Anda di halaman 1dari 10

“Hubungan Otitis Media Efusi Asimptomatik pada Pasien Hipertrofi

Adenoid.”

Tujuan: Gejala klinis otitis media efusi jarang dikeluhkan oleh penjaga atau orang tua walaupun
penyakit ini banyak ditemukan pada anak-anak. Hal ini sering menyebabkan anak-anak kurang
tampil di sekolah dan sulit dalam interaksi sosial. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi kasus otitis media efusi asimptomatik yang terjadi pada individu dengan
hipertrofi adenoid.

Bahan dan metode: Penelitian uji cross sectional yang dilakukan di Rumah sakit Justice KS
Hegde, Karnataka India. Penelitian ini mengevaluasi sebanyak seratus pasien yang berusia diatas
tiga tahun dari Agustus 2016 hingga Disember 2017. Individu dengan ratio adenoid nasofaring
lebih dari 0.5 dipilih pada penelitian ini manakala individu dengan gejala otologi tersingkir dari
penelitian ini. Pasien yang bebas dari kondisi otologi patologis lainnya dilakukan pemeriksaan
audiologi yaitu audimetri nada murni dan timpanometri untuk mengevaluasi keadaan telinga
tengah dan gangguan pendengaran.

Hasil: Penelitian ini mendapatkan total sebesar 36% pasien yang dievaluasi mempunyai otitis
media efusi asimptomatik. Kandidat yang mendapatkan hasil timpanogram Tipe “B” bilateral yaitu
40%, menderita gangguan pendengaran konduktif yang signifikan melebihi 25 dB.

Kesimpulan: Pemeriksaan objektif seperti audiometri impedan pada semua pasien dengan
hipertrofi adenoid akan membantu dalam diagnosis cairan di telinga tengah, sehingga tindakan
atau penanganan dapat dilakukan tepat waktu dan dapat menghindari terjadinya komplikasi yang
memungkinkan.

Kata kunci: otitis media efusi (OME), hipertrofi adenoid, gangguan pendengaran pada anak.

1
1. Pengenalan
Otitis media efusi (OME) didefinisikan sebagai kondisi klinis pada telinga tengah dimana
terdapat cairan atau efusi dibelakang membran timpani yang intak tanpa adanya gejala inflamasi
akut. Kebiasaannya pasien datang dengan gangguan pendengaran berfluktuasi atau kondisi yang
tidak terdeteksi atau asimptomatik.

Otitis media efusi dapat bermanifestasi karena adanya obstruksi mekanik pada pembukaan
tuba eustasius yang menyebabkan ventilasi pada telinga tengah berkurang. Hipertrofi adenoid
adalah merupakan kondisi yang sering terjadi pada kelompok usia anak-anak dan telah
diidentifikasi sebagai salah satu penyebab terjadinya OME karena posisinya berdekatan dengan
ujung nasofaring dari tuba Eustachius ke jaringan limfoid yang membesar. Sekitar 95% anak-anak
belum sekolah dapat dikatakan menderita sekurang-kurangnya satu episode otitis media efusi.
Gejala klasik pada otitis media jarang dibahas atau dinyatakan oleh penderita. Kurangnya tampilan
di sekolah dan kurang perhatian dari orang tua tentang gangguan pendengaran, perkembangan
bahasa dan sikap pada anak-anak yang akhirnya mengarah ke evaluasi klinis.

Diagnosis otitis media efusi dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik pada membrane
timpani dan secara objektifnya dengan audiometri nada murni dan audiometri impedan.
Timpanogram tipe “B” tetap menjadi pemeriksaan non-invasif yang paling penting pada otitis
media efusi.

Miringotomi dapat berupa tindakan diagnostik dan terapiutik untuk penanganan otitis
media efusi dengan intervensi pembedahan hanya dapat dilakukan jika terdapat gangguan
pendengaran yang signifikan ketika evaluasi dilakukan.

2. Bahan dan metode

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional yang dilakukan di Akademi Medik KS
Hedge melibatkan sebanyak seratus pasien yang terpilih berdasarkan gejala-gejala umum
hipertrofi adenoid tanpa adanya keluhan otologi sebelumnya antara periode Agustus 2016 hingga
Disember 2017.

2
Rasio adenoid nasofaring lebih dari 0.5 dinyatakan sebagai hipertrofi adenoid yang
signifikan. Tepi posterosuperior dari spheno basioccipital synchondrosis dan basion yang
diidentifikasi pada foto rontgen nasofaring posisi lateral digunakan sebagai petunjuk dalam
mengukur kedalaman nasofaring. Cara ini digunakan untuk membandingkan titik jaringan adenoid
dengan jarak terdekat ke tulang hidung bagian posterior untuk menentukan rasio adenoid
nasofaring. Kisaran antara 0.5 hingga 0.75 dapat dikategorikan sebagai hipertrofi adenoid grade
3 dan 0.75 atau lebih dikategorikan sebagai hipertrofi adenoid grade 4. Setiap kandidat yang
mempunyai gejala hipertrofi adenoid dilakukan pemeriksaan foto rontgen nasofaring.

Mayoritas sampel pada penelitian ini adalah anak-anak yang tidak kooperatif untuk
dilakukan endoskopi hidung.

Semua pasien dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni dan audiometri impedan
untuk mengevaluasi tingkat dan jenis gangguan pendengaran. Individu yang mengalami gangguan
pendengaran sensorineural telah dikecualikan pada menelitian ini.

Pemeriksaan otolaringologi rutin telah dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


terjadinya otitis media akut, perforasi membrane timpani dan untuk memastikan liang telinga luar
bersih sebelum dilakukan pemeriksaan audiologi.

2.1 Kriteria Inklusi

 Rasio adenoid nasofaring lebih dari 0.5


 Membrane timpani yang intak

2.2 Kriteria Eklusi

 Gangguan pendengaran sensorineural


 Riwayat otitis media supuratif/ perforasi membrane timpani
 Usia dibawah tiga tahun
 Mempunyai keluhan gangguan pendengaran

2.3 Kelayakan Etik

Kelayakan etik diperoleh pada tanggal 09/10/15 setelah mendapat persetujuan dari anggota
komite kelembagaan Universitas NITTE, Kampus Medikal KS Hegde.

3
2.4 Analisis Statistik

Teknik estimasi proporsi telah digunakan untuk menghitung ukuran sampel. Insiden otitis
media efusi di antara anak-anak diantisipasi 5,3%. Analisis statistik didasarkan pada
hukum rata-rata dan persentase.

3. Hasil

Penelitian ini mengevaluasi seratus kandidat dengan hipertrofi adenoid. Di antara yang
dievaluasi, 56 orang yang dievaluasi didapatkan hipertrofi adenoid grade 3 dibandingkan dengan
44 orang dengan hipertrofi adenoid grade 4. Laki-laki (54%) lebih tinggi dibandingkan perempuan
(46%). Mayoritas (56%) hipertrofi adenoid muncul pada usia antara 6 hingga 10 tahun dan jarang
terjadi pada mereka yang berusia 16 tahun ke atas (4%), dengan yang tertua dalam subjek
penelitian ini berusia 34 tahun.

3.1 Tanda dan Gejala Klinis

Mayoritas kandidat mempunyai riwayat bernafas dari mulut (37%) dan diikuti oleh
obstruksi hidung (21%) and ngorok (15%). Keluar cairan dari hidung adalah merupakan
keluhan utama pada kandidat yang lebih muda yang menyumbang 8% dari jumlah
kelompok penelitian.

3.2 Membran Timpani

Dari evaluasi membran timpani menunjukkan 61% dari kelompok penelitian mempunyai
membrane timpani yang normal. Kandidat yang lainnya telah teridentifikasi mempunyai
patologi pada telinga tengah dengan 18% distorsi cahaya, 11% retraksi pada pars tensa
(Sades 1) dan selebihnya 10% air fluid level.

3.3 Evaluasi Audiometri

Pada pemeriksaan audiometri impedan menunjukkan 55% kandidat dengan timpanogram


tipe “A”. Pada pasien dengan timpanogram tipe “A” didapatkan sebanyak 75% darinya
tipe “A” bilateral, selebihnya 25% sama ada tipe “B” unilateral atau tipe “C”.

Sebanyak 12% dari kasus telah teridentifikasi Timpanogram tipe “B” unilateral dan
selebihnya 6% teridentifikasi timpanogram tipe “C” unilateral. Distribusi data ini

4
ditunjukkan pada Gambar. 1. Sebanyak 24% dari subyek penelitian didapatkan dengan
tympanogram tipe “B”bilateral dan hanya 3% dari kelompok studi yang menunjukkan
dengan timpanogram tipe “C” bilateral. Hal ini menunjukkan bahwa total 36% dari
populasi penelitian memiliki cairan di telinga tengah yang secara klinis tidak dapat
diidentifikasi, tetapi dapat didiagnosis dengan audiometri impedan.

3.4 Tingkat Pendengaran

Gangguan pendengaran sehubungan dengan impedansi diilustrasikan pada Tabel 1.


Terdapat gangguan pendengaran yang signifikan terlihat pada pasien dengan timpanogram
bilateral “B” dengan gangguan pendengaran rata-rata lebih dari 20 dB.

Gambar 1: Jenis Timpanogram

Tabel 1: Rata-rata gangguan pendengaran pada tipe-tipe timpanogram

Rata-rata gangguan pendengaran pada tipe-tipe timpanogram


Timpanogram Kanan Kiri
A Bilateral 12,7 12,8
B Bilateral 23,8 24,0
C Bilateral 13,1 13,9

5
3.5 Timpanogram tipe “B” bilateral

Grup ini menyumbang 24% dari total jumlah kandidat yang dipilih untuk penelitian ini.
Dalam kelompok ini sebanyak 12 pasien menunjukkan gangguan pendengaran konduktif
yang signifikan lebih dari 25 dB.

Rata-rata gangguan pendengaran dalam kelompok ini sebanyak 23.8 dB pada


telinga kanan dibandingkan 24.0 dB pada telinga kiri. Tingkat gangguan pendengan yang
tertinggi dalam kelompok ini adalah 50 dB.

Grafik di bawah ini (Gambar 2) menggambarkan distribusi gangguan pendengaran


di antara pasien dengan timpanogram tipe “B” bilateral. Data ini membandingkan telinga
kanan dan kiri masing-masing kandidat dan tingkat gangguan pendengaran yang mereka
hadapi. Tanda pada Ambang 25 dB menggambarkan jumlah kandidat yang memiliki
gangguan pendengaran signifikan. Dua dari kandidat yang diidentifikasi sebagai 5 dan 24
didapatkan tingkat pendengaran yang sama sehingga data mereka tumpang tindih.

3.6 Timpanogram tipe “B” Unilateral

Kelompok ini menyumbang 12% dari total ukuran sampel, dengan hanya tiga orang
menunjukkan gangguan pendengaran yang signifikan. Rata-rata ambang pendengaran
yang tercatat berjumlah 13.8 dB pada telinga kanan dan 17.3 pada telinga kiri.

Grafik yang sama (Gambar 3) menggambarkan ilustrasi pada pasien dengan


gangguan pendengaran timpanogram tipe “B” unilateral. Garis merah membatasi tingkat
pendengaran 25 dB.

6
Gambar 2: Gangguan Pendengaran pada Pasien Timpanogram Tipe “B” Bilateral

Gambar 3: Gangguan Pendengaran pada Pasien Timpanogram Tipe “B” Unilateral

4. Pembahasan

Hampir 90% dari anak-anak yang belum sekolah menderita sekurang-kurangnya satu
episode otitis media efusi berdasarkan Tos M. dkk. yang meneliti epidemiologi dan perjalanan
penyakit otitis media. Gejala dominan terkait dengan efusi pada telinga tengah adalah gangguan
pendengaran yang ringan dan berfluktuasi, namun hampir selalu tidak teridentifikasi sesuai
laporan dari Institusi Kesehatan dan Keunggulan Klinis Nasional dalam sebuah penelitian yang

7
dilakukan untuk evaluasi manajemen pembedahan pada otitis media efusi pada tahun 2008.
Williamson dkk. dan Rosenfeld Rm dkk. menyatakan bahwa gangguan pendengaran hanya dapat
teridentifikasi sekiranya orang tua atau penjaga lebih perhatian terhadap pendengaran,
perkembangan bahasa, sikap dan tampilan anak disekolah.

Mayoritas kandidat yang dievaluasi antara usia 6 hingga 10 tahun sebanyak 56% dari
kelompok penelitian, yang mana paling muda anak laki-laki usia 3 tahun. Tos M et al. dan
Casselbrant ML dkk. menyatakan bahwa otitis media efusi paling umum terjadi pada anak-anak
berusia antara 4 hingga 8 tahun.

Casselbrant ML dkk. mengevaluasi anak-anak yang dititipkan secara rutin, berkala untuk
periode satu tahun pada pusat penitipan anak, hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 50% anak-
anak yang dititp pada pusat penitipan anak menderita otitis media . Penelitian oleh Lous J dkk.
mengemukakan angka kejadian OME menurun dengan bertambahnya usia dengan hanya 25%
pada anak-anak sekolah yang menderita OME.

Hanya empat pasien di atas usia 16 tahun menderita hipertrofi adenoid pada penelitian ini
dengan pasien tertua berusia 34 tahun. Jeans W.D dkk. dalam penelitiannya yang mengukur
perkembangan ukuran nasofaring mendapatkan ukuran jaringan lunak berkurang untuk
memperluas nasofaring melewati usia 13 tahun. Hal ini dapat mencegah terjadinya penyumbatan
tuba eustachius kecuali jika terdapat jaringan adenoid pada bagian lateral.

Manifestasi klinis otitis media efusi pada anak kecil lebih sulit didiagnosis karena
keterampilan komunikasi yang kurang menyebabkan tanda dan gejala hilang atau kurang
kesadaran oleh pasien. Dalam penelitian ini, tingkat gangguan pendengaran tertinggi adalah 50
dB, pada pada pasien usia 7 tahun yang datang dengan keluhan nafas dari mulut. Williamson IG
dkk., Paradise JL dkk dan Sorenson CH dkk. mengevaluasi anak-anak sehat berusia antara 1 dan
5 tahun. Penelitian mereka menunjukkan bahwa 15% hingga 40% anak-anak tidak terdiagnosis
efusi pada telinga tengah.

Marchant CD dkk. dan Rosenfeld RM dkk. dalam penelitian masing-masing mengevaluasi


perjalanan dan hasil otitis media pada bayi dan kualitas hidup untuk anak-anak dengan otitis media
efusi yang disebutkan baik keluhan dari individu tersebut sendiri maupun dari pengasuh tentang
gangguan pendengarannya.

8
Shekelle Pet dkk dan Rosenfeld RM dkk mendapatkan pasien dengan timpanogram tipe
“B” memiliki sensitivitas 81% dan spesifisitas 74% dibandingkan dengan prosedur pembedahan
definitif invasif yaitu miringotomi untuk OME. Mayoritas dari pasien pada penelitian ini dengan
hasil timpanogram tipe “A” (55%) diikuti oleh tipe “B” bilateral (24%) dan kemudian Tipe “B”
unilateral (12%). Hanya 9% dengan timpanogram tipe “C”. Pasien dengan timpanogram tipe “C”
bilateral yang menyumbang sebesar 3% dan 6% menunjukkan timpanogram “C' unilateral. Tidak
terdapat gangguan pendengaran yang teridentifikasi pada pasien dengan timpanogram tipe “C”
unilateral.

Hasil pada penelitian ini mendapatkan bahwa 36% dari pasien mempunyai cairan dalam
telinga tengah. 40% dari pasien timpanogram tipe “B” bilateral menunjukkan gangguan
pendengaran konduktif lebih dari 25 dB. Rata-rata gangguan pendengaran dalam kelompok ini
adalah 23,8 dB pada telinga kanan dibandingkan dengan 24,0 dB di telinga kiri.

Gangguan pendengaran konduktif sering disertai dengan kehilangan persepsi berbicara


dalam kebisingan pada otitis media efusi sebagaimana dinyatakan oleh Gravel JS dkk., Schilder
AG dkk., Rosenfeld RM dkk., Wallace IF dkk. dan Roberts JE dkk. Namun ini tetap diabaikan
atau tidak terdiagnosis karena keluhan minimal dari pasien atau penjaga. Gangguan pendengaran
pada anak-anak dengan OME yang dievaluasi dengan audiometri nada murni menunjukkan
gangguan pendengaran mulai dari pendengaran normal hingga gangguan pendengaran sedang.
Sebanyak 12,5% dari 200 telinga yang dievaluasi menunjukkan gangguan pendengaran yang
signifikan lebih dari 25 dB dengan tidak ada pasien yang mengeluh gangguan pendengaran.

Wallace IF dkk. dan Friel-Patti S dkk. mengemukakan adanya cairan di telinga tengah
dapat menunda proses bahasa awal pada anak-anak. Keterlambatan berbicara dan belajar adalah
keluhan yang sering pada anak-anak Down sindrom seperti yang dinyatakan oleh Whiteman BC
dkk atau cerebral palsy sebagaimana disebutkan oleh van der Vyver M dkk.

Komplikasi otitis media efusi yang tidak terdiagnosis dapat bermanifestasi secara diam
dengan merusakan membran timpani seperti yang disebutkan oleh Sano S dkk dan Yellon RF dkk
karena efek leukotrien, prostaglandin,dan metabolit asam arakidonat yang memicu terjadinya
respon peradangan lokal dalam cairan telinga tengah. Tekanan negatif telinga tengah juga dapat
menyebabkan kantong retraksi fokal atau atelektasis pada membran timpani yang dapat

9
berkembang menjadi kolesteatom. Untuk menyimpulkan, dapat mengevaluasi hipertrofi adenoid
bagi melihat otitis media efusi.

5. Kesimpulan

Karena hipertrofi adenoid penyakit yang sering terjadi pada anak-anak, gejala tidak
terdeteksi karena kurangnya kesadaran dan komunikasi yang tertunda kepada penjaga atau orang
tua dapat menyebabkan gangguan pendengaran progresive silent. Audiometri impedan pada
semua pasien dengan hipertrofi adenoid akan membantu dalam diagnosis cairan dalam telinga
tengah, sehingga intervensi dini dapat mencegah terjadinya komplikasi yang memungkinkan.

Dana

Tidak ada pengungkapan keuangan karena semua kasus membutuhkan evaluasi audiometri nada
murni dengan impedansi.

10

Anda mungkin juga menyukai