“UMUR LUKA”
Disusun oleh:
Muh. Afdhal Ruslan
K1A1 13 035
A. LATAR BELAKANG
Sejarah dan perkembangan Ilmu Forensik tidak dapat dipisahkan dari
sejarah dan perkembangan hukum acara pidana. Sebagaimana diketahui
bahwa kejahatan yang terjadi di muka bumi ini sama usia tuanya dengan
sejarah manusianya itu sendiri. Luka merupakan salah satu kasus tersering
dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Luka bisa terjadi pada korban hidup
maupun korban mati.
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam. Luka
merupakan kerusakan atau hilangnya hubungan antara jaringan
(discontinuous tissue) seperti jaringan kulit, jaringan lunak, jaringan oto,
jaringan pembuluh darah, jaringan saraf dan tulang.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal luka
kelalaian atau karena yang disengaja. Luka yang terjadi ini disebut
“Kejahatan Terhadap Tubuh atau Misdrijven Tegen Het Lijf”. Kejahatan
terhadap jiwa ini diperinci menjadi dua yaitu kejahatan doleuse (yang
dilakukan dengan sengaja) dan kejahatan culpose (yang dilakukan karena
kelalaian atau kejahatan). Jenis kejahatan yang dilakukan dengan sengaja
diatur dalam BAB XX, pasal-pasal 351-358. Jenis kejahatan yang disebabkan
karena kelalaian diatur dalam pasal 359,360 dan 361 KUHP. Dalam pasal-
pasal tersebut dijumpai kata-kata, “mati, menjadi sakit sementara atau tidak
dapat menjalankan pekerjaan sementara”, yang tidak disebabkan secara
langsung oleh terdakwa, akan tetapi ‘karena salahnya’ diartikan sebagai
kurang hati-hati, lalai, lupa dan amat kurang perhatian.
Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak
hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban korban
perlukaan. Dokter sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan mengenai
jenis luka apa yang ditemui, jenis kekerasan/senjata apakah yang
menyebabkan luka dan bagaimana kualifikasi dari luka itu. Sebagai seorang
dokter, ia tidak mengenal istilah penganiayaan. Jadi istilah penganiayaan
tidak boleh dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan tetapi sebaiknya
dokter tidak boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai misalnya luka
lecet yang satu-dua hari akan sembuh sendiri secara sempurna dan tidak
mempunyai arti medis, tetapi sebaliknya dari kaca mata hukum.
Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP
dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli
tersebut adalah Visum et Repertum, dimana didalamnya terdapat penjabaran
tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati. Seorang
dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka. Visum et
Repertum harus dibuat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal
dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang
pengadilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan
atas jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu.
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang
trauma atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan
(rudapaksa), yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya
diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.
B. Penyebab trauma
Kekerasan yang mengenai tubuh seseorang dapat menimbulkan efek pada
fisik maupun psikisnya. Efek fisik berupa luka- luka yang kalau di periksa
dengan teliti akan dapat di ketahui jenis penyebabnya, yaitu:
1. Benda-benda mekanik
2. Benda-benda fisik
3. Kombinasi benda mekanik dan fisik
4. Zat-zat kimia korosif
Dalam ilmu perlukaan dikenal trauma tumpul dan trauma tajam.
1. Benda-benda mekanik
a. Trauma benda tajam
Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada
permukaan tubuh oleh benda-benda tajam. Ciri-ciri umum dari luka
benda tajam adalh sebagai berikut :
1) Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
2) Bila ditautkan akan mejadi rapat (karena benda tersebut hanya
memisahkan , tidak menghancurkan jaringan) dan membentuk garis
lurus dari sedikit lengkung.
3) Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan.
4) Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka
sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok
(vulnus caesum).
1) Luka sayat
Luka sayat ialah luka karena alat yang tepinya tajam dan
timbulnya luka oleh karena alat ditekan pada kulit dengan
kekuatan relativ ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.
Ciri luka sayat :
a) Pinggir luka rata
b) Sudut luka tajam
c) Rambut ikut terpotong
d) Jembatan jaringan ( - )
e) Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai
tulang
2) Luka tusuk
Luka tusuk ialah luka akibat alat yang berujung runcing dan
bermata tajam atau tumpul yang terjadi dengan suatu tekanan
tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh.
Contoh:
-Belati, bayonet, keris
-Clurit
-Kikir
-Tanduk kerbau
2. Benda-benda fisik
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang disebabkan oleh benda-benda
fisik, antara lain:
a. Benda bersuhu tinggi
Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan luka
bakar yang cirinya amat tergantung dari jenis bendanya, ketinggian
suhunya serta lamanya kontak dengan kulit. Api, benda padat panas
atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II, III, atau
IV. Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau
III. Gas panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau
IV.
b. Benda bersuhu rendah
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian
tubuh yang terbuka; seperti misalnya tangabn, kaki, telinga atau
hidung. Mula-mula pada daerah tersebut akan terjadi vasokonstriksi
pembuluh darah superfisial sehingga terlihat pucat. Selanjutnya akan
terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang mengakibatkan daerah
tersebut menjadi kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat terjadi
gangren.
c. Sengatan listrik
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar
sebagai akibat berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya
pengaruh listrik pada jaringan tubuh tersebut tergantung dari besarnya
tegangan (voltase), kuatnya arus (amper), besarnya tahanan (keadaan
kulit kering atau basah), lamanya kontak serta luasnya daerah terkena
kontak.
Bentuk luka pada daerah kontak (tempat masuknya arus) berupa
kerusakan lapisan kulit dengan tepi agak menonjol dan di sekitarnya
terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah hyperemis. Sering ditemukan
adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh juga sering
ditemukan luka. Nahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu
yang dilalui oleh arus listrik ketika meninggalkan tubuh juga ikut
terbakar.
Tegangan arus kurang dari 65 volt biasanya tidak membahayakan,
tetapi tegangan antara 65-1000 volt dapat mematikan. Sedangkan kuat
arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA. Kematian
tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan
atau pusat pernafasan.
Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah
kesadaran seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang
dipegangnya. Bagi orang-orang tidak menyadari adanya arus listrik
pada benda yang dipegangya biasanya pengaruhnya lebih berat
dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap hari berhubungan
dengan listrik.
d. Petir
Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang
tegangannya dapat mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar
100.000 A ke tanah. Luka-luka karena sambaran petir pada
hakekatnya merupakan luka-luka gabungan akibat listrik, panas dan
ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka bakar dan luka akibat
ledakan udara berupa luka-luka yang mirip dengan luka akibat
persentuhan dengan benda tumpul.
Dapat terjadi kematian akibat efek arus listrik yang melumpuhkan
susunan saraf pusat, menyebabkan fibrilasi ventrikel. Kematian juga
dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas panas yang
ditimbulkannya.
Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent mark
(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon),
metalisasi benda-benda dari logam yang dipakai. Pakaian korban
terbakar atau robek-robek.
e. Tekanan (barotrauma)
Trauma akibat perubahan tekanan pada medium yang ada di sekitar
tubuh manusia dapat menimbulkan kelainan atau gangguan yang
sering disebut disbarisme yang terdiri atas 2 macam yaitu:
1) Hiperbarik
Sindrom ini disebabkan oleh karena tekanan tinggi, antara lain:
Turun dari ketinggian secara mendadak: saat pesawat mendarat
atau turun gunung
Berada didalam kedalaman air: pada penyelam bebas, scuba
diving (menyelam dengan tangki oksigen), snorkeling
(menyelam dengan tube di mulut) penyelam dengan pakaian
khusus.
Gejala yang dapat ditimbulkan oleh perubahan tekanan tersebut
dapat berupa:
Barotrauma pulmoner: pneumotoraks, emboli udara atau
emfisema interstisial.
Barotalgia: rasa nyeri, membrana timpani pecah, perdarahan,
vertigo atau dizzines.
Barodontalgia: pengumpulan gas yang menyebabkan rasa nyeri
atau bahkan meletus.
Narkosis Nitrogen: amnesia atau disorientasi
2) Hipobarik
Sindroma ini disebabkan oleh perubahan tekanan rendah, antara
lain:
Naik ke tempat tinggi secara mendadak: saat pesawat
mengudara atau saat pesawat meluncur keluar angkasa.
Berada di dalam ruang bertekanan rendah: misalnya di dalam
decompression chamber.
Gejala yang ditimbulkannya disebabkan oleh pembentukan dan
pengumpulan gelembung-gelembung udara di dalam jaringan
lunak, rongga-rongga atau organ-organ berongga.
Gejala tersebut antara lain:
Sendi-sendi terasa kaku disertai nyeri hebat
Rongga dada dirasakan tercekik, sesak napas dan batuk yang
hebat
Gejala pada susunan syaraf tergantung letak emboli dan letak
emfisema subkutan
Rongga perut terasa kembung
Gigi-geligi terasa rasa nyeri (barodontalgia)
3. Kombinasi benda mekanik dan fisik
Luka akibat tembakan senjata api pada hakekatnya merupakan luka
yang dihasilkan oleh trauma benda mekanik (benda tumbul) dan benda
fisik (panas), yaitu anak peluru yang jalannya giroskopik
(berputar/mengebor). Mengingat lapisan kulit mempunyai elastisitas yang
kurang baik dibandingkan lapisan di bawahnya maka jaringan yang
hancur akibat terjangan anak peluru lebih luas. Akibatnya, bentuk luka
tembak masuk terdiri atas lubang, dikelilingi oleh cincin lecet yang
diameternya lebih besar. Diameter cincin lecet tersebut lebih mendekati
kaliber pelurunya.
Sedangkan luka akibat senjata yang tidak menggunakan mesiu
sebagai tenaga pendorong anak pelurunya (senjata angin), pada
hakekatnya merupakan luka yang disebabkan oleh persentuhan dengan
benda tumpul saja. Ciri-ciri luka tembak amat tergantung dari jenis
senjata yang ditembakkan, jarak tembakan, arah tembakan serta posisinya
(sebagai tempat masuk atau keluarnya anak peluru).
E. Akibat trauma
1. Aspek medik
Konsekuensi dari luka yang di timbulkan oleh trauma dapat berupa :
a. Kelainan fisik / organic
Bentuk dari kelainan fisik atau organic ini dapat berupa :
- Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh
- Hilangnya sebagaian atau seluruh organ tertentu
b. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu
Bentuk dari gangguan fungsi tergantung dari organ atau bagaian tubuh
yang terkena trauma. Contoh dari gangguan fungsi antara lain lumpuh,
buta, tuli atau terganggunya fungsi organ – organ dalam.
c. Infeksi
Seperti di ketahui bahwa kulit atau membrane mukosa merupakan
barier terhadap infeksi. Bila kulit atau membrane tersebut rusak maka
kuman akan masuk lewat pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat
daerah memar atau bahkan irritasi akibat benda yang terkontaminasi
oleh koman. Jenis kuman dapat berupa streptococcus, staphylococcus,
echeria coli, proteus vulgaris, clostridium tetani serta kuman yang
menyebabkan gas gangrene.
d. Penyakit
Trauma sering di anggap sebagai precipitating factor terjadinya
penyakit jantung walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan
masih dalam kontroversi.
e. Kelainan psikis
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan
dapat menjadi precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang
spketrumnnya amat luas; yaitu dapat berupa compensational neurosis,
anxiety neurosis, dementia praecox primer ( schizophrenia ), manic
depressive atau psikosis. Kepribadian serta potensi individu untuk
terjadinya reaksi mental yang abnormal merupakan factor utama
timbulnya gangguan mental tersebut; meliputi jenis, derajat serta
lamanya gangguan. Oleh sebab itu pada setiap gangguan mental post-
trauma perlu dikaji elemen-elemen dasarnya yang terdiri atas latar
belakang mental dan emosi serta nilai relative bagi yang bersangkutan
atas jaringan atau organ yang terkena trauma.
Secar umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan
tubuh atu organ dengan psikosis post trauma di dasarkan atas :
- Keadaan mental benar – benar sehat sebelum trauma
- Trauma telah merusak susunan syaraf pusat
- Trauma, tanpa mempersoalkan lokasinya, mengancam kehidupan
seseorang.
- Trauma menimbulkan kerusakan pada bagian yang struktur dan
fungsinya dapat mempengaruhi emosi organ genital, payudara, mata,
tangan atau wajah.
- Korban cemas akan lamanya waktu penderitaan
- Psikosis terjadi dalam tenggang waktu yang masuk akal
- Korban dihantui oleh kejadian ( kejahatan atau kecelkaan ) yang
menimpanya.
2. Aspek yuridis
Jika dari sudut medic, luka merupakan kerusakan jaringan (baik disertai
atau tidak disertai diskontuinitas permukaan kulit) akibat trauma maka
dari sudut hukum, luka merupakan kelainan yang dapat disebabkan oleh
suatu tindak pidana, baik yang bersifat intensional (sengaja), reckless (
ceroboh ) atau negligence (kurang hati – hati). Untuk menentukan berat
ringannya hukuman perlu ditentukan lebih dahulu berat ringannya luka.
Kebijakan hokum pidana didalam penentuan berat ringannya luka tersebut
didasarkan atas pengaruhnya terhadap :
- Kesehatan jasmani
- Kesehatan rohani
- Kelangsungan hidup janin di dalam kandungan
- Estetika jasmani
- Pekerjaan jabatan atau pekerjaan mata pencarian
- Fungsi alat indera
a. Luka ringan
Luka ringan adalah luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencariannya.
b. Luka sedang
Luka sedang adalah luka yang mengakibatkan penyakit atau halangan
dalam menjalankan pekerjaan jabtan atau mata pencariaanya untuk
sementara waktu.
c. Luka berat
Luka berat adalah luka yang sebagaiman diuraikan didalam pasal
90KUHP, yang terdiri atas :
1) Luka atau penyakit yang tidak dapat diharapkan akan sembuh
dengan sempurna lebih ditujukan pada fungsinya. Contohnya
trauma pada satu mata yang menyebabkan kornea robek. Sesudah
di jahit sembuh, tetapi mata tersebut tidak dapat melihat.
2) Luka yang dpat mendatangkan bahaya maut
3) Dapat mendatangkan bahaya maut pengertiannya memeiliki
potensial untuk menimbulkan kematian, tetapi sesudah diobati
dapat sembuh.
4) Luka yang menimbulkan rintangan tetap dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencariaanya. Luka yng dari sudut
medic tidak membahayakan jiwa, dari sudut hokum dapat
dikatagorikan sebagai luka berat. Contonya trauma pada tangan kiri
pemain biola atau pada wajah seorang peragawati dapat
dikatagorikan luka berat jika akibatnya mereka tidak dapat lagi
menjalankan pekerjaanya tersebut selamnya.
5) Kehilangan salah satu dari panca indera
6) Jika trauma menimbulkan kebutaan satu mata atau kehilngan
pendengran satu telinga, tdiak dapat digolongkan kehilangan
ondera. Meskipun demikian tetap digolongkan sebagai luka berat
berdasarkan butir (a) di atas.
7) Cacat besar atau kudung
8) Lumpuh
9) Gangguan daya pikir lebih dari 4 minggu lamanya. Gangguan daya
pikir tidak harus berupa kehilangan kesadaran tetapi dapat juga
berupa amnesia, disorientasi, anxietas, depresi atau gangguan jiwa
lainnya.
10) Keguguran atau kematian janin seorang perempuan
11) Keguguran ialah keluarnya janin sebelum masa waktunya,
yaitu tidak di dahului oleh proses yang sebagaimana umumnya
terjadi seorang wanita ketika melahirkan. Sedang kematian janin
mengandung pengertian bahwa janin tidak lagi menunjukan tanda –
tanda hidup. Tidak dipersoalkan bayi keluar atau tidak dari perut
ibunya.
Bila sel atau jaringan tubuh mengalami cedera atau mati, jaringan hidup
di sekitarnya membuat suatu respon yang disebut peradangan. Yang lebih khusus,
peradangan adalah reaksi vaskuler yang menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat
yang terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstisial
didaerah cedera atau nekrosis.
Peradangan akut merupakan respons langsung tubuh terhadap cedera atau
kematian sel. Tanda-tanda pokok peradangan mencakup:
a. Rubor (kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami reaksi
peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan, arteriol yang
memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak
darah mengalir ke dalam mikrosirkulasi lokal. Kapiler-kapiler yang
sebelumnya kosong, atau hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh
oleh darah. Keadaan ini disebut hiperemia atau kongesti yang menyebabkan
kemerahan lokal pada peradangan akut.
b. Kalor (panas)
Terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan akut.
Sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi
pada permukaan tubuh, yang lebih dingin dari 37º C yang merupakan suhu inti
tubuh. Daerah peradangan di kulit menjadi lebih hangat dari sekitarnya karena
lebih banyak darah (pada suhu 37º C) dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan
daerah yang terkena dibandingkan daerah yang normal. Fenomena hangat lokal
ini tidak terlihat di daerah-daerah meradang yang letaknya jauh di dalam tubuh,
karena jaringan-jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 37º C dan hiperemia
lokal tidak menimbulkan perbedaan.
c. Dolor (nyeri)
Ditimbulkan dengan berbagai cara. Perubahan PH lokal atau konsentrasi lokal
ion-ion tertentu yang dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama,
pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selain itu,
pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan
lokal yang dapat juga menimbulkan nyeri.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan lokal dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari
aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel-sel ini disebut
eksudat. Pada awal reaksi peradangan, sebagian besar eksudat adalah cairan,
seperti yang terlihat secara cepat di dalam lepuhan setelah luka bakar ringan
pada kulit. Kemudian, sel-sel darah putih atau leukosit meninggalkan aliran
darah dan tertimbun sebagai eksudat.
e. Fungsio laesa (Perubahan Fungsi)
Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi
abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, seharusnya berfungsi
abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi jaringan yang meradang itu
terganggu tidak dipahami secara terperinci.
Proses penyembuhan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase inflamasi, fase
proliferasi dan fase penyudahan/maturasi. Fase inflamasi/ peradangan yang telah
dijelaskan diatas berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari kelima,
dengan gejala rubor, dolor, kalor, tumor. Fase proliferasi/fibroplasia terjadi dari
akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga, pada fase ini luka
dipenuhi sel radang, fibroblas, dan kolagen membentuk jaringan berwarna
kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus yang disebut jaringan
granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas adri dasarnya dan
berpindah mengisi permukaan luka, tempatnya kemudian diisi oleh sel baru hasil
mitosis, proses ini berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh
permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga
akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan. Pada fase
penyudahan terjadi penyerapan kembali jaringan yang berlebih, pengerutan,
perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk, fase ini berlangsung berbulan-
bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap, selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lemas, serta mudah
digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini perupaan luka kulit mampu menahan
regangan ±80% kemampuan kulit normal.
Untuk mengetahui kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka.
Hanya saja, tidak ada satupun metode yang dapat digunakan untuk menilai dengan
tepat kapan suatu kekerasan ( baik pada korban hidup ataupun mati ) dilakukan
mengingat adanya factor individual, penyulit ( misalnya infeksi, kelainan darah
atau penyakit defisiensi ) serta factor kualitas dari kekerasan itu sendiri.
Kendati demikian ada beberapa cara dapat di gunakan untuk
memperkirakannya, yaitu dengan melakukan :
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan berapa
umur luka tersebut. Pada korban hidup, perkiraan di hitung dari saat trauma
sampai saat di periksa pada korban mati, mulai dari saat trauma sampai saat
kematiaanya.
Pada kekerasan dengan benda tumpul, umur luka dapat di perkirakan dengan
mengamati perubaha–perubahan yang terjadi. Mula – mula pada daerah yang
mengalami trauma akan terlihat pembengkakan akibat ekstravasai dan
inflamasi, berwarna merah kebiruan. Sesudah 4 sampai 5 hari warna tersebut
berubah menjadi kuning kehijauan dan sesudah lebih dari seminggu menjadi
kekuningan.
Pada luka robek atau terbuka juga dapat diperkirakan umurnya dengan
mengamati perubahan–perubahanya. Dalam selang waktu 12 jam sesudah
trauma akan terjadi pembengkakan pada tepi luka. Selanjutnya kondisi luka
akan di dominasi oleh tanda–tanda inflamasi dan kemudian di susul tanda –
tanda penyembuhan.
b. Pemeriksaan mikroskopik ( histology ).
Mengingat hasil makroskopik sangat variatif dan jauh dari ketepatan maka
perlu di lakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berguna
bagi intravitalis luka, pemeriksaan mikroskopik juga untuk menentukan umur
luka secara lebih teliti. Caranya ialah dengan mengamati perubahan –
perubahan histologiknya
Infiltrasi perivaskuler dari leukosit polymorfonuklear dapat di lihat dengan
jelas pada kasus – kasus dengan periode survival sekitar 4 jam atau lebih.
Dilatasi kapiler dan marginasi leukosit mungkin dapat di lihat lebih dini lagi,
bahkan beberapa menit sesudah trauma. Leukosit yang mula – mula masuk ke
jaringan adlah jenis polymorfonuklear. Pada stadium berikutnya akan tampak
monosit , namun leukosit jenis ini jarang di temukan pada eksudt kurang dari
12 jam sesudah trauma.
Pada trauma dengan inflamsi aseptik, proses eksudasi akan mencapai puncak
dlam waktu 48 jam. Epitelisasi baru terjadi pada hari ketiga , sedangkan sel- sel
fibroblast mulai menunjukan perubahan reaktif ( dalam bentuk proliferasi )
sekitar 15 jam sesudah trauma. Tingkat proliferati tersebut serta pembentukan
kapiler – kapiler baru sangat variatif , tetapi biasnya jaringan granulasi lengkap
dengan vaskularisasinya akan terbentu paling tidak sesudah 3 hari. Serabut –
serbut kolagen yang baru juga mulai terbentuk 4 atau 5 hari sesudah trauma.
Pada luka – luka kecil, kemungkinan jaringan parut tampak pada akhir minggu
pertama. Biasanya sekitar 12 hari sesudah trauma, aktifitas sel- sel epitel dan
jaringan di bawahnya mengalami tahapan regresi. Akibatnya jaringan epitel
akan mengalami atrofi, vaskularisasi jaringan di bawahnya juga berkurang dig
anti serabut – serabut kolagen. Sampai beberapa minggu sesudah
penyembuhannya, serabut – serabut elastic masih tampak banyak dari jaringan
tak terkena trauma.
Perubahan – peruabahan histologik dari luka ini snagat di pengaruhi ada
tidaknya infeksi. Perlu di ketahui bahwa infeksi akan memperlambat proses
penyembuhan luka. Peningkatan akitfitas adenosine triphosphatase dan
aminopeptidase dapat di lihat lebih dini, yaitu setengah jam setelah trauma.
Peningkatan aktifitas aminopeptidase dapat di lihat sesudah 2 jam, sedangkan
peningkatan acid phosphatase dan alkali phosphatase sesudah 4 jam.
BAB IV
KESIMPULAN