteri motil. Ada daerah
yang sangat kuat dalam protein flagellin antara semua bakteri,
memfasilitasi pengakuan flagellin oleh reseptor kuman-line dikodekan
seperti TLR5
 TLR 6. Toll-like receptor 6 (TLR6) adalah protein yang pada manusia
dikodekan oleh gen TLR6. TLR6 juga telah ditetapkan sebagai CD286
(cluster diferensiasi 286). Protein yang dikode oleh gen ini adalah
anggota dari reseptor Pulsa seperti (TLR) keluarga yang memainkan
peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan
bawaan. TLRs sangat dilestarikan dari Drosophila kepada manusia dan
berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali
pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) yang disajikan pada
agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk
pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs berbagai
menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini secara
fungsional berinteraksi dengan pulsa seperti reseptor 2 untuk
memediasi respon seluler untuk lipoprotein bakteri
 TLR 7. Toll-like receptor 7 (TLR7), juga dikenal sebagai TLR7, adalah
protein yang pada manusia dikodekan oleh gen TLR7. Orthologsare
ditemukan pada mamalia dan burung. TLR7 adalah anggota dari
keluarga Pulsa seperti (TLR) reseptor yang memainkan peranan
penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan bawaan.
TLRs sangat dilestarikan dari Drosophila kepada manusia dan berbagi
kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali pathogen-
associated molecular patterns (PAMPs) yang disajikan pada agen
infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk
pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs berbagai
menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini terutama
dinyatakan dalam paru-paru, plasenta, dan limpa, dan terletak di
dekat anggota keluarga lainnya,, TLR8 pada kromosom X. TLR7
human mengenali single stranded RNA atau RNA berantai tunggal di
endosomes, yang merupakan fitur umum dari genom virus yang
diinternalisasi oleh makrofag.
 TLR 8. Toll-like receptor 8 (TLR8) adalah protein yang pada manusia
dikodekan oleh gene TLR8 gene. TLR8 juga telah ditetapkan sebagai
CD288 (cluster differentiation288). Protein yang dikode oleh gen ini
adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor yang memainkan
peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan
bawaan. TLRs diwariskan dari Drosophila kepada manusia dan berbagi
kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali pathogen-
associated molecular patterns (PAMPs)) yang disajikan pada agen
infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk
pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs berbagai
menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini terutama
dinyatakan dalam paru-paru dan leukosit darah tepi, dan terletak di
dekat anggota keluarga lainnya, TLR7, pada kromosom X. TLR8
mengenali G-rich oligonucleotides.
 TLR 9. Toll-like receptor 9 (TLR9) adalah protein yang pada manusia
dikodekan oleh gene TLR9. TLR9 juga telah ditetapkan sebagai CD289
(cluster differentiation289). TLR9 adalah anggota dari family Toll-like
receptor yang memainkan peranan penting dalam pengenalan
patogen dan aktivasi kekebalan bawaan. TLRs diberi nama untuk
tingkat tinggi konservasi dalam struktur dan fungsi terlihat antara
TLRs mamalia dan transmembran Tol protein Drosophila. TLRs adalah
transmembran protein, diekspresikan pada permukaan sel dan
kompartemen endocytic dan mengenali pathogen-associated
molecular patterns (PAMPs) yang disajikan pada agen infeksi dan
memulai sinyal untuk menginduksi produksi sitokin yang diperlukan
untuk kekebalan bawaan dan kekebalan adaptif berikutnya. Berbagai
TLRs menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini
secara khusus disajikan dalam jaringan sel kekebalan kaya, seperti
limpa, kelenjar getah bening, sumsum tulang dan leukosit darah
perifer. Studi pada tikus dan manusia menunjukkan bahwa reseptor ini
menengahi respon seluler untuk dinucleotides CpG unmethylated
dalam DNA bakteri untuk me-mount respon imun bawaan. TLR9
mengenali urutan CpG unmethylated dalam molekul DNA. Situs CpG
relatif jarang (~ 1%) pada genom vertebrata dibandingkan dengan
genom bakteri atau DNA virus. TLR9 diekspresikan oleh sel banyak
dari sistem kekebalan tubuh seperti sel-sel dendritik, limfosit B,
monosit dan alami pembunuh (NK) sel. TLR9 intrasel, dalam
kompartemen endosomal dan fungsi untuk mengingatkan sistem
kekebalan tubuh dari infeksi virus dan bakteri dengan mengikat DNA
kaya motif CpG. Sinyal TLR9 menyebabkan aktivasi sel memulai pro-
inflamasi reaksi yang menghasilkan produksi sitokin seperti type-I
interferon dan IL-12.
 TLR 10. Toll-like receptor 10 (TLR10) adalah protein yang pada
manusia dikodekan oleh gene TLR10. TLR10 juga telah ditetapkan
sebagai CD290 (cluster diferensiasi 290). Protein yang dikode oleh gen
ini adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor yang memainkan
peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan
bawaan. TLRs diwaruiskan dari Drosophila kepada manusia dan
berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali
pathogen-associated molecular patterns (PAMPs)) yang disajikan pada
agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk
pengembangan imunitas yang efektif. Berbagai TLRs bmenunjukkan
pola yang berbeda ekspresi. Gen ini paling sangat disajikan dalam
jaringan limfoid seperti limpa, kelenjar getah bening, timus, dan
amandel. Fungsi pastinya tidak diketahui. Varian transkrip beberapa
alternatif disambung pengkodean protein yang sama telah ditemukan
gen ini
 TLR 11. Toll-like receptor 11 (TLR11) adalah protein yang dikodekan
oleh gen TLR11. TLR 11 termasuk keluarga Toll-like receptor dan the
Interleukin-1 receptor/Toll-like receptor superfamily. Dengan
mengenali pola molekul hadir pada mikroba, hal ini membantu
menyebarkan respon kekebalan host. TLR 11 menjadi peran penting
baik dalam respon imun bawaan dan adaptif, melalui aktivasi Tumor
necrosis factor-alpha, Interleukin 12 (IL-12) respon, dan Interferon-
gamma (IFN-gamma) sekresi . TLR 11 khusus mount suatu respon
kekebalan terhadap dua mikroba yang berbeda: Toxoplasma gondii (T.
gondii) dan Escherichia coli uropathogenic (E. coli).
 TLR 12. TLR12 asam amino 911-926 dari tikus. Toll-like receptor
pada mamalia terdiri dari keluarga protein transmembran ditandai
dengan beberapa salinan mengulangi leusin kaya di ekstraseluler
domain dan IL-1 dalam domain sitoplasmik. Sinyal TLRs melalui
molekul adaptor . Keluarga TLR adalah mediator filogenetis
dilestarikan dari kekebalan bawaan yang sangat penting bagi
pengenalan mikroba. Sebagian besar spesies mamalia memiliki antara
sepuluh dan lima belas jenis TLRs. TLRs fungsional 10(TLR1-10) telah
diidentifikasi pada manusia. Manusia juga menyandikan gen TLR11
mengandung beberapa kodon dan protein yang tidak disajikan.
Namun, tikus dan tikus TLR11 yang fungsional, dan TLR11 fungsi
human hilang selama evolusi. Sejarah menunjukkan ekspresi TLR
telah paling ekstensif dipelajari dalam sistem kekebalan tubuh. Secara
keseluruhan, TLRs yang disajikan dalam sel kompeten kekebalan
tubuh, termasuk makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel epitel mukosa
dan sel endotel dermal. Namun, TLRs juga telah diidentifikasi di
banyak jenis sel lain dan lokasi anatomi jaringan di mana mereka
dinyatakan baik konstitutif atau diinduksi selama infeksi. TLR12
menampilkan pola yang berbeda ekspresi dalam makrofag, hati,
ginjal, kandung kemih dan sel epitel. TLR12 tidak merespon ligan TLR
yang diketahui.
 TLR 13. Toll-like receptor 11 (TLR11) adalah anggota baru dari famili
Toll-like receptor . Untuk menjelaskan dasar ekspresi gen molekul
murin TLR13 , aktivitas TLR13 gene promoter yang dikenalii. Laporan
analisan gen gen dan EMSA menunjukkan bahwa transkripsi gen
TLR13 diatur melalui three cis-acting elements yang berinteraksi
dengan Ets2, Sp1, dan PU.1 faktor transkripsi. Selanjutnya, pekerjaan
kami menunjukkan bahwa faktor-faktor transkripsi dapat bekerja sama
berpuncak pada transkripsi maksimal dari gen TLR13. Sebaliknya, NF-
kB tampaknya bertindak sebagai penghambat TLR13 transkripsi.
Over-ekspresi Ets2 menyebabkan peningkatan tajam dalam aktivitas
transkripsional TLR13 promotor, namun, lebih-ekspresi NF-kB p65
secara dramatis menghambatnya. Selain itu, INF-β mampu bertindak
sebagai transkripsi TLR13 , tetapi sinyal diaktifkan dari LPS/TLR4 dan
PGN/TLR2 sangat menghambat promotor gen TLR13. Dengan
demikian, temuan ini mengungkapkan mekanisme regulasi
genTLR13 , sehingga memberikan informasi tentang fungsi TLR13
dalam respon kekebalan terhadap patogen.

Inilah 13 Jenis Toll-Like


Receptor yang telah
teridentifikasi
Recept Ligand
or Ligand(s location Adapter(s) Locat

multiple triacyl
TLR 1 lipopeptides Bacteria MyD88/MAL cell surfa

TLR 2 multiple glycolipids Bacteria MyD88/MAL cell surfa

multiple
lipopeptides Bacteria

multiple
lipoproteins Bacteria

lipoteichoic acid Bacteria

HSP70 Host cells


zymosan (Beta-
glucan) Fungi

Numerous others

double-stranded cell
TLR 3 RNA, poly I:C viruses TRIF compartm

Gram-
negative
lipopolysaccharide bacteria

several heat Bacteria and


shock proteins host cells

fibrinogen host cells

heparan sulfate
fragments host cells

hyaluronic acid
fragments host cells

nickel

TLR 4 Numerous others MyD88/MAL/TRIF/TRAM cell surfa

TLR 5 flagellin Bacteria MyD88 cell surfa

multiple diacyl
TLR 6 lipopeptides Mycoplasma MyD88/MAL cell surfa
imidazoquinoline

loxoribine (a
guanosine
analogue)
small
synthetic
bropirimine compounds

single-stranded cell
TLR 7 RNA MyD88 compartm

small synthetic
compounds; single- cell
TLR 8 stranded RNA MyD88 compartm

unmethylated CpG
Oligodeoxynucleotid cell
TLR 9 e DNA Bacteria MyD88 compartm

TLR 10 unknown unknown

Toxoplasma cell
TLR 11 Profilin gondii MyD88 compartm

TLR 12 unknown unknown ?

TLR cell
13[28] unknown Virus MyD88, TAK-1 compartm

Anda mungkin juga menyukai