Anda di halaman 1dari 22

PIODERMA

Oleh:

Brian Yeremia

112019020

Pembimbing:

Dr. Yari Castilani H, Sp.KK

BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RSUD TARAKAN JAKARTA

2019
PENDAHULUAN
Pioderma merupakan infeksi pada kulit di bawah stratum korneum atau pada
folikel rambut yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus atau Streptococcus
grup A. Gejala klinis yang timbul bervariasi, tergantung dari organisme penyebab dan
lokasi terjadinya infeksi. Staphylococcus aureus merupakan penyebab terbanyak dari
pioderma superfisial, sedangkan Streptococcus grup A merupakan penyebab terbanyak
di negara berkembang.1,2
Berdasarkan data dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, insiden
kejadian pidoerma menduduki tempat ketiga dari seluruh kejadian penyakit kulit dan
kelamin. Hal tersebut diperkirakan berhubungan dengan keadaan sosial dan ekonomi.2
Di RSUP Dr Mohammad Hoesin sendiri, pada tahun 2010-2012 didapatkan proporsi
kunjungan pasien pioderma tiap tahunnya adalah 3,8%, dengan impetigo (39,1%) dan
folikulitis (30,1%) sebagai jenis pioderma yang paling banyak ditemukan.3
Staphylococcus aureus merupakan bakteri flora normal yang berkoloni pada 20-
40% manusia dewasa, terutama di nares anterior. Individu yang memiliki koloni
S.aureus pada nasal rentan terhadap infeksi S.aureus. Pasien HIV berisiko dua kali lebih
besar terinfeksi S.aureus dibandingkan individu pembawa.4,5
Faktor predisposisi dari penyakit pidoerma diantaranya higienitas yang kurang,
menurunnya daya tahan tubuh (pada kasus dengan kekurangan gizi, anemia, penyakit
kronik, neoplasma ganas, diabetes melitus), dan didahului oleh penyakit kulit lain yang
menyebabkan kerusakan pada epidermis.2 Faktor seperti riwayat sosioekonomik rendah
dan kebersihan yang buruk berhubungan dengan tingginya insidensi pioderma.6
Pioderma dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia memiliki kompetensi 4A
dimana semua lulusan dokter umum harus dapat mendiagnosis dan menatalaksana
sampai tuntas. Berdasarkan tingginya prevalensi serta kompetensi yang harus dicapai,
penulis tertarik untuk membahas mengenai pioderma.

ETIOPATOGENESIS

2
Perkembangan dan evolusi dari infeksi bakteri melibatkan tiga faktor utama: (1)
port d’ entry dan fungsi kulit sebagai pelindung, (2) sistem pertahanan pejamu dan
respon inflamasi terhadap invasi mikroba dan (3) patogenitas dari organisme.4,7
Kulit normal yang masih intak relatif resisten terhadap infeksi. Kebanyakan
infeksi pada kulit terjadi ketika ada gangguan kulit seperti maserasi, luka kronis, atau
ekskoriasi akibat gigitan serangga. Sebagai contoh, trauma pada kulit, maserasi
interdigitalis, atau tinea pedis merupakan faktor predisposisi dari selulitis di ekstremitas
inferior pada individu sehat tanpa inkompetensi vena. 4,7
Respon inflamasi kutaneus terhadap bakteri dipengaruhi oleh cara bakteri
tersebut mencapai area yang terlibat. Inflamasi lokal dan supuratif biasanya menjadi
penyerta infeksi bakteri pada kulit. Pada septikemia, dinding vaskuler biasanya
merupakan situs primer dari keterlibatan kulit (hemoragik atau trombosis dengan infark
menyebabkan terbentuknya ulkus). Bakteri tertentu dapat menyebabkan bakteremia
tanpa adanya respon inflamasi lokal pada port d’entry. 7
Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin pada kulit normal. Maserasi dan
oklusi, yang berujung pada peningkatan pH, kadar CO2, dan kandungan air pada
epidermis menyebabkan bertambanya jumlah bakteri pada kulit. Kandungan lipid pada
permukaan kulit juga berperan sebagai antibakteri. 4, 7
Kulit manusia mengandung protein yang bersifat antimikroba yang disebut
antimicrobial peptides (AMP) yang diekspresikan pada permukaan kulit bersamaan
dengan keringat dan saliva. Keratinosit yang aktif juga menghasilkan AMP dan dibawa
ke permukaan kulit melalui badan lamelar. Protein kecil ini memiliki porsi kationik
yang dapat berikatan dengan membran bakteri, dan porsi lainnya bersifat hidrofobik
yang memungkinkan protein masuk ke membran lipid dari bakteri. Masuknya protein
menyebabkan disrupsi membran dan kematian dari bakteri. 1,7
Protein AMP diproses setelah dilepaskan oleh enzim-enzim pada permukaan
kulit yang menghasilkan peptida-peptida dengan aktivitas dan target yang berbeda-beda.
AMP juga dapat mengaktifkan respon imun pejamu. Dua AMP utama pada kulit yang
telah diteliti hingga saat ini adalah cathelicidins dan defensins. Berkurangnya molekul
ini pada kulit yang meradang pada pasien dengan dermatitis atopi dapat dikaitkan
dengan kerentanan pasien dengan riwayat atopi untuk terinfeksi S.aureus. 7

3
S.aureus menggunakan asam teikoat dan protein permukaan lainnya untuk
berikatan dengan mukosa nasal. Bakteri tersebut kemudian mampu mengkontaminasi
kulit yang terbuka, berikatan dengan fibronektin pada luka. Kemampuan bakteri
menyebabkan penyakit disebut virulensi. Materi genetik mengkode faktor virulensi dan
toksin dibawa oleh elemen genetik yang disebut pathogenicity islands. 7
Ada banyak spesies bakteri yang memiliki elemen DNA dalam genom mereka
yang secara spesifik didesain untuk meloloskan diri, menonaktifkan, dan menekan
sistem imun pejamu, terutama dengan menahan netrofil dan produk-produknya
membunuh mikroorganisme. Produk gen ini biasanya terdiri dari alur interaksi dua
protein yang melibatkan protein sensor dan protein respon dan disebut sebagai two-
component gene regulatory system.5
Pada S.aureus, berbagai substansial spesifik menargetkan masing-masing
elemen dari sistem imun innate pejamu. Stafilokinase (SAK) menonaktifkan defensins,
sedangkan aureolisin A membelah LL-37. Gen oatA mengkode protein membran yang
menyebabkan resistensi teradap lisozim. S. aureus merupakan bakteri katalase positif
yang mengandung pigmen kuning (karotenoid) yang melindunginya dari pembunuhan
oksidatif oleh netrofil. Protein inhibitor kemotaksis yang dimiliki S.aureus berikatan
dengan C5a dan memblokir aktivasi netrofil. 7
Kolonisasi oleh S. aureus dapat bersifat sementara atau menetap sebagai carrier.
Bakteri tersebut memiliki banyak komponen seluler dan ekstraseluler yang berperan
dalam patogenesitasnya teradap jaringan. Faktor pejamu seperti penyakit imunosupresif,
terapi glukokortikoid, dan atopi juga berpengaruh dalam infeksi bakteri S.aureus.
Peradangan dan trauma jaringan sebelumnya (luka bedah, luka bakar, trauma,
dermatitis, benda asing) memegang peran penting dalam patogenesis infeksi oleh
S.aureus.1
Beberapa strain tertentu menghasilkan satu atau lebih eksoprotein, termasuk
staphylococcal enterotoxin (SEA, SEB, SECn, SED, SEE, SEG, SEH, SEI), toksin
eksfoliatif (ETA dan ETB), TSS toxin-1 (TSST-1), dan leucocidin. Toksin-toksin
tersebut memiliki efek potensial yang unik terhadap sel imun disertai efek-efek biologis
lainnya yang menghambat respon imun pejamu. 5
TSST-1 dan staphylococcal enterotoxin disebut juga sebagai pyrogenic toxin
superantigens. Molekul-molekul tersebut bekerja dengan berikatan langsung kepada

4
gen HLA-DR yang terus-menerus berekspresi pada APC tanpa melalui proses terhadap
antigen. Jika antigen konvensional membutuhkan kelima elemen dari kompleks reseptor
sel T, maka superantigen hanya membutukan variable region dari rantai β. Hasilnya, 5-
30% sel T dorman akan teraktivasi, sedangkan respon antigen “normal” hanya 0,0001
hingga 0,01% dari sel T. Aktivasi sel T non-spesifik menyebabkan pelepasan sitokin
sistemik besar-besaran, terutama interleukin 2, interferon-γ, dan TNF-β dari sel T, serta
interleukin 1 dan TNF-α dari makrofag. Stimulasi superantigen dari sel T juga
menyebabkan aktivasi dan ekspansi dari limfosit yang mengekspresikan reseptor
variable region spesifik sel T pada rantai β yang aka mengaktifkan sel B dan
meningkatkan kadar IgE atau autoantibodi. 1
Terdapat beberapa mekanisme lain yang menjelaskan cara S.aureus menghindari
sistem imun tubuh. Sekitar 60% strain S.aureus mensekresikan protein penghambat
kemotaksis yang akan menghambat kemotaksis pada netrofil. Selain itu, protein A,
stafilokinase, polisakarida kapsuler, fibrinogen binding protein, dan clumping factor A
juga bekerja untuk menghindari opsonisasi dan fagositasi. 5
Pertahanan utama terhadap infeksi S.aureus adalah imunitas innate yang
diperantarai oleh netrofil. Komponen utama dari respon tersebut adalah peptida
antimikroba. Peptida-peptida ini dapat ditemukan di berbagai lokasi dan termasuk
dermisidin, LL-37, protegrin, α-defensins, β-defensins, lactoferisin, dan cascocidin.1
Meski begitu, S.aureus mampu menggagalkan sistem imun dengan berbagai
cara. Salah satu faktor virulensi utama dari bakteri tersebut adalah produksi adhesin
yang memfasilitasi ikatan dengan sel epitel permukaan pejamu. S.aureus mampu
mempertahankan diri dari antibodi dan menghindari berbagai tipe sel tubuh pejamu,
menunjukkan bahwa respon imun yang dimediasi oleh sel mungkin dibutuhkan untuk
membunuh bakteri ini. 1

KLASIFIKASI

Berdasarkan kondisi kulit saat terjadinya penyakit, pioderma dibedakan


menjadi pioderma primer dan sekunder. Pioderma primer merupakan infeksi yang
terjadi pada kulit normal dengan gambaran klinis yang bervariasi. Sedangkan pioderma
sekunder apabila pasien pernah memiliki penyakit kulit sebelumnya. . Gambaran

5
klinisnya tidak khas dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai
pioderma sekunder, disebut impetigenisata. Contohnya pada dermatitis impetigenisata
dan scabies impetigenisata. Tanda impetigenisata berupa pus, kustul, bula purulen,
krusta berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening regional,
leukositosis, dan dapat disertai demam. 2

Impetigo

Impetigo terdiri dari dua jenis yaitu, bulosa dan non-bulosa. Impetigo bulosa
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Saat ini impetigo non bulosa lebih sering
disebabkan Streptococcus Grup A.9 Impetigo bulosa dan non bulosa dapat dibedakan
berdasarkan beberapa kriteria seperti pada Tabel 1.
Faktor predisposisi mencakup suhu hangat, kelembaban tinggi, kebersihan
buruk, dan trauma kulit. Penyakit ini sangat menular, menyebar dengan cepat melalui
kontak langsung dari individu ke individu. Paling sering terjadi pada musim panas
dan musim gugur. 1,2

Tabel 1. Perbedaan impetigo non bulosa dan impetigo bulosa. 1


Impetigo Non-Bulosa Impetigo Bulosa
Epidemiologi − 70% semua kasus impetigo − Lebih sedikit dibandingkan
impetigo non bulosa.
− Banyak terjadi pada anak − Terjadi pada bayi baru lahir,
atau balita

Efloresensi − Awal: Makula eritema, satu − Awal: vesikel kecil dengan luas
buah 2-4mm yang dapat secara 1-2cm pada bula superfisial.
cepat menjadi vesikel atau − Lambat: Bula transparan, lunak,
pustul dengan diameter 5cm disertai
− Lambat: Erosi superfisial dengan skuama dan krusta yang
biasanya terdapat tidak tebal, dan biasanya tidak
‘honey-colored’ krusta kuning ada eritem di sekitarnya.
yang secara cepat menginfeksi
di sekeliling kulit.

Predileksi − Wajah (sekitar hidung dan − intertriginosa, dada, dan


mulut) dan ekstremitas. punggung.
Gejala penyerta − Mungkin terdapat limfadenopati − Tidak disertai gejala sistemik
ringan. tapi dapat disertai dengan
kelemahan.

6
Impetigo Non Bulosa
Impetigo non bulosa (impetigo krustosa) biasanya disebabkan oleh
Streptococcus Grup A. Infeksi dapat terjadi pada trauma terbuka kulit seperti cacar,
gigitan serangga, abrasi, laserasi, dan luka bakar. Predileksi impetigo non bulosa
adalah di wajah (sekitar hidung dan mulut) dan ekstremitas (Gambar 1).1,2

Gambar 1. Staphylococcus aureus: (A) Impetigo non bulosa. (B) Eritema dan krusta pada area
hidung dan sekitar mulut. Dapat menyebar hingga regio centrofacial.1

Impetigo Bulosa
Impetigo bulosa lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan balita, ditandai
oleh perkembangan cepat dari vesikel ke bula kendur (Gambar 2A). Pada
pemeriksaan didapatkan Nikolsky sign negatif. Bula awalnya berisi cairan berwarna
kuning jernih kemudian menjadi kuning gelap dan keruh (Gambar 2B). Bula
superfisial pecah dalam 1-2 hari, membentuk krusta tipis berwarna coklat terang
sampai keemasan. Bula hipopion khas pada impetigo bulosa1,2

Gambar 2. (A) Impetigo Bulosa. (B)Vesikel multipel yang jernih dan


keruh yang secara cepat menyatu dari bula yang lunak1

7
Diagnosis banding impetigo non-bulosa dan bulosa sangat luas (Tabel 2),
sehingga penting untuk mengetahui riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosis.

Tabel 2. Diagnosis Banding Impetigo Non-Bulosa Dan Impetigo Bulosa.1

Impetigo Non Bulosa Impetigo Bulosa


- Ektima - Dermatitis kontak
- Dermatitis atopik - Staphylococcal scalded skin syndrome
- Dermatitis seboroik
- Dermatitis kontak alergi
- Pemfigoid bulosa
- Scabies - Pemphigus vulgaris
- Eritema multiform
- Dermatitis herpetiform

Ektima
Ektima adalah ulkus superfisial dengan krusta diatasnya yang disebabkan infeksi
Streptococcus pyogenic dan Staphylococcus. Sering terjadi pada anak-anak, dewasa
muda, dan orang tua dengan sanitasi dan higienis yang buruk serta terdapat gangguan
imunokompromais. Tidak ada perbedaan ras dan jenis kelamin terhadap angka insidensi
tersebut. 11,12

Gambar 3. Ektima. 1

8
Lesi diawali dengan vesikel atau vesikopustul yang membesar dan kemudian
menjadi krusta tebal. Ketika krusta diangkat, terdapat ulkus berbentuk seperti
piring dengan dasar telah mencapai dermis dan tepi meninggi. Krusta tebal
berwarna kuning berlokasi di tungkai bawah, yaitu tempat sering terjadi trauma. 12
Diagnosis banding ektima adalah impetigo krustosa. Bedanya, impetigo krustosa
sering terjadi pada anak dan berlokasi di muka dan dasarnya adalah erosi, sedangkan
ektima tempat predileksi tungkai bawah dan dasarnya terdapat ulkus.12

Folikulitis

Folikulitis adalah pioderma yang dimulai dari folikel rambut, dibagi atas
kedalaman lesi (superfisialis dan profunda), dan etiologi mikrobial.12
Folikulitis superfisial atau disebut impetigo folikuler atau Impetigo bockhart
berbentuk pustul kecil, dan mudah pecah, berbentuk kubah biasanya terjadi pada
infundibulum dari folikel rambut, dan terjadi pada kulit kepala anak, daerah kumis,
janggut (Gambar 4), aksila, ekstremitas, dan bokong orang dewasa. Staphylococcal
folikulitis umumnya di bokong pada dewasa.6

Gambar 4. Folikulitis superfisialis.

Gambar 4. Folikulitis superfisial.1

Sycosis barbae adalah folikulitis dengan peradangan perifolikuler dan biasa


terjadi di daerah jenggot dan atas bibir (Gambar 5). Lesi dapat menjadi dalam dan
kronis jika tidak diobati.1

9
Gambar 5. Sycosis barbae.1

Furunkel dan Karbunkel


Furunkel adalah infeksi folikel rambut dan sekitarnya dengan bentuk berupa
nodul dalam. Furunkel timbul dalam bagian rambut yang tertutup dan perspiratif,
seperti leher, wajah, aksila dan bokong. Furunkel dapat merupakan komplikasi
penyakit yang ada sebelumnya seperti dermatitis atopik, ekskoriasi, abrasi, atau
skabies. Berbagai faktor predisposisi furunkel yaitu obesitas, defek fungsi neutrofil
(defek pada kemotaksis terkait dengan eksim dan tinggi kadar IgE, dll), pengobatan
dengan glukokortikoid dan agen sitotoksik, dan defisiensi immunoglobulin.
Lesi berupa nodul folikulosentrik, eritem di bantalan rambut, disertai nyeri, dan
berfluktuasi. Setelah beberapa hari, terjadi pembentukan abses (Gambar 6) yang
kemudian pecah mengeluarkan pus dan nekrotik. S etel ah pecah, ra sa nyeri di
sekitar lesi kemudian reda, kemerahan, dan edema berkurang dalam beberapa hari
sampai beberapa pekan.1

1
Gambar 6. Furunkel dari bibir atas.

Karbunkel adalah gabungan furunkel. Nodul lebih luas, lebih dalam, saling
berhubungan, dan lesi infiltrasi, dapat berkembang ketika keluar nanah yang terjadi
pada kulit inelastis. Karbunkel memiliki lesi yang lebih besar dan serius, lesi

10
inflamasi dengan basis lebih dalam, biasa terjadi di leher, punggung, atau paha
(Gambar 7).2

Gambar 7. Karbunkel1

Perbedaan dari furunkel dan karbunkel ditinjau dari epidemiologi dan gejala
klinis disajikan dalam tabel di bawah ini (Tabel 3)

Tabel 3. Perbedaan furunkel dan karbunkel. 12


Furunkel Karbunkel
Epidemiologi − Dapat terjadi pada anak-anak − Dapat terjadi pada anak-anak dan
dan dewasa muda dewasa muda
− Frekuensi wanita dan pria sama − Frekuensi wanita dan pria sama

Efloresensi − Mula-mula berupa makula − Makula eritematosa kemudian


eritematosa lentikular hingga menjadi nodula lentikular hingga
numular setempat kemudian numular, regional, bentuk teratur
menjadi nodula lentikuler dan tampak fistulamengeluarkan
numular berbentuk kerucut sekret putih/kental

Predileksi − Sering pada bagian tubuh yang − Tengkuk, punggung, dan bokong
berambut dan mudah terkena
iritasi, gesekan, atau tekanan;
atau pada daerah yang lembab
seperti ketiak, bokong,
punggung, leher, dan wajah
Diagnosis - Sporotrikosis: kelainan jamur - Sporotrikosis: kelainan jamur
Banding sistemik, menimbulkan sistemik, menimbulkan
benjolanyang berjejer sesuai benjolanyang berjejer sesuai
dengan aliran limfe dengan aliran limfe
- Blastomikosis: benjolan - Blastomikosis: benjolan multipel
multipel dengan beberapa dengan beberapa pustulabeserta
pustulabeserta lunaknya daerah lunaknya daerah sekitar
sekitar - Akne konglobata: selain
- Skrofuloderma: berbentuk dipunggung, nodula-nodula
lonjong, livid, dan ditemukan merah hitam tampak di daerah
jembatan kulit wajah dan lengan, menyebar di
satu regio

11
Pionikia
Pionikia/paronikia adalah radang sekitar kuku oleh piokokus. Penyebabnya
biasanya Staphylococcus aureus. Infeksi biasa dirasakan sangat nyeri. Pinggir dari kuku
ditemukan merah, panas, nyeri tekan, edema, dan terbentuk abses.1

Gambar 8. Pionikia1

Penyakit ini biasanya didahului trauma, kemudian mulai infeksi pada lipatan
kuku, terlihat tanda-tanda radang dan menjalar ke matriks dan lempeng kuku (nail
plate,) hingga dapat terbentuk abses subungual.2

Erisipelas
Erisipelas dikenal sebagai St Anthony fire. Penyebab umum dari erisipelas adalah
Streptokokus β-hemolitik, infeksi kulit lapisan dermal superfisial limfatik.12
Streptokokus β-hemolitik sering menginfeksi bayi baru lahir dan wanita pasca
melahirkan.9
Gejala utamanya adalah eritema berwarna merah cerah dan terbatas tegas serta
disertai panas, bengkak.9 Lokasi terjadi erisipelas di kaki, tangan, dan wajah. Efloresensi
dengan makula eritematosa numular hingga plakat, berbatas tegas, edematosa, panas
pada perabaan, dan nyeri tekan. Pada bagian tengah, ditemukan vesikel miliar atau bula
lentikular.12

12
Gambar 9. Erisipelas1
Gejala klinis berupa gejala konstitusi seperti demam, malaise. Lapisan kulit yang
diserang adalah epidermis dan dermis didahului dengan trauma, tempat predileksinya
tungkai bawah. Kelainan yang utama adalah eritema merah cerah, berbatas tegas, dan
pinggirnya meninggi dengan tanda radang akut, dapat disertai edem, vesikel dan bula.
Pemeriksaan lab terdapat leukosistosis. Jika sering residif ditempat yang sama dapat
terjadi elephantiasis.2
Diagnosis banding adalah selulitis, namun pada penyakit ini infiltratnya di
subkutan. Pemeriksaan penunjang penyakit ini adalah pemeriksaan laboratorium darah
dan kultur streptococcus dari tenggorokan, hidung atau mata.2

Selulitis
Selulitis adalah infeksi bakteri pada kulit (dermis dan lemak subkutan) dan
jaringan lunak, sering dengan keterlibatan dari struktur utama seperti fasia, otot, dan
tendon.1,9
Penyebab paling sering disebabkan oleh S. pyogens, S.aureus dan Streptocoocus
grup A. Selulitis biasanya menyerang anak-anak dan orang tua. Selulitis mempunyai
gejala yang sama dengan erisipelas yaitu eritema dan sakit, tetapi dapat dibedakan
dengan batas lesi yang tidak tegas, terjadi di lapisan yang lebih dalam, permukaan lebih
keras dan ada krepitasi saat dipalpasi. Selulitis dapat berkembang menjadi bulla dan
nekrosis sehingga mengakibatkan penggelupasan dan erosi lapisan epidermal yang
luas.1,9

13
Gambar 10. Selulitis1

Gambaran klinis yaitu tampak kemerahan, bengkak, dan lembut dengan batas
yang tidak jelas, pitting edema tampak jelas, kadang kulit dapat tampak pucat karena
bengkak. Ketika mulai terjadi nekrosis, jarang tampak di permukaan, yang menjadi
tanda umum adalah abses dan ulkus yang baru terbentuk.1,9
Lokasi selulitis yaitu pada ekstremitas superior dan inferior serta wajah.
Efloresensi berupa makula eritematosa atau kehitaman menonjol di atas permukaan
kulit, ukuran dapat mencapai plakat. Di atasnya, terdapat fistel-fistel yang
mengeluarkan sekret seripurulen.12

Flegmon
Flegmon adalah selulitis yang mengalami supurasi. Terapi sama dengan selulitis
hanya saja ditambah dengan insisi. Flegmon terbentuk ketika terjadi infeksi akut yang
tidak berada dalam ruang terbatas (seperti abses) namun menyebar melalui jaringan ikat
dan di antara otot-otot. Flegmon biasanya disebabkan oleh Streptococcus.2,11

Gambar 11. Flegmon1

14
Hidraadenitis
Hidraadenitis merupakan infeksi kelenjar apokrin, yang biasanya disebabkan oleh
bakteri Staphylococcus aureus. Infeksi hidraadenitis umumnya terjadi sesudah masa
pubertas sampai dewasa muda. Infeksi diketahui disebabkan oleh trauma atau
mikrotrauma, contohnya: banyak keringat, pemakaian deodorant, rambut ketiak yang di
gunting.2

Gambar 12. Hidraadenitis13

Penyakit ini desertai gejala konstitusi, antara lain: demam, malaise. Pada yang
menahun atau kronis dapat berbentuk abses, fistel dan sinus yang multipel. Ruam
berupa nodus yang disertai oleh tanda-tanda radang akut yang kemudian dapat melunak
menjadi abses dan pecah sehingga membentuk fistel (hidraadenitis supurativa).
Predileksi di ketiak dan juga perineum, yaitu di tempat yang banyak kelenjar apokrin.
Pemeriskaan laboratorium didapatkan leukositosis.2
Diagnosis banding yaitu skrofuloderma. Pada hidraadenitis supurativa pada
permulaan desertai tanda-tanda radang akut dan terdapat gejala konstitusi. Sebaliknya
pada skrofulderma tidak didapatkan tanda-tanda radang akut dan tidak ada leukositosis.2

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)


Staphylococcal Scalded Skin Syndrome adalah infeksi kulit oleh Staphylococcus
aureus tipe tertentu dengan ciri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis. Penyebab
penyakit ini Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan/atau faga 71. Staphylococcal
scalded skin syndrome (SSSS) merupakan penyakit pada neonatus dan anak-anak. SSSS
jarang terjadi pada dewasa kecuali dengan gangguan ginjal, defisiensi imun dan

15
penyakit kronik. Prevalensi pada anak kurang dari 2 tahun sebesar 62% dan hampir
seluruh kasus terjadi pada anak kurang dari 6 tahun (98%). 1,2
Anak merupakan faktor risiko pada SSSS karena kekurangan imunitas dan
kemampuan renal imatur dalam pembersihan toksin (toksin exfoliatif). Antibodi
maternal dapat ditransfer kepada infant melalui ASI tetapi SSSS masih dapat terjadi
karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.2,5
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata, hidung, tenggorok, dan telinga.
Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat epidermolitik (epidermolin, eksofoliatin) yang
beredar di seluruh tubuh sampai pada epidermis dan menyebabkan kerusakan. Pada
kulit tidak selalu ditemukan kuman penyebab. Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk
mengekskresikan eksofoliatin, pada bayi diduga fungsi ginjal belum sempurna sehingga
penyakit ini terjadi pada golongan usia tersebut.1,2,5

Gambar 13. (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome)1

Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi disaluran nafas bagian
atas. Kelainan kulit yang pertama timbul adalah eritema yang timbul mendadak pada
muka, leher, ketiak dan lipat paha, kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam
waktu 1-2 hari akan muncul bula berdinding kendur dengan tanda nikolsky positif.
Dalam 2-3 hari terjadi pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran
kulit sehingga tanpak daerah erosif. Akibat epidermolisis tersebut gambarannya mirip
dengan kambustio. Daerah tersebut akan mengering dalam beberapa hari dan terjadi
deskuamasi. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa disertai
sikatriks.1,2
Penyakit ini mirip NET (Nekrolisis Epidermal Toksik). Perbedaannya SSSS
umumnya menyerang anak-anak dibawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit didaerah

16
muka, leher, dan lipat paha. Mukosa umumnya tidak diserang dan angka kematian lebih
rendah (meskipun begitu penyakit ini adalah pioderma penyebab kematian paling
mungkin). Kedua penyakit ini sulit dibedakan sehingga ada baiknya dilakukan
pemeriksaan histopatologi secara frozen section agar hasilnya cepat diketahui, karena
prinsip pengobatan keduanya berbeda. Perbedaan terletak pada celah, SSSS di stratum
granulosum, N.E.T di sub epidermal. Perbedaan lain pada N.E.T terdapat nekrosis
disekitar celah dan terdapat sel radang.1,2
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi pada pasien SSSS adalah gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit. Komplikasi lain yang sering terjadi berupa
dehidrasi, infeksi sekunder, dan sepsis. Kasus SSSS pada anak jarang menyebabkan
sepsis sehingga angka kematiannya lebih rendah (1-5%). Angka kematian pada dewasa
lebih besar (mencapai 50-60%) karena diikuti beberapa faktor penyebab kematian
lainnya dan peningkatan kejadian sepsis.1,2

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk memastikan diagnosis klinis dapat dilakukan pemeriksaan pewarnaan


Gram serta biakan dan kepekaan kuman terhadap antibiotika. Pemeriksaan biakan dan
kepekaan kuman dilakukan untuk mendapatkan pilihan obat pada kasus yang tidak
responsif terhadap terapi konvensional. Bahan pemeriksaan diambil dari apusan (swab)
lesi atau eksudat. Pada pewarnaan Gram akan dijumpai kokus Gram - positif, tersusun
berbentuk rantai atau berkelompok seperti anggur (cluster). 10
Pemeriksaan uji kepekaan antibiotika menjadi sangat penting untuk pengobatan
penyakit infeksi. Pemeriksaan ini berguna sebagai pedoman klinisi untuk memilih
antibiotika yang tepat dan data epidemiologi resistensi kuman di suatu daerah.
Pemilihan antibiotika yang digunakan bergantung penggunaan di tiap daerah.10
Pada pemeriksaan laboratorik terdapat leukositosis. Pada kasus-kasus kronis dan
sukar sembuh dilakukan tes resistensi. Ada kemungkinan penyebabnya bukan
Staphylococcus atau Streptococcus melainkan kuman Gram negatif. Hasil tes resistensi
hanya bersifat menyokong, in vivo tidak selalu sesuai dengan in vitro.2

17
TATALAKSANA

Tujuan pengobatan pioderma adalah menghilangkan kuman penyebab sehingga


dapat sembuh dengan cepat dan mencegah penyebaran penyakit. Pemilihan terapi
antibiotika oral atau topikal bergantung pada pengalaman dokter, cara yang lebih
disukai pasien, dan pola resistensi kuman. Perawatan kulit meliputi membersihkan,
mengangkat krusta, dan melakukan kompres basah sebelum pengolesan antibiotika akan
mempercepat penyembuhan. Kompres terbuka bisa digunakan sebagai obat topikal,
contohnya yaitu larutan permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1%, dan povidon
iodin 7,5% yang dilarutkan 10 kali.2
Secara umum untuk lesi yang terbatas tanpa komplikasi diberikan terapi topikal.
Antibiotika topikal pilihan pertama yang sering digunakan adalah golongan asam
fusidat, mupirosin, dan neomisin-basitrasin, atau antiseptik topikal. Pada anak
umumnya pemberian obat topikal lebih nyaman dibandingkan pemberian secara oral.
Sebaiknya dihindari pemakaian antibiotika topikal yang bersamaan dengan sistemik
untuk mencegah resistensi dan sensitisasi. Pada kasus tertentu dan untuk dapat
membunuh kuman dapat diberikan antibiotika sistemik golongan penisilin, eritromisin,
dan sefalosporin.2
Untuk terapi sistemik, dapat dipertimbangkan obat-obat di bawah ini seperti
penilisin G prokain dan semisintetiknya dengan dosis 1,2 juta per hari intramuskular.
Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis, diberikan intramuskular dengan dosis
tinggi dan makin sering terjadi syok anafilaktik. Selain itu dapat juga diberikan
ampisilin dosis 4x500 mg diberikan sejam sebelum makan, amoksisilin dengan dosis
sama dengan ampisilin namun lebih praktis karena dapat diberikan setelah makan, lebih
cepat diabsorbsi dibandingkan ampisilin sehingga konsentrasi dalam plasma lebih
tinggi, dan golongan obat penisilin resisten-penisilinase, contohnya oksasilin,
kloksasilin, dikloksasilin, fluklosasilin. Dosis kloksasilin 3x250 mg per hari sebelum
makan.2
Terapi pilihan lain adalah linkomisin dan klindamisin . Dosis linkomisin 3x500
mg sehari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik, karena itu dosisnya lebih kecil (4x150
mg) sehari per oral. Namun pada infeksi berat diberikan 4x300-450 mg per hari. Obat
ini efektif untuk pioderma disamping golongan obat penisilin resisten-penisilinase. Efek
samping yang disebut di kepustakaan berupa kolitis pseudomembranosa belum pernah

18
ditemukan. Linkomisin tidak dianjurkan lagi dan diganti dengan klindamisin karena
potensi antibakterialnya lebih besar, efek samping lebih sedikit, pada pemberian oral
tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dari lambung.2,11
Eritromisin juga dapat dipertimbangkan. Dosisnya 4x500 mg sehari per oral.
Efektivitiasnya kurang dibandingkan klindamisin dan obat golongan penisilin resisten-
penisilinase. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering memberi rasa tak enak di
lambung.2,7
Pada pioderma yang berat atau yang tidak memberi respon dengan obat-obat di
atas, maka dapat digunakan sefalosporin. Ada empat generasi yang berkhasiat untuk
kuman Gram positif. Contoh generasi I adalah sefadroksil dengan dosis dewasa 2x500
mg atau 2x1000 mg per hari.2

Tabel 4. Terapi farmakologi pioderma. 7


Topikal Sistemik
Lini pertama Mupirosin setiap 12 jam Penisilin V 250-500 mg per oral
setiap 6 jam selama 5-7 hari

Dicloxacillin 250-500 mg per oral


setiap 6 jam selama 5-7 hari
Lini kedua (alergi Retapamulin setiap 12 jam Azitromisin 500 mg setiap 24 jam
penisilin) selama 1 hari dilanjutkan 250 mg
setiap 24 jam selama 4 hari

Klindamisin 15 mg/kgBB setiap 8


jam

Eritromisin 250-500 mg per oral


setiap 6 jam selama 5-7 hari

Pada pasien dengan faktor risiko (usia>65 tahun, terekspos dengan infeksi
MRSA lain, penggunaan antibiotik sebelumnya, trauma pada kulit, dll), mungkin terjadi
resistensi obat tipe multidrug resistance, sehingga diperlukan terapi intravena dengan
vankomisin atau linezolid. Pada pasien dengan infeksi tipe community acquired tanpa
faktor risiko, pengobatan efektif dengan klindamisin, kotrimoksazol, doksisiklin, dan
linezolid oral.7
Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa S.aureus paling sensitif terhadap
vankomisin (99.35%) diikuti dengan seftriakson (99.19%), sefoperzon/sulbaktum
(99.19%), gentamisin (96.77%), amoksiklav (94.35%), doksisiklin (89.5%),

19
siprofloksasin (74.19%), sefuroksim (60%), eritromisin (58.06%), kotrimoksazol
(50.32%), amoksisilin (34.84%), dan sefiksim (40%).8
Kotrimoksazol dan doksisiklin tidak efektif terhadap bakteri streptokokus grup
A sehingga jika dicurigai ada infeksi campuran S. aureus dan Streptococcus grup A,
maka gunakan klindamisin, atau kombinasi kedua obat tadi dengan penisilin. Terapi
antibiotik definitif perlu disesuaikan dengan kerentanan masing-masing bakteri setelah
dikultur.7

KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Impetigo akibat infeksi S.aureus yang tidak diobati akan menyebar menjadi
selulitis, limfangitis, dan bakteremia dan berujung sebagai osteomyelitis, septik arthritis,
pneumonitis, dan septikemia. Produksi eksfoliatin dapat menyebabkan SSSS pada bayi
dan dewasa yang immunocompromised atau memiliki gangguan fungsi ginjal. 1,7
Sementara itu, impetigo akibat infeksi Streptococcus grup A yang tidak diobati
akan menetap dan menimbulkan lesi baru di kulit dalam beberapa minggu. Infeksi
biasanya sembuh sendiri kecuali terdapat penyakit kulit lain yang mendasari. Pada
beberapa kasus, lesi dapat berkembang menjadi kronik dan dalam dan membentuk
ektima. Jarang terjadi komplikasi berupa erisipelas, selulitis, atau bakteremia. Sekuele
yang paling sering ditemukan adalah GNAPS (glomerulonefritis akut post infeksi
streptokokus). 7
Furunkulosis dan karbunkel dapat menyebabkan penyebaran infeksi secara
bakteremia. Penyakit ini juga cenderung rekurens. Lesi pada bibir dan hidung
meningkatkan penyebaran melalui facial dan angular emissary veins ke sinus
kavernosus. Invasi melalui aliran darah menyebabkan penyebaran infeksi yang tak
terduga dan berujung pada osteomyelitis, endokarditis akut, atau abses otak. Manipulasi
lesi berbahaya untuk dilakukan dan dapat mempermudah penyebaran melalui aliran
darah. Untungnya, komplikasi tersebut jarang terjadi. Furunkulosis yang rekurens
merupakan proses yang tidak mengenakkan dan dapat berlanjut selama bertahun-tahun.7

KESIMPULAN

Pioderma merupakan infeksi pada kulit di bawah stratum korneum atau pada

20
folikel rambut yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus atau
Streptococcus grup A yang menyebabkan gejala klinis yang bervariasi, tergantung dari
organisme penyebab dan lokasi terjadinya infeksi. Pioderma terdiri dari piodoerma
superfisial dan profunda. Faktor predisposisi pioderma yaitu higienitas yang kurang,
menurunnya daya tahan tubuh (pada kasus dengan kekurangan gizi, anemia, penyakit
kronik, neoplasma ganas, diabetes melitus), dan didahului oleh penyakit kulit lain
yang menyebabkan kerusakan pada epidermis. Penatalaksanaan pada pioderma
tergantung dari manifestasi klinis, jenis bakteri, dan kedalaman dari lesi. Secara
umum untuk lesi yang terbatas tanpa komplikasi diberikan terapi topikal. Antibiotika
topikal pilihan pertama yang sering digunakan adalah golongan asam fusidat,
mupirosin, dan neomisin-basitrasin, atau antiseptik topikal. Pioderma umumnya
memiliki prognosis yang baik dan dapat sembuh secara spontan. Komplikasi pada
pioderma jarang terjadi.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, Weinberg AN, Swartz MN, Johnson RA. Superficial
cutaneous infections and pyodermas. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-HillCompany; 2012. h. 2128-47.
2. Djuanda, A. Pioderma dalam Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmmi, W. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ke-7. 2015. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.
3. Famela, Diba S, Ridwan A. Karakteristik sosiodemografi pasien pioderma di RSUP Dr
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2010-2012. 2017. Palembang: Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang dalam
(https://www.scribd.com/document/339567742/Jurnal-Karakteristik-Sosiodemografi-
Pasien-Pioderma-Di-RSUP-Dr-Mohammad-Hoesin-Palembang-Tahun-2010-2012)
diakses 12 Juni 2018
4. Odom RB , James WD, Berger TG. Andrews’ diseases of the skin. 9th ed. Philadelphia :
WB. Saunders Co, 2000. h. 247-258
5. Kartowigno, S. 10 Besar Kelompok Penyakit Kulit. 2011. Palembang: Unsri Press. h.
133-134
6. Bhat YJ, Hassan I, Bashir S, Farhana A, Maroof P. Clinicobacteriological profile of
primary pyodermas in Kasmir: A hospital-based study paper. Journal of Royal College
of Physicians of Edinburgh. 2016 . 4(6): 8-13
7. Craft, N. General Consideration of Bacterial Diseases. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolff K. Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-HillCompany; 2012. h. 2121-25.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Twelfth Edition.
Philadelphia: Elsevier; 2016. h 245-256
9. Gandhi S, Ojha AK, Ranjan KP, Neelima. Clinical and bacteriological aspects of
pyoderma. North American Journal of Medical Sciences. 2012. 4(10): 492-495
10. Kurniawan R. Karakteristik Pioderma Superfisialis Pada Bayi dan Anak di SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP. H. Adam Malik Medan Periode Tahun 2010 –
2012. Sumatera Utara: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2016
11. Hay RJ, Adriaans BM. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths
C, editors. Rook’s Text Book of Dermatology. 8th ed. Turin: Blackwell; 2010. h.14-16.
12. Siregar, RS. 2015. Pioderma. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 3. EGC:
Jakarta.
13. Cherry, James D, Hall J Harrison. Treatment considerations for impetigo. Pediatric
Infection Disease. 2016 h: 374-378.

22

Anda mungkin juga menyukai