Anda di halaman 1dari 23

Woman’s Health

Priscilla Revina Situmorang

Fatin Syafieqah Binti Lokman

Pendahuluan

Melindungi dan mempromosi kesehatan wanita sangat penting untuk kesehatan dan
pembangunan tidak hanya untuk generasi saat ini bahkan juga untuk generasi kedepannya.
Kesehatan wanita mengacu pada kondisi fisik dan mental, seperti yang dialami oleh wanita.
Masalah kesehatan wanita juga memasukkan kondisi medis di mana perempuan menghadapi
masalah yang tidak terkait langsung dengan fisik mereka, seperti akses yang dibedakan
berdasarkan gender ke perawatan medis dan aspek sosial ekonomi lainnya. Kesehatan
perempuan merupakan salah satu isu yang diangkat oleh banyak feminis, khususnya kesehatan
reproduksi. Kesehatan perempuan diposisikan dalam tubuh pengetahuan yang lebih luas yang
dikutip, antara lain, Organisasi Kesehatan Dunia, yang menempatkan pentingnya gender sebagai
penentu sosial kesehatan. Beberapa pendukung penelitian kesehatan dan medis, kesehatan wanita
lebih luas daripada masalah khusus anatomi manusia wanita untuk memasukkan area di mana
perbedaan jenis kelamin biologis antara wanita dan pria. Penelitian telah menunjukkan
perbedaan biologis yang signifikan antara jenis kelamin dalam tingkat kerentanan, gejala, dan
respons terhadap pengobatan di banyak bidang kesehatan utama, termasuk penyakit jantung dan
beberapa jenis kanker. Pandangan sosial kesehatan dikombinasikan dengan pengakuan bahwa
gender adalah determinan sosial dari kesehatan menginformasikan pemberian layanan kesehatan
perempuan di negara-negara di seluruh dunia. Kesehatan wanita tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor biologis, tetapi juga oleh kondisi sosial mereka, seperti kemiskinan, pekerjaan, dan
tanggung jawab keluarga.
Wanita Seluruh Dunia

Sebagian besar wanita di dunia tinggal di negara berpenghasilan rendah atau menengah,
hampir setengahnya di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Hanya 15% dari 3,3 miliar
wanita di dunia tinggal di negara berpenghasilan tinggi. Lebih dari satu perempuan dari setiap
tiga orang yang tinggal di negara berpenghasilan rendah. Karena negara yang berpenghasilan
rendah cenderung memiliki populasi yang lebih muda daripada negara berpenghasilan tinggi,
satu dari setiap dua anak di bawah usia sembilan tahun tinggal di negara berpenghasilan rendah.
Sebaliknya, satu dari tiga wanita berusia 60 tahun atau lebih tinggal di negara berpenghasilan
tinggi. Negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki proporsi penduduk berusia 60 tahun atau
lebih terbesar. Wilayah dengan proporsi anak dan dewasa muda dibawah usia 20 tahun paling
tinggi adalah di Afrika dan Asia Tenggara.1

Gambar 1 Distribusi wanita dan perempuan menurut kelompok umur, 20202

Gambar 2 Distribusi wanita berdasarkan kelompok umur dan negara1


Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil estimasi pada tahun 2018 sebesar
265.015.313 jiwa, terdiri atas 133.136.131 jiwa penduduk laki-laki dan 131.879.182 jiwa
penduduk perempuan. Gambar 3 memperlihatkan penurunan jumlah penduduk di Indonesia dari
tahun 2014 hingga tahun 2018. Penurunan jumlah pertumbuhan penduduk terbesar terjadi pada
tahun 2014-2015 sebesar 9,84% dari 3,70 juta per tahun menjadi 3,34 juta per tahun.3

Gambar 3 jumlah penduduk indonesia menurut jenis kelamin tahun 2014 – 2018 (dalam jutaan)4

Sumber: Kepmenkes Nomor 117 Tahun 2017, Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI diolah dari Proyeksi Hasil
Sensus Penduduk 2010 (BPS); Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan Tahun
2015-2019

Berdasarkan estimasi jumlah penduduk, dapat disusun sebuah piramida penduduk tahun
2018. Dasar piramida menunjukkan jumlah penduduk, badan piramida bagian kiri menunjukkan
banyaknya penduduk laki-laki dan badan piramida bagian kanan menunjukkan jumlah penduduk
perempuan. Piramida tersebut merupakan gambaran struktur penduduk yang terdiri dari struktur
penduduk muda, dewasa, dan tua. Struktur penduduk ini menjadi dasar bagi kebijakan
kependudukan, sosial, budaya, dan ekonomi. Piramida ini menunjukkan bahwa struktur penduduk di
Indonesia termasuk struktur penduduk muda. Usia 0-14 tahun (usia muda) lebih banyak jumlahnya
dibandingkan usia di atasnya. Lebih melebarnya grafik pada usia muda membuktikan bahwa penduduk
Indonesia memiliki struktur muda. Bagian atas pada piramida tersebut yang lebih pendek bahwa
menunjukkan angka kematian yang masih tinggi pada penduduk usia tua. Kondisi ini menuntut kebijakan
terhadap penduduk usia tua.
Gambar 4 piramida penduduk indonesia tahun 2018

Sumber: Pusat Data dan Informasi, Kemenkes RI, 2018, Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran Program
Pembangunan Kesehatan Tahun 2015-2019 (Diolah dari Sensus Penduduk 2010)

I. Ketidaksetaraan yang meluas dan persisten


Perbedaan antara wanita dan pria
Sering menjadi pertanyaan mengapa fokus pada kesehatan wanita. Hal ini
disebabkan oleh karena wanita dan anak perempuan memiliki kebutuhan kesehatan
khusus. Kebutuhan yang dimaksudkan adalah adanya kondisi yang hanya dialami
perempuan dan berdampak negatif terhadap kesehatan. Beberapa contoh dari kondisi
yang dimaksud adalah seperti kehamilan dan persalinan, hal ini bukan sebuah penyakit,
tetapi merupakan proses fisiologis dan sosial normal yang membawa risiko kesehatan
sehingga mereka memerlukan perawatan kesehatan.5
Masalah kesehatan dapat terjadi baik pada pria maupun wanita, tetapi karena
memiliki dampak yang lebih besar atau berbeda pada wanita, tantangan tersebut
memerlukan respons yang disesuaikan secara khusus dengan kebutuhan wanita. Kondisi
lain yang dapat mempengaruhi pria dan wanita secara kurang lebih sama, tetapi wanita
menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam mendapatkan perawatan kesehatan yang
dibutuhkan. Selain itu, ketidaksetaraan berbasis gender atau jenis kelamin seperti dalam
pendidikan, pendapatan dan pekerjaan dapat membatasi kemampuan wanita untuk
melindungi kesehatan mereka dan mencapai status kesehatan yang optimal. Wanita
biasanya hidup lebih lama dibanding pria, rata-rata enam hingga delapan tahun lebih
lama. Perbedaan ini disebabkan oleh keunggulan biologis yang terdapat pada wanita. Hal
tersebut juga mencerminkan perbedaan perilaku antara pria dan wanita.
Kesehatan wanita tidak hanya penting bagi wanita itu sendiri, tetapi juga penting
untuk kesehatan anak-anak yang akan mereka kandung. Dengan memperhatikan
kesehatan wanita dan anak perempuan saat ini merupakan sebuah investasi, tidak hanya
untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. 6 Dengan adanya hal ini, diharapkan
dapat menangani faktor penentu sosial dan ekonomi yang mendasari kesehatan wanita
termasuk pendidikan, yang secara langsung menguntungan wanita dan penting dalam
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka.

Perbedaan negara berpenghasilan tinggi dan rendah

Meskipun tantangan kesehatan yang dihadapi kebanyakan wanita seluruh dunia


sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan yang mencolok karena berbagai kondisi tempat
mereka tinggal. Pada setiap usia wanita atau perempuan di negara berpenghasilan tinggi
hidup lebih lama dibandingkan dengan negara berpenghasilan rendah. Selain itu, mereka
juga mempunyai kemungkinan rendah untuk menderita sakit parah dan kematian dini
dibanding wanita di negara berpenghasilan rendah. Di negara yang lebih kaya, angka
kematian anak-anak dan wanita muda sangat rendah bahkan kebanyakan kemarian terjadi
setelah usia 60 tahun manakala di negara miskin gambarannya kebalikan dimana angka
kematian anak-anak lebih tinggi. Perbedaan yang sangat mencolok antara negara kaya
dan negara miskin terletak pada angka kematian ibu yaitu lebih 99% dari setengah juta
kematian ibu setiap tahun terjadi di negara berkembang.

Ketidaksetaraan antara negara

Kesehatan anak perempuan dan wanita antara negara sangat dipengaruhi oleh
faktor sosial dan ekonomi seperti pendidikan, kekayaan dan tempat tinggal. Hampir
disetiap negara, anak perempuan dan wanita yang kaya memiliki tingkat kematian yang
lebih rendah dan lebih banyak menggunakan pelayanan kesehatan dibanding mereka
yang miskin. Perbedaan tersebut tidak terbatas pada negara berkembang tetapi ditemukan
di negara maju.
II. Seksualitas dan reproduksi merupakan keutamaan dalam kesehatan wanita
Kesehatan wanita pada masa reproduksi atau masa subur (antara usia 15-49
tahun) tidak hanya berdampak pada kesehatan mereka tetapi juga berdampak pada
kesehatan dan pekembangan generasi penerus. Di negara berkembang, komplikasi
kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian pada wanita muda usia
antara 15 sampai 19 tahun. Transisi demografis ditandai dengan angka kematian yang
lebih rendah pada anak-anak di bawah lima tahun dan penurunan angka kesuburan yang
mengakibatkan populasi yang menua. Jumlah rata-rata anak per wanita telah turun secara
global dari 4,3 selama awal 1970-an menjadi 2,6 pada 2005-2010. Penurunan ini
sebagian besar disebabkan oleh karena meningkatnya penggunaan kontrasepsi.
Eratnya hubungan antara KB dan kematian ibu dapat dilihat pada Gambar 5.
berikut yang merupakan hasil analisis terhadap proporsi kematian ibu usia 15-49 tahun
dan angka prevalensi KB di 172 negara di dunia. Semakin tinggi angka prevalensi KB di
suatu negara maka semakin rendah proporsi kematian ibu di negara tersebut.

Gambar 5 hubungan prevalensi kb terhadap (log) proporsi kematian ibu usia 15-
49 tahun
Sumber: Maternal deaths averted by contraceptive use: an analysis of 172 countries, Ahmed et al,
the Lancet 2012

Sejalan dengan hal tersebut, terjadi juga hubungan yang erat antara KB dengan
angka fertilitas total (total fertility rate/TFR). TFR yaitu jumlah rata-rata anak yang
dilahirkan oleh seorang perempuan pada akhir masa reproduksinya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa KB merupakan hal yang berpengaruh terhadap TFR. Semakin tinggi
angka prevalensi KB maka semakin rendah TFR suatu negara.

Gambar 6 hubungan prevalensi kb terhadap (log) proporsi kematian ibu usia 15-
49 tahun7
Sumber: Maternal deaths averted by contraceptive use: an analysis of 172 countries, Ahmed et al,
the Lancet 2012
Dengan demikian KB merupakan hal utama dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu di dunia termasuk juga di Indonesia.3
Secara global, faktor risiko utama kematian dan kecacatan pada wanita usia subur
di negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah hubungan seks yang tidak aman,
yang dapat menyebabkan infeksi menular seksual, termasuk HIV. Wanita yang tidak tahu
bagaimana melindungi diri dari infeksi semacam itu, atau yang tidak mampu
melakukannya, menghadapi peningkatan risiko kematian atau penyakit. Begitu pula
mereka yang tidak dapat melindungi diri dari kehamilan yang tidak dapat melindungi diri
dari kehamilan yang tidak diinginkan atau mengontrol kesuburannya karena kurangnya
akses ke kontrasepsi.3 Estimasi jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada tahun 2018
adalah sebanyak 641.675 orang dengan jumlah infeksi baru sebanyak 46.372 orang dan
kematian sebanyak 38.734 orang.
Gambar 6.8 jumlah kasus hiv positif dan aids yang dilaporkan di indonesia
sampai tahun 2018

Gambar 6.10 persentase kasus hiv positif dan aids menurut kelompok umur tahun
2018
Sumber: Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2019

Berdasarkan grafik di atas, masih ditemukan penularan HIV dari ibu ke anak yang
di tunjukkan dengan adanya penemuan Kasus HIV dan AIDS pada kelompok usia di
bawah 4 tahun. Untuk mencapai tujuan nasional dan global dalam rangka triple
elimination (eliminasi HIV, hepatitis B, dan sifilis) pada bayi, penularan HIV dari ibu ke
anak diharapkan akan terus menurun di tahun selanjutnya. Proporsi terbesar kasus HIV
dan AIDS masih pada penduduk usia produktif (15-49 tahun), dimana kemungkinan
penularan terjadi pada usia remaja. HIV dapat ditularkan melalui hubungan seks, tranfusi
darah, penggunaan jarum suntik bergantian dan penularan dari ibu ke anak (perinatal).3
Kekerasan merupakan resiko tambahan yang signifikan bagi kesehatan seksual
dan reproduksi wanita dan juga dapat mengakibatkan gangguan mental dan masalah
kesehatan kronis lainnya. Angka kelahiran pada remaja telah menurun secara global
tetapi tetap tinggi di beberapa bagian Afrika dan Asia. Kehamilan remaja lebih sering
terjadi pada remaja yang hidup dalam kemiskinan dan di daerah pedesaan, dan lebih
mungkin terjadi pada mereka yang kurang berpendidikan.1

Tabel 1 Jumlah Fertilitas (rata-rata jumlah anak per wanita) menurut wilayah1

Gambar : Jumlah Fertilitas (anak per wanita) 1950-2020, estimasi proyeksi varian 2020-
21008
III. Kekerasan dan Gangguan Mental.
Wanita lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan. Diperkirakan 73 juta wanita
dewasa di seluruh dunia menderita episode depresi berat setiap tahun. Gangguan mental
setelah melahirkan, termasuk depresi pascapersalinan, diperkirakan mempengaruhi
sekitar 13% wanita dalam satu tahun setelah melahirkan. Di negara berpenghasilan
tinggi, hampir 40% wanita yang melaporkan gangguan mental sedang atau berat
menerima perawatan selama 12 bulan sebelumnya, dibandingkan dengan hanya sekitar
5
14% di negara berpenghasilan rendah Baik di negara berpenghasilan tinggi maupun
rendah, wanita di rumah tangga termiskin melaporkan lebih banyak gangguan kesehatan
mental daripada wanita di negara terkaya, namun sebagian kecil dari mereka menerima
perawatan.

Bunuh diri, bisa dibilang ekspresi paling ekstrim dari penyakit mental, adalah
penyebab utama kematian ketujuh secara global untuk wanita berusia 20–59 tahun, dan
penyebab utama kematian kedua di negara berpenghasilan rendah dan menengah di
Kawasan Pasifik Barat. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian kelima secara global
untuk wanita berusia 20–44 tahun, dibandingkan kecelakaan lalu lintas jalan raya. Lebih
banyak wanita yang mencoba bunuh diri daripada pria dan perilaku bunuh diri
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang signifikan bagi anak perempuan dan
wanita di seluruh dunia. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko bunuh diri pada wanita
termasuk paparan pelecehan seksual masa kanak-kanak dan kekerasan pasangan intim.
Konsumsi alkohol yang disalahgunakan adalah faktor risiko lainnya, yang menyebabkan
depresi dan membuka jalan untuk melukai diri sendiri secara sengaja. Perbedaan gender
dalam peran sosial juga dapat berperan dalam perilaku bunuh diri. 10

Permasalahan kekerasan terhadap perempuan ternyata tidak hanya terjadi di


Negara-negara berkembang, tetapi juga di Negara-negara maju. Pada tahun 2010, data
WHO menunjukkan bahwa secara umum 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami
kekerasan. Jika dilihat menurut wilayah, terlihat bahwa prevalensi kekerasan terhadap
perempuan di Negara-negara berkembang cenderung lebih tinggi dibandingkan Negara-
negara maju. Meskipun demikian, ternyata prevalensi kekerasan terhadap perempuan di
Negara maju cukup tinggi yakni sekitar 25 persen. Artinya, 1 dari 4 perempuan di Negara
berpendapatan tinggi mengalami kekerasan. Di Negara-negara Afrika dan Asia,
prevalensi kekerasan terhadap perempuan tercatat sekitar 37 persen.

WHO, 2012, Understanding and addressing violence against women, Geneva.

Kekerasan Berbasis Gender (selanjutnya disebut KBG) adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai macam bentuk tindakan kekerasan yang
membahayakan atau mengakibatkan penderitaan pada seseorang, yang dilakukan
berdasarkan perbedaan sosial termasuk gender laki-laki dan perempuan, yang dapat
mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
termasuk berupa ancaman, paksaan dan berbagai bentuk lainnya yang merampas
kebebasan seseorang, baik di ruang publik/ umum maupun dalam lingkungan kehidupan
pribadi” (IASC, 2015). Di seluruh dunia, KBG lebih banyak terjadi kepada perempuan
dan anak-anak perempuan daripada laki-laki dan anak lelaki. Istilah KBG seringkali
dipergunakan secara bersamaan dengan istilah “kekerasan terhadap perempuan” karena
istilah KBG menyoroti dimensi gender dalam bentuk-bentuk tindakan ini terjadi karena
konstruksi gender telah menempatkan status perempuan sebagai kelas kedua di dalam
masyarakat dan oleh karena relasi kuasa yang tidak setara ini, perempuan menjadi sangat
rentan terhadap kekerasan, (IASC, 2015). KBG dapat terjadi di wilayah pribadi (misalnya
kekerasan dalam rumah tangga atau dalam masa pacaran) maupun publik (kekerasan di
tempat kerja atau di tempat umum), dalam situasi normal ataupun sulit (bencana, perang,
konflik), baik yang terjadi di tingkat individu, komunitas, atau negara.11

Kekerasan terhadap perempuan dapat menyebabkan cedera serius, kecacatan atau


kematian. Ini juga dapat menyebabkan secara tidak langsung berbagai masalah kesehatan
seperti perubahan fisiologis akibat stres, penggunaan zat, atau kurangnya kontrol
kesuburan dan otonomi pribadi seperti yang sering terlihat dalam hubungan yang penuh
kekerasan. Wanita yang dilecehkan memiliki tingkat kehamilan yang tidak diinginkan,
aborsi, kehamilan dan bayi yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual (termasuk
HIV), dan gangguan mental (seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur dan
gangguan makan) yang lebih tinggi 10–17% dibandingkan dengan yang tidak
dilecehkan.10

Kekerasan pasangan juga bisa berakibat fatal, sekitar 40-70% pembunuhan wanita
dilakukan oleh pasangan intim. Bentuk kekerasan lain terhadap perempuan adalah
pelecehan seksual oleh figur otoritas (seperti guru, polisi atau majikan), perdagangan
untuk kerja paksa atau seks, dan praktek-praktek tradisional seperti perkawinan paksa dan
kekerasan terkait mahar. Kekerasan terhadap perempuan sering kali terkait dengan bias
sosial dan gender dan, yang paling ekstrem, dapat menyebabkan kematian akibat
kekerasan atau pembunuhan bayi perempuan. Terlepas dari ukuran masalahnya, banyak
perempuan tidak melaporkan pengalaman kekerasan mereka dan tidak mencari bantuan.
Akibatnya, kekerasan terhadap perempuan tetap menjadi masalah tersembunyi dengan
biaya manusia dan perawatan kesehatan yang mahal.

IV. Wanita Lanjut Usia

Suatu negara disebut memiliki struktur ‘penduduk tua’ apabila proporsi penduduk
lanjut usia (usia ≥ 60 tahun) sudah mencapai 10% atau lebih (Aditoemo dan Mujahid,
2014). Indonesia termasuk negara yang akan masuk ke dalam negara berstruktur
penduduk tua, karena persentase penduduk lanjut usia (lansia) yang telah mencapai 7,6%
dari total penduduk (Sensus Penduduk, BPS 2010) dan diproyeksikan akan meningkat
dua kali lipat menjadi 15,77% pada tahun 2035. Peningkatan ini terjadi seiring dengan
Angka Harapan Hidup (AHH) Indonesia yang terus meningkat dari 69,8 tahun (2010)
dan diproyeksikan menjadi 72,4 pada tahun 2035 (Bappenas, BPS, dan UNFPA, 2013).

Gambar 7 angka harapan hidup dan proyeksi penduduk indonesia tahun 2010 –
2035

Sumber: BPS, Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 - 2035

Dengan bertambahnya usia, fungsi fisiologis mengalami penurunan akibat proses


degeneratif (penuaan) sehingga penyakit tidak menular banyak muncul pada lansia.
Selain itu proses degeneratif menurunkan daya tahan tubuh sehingga rentan terkena
infeksi penyakit menular. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 penyakit yang banyak
diderita oleh lansia adalah hipertensi 63.5%, masalah gigi 53.6%, penyakit sendi 18%,
masalah mulut 17%, diabetes mellitus 5.7%, penyakit jantung 4.5%, stroke 4.4%, gagal
ginjal 0.8% dan kanker 0.4%.
Sementara itu dengan bertambahnya usia, gangguan fungsional akan meningkat
dengan ditunjukkan terjadinya disabilitas. Pada Riskesdas 2018, penilaian disabilitas
pada lansia dihitung menggunakan skoring dari jawaban dengan memodifikasi Barthel
Index. Dilaporkan bahwa sebesar 80,30% lansia pada kelompok usia 60-69 tahun
memiliki kemandirian dalam melakukan melakukan aktivitas sehari-hari, sebesar 68,09%
pada usia 70-79 tahun, dan hanya sebesar 50,04% pada usia 80 tahun ke atas. Data ini
menunjukkan bahwa lansia Indonesia memerlukan ketersediaan pelayanan yang ramah
lansia, serta perawat atau pendamping lansia.12

Masalah kesehatan yang dihadapi wanita di usia lanjut merupakan akibat dari
perilaku yang sudah mapan di masa muda dan dewasa, termasuk merokok, gaya hidup,
dan pola makan yang tinggi kolesterol, lemak jenuh dan garam, tetapi rendah buah dan
sayuran segar. Secara global, penyebab utama kematian dan kecacatan pada wanita di
atas 60 tahun adalah penyakit jantung iskemik, stroke, dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) yang dikaitkan dengan paparan asap rokok dan polusi udara dalam
ruangan kepada wanita. Kondisi ini menyebabkan 45% kematian pada wanita di atas 60
tahun di seluruh dunia. Lebih dari 15% kematian disebabkan oleh kanker, terutama
kanker payudara, paru-paru, dan usus besar.11

Bentuk kanker yang paling umum diderita wanita adalah kanker payudara, leher
rahim dan usus besar. Insiden dan mortalitas kanker serviks lebih tinggi di negara-negara
berpenghasilan rendah.12 Hal ini disebabkan oleh karena insiden infeksi HPV yang lebih
tinggi pada usia yang lebih muda. Selain itu, kebanyakan wanita di negara berpenghasilan
tinggi menjalani skrining untuk kanker serviks, sehingga meningkatkan kemungkinan
diagnosis dini, yang akan meningkatkan kemungkinan pengobatan yang efektif.
Sebaliknya, di negara berpenghasilan rendah dan menengah, wanita lebih mungkin
meninggal karena deteksi yang terlambat dan akses yang tidak memadai ke pengobatan.

Penyebab utama kecacatan yang terjadi seiring terjadinya penuaan pada wanita
adalah kehilangan penglihatan. Lebih dari 2,5 juta wanita lansia menjadi buta. Beban
kecacatan ini dapat dihindari jika mereka memiliki akses pelayanan kesehatan yang
diperlukan, terutama operasi untuk katarak. Di negara-negara berpenghasilan rendah,
trachoma adalah penyebab kebutaan yang signifikan yang sering menyerang wanita tetapi
hal ini dapat dicegah.

Dengan pelayanan kesehatan yang memadai dan lingkungan yang mendukung


termasuk peningkatan kesempatan bagi perempuan lanjut usia untuk berkontribusi secara
produktif kepada masyarakat agar dapat tetap aktif dan sehat hingga usia tua. Namun, di
negara berpenghasilan rendah dan menengah, perawatan kesehatan mungkin tidak dapat
diakses karena biaya dan jarang disesuaikan dengan kebutuhan khusus wanita yang lebih
tua. Intervensi harus fokus pada promosi perubahan perilaku dan gaya hidup seperti
praktik gizi yang sehat dan hidup aktif. Ini dapat membantu mencegah atau menunda
beberapa masalah kesehatan. Untuk menjamin akses pelayanan, diperlukan program
skrining dan pengobatan diabetes, kanker, hipertensi dan penyakit jantung, serta layanan
perbaikan katarak bagi perempuan berpenghasilan rendah.

Tabel 8 sepuluh terbanyak penyebab kematian pada wanita usia 60-69 tahun dan
menurut wilayah, 2015
Gambar 9 Penyebab kematian pada wanita usia 60-69 tahun dan menurut wilayah, 2015

V. Status Gizi
a. Kebanyakan masalah kesehatan yang tejadi pada wanita dewasa dimulai sejak
usia dini. Nutrisi yang baik menjadi penentu kesehatan, sama ada waktu kecil atau
sebaliknya. Status nutrisi pada anak perempuan penting karena fungsi potensi
reproduksi mereka di masa depan dan memberikan dampak antar generasi jika
perempuan dengan nutrisi kurang.3 Gizi kurang merupakan adalah penyebab dari
3,5 juta kematian anak dan merupakan 35% dari beban penyakit pada anak di
bawah lima tahun. Malnutrisi sering menjadi akut pada populasi yang terkena
dampak krisis kemanusiaan. Kurangnya akses makanan bergizi, terutama dalam
konteks kenaikan harga pangan saat ini, merupakan penyebab langsung dari
malnutrisi. Praktik pemberian makan yang buruk, seperti pemberian ASI yang
tidak memadai dan pemberian makanan yang tidak mencukupi atau kurang
bergizi, merupakan faktor penyebab utama. Penyebab tidak langsung dari
malnutrisi sebenarnya merupakan penyebab kematian dan beban penyakit yang
lebih tinggi daripada penyebab langsung. Penyebab tidak langsung yang penting
adalah infeksi terutama diare, pneumonia, campak dan malaria yang merusak
status gizi anak. Kekurangan gizi merupakan salah satu aspek gizi buruk. Pada
saat yang sama, peningkatan berat badan dan obesitas di antara anak-anak di
seluruh dunia merupakan risiko utama bagi kesehatan yang buruk di masa
dewasa. Malnutrisi adalah faktor penentu kesehatan yang penting, baik di masa
kanak-kanak maupun setelahnya. Status gizi anak perempuan sangat penting
karena peran reproduksinya di masa depan dan efek antar generasi dari gizi buruk
perempuan. Oleh karena itu, dengan memberikan asupan makanan bergizi,
mencegah penelantaran dan pelecehan anak serta memastikan lingkungan yang
mendukung anak sejak usia dini dapat membantu mencapai perkembangan fisikal,
sosial dan emosional yang optimal. Hal ini menghindari prilaku berisiko dan
beban penyakit yang signifikan termasuk gangguan kesehatan mental.
Pada balita usia 0-59 bulan, hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2018
menyatakan bahwa persentase gizi buruk di Indonesia adalah 3,9%, sedangkan
persentase gizi kurang adalah 13,8%. Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil
Pemantauan Status Gizi (PSG) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan
tahun 2017, yaitu persentase gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan sebesar 3,8% dan
persentase gizi kurang sebesar 14,0%. Provinsi dengan persentase tertinggi gizi buruk
dan gizi kurang pada balita usia 0-59 bulan tahun 2018 adalah Nusa Tenggara Timur,
sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau.
Gambar 10 Gizi buruk3
Sumber: Riskesdas 2018, Balitbangkes Kemenkes RI 2019

b. Perubahan prilaku sekarang dapat memberikan kebaikan kesehatan kemudian


hari. Penting untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan perkembangan remaja
jika mereka ingin melahirkan dewasa sehat kedepannya.3 Masyarakat harus
mengatasi faktor-faktor yang mendorong perilaku berpotensi bahaya terkait
dengan seks, penggunaan tembakau dan alkohol, pola makan dan aktivitas fisik,
serta memberikan dukungan yang dibutuhkan remaja untuk menghindari perilaku
berbahaya ini. Di banyak negara berpenghasilan tinggi, semakin banyak remaja
perempuan menggunakan alkohol dan tembakau. Obesitas juga meningkat di
negara tersebut. Mendukung remaja untuk membentuk pola hidup sehat di masa
remaja akan memberikan manfaat kesehatan yang besar di kemudian hari,
termasuk penurunan angka kematian dan kecacatan akibat penyakit
kardiovaskular, stroke, dan kanker.
c. Memberi pelayanan terhadap kebutuhan wanita lansia akan menjadi tantangan
utama bagi sistem kesehatan. Karena mereka cenderung hidup lebih lama
daripada pria, wanita mewakili proporsi yang meningkat dari semua orang tua.
Masyarakat perlu bersiap mulai sekarang untuk mencegah dan menangani
masalah kesehatan kronis yang sering dikaitkan dengan usia tua. Membentuk pola
hidup sehat di usia muda dapat membantu wanita untuk hidup aktif dan sehat
hingga usia tua. Masyarakat juga harus mempersiapkan biaya yang terkait dengan
perawatan wanita yang lebih tua. Banyak negara berpenghasilan tinggi saat ini
menggunakan sebagian besar budget sosial dan kesehatan mereka untuk merawat
lansia. Di negara berpenghasilan rendah, perawatan tersebut sering kali menjadi
tanggung jawab keluarga, biasanya anggota perempuan.

VI. Masyarakat dan sistem kesehatan tidak mementingkan wanita


a. Keterbatasan sistem kesehatan membuat hak pelayanan kesehatan wanita
berkurang.3 Alasan mengapa sistem kesehatan terbatas pada wanita seringkali
rumit dan terkait dengan bias yang mereka hadapi dalam masyarakat. Namun,
kekurangan ini dapat dipahami dan dapat serta harus ditantang dan diubah.
Misalnya, wanita dikenakan biaya kesehatan yang lebih tinggi daripada laki-laki
karena mereka lebih banyak menggunakan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu,
salah satu kunci untuk meningkatkan kesehatan wanita adalah menghilangkan
hambatan keuangan untuk pelayanan kesehatan. Misalnya, jika ada biaya
pengguna untuk layanan kesehatan ibu, sebagian besar dari biaya layanan berbasis
fasilitas dan biaya persalinan dengan komplikasi dibayar sendiri seringkali
menimbulkan catastrophic.
b. Sistem kesehatan bergantung pada wanita sebagai penyedia layanan kesehatan.

Layanan kesehatan seringkali tidak mementingkan kebutuhan wanita


meskipun wanita sendiri merupakan kontributor utama dalam kesehatan, yaitu
melalui peran mereka sebagai pengasuh utama dalam keluarga dan juga sebagai
penyedia layanan kesehatan baik di sektor kesehatan formal maupun informal. 3
Namun, sebagai tulang punggung sistem kesehatan, wanita jarang terwakili dalam
posisi tingkat managemen atau eksekutif, dimana mereka cenderung melakukan
pekerjaan berpenghasilan rendah dan yang mempunyai resiko kesehatan kerja
yang lebih tinggi. Dalam peran mereka sebagai penyedia layanan kesehatan
informal di rumah atau masyarakat, perempuan seringkali tidak didukung, tidak
diakui, dan tidak dibayar. Data yang tersedia memiliki kualitas yang bervariasi
dan berasal dari berbagai sumber tetapi secara keseluruhan menunjukkan bahwa
perempuan merupakan lebih dari 50% pekerja kesehatan formal di banyak negara.
Dengan perkiraan 59 juta pekerja kesehatan bekerja penuh waktu di sekitar dunia,
36 ini menunjukkan bahwa sekitar 30 juta dari mereka adalah wanita. Jutaan
wanita lainnya adalah penyedia perawatan kesehatan informal.

Gambar 11 Distribusi Dokter dan Perawat seluruh Benua13

Gambar 12 wanita dalam sebagai pekerja kesehatan oleh kelompok umur13

c. Permasalahan sosial merusak kesehatan wanita


Secara keseluruhan kesehatan wanita sangat dipengaruhi oleh cara mereka
diperlakukan dan status mereka yang diberikan oleh masyarakat. Ketika
perempuan terus mengalami diskriminasi atau menjadi sasaran kekerasan,
kesehatan mereka dapat terganggu. Ketika mereka dikecualikan oleh hukum dari
kepemilikan tanah atau harta ataupun hak untuk bercerai, kerentanan sosial dan
fisik mereka meningkat. Paling ekstrem adalah apabila terjadinya bias gender atau
jenis kelamin secara sosial atau budaya sehingga dapat menyebabkan kematian
akibat kekerasan atau pembunuhan bayi perempuan. Meskipun ada banyak
kemajuan dalam memberikan akses pendidikan kepada anak perempuan, tetapi
masih terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan
tinggi, akses ke pekerjaan dengan upah yang sama. Secara global, perempuan
kurang terlindungi dengan baik di tempat kerja, dari segi keamanan maupun
kondisi kerja.
Daftar Pustaka

1. World population prospects: the 2006 revision. New York, NY, United Nations
Population Division, 2007.
2. Proportion of selected group of age population in 2020, by region. Statista Society
Demografic.2020 https://www.statista.com/statistics/265759/world-population-by-age-
and-region/
3. https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/PROFIL_KESEHATAN_2018_1.pdf
4. Pusat Data dan Informasi. Hasil Estimasi Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan
Kesehatan Tahun 2015-2019. Kemenkes RI diolah dari Proyeksi Hasil Sensus Penduduk
2010 (BPS).; Kepmenkes; 117: 2017
5. World health statistics 2009. Geneva, World Health Organization, 2009.

6. Patton GC et al. Global patterns of mortality in young people. Lancet. In press.


7. Sumber: Maternal deaths averted by contraceptive use: an analysis of 172 countries,
Ahmed et al, the Lancet 2012
8. United Nations. World Population Prospects 2019: Data Booklet. Dep Econ Soc Aff
Popul Div2019;1–25. Diunduh dari
https://population.un.org/wpp/Publications/Files/WPP2019_DataBooklet.pdf pada 17
Disember 2020.
9. WHO, 2012, Understanding and addressing violence against women, Geneva.
10. Adolescent mental health in resource constrained settings: the evidence. Geneva, World
Health Organization (in press).
11. https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/Protokol_Penanganan_Kasus_Kekerasan
_terhadap_Perempuan_di_Masa_Pandemi_COVID-19.pdf
12. Ford ES et al. Capewell, Simon Explaining the Decrease in U.S. Deaths from Coronary
Disease, 1980-2000. The New England Journal of Medicine, 2007
13. Boniol M, McIsaac M, Xu L, Wuliji T, Diallo K, Campbell J. WHO | Gender equity in
the health workforce: Analysis of 104 countries. World Health 2019;(March):1–8.
Diunduh dari http://apps.who.int/bookorders pada 17 Disember 2020
14. https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/311314/WHO-HIS-HWF-Gender-WP1-
2019.1-eng.pdf

Anda mungkin juga menyukai