Anda di halaman 1dari 28

Tatalaksana Trauma Vascular

Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman pada kelangsungan


hidup bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskuler memerlukan diagnosis dan
tindakan penanganan yang cepat untuk menghindarkan akibat fatal berupa
amputasi. Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh darah arteri dan vena.
Perdarahan yang tidak terdeteksi atau tidak terkontrol dengan cepat akan mengarah
kepada kematian pasien, atau bila terjadi iskemia akan berakibat kehilangan
tungkai, stroke, nekrosis dan
kegagalan organ multipel.
Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun
luka iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain
seperti syaraf, otot danjaringan lunak lainnya ataubersamaan dengan fraktur atau
dislokasipada ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau
transeksi komplit. Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang
inkomplit, sedangkan pada pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan
konstriksi pembuluh darah
sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, sekurang-kurangnya 2.6 juta orang dirawat di rumah
sakit setiap tahunnya karena trauma akibat kecelakaan. Kebanyakan pasien berumur
25-44 tahun, namun laki-laki muda adalah kelompok dengan risiko tertinggi karena
mereka sering melakukan aktivitas yang jugaberisiko tinggi. Secarakeseluruhan,
risikokematian yang disebabkan trauma akibat kecelakaan adalah tujuh kali lipat
lebih tinggi pada populasi pria daripada wanita. Penyebab kematian karena kecelakaan
di antaranya adalah
kecelakaan kendaraan bermotor,terjatuh, terbakar, tertembak, danterkena bendatajam.
Trauma vaskular perifer mencakup 80% dari total kasus trauma vaskular. Dan
kebanyakan dari trauma vaskular perifer tersebut terjadi pada ekstremitas bawah. Kasus-

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 34
kasus trauma vaskular tersebut terutama disebabkan oleh luka tembak kecepatan tinggi
(70- 80%), luka tusuk (10- 15%), dan lukatumpul (5- 10%).

Mekanisme Trauma
Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan
tumpul. Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau
deselerasi dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh
kehancuran dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang
spesifik akan memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada
arteri berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma,
konsekuensi hemodinamik, dan
mekanisme trauma.
Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE)
yang disalurkan kepadajaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan
2
(V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V /2. Rumus ini berlaku
baik untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek
lebih
siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.

Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketikajaringan bergerak menjauhi


titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab
trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang
disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadipada titik
fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi
baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbutransversal
(teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan, dan fraktur
jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara yang
diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang
bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan
oleh pemindahanjaringan.
Gejala klinis yang ditampilkanbergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.
Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung
proksimal
dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 35
parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma.
Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang
dapat berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas
dapat tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu
dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika
dilihat dari angiografi. Trauma inimemilikirisikotrombosis yang kecil, dan seringkali
dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat
menyebabkan
terbentuknya fistula arteriovena.
Tipe Trauma Gejala Klinis
Laserasiparsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia
Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal ketika fraktur
diluruskan

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 36
Diagnosis
Trauma vaskuler harus dicurigaipada setiap trauma yang terjadipada daerah yang
secara anatomis dilaluipembuluh darah besar. Hal ini terjadi terutama pada kejadian luka
tusuk, luka tembak berkecepatan rendah, dan trauma tumpul yang berhubungan
dengan fraktur dan dislokasi. Keparahan trauma arteri bergantung kepada derajat
invasifnya
trauma, mekanisme, tipe, dan lokasi trauma, serta durasi iskemia.
Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar, iskemia,
hematoma pulsatil, atau perdarahan dalam yang disertai tanda-tanda syok. Gejala
klinis paling sering pada trauma arteri ekstremitas adalah iskemia akut. Tanda-tanda
iskemia adalah nyeri terus- menerus, parestesia, paralisis, pucat, dan poikilotermia.
Pemeriksaan fisik yang lengkap, mencakup inspeksi, palpasi, dan auskultasi biasanya
cukup untuk mengidentifikasi adanya tanda-tanda akut iskemia. Adanya trauma
vaskular pada ekstremitas dapat diketahui denganmelihat tanda dan gejala yang
dialami pasien. Tanda
dan gejalatersebut berupa hard sign dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign


Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal
Perdarahan pulsatilyang aktif Riwayat perdarahan sedang
Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD utama
Thrill arteri dengan palpalsi manual Defisit neurologis
Bruit pada daerah cedera dan sekitarnya Hematoma sekitar lesi yang tidakmeluas
Hematoma yang meluas

Semuapasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan menunjukkan gejala


soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu cara yang praktis
adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal tersebut menandakan
adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula arteriovena harus
dipikirkan pada kasus trauma penetrasi ekstremitas yang didapati hematoma pulsatil
dengan disertai bruit
atau thrill.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 37
Adanya tanda trauma vaskular disertai fraktur terbuka merupakan suatu
indikasi harus dilakukan eksplorasi untuk menentukan adanya trauma vaskular.
Kesulitan untuk mendiagnosis adanya trauma vaskular sering terjadipada hematoma
yang luas pada patah tulang tertutup. Tanda lain yang bisa menyertai trauma vaskular
adalah adanya defisit neurologis baik sensoris maupun motoris seperti rasa baal
dan penurunan kekuatan motoris pada ekstremitas. Aliran darah yang tidak adekuat
dapat menimbulkan hipoksia sehingga ekstremitas akan tampak pucat dan dingin
pada perabaan. Pengisian kapiler tidak menggambarkan keadaan sirkulasi karena dapat
berasal dari arteri kolateral, namun
pentinguntuk menentukan viabilitas jaringan.
Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler
ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum
memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang
berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada
lesi
vaskularyang tertinggal.
Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan
sehingga akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi
dilakukan bila terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi.
Arteriografi juga dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang
multiple dan kondisi
kolateral yang ada.
Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan
perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini
terutama berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari
pengamatan karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk
melakukan angiografi di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas
yang berhubungan dengan dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1,
trauma penetrasi multipel pada ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis.
Berdasarkan laporan yang telah dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun
tumpul yang pulsasi ektremitasnya tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks
(ABI) yang ≥1, tidak memerlukan
pemeriksaan angiografinamun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.
Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara
yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 38
diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.
Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti
ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang
noninvasif dan tidakmenimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawake
sampaitempattidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan
ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka
kecacatan dan alat ini relatif lebih
murah.
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

Penatalaksanaan
Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa, tentunya
pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan definitif
dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan penekanan di atas
daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan karena dapat merusak
sistem kolateral yang ikutterbendung.
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6- 12 jam. Tanda-tanda iskemia yang

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 39
jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap adanya iskemia.

Penatalaksanaan Non Operatif


Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih
kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang
terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non
operatifbila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi
dinding arteri yang minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma,
tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat
dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama pada orang muda. Bila
pendekatan non operatifyang digunakan, disarankan untuk melakukan pencitraan
vaskular untuk memantau penyembuhan atau
stabilisasi.

Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk
terapi beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada
lokasi anatomis yang jauh. Coil bergunauntuk mengoklusi perdarahan dan fistula
arteriovenosa. Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah
dengan penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent
dan graft, perbaikan
endoluminalpada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat dimungkinkan.

Penatalaksanaan Operasi
Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan
seluruh ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah
kontralateral yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan
autograft vena. Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada
pembuluh darah yang
cedera dan diekstensike arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.
Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada
cedera. Arteriproksimal dikontrol dengan benang kasar yangmelingkari arteri (seperti
jerat) atau
bila perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 40
Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus
(thromboresistent plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen,
fasiotomi, fiksasi fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa
harus terburu-buru. Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang
berbahaya, namun pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke
bagian distal dapat
mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi
cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-
to- end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass
graft
berguna pada pasien dengan cederajaringan lunak ekstensif atau sepsis.
Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada
anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada
umumnya graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler.
Autograft vena pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa
perang Korea. Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan
penggunaan rutin bahan prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman
membuktikan bahwa ePTFE lebih tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik
lainnya dan memiliki tingkat patency
yanglebih tinggi ketika digunakan padaposisi di atas lutut.
Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat
dilakukan rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri.
Sebaiknya dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus
yang terjadi terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja.
Hal ini dapat menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka
amputasi pada penderita trauma vaskular dengan kerusakanjaringan lunak dan tulang
yang hebat serta membantu memperbaiki aliran arteri. Bila terjadi edema yang
mengganggu di daerah ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk
dilakukan fasiotomi. Dengan fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi
pada kapiler dan otot yang rusak kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan
trombus). Apabila tidak dilakukan fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren.
Pada oklusi parsial (robekan intima), bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi
yang tidak sempurna dan iskemia otot
menyebabkan meningginyatekanan kompartemen.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 41
Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan
batasan waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri
terlebih dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna,
terutama pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah
biasanya disertai
kerusakanjaringan lunak.
Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma
ekstremitas pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan
vaskular yang terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk
biasanya terjadi kerusakanjaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis
dan penderita akan kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi
dengan baik. Sedangkan fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh
darah dapat dengan cepat
ditangani, maka hasilnya akan jauh lebihmemuaskan.
Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan
graft (35%), dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor
resiko independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah
perbaikan arteri adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah
lutut, dan transeksi
arteri.
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan
angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:
a. Secepat mungkinmengenal dan memberikan perawatan
b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin
c. Mengerjakan trombektomike bagian proksimal dan distal
d. Pemakaian heparin yang sepantasnya
e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft.

Komplikasi
Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan
lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang
adekuat. Komplikasi yang dapatterjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula
arteri-vena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan
komplikasi yang dapat
terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 42
merupakankomplikasi lama.
Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan
teliti sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau
penatalaksanaan pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi
kelangsungan hidup
ekstremitas berupa amputasi, atauterjadi emboli paru.

a. Trombosis
Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi
yang paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil
yang memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima
kurang akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi
trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan
pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebihunggul dari koreksi
denganjahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma
yang luas. Beberapa
kesalahanteknis yang dapat menyebabkanterjadinya trombosis:
1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa
dinding arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan
menyebabkantrombosis.

2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya


dalamkasus iniuntukmelihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang arus
balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular
sebelah distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral.
Akhir-akhir ini sering dianjurkanuntukmembuat arteriografi pra-operatif pada
trauma luas.

3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada


anastomosis yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan
perbandingan 1:500 dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan
membersihkan sisa-sisa bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai
untuk membilas ke arah distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar.
Untuk meyakinkan tidak ada thrombus yang tertinggal dapat dilakukan
dengan memasukkan kateter balon Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan
secara hati-hati mendorong trombus keluar. Bila persediaan ada, maka
dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk menghancurkan
thrombusyangmasih tersisa.

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 43
4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang
berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila
dinding pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga
dapat terjadi bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana
anastomosis ujung ke ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2
cm sudah cukup untuk melakukan graft dengan interposisi vena autogen.
Sebaliknya juga jangan sampai terlampau panjang memakai vena sebagai
graft karena akan terjadi tekukan (kinking) yang dapat mengganggu aliran
darah laminar.

5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft
sintesis biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai
sebagai pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang
garis ini dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang
graft itu dilapiskan adventisia.

Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil
atau tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus
waspada, karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam
jangka waktu panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi
dengan segera melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis,
terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda distal
dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk
menunda operasi kedua sampai keadaanumummengizinkan karenatindakan operatif
yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila
cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan Doppler
(Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran
kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari
sumbatan.
Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan
adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah
keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah
lapisan intima atau robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada
inspeksi. Tetapi memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular,
yang biasanya dapat diatasi
dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain hydrochloride 1%.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 44
Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam
akan menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat,
sehingga
terjadikontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.
b. Infeksi
Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi trauma
vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi.
Untuk membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus
cepat ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang
adekuat, kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan
pemberian nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan
observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka
terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau
perlu luka dibilas dengan
larutan antibiotik.
Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak
saja karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi
juga berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau
eksanguinasi. Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan
distal dari daerah infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah
infeksi ini adalah debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan
larutan antibiotic secara teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang
terbaik. Infeksi adalah
penyebab kedua darikegagalan rekonstruksi arteripada trauma vaskular.
c. Stenosis
Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):
1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau
ketat atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh
tidak cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisajaringan pembuluh yang
rusak. Bila lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia
relatif pada otot yang akhirnya mengakibatkan suatuklaudikasio intermitten.

2. Hiperplasialapisanintimaterjadidijahitananastomosissetelahbeberapamingguatau
bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 45
d. Fistula arterivena
Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu
kelainan bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka
tembus yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung
mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk pada
tindakan arteri
yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.
Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan
mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke
jantung. Ini menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan
diastole akan menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena
setempat akan naik, sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang
setelah beberapa waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri
dan vena yang terlibat juga akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui
pintasan ini akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga
terbentuk seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah
jantung karena curahnya yang
bertambah.
Diagnosis fistula arterivenatidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma tajam,
adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi
terdengar bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula antara
pembuluh arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul sebelah distal
dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena yang
berkelok-kelok dan
disertai warna kulit yang agak kebiruan.
Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan
lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan
operasi adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah
vaskular juga berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada
proksimal dan distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi.
Bila mungkin pembuluh arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft
dengan vena autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit
lateral langsung. Kelainan struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri
dan vena traumatic biasanya
pasca operasi menjadi normal kembali.
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 46
e. Aneurisma Palsu
Penyebab aneurisma palsu adalah luka tembus yang merusak ketiga
lapisan dinding pembuluh arteri secara menyamping (tangensial). Kadang-kadang
disebabkan oleh kesalahan pada prosedur diagnostik atau terapi, yaitu kerusakan
dinding arteri yang disebabkan oleh jarum atau kateter atau kecelakaan pada waktu
operasi hernia nukleus pulposus dan fraktur ganda tulang pada kecelakaan lalu lintas.
Biarpun jarang trauma
tumpul juga dapat menyebabkanterjadinya aneurisma palsu.
Aneurisma traumatik dapat terbentuk di daerah yang secara
anatomik mengandung banyak jaringan ikat kuat dan bersekat, yang dapat mengadakan
tamponade terhadap hematoma. Kemudian dengan tumbuhnya lapisan endotel baru yang
berasal dari
pinggir luka lesi vaskular, maka terbentuklahrongga aneurisma palsu.
Benjolan yang berdenyut adalah tanda yang paling nyata dari aneurisma
palsu. Biasanya ada riwayat luka tembus. Berbatas tidak begitu tegas karena
benjolan ini terletak di bawah jaringa fasia yang kuat. Biasanya akan teraba getaran
sistolik pada seluruh benjolan ini, kadang disangka abses atau suatu neoplasma.
Dapat pula terjadi bersamaan dengan fistula arteri-vena. Pemeriksaan angiografi
diperlukan bila ragu atau bila letak lesinya sukar dicapai pada pemeriksaan di klinik.
Pemeriksaan sonografi dapat
pulamenolong untuk menentukan besar serta letak aneurisma palsu ini.
Dengan mencari dan mengikat sementara arteri proksimal dan distal dari lesi
ini, maka rekonstruksi arteri dapat dilakukan dengan leluasa. Kadang hanya
diperlukan beberapa jahitan lateral untuk menutup lesi arteri ini. Kemungkinan
penyembuhan secara
spontan sangat kecil.
f. Sindrom Kompartemen
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini dapat menekanpembuluh darah dan syaraftepi. Perfusi
menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau bahkan nekrosis
otot. Sindrom kompartemen ditandai oleh 5 P yaitupain, pulseless, paresthesia, pallor,
dan paralysis. Akibat dari sindroma kompartemen antara lain:
1. Kerusakanjaringan akibathipoksemia
Sindroma kompartemen dengan peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan
kolaps aliran darah lokal sering terjadipada cedera dengan hematoma otot, cedera
Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,
Banda Aceh 16 – 17 September 2017 47
remuk (crushed injury), fraktur atau amputasi. Bilatekanan perfusi (tekanan darah
sistolik) rendah, sedikit saja kenaikantekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi
lokal. Pada pasien normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada
tekanan sistolik sekitar 80mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting
terjadi pada
tekanan darah lebih tinggi.
2. Kerusakan akibatreperfusi
Jika hipoksemia lokal (tekanan IM tinggi, tekanan darah rendah)
berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus ekstremitas dengan syok
berkepanjangan, kerusakan akibat reperfusi sering lebih buruk dibanding
cedera primernya. Karena itu
dekompresi harus dikerjakan lebih awal, terutama kompartemen di lengan atas.

Kesimpulan
1. Trauma vaskular lebih sering terjadipada laki-laki daripada perempuan.
2. Trauma vaskular berhubungan dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma,
lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan mekanisme trauma.

3. Gambaran klinis dari trauma arteri dapat berupa perdarahan luar,


iskemia, hematoma pulsatil, atauperdarahan dalam yang disertaitanda-tanda syok.

4. Trauma vaskulermemerlukan diagnosis dan tindakan penanganan yang cepat untuk


menghindarkan akibat fatal berupa amputasi. Trauma pada pembuluh darah
juga menyebabkan ancaman pada kelangsungan hidup bagian tubuh
yang diperdarahinya

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 48
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008. H:50-65.
nd
2. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 Ed. USA:
Elsevier Saunders. 2004.

3. Bjerke HS, 2010. Extremity Vascular Trauma. From


emedicine.medscape.com/article/462753-treatmentandmanagement [Accessed
on : 19th October 2014]

4. Brohi K, 2002. Peripheral Vascular Trauma. From


: www.trauma.org/archive/vascular/PVTmanage.html. [Accessed on : 19th
October 2014]

5. Davies AH, Brophy CM (2006). Vascular Surgery. Springer Science &


Business Media.
6. Hands L, Sharp M, Ray-Chaundhuri S dan Murphy M (2007). Vascular Surgery.
Oxford University Press.
7. Hansen J.T., 2011. Netter’s Anatomy Coloring Book 2nd ed. :
Saunders Publications, United Kingdom.
8. Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2008. H:50-65.
9. Nuraini P, 2013. Ruptur Arteri Brachialis, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran.

10. Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2nd Ed. USA:
Elsevier Saunders. 2004.

Nasional Symposium & Workshop “Aceh Surgery Update 2”,


Banda Aceh 16 – 17 September 2017 49

Anda mungkin juga menyukai