BLASTOMIKOSIS
Disusun oleh:
Abigail Madeline
202006010106
Pembimbing:
1.1. Definisi
Blastomikosis merupakan infeksi jamur yang disebabkan oleh Blastomyces
dermatitidis.1 Infeksi jamur ini merupakan mikosis sistemik yang bersifat kronis. Mikosis
sistemik artinya adalah tempat masuk infeksi atau port d’entree nya pada organ dalam seperti
paru-paru, traktus digestivus, atau sinus paranasalis, namun dapat secara generalisata melalui
hematogen. Untuk spesies Blastomyces dermatitidis lokasi infeksi utamanya adalah dari paru
- paru, namun dapat menyebar secara hematogen ke kulit, tulang, sistem saraf pusat, dan
lainnya. Manifestasi yang paling sering muncul adalah infeksi paru setelah terhirupnya
konidia.2
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya blastomikosis adalah pada
individu yang sering berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan tanah atau
daerah hutan, seperti pekerjaan kehutanan, pertanian, berburu, berkemah pada daerah yang
endemis. Individu dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah, seperti Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS).2 Blastomikosis mempengaruhi segala usia, ras dan
jenis kelamin, namun dilaporkan terjadi lebih banyak pada laki-laki, yang mungkin
diakibatkan paparan pekerjaan. Pada penyebaran hematogen dari paru-paru, dengan kulit
menjadi lokasi paling umum, yaitu 20%-40%, diikuti tulang yaitu 10-25%, prostat dan organ
genitourinari yaitu 5-15%, dan sistem saraf pusat yaitu 5%.1,3
1.3. Etiologi
Blastomikosis disebabkan oleh jamur Blastomyces dermatitidis yang berasal dari
filum Ascomycota, famili Agellomycetaceae. Reproduksinya secara aseksual dengan spora
berupa kanidia kecil berukuran 2-10 µm. Pada suhu 25 derajat celcius, bentuk miselium
tumbuh sebagai kapang putih yang halus, sedangkan pada suhu 37 derajat celcius, tumbuh
menjadi ragi berwarna coklat. Jamur ini dapat diisolasi dalam tanah dimana dia membentuk
miselium yang menembus substratum tempat jamur tersebut tumbuh. Dalam sel yang
terinfeksi, Blastomyces dermatitidis tampak sebagai sel ragi dengan ukuran relatif besar
dengan diameter sekitar 8-10 mikrometer.1
Gambar 1.2. Blastomyces dermatitidis dalam jaringan dalam bentuk ragi yang
menunjukan dinding sel tebal dan reproduksi melalui tunas dengan dasar luas.
1.5. Diagnosis
Port d’entree dari penyakit Blastomikosis adalah paru-paru sehingga pasien dapat
datang dengan keluhan pneumonia akut maupun kronik. Masa inkubasi blastomikosis antara 3
minggu hingga 6 minggu. Keparahan gejala tergantung dari sistem kekebalan individu
tersebut. Ada yang tidak menunjukkan gejala, namun pada individu dengan sistem imun yang
lemah dapat menunjukkan beberapa gejala. Dari anamnesis, bisa kita tanyakan apakah pasien
baru pulang dari daerah endemis atau apakah pekerjaan pasien melibatkan kontak dengan
tanah atau daerah perhutanan, atau apakah pasien baru saja berburu atau berkemah di hutan
atau melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan hutan. Masa
inkubasi Blastomyces adalah 30-100 hari. Keluhan dapat berupa batuk non produktif, demam
subfebris, nyeri dada, batuk darah/hemoptisis, fatigue, malaise, penurunan berat badan,
hingga keringat malam yang dapat sembuh dalam beberapa hari sehingga infeksi awal
mungkin tidak terdiagnosis.
Blastomikosis ekstrapulmoner dapat menyebar ke berbagai organ termasuk kulit.
Keterlibatan pada kulit, pasien dapat mengeluhkan adanya lesi berupa papul, pustul, atau
nodul yang dalam beberapa minggu menjadi ulkus. Dalam beberapa bulan atau tahun lesi
semakin membesar dan membentuk plak verukosa.5
Dari hasil pemeriksaan fisik, lesi pada kulit merupakan presentasi umum dari
blastomikosis diseminata, dan biasanya terdapat lesi multipel. Lesi ditemukan simetris dan
mengenai bagian bagian yang terbuka misalkan wajah dan ekstremitas. Lesi yang khas adalah
plak verukosa atau ulserasi kulit. Verukosa / kutil dapat berwarna abu-abu hingga violet dan
dapat menjadi sulit dibedakan dengan karsinoma sel skuamosa. Lesi awal berupa papula atau
nodul yang dapat menjadi ulkus dan mengeluarkan pus. Seiring berjalannya waktu lesi
membesar membentuk lesi hiperkeratosis dengan ulkus sentral. Beberapa pasien dapat datang
dengan lesi berupa nodul atau abses, atau morfologi lainnya. Blastomikosis dapat menyerang
berbagai organ tubuh, namun lokasi sering lainnya adalah tulang, dengan lokasi pelvis dan
tulang belakang bagian bawah.2-3
Gambar 1.5. Manifestasi klinis kulit dari Blastomikosis terdapat lesi verukosa dengan
gambaran pustul (kiri) dan lesi verukosa pada pergelangan tangan (kanan).
Gambar 1.6. Manifestasi klinis kulit dari Blastomikosis diseminata.
Gambar 1.7. Lesi ulseratif (kiri) dan lesi bentuk verukosa / kutil berwarna putih (kanan)
Gambar 1.8. Lesi verukosa berukuran plakat (kiri) dan ulserasi berukuran plakat
(kanan).
Manifestasi klinis dari tulang dan sendi. Pasien biasanya datang dengan adanya edema
dan juga timbulnya adanya sinus / kloaka yang juga merupakan tanda khas dari osteomielitis
kronis.
Beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Visualisasi langsung Blastomyces dermatitidis sangat penting untuk diagnosis
definitif, seperti menggunakan KOH 10% dengan mengambil pus, kerokan kulit, atau sputum
pasien. Pada pemeriksaan mikroskop dapat ditemukan ragi berdinding tebal, bulat, dengan
tunas yang lebar (thick-walled, rounded, with broad-based buds). Pada pemeriksaan kultur
dengan suhu ruang, dapat ditemukan conidia yang kecil berukuran 2-10 µm berbentuk seperti
pir (small, rounded, or pear-shaped conidia). Pada suhu yang lebih tinggi, dapat terlihat ragi
dengan tunasnya (budding yeast) berukuran 8-10 µm. Pemeriksaan kultur sampai saat ini
merupakan gold standard, namun memerlukan waktu 5-10 hari. Media yang digunakan biasa
adalah Sabouraud dextrose agar pada suhu 25-30℃ . Pada pemeriksaan histopatologi biopsi
kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E), dapat ditemukan hiperplasia
pseudoepitel dengan infiltrat inflamasi disertai ragi berdinding tebal, bulat, dengan tunas yang
lebar.6 PCR juga dapat dijadikan metode untuk mendeteksi etiologi penyebab Blastomikosis,
spesimen dapat diambil dari sputum, darah, ataupun BAL. Deteksi antigen juga dapat
dilakukan menggunakan urin dengan sensitivitas 89% pada blastomikosis diseminata dan
93% secara keseluruhan, spesifitas pada angka 79%. Sensitivitas meningkat dengan
menggunakan spesimen urin.
Gambar 1.9. Preparat KOH pada Blastomikosis dengan gambaran khas B. dermatitidis
(bentuk bulat, dining doubly refractile, tunas yang lebar).
Gambar 1.10. Pemeriksaan Histopatologi pada Blastomikosis
1.6. Komplikasi
Relaps/rekuren dari blastomikosis merupakan salah satu komplikasi yang dapat
terjadi.1 Selain itu, dapat terbentuk abses dengan infeksi sekunder, dan lesi kulit dapat
menyebabkan terbentuknya jaringan parut atau kehilangan pigmen kulit. Komplikasi yang
dapat mengancam nyawa adalah terjadinya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).
Komplikasi akibat efek samping obat Amphotericin B juga dapat terjadi. Wanita hamil lebih
rentan mengalami komplikasi karena terjadi modulasi imun selama kehamilan. Bila
didiagnosis sejak dini, prognosis sama dengan individu yang tidak hamil. Transmisi
intrauterine dapat terjadi namun sangat jarang terjadi.7
1.7. Prognosis
Tergantung lokasi infeksi dan apakah terdapat penyakit penyerta lainnya. Tanpa
pengobatan, prognosis adalah buruk jika infeksi sudah menyebar dari paru ke organ yang
lainnya, Case fatality rate untuk blastomikosis diseminata adalah 78% sebelum ditemukannya
terapi. Diagnosis dan terapi dini dapat meningkatkan resolusi dan mencegah kekambuhan
klinis 6. Pada individu yang imunokompeten, keberhasilan pengobatan mencapai 80% sampai
95% kasus. Di sisi lain, individu yang immunocompromise memiliki prognosis yang lebih
2
buruk . Mortality rate pada pasien imunokompeten adalah 0-2%, pada pasien
imunokompromais adalah 29%, dan pada pasien dengan AIDS adalah 40% 2.
1.8. Tatalaksana
Pasien dengan kondisi subklinis (asimptomatik dengan hasil serologis atau marker
lainnya positif) dapat diobservasi tanpa pemberian terapi antifungal. Sedangkan pasien
dengan blastomikosis derajat ringan-sedang, imunokompromais, penyakit pulmonar progresif
atau penyakit ekstrapulmoner perlu terapi. Berdasarkan panduan tatalaksana Infectious
Diseases Society of America (IDSA), itraconazole telah menggantikan amphotericin B untuk
pengobatan blastomikosis pulmonal ringan-sedang pada dewasa dan setelah terapi awal dari
amphotericin B pada derajat sakit yang lebih berat. Ibu hamil direkomendasikan diberikan
amphotericin B yang berbahan lipid dan menghindari golongan azole karena kemungkinan
teratogenisitas. Sebelum pemberian terapi amphotericin B atau azole, penentuan baseline
fungsi ginjal dan hepar diperlukan.9
Prinsip tatalaksana dalam penyakit blastomikosis ini adalah meskipun remisi spontan
bisa saja terjadi, namun direkomendasikan semua individu dengan gejala ringan atau sedang
juga ditatalaksana untuk menghindari penyebaran dan kekambuhan. Itrakonazol merupakan
obat pilihan untuk blastomikosis pulmonal ringan-sedang. Itrakonazol 600 mg diberikan
secara oral setiap hari selama 3 hari, diikuti dosis 200-400 mg per hari selama 6-12 bulan.
Dosis terapi yang sama juga diberikan pada blastomikosis diseminata ringan-sedang tanpa
gejala SSP. Terapi dianjurkan selama 12 bulan pada pasien dengan penyakit osteoartikular.
Itrakonazol memiliki toksisitas yang rendah dan kemanjuran yang baik, dengan tingkat
kesembuhan mencapai 90%. Golongan azole lainnya seperti Ketoconazole dan Fluconazole
dapat digunakan namun memiliki efektifitas lebih rendah dibandingkan Itrakonazole.
Ketokonazol juga dilaporkan memiliki efek hepatotoksik apabila diberikan dalam jangka
panjang, sehingga merupakan kontraindikasi untuk penderita yang memiliki kelainan hepar.
Amphotericin B 0,7 - 1 mg/kg/hari dengan dosis total 1,5 hingga 2 gram selama 1
hingga 2 minggu biasa digunakan untuk blastomikosis diseminata, yaitu kasus yang lebih
berat karena memiliki efek samping yang lebih banyak seperti gangguan ginjal, hipokalemia,
atau anemia. Tingkat kesembuhan yang tercapai adalah 77-91%.3 Golongan azole merupakan
kontraindikasi bagi wanita yang hamil, sehingga dapat diberikan Amphotericin B 3-5
mg/kg/hari. Dosis ini juga dapat digunakan untuk blastomikosis yang menyerang sistem saraf
pusat.8 Untuk blastomikosis yang menyerang susunan saraf pusat, harus diberikan
Amphotericin B yang berbahan lipid karena dapat menembus blood brain barrier (BBB)
dengan dosis yang telah dijelaskan dan diberikan selama 4 hingga 6 minggu diikuti dengan
pemberian obat golongan azol selama minimal 12 bulan.
1.9. Pencegahan
Hingga saat ini, belum ada vaksin yang tersedia untuk mencegah terinfeksi
blastomikosis. Individu yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah dapat menghindari
aktivitas yang berhubungan dengan tanah dan perhutanan, terutama pada daerah endemis.9
Pengenalan penyakit secara dini dan pemberian pengobatan yang tepat merupakan komponen
yang penting, sehingga kesadaran publik dan penyedia layanan kesehatan akan penyakit ini
adalah kunci.4
DAFTAR PUSTAKA