Pendahuluan
Leukimia merupakan proliferasi sel-sel leukosit yang abnormal, ganas dan sering disertai
bentuk leukosit yang tidak normal dan jumlahnya berlebihan. Kondisi leukemia dapat
menyebabkan anemia dan trombositopenia dan bias diakhiri dengan kematian. Klasifikasi
leukemia secara umum dibagi menjadi dua berdasarkan waktu terjadinya dan berdasarkan jenis
morfologi selnya. Berdasarkan waktunya dibagi menjadi akut dan kronik serta berdasarkan
morfologi selnya dibagi menjadi mieloid dan limfoid.
Anamnesis
Anamnesis pada LLA harus ditanyakan apakah ada gejala anemia, kelemahan tubuh, berat
badan menurun, anoreksia, mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi.
Ada beberapa point penting yang perlu ditanyakan pada saat anamnesis , antara lain:
Keluhan utama:
o Pucat. Seringkali terlihat pada pasien anemia. Pucat paling baik dinilai pada
telapak tangan/kaki, kuku, mukosa mulut, dan konjungtiva. Terasa berdebar
debar ingin pingsan. Adanya perdarahan gusi atau mimisan.
Keluhan penyerta:
o Biasanya anak lemas, demam, penurunan kadar trombosit, muntah sehingga
menunjukkan gejala seperti serangan demam berdarah bahkan dapat
ditemukan kulit yang tampak kuning pucat seperti penyakit kuning.1
Pemeriksaan Fisik
1. Pucat yang terjadi mendadak dan sukar diterangkan penyebabnya
2. Panas/demam
3. Perdarahan dapat berupa ekimosis, ptekie, epistaksis, perdarahan gusi
4. Splenomegali (kadang hepatomegali)
5. Limfadenopati
6. Gejala tidak khas : sakit sendi atau tulang yang dapat disalah tafsirkan sebagai penyakit
rematik.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Darah tepi
Gejala yang terlihat pada darah tepi sebenarnya berdasarkan pada kelainan
sumsum tulang yaitu berupa pansitopenia, limfositosis yang kadang kadang
menyebabkan gambaran darah tepi monoton dan terdapatnya sel blas.
Terdapatnya sel blas dalam darah tepi merupakan gejala patognomonik untuk
leukemia.2
Anemia : kadar Hb, nilai Ht, jumlah eritrosit menurun
Trombositopenia
Hitung leukosit : meningkat/ menurun/ normal
Sediaan hapus darah tepi ( eritrosit bentuk normositik normokrom, eritrosit
berinti dengan sel blas bervariasi, pada ANLL, pada sel blas mungkin terdapat
Auer rod.
Berdasarkan hitung leukosit dan adanya sel blas, leukemia akut dibagi
menjadi :
1. Leukemia leukemik : hitung leukosit meningkat dengan sel blas
(++)
2. Leukemia subleukemik : hitung leukosit normal dengan sel blas
(+)
3. Leukemia aleukemik : hitung leukosit menurun dan sel blas (-)3
Diagnosis Banding
Leukemia mielositik akut (LMA)
Pada sebagian besar kasus, gambaran klinis dan morfologi pada pewarnaan rutin
membedakan ALL dari AML. Pada ALL, blas tidak memperlihatkan adanya diferensiasi (dengan
perkecualian ALL sel B). Sedangkan pada AML, biasanya ditemukan tanda-tanda diferensiasi
kearah granulosit atau monosit pada blas atau progeninya. Diperlukan tes khusus untuk
memastikan penegakan diagnosis AML atau ALL dan untuk membagi lagi kasus-kasus AML
atau ALL ke dalam subtype yang berbeda.
Pada sebagian kecil kasus leukemia akut, sel blas memperlihatkan adanya gambaran AML
dan ALL sekaligus. Ciri-ciri ini dapat ditemukan pada sel yang sama (biphenotypic) atau pada
populasi yang terpisah (bilineal), dan gambaran ini mencakup ekspresi yang tak wajar dari
petanda imunologik atau penataan ulang gen yang tak wajar. Hal ini disebut leukemia akut
hybrid dan pengobatan biasanya diberikan berdasarkan pola yang dominan.
Epidemologi
Penelitian mengenai gambaran epidemiologi leukemia anak belum merupakan prioritas
para peneliti di Indonesia. Padahal, informasi ini sangat penting agar masyarakat mengerti dan
peduli (aware) terhadap tingginya angka kejadian leukemia pada anak dibandingkan dengan jenis
kanker lain. Penelitian ini juga penting sebagai langkah awal untuk melanjutkan penelitian
terhadap faktor penyebab sehingga dapat menentukan tindakan preventifnya4.
LLA merupakan bentuk leukemia yang paling sering terjadi pada anak-anak. Insidensi
LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia kurang dari 15 tahun.
Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. Walaupun demikian, 20% dari kasus LLA adalah dewasa.
LLA lebih banyak ditemukan pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA
mempunyai risiko empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar
monozigot dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.5
Patofisiologi
LLA merupakan suatu keganasan jaringan yang menghasilkan sel darah putih (leukosit) yang
imatur atau abnormal dalam jumlah berlebihan, dan leukosit-leukosit tersebut melakukan invasi
ke berbagai organ tubuh. Sel-sel leukemik berinfiltrasi ke dalam sumsum tulang, mengganti
unsur-unsur sel yang normal. Akibatnya, timbul anemia, dan dihasilkan sel darah merah dalam
jumlah yang tidak mencukupi. Timbul perdarahan akibat menurunnya jumlah trombosit yang
bersirkulasi. Infeksi juga terjadi lebih sering karena berkurangnya jumlah leukosit normal. Invasi
sel-sel leukemik ke dalam organ-organ vital menimbulkan hepatomegali, splenomegali, dan
limfadenopati.6
Teori umum tentang patofisiologi leukemia adalah bahwa satu sel induk mutan, mampu
memperbaharui secara tidak terhingga, menimbulkan prekursor hematopoietik berdiferensiasi
buruk maligna yang membelah diri pada kecepatan yang sama atau lebih lambat daripada
pasangannya yang normal. Pada studi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD), perkembangan
uniseluler dari neoplasma telah diperlihatkan dengan menemukan satu jenis G6PD dalam sel
ganas dari pasien heterozigot yang memiliki pola enzim ganda dalam jaringan normal mereka.
Penentuan pola metilasi dari polimorfisme panjang-fragmen-restriksi yang terkait-X pada
perempuan heterozigot merupakan metode sensitif lain dalam pada prinsip analisis yang sama.
Akumulasi sel blas menghambat produksi normal granulosit, eritrosit, dan trombosit, sehingga
mengakibatkan infeksi, anemia, dan perdarahan. Sel leukemia dapat menginfiltrasi setiap organ
dan menyebabkan pembesaran dan gangguan fungsi organ tersebut.6
Manifestasi klinis
Tanda dan gejala klinis yaitu anemia, perdarahan, infeksi, hepatosplenomegali,
limfadenopati, infiltrasi ekstranodul pada kulit, orbita dan mammae dan kadang disertai dengan
peningkatan tekanan intracranial apabila terjadi meningeal leukemia.
Gejala yang khas ialah pucat, panas, dan perdarahan disertai splenomegali dan kadang –
kadang hepatomegali serta limfadenopati.Penderita yang menunjukkan gejala lengkap seperti
tersebut diatas, secara klinis dapat didiagnosis leukemia.Pucat dapat terjadi mendadak, sehingga
bila pada seorang anak terdapat pucat yang mendadak dan sebab terjadinya sukar diterangkan,
waspadalah terhadap leukemia.Perdarahan dapat berupa ekimosis, petekia, epistaksis, perdarahan
gusi dan sebagainya.
Pada stadium permulaan mungkin tidak terdapat splenomegali.Gejala yang tidak khas
ialah sakit sendi atau sakit tulang yang dapat disalah-artikan sebagai penyakit reumatik. Gejala
lain dapat timbul sebagai akibat infiltrasi sel leukemia pada alat tubuh, seperti lesi purpura pada
kulit, efusi pleura, kejang pada leukemia serebral dan sebagainya2.
Klasifikasi
1. Berdasarkan maturitas sel : akut, kronik
2. Berdasarkan jenis sel : myeloid, limfoid
3. Berdasarkan maturasi dan jenis sel :
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA)
Leukemia Mieloblastik Kronik (LMK)
Leukemia Limfositik Akut (LLA)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
4. Berdasarkan morfologi dan pewarnaan sitokimia (FAB) :
4.1 Acute Non Lymphocytic Leukemia (ANLL) dibagi menjadi :
M0 : undifferentiated LMA. Mieloperoksidase (-) sulit dibedakan dengan LLA
M1 : LMA tanpa maturasi. Dominasi sel blas, blas tanpa granula, sejumlah kecil
granula
azurofil, Auer bodies. Tipe ini paling sering
M2 : LMA dengan maturasi. Terjadi diferensiasi, promielosit dan seterusnya.
M3 :APL (acute promyelocytic leukemia). Granula azurofil besar, Auer bodies
bundle
(Faggot cell), sering disertai DIC.
M4 : AMMoL (acute myelomonocytic leukemia)
M5a : AMoL (acute monoblastic leukemia) poor differentiation
M5b : AMoL good differentiation
M6 : Erythroleukemia. Eritroblas sering PAS (+)
M7 : AMgL (acute megakaryoblastic leukemia)3
Penatalaksanaan
1. Transfusi darah biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan massif, dapat diberikan transfusi
trombosit dan bila terdapat tanda – tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednisone, kortison, deksametason, dsb). Setelah dicapai remisi
dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat
atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin
(Oncovin), rubidomisin (daunorubicin), sitosin, arabinosid, L-asparaginase,
siklofosfamid atau CPA, adriamisin, dsb. Umumnya sitostatika diberikan dalam
kombinasi bersama –sama dengan prednisone. Pada pemberian obat – obatan ini
sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leucopenia, infeksi
sekunder atau kandidiasis. Hendaknya lebih berhati – hati bila jumlah leukosit kurang
dari 2.000/mm3.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang
suci hama).
5. Imunoterapi merupakan cara pengobatan yang terbaru, setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukemia cukup rendah (105 – 106), imunoterapi mulai diberikan.
Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan
Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibody yang dapat
memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan
sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk
antibody yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan
dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna2.
Komplikasi
Kematian mungkin terjadi karena infeksi (sepsis) atau perdarahan yang tidak
terkontrol.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan leukemia untuk berespon
terhadap kemoterapi7.
Pencegahan
Karena penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti maka tidak ada pencegahan
yang jelas terhadap penyakit ini. Paling tidak faktor risiko LLA seperti paparan radiasi dapat
dihindari.
Sedangkan bagi pasien yang telah menderita LLA pencegahan yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan profilkasis SSP. 50-75% pasien LLA yang tidak mendapat terapi profilaskis
akan mengalami relaps pada SSP. Profilaskis SSP dapat terdiri dari kombinasi kemoterapi
intratekal, radiasi cranial, dan pemberian sisetemik obat yang mempunyai bioavibilitas SSP yang
tinggi seperti metotreksat dan sitarabin dosis tinggi.8
Selain itu dilakukan pula pencegahan suportif yaitu penanganan pada penyakit lain yang
menyertai leukemia, komplikasi dan tindakan yang mendukung penyembuhan, termasuk
perawatan psikologi. Perawatan suportif tersebut antara lain transfusi darah (trombosit),
pemberian antibiotik pada infeksi (sepsis), obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik dan
pendekatan aspek psikososial.8
Penutup
Leukemia adalah salah satu penyakit keganasan yang sangat ditakuti oleh masyarakat
dewasa ini. Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, etiologi dari keganasan hemopoetik
ini tidak diketahui secara keseluruhan.
Leukemia dibagi menjadi akut dan kronik. Pada leukemia akut, sel darah sangat tidak
normal, tidak dapat berfungsi seperti sel normal, dan jumlahnya meningkat secara cepat. Kondisi
pasien dengan leukemia jenis ini memburuk dengan cepat. Pada umumnya gejala klinis
menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia.
Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di
darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan.
Diagnosis LLA dikesankan dengan adanya sel blas pada preparat apus darah tepi, namun
lebih dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang. Aspirasi dan biopasi sumsum tulang adalah
pemeriksaan diagnostik definitif untuk memastikan diagnosis leukemia. Sumsum tulang yang
telah diaspirasi diberi pewarnaan Wright atau Giemsa. Diagnosis LLA ditegakkan apabila
ditemukan sedikitnya 30% limfoblas (menurut klasifikasi FAB) atau setidaknya 20% limfoblas
(menurut klasifikasiWHO) di sumsum tulang atau di darah tepi.
Daftar Pustaka
1. Hassan, et al. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian ke-1. Cetakan ke-
11. Jakarta: Percetakan Infomedika; 2007.
2. Hassan, Rusepno dkk. Leukemia. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 1. Cetakan
ke-11. Percetakan Infomedika, Jakarta: 2007.
3. Sudiono, Herawati, dkk. Leukemia. Penuntun Patologi Klinik Hematologi. Cetakan
ketiga. Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta: 2009.
4. http://indonesianjournalofcancer.org/images/stories/2010/IJoC_2010_1_015.pdf diunduh
Rabu, 20 April 2011, 9:31PM
5. Seiter K, Adoo CS, Sacher FTRA, Besa EC, editor. Acute lymphoblastic leukemia. 9
Maret 2012. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/207631-overview, 11
April 2012.
6. Rudolph, M. Abraham. Buku ajar pediatrik rudolph. Edisi 20. EGC, Jakarta: 2006. h.
1397-401.
7. Rudolph, M. Abraham. Leukemia Limfoblastik Akut. Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Edisi
20. EGC, Jakarta: 2006
8. Fianza PI. Leukemia limfoblastik akut. Dalam: Sudoyo AW, Setioyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam volume II. Edisi ke-5.
Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.1266-74.