Mekanisme Pertahanan
Tubuh Terhadap Bakteri
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia
Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi
matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah
tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi
oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan
cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan
negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan
tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.
Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi
bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit
dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh,
sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan
antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan
gizi jarang diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk
mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi yang
menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri dimusnahkan oleh
sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus. Mekanisme imun lainnya yang
berevolusi pada eukariota kuno dan tetap pada keturunan modern, seperti tanaman,
ikan, reptil dan serangga. Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang
disebut defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang lebih
berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya evolusi
vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak jenis protein, sel,
organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada jaringan yang rumit dan dinamin.
Sebagai bagian dari respon imun yang lebih kompleks ini, sistem vertebrata
mengadaptasi untuk mengakui patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi
membuat memori imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama
pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas yang diterima
adalah basis dari vaksinasi.
Streptococcu Salivary
s mutans Glycosyl transferase glycoprotein Pellicle of tooth Dent
Buccal
Streptococcu epithelium of
s salivarius Lipoteichoic acid Unknown tongue None
N-
Streptococcu acetylhexosamine-
s galactose Mucosal
pneumoniae Cell-bound protein disaccharide epithelium pneu
Fimbriae Galactose on
Bordetella (“filamentous sulfated Respiratory Who
pertussis hemagglutinin”) glycolipids epithelium coug
N- Fucose and
Vibrio methylphenylalanin mannose Intestinal
cholerae e pili carbohydrate epithelium Chole
Respiratory
Mycoplasma Membrane protein Sialic acid epithelium Pneu
Conjunctival or
urethral
Chlamydia Unknown Sialic acid epithelium
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari
kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan
pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut,
sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b
konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan
menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk
menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-
lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga
dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim
yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan
sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah
gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik (neutropenia)
atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).
Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.
Invasin Bacteria Involved Activity
Streptococci,
Hyaluronidas staphylococci and Degrades hyaluronic of connective
e clostridia tissue
Vibrio
Neuraminida choleraeand Shigella Degrades neuraminic acid of
se dysenteriae intestinal mucosa
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan
menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan
menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu
terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi
sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang
mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan
sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan
eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap
bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi
biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel
target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif
infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi
dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat
berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks
membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin
bertambah.
Opsonisasi
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat
terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r
dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen
pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai
fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri
Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan
opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap
proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi
oleh antibodi.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat
masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel.
Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga
menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari
komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik
terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi
infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang
dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih
dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor
kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada
dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN
pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada
proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel.
Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri
yang telah menginfeksi.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi
maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat
itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses
oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang
terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat
dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam
hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H 2O2 dengan superoksida
dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi
berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein,
sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan
bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein
yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat
merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat
terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim.
Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai
antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan
nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi
oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis
bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai
oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2
pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara
melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di
membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap
neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil
melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak
antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen
respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan
permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi
IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil
akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab
infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-
komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat
permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit
dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler,
yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Strategi pertahanan bakteri
Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan
obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi
tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah
bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini
dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi,
sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda
dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil
tuberkel dan leprosi, dan organismeListeria dan Brucella menghindari perlawanan
sistem imun dengan cara hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit
mononuklear, karena sel tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh.
Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami
opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan
perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga
mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid
mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive
oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen
peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom
dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag
dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya
Mekanisme pertahanan tubuh
Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat
penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan
partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag
yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin
IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler,
terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide
(NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi
yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang
diperantarai oleh sel T CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang
kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang
membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal
ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan
gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh
respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.
Daftar Pustaka
Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4:
Bacterial Toxins. Marcel Dekker, New York, 1988
Iglewski BH, Clark VL (eds): Molecular Basis of Bacterial
Pathogenesis. Vol. XI of The Bacteria: A Treatise on Structure and
Function. Academic Press, Orlando, FL, 1990
Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.
Luderitz O, Galanos C: Endotoxins of gram-negative bacteria. p.307.
In Dorner F, Drews J (eds): Pharmacology of Bacterial Toxins.
International Encyclopedia of Pharmacology and Therapeutics, Section
119. Pergamon, Elmsford, NY, 1986
Mims CA: The Pathogenesis of Infectious Disease. Academic Press,
London, 1976
Payne SM: Iron and virulence in the family Enterobacteriaceae. Crit
Rev Microbiol 16:81, 1988
Sack RB: Human diarrheal disease caused by
enterotoxigenic Escherichia coli. Annu Rev Microbiol 29:333, 1975
Salyers, AA, Whitt DD: Bacterial Pathogenesis – A Molecular
Approach ASM Press, 1994
Smith H: Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol
Rev 41:475, 1977
Smith H, Turner JJ (eds): The Molecular Basis of Pathogenicity. Verlag
Chemie, Deerfield Beach, FL, 1980
Weinberg ED: Iron withholding: a defense against infection and
neoplasia. Physiol Rev 64:65, 1984
Eisenstein TK, Actor P, Friedman H: Host Defenses to Intracellular
Pathogens. Plenum Publishing Co, New York, 1983
Finlay BB, Falkow S: Common themes in microbial pathogenicity.
Microbiol Rev 53:210, 1989
Foster TJ: Plasmid-determined resistance to antimicrobial drugs and
toxic metal ions in bacteria. Microbiol Rev 47:361, 1983
MEKANISME RESPON TUBUH TERHADAP
SERANGAN MIKROBA
Diposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam
beberapa jenjang tahapan. Tahapan awal bersifat nonspesifik
atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan kedua
bersifat spesifik dan didapat, yang diinduksi oleh komponen
antigenik mikroba. Tahapan terakhir adalah respons peningkatan
dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik
yang diatur oleh berbagai produk komponen respons inflamasi,
seperti mediator kimia.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai
perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan organisme,
termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan
dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada
autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan terluar dari
tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk makrofag dan neutrofil yang
siap melumat organisme lain pada saat terjadi penetrasi pada permukaan kulit,
dengan tidak dilengkapi oleh antibodi.Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.
Respon inflamasi dan fagositosis dari tuan rumah untuk menyerang bakteri yang
segera dan nonspesifik. Sebuah respon, imun spesifik akan segera ditemui oleh
bakteri invasif. Kekuatan imun adaptif dari antibodi-mediated imunitas (AMI) dan
imunitas diperantarai sel (CMI) yang dibawa ke dalam presentasi antigen bakteri ke
sistem imunologi.
Meskipun AMI adalah respon imunologi utama efektif terhadap bakteri ekstraseluler,
respon defensif dan protektif terhadap bakteri intraselular utama adalah CMI. Pada
permukaan epitel, pertahanan kekebalan utama tertentu dari tuan rumah adalah
perlindungan yang diberikan oleh antibodi IgA sekretori. Setelah permukaan epitel
telah ditembus, namun pertahanan kekebalan dari AMI dan CMI yang ditemukan.
Jika ada cara bagi organisme untuk berhasil melewati atau mengatasi pertahanan
imunologi, maka beberapa bakteri patogen mungkin telah “ditemukan” itu. Bakteri
berkembang sangat cepat dalam kaitannya dengan tuan rumah mereka, sehingga
sebagian besar anti-tuan strategi layak kemungkinan telah dicoba dan
dimanfaatkan. Akibatnya, bakteri patogen telah mengembangkan berbagai cara
untuk memotong atau mengatasi pertahanan imunologi dari host, yang berkontribusi
pada virulensi dari mikroba dan patologi penyakit.
Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis spesifik
dalam respon imun terhadap antigen tertentu (Ag). Toleransi ke Ag bakteri tidak
melibatkan kegagalan umum dalam respon imun tetapi kekurangan tertentu dalam
kaitannya dengan antigen tertentu (s) dari bakteri tertentu. Jika ada respon
kekebalan yang tertekan terhadap antigen yang relevan dari parasit, proses infeksi
difasilitasi. Toleransi dapat melibatkan baik AMI atau CMI atau kedua lengan dari
respon imunologi.
Toleransi terhadap suatu Ag dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga yang
mungkin relevan dengan infeksi bakteri.
1. Paparan Antigen Janin terpapar Ag.Jika janin terinfeksi pada tahap tertentu dari
perkembangan imunologi, mikroba Ag dapat dilihat sebagai “diri”, dengan demikian
menyebabkan toleransi (kegagalan untuk menjalani respon imunologi) ke Ag yang
dapat bertahan bahkan setelah kelahiran.
1. High persistent doses of circulating Ag . Toleransi terhadap bakteri
atau salah satu produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar
antigen bakteri yang beredar dalam darah. The immunological system
becomes overwhelmed. Sistem kekebalan menjadi kewalahan.
Antigenic Disguises
Beberapa patogen dapat menyembunyikan antigen unik dari antibodi opsonizing
atau pelengkap. Bakteri mungkin dapat untuk melapisi diri dengan protein host
seperti fibrin, fibronektin, atau bahkan molekul immunolobulin. Dengan cara ini
mereka dapat menyembunyikan komponen antigen permukaan mereka sendiri dari
sistem imunologi.
Protein A diproduksi oleh S. aureus , dan Protein G analog yang dihasilkan oleh
Streptococcus pyogenes, mengikat bagian Fc dari imunoglobulin, sehingga lapisan
bakteri dengan antibodi dan membatalkan kapasitas opsonizing mereka dengan
disorientasi. Lapisan fibronektin Treponema pallidum memberikan menyamar
imunologi untuk spirochete tersebut. E. coli K1, yang menyebabkan meningitis pada
bayi baru lahir, memiliki kapsul terdiri terutama asam sialic memberikan menyamar
antigen, seperti halnya kapsul asam hialuronat Streptococcus pyogenes.
Imunosupresi
Dalam bentuk ekstrim dari kusta, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, ada
respon yang buruk terhadap antigen lepra, serta antigen yang tidak terkait. Setelah
pasien telah berhasil diobati, muncul kembali reaktivitas imunologi, menunjukkan
bahwa imunosupresi umum sebenarnya karena penyakit.
Dalam kasus-kasus ringan penyakit kusta sering merupakan penekanan kekebalan
terkait yang spesifik untuk M. leprae antigens. leprae antigen. Hal ini terpisah dari
toleransi, karena antigen unik (protein) Hal ini dapat dijelaskan oleh (1) kurangnya
sinyal costimulatory (gangguan sekresi sitokin), (2) aktivasi sel T penekan, (3)
gangguan di T H1 / T H2 kegiatan sel.
Saat ini, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang patogen bakteri
menghambat respon imun umum. Tampaknya kemungkinan bahwa itu adalah
karena gangguan pada fungsi sel B, sel T atau makrofag. Sejak bakteri intraseluler
banyak menginfeksi makrofag, mungkin diharapkan bahwa mereka berkompromi
peran sel-sel dalam respon imunologi.
Imunosupresi Umum diinduksi dalam host mungkin nilai langsung ke patogen, tetapi
tidak ada arti khusus (untuk penyerbu) jika hanya mempromosikan infeksi oleh
mikroorganisme yang tidak terkait. Mungkin ini adalah mengapa hal itu tidak
tampaknya menjadi strategi yang umum digunakan bakteri.
Kegigihan Patogen di Situs Tubuh tidak dapat diakses untuk Respon Kekebalan
Tubuh Spesifik Beberapa patogen dapat menghindari membuka diri untuk kekuatan
kekebalan tubuh. Patogen intraseluler dapat menghindari respon host imunologi
selama mereka tinggal di dalam sel yang terinfeksi dan mereka tidak mengizinkan
Ag mikroba terbentuk pada permukaan sel. Ini terlihat dalam makrofag terinfeksi
Brucella, Listeria atau M. leprae . Makrofag mendukung pertumbuhan bakteri dan
pada saat yang sama memberikan mereka perlindungan dari respon imun..
Beberapa patogen intraseluler (Yersinia, Shigella, Listeria, E. coli) dapat mengambil
residensi di dalam sel-sel yang tidak fagosit atau APC dan antigen mereka tidak
ditampilkan di permukaan sel yang terinfeksi. Mereka hampir tak terlihat oleh sel-sel
sistem kekebalan tubuh.
Beberapa contoh bakteri patogen yang tumbuh di situs jaringan umumnya tidak
dapat diakses pada kekuatan AMI dan CMI diberikan di bawah ini.
Streptococcus mutans dapat memulai karies gigi pada setiap saat setelah letusan
gigi, terlepas dari status kekebalan dari tuan rumah. Entah host tidak mengalami
respon imun IgA sekretori efektif atau berperan kecil dalam mencegah kolonisasi
dan pengembangan plak berikutnya.
Keadaan pembawa hasil demam tifoid dari infeksi persisten oleh basil tifus,
Salmonella typhi. Organisme ini tidak dihilangkan selama infeksi awal dan tetap
dalam host untuk bulan, tahun atau waktu hidup. Dalam carrier, S typhi mampu
menjajah saluran empedu (kantung empedu) dari dari kekuatan kekebalan tubuh,
dan ditumpahkan ke dalam urin dan feses.
Bakteri penyebab infeksi pada folikel rambut, seperti jerawat, jarang menemukan
jaringan imunologi.
Banyak jenis antibodi (Ab) terbentuk terhadap Ag tertentu, dan beberapa komponen
bakteri dapat menampilkan determinan antigenik yang berbeda. Antibodi cenderung
berkisar dalam kapasitas mereka untuk bereaksi dengan Ag (kemampuan Ab spesifik
untuk mengikat suatu Ag disebut aviditas).Jika Abs terbentuk terhadap Ag bakteri
dari aviditas yang rendah, atau jika mereka diarahkan terhadap determinan
antigenik yang tidak penting, mereka mungkin hanya aksi antibakteri lemah. Seperti
“tidak efektif” (non-penetral) Abs bahkan mungkin membantu patogen dengan
menggabungkan dengan permukaan Ag dan menghalangi lampiran dari setiap Abs
fungsional yang mungkin hadir.
Dalam kasus Neisseria gonorrhoeae adanya antibodi terhadap protein membran luar
disebut rmp mengganggu reaksi bakterisidal serum dan dalam beberapa cara
kompromi pertahanan permukaan dari saluran urogenital wanita. Meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi ulang sangat berhubungan dengan keberadaan sirkulasi
antibodi rmp.
Protein A, diproduksi oleh S. aureus mungkin tetap terikat pada permukaan sel
stafilokokus atau dapat dirilis dalam bentuk larut. Protein A akan mengikat ke
wilayah Fc dari IgG. Di permukaan sel, protein A mengikat IgG dalam orientasi yang
salah untuk mengerahkan aktivitas antibakteri, dan protein terlarut A agglutinates
dan sebagian inactivates IgG.
Mungkin ada beberapa cara yang patogen mengganggu aksi antibakteri molekul
antibodi. Beberapa patogen menghasilkan enzim yang merusak antibodi.
Variasi antigenik
Salah satu cara bakteri dapat mengelabui kekuatan dari respon imunologi adalah
secara berkala mengubah antigen, yaitu untuk menjalani variasi antigenik. Antigen
dapat bervariasi atau berubah dalam host selama infeksi, atau organisme dapat ada
di alam sebagai jenis antigen beberapa (serotipe atau serovarian). Variasi antigenik
adalah mekanisme penting yang digunakan oleh mikroorganisme patogen untuk
keluar dari aktivitas penetralan antibodi.
Beberapa jenis variasi antigenik selama hasil infeksi dari spesifik lokasi inversi atau
konversi gen atau penyusunan ulang gen dalam DNA dari mikroorganisme.
Demikianlah halnya dengan beberapa patogen yang mengubah antigen selama
infeksi dengan beralih dari satu jenis fimbrial yang lain, atau dengan beralih kiat
fimbrial. Hal ini membuat respon AMI asli usang dengan menggunakan fimbriae baru
yang tidak mengikat antibodi sebelumnya.
Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum tulang. Sel
punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping darah, neutrofil,
monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor limfoid merupakan prekursor dari
sel T, sel NK, sel B.
1. Tahapan Awal
Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang
timbul sebagai akibat invasi mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri
dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel leukosit
(polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast,
sel natural killer, serta suatu sistem mediator kimia yang kompleks
baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun yang terdapat dalam
plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear (lihat bab
tentang fagosit) berfungsi pada proses awal untuk membunuh
mikroba, dan mediator kimia dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator
kimia ini akan berinteraksi satu dengan lainnya, juga dengan sel
radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik mononuklear
maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis mikroba.
Mediator tersebut antara lain adalah histamin, kinin/bradikinin,
komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin. Respons inflamasi
ini bertujuan untuk mengeliminasi dan menghambat penyebaran
mikroba.
Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin
akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran darah dan keluarnya
sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.
Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja
enzim protease kalikrein pada kininogen. Mediator ini juga
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya kerusakan
pembuluh darah serta endotoksin bakteri gram negatif, juga sel dalam
menginduksi mediator kimia lainnya.
Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur
alternatif dapat meningkatkan aliran darah, permeabilitas pembuluh
darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir aktivasi
komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan
fosfolipid lainnya yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit
asam arakidonat dapat menstimulasi motilitas leukosit yang
dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi
trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada.
Prostaglandin juga dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat
termoregulator di hipotalamus. Dikatakan bahwa panas juga
merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba
tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu
tubuh yang tinggi akan memberikan dampak yang buruk pada
pejamu.
Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang
mengikat lipopolisakarida, protein amiloid A, transferin dan α1-
antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons terhadap
inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein
α1-antitripsin misalnya akan menghambat protease yang merangsang
produksi kinin. Transferin yang mempunyai daya ikat terhadap besi,
akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan mikroba. Protein yang
mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri
Gram negatif.
Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator
yang kuat dalam respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian
diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan meningkatkan
permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi
prostaglandin dan faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel
induk hematopoietik dan meningkatkan pertumbuhan serta
diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel
endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan
monosit dan makrofag juga akan memfagosit debris pejamu dan
patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan enzim neutrofil dan
enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi
makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi
makrofag yang disekresi limfosit.
2. Tahapan kedua
Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi
tahapan kedua berupa pertahanan spesifik yang dirangsang oleh
antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang dipresentasikan
makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas
selular.
Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan
oleh sel plasma sebagai hasil aktivasi antigen mikroba terhadap
limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan mikroba sehingga
tidak menjadi toksis lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba
sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin,
sehingga memudahkan proses fagositosis mikroba (lihat bab tentang
imunitas humoral). Antibodi juga berperan dalam proses
ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun
sel NK sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi
juga dapat mengaktifkan komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas
selular yang diperankan oleh limfosit T melalui limfokin yang dilepas
sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel
fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang
dihuni virus (lihat Bab 3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel Tc untuk melisis sel yang
dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan
imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh
untuk terminasi infeksi mikroba intraselular seperti infeksi virus,
parasit dan bakteri intraselular.
3. Tahapan Akhir
Tahapan terakhir ini terdiri atas peningkatan respons imun baik
melalui aktivasi komplemen jalur klasik maupun peningkatan
kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan limfosit T
terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi
respons inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta
merangsang kemotaksis, pemrosesan antigen, pemusnahan
intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat teratasi.
Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi,
sel makrofag, sel PMN, komplemen dan pertahanan nonspesifik
lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit infeksi.
Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan
terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia
(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang
dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam
sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran
infeksi.
Protein
fase akut berfluktuasi sebagai respons terhadap cedera jaringan dan
infeksi. Mereka disintesis (oleh hepatosit) menanggapi pro-
inflamasi sitokin dan mencakup: ● C-reactive protein ( CRP ),
mannose-binding protein , complement factors , ● alpha-1 acid
glycoprotein , ● alpha 1-antitrypsin , alpha 1-antichymotrypsin , ●
alpha 2-macroglobulin , ● alfa 2-macroglobulin , ● serum amyloid P
component ( SAP , amyloid ), haptoglobins (alpha-2-globulins),
ceruloplasmin , complement components C3 , C4 ,
faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor von
Willebrand, plasminogen) ● feritin
Pro-inflamasi sitokin termasuk IL-1 , IL-6 , IL-8 , TNF-α (alfa
nekrosis faktor tumor), dan TNF-β (α lymphotoxin, LT). Sebagai respon
terhadap infeksi, makrofag mensekresi IL-1 dan TNFs , yang
spektrum luas sitokin yang merangsang respon
inflamasi dari neutrofil , fibroblas, dan sel endotel. Fibroblast dan sel
endotel menanggapi IL-1 dan TNF dengan merekrut lebih banyak sel
kekebalan untuk situs peradangan.
Nyeri: Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradang
an, banyak mediator yang disampaikan oleh sirkulasi dan /
atau dibebaskan dari penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator
Proalgesic termasuk sitokin pro inflamasi, kemokin, proton,
faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin, yang
diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk. Mediator
analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di
jaringan meradang. Ini termasuk anti-inflamasi sitokin dan
peptida opioid. Interaksi antara leukosit yang
diturunkan dari peptida opioid dan reseptor opioid
dapat menyebabkan ampuh, penghambatan klinis yang relevan dari nyeri
(analgesik). Reseptor opioid yang hadir pada ujung perifer dari neuron
sensorik. Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang
bermigrasi ke jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan
molekul adhesi.
Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen
(misalnya kortikotropin-releasing factor, sitokin, noradrenalin),
leukosit dapat mengeluarkan opioid.
Mereka mengaktifkan reseptor opioid perifer dan menghasilkan analgesia
dengan menghambat rangsangan saraf sensorik dan /
atau pelepasan neuropeptida rangsang. Konsep generasi nyeri
dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan analgesia
oleh kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.
Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhada
p infeksi:
memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke
lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga
menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi
mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.
Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll,
yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area
infeksi:
Salah satu yang paling awal sitokin yang dihasilkan tumor necrosis factor
alpha (TNF-α), yang disintesis oleh monosit dan makrofag teraktivasi.
Sitokin ini mengubah kapiler di dekatnya sehingga sirkulasi sel
darah putih dapat dengan mudah dibawa ke tempat infeksi. TNF-
α juga dapat mengikat reseptor pada sel yang terinfeksi dan
merangsang respon antivirus. Dalam hitungan detik,
serangkaian sinyal mulai ada yang menyebabkan kematian sel,
sebuah usaha untuk mencegah penyebaran infeksi.
Sifat yang tepat dari respon inflamasi tergantung pada virus dan
jaringan yang terinfeksi. Virus yang tidak membunuh sel – virus
noncytopathic – tidak menyebabkan respon inflamasi yang kuat.
Karena sel-sel dan protein dari respon inflamasi berasal dari aliran darah,
jaringan dengan akses pada darah tidak mengalami kehancuran yang
terkait dengan peradangan. Namun, hasil dari
infeksi sedemikian ‘istimewa’ situs – otak, misalnya –
mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan jaringan lain.
sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem
kekebalan turunan
sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,
sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.
sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk
“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat
saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan
turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.[2]
Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum
tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping
darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor
limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.
Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil, basofil, dan fagosit
termasuk makrofaga, neutrofil, dan sel dendritik.
Jenis
Ada beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel
polimorfonuklearyaitu:
Basofil.
Eosinofil.
Neutrofil.
Halo .
Limfosit.
Monosit.
% dalam
tubuh
Tipe Gambar Diagram manusia Keterangan
Neutrofil berhubungan
dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri
serta proses peradangan
kecil lainnya, serta
biasanya juga yang
memberikan tanggapan
pertama terhadap infeksi
bakteri; aktivitas dan
matinya neutrofil dalam
jumlah yang banyak
Neutrofi menyebabkan adanya
l 65% nanah.
Eosinofil terutama
berhubungan dengan
infeksi parasit, dengan
demikian meningkatnya
Eosinofi eosinofil menandakan
l 4% banyaknya parasit.
Basofil terutama
bertanggung jawab untuk
memberi reaksi alergi dan
antigen dengan jalan
mengeluarkan histamin
kimia yang menyebabkan
Basofil <1% peradangan.
Limfosit 25% Limfositlebih umum dalam
sistem limfa. Darah
mempunyai tiga jenis
limfosit:
Sel B: Sel B membuat
antibodi yang mengikat
patogen lalu
menghancurkannya.
(Sel B tidak hanya
membuat antibodi yang
dapat mengikat
patogen, tapi setelah
adanya serangan,
beberapa sel B akan
mempertahankan
kemampuannya dalam
menghasilkan antibodi
sebagai layanan sistem
‘memori’.)
Sel T: CD4+
(pembantu) Sel T
mengkoordinir
tanggapan ketahanan
(yang bertahan dalam
infeksi HIV) sarta
penting untuk menahan
bakteri intraseluler.
CD8+ (sitotoksik) dapat
membunuh sel yang
terinfeksi virus.
Sel natural killer: Sel
pembunuh
alami (natural killer,
NK) dapat membunuh
sel tubuh yang tidak
menunjukkan sinyal
bahwa dia tidak boleh
dibunuh karena telah
terinfeksi virus atau
telah menjadi kanker.
Monosit membagi fungsi
“pembersih vakum”
(fagositosis) dari neutrofil,
tetapi lebih jauh dia hidup
dengan tugas tambahan:
memberikan potongan
patogen kepada sel T
sehingga patogen tersebut
dapat dihafal dan dibunuh,
atau dapat membuat
tanggapan antibodi untuk
Monosit 6% menjaga.
Monosit dikenal juga
sebagai makrofag setelah
dia meninggalkan aliran
Makrofa (lihat di darah serta masuk ke
g atas) dalam jaringan.
Fungsi sel Darah putih
Granulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan
badan terhadap mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit
(fago- memakan), mereka memakan bakteria hidup yang masuk ke sistem
peredaran darah. melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak
10-20 mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu
menjalankan fungsi ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan
amuboidnya ia dapat bergerak bebas didalam dan dapat keluar pembuluh
darah dan berjalan mengitari seluruh bagian tubuh. dengan cara ini ia
dapat:
Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap
organisme hidup dan menghancurkannya,menyingkirkan bahan lain
seperti kotoran-kotoran, serpihan-serpihan dan lainnya, dengan cara yang
sama, dan sebagai granulosit memiliki enzim yang dapat memecah
protein, yang memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan
dan membuangnya. dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka
dapat dibuang dan penyembuhannya dimungkinkan
Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih, peradangan dapat
dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak berhasil dengan sempurna,
maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi “jenazah” dari kawan dan
lawan – fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.
demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan
ditambah lagi dengan sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan
sel nanah tersebut akan disingkirkan oleh granulosit yang sehat yang
bekerja sebagai fagosit.
Merupakan
Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai 50-60%. Sumsum
tulang normal orang dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil
sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi
akut.
Basofil
Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu sekitar 0,01
– 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granula
sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil dapat
tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat
teraktivasi, basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin, kondroitin,
elastase dan lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa macam sitokina.
Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi (seperti asma).
Referensi
1. Viera ’Stvrtinová, Ján Jakubovský, Ivan Hulín”Neutrophils, central
cells in acute inflammation”. Faculty of Medicine, Comenius
University,
Mastosit sangat mirip dengan granulosit basofil, salah satu golongan sel
darah putih dan membuat banyak spekulasi bahwa mastosit dan basofil
berasal dari jaringan yang sama, hingga bukti terkini menunjukkan bahwa
kedua sel ini berasal dari sel prekursor yang berbeda di dalam sumsum
tulang, tetapi masih mengandung molekul CD34 yang sama. Basofil
meninggalkan sumsum tulang setelah dewasa sedangkan mastosit
teredar dalam bentuk yang belum matang. Jaringan tempat mastosit
menetap dan menjadi dewasa mungkin sekali akan menentukan perilaku
sel tersebut.
Hingga saat ini hanya dikenali dua jenis mastosit, yang berada pada
jaringan penghantar, dan mastosit mukosa yang bereaksi terhadap sel T
SEC3 (yellow) complexed with an MHC class II molecule (green & cyan).
T-sel signaling The SAg menghubungkan MHC dan TCR menginduksi jalur
sinyal yang mengakibatkan proliferasi sel dan produksi sitokin.
Rendahnya tingkat Zap-70 telah ditemukan di T-sel diaktifkan oleh sags,
menunjukkan bahwa jalur sinyal normal sel T aktivasi terganggu. Hal ini
diduga bahwa Fyn bukan LCK diaktifkan oleh tirosin kinase , yang
menyebabkan induksi adaptif anergi. Kedua protein kinase C dan jalur
jalur protein tirosin kinase diaktifkan, sehingga upregulating produksi
sitokin proinflamasi.
Stimulasi Sag antigen sel peyaji dan T-sel menghasilkan tanggapan yang
terutama inflamasi, difokuskan pada aksi Th1 T-helper sel. Beberapa
produk utama IL-1 , IL-2 , IL-6 , TNF-α , interferon gamma (IFN-γ),
makrofag inflamasi protein 1α (MIP-1α), MIP-1β, dan monosit
chemoattractant protein 1 ( MCP-1 ). Mekanisme ini tidak terkoordinasi
berlebihan sitokin, (terutama TNF-α), overloads tubuh dan menghasilkan
ruam, demam , dan dapat menyebabkan multi-organ, koma kegagalan
dan kematian.
Penghapusan atau anergi dari diaktifkan T-sel berikut infeksi. Hal itu
adalah hasil dari produksi IL-10 dari kontak yang terlalu lama racun. IL-10
downregulates produksi, IL-2 MHC kelas II, dan molekul costimulatory di
permukaan APC. Efek ini menghasilkan sel memori yang tidak responsif
terhadap stimulasi antigen.
IFN-α adalah produk lain dari paparan SAG berkepanjangan. Sitokin ini
terkait erat dengan induksi autoimunitas, dan penyakit autoimun
Penyakit Kawasaki diketahui disebabkan oleh infeksi Sag.
Jika peradangan awal selamat, sel inang menjadi anergic atau akan
dihapus, sehingga sistem kekebalan tubuh yang terancam.
Superantigenicity independen
Salah satu efek tidak langsung lebih berbahaya dari infeksi Sag
menyangkut kemampuan sags untuk menambah efek endotoksin dalam
tubuh. Hal ini dicapai dengan mengurangi ambang batas untuk
endotoxicity. Schlievert menunjukkan bahwa, bila diberikan conjunctively,
efek dari SAG dan endotoksin yang diperbesar sebanyak 50 000 kali. Hal
ini bisa disebabkan oleh efisiensi sistem berkurang kekebalan yang
disebabkan oleh infeksi Sag. Selain dari sinergis hubungan antara
endotoksin dan SAG, yang “hit ganda” efek dari aktivitas endotoksin dan
hasil SAG dalam efek yang lebih buruk yang yang terlihat pada infeksi
bakteri yang khas. Hal ini juga berimplikasi sags dalam perkembangan
sepsis pada pasien dengan infeksi bakteri.
The T-cell receptor complex dengan TCR-α and TCR-β chains, CD3 dan ζ-
chain accessory molecules.
Penyakit yang berhubungan dengan produksi superantigen
Toxic Shock Syndrome
Penyakit Kawasaki
Eksim
Guttate psoriasis
Rheumatoid arthritis
Diabetes mellitus
Scarlet demam
Nasal polip
Pengobatan
Tujuan utama dari pengobatan adalah menghilangkan mikroba yang
memproduksi sags. Hal ini dicapai melalui penggunaan vasopressors ,
resusitasi cairan dan antibiotik .
Tubuh secara alami menghasilkan antibodi untuk beberapa sags, dan efek
ini dapat ditambah dengan merangsang sel-B produksi antibodi.
Referensi
Papageorgiou AC, Tranter HS, Acharya KR (March 1998). “Crystal
structure of microbial superantigen staphylococcal enterotoxin B at
1.5 A resolution: implications for superantigen recognition by MHC
class II molecules and T-cell receptors”. J. Mol. Biol. 277 (1): 61–79.
Alouf JE, Müller-Alouf H (February 2003). “Staphylococcal and
streptococcal superantigens: molecular, biological and clinical
aspects”. Int. J. Med. Microbiol. 292 (7–8): 429–40.
Brouillard JN, Günther S, Varma AK, et al. (April 2007). “Crystal
structure of the streptococcal superantigen SpeI and functional role of
a novel loop domain in T cell activation by group V superantigens”. J.
Mol. Biol. 367 (4): 925–34.
Buonpane RA, Moza B, Sundberg EJ, Kranz DM (October 2005).
“Characterization of T cell receptors engineered for high affinity
against toxic shock syndrome toxin-1″. J. Mol. Biol. 353 (2): 308–21.
Li H, Llera A, Tsuchiya D, et al. (December 1998). “Three-
dimensional structure of the complex between a T cell receptor beta
chain and the superantigen staphylococcal enterotoxin B”. Immunity 9
(6): 807–16. .
Arcus VL, Proft T, Sigrell JA, Baker HM, Fraser JD, Baker EN (May
2000). “Conservation and variation in superantigen structure and
activity highlighted by the three-dimensional structures of two new
superantigens from Streptococcus pyogenes”. J. Mol. Biol. 299 (1):
157–68
Watson AR, Lee WT (August 2006). “Defective T cell Receptor-
mediated Signal Transduction in Memory CD4 T Lymphocytes Exposed
to Superantigen or anti-T cell Receptor Antibodies”. Cell. Immunol. 242
(2): 80–90.
Choi S, Schwartz RH (June 2007). “MOLECULAR MECHANISMS FOR
ADAPTIVE TOLERANCE AND OTHER T CELL ANERGY MODELS”. Semin.
Immunol. 19 (3): 140–52.
Stiles BG, Krakauer (2005). “Staphylococcal Enterotoxins: a Purging
Experience in Review, Part I”. Clinical Microbiology Newsletter 27: 23.
Lussow AR, MacDonald HR (February 1994). “Differential effects of
superantigen-induced “anergy” on priming and effector stages of a T
cell-dependent antibody response”. Eur. J. Immunol. 24 (2): 445–9.
Miller C, Ragheb JA, Schwartz RH (July 1999). “Anergy and Cytokine-
Mediated Suppression as Distinct Superantigen-Induced Tolerance
Mechanisms in Vivo”. J. Exp. Med. 190 (1): 53–64.
Yamaguchi M, Nadler S, Lee JW, Deeg HJ (September 1999).
“Induction of negative regulators of haematopoiesis in human bone
marrow cells by HLA-DR cross-linking”.Transpl. Immunol. 7 (3): 159–
68.
Stauffer Y, Marguerat S, Meylan F, et al. (October 2001). “Interferon-
alpha-induced endogenous superantigen. a model linking environment
and autoimmunity”.Immunity 15 (4): 591–601.
Jabara HH, Geha RS (October 1996). “The superantigen toxic shock
syndrome toxin-1 induces CD40 ligand expression and modulates IgE
isotype switching”. Int. Immunol. 8 (10): 1503–10.
Diener K, Tessier P, Fraser J, Köntgen F, McColl SR (June 1998).
“Induction of acute inflammation in vivo by staphylococcal
superantigens I: Leukocyte recruitment occurs independently of T
lymphocytes and major histocompatibility complex Class II
molecules”. Lab. Invest. 78 (6): 647–56.
Van Cauwenberge P, Gevaert P, Van Hoecke H, Van Zele T, Bachert
C. (2005). “New insights into the pathology of nasal polyposis: the role
of superantigens and IgE”.Verh K Acad Geneeskd Belg. 67 (5-28).
Erlandsson E, Andersson K, Cavallin A, Nilsson A, et al. (2003).
“Identification of the Antigenic Epitopes in Staphylococcal
Enterotoxins A and E and Design of a Superantigen for Human Cancer
Therapy”. J. Mol. Biol. 333 (5): 893–905.
Cleary PP, McLandsborough L, Ikeda L, Cue D, Krawczak J, Lam H
(April 1998). “High-frequency intracellular infection and erythrogenic
toxin A expression undergo phase variation in M1 group A
streptococci”. Mol. Microbiol. 28 (1): 157–67.
Bachert C, Gevaert P, van Cauwenberge P (June 2002).
“Staphylococcus aureusenterotoxins: a key in airway
disease?”. Allergy 57 (6): 480
Llewelyn M, Cohen J (March 2002). “Superantigens: microbial agents
that corrupt immunity”. Lancet Infect Dis 2 (3): 156–62.
Schlievert PM (April 1982). “Enhancement of host susceptibility to
lethal endotoxin shock by staphylococcal pyrogenic exotoxin type
C”. Infect. Immun. 36 (1): 123–8. .
Sriskandan S, Faulkner L, Hopkins P (2007). “Streptococcus
pyogenes: Insight into the function of the streptococcal
superantigens”. Int. J. Biochem. Cell Biol. 39 (1): 12–
9. http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1357-2725(06)00236-6.
Petersson K, Forsberg G, Walse B (April 2004). “Interplay between
superantigens and immunoreceptors”. Scand. J. Immunol. 59 (4): 345–
55.
Mehindate K, Thibodeau J, Dohlsten M, Kalland T, Sékaly RP, Mourad
W (November 1995). “Cross-linking of major histocompatibility
complex class II molecules by staphylococcal enterotoxin A
superantigen is a requirement for inflammatory cytokine gene
expression”. J. Exp. Med. 182 (5): 1573–7.
MOLEKUL MHC
Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T
(TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen
imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan
kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC
sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio
yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang
belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun
Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak
ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang
terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC yang
berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada
populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak
macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan
maka semua alel pada gen MHC yang berada pada satu kromosom
disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai dua haplotip,
masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya
pada individu tersebut.
Struktur protein MHC
Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan
kelas II.
Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel berinti
mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8 (pada
umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I di timus
untuk maturasi CD8.
Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi
mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II.
Suatu daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III
mengkode sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim
sitokrom p450 2l-hidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a
dan b, atau gen lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk
pembentukan dan transport molekul MHC dalam sel. βα
Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai
gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen asing
tertentu. Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip
dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II
adalah produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta
tempat ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan
bahwa molekul kelas II merupakan mediator gen Ir.
Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta
perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen
spesifik, menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja
yang dapat mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat
pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II
tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.
Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE
terhadap antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-
DR2, serta respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat
berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti,
antigen ragweed dipercaya terikat pada molekul MHC kelas II.
Hubungan dengan penyakit tertentu
Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai
hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan
dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA
kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk
presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai
risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka
semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit
tersebut.
Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja
yang dapat mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya
individu yang mempunyai molekul HLA seperti itu saja yang dapat
menderita penyakit tersebut.
Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak
biasa mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit.
Dalam keadaan normal, molekul spesifik pada permukaan sel selalu
mengalami pergantian dan degradasi. Bila sel tersebut tidak mempunyai
ekspresi molekul kelas II maka degradasi molekul spesifik itu tidak
membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi bila pada sel tersebut
timbul ekspresi molekul kelas II, maka degradasi molekul spesifik tersebut
akan memulai pemrosesan antigen. Fragmen peptida molekul spesifik
yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat ikatan antigen
molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang
respons imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul kelas
II tertentu saja (misalnya HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen molekul
spesifik, barulah terlihat asosiasi antara HLA dengan penyakit tertentu.
PENYAKIT AUTOIMUN
Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi
genetik pada berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya
terjadi secara acak karena terbukti bahwa beberapa alel memperlihatkan
kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan alel lain, yang disebut
sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium).
Jadi dapat saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai
berhubungan dengan alel MHC tertentu, sebetulnya dipengaruhi alel lain
yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya adalah sindrom Sjogren
yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi oleh
HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah
bahwa ternyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-DR3
cukup sering terlihat.
Defek respons imun
Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah defek respons imun.
Kemampuan individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan
dengan regio MHC kelas II, yang menentukan kemampuan presentasi
antigen kepada sel T yang harus berkaitan dengan molekul HLA. Selain itu
antigen tertentu lebih suka bergabung dengan molekul HLA tertentu pula.
Jadi suatu molekul HLA kelas II dapat lebih baik mengikat antigen
dibanding molekul HLA kelas II lainnya, sehingga presentasi antigen pun
akan lebih efektif. Karena itu jenis HLA seseorang akan menentukan baik-
buruknya respons imun yang berhubungan dengan produk MHC miliknya.
Suatu antigen hanya akan dikenal oleh sel T (melalui TCR) bila berasosiasi
dengan molekul HLA tertentu, dan hal ini dikenal sebagai terbatas HLA
(HLA restricted). Gabungan antigen dengan molekul HLA membentuk
ligan untuk TCR tertentu, dan ikatan ini dapat mengaktivasi sel T. Asosiasi
antara suatu antigen dengan molekul HLA sangat bervariasi, tetapi akan
terbatas oleh molekul HLA yang tersedia pada sel T. Bila molekul HLA
hanya sedikit maka asosiasi yang terbentuk mungkin terlalu lemah untuk
mengaktivasi sel T .
IMUNOLOGI DASAR : PENYAKIT
AUTO IMUNITAS
Diposting pada Februari 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar
Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk
mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang
memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan
tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang
diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun . Autoimunitas
sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari
tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan
tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto
imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit
seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus
sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome ,
tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik
thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.
Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali
tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich , pada
awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor, dimana
‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang sendiri
jaringan. Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap menjadi
abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan penyakit
manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun merupakan
bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata (kadang disebut
‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab penyakit oleh
fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas tidak harus
bingung dengan alloimmunity .
Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu
mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur
antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap
kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap
antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut
autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan
pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.
Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana
pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.
Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.
Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak
selalu menimbulkan penyakit.
Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan
fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi
penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau
pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).
Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan
untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan
autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah
timbulnya penyakit.
Faktor Genetik
Imunoglobulin
T-sel reseptor
Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).
Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah
menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu
allotypes berkorelasi sangat
Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,
pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik
diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian
Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).
Jenis Kelamin
Rasio perempuan / laki-laki insiden penyakit autoimun
Hashimoto thyroiditis 10/1
Graves’ disease 7/1
Multiple sclerosis (MS) 2/1
Miastenia gravis 2/1
Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1
Rheumatoid arthritis 5/2
Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam
pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling
autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75% lebih dari 23,5 juta
orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan,
meskipun jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American
Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun
yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun
beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang
pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes
mellitus , Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .
Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih
besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu,
meningkatkan risiko autoimunitas. [7]
Keterlibatan steroid seks ini
ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi
sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam
siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat
kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk
penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak
mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan
ujung keseimbangan gender dalam arah betina.
Klasifikasi
Acute disseminated
encephalomyelitis (ADEM) Accepted
interferon ome
transglutamina
acid carboxylas
17 hydroxylase
Addison’s Disease hydroxylase
Agammaglobulinemia
Antisynthetase syndrome
Atopic allergy I
Atopic dermatitis I
Autoimmune enteropathy
anti-mitochond
antibodies; ANA
cell- muscle antibod
Autoimmune hepatitis Accepted mediated soluble liver an
Autoimmune lymphoproliferative
syndrome Accepted
ANA; anti-lacto
antibodiesanti-
anhydrase anti
Autoimmune pancreatitis Accepted rheumatoid fac
Autoimmune progesterone
dermatitis Accepted
Autoimmune thrombocytopenic
purpura Accepted anti gpIIb-IIIa o
Behçet’s disease
IgA (elevated in
patients), IgA (
Berger’s disease deposits on kid
Blau syndrome
IgG autoantibo
the type XVII co
component of
Bullous pemphigoid hemidesmosom
Cancer
Castleman’s disease
Anti-tissue tran
Celiac disease Accepted IV antibodies
Anti-gangliosid
Chronic inflammatory antibodies:anti
demyelinating polyneuropathy GD1a, anti-GQ1
Cogan syndrome
Complement component 2
deficiency
Cranial arteritis
Anti-centromer
CREST syndrome Anti-nuclear an
Dego’s disease
IgA; anti-epide
Dermatitis herpetiformis transglutamina
histidine-tRNA
signal_recognit
Dermatomyositis Accepted Anti-Mi-2 Anti-J
Glutamic acid d
antibodies (GAD
antibodies (ICA
insulinoma-ass
autoantibodies
Diabetes mellitus type 1 Accepted IV insulin antibod
anti-nuclear an
centromere and
Diffuse cutaneous systemic scl70/anti-topo
sclerosis antibodies
myocardial neo
Dressler’s syndrome formed as a res
Eczema
Endometriosis Suspected
Enthesitis-related arthritis .
Erythema nodosum
Evan’s syndrome
Fibrodysplasia ossificans
progressiva
serum antiparie
Gastritis IF antibodies
thyroid autoant
(TSHR-Ab) that
Graves’ disease Accepted II TSH-receptor (T
antibodies agai
peroxidase and
Hashimoto’s thyroiditis Accepted IV thyroglobulin
immunoglobuli
complement co
Henoch-Schonlein purpura (C3)
Hypogammaglobulinemia
Idiopathic Inflammatory
Demyelinating Diseases
Idiopathic thrombocytopenic
purpura (See Autoimmune
thrombocytopenic purpura) Accepted II
IgA produced fr
IgA nephropathy III? rather than MA
Inclusion body myositis
Chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy anti-gangliosid
voltage-gated c
channels; Q-
type_calcium_c
Lambert-Eaton myasthenic synaptogagmin
syndrome acetylcholine re
Leukocytoclastic vasculitis
Lichen planus
Lichen sclerosus
major peripher
Ménière’s disease III protein P0
anti-nuclear an
Mixed Connective Tissue Disease Accepted U1-RNP
Morphea Suspected
nicotinic_acety
Myasthenia gravis Accepted II tor MuSK_prote
Myositis
voltage-gated p
Neuromyotonia Suspected II channels.
Ord’s thyroiditis
anti-cyclic citru
peptide antibod
and antikeratin
Palindromic rheumatism (AKA)
Paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH) Sometimes
Parsonnage-Turner syndrome
Pars planitis
Perivenous encephalomyelitis
POEMS syndrome
Polyarteritis nodosa
Polymyalgia rheumatica
Polymyositis Accepted IFN-gamma, IL-
Anti-p62, Anti-s
Mitochondrial(M
aka SSA.[63] Also
often present i
Primary biliary cirrhosis Accepted[62] syndrome
Progressive inflammatory
neuropathy Suspected
Pyoderma gangrenosum
Reiter’s syndrome
Retroperitoneal fibrosis
Sarcoidosis Suspected IV
Schizophrenia Suspected
Schnitzler syndrome
Scleritis
Anti-ro. Also, th
present in Sjög
Sjögren’s syndrome Accepted syndrome.
Spondyloarthropathy
glutamic acid d
Stiff person syndrome Suspected (GAD),
Susac’s syndrome
Sweet’s syndrome
ocular antigens
Sympathetic ophthalmia trauma
Takayasu’s arteritis
Tolosa-Hunt syndrome
Undifferentiated
spondyloarthropathy
Urticarial vasculitis II? anti C1q antibo
Vitiligo Suspected
Anti-neutrophil
Wegener’s granulomatosis Accepted cytoplasmic(cA
Ignorance
Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen
terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen
tersebut secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen
tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan
berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali
angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi
yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul
spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk
menginduksi aktivasi sel T
Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen
Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan
darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-
presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan
secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme
pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.
Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan
autoimunitas terhadap molekul intraseluler.
Anergi dan kostimulasi
Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf
melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+
naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons
imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor
antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,
biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup
B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat
pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau
kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-
stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada
anergi atau kematian sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi
molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas
padaantigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya
distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan
sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus
limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa
cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan
adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah
teraktivasi sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi perifer.
Supresi
Toleransi sel B
Faktor genetik
Faktor lingkungan
Hormon
Infeksi
Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada
mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.
Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-
regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi
perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi
autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,
autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi
yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum
jelas.
Obat
Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh
mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan
menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik
jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan
autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap
autoantigen.
Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan
telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel
T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang
yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran
akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting
untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek
sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi
autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik
peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas
sel B.
Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,
misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap
berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh
mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B
dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang
mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran.
Aktivator poliklonal yang terdiri dari produk bakteri, virus, atau
komponen virus, parasit, atau substansi lainnya dapat langsung
merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat
Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor
rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos
setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa
lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk
memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin γ
,antitimosit, dan antieritrosit.
Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari
sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B
aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini
disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor
proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau
respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut.
Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih
imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya
penyakit autoimun sistemik.
Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal
yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut
berperan pada patogenesis autoimunitas.
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang
tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-
stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri
dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi
atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik.
Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan
juga keantigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul
MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik
pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein
intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan
konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida
tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh
virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang
telah ada sebelumnya.
Kemiripan molekul
Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari mikroorganisme
juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri dengan konsentrasi
rendah dan tanpa akses keantigen-presenting cells dapat bereaksi silang
dengan peptida mikrobial yang memiliki struktur serupa. Hal ini
mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang responsif yang dapat
mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti kerusakan jaringan)
menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses sel T ke jaringan
tersebut .
Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang
terlibat
Penyakit yang diduga
akibat molecular
Antigen mikrobial Antigen diri mimicry
Protein grup A
streptokokus M Antigen di otot jantung Demam reumatik
Terkait dengan penyakit
Bacterial heat shock autoimun berat namun
proteins Self heat shock proteins belum terbukti
Protein inti Coxsackie Glutamat dekarboksilase Diabetes melitus
B4 sel pulau pankreas dependen insulin
GlikoproteinCampyloba Gangliosida dan
cter jejuni glikolipid terkait mielin Sindrom Guillain-Barre
Subtipe rantai HLA-DR β
Heat shock mengandung “epitop
protein dariEschericia bersama” artritis
coli reumatoid Artritis reumatoid
DIAGNOSIS
PENGOBATAN
Kontrol metabolik
Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah
dengan manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik
kontrol metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin
untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12
untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-
lain.
Obat anti-inflamasi
Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,
menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius
seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS
seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula
untuk artritis rheumatoid.
Imunosupresan
Kontrol imunologis
Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih sangat
terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan percobaan.
Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar plasma
untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat
sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture.
Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya.
Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap
defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem
atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus
diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.
REFERENCES RECOMMENDED
Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-
recognition promotes the foreign antigen sensitivity of naive T
lymphocytes”. Nature 420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146.
PMID 12459785.
Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New
Scientist
Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X
chromosome inactivation:
Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-
chromosome Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol
34 (3): 352–5. doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID
18157513.
Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of
Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.
Infect Immun 75 (1): 397–407.
Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients
Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei
brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1
mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–
8.
Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid
arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews
Immunology 6 (5): 394–403.
Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,
Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and
tolerance”. Int J Hematol 81 (3): 197–203.
Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins
following DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein
paralogue Roopa Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok
Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G., and
Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects against
innate immune self-recognition and inflammation in autoimmune
disease pathogenesis” Immunity 27: 308-320.
Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).
“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28
(10): 515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732.
PMID 16965287.
Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune
system: consequences for evolution of human autoimmune disease”.
Nat. Rev. Immunol. 5 (5): 420–6.
Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection
with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits
Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a
Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.
Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection
modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.
Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID
15039389.
Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The
immunoepidemiology of human hookworm infection”. Parasite
Immunol. 26 (11–12): 443–54. doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x.
PMID 15771680.
Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally
anergic B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.
doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.
Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”.
Ann Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.
Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self
perpetuating B lymphocytes drive human autoimmune disease?”.
Immology 97: 1868–1876.
Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two
parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.
doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.
Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically
reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009
Referensi
Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). “MHC: GENETICS AND
ROLE IN TRANSPLANTATION”. Microbiology and Immunology
Online.http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/mhc2000.htm.
Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe,
Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). “Expression of MHC class
II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric
epithelium”. Journal of Gastroenterology 27 (1): 23-
28. http://www.springerlink.com/content/116u7825q2615448/fulltext.p
df?page=1.
David S. Wilkes, William J. Burlingham (2004). Immunobiology of
organ transplantation. Springer.
Pandjassarame Kangueane (2009). Bioinformation Discovery: Data
to Knowledge in Biology. Springer.
Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson
(2007). Immunity: the immune response in infectious and
inflammatory disease. Oxford University Press.
Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam
respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun
yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi
yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM
dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun
sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen
masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila
dibanding dengan respons imun sekunder
Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi
yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang
lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun
primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons
imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan
diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat
mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif
sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori. Pada
imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan
memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa
kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan
mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan
dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.
KEBERHASILAN IMUNISASI
Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu
status imun host, faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas
vaksin.
Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang
semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus
campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi
spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang
memuaskan. Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA
sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi
keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi
umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah
pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di
subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata
sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5
bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila
vaksinasi polio secara oral diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI
masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum
dan sesudah vaksinasi.\
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi
mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada
permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons
kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas
opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik
serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol dibanding pada
bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin
lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi
baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu
masih kurang. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang
kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda
sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang
mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun
kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun
merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat
menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi pada individu
yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau
tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun
seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas
humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal
atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat
mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam
amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen
juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons
terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik host
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas
genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas
responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.
Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,
tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan
keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam respons
imun dapat berperan melalui gen yang berada pada kompleks MHC
dengan non MHC.
Gen kompleks MHC
Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan
mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan
sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan
molekul MHC kelas II.
Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti
bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis
terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA
tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan
HLA-B27.
Gen non MHC
Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan
dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang
terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-
laki.
Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan
perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan
penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran
genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya
belum diketahui.
Kualitas dan kuantitas vaksin
PERSYARATAN VAKSIN
1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin,
2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori,
3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,
untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam
populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan
4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel
folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut
sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
REFERENCES RECOMMENDED
Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of
virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996; 150:
23–44
Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of
antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6
Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-
specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-
Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402
Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory
HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11
Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of
lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev
Immunol 1989; 7: 145–73
Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,
Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46
Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:
263–6
Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease
states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58
Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-
Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms
underlying genetically determined resistance and susceptibility to
infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30
Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.
Immunol Today 2000; 21: 420–5
Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus
subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol
2001; 13: 442–50
Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28
Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human
immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T
cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9
Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-
specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection
demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;
3: 212–7
Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford
JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other
autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8
Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.
Immunol Today 2000; 21: 249–50
Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1
specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently
seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13
McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.
Nature 2001; 410: 980–7
Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and
immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and
activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54
Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into
mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8
Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to
DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8
Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets
of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector
functions. Nature 1999; 401: 708–12
Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell
memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and
immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29
Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:
173–8
Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive
immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10
Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:
399–415
Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr
Opin Immunol
Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6
Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in antigen
presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 45–
51
Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr
Opin Immunol 2002; 14: 117–22
Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of
microbe detection. Curr
Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+ cytotoxic
T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A. Dendritic
cells use macropinocytosis and the mannose receptor to concentrate
macromolecules in the major histocompatiblity complex class II
compartment: downregulation by cytokines and bacterial products. J
Exp Med 1995; 182: 389–400
Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,
Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-
restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21
Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular
transport and loading of peptides associated with MHC class I
molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8
Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen
presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–
6
Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of
immunity. Nature 1998; 392: 245–52
Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35
Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by
CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62
Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on
dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-
restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81
Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand, a
member of the TNF family, is important for the generation of antiviral
CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68
Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to
mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in
vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–
55
Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In
interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1
responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to
induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–
6
Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A
filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a
phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:
6453–60
Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug
Deliv Rev 1998; 32: 155–72
Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)
microparticles for the development of single-dose controlled-release
vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46
Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough
DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can
promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.
Immunity 2001; 14: 461–70
Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and
CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B
Biol Sci 2000; 355: 401–6
Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T
lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules
(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,
and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol
1988; 140: 1401–7
Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.
Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T
cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55
Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,
Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.
Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J
Immunol 1993; 150: 1122–36
Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D, Terstappen
LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I. Differential
regulation of the peripheral lymph node homing receptor L-selectin on
T cells during the virgin to memory cell transition. J Immunol 1993;
150: 1105–21
MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell
memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R Soc
Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60
Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human
lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:
264–5
Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-
mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell
proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95
Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed
R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.
Science 1999; 286: 1267–8
Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.
Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11
Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T
cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.
Immunol Rev 1997; 160: 31–42
Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.
Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8
and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J
Immunol 2000; 165: 5729–37
Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes
regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania
major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84
Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of type
1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun 2002; 70:
498–503
Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of
Leishmania major in mice: implications for immune memory,
vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74
Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming
by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third
signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7
Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable
priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of
human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in
established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85
Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-
12 regulate the development of subsets of memory effector helper T
cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24
Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of NK1.1+
T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production. Science
1995; 270: 1845–7
Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse
association between tuberculin responses and atopic disorder. Science
1997; 275: 77–9
Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam
respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.
PERSYARATAN VAKSIN
1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin,
2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel
memori,
3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,
untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam
populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan
4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel
folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut
sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus
sehingga kadarnya tetap tinggi.
REFERENCES RECOMMENDED
Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of
virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996; 150:
23–44
Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of
antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6
Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-
specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-
Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402
Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory
HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11
Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of
lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev
Immunol 1989; 7: 145–73
Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,
Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46
Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:
263–6
Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease
states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58
Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-
Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms
underlying genetically determined resistance and susceptibility to
infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30
Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.
Immunol Today 2000; 21: 420–5
Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus
subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol
2001; 13: 442–50
Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos
Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28
Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human
immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T
cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9
Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-
specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection
demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;
3: 212–7
Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford
JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other
autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8
Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.
Immunol Today 2000; 21: 249–50
Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1
specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently
seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13
McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.
Nature 2001; 410: 980–7
Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and
immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and
activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54
Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into
mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8
Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to
DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8
Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets
of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector
functions. Nature 1999; 401: 708–12
Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell
memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and
immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29
Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:
173–8
Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive
immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10
Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:
399–415
Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr
Opin Immunol
Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6
Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in antigen
presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 45–
51
Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr
Opin Immunol 2002; 14: 117–22
Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of
microbe detection. Curr
Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+ cytotoxic
T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A. Dendritic
cells use macropinocytosis and the mannose receptor to concentrate
macromolecules in the major histocompatiblity complex class II
compartment: downregulation by cytokines and bacterial products. J
Exp Med 1995; 182: 389–400
Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,
Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-
restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21
Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular
transport and loading of peptides associated with MHC class I
molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8
Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen
presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–
6
Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of
immunity. Nature 1998; 392: 245–52
Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive
immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35
Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by
CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62
Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on
dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-
restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81
Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand, a
member of the TNF family, is important for the generation of antiviral
CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68
Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to
mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in
vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–
55
Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In
interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1
responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to
induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–
6
Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A
filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a
phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:
6453–60
Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug
Deliv Rev 1998; 32: 155–72
Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)
microparticles for the development of single-dose controlled-release
vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46
Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough
DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can
promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.
Immunity 2001; 14: 461–70
Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and
CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B
Biol Sci 2000; 355: 401–6
Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T
lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules
(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,
and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol
1988; 140: 1401–7
Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.
Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T
cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55
Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,
Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.
Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated
antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J
Immunol 1993; 150: 1122–36
Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D, Terstappen
LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I. Differential
regulation of the peripheral lymph node homing receptor L-selectin on
T cells during the virgin to memory cell transition. J Immunol 1993;
150: 1105–21
MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell
memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R Soc
Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60
Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human
lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:
264–5
Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-
mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell
proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95
Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed
R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.
Science 1999; 286: 1267–8
Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.
Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11
Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T
cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.
Immunol Rev 1997; 160: 31–42
Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.
Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8
and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J
Immunol 2000; 165: 5729–37
Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes
regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania
major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84
Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of type
1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun 2002; 70:
498–503
Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of
Leishmania major in mice: implications for immune memory,
vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74
Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming
by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third
signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7
Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable
priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of
human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in
established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85
Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-
12 regulate the development of subsets of memory effector helper T
cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24
Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of NK1.1+
T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production. Science
1995; 270: 1845–7
Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse
association between tuberculin responses and atopic disorder. Science
1997; 275: 77–9
Reaksi Hipersensitivitas
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia
Mediators:
Histamin
Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)
Bradykinin.
Serotonin (5-hydroxytryptamine)
Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).
Platelet activating factor (PAF).
Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari
arachidonic acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah
bronchodilators dan vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah
suatu disaggregates platelets.
Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial
tendency.
Manifestasi Klinis
Anaphylaxis
Atopy immediate hypersensitivity response
Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens
atau “allergoids”.
Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium
cromolyn, Theophylline
Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti
telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi
interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada
membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed
mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed
mediator).Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer),
dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer
(mediator sekunder).
Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast
Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil chemotactic
factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF).
1. Histamin
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin
dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik
serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal
dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2
ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin
dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf
iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa
gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi.
Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna
adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai
peran kecil pada asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian
gejala alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.
Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala sistemik
berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada reaksi fase awal
setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata, hidung dan kulit). Pada reaksi
fase lambat, histamin membantu timbulnya reaksi inflamasi dengan cara
memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel peradangan ke jaringan. Fungsi ini
mungkin bermanfaat pada keadaan infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal
saat ini belum banyak diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga
histamin mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor H2
diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons beberapa sel
termasuk limfosit.
Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di tempat reaksi
radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan tetrapeptida yang sudah
terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast dan akan segera dibebaskan pada
waktu degranulasi (pada basofil segera dibentuk setelah kontak dengan alergen).
Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah leukotrien LTB4
yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia merupakan hal yang khas
pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu patognomonik untuk keterlibatan sel mast
atau basofil karena ECF-A dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.
Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam arakidonat,
faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme asam arakidonat
terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase yang masing-masing akan
mengeluarkan produk yang berperan sebagai mediator bagi berbagai proses
inflamasi (lihat Gambar 12-3).
1. Produk siklooksigenase
Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi
pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin (PGD2,
PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).
Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia misalnya
membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot polos, dan TxA2 juga
dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga dibentuk oleh sel yang berkumpul
di mukosa bronkus selama reaksi alergi fase lambat (neutrofil, makrofag, dan
limfosit).
Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai sebagai obat
bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal. Prostaglandin F (PGF2) dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkus dan usus serta meningkatkan
permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2, prostaglandin serta TxA2 berperan terutama
sebagai mediator sekunder yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan,
akan tetapi peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum
diketahui.
2. Produk lipoksigenase
Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah zat yang
membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Leukotrien LTB4
merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil, sedangkan LTC4, LTD4 dan
LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel mast manusia banyak menghasilkan
produk lipoksigenase serta merupakan sumber hampir semua SRS-A yang
dibebaskan dari jaringan paru yang tersensitisasi.
‘Slow reacting substance of anaphylaxis’
Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa kerja lebih
lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya didapatkan sedikit
perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut. Mediator SRS-A dianggap
mempunyai peran yang lebih penting dari histamin dalam terjadinya asma. Mediator
ini mempunyai efek bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga
meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus. Secara
kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam arakidonat, yaitu
LTC4, LTD4, serta LTE4.
Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada manusia. PAF
dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi pelepasan serotonin dari
trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan kontraksi otot polos bronkus serta
peningkatan permeabilitas vaskular. Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada
reaksi yang diperan oleh IgE.
Serotonin
Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan sumber
beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada reaksi alergi.
Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa antigen
menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-4). Individu
normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap sebagian besar antigen
asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen seperti protein pada serbuk sari
(pollen), makanan tertentu, racun pada serangga, kutu binatang, atau obat tertentu
misalnya penisilin, respons sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2.
Individu yang atopik dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas.
Hipersensitivitas tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang
berespons terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.
Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi alergik) sering
disebut sebagai alergen.
Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh sel Th2,
akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing untuk
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi IgE. Oleh sebab itu,
individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam jumlah besar sebagai respons
terhadap antigen yang tidak akan menimbulkan respons IgE pada sebagian besar
orang. Kecenderungan ini mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen
yang berperan.
Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit T4 yaitu
Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta GM-CSF tetapi tidak
memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1). Alergen diproses oleh
makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini merangsang dan mengaktivasi sel
limfosit T yang kemudian memproduksi IL-2 yang merangsang sel T4 untuk
memproduksi interleukin lainnya. Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh
sel mast sehingga dapat diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang
sama dalam reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan dapat langsung dari
sel mast atau dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast. Interleukin-4
tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi sintesis IgE oleh sel limfosit B.
Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel
limfosit B. Interleukin-4 ini pertama kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell
stimulating factor).Aktivasi oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi
dihambat oleh IFNα, IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0
Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti dapat
menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui interaksi IgE- alergen
pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). Sitokin lain yang mempunyai
aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF (monocyte chemotactic and
activating factor) dan RANTES (regulated upon activation normal T
expressed and presumably secreted). Demikian juga SCF (stem cell factor)
yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor di sel mast yang disebut C-kit, dapat
menginduksi pembebebasan histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui
stimulasi antigen (lihat Gambar 12-7).
Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan
mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini lebih nyata
dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.
Purpura
trombositope Protein membran
nia autoimun platelet (gpIIb:integrin Opsonisasi dan
(idiopatik) IIIa) fagositosis platelet Perdarahan
Antibodi
menghambat ikatan
Miastenia asetilkolin, modulasi Kelemahan otot,
gravis Reseptor asetilkolin reseptor paralisis
Stimulasi reseptor
Penyakit TSH diperantarai
Graves Reseptor hormon TSH antibodi Hipertiroidisme
Netralisasi faktor
intrinsik, penurunan Eritropoesis
Anemia Faktor intrinsik dari sel absorpsi vitamin abnormal,
pernisiosa parietal gaster B12 anemia
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Penyakit oleh kompleks imun
Spesifitas Manifestasi
Penyakit antibodi Mekanisme klinopatologi
(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)
Point of interest
Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan
kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).
Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn
menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi
inflamasi, aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen
komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi,
juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada
reseptor sel organ tersebut.
Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan
membentuk kompleks imun, yang kemudian mengendap pada
pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi
hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan
oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.
PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)
Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin
dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia
pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama
oleh sel limfosit T.
Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari oleh reaksi
yang diperantarai oleh sel T .
Induksi oleh
rusaknya gen IL-
Penyakit Tidak diketahui, 2 atau IL-10 atau
inflamasi peran mikroba Spesifisitas sel T kurangnya
usus intestinal belum ditegakkan regulator sel T
a
Approved by IUIS/WHO Subcommittee on IgA nomenclature.8
STRUKTUR SISTEM IMUNOLOGI MUKOSA
Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran
cerna, saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi
terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang
menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan
kimiawi yang sangat kuat, sistem imun mukosa innateberupa
eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun
mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa juga
melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan.
Sistem imun lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada
orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara
berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT), bersama-
sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba
berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii) melindungi
pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-
protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang
terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya
respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen
tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Sehingga disini
MALT menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur
intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun
berlebih. Sistem MALT terlihat sebagai suatu sistem imun
kompartemenisasi yang bagus dan fungsi esensialnya berdiri sendiri
dari aparatus sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri dari dua
komponen yaitu jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem
imunologi mukosa tersebar.
Depiction of the human mucosal immune system. Inductive sites for
mucosal immunity are constituted by regional MALT with their B-cell
follicles and M-cell (M)-containing follicle-associated epithelium through
which exogenous antigens are transported actively to reach APCs,
including DCs, macrophages, B cells, and FDCs. In addition, quiescent
intra- or subepithelial DCs may capture antigens at the effector site
(exemplified by nasal mucosa in the middle) and migrate via draining
lymphatics to local/regional lymph nodes where they become active APCs,
which stimulate T cells for productive or downregulatory (suppressive)
immune responses. Naive B and T cells enter MALT (and lymph nodes) via
HEVs. After being primed to become memory/effector B and T cells, they
migrate from MALT and lymph nodes to peripheral blood for subsequent
extravasation at mucosal effector sites (exemplified by gut mucosa on the
right). This process is directed by the local profile of vascular adhesion
molecules and chemokines, the endothelial cells thus exerting a local
gatekeeper function for mucosal immunity. The gut lamina propria
contains few B lymphocytes but many J-chain-expressing IgA
(dimers/polymers) and IgM (pentamers) plasmablasts and plasma cells.
Also, there are normally some rare IgG plasma cells with a variable J-chain
level (J), and many T cells (mainly CD4+). Additional features are the
generation of SIgA and SIgM via pIgR (mSC)-mediated epithelial transport,
as well as paracellular leakage of smaller amounts (broken arrow) of both
locally produced and plasma-derived IgG antibodies into the lumen. There
may also be some active transport of IgG mediated by the neonatal Fc
receptor (not indicated). Note that IgG cannot interact with J chain to form
a binding site for pIgR. The distribution of intraepithelial lymphocytes
(mainly T-cell receptor / CD8+ and some /
+ +
T cells) is also depicted. The
inset (lower left corner) shows details of an M cell and its “pocket”
containing various cell types. The cartoon is modified from Brandtzaeg
and Pabst1 with permission from Elsevier. APCs, antigen-presenting cells;
DCs, dendritic cells; FDCs, follicular dendritic cells; HEVs, high endothelial
venules; MALT, mucosa-associated lymphoid tissue; mSC, membrane
secretory component; pIgR, polymeric Ig receptor; SIgA, secretory IgA;
SIgM, secretory IgM
RESPONS UMUM IMUNOLOGI MUKOSA
Antigen yang berada di lumen diambil oleh sel epitelial abortif dan
sel epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di
mukosa induktif, dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-
presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC),
sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T
konvensional αβ CD4+ dan CD8+, semuanya berada pada tempat
induktif. Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan
dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga
(neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited
resevoire diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa
dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan
lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe adalah antigen non
patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa
dan APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai
sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas
sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan
patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai
pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan
kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun
yang lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor
imunitaas seluler dan tidak menghasilkan toleransi oral. Ini
diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa
membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi terakhir
ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri komensal dapat
dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu yang penting untuk
menjaga homeostasis epitel di usus.
Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal
dimana berhubungan dengan antigen (contohnya plak payeri), transit
melewati kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian
menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa
asal dimana mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma
dan sel memori, membentuk IgA sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-
sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin pada tempat
spesifik (homing reseptors) pada permukaannya dan reseptor jaringan
spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler. Pada
penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa dapat
mempengaruhi properti homing . Sel dendritik dari plak payeri dan
limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan perifer,
meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa α4β7 dan reseptor
CCR9, suatu reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T memori
dan sel T CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel intestinal.
Juga, sel dendritik imprinting of gut homing specifity, terlihat terdiri
dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik intestinal tetapi
tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa menjelaskan
dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit teraktivasi pada
suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan mukosa jauh dari
pada oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang sama, oleh
karena kemokin, integrin dan sitokin terekspresi berbeda diantara
jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan sebagian,
mengapa didalam sistem imun mukosa, ada hubungan
kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya
usus dengan glandula mamae dan hidung dengan saluran pernafasan
dan genital).
Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan
tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan.
Imunisasi oral akan menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di
proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan glandula saliva tetapi
tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil
dan genital wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan
respons antibodi yang kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan
colon proksimal. Imunisasi per nasal dan tonsil akan memberikan
respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva
dan nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons
imun di mukosa vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi HIV.
Penelitian pada tikus ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa
menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.
Mekanisme efektor pada imunologi mukosa
Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi,
imuitas mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang
meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural
killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan
inisisasi respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa
adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas
imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal manusia.
Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi
pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan
antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan sel B
menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin
(IL)10 bersama-sama dengan IL-4.Diketahui bahwa sel T mukosa
menghasilkan dalam jumlah yang banyak TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel
epitelial mukosa menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk
bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro
mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga
Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral,
IgM dan IgG juga diproduksi secara lokal dan berperan dalam
mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T limfosit sitolitik
mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan
patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat
setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan
yang terbaru perkutaneus.
Mekanisme regulator pada imunologi mukosa
Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk
menjaga toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada
mikroflora, antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi
tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian
(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T
regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi
atau menelan sejumlah besar protein terlarut, dan penghilangan
(deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis
nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada
4 sel T regulator, yaitu; (i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like
cells yang memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel efektor T
helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10, (iii) sel
CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF-β (T helper 3), (iv) Sel Treg
(CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu sel contact-
dependent mechanism.
Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi
suatu bentuk sel antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa
juga mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain dengan cara
menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan
MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel sepertiinfectious
tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T
inhibitor oleh Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural
human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin α4β7 mukosa,
ketika bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T sekresi Tr
1 like IL 10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T efektor,
dimana α4β1 Treg –positif lain memperlihatkan cara yang sama dengan
cara menginduksi Thelper 3-like TGF-β-secreting supressor T cells.
Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel
regulator yang berbeda tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi
atau ditambah (expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali
terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ γδ intraepitelial
mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi
mukosa. Jadi, mekanisme pertahanan mukosa dari autoagressive dan
penyakit alergi melibatkan berbagai tahap regulasi. Sedangkan
aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya dikontrol
oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan spesifik
meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.
(a) Bacteroides fragilis releases zwitterionic carbohydrates that enhance
CD4+ T cell development in the mammalian host. If the integrity of the
intestinal mucosa is compromised and B. fragilis invades submucosal
tissues, abscess formation is induced by zwitterionic carbohydrates.
(b) Clostridium difficile, on the other hand, causes disease only when the
endogenous commensal flora is compromised, resulting in toxin-mediated
damage (orange) to epithelial cells. (c) Helicobacter pylori adheres to the
surface of gastric epithelial cells, inducing an inflammatory response that
results in gastritis, peptic ulcers and, in some circumstances, gastric
cancer.
IMNITAS MUKOSA PADA MASING-MASING ORGAN
Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa vaksin sel utuh, memberikan
proteksi yang baik tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering
demam. Saat ini ada 2 jenis yang direkomendasikan yaitu vaksin yang
terdiri dari antigen Vi kapsul polisakarida murni, diberikan secara
parenteral dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan aman
ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain adalah vaksin hidup yang
dilemahkan yang diberikan secara oral memberikan perlindungan 67%
selama 3 tahun, akan tetapi proteksi imunitas mukosa lokal belum
diketahui.
Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain vaksin influensa dan
pneumokok yang disuntikkan. Diharapkan akan terbentuk IgG yang
melindungi penyebaran sistemik organisme tersebut. Dimana mungkin
juga secara transudasi memberikan proteksi lokal mukosa saluran
pernafasan bawah. Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan
topikal lewat nasal. Dengan cara ini tejadi respons imun seperti
alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal dengan membentuk sIgA yang
menempel di permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase dan
sistemik dengan cara membentuk IgG yang mencegah penyebaran virus
sistemik, viremia. Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi
sebesar 60-90%.
Imunitas seluler
Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia
Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang berfungsi untuk
mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler diperantarai oleh limfosit T.
Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang menyebabkan mikroba dapat masuk dan
berlindung di dalam sel. Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons
imun alamiah, namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas
fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi di dalam
vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki sitoplasma sel dan
bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut. Mikroba tersebut terhindar
dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus dapat berikatan dengan reseptor pada
berbagai macam sel, kemudian bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut
tidak mempunyai mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus
menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom pejamu,
kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua
mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang
mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan
4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi
yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi
komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar
imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun
dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai
berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)
dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu
unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh
suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur
yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang
terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan
disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh
ikatan disulfid interchain.Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),
rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2
domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan
rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa
fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu
2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini
mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan
antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas
imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung
bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.
Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat
antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,
terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel
mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan
kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada
gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang
mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2
rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai
koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada
orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya
sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-
6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat
komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl
> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen
dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi
ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada
fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus
antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3
pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai
dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen
asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan
reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada
antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel
limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi
dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada
transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul
850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah
karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada
golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan
disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer
dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya
oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA
dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang
80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan
sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima
monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan
disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut
mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.
Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling
banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,
kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal
seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe
IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan
pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat
perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat
virus menembus mukosa.
Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat
labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul
60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD
belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,
penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:
Saunders, 1991; 70-96.
Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.
Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.
London: Blackwell. 1988; 15-30.
Peran fagosit sangat vital untuk melawan infeksi, partikel asing yang
mungkin masuk ke dalam tubuh, bakteri dan sel yang mati atau
apoptosis. Ketika sel dari organisme tersebut mati, melalui proses
apoptosis ataupun oleh kerusakan akibat infeksi virus atau bakteri, sel
fagosit berperan dengan memindahkan mereka dari lokasi kejadian.
Dengan membantu memindahkan sel mati dan mendorong terbentuknya
sel baru yang sehat, fagositosis adalah bagian penting dari proses
penyembuhan jaringan yang terluka. Fagositosis sel dari organisme inang
umumnya merupakan bagian dari pembentukan dan perawatan jaringan
biasa.
Fagosit pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Ilya Ilyich
Mechnikov ketika ia mempelajari larva bintang laut.Ia memperoleh
penghargaan Nobel di bidang Fisiologi dan Medis pada tahun 1908 oleh
karena temuannya.
Kedua sel ini berasal dari unit sel progenitor yang membentuk granulosit
dan monosit (colony forming unit-granulocyte macrophage = CFU-
GM). Hormon tersebut adalah glikoprotein yang dinamakan faktor
stimulasi koloni (colony stimulating factor = CSF),seperti faktor stimulasi
koloni granulosit-makrofag (granulocyt macrophage colony stimulating
factor = GM-CSF), faktor stimulasi koloni makrofag (macrophage colony
stimulating factor = M-CSF) dan interleukin-3 (IL3) yang merangsang
diferensiasi sel CFU-GM menjadi sel monoblast yang kemudian menjadi sel
promonosit dan sel mieloblast menjadi sel progranulosit. Sel promonosit
dapat mengadakan endositosis tetapi daya fagositnya kurang
dibandingkan dengan monosit. Sel monosit lebih kecil dari prekusornya
tetapi mempunyai daya fagositosis dan mikrobisidal yang kuat.
Perkembangan seri mononuklear sampai berada di darah perifer
memakan waktu 6 hari dan mempunyai masa paruh di sirkulasi selama 3
hari.
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit,
yaitu sel darah yang datang ke tempat infeksi kemudian mengenali
mikroba intraselular dan memakannya (ingestion). Neutrofil (disebut juga
leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah leukosit terbanyak di dalam darah
yaitu berjumlah 4.000-10.000 per mm3. Apabila terjadi infeksi, produksi
neutrofil di sumsum tulang meningkat dengan cepat hingga mencapai
20.000 per mm3 darah. Produksi neutrofil distimulasi oleh sitokin yang
disebut colony-stimulating factor. Sitokin ini diproduksi oleh berbagai sel
sebagai respons terhadap infeksi dan bekerja pada sel stem sumsum
tulang untuk menstimulasi proliferasi dan maturasi prekursor neutrofil.
Neutrofil merupakan sel yang pertama berespons terhadap infeksi,
terutama infeksi bakteri dan jamur. Neutrofil memakan mikroba di dalam
sirkulasi, serta dapat memasuki jaringan ekstraselular di tempat infeksi
dengan cepat kemudian memakan mikroba dan mati setelah beberapa
jam.
Neutrofil dan monosit bermigrasi ke jaringan ekstravaskuler di tempat
infeksi akibat berikatan dengan molekul adhesi endotel dan sebagai
respons terhadap kemoatraktan. Jika mikroba infeksius dapat melewati
epitelium dan masuk jaringan subepitel, makrofag akan mengenali
mikroba dan memproduksi sitokin. Dua dari sitokin ini, yaitu tumor
necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1), bekerja pada endotel
pembuluh darah kecil di tempat infeksi. TNF dan IL-1 menstimulasi
endotel untuk mengekspresikan 2 molekul adhesi yang disebut E-
selectin dan P-selectin.
Sel makrofag akan menjadi aktif atas pengaruh sitokin sehingga selnya
lebih besar, membran plasmanya berlipat-lipat, banyak pseudopodia serta
mempunyai kesanggupan membunuh mikroorganisme dan sel tumor.
Neutrofil
Sel neutrofil terdapat lebih dari seperdua jumlah sel darah putih di
sirkulasi dan mempunyai nukleus multilobus dengan granula sitoplasma.
Granulanya mengandung bermacam enzim, seperti protein dan
glikosaminoglikan yang berperan pada fungsi sel. Neutrofil sangat
diperlukan untuk pertahanan tubuh sebagai fagosit dan proses
pemusnahan patogen di jaringan.
Referensi
Zena W. Phagocytic cells, chemotaxis and effector function of
machrophages and granulocytes. In: Stites DP, Stobo JP, Fudenberg
HH, Wells JV. Basic and clinical immunology; 5th. Singapore:
Lange/Maruzen, 1982; 104-18
van Furth, R. (1992) Production and migration of monocytes and
kinetics of macrophages van Furth, R. eds. Mononuclear
Phagocytes ,3-12 Kluwer Academic Publishers Dordrecht
Lekstrom-Himes, JA, Gallin JI. Immunodeficiency diseases caused by
defects in phagocytes. N Engl J Med 2000; 343:1703.
Komplemen
Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan
komponen protein yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini
dapat dibagi menjadi protein fungsional yang menggambarkan
elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan
fungsi pengendalian.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel
hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam
sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel
lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit
mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya
aktivasi.
Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan
huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan
sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara
kerjanya
Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi
komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
Konsentrasi C3 jauh lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya,
hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang penting dalam
pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3 di
dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan konsentrasi
komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3 saja dapat
dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem komplemen.
Fungsi Komplemen
1. Mencerna sel, bakteri, dan virus
2. Opsonisasi, yaitu memicu fagositosis antigen partikulat
3. Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel pada sistem
kekebalan, memicu fungsi sel spesifik, inflamasi, dan beberapa
molekul imunoregulator
4. Pembersihan imun, yaitu memindahkan sisa-sisa bahan imunitas
dari sistem kekebalan dan menimbunnya di limpa dan hati
Protein dan glikoprotein yang merupakan penyusun dari sistem
komplemen disintesis di hepatosit hati. Namun, sejumlah besar sistem
penyusun sistem komplemen juga diproduksi di jaringan makrofaga,
monosit dalam darah, dan sel epitel dari saluran kelamin dan pencernaan.
Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun
jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan
pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai
dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir
ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) .
Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau
disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa
melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan
C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.
Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan
melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi
banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak
pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat
tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin,
zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan
aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik
misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui
jalur alternatif.
Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel
sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran
tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan
C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3
dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam
jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin
dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini
juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b
akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.
Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran
aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada
permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b
yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen
C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya
seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).
Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua
golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran,
dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin
merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan
jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana
bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan
antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada
reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan
opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya fagositosis.
C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel
mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat
meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor
C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos
dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil,
netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.
C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh
karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-
sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke
tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak; proses ini
disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang
metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat
meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda
asing tersebut
Proses peradangan
Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan
terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya
proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing
tersebut; proses ini disebutperadangan.
Pelarutan dan eliminasi kompleks imun
Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan
dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen.
Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh karena
dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan
kompleks imun bilamana berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari
imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan
komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat
membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.
REGULASI
Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein
dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran.
Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.
Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.
Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun
tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating
dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi
limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons
sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,
terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi
sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis
mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua
jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi
makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;
proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.
Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari
mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap
antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat
menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan
cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat
menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini
tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T.
Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel
yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini
disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)
mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)
kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk
antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat
mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.
Jenis APC
Professional APCs
Terdapat 3 tipe utama professional antigen-presenting cell:
Non-professional
A non-professional APC
Fibroblasts (kulit)
Thymic epithelial cells
Thyroid epithelial cells
Glial cells (otak)
Pancreatic beta cells
Vascular endothelial cells
Jenis-jenis antigen
presenting cell (APC)
No Jenis APC Lokasi Mobilitas Resepto MHC Presenta
r Fc/C3 kelas II si
kepada
Interdigitating
dendritic
cellsSel Parakorteks
1.2. LangerhansVeil KGBKulitSalura +++++ Sel TSel
3. ed cells n limfe AktifAktifAktif +++ + TSel T
Follicular
4. dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B
Medula
KGBHati (sel
Kupffer)Otak AktifStatikSta +++++ Sel T dan
5. Makrofag (astrosit) tik +++ + B
Sel B
(khususnya Ig
bila Jaringan permukaa
6. teraktivasi) limfoid Aktif n + Sel T
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein
dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi,
yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi
dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa
dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari
reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja
yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ)
yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama
dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba
dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk
mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk
membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut.
Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang
penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen
merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi
bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik,
dan jalur lektin.Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen
diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba
tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini terdapat pada
sel tuan rumah).
Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari
jenis mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit,
sistem komplemen, dan protein fase akut. Sedangkan pertahanan
terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel
NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.
Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel
dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua”
pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag
mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-
stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian
bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan
mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag
mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif
menjadi sel efektor pada imunitas selular .
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.
Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai
struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18%
karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul
antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat
antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta
pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas
imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada
semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik
berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai
polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L
(rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar
imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua
rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga
membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan
imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam
amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H
atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh
ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan
oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A
(α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai
jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang
rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-
masing 5 domain.
Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang
identik dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai
ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian
pula rantai berat satu dengan yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul
ini oleh enzim proteolitik papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen,
yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri atas H-chain dan
L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminal-N, dan
1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang
dibentuk oleh domain terminal-C. Fragmen Fab dengan antigen binding
site, berfungsi mengikat antigen karena itu susunan asam amino di bagian
ini berbeda antara molekul imunoglobulin yang satu dengan yang lain dan
sangat variabel sesuai dengan variabilitas antigen yang merangsang
pembentukannya. Sebaliknya fragmen Fc merupakan fragmen yang
konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan mengikat antigen
tetapi dapat bersifat sebagai antigen (determinan antigen). Fragmen ini
pulalah yang mempunyai fungsi efektor sekunder dan menentukan sifat
biologik imunoglobulin bersangkutan, misalnya kemampuan
imunoglobulin untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen, kemampuan
imunoglobulin menembus plasenta, distribusi imunoglobulin dalam tubuh
dan lain-lain. Papain memecah imunoglobulin pada terminal asam amino
di tempat iakatan S-S yang mengikat kedua rantai H satu dengan yang
lain. Enzim proteolitik lain yaitu pepsin dapat memecah molekul
imunoglobulin dibelakang ikatan S-S. Pemecahan ini mengakibatkan
terbentuknya satu fragmen besar yang disebut F(ab’)2 yang mampu
mengikat dan menggumpalkan antigen karena ia bersifat bivalen dan
dapat membentuklattice. Pepsin selanjutnya dapat memecah fragmen Fc
menjadi beberapa bagian kecil. Bagian molekul imunoglobulin yang peka
terhadap pemecahan oleh kedua enzim diatas disebut bagian engsel
(hinge region). Kedua bentuk imunoglobulin, yaitu sIg dan Ig yang
disekresikan hanya berbeda pada domain terminal-C: sIg memiliki bagian
transmembran dan bagian intrasitoplasmik yang pendek.
Polimerisasi imunoglobulin terjadi pada IgM (pentamer atau heksamer)
dan IgA (umumnya dimer). Polimerisasi kelas imunoglobulin ini
bergantung pada rantai J (joining) dan banyaknya rantai J menentukan
proporsi molekul IgM pentamer dibanding IgM heksamer. Rantai J
membantu polimerisasi IgM dan IgA dengan cara ikat-silang disulfida pada
sesidu cysteine yang terdapat pada domain C-terminal molekul IgM dan
IgA yang disekresi
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.
Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen
yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan
asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab
memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding
site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc
yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan
asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi
memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat
pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan
basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan
menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan
karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa menjadi
satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang mempunyai 2
tempat pengikatan antigen .
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc.
Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag
memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini
terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan
kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks
imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada
sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated
cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel.
Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc
pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit.
Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta
dari ibu ke sirkulasi janin.
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin,
dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000.
Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi
IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap
antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami.
Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi
kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul
monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada
domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu
dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang
berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam
serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri
dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20%
berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang
dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai
tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien
sedimentasi 10,13,15 S.
Sekretori IgA
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada
daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal,
dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.
Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil
terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya
adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan
l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi
merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan
diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
Struktur Protein Antibodi Bermuka Dua
Dengan mengkombinasikan kristalografi sinar X dan prinsip – prinsip
kinetik larutan, sebuah tim biokimia telah membuktikan bahwa sebuah
antibodi dapat mengambil dua bentuk yang cukup berbeda satu sama
lain, sehingga memungkinkan antibodi tersebut mengikat 2 antigen yang
sama sekali berbeda. Kedua bentuk ini dapat ditemukan dalam larutan
yang sama, fakta yang mungkin dapat menjelaskan pertanyaan yang
sudah sekian lama tak terjawab mengenai bagaimana antibodi dapat
mengenali begitu banyak macam antigen secara selektif.
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut.
Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein,
terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas
mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum
tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping
darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor
limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.
Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen
adaptif atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang
ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat
berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh
non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau
ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk.
Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak
dengan antigen.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus
atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan
sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus
di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang
mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag)
sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan
meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel
limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi
antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen
dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel
yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent
cell mediated cytotoxicy (ADCC).
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan
atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah
limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat
pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang.
Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T
memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul
tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T.
Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda
permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi
monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster
of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus
dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T
dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda
permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4
dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang
dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi
penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat
memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T
(TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya
mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar
dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Imunitas humoral
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh
sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini
disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis
antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen
yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel
memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat
berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada
imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang,
kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan
berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi
tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen
yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem
imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun.
Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang
sudah terjadi.
Perlindungan di invertebrata
Invertebrata tidak memiliki limfosit atau antibodi berbasis sistem imun
humoral. Namun invertebrata memiliki mekanisme yang menjadi
pendahulu dari sistem imun vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern
recognition receptor) adalah protein yang digunakan di hampir semua
organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan
patogen mikrobial. Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari
sistem imun yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan
terdapat di hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata,
termasuk berbagai jenis serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk
respon komplemen yang telah dimodifikasi yang dikenal dengan nama
sistem prophenoloksidase.
Perlindungan di tanaman
Anggota dari seluruh kelas patogen yang menginfeksi manusia juga
menginfeksi tanaman. Meski spesies patogenik bervariasi pada spesies
terinfeksi, bakteri, jamur, virus, nematoda, dan serangga bisa
menyebabkan penyakit tanaman. Seperti binatang, tanaman diserang
serangga dan patogen lain yang memiliki respon metabolik kompleks
yang memicu bentuk perlindungan melawan komponen kimia yang
melawan infeksi atau membuat tanaman kurang menarik bagi serangga
dan herbivora lainnya.
Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh
disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang
melibatkan limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis
keturunan ( sel B ). B Cells (with co-stimulation) berubah menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi. The co-stimulation sel B dapat berasal
dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel dendritik . Seluruh proses ini
dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.
Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti
virus atau bakteri
Studi tentang komponen molekuler dan seluler yang terdiri dari sistem
kekebalan tubuh , termasuk fungsi dan interaksi . Sistem kekebalan tubuh
dibagi menjadi primitive innate immune system, dan acquired atau
adaptive immune sistem vertebra, masing-masingmengandung komponen
humoral dan selualar.
STRUKTUR IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang
terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua
mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang
mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan
4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik
molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi
yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi
komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.
Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai
perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan
antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar
imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun
dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai
berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)
dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu
unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh
suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur
yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah
penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal
sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang
terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan
disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh
ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan
lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),
rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai
mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2
domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan
rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa
fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu
2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini
mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan
variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan
antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas
imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung
bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.
Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat
antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang
bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,
terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel
mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan
kemampuan menembus plasenta.
Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada
gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida
(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam
amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian
masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa
menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang
mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.
KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin G
IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2
rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai
koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada
orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya
sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-
6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang
hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat
komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl
> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen
dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi
ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.
Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada
fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan
memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus
antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3
pada lokasi domain CH3.
Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai
dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen
asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan
reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody
dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada
antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel
limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi
dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada
transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.
Imunoglobulin M
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul
850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah
karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul
pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada
golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul
IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.
IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan C H.
Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan
disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer
dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya
oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.
Imunoglobulin A
IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA
dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang
80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan
sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima
monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan
disulfida dan rantai tunggal J . Polimer tersebut mempunyai koefisien
sedimentasi 10,13,15 S.
Sekretori IgA
Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling
banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,
kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal
seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe
IgA serum.
SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul
monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.
Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada
bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan
melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama
pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan
antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus
menembus mukosa.
Imunoglobulin D
Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat
labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat
molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul
60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD
belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel
limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of
immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,
penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:
Saunders, 1991; 70-96.
Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.
Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.
London: Blackwell. 1988; 15-30.
Induksi yang pertama, terjadi saat sel dendritik yang berada pada
jaringan tempat terjadinya infeksi terikat antigen, teraktivasi menjadi sel
AP, kemudian bermigrasi ke dalam sistem limfatik dan berakhir di nodus
limfa atau limpa atau jaringan MALT. Sel T yang bermigrasi dari satu nodus
limfa menuju ke nodus yang lain, akan menempel pada sel AP dan
berusaha untuk mengenali antigen dengan memindai sel tersebut pada
bagian MHC kelas II. Antigen yang tidak dikenali akan segera ditinggalkan
oleh sel T untuk dipindai sel T yang lain hingga akhirnya dikenali. Pada
saat tersebut, sel T akan berhenti bermigrasi dan akan mengikat erat sel
AP. Kemudian teraktivasi untuk memicu sistem kekebalan tiruan.
Sel T0 atau sel T CD4 yang mengenali antigen melalui molekul MHC kelas II
pada sel dendritik AP akan mengaktivasi LFA-1 yang menyebabkan ikatan
kuat antara Sel T0dengan sel AP. Setelah itu akan terjadi proliferasi dan
diferensiasi sel T0, yang menghasilkan sejumlah sel T CD4 baru yang
mempunyai pencerap efektor (bahasa Inggris: armed-effector T cell).
Diferensiasi sel T sebagai berikut:
sel TH1 akan dihasilkan jika virus atau bakteri menginduksi sekresi
IL-12 dari sel AP. IL-12 kemudian menjadi stimulasi bagi sel NKT untuk
mengeluarkan IFN-γ. Aktivasi LFA-1 pada T0 terjadi dengan stimulasi
IL-12 dan IFN-γ. Sel TH1 akan mensekresi IL-2, TNF-ß, IFN-γ.
Antigen yang dapat dikenali lebih khusus disebut sebagai imunogen,
“ dan reaksi tersebut terjadi di area antigen yang disebut epitop. ”
Sistem kekebalan tiruan juga terpicu oleh hal lain, pada saat antigen
menimbulkan reaksi terhadap molekul antibodi atau dikenali oleh
pencerap antigen yang terdapat pada sel NKT. Segera setelah terpicu,
perlawanan terhadap imunogen akan dikoordinasi antar sel agar didapat
respon yang terpadu. Koordinasi dilakukan dengan molekul sinyal seperti
limfokina, sitokina dan kemokina.Diferensiasi sel T yang terjadi:
sel TH2 akan dihasilkan dengan aktivasi LFA-1 yang terjadi dengan
stimulasi IL-4 yang disekresi oleh sel NKT karena stimulasi dari
patogen jenis lain. TH2 akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-13.
Sel TH1 akan bertindak sebagai stimulator MAC, sedangkan sel TH2 akan
berfungsi sebagai aktivator sel B.
Komponen selular
Komponen humoral
Peran antibodi dalam sistem kekebalan, antara lain :[8]
Untuk infeksi intraselular, virus dan bakteri terlebih dahulu perlu
mengikat molekul tertentu yang terdapat pada permukaan sel target.
Antibodi dapat mencegah terjadinya ikatan tersebut. Hal ini juga
sekaligus mencegah masuknya toksin yang disekresi oleh patogen ke
dalam sel.
Antibodi yang menempel pada permukaan patogen akan
mempercepat dikenalinya patogen tersebut oleh fagosit, oleh karena
fagosit dilengkapi dengan pencerap fragmen konstan yang mengikat
antibodi pada area konstan C
Antibodi yang terikat pada permukaan patogen dapat mengaktivasi
protein dari komponen komplemen.
Kaidah Ouchterlony
Kaidah ini berguna untuk menentukan perhubungan antigen (antigenic
relationship). Corak pertama di atas menunjukkan tindak balas seiras
(reaction of identity) yang berlaku apabila epitop-epitop pada antigen 1
dan 2 yang dicam oleh antibodi adalah sama. Dalam tindak balas kedua
epitop-eitop yang terdapat pada antigen 1 dan 3 adalah berbeza dan tidak
dikongsikan. Ini menghasilkan corak tindak balas tak seiras (reaction of
non-identity). Jika terdapat epitop-epitop yang dikongsikan antara dua
antigen dan pada masa yang sama terdapat epitop-epitop unik pada satu
antigen, corak separa iras (reaction of partial identity) akan terhasil.
Dalam corak ketiga, antigen 1 dan 4 mempunyai epitop-epitop yang
sepunya, tetapi antigen 1 mempunyai epitop-epitop unik yang dicam oleh
antibodi dan ini akan menghasilkan pacu (spur). Dalam corak keempat,
antibodi hanya mengcam epitop pada antigen 1 yang tidak mempunyai
epitop yang dikongsikan dengan antigen 5.
Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.
Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.
Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh
APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons
imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui
kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan
pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC
yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut
sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak
efisien untuk menstimulasi sel T.
Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit
dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk
antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan
mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal
mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak
ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu
dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis
factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel
dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit
terlepas dari epitel.
Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun
tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating
dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi
limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons
sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,
terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi
sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis
mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua
jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan
mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi
makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan
mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;
proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.
Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari
mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.
Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap
antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat
menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan
cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat
menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini
tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel T.
Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel
yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini
disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)
mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)
kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk
antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat
mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.
Jenis APC
Professional APCs
Terdapat 3 tipe utama professional antigen-presenting cell:
Non-professional
A non-professional APC
Fibroblasts (kulit)
Thymic epithelial cells
Thyroid epithelial cells
Glial cells (otak)
Pancreatic beta cells
Vascular endothelial cells
Jenis-jenis antigen
presenting cell (APC)
Presenta
Resepto MHC si
No Jenis APC Lokasi Mobilitas r Fc/C3 kelas II kepada
Interdigitating
dendritic
cellsSel Parakorteks
1.2. LangerhansVeil KGBKulitSalura +++++ Sel TSel
3. ed cells n limfe AktifAktifAktif +++ + TSel T
Follicular
4. dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B
Medula
KGBHati (sel
Kupffer)Otak AktifStatikSta +++++ Sel T dan
5. Makrofag (astrosit) tik +++ + B
Sel B
(khususnya Ig
bila Jaringan permukaa
6. teraktivasi) limfoid Aktif n + Sel T
Sitokin dibagi dalam sitokin imunologi yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β), dan tipe
2 (IL-4, IL-10, IL- 13), yang mendukung respon antibodi. Fokus utama yang
menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari dua-set sub
cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari pada yang lain.
Disregulasi kecenderungan ini masih dalam studi intensif atas peran yang
mungkin dalam patogenesis gangguan autoimun. Beberapa sitokin
inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin, sendiri
memicu pelepasan sitokin lainnya dan menyebabkan stres oksidan juga
meningkat, membuat mereka penting dalam inflamasi kronis. Disregulasi
sitokin-sitokin baru-baru ini telah dibagi menjadi dua kelompok yaitu ada
bersifat memacu dan menghambat. Bersifat memacu yaitu sesuai dengan
populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: sel T helper 1 atau 2.
Kategori kedua sitokin memiliki peran dalam pencegahan berlebihan
tanggapan kekebalan pro-inflamasi, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk
beberapa nama). Sitokin merupakan sinyal penting yang dihasilkan oleh
sel-sel tubuh untuk dapat mengaktifkan kerja sel yang lain, sehingga jenis
dari sitokin yang disekresikan oleh sel akan memberikan efek pada sel
targetnya. Beberapa penyakit autoimun ditandai dengan perubahan
komposisi Th1 vs Th2 dan keseimbangan IL-12/TNF-α vs IL-10. Pada
beberapa penyakit seperti RA, MS, DM tipe 1, penyakit tiroid autoimun,
dan Crohn’s, keseimbangan bergeser menuju Th1 (IL-12 & TNF-α),
sedangkan aktifitas Th2 (IL-10) berkurang. Pada SLE berkaitan dengan
pergeseran ke Th2 (IL-10), sedangkan produksi IL-12 dan TNF-α oleh Th1
sangat kurang. pada gambar berikut ini menjelaskan pada penyakit DM
tipe 1 yang diperantarai oleh sitokin yang dihasilkan sampai terjadinya
kerusakan sel-sel beta pakreas.
Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat-zat yang dikeluarkan oleh sel-
sel yang spesifik sistem kekebalan yang membawa sinyal lokal antara sel,
dan dengan demikian memiliki efek pada sel-sel lain. Sitikin adalah
kategori yang menandakan molekul yang digunakan secara luas dalam
komunikasi selular berupa protein, peptida atau glikoprotein. Istilah sitokin
meliputi keluarga besar dan beragam regulator polipeptida yang
dihasilkan secara luas di seluruh tubuh oleh sel asal embryological yang
beragam.
Sel tipe Th1 mensekresikan IL-2, TNF-α, dan interferon-γ dengan kadar
tinggi. Aktivitas ini mengaktivasi makrofag dan sel promotor yang
dimediasi respon imun melawan patogen intraseluler yang invasif. Sel tipe
Th2 memproduksi berbagai macam sitokin anti-inflamasi, termasuk IL-4,
IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Keduanya sel TH1 dan Th2 memproduksi lebih
sedikit jumlah dari TNF-α, Granulocyte-Macrophage Colony-stimulating
Factor(GM-CSF), dan IL-3. Sitokin tipe Th2 meningkatkan respon imun
humoral melawan patogen ekstraseluler. Penghambatan saling silang
antara sitokin tipe Th-1 dan Th-2 mempolarisasi fungsional respon sel Th
ke dalam sel yang memediasi respon imun humoral. Regulasi dari aktivasi
sel T oleh sitokin anti-inflamasi adalah elemen kontrol awal yang krusial
pada proses ini (Gambar 1)
Efek dari sitokin tertentu pada sel yang diberikan tergantung pada sitokin,
kelimpahan ekstraseluler nya, kehadiran dan kelimpahan dari reseptor
komplementer pada permukaan sel, dan sinyal hilir diaktifkan oleh
reseptor mengikat; dua faktor terakhir dapat bervariasi menurut jenis sel.
Sitokin adalah ditandai dengan cukup “redundansi”, dalam banyak sitokin
muncul untuk berbagi fungsi yang sama.
autokrin: jika sitokin yang bekerja pada jenis yang sama sel yang
mengeluarkan.
parakrin: jika target dibatasi untuk sel-sel dari tipe yang berbeda di
sekitar langsung sekresi sitokin.
Sitokin adalah nama umum, nama yang lain diantaranya limfokin (sitokin
yang dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit),
kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interleukin (sitokin
yang dihasilkan oleh satu leukosit dan beraksi pada leukosit lainnya).
Sitokin berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, terbagi atas monokin
dan limfokin.
Pada sel T terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok sel Th1 memproduksi
Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ (IFN- γ) dan Limfotoksin (LT). Kelompok sel
Th2 memproduksi beberapa interleukin yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-10.
Klasifikasi Struktural
Homologi struktural telah mampu membedakan antara sebagian
sitokin yang tidak menunjukkan tingkat redundansi sehingga
mereka dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis:
Keempat famili α-helix bundel sitokin Anggota memiliki struktur tiga
dimensi dengan empat bundel α-heliks. Famili ini dibagi menjadi tiga
sub-keluarga subfamily IL-2
1. subfamili interferon (IFN)
2. subfamili IL-10
Yang pertama dari ketiga subfamili adalah yang terbesar. Hal
itu berisi beberapa non-imunologi sitokin termasuk eritropoietin
(EPO) dan thrombopoietin (TPO). Juga, empat bundel α-helix
sitokin dapat dikelompokkan menjadi sitokin rantai panjang dan
rantai pendek.
Famili IL-1 yang primer termasuk IL-1 and IL-18
Famili IL-17 , yang belum sepenuhnya ditandai, meskipun sitokin
anggota memiliki efek khusus dalam mempromosikan proliferasi T-sel
yang menyebabkan efek sitotoksik
Klasifikasi Fungsional
Sebuah klasifikasi yang terbukti lebih berguna dalam praktek klinis dan
eksperimental adalah pembagian sitokin imunologi ke orang-orang yang
meningkatkan respon imun seluler yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β, dll), dan tipe
2 (IL-4, IL-10, IL -13, dll) adalah yang mendukung respon antibodi.
Fokus utama yang menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari
dua sub-set cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari
lainnya. Disregulasi dari kecenderungan ini berperan dalam patogenesis
gangguan autoimun.
Beberapa Sitokin inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin sendiri memicu
pelepasan sitokin lainnya dan juga menyebabkan stres oksidan meningkat membuat sitokin
berperan penting dalam peradangan proses kronis.
Sitokin
Imun Selektif
dan Sel
Aktivitasnya penghasil Sel target Fungsi
GM-CSF Sel Th Sel-sel progenator Pertumbuhan dan
differensiasi monosit
dan DC
MonositMakrofagSel
IL-1α IL-1β – sel BDC Sel – sel Th co-stimulasi
Sel – sel B Maturasi dan proliferasi
Sel – sel NK Aktivasi
bervariasi Inflamasi, fase respon akut, demam
Pengaktifan sel T dan B, Pertumbuhan,
IL-2 Sel-sel Th1 sel-sel NK proliferasi,aktivasi
Sel-sel ThSel-sel Pertumbuhan dan
IL-3 NK Sel pokok differensiasi
Sel mast Pertumbuhan dan pelepasan histamin
Proliferasi dan
differensiasi lgG1 dan
IL-4 Sel-sel Th2 Pengaktifan Sel B sintesis Ig E
Makrofag MHC klas II
Sel-sel T Proliferasi
Proliferasi dan
differensiasi sintesis
IL-5 Sel-sel Th2 Pengaktifan sel B lgA
MonositMakrofagSel-
sel Th2Sel-sel Differensiasi sel
IL-6 stromal Pengaktifan sel B plasma
Sel plasma Sekresi antibodi
Sel pokok Differensiasi
Bervariasi Respon fase akut
Stroma Differensiasi kedalam
Il-7 sumsum,timus Sel pokok progenitor sel T dan B.
MakrofagSel
IL-8 endotelium Neutrofil-neutrofil Kemotaksis
IL-10 Sel-sel Th2 Makrofag Produksi sitokin
Sel-sel B Aktivasi
Differansiasi CTL
IL-12 MakrofagSel-sel B Pengaktifan sel-sel Tc (dengan IL-2)
Sel-sel NK Pengaktifan
Replikasi virus,
IFN-α Leukosit Bervariasi ekspresi MCH I
Replikasi virus,
IFN-β Fibroblas Bervariasi ekspresi MCH I
Sel-sel Th1Sel-sel Tc,
IFN-γ sel-sel NK Bervariasi Replikasi virus
Makrofag Respon MHC
Pengaktifan sel B Perubahan Ig menjadi IgG2a
Sel-sel Th Proliferasi
Makrofag Eliminasi patogen
MIP-1α Makrofag Monosit, sel-sel T Kemotaksis
MIP-1β Limfosit Monosit, sel-sel T Kemotaksis
TGF-β Sel T, monosit Monosit, Makrofag Kemotaksis
Pengaktifan makrofag Sintesis IL-1
Pengaktifan sel B Sintesis lgA
Bervariasi Proliferasi
MakrofagSel mast, Ekspresi CAM dan
TNF-α sel-sel NK Makrofag sitokin
Sel tumor Sel mati
Fagositosis, tidak ada
TNF- β Sel Th1 dan Tc Fagosit-fagosit produksi
Sel tumor Sel mati
Reseptor Sitokin
Dalam hal ini, dan juga karena redundansi dan pleiomorpishm sitokin,
pada kenyataannya merupakan konsekuensi dari reseptor homolog
sitokin, banyak para ahli berfikir bahwa klasifikasi reseptor akan lebih
berguna secara klinis dan eksperimental. Sitokin bekerja pada sel-sel
targetnya dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik. Reseptor
dan sitokin yang cocok dengan reseptor tersebut dibagi ke dalam
beberapa kelompok berdasarkan struktur dan aktivitasnya.
IFN-γ meregulasi ekspresi antigen MHC klas I, dan menginduksi MHC klas
II dan ekspresi reseptor Fcγ pada makrofag dan sel-sel lainnya termasuk
sel-sel limfoit, sel-sel endotel, sel-sel mast dan fibroblas sehingga IFN-γ
mempengaruhi kemampuan sel-sel tersebut untuk menyajikan antigen.
Dengan diaktifkannya MHC klas II pada sel-sel endotel, sel-sel ini
kemudian menjadi peka terhadap aksi sel-sel T sitolitik spesifik klas II.
Secara fisiologi pembentukan osteoklas diatur oleh sitokin-sitokin utama
osteoklastogenik M-CSF dan RANKL. Bagaimanapun, kondisi fisiologik
yang terjadi, seperti selama berlangsungnya inflamasi, infeksi, dan
defisiensi estrogen, resorpsi tulang secara signifikan distimulasi
sehubungan dengan penambahan produksi faktor-faktor disregulasi pro-
dan anti- osteoklastogenik, termasuk IFN-γ, yang menjadi pusat mediator
imun adaptif.
Ralph Steinman menemukan, pada tahun 1973, tipe sel baru yang ia
sebut sel dendritik. Ia berspekulasi bahwa hal itu bisa menjadi penting
dalam sistem kekebalan tubuh dan melanjutkan untuk menguji apakah
sel-sel dendritik dapat mengaktifkan sel T, jenis sel yang memiliki peran
penting dalam kekebalan adaptif dan mengembangkan memori imunologi
terhadap zat yang berbeda. Dalam percobaan kultur sel, ia menunjukkan
bahwa kehadiran sel-sel dendritik menghasilkan tanggapan yang jelas dari
sel T untuk zat-zat tersebut. Temuan ini awalnya ditanggapi dengan
skeptis tapi pekerjaan berikutnya oleh Steinman menunjukkan bahwa sel
dendritik memiliki kapasitas yang unik untuk mengaktifkan sel T.
Di dalam darah, prekursor sel dendritik limfoid dapat berupa sel yang
mirip seperti sel plasma dengan ekspresi CD4+ dan CD11c+, atau berupa
sel progenitor yang mempunyai potensi untuk terdiferensiasi menjadi sel
T atau sel NK. Sel progenitor semacam ini banyak tersebar pada jaringan
limfoid sekunder dan kelenjar timus.
Sel dendritik limfoid juga dapat berkembang dari sel progenitor lain dari
kelenjar timus, yang terstimulasi oleh sitokina IL-3, dan dari sel prekursor
pada kelenjar amandel yang distimulasi oleh ligan CD40. Perkembangan
terakhir menunjukkan bahwa IL-2 dan IL-5 dapat menstimulasi sel
progenitor berekspresi CD34+ menjadi sel dendritik yang mempunyai
beberapa sifat seperti sel NK.
Namun tidak satu pun sel dendritik limfoid dapat terdiferensiasi dari sel
prekursor, oleh stimulasi GM-CSF.
Berbagai macam fungsi dilaksanakan oleh DC limfoid, seperti
mencetuskan seleksi negatif pada kelenjar timus, costimulatory bagi sel T
CD4+ dan CD8+. Baru-baru ini DC limfoid pada manusia ditemukan
merupakan aktivator sel TH2.
Di dalam sumsum tulang belakang, ditemukan sekelompok sel progenitor
tiomosit CD10 dengan masing-masing ekspresi tambahan
CD34+ CD38+ yang memiliki kapasitas diferensiasi menjadi sel T, sel B, sel
NK dan DC, namun tidak dapat menjadi sel mieloid. Sel progenitor dengan
fenotipe tanpa ekspresi CD10 merupakan prekursor dari sel mieloid.
Sehingga ekspresi CD10 dianggap sebagai molekul yang diperlukan bagi
diferensiasi sel T, sel B, sel NK dan DC.
Apabila HIV menginfeksi sel CD4, unsur genetik virus digandakan dan
dibungkus, lama-kelamaan budding dari sel bergerak menulari sel lain.
Walaupun sel dendritik dapat tertular HIV, budding tidak terjadi.
Shen Pang, PhD, lektor divisi biologi dan kedokteran gigi Fakultas
Kedokteran Gigi UCLA dan Qiuwei Wang, mahasiswa pascasarjana yang
bekerja dengan Pang, mengamati DC-SIGN secara lebih cermat untuk
melihat apakah protein tersebut mencegah sel dendritik membuat HIV
baru.
TLR telah memberikan kontribusi untuk identifikasi sinyal , asal virus atau
bakteri dan peran mereka dalam perlindungan terhadap penyakit yang
berbeda. Aspek biologi dan aspek klinis TLRs dengan implikasinya dalam
penyakit autoimun dan mekanisme imunopatagonesisa dalam proses
peradangan dalam sistem imun mulai banyak diungkapkan
Pada penelitian, tikus yang tidak memiliki TLR5 tidak terlalu rentan
terhadap infeksi, kecuali mereka juga kekurangan TLR4, yang mengakui
senyawa bakteri yang berbeda. Dengan demikian, kerja sama antara TLRs
berbeda kadang-kadang penting untuk perlindungan yang optimal
terhadap infeksi.
multiple triacyl
TLR 1 lipopeptides Bacteria MyD88/MAL cell surfa
multiple
lipopeptides Bacteria
multiple
lipoproteins Bacteria
Numerous others
double-stranded cell
TLR 3 RNA, poly I:C viruses TRIF compartm
Gram-
negative
lipopolysaccharide bacteria
heparan sulfate
fragments host cells
hyaluronic acid
fragments host cells
nickel
multiple diacyl
TLR 6 lipopeptides Mycoplasma MyD88/MAL cell surfa
imidazoquinoline
loxoribine (a
guanosine
analogue)
small
synthetic
bropirimine compounds
single-stranded cell
TLR 7 RNA MyD88 compartm
small synthetic
compounds; single- cell
TLR 8 stranded RNA MyD88 compartm
unmethylated CpG
Oligodeoxynucleotid cell
TLR 9 e DNA Bacteria MyD88 compartm
Toxoplasma cell
TLR 11 Profilin gondii MyD88 compartm
TLR cell
13[28] unknown Virus MyD88, TAK-1 compartm