Anda di halaman 1dari 23

VASCULER DISEASE

------------------------------------------------- RD - Collection 2002


-----------------------------------------------

Lapisan dinding arteri dan Vena terdiri dari :

Tunika Adventia
Mengadung reseptor alpha dan Betha yang berhubungan dengan vasodilatasi
dan vasokonstriksi pembuluh dara

Tunika Media
Pada arteri lebih tebal dari vena, sehingga vena jarang mengalami sklerosis

Tunika Intima endothel


Endothel memproduksi enzym dan mediator yang mempengaruhi timbunan
kolesterol, Triglyserda di tunika media serta mengatur vasodilatasi dan
vasokonstriksi

Dinding arteri normal terdiri atas tiga lapis yang kosentris, yaitu intima, media dan
adventisia. Bagian paling dalam intima terbentuk dari satu lapis sel endotel dan
berhubungan langsung dengan darah yang mengalir dalam lumen arteri. Lapisan
media terdiri hampir seluruhnya atas sel otot polos dan matriks ekstra seluler.
Lapisan adventisia merupakan jaringan ikat yang longgar dimana terdapat sebagian
besar vasa vasorum yang membawa nutrisi dinding pembuluh darah. Antara intima
dan media terlihat lamina elastik eksterna terletak diantara media dan adventisia,
tetapi tidak kuat seperti yang interna. Susunan struktur sistem vena menggambarkan
tekanan aliran darah yang rendah di dalamnya dan volume yang besar. Pembuluh
vena lebih besar dari arteri pasangannya dan mempunyai dinding yang tipis. Lapisan
media mempuyai sedikit sekali lapisan otot polos.

Trauma Vasculer

-------------------------- RD - Collection

2002

1.
2.
3.
4.

Servikal
Torasik
Abdominal
Ekstremitas

Trauma vaskuler dilaporkan pertama kali pada konflik senjata perang saudara zaman
Yunani dan Romawi, dan pada perang dunia pertama juga dilaporkan oleh ahli bedah
militer, dimana prosedur amputasi merupakan pilihan pertolongan pada trauma
vaskuler ekstremitas pada jaman itu. Debakey dan Simeone melaporkan dari 2471

tentara perang dunia ke II yang mengalami trauma vaskuler pada ekstremitas


dengan cedera arteri, dan yang dilakukan amputasi adalah lebih besar dari 40%,
dan
ligasi bukan merupakan prosedur pilihan saat itu melainkan adalah kontrol
perdarahan dengan penekanan.
Pada perang dunia ke II, repair dan interposisi grafting pada trauma vaskuler mulai
dikerjakan, tetapi tampa pemberian antibiotik dan pembedahan dilakukan dengan
tehnologi minimal, sehingga angka amputasi tetap tinggi yaitu 35%. Dengan
kemajuan di bidang pengetahuan dan tehnologi kedokteran militer, sehingga pada
perang Korea pembedahan sudah menetapkan standar dalam penanganan trauma
vaskuler pada ekstremitas, dan repair pada trauma vaskuler merupakan prosedur
pilihan dan diikuti pemberian antibiotik serta perawatan yang lebih baik sehingga
amputasi yang dilakukan pada trauma vaskuler menurun sekitar 15 %. Pada perang
Vietnam, angka amputasi lebih turun lagi sekitar 10 % yang disebabkan karena luka
senjata api, senjata tajam atau trauma tumpul pada truma vaskuler (Rich,1971).
Trauma vaskiler ektremitas membawa banyak dilema sulit dalam diagnosis dan
penaganannya. Ada kecenderungan yang masih berkembang berkembang dalam
penaganan trauma ini adalah langsung, lebih cepat, sedikit biaya, dan modalitas
diagnosisi kurang invasif, suatu pengertian maju mengenai implikasi terapi dari
presentasi klinis, repair trauma vaskuler yang bermakna, dan penggunan tehniktehnik tambahan secara bebas seperti fasciotomy.
Trauma vaskular dapat melibatkan pembuluh arteri dan vena. Bentuk dari lesi
vaskular tergantung dari penyebab atau mekanisme trauma. Dapat berupa lobang
kecil, robekan dengan atau tampa ada bagian yang hilang atau terpotong melintang.
Disamping ini bisa juga terjadi trauma dari luar berupa robekan intima yang
menutup aliran darah, hematoma intra mural dengan trombosis. Trauma vaskuler
sebagai komplikasi fraktur adalah jarang, tetapi merupakan trauma yang sangat
kompleks disertai dislokasi pada ekstremitas, yang sering terdapat bersamaan
dengan trauma pada organ lain seperti saraf, otot, dan jaringan lunak lainnya.
Bila pembuluh darah mendapat trauma, maka akan timbul ancaman terhadap
kelangsungan hidup bagian yang diperdarahinya. Diagnosis trauma vaskuler harus
diketahui sedini mungkin, agar dapat segera diambil tindakan cepat, dan sangat
penting dalam keberhasilan tindakan, oleh karena makin dini tindakan terhadap
trauma vaskular semakin baik hasilnya. Dan bila terlambat, akan dapat berakibat
fatal.

Patofisiologi
Trauma vaskuler mengakibatkan gangguan berupa sistemik, regional dan Lokal.
Efek sitemik mengakibatkan kehilangan darah selanjutnya menimbulkan syko
hipovolemik. Terputusnya aliran darah lebih 4 menit tanpa menunjukkan perubahan
histologi mengalami Iskhemik. Bila iskhemik berlanjut selama 6 jam akan timbul
perubahan histologik dan mungkin Irreversibel dengan referfusi. Pada trauma arteri,
ujung artei yang putus akan mengalami retraksi dan menyebabkan trombosis.
Perdarahan akan mengisi otot dan kompartemen fascial False Aneurisma.
Bila ada luka yang saling kontak antara arteri dan vena Fistula arteriovenosa.

saat pulsasi merupakan tanda trauma pada arteri, sedangkan bila terdapat darah
yang keluar berwarna kehitaman disebabkan trauma pada vena.

Macam-macam trauma arterial

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting sebagai indikator diagnosis
terjadinya trauma pada vaskuler, sehingga dapat mengevaluasi tindakan yang lebih
baik. Dan bila terdapat gejala yang menyokong adanya trauma pembuluh darah ini
seperti hematoma yang cepat membesar, perdarahan yang banyak atau memancar,
disertai denyut nadi yang melemah atau menghilang, perabaan yang dingin, pucat
(shock) atau bercak-bercak sianosis pada kulit. Dan pengisian kapiler penting untuk
diagnosis dan menentukan viabilitas jaringan. Walaupun pada pemeriksaan pertama
terdapat denyut nadi tapi pada kasus yang dicurigai ada trauma vaskuler harus
diperiksa ulang pada waktu tertentu, karena ada kemungkinan penyumbatan yang
terjadi kemudian.
Pulsasi arteri distal yang tidak teraba atau melemah sangat menyokong adanya
trauma pada pembuluh arteri, dan bila ada perdarahan pada fraktur terbuka maka
merupakan indikasi untuk melakukan eksplorasi, sedangkan hematoma yang luas
sulit dinilai misalnya pada patah tulang tertutup. Pada trauma arteri yang berat,
ekstremitas akan terlihat pucat dan dingin pada perabaan. Pengisian kapiler tidak
menggambarkan kedaan sirkulasi.
Pada penelitian terjadi iskemia pada distal trauma arteri ekstremitas mulai lebih dari
6 jam (golden periode), meskipun tidak selalu absolut dalam 6 jam pada seluruh
trauma. Yang terbaik adalah bila revisi vaskuler untuk perbaikan aliran darah ke
distal tidak melebihi batas aman (golden periode). Terdapatnya atau tidak kolateral
arteri akan terlihat pada periode ini. Darah yang keluar berwarna terang pada luka

Tipe dari trauma vaskuler bervariasi mulai dari lacerasi parsial ataupun komplet dan
dapat terjadi akibat trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung dapat
berupa robekan vasculer oleh fragmen fraktur tulang, cedera tumpul berupa
kontusio, kompresi, atau konstriksi (spasme). Trauma tidak langsung terjadi akibat
tarikan, misalnya pada ekstremitas akibat fraktur tulang atau akibat terjadinya
deselerasi mendadak, misalnya pada aorta. Bila pembuluh darah mendapat trauma,
maka akan timbul ancaman terhadap kelangsungan hidup bagian yang
diperdarahinya. Diagnosis trauma vaskuler harus diketahui sedini mungkin, agar
dapat segera diambil tindakan cepat, dan sangat penting dalam keberhasilan
tindakan, oleh karena makin dini tindakan terhadap trauma vaskular semakin baik
hasilnya. Dan bila terlambat, dapat berakibat fatal.
Prinsipnya pada trauma tajam dan tumpul pada vaskuler, harus menentukan jumlah
perdarahan, lokasi dan hematom pada tepi sekeliling luka dan tidak terdapat thrill
atau bruit. Bila terdapat hematom yang besar disertai pulsasi perdarahan pada luka,
dicurigai adanya trauma vaskuler pada arteri.dan trauma vaskuler pada vena
biasanya disertai hematom tampa adanya pulsasi. Bila ditemukan tidak terdapatnya
pulse palpasi pada distal ekstremitas disertai pucat, poikilothermia, pain,
parestehesia atau anesthesia, dan terdapatnya paralysis merupakan tanda dan
indikasi yang berat pada trauma vaskuler.

Arteri
Untuk mengetahui adanya kerusakan pembuluh darah harus diperiksa :
1.
Bagian distal cedera
2.
Suhu
3.
Pulsasi
4.
Warnanya

Trauma Tajam
Trauma tajam arteri pada vaskuler dibedakan menurut berat cederanya.
Derajat I Robekan tunika adventitia dan sebagian media., Perdarahan(-),
Iskemia(-), Komplikasi lanjut aneurisme
Derajat I adalah robekan adventisia dan media, tampa menembus
dinding. Secara klinis tidak ada perdarahan luar sekitar arteri dan
tidak ada tanda iskemia didistalnya. Mungkin akan terjadi
komplikasi lanjut berupa perdarahan lambat, aneurima traumatik,
atau fistel arteri-vena. Trauma derajat I ditangani dengan
penjahitan tumpang.

yang kadang ruptur spontan. Tindakan bedah yang diperlukan


adalah reseksi dan anastomosis.
Derajat II Robekan parsial mengenai seluruh lapisan dinding, Perdarahan (+)
Derajat II adalah robekan parsial sehingga dinding arteri juga terluka
dan biasanya menyebabkan perdarahan hebat karena tidak mungkin
terjadi retraksi. Perdarahan ini mungkin terjadi terus sampai
penderita kehabisan darah jika ada luka terbuka di kulit. Tanda
iskemia di distal tidak selalu ada. Komplikasi lanjut dapat berupa
hematoma luas, trombosis, fistel arteri-vena, dan aneurisma spurium
(palsu). Trauma demikian memerlukan anastomosis dan penjahitan
jelujur dengan atau tampa reseksi. Kemudian dipasang protesis
pembuluh.
Derajat III Pembuluh putus total, Perdarahan(+) tidak banyak karena
konstriksi pembuluh darah yang putus, iskemi(+)
Pada derajat III pembuluh darah putus total. Gambaran klinik
menunjukkan perdarahan yang tidak besar. Arteri akan mengalami
vasokonstriksi dan retraksi sehingga kejaringan karena
elastisitasnya. Itu sebanya perdarahan sedang aja, Iskemia tampak
jelas di distal. Komplikasi lanjut yang mungkin lanjut terjadi pada
derajat ini adalah syok hemoragik hipovolemik dan hematoma yang
berdenyut. Trauma derajat III ini sering terjadi akibat luka tusuk
(vulnus iktum) atau laserasi.Penaganan bedah berupa anastomosis
antara kedua puntung arteri dengan atau tampa interposisi cangkok
pembuluh atau interposisi protesis.

Derajat III

Kerusakan seluruh tebal dinding arteri diikuti tergulungnya


tunika mediadan intima kedalam lumen. Perdarahan(+) ,
iskemi(+) di distal , Komplikasi lanjut trombosis, stenosis arteri
total dan ruptur spontan
Derajat III merupakan kerusakan seluruh tebal dinding arteri
diikuti tergulungnya tunika intima dan media kedalam lumen
serta pembentukan trombus pada tunika adventisia yang utuh.
Tidak tampak perdarahan luar, tetapi terdapat iskemia yang jelas
didistal. Komplikasi lanjut berupa trombosis, stenosis arteri total,
dan ruptur spontan. Penanganan berupa reseksi dan interposisi
cangkok vena atau prostesis pembuluh.

Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada arteri juga dapat dibagi dalam beberapa derajat.
Derajat I Robekan tunika intima luas, Komplikasi lanjut penyempitan lumen
karena trombus
Derajat I adalah robekan tunika intima yang luas. Kelainan ini
dapat menunjukkan gejala atau tanda setempat maupun perifer.
Komplikasi lanjutnya adalah penyempitan lumem arteri karena
pembentukan trombus, mungkin sampai terjadi stenosis arteri.
Penangulangannya berupa reseksi dan anastomosis pembuluh
darah.
Derajat II

Robekan Tunika intima dan media disertai kematian dan


trombosis dinding arteri. Perdarahan (-), iskemi(+) di distal
Pada derajat II, terjadi robekan tunika intima dan tunika media
disertai hematoma dan trombosis dinding arteri. Secara klinik tidak
terdapat perdarahan dari luar, tetapi terdapat iskemik di distal.
Komplikasi lanjut dapat berupa emboli arteriyang mungkin akut.
Bila terjadi diseksi dinding arteri dapat terbentuk aneurisma vera

Derajat trauma vaskular

Robekan Tunika Intima mengakibatkan :


Terbentuknya trombus disekitar intima yang terluka emboli
Robekan melebar kearah memanjang sepanjang lapisan antara intima dan tunika
media atau menembus keluar ke tunika adventitia , beberapa hari / minggu
aneurysma. Yang menimbulkan gangguan peredaran darah disebelah distalnya.
Trauma arteri terjadi akibat trauma tumpul (Crush Injury) dan penetratum. Prioritas
penanganan meliputi pengendalian jalan nafas, Restorasi volume darah sirkulasi.
Pemeriksaan fisik yang penting :
Adekuasi perfusi distal bandingkan dengan sebelah
Refilling kapiler
Warna ektremitas
Suhu
Status neurologis fungsi sensoris di distal trauma
Untuk menguji adanya kompresi mekanis vaskuler di proksimal dengan :
Allen test, manuver Adson, manuver Costoclavicular dan manuver Hiperabduksi.

Penanganan

Resusitasi cairan
Hentikan perdarahan
Jangan dipasang Torniquet karena bagian distal akan semakin buruk

Akibat Trauma Arteri menimbulkan :


Inkomplet transection
Komplet Transection
Laserasi dengan komplikas
Luka Tertutup
ANEURISMA diketahui dengan :

Pembengkaan (+)

Pulsasi (+)

Suara bising (+)


Repair primer arteri perifer dijahit dengan Polypropylen 5/0 atau 6/0 secara
kontinyu untuk mencegah pengecilan lumen. Bila repair tidak memungkinkan maka
diperlukan Graft dari Vena Saphena (Graft of Choice) atau dipakai
Polytetrafluoroethylene (PTEE) graft. Untuk tungkai bawah dipilih a. Tibialis
posterior sebagai resipien. Adekuasi repair sebaiknya ditentukan dengan arteriogram
intra operatif sehingga bila terjadi inadekuasi langsung dikoreksi saat itu juga.

Trauma arteri pada :


Ekstremitas Superior aa.axillaris, a.brachialis, a.radialis, a.ulnaris
Ekstremitas Inferior
aa.femoralis, profunda femoralis, a.poplitea, vasa
tibioperonea

Vena
Trauma pada vena biasanya akibat trauma tumpul 7%, luka tembak 52% dan luka
bacok 36%.
Penanganan ditujukan pada kontrol perdarahan dengan cara Penekanan digital atau
balutan penekanan, untuk mencegah perdarahan dan masuknya udara kedalam
sistem vena karena dapat menimbulkan Emboli udara. Repair trauma venosa jarang
timbul Trombophlebitis atau embolisme pulmoner.

Macam Tindakan Bedah pad Vaskular :


1.Bedah Rekontruktif
Interposisi menjahit tembelan dari segmen yang rusak
Patch mengganti segmen yang rusak dengan vena /protesa
By pass penambahan dari vena yang rusak
2.Bedah Paliatif
Tujuan : Mengurangi nyeri, Membuat vasodilatasi,
rekontruksi gagal
- Simpatektomi ganglion
- Simpatektomi Perivaskuler
3.Bedah Invasif Endoluminal
- Endotelektomi
- Balon dilatation
- Ablasi Laser
- Pemasangan Sten

Dikerjakan bila

4.Obat-obatan
- Vasodilator (Ca antagonis)
- Antikoagulansia (hentikan trombosit)
- Plasminogen Activator (menambah trombolisis)
Tindakan bedah pada arteri atau vena harus dengan syarat :
Klem atraumatik Bulldog, Alligator
Bengang atraumatik dengan jarum kode round
Benaang ukuran 6,0
Tehnik jahitan kontinyu suture

Arah jahitan melintang untuk menhindari mengecilnya diameter pembuluh darah


Diberikan Heparin 25 mg iv (2500 U BP) sebelum pengeklemen pembuluh darah
dan diulang tiap jam bila tindakan penjahitan belum selesai
Penaganan awal trauma vena dalah kontrol perdarahan, penekanan distal atau
balutan penekanan biasanya akan mengendalikan perdarahan vena dan mencegah
udara masuk (emboli udara) kedalam sitem vena. Bila ekstremitas tidak iskemik,
repair awal terhadap vena yang terluka akan memberikan fasilitasi untuk repair
arterial. Trauma vena ektremitas superior sebaiknya sebaiknya direpair jika
mungkin, tetapi ligasi biasanya tidak akan mengakibatkan morbiditas yang lama.
Trauma vena ekstremitas inferior sebaiknya direpair jika mungkin, terutama vena
femoralis dan vena poplitea. Walaupun pada akhirnya terjadi trombosis pada
beberapa repair, periode waktu patensi dapat menurunkan udema akut, menurunkan
perdarahan didistal dan membantu patensi arteri. Jika ligasi diperlukan, bed rest
yang ketat dan elevasi regimen memberikan keuntungan yang bermakna dalam
menurunkan morbiditas. Tidak tampak adanya kejadian tromboflebilitis atau emboli
pulmoner yang mengikuti repair trauma vena.

Adanya pulse di distal terhadap area yang terkena adalah biasa dijumpai karena
sindroma ini memperngaruhi mikrosirkulasi daripada makrosirkulasi.
Manuver diagnostik lebih jauh termasuk pengukuran tekanan intrakompartemen .
Caranya dengan menerapkan tehnik infus, kateter Wick, kateter transuder padat.
Walau umumnya sindroma kompartemen dapat didiagnosis secara klinis, namun
teknik ini berguna bila memperlakukan pasien yang tidak responsif atau tidak
kooperatif. Tekanan internal dimana pada otot iskemia terjadi nekrosis adalah
kontroversial, tetapi pada level 30-40 mmHg disimpulkan sebagai indikasi fasiotomi
(Wilgis,1983; Gomez dan Martin, 1989). Tekanan intrakompartemen normal adalah
8 mmHg (Wilgis,1983) atau kurang dari 10 torr (Shackford dan Rich,1991).

Trauma tumpul vaskuler pada ekstremitas sering disertai fraktur tulang panjang.
Trauma tulang yang sering menimbulkan trauma vaskuler adalah fraktur femur,
fraktur supracondiler humeri, dan luksasi genu. Komplikasi trauma vaskuler dapat
terjadi setelah dilakukan perbaikan lesi pembuluh darah, atau lama setelah trauma
berlalu tampa tindakan yang adekwat :
1. trombosis
2. infeksi
3. stenosis
4. fistula arteri-vena
5. aneurisma palsu
Trombosis, infeksi dan stenosis merupakan komplikasi yang dapat terjadi segera
pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu merupakan
komplikasi lama.
Sindroma kompartemen adalah suatu keadaan dimana tekanan tinggi dalam suatu
ruang fascial tertutup menurunkan perfusi darah kapiler dibawah garis yang
diperlukan untuk viabilitas jaringan (Mubarek dan Hargens cit. Gomez dan Martin,
1991). Dalam hubungannya dengan trauma ekstremitas, sindroma kompartemen
dapat mengakibatkan iskemia berkepanjangan akibat trauma arteri dan reperfusi,
trauma jaringan lunak yang luas, atau fraktur dengan komplikasi perdarahan.
Penyebab paling sering sindroma kompartemen adalah fraktur (sebagian besar
fraktur tibia), sumbatan arterial akut, dan trauma jaringan lunak dan dapat juga
disebabkan oleh balutan konstruktif dan cast, dimana saat elevasi ekstremitas dapat
menyebabkan perubahan iskemik dengan menurunkan aliran arterial.
Diagnosis sindroma kompartemen sering bergantung pada adanya kehilangan funsi
dan sensor, meskipun nyeri biasanya gejala pertama yang diketahui. Sering satusatunya tanda fisik yang ada adalah pembekakan dan kompartemen yang tegang.

Pengukuran tekanan intra-kompartemen

Penunjang
Arteriografi sangat jarang diperlukan dan hanya pada kasus tertentu saja, misalnya
bila terdapat keraguan antara spasme arteri atau sumbatan, dan pada kasus yang
masih diragukan diagnosisnya (untuk diagnosis dini) atau untuk menentukan lokasi
yang tepat dari trauma untuk kita lakukan eksplorasi. Pendapat lain menulis lebih
baik membuka dan memeriksa kerusakan arteri dari pada menunggu hasil
arteriografi supaya tindakan tidak terlambat. Sebaliknya yang berguna adalah
arteriografi intra-operatif dengan maksud supaya dapat langsung mengetahui hasil
rekonstruksi, apakah masih ada lesi vaskuler yang ketinggalan. Arteriografi bukan
merupakan prosedur rutin dalam menegakkan diagnosis, karena waktu yang
dibutuhkan untuk melakukannya akan membiarkan waktu iskemia ekstremitas yang
lebih lama berlangsung. Arteriografi dikerjakan bila terdapat keragu-raguan
diagnosis, pada re-eksplorasi dan pasca-operasi. Akhir-akhir ini arteriografi juga
dianjurkan pada trauma luas (crush injuries) untuk mengetahui lesi vaskuler yang
multipel dan kondisi kolateral yang ada. Dengan pemeriksaan cara Doppler,

(merekam pantulan gelombang suara sel darah merah) dapat dipelajari keadaan aliran
darah dalam pembuluh arteri. Selain untuk diagnosis alat ini juga digunakan untuk
menilai pasca anastomosis arteri.
Setiap kerterlambatan dari tindakan dapat menyebabkan kegagalan tindakan,
walaupun golden period 6-12 jam adalah relatif. Edward dan Lyons mendapatkan
jarangnya terjadi gangren pada rekonstruksi vaskuler dalam 6 jam, tapi terdapat
lebih dari 50 % bila perbaikan setelah 12 jam. Tanda-tanda iskemia yang jelas
terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak tahan
terhadap iskemia. Trauma arteri tidak semua perlu direpair atau hanya diligasi.
Biasanya pada arteri yang mempunyai kolateral. Sebaliknya bila tidak mempunyai
kolateral harus segera direpair. Insisi pilihan untuk pemaparan masing-masing arteri
adalah penting.
Bila disertai dengan perdarahan yang banyak, maka harus segera diatasi dengan
penekanan diatas daerah yang berdarah , jangan dipasang torniket dalam waktu yang
lama karena merusak sistem kolateral yang ikut terbendung. Pertama-tama
arteri
proksimal harus dikontrol perdarahannya, biasanya dengan benang kasar yang
melingkar arteri (seperti jerat) kalau perlu dengan klem vaskuler. Ini supaya kita
dapat bekerja dengan baik (lapangan operasi baik). Juga arteri bagian distal harus
dijerat.
Kadang-kadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus
(thromboresistent plastic tube). Pintasan ini mempunyai beberapa keuntungan,
yaitu : mencegah iskemia selama operasi, dapat dilakukan perfusi bagian distal
dengan larutan heparin kalau perlu dengan tekanan, dan bisa melakukan
debridement luka dengan leluasa, rekontruksi vena dan fiksasi dari fraktur sebelum
menyambung arterinya sendiri. Pemakaian Forgaty ballon catheter penting sekali
artinya disini. Dilakukan pengeluaran trombus sebelum pemasangan tube. Pada
waktu anastomosis arteri sesaat sebelum selesai jahitan, kateter ini diangkat. Pada
trauma pemakaian heparin sistemik berbahaya, tapi dosis kecil dari heparin yang
diberikan langsung terutama kebagian distal dapat mencegah terbentuknya trombus.
Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dari mekanisme trauma. Teknik jahitan
tak banyak berubah sejak Carrel di tahun 1907 mengemukakan cara anastomosis
langsung. Adventisia harus jelas pada ujung arteri, jahitan harus mengenai seluruh
lapisan, terutama intima harus terbawa dalam jahitan. Bentuk jahitan apakah satusatu atau jelujur tergantung keadaan. Umumnya arteri yang kecil sebaiknya satu-satu
yang lebih disenangi bahan sintesis yang atraumatik dan monofilamen (prolene dan
lain-lain) daripada sutra.
Setelah bagian proksimal dan distal dibebaskan dapat dilakukan anastomosis. Tetapi
penyempitan atau tegangan harus dicegah atau tegangan harus dicegah. Untuk ini
dapat dilakukan penambalan atau graft dengan vena autogen. Pada umumnya vena
graft autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Seringkali
kerusakkan vaskuler terjadi bersamaan dengan kerusakkan jaringan lunak
sekitarnya, sedangkan perlindungan oleh jaringan lunak ini sangat penting artinya
untuk kesembuhan. Kadang-kadang kita harus meletakkan vena autogen tadi pada
tempat yang bukan anatomis. Kalau kita memerlukan vena safena, sebaiknya

diambil pada sisi yang tidak sakit supaya tidak mengganggu sistem vena
ekstremitas yang bersangkutan. Letak vena ini harus dibalik dengan lumen yang
sama atau lebih besar sedikit dari arterinya. Kalau terpaksa sekali dapat dipakai
dacron, dengan melakukan preclotting lebih dulu.
Bila ada kerusakan vena bersama dengan arteri, seharusnya dilakukan penyembuhan
vena lebih dahulu setelah mengeluarkan trombus yang terjadi terutama pada vena
utama. Vena yang kecil bisa diikat saja. Bila edema mengganggu aliran darah
diekstremitas, maka fasiotomi sebaikya dipertimbangkan. Biasanya perbaikan
pembuluh darah dilakukan setelah fiksasi tulang, walaupun beberapa ahli melakukan
sebaliknya, tetapi pada ekstremitas yang iskemia perbaikan pembuluh darah harus
didahulukan.
Tindakan yang sering dikerjakan pada rekontruksi pembuluh darah ialah
anastomosis ujung ke ujung atau anastomosis dengan graft vena safena magna,
dianjurkan pemakaian graft bila kehilangan arteri lebih dari 1,5 cm. Ligasi arteri
femoralis, arteri poplitea, arteri aksilaris dan arteri bracialis tidak dibenarkan.
Sedangkan arteri lain tergantung dari vaskulerisasi distal. Pada semua trauma
dengan kelainan sendi harus dicari apakah ada kelainan vaskuler.
Fasiotomi dipertimbangkan pada keadaan meningginya tekanan kompartemen pada
cedera arteri yang dapat terjadi dan dikerjakan pada awal operasi atau setelah
perbaikan arteri selesai. Ada dua teknik fasiotomi untuk tungkai bawah bawah.
Pertama adalah fibulektomi yaitu suatu manufer teknis yang ekstensif yang tidak
digunakan lagi. Umumnya ahli bedah menggunakan tehnik kedua, yang
dipopulerkan oleh Mubarak dan Owen, karena cara ini dapat dikerjakan dengan
cepat dan aman. Suatu insisi kulit anterolateral yang panjang dibuat 2 cm sebelah
anterior shaft fibula; setelah kompartemen fascia anterior dan lateral dibuka secara
terpisah, suatu insisi kulit posteromedial dibuat 2 cm sebelah posterior shaft tibia.
Jaringan sub kutan didorong dengan diseksi tumpul, dan kompartemen posterior
profunda dan superficialis terbuka secara terpisah (Shackford dan Rich,1991).
Lengan bawah mengandung dua kompartemen, yaitu volar dan dorsal. Kopartemen
volar dapat dibuka dengan suatu insisi tunggal dari area tepat proksimal fossa cubiti
meluas ke distal ke pertengahan tangan, termasuk pembebasan canalis carpi.
Kompartemen dorsal biasanya dibuka melalui suatu insisi panjang, sepanjang lengan
bawah dan melalui fascia dorsalis (Gomez dan Martin,1991).
Fasiotomi merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mengatasi
sindroma kompartemen yang sedang berkembang dan sebagai modalitas penaganan
bila diperberat oleh adanya trauma vaskuler, namun demikian tindakan fasiotomi
akan memperpanjang masa tinggal di rumah sakit untuk keperluan penyelamatan
anggota gerak dan harus diwaspadai adanya kemungkinan terjadinya komplikasi,
yaitu infeksi (Field et al,1994).
Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskuler adalah untuk menurunkan
angka amputasi. Dasar dari keberhasilan suatu rekontruksi arteri adalah secepat
mungkin mengenal dan memberikan perawatan, arteriografi preoperatif dan
intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin, mengerjakan trombektomi kebagian

proksimal dan distal, pemakaian heparin yang sepantasnya dan lebih mengutamakan
pemakaian vena autogen sebagai graft.
Pemakaian vena safena magna dalam bedah vaskuler dianjurkan oleh Kunlin (1951)
dan Linton (1955). Pada mulanya setelah arterektomi dilakukan end to end
anastomosis. Ternyata banyak terjadi kerusakan jaringan kolateral.
Juga kemungkinan besar akan terbentuk penyempitan pada anastomosis (Linton,
1955). Oleh Kunlin dianjurlan end to side anastomosis. Vena safena magna
merupakan graft of choise.
Keuntungan dari pintasan dengan vena autogen ini adalah :
a. Tidak terdapat reaksi antigen atau alergi.
b. Tidak diperlukan tempat pengawetan
c. Tidak ada perdarahan basar sewaktu anastomosis dibuka seperti pada
pemakaian prostesis yang sintesis
d. Cabang-cabang pembuluh darah dapat dipertahankan pada anastomosis ujung
ke sisi
e. Sesuai dengan kehendak alam maka disini sistem kolateral diperbaiki dengan
aliran darah yang besar
f. Tidak terlihat aneurisma kecuali kalau lupa meletakkan venanya secara terbalik
g. Didaerah sendi tidak akan tertekuk seperti pemakaian protesis sintesis
Kerugian dari pintasan dengan vena autogen ini adalah sebagai berikut :
a. Vena safena kadang-kadang tidak cukup panjang untik melintasi daerah
obstruksi. Ini dapat diatasi dengan memakai teknik pelebaran pada anastomosis
yang proksimal. Pada beberapa kasus vena safena mungkin tidak terbentuk atau
terlampau sempit. Ini dapat diatasi dengan memakai vena kubiti
b. Vena tidak dapat dipakai untuk mengganti pembuluh darah yang besar seperti
aorta atau arteri iliaka, karena sering terbentuk aneurisma
c. Operasi lebih sukar karena vena lebih lekas robek
d. Untuk mengambil vena diperlukan sayatan operasi yang panjang. Sering
diperlukan nekrosis dari pinggir sayatan dan peradangan.
e. Pada beberapa kasus vena safena magna mungkin tidak terbentuk terlampau
sempit. Ini dapat diatasi dengan mamakai vena kubiti.
Pemakaian graft sintesis seperti gelas dan alumunium, perak, vitallium dan
polyetetrafluoroethylen (PTEE) pernah dipakai dalam usaha untuk mengganti arteri
dengan graft sintetis (Martin et al;1994). Kemudian Voorhees Cs (1952) berhasil
membuat pipa berpori dari Vinyon-N yang cocok untuk pemakaian klinik. Sekarang
kita mengenal juga nylon. Teflon dan dacron (Meijme, 1957) yang berpori dan
dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dibengkokkan tampa kerusakan yang berarti.
Martin et al.(1994) menggunakan stented graft untuk menangani trauma arterial,
dengan mempertimbangkan keuntungan menurunkan kehilangan darah, merupakan
prosedur yang kurang invasif, menurunkan kebutuhan anestesia, dan diseksi terbatas
pada medan yang terkena trauma. Pemasangan endovascular stented graft yang
mengandung
polyetetrafluoroethylen tubuler 6 mm (Goretex) dan ballon
expandable stents oeh Marin dan Veith (1995) telah berhasil untuk menangani

trauma arterial. Penjahitan graft dengan menggunakan polypropylen 5-0 atau 6-0
secara kontinyu, jahitan terputus diperlukan untuk vasa kecil. Adekuasi repair
sebaiknya ditentukan oleh arteriogram intra-operatif, sehingga ditemukan
inadekuasi dapat dikoreksi pada saat itu juga. Heparinisasi dapat dipakai dalam
batas tertentu.
Luka diirigasi dengan larutan antibiotika kemudian ditutup lapis demi lapis,
dikarenakan 75% yang menerima graft pada trauma vaskuler mengalami kegagalan
akibat infeksi dan trombosis.
Oleh Klopper dirumuskan syarat-syarat bagi suatu protesis pembuluh sebagai berikut :
a. Bentuk yang tidak berubaholeh pengaruh cairan jaringan atau bahan kimia lainnya
b. Tidak menjadi rusak bila disteriliser dalam autoklaf
c. Dapat dibuat dengan mudah dan dengan harga yang relatif murah
d. Tidak menimbulkan reaksi radang atau alergi
e. Tidak menambah reaksi pembekuan
f. Tidak merangsang pembentukan tumor
Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi kerusakan jaringan yang berat yang
dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan kehilangan tungkai biarpun
pembuluh darahnya pasca rekontrusi berfungsi dengan baik. Mempertahankan
ekstremitas tidak realistik dan tidak akan berguna, bila fungsi seutuhnya tidak dapat
dikembalikan. Karena itu amputasi primer pada kasus trauma vaskuler dengan
kerusakan jaringan dan tulang yang berat tidak dapat dianggap sebagai kegagalan
penatalaksanaan trauma. Lange dkk, mengusulkan protokol untuk diterapkan pada
trauma vaskuler.
1.
Indikasi absolut amputasi primer :
a. Bila saraf terputus total pada penderita dewasa
b. Bila trauma dengan kerusakan remuk yang mempunyai iskemia lebih
dari 6 jam
2.
Indikasi relatif :
a.
Bila trauma berganda pada anggota tubuh lain
b.Bila terdapat trauma berat pada ekstremitas yang sama
c.Bila diperkirakan tidak cukup jaringan untuk menutup luka.
Pemakaian heparin bertujuan mencegah terjadinya komplikasi sumbatan karena
terbentuknya trombus pada anastomosis arteri atau vena khususnya pada pemakaian
graft. Mekanisme kerja heparin mengikat antitrombin III membentuk kompleks yang
berafinitas lebih besar dari antitrombin III sendiri, terhadap beberapa faktor
pembekuan darah aktif, terutama trombin dan faktor Xa. Sediaan heparin dengan
berat molekul rendah (<6000) beraktifitas anti-Xa kuat dan sifat antitrombin sedang,
sedangkan sediaan heparin dengan berat molekul yang tinggi (>25.000) beraktifitas
antitrombin kuat dan anti-Xa yang sedang.

Penyakit2 Arteri Akut :

Penyakit Arteri Perifer Oklusi-RD-Collection

2002

Kelainan sumbatan arteri kronik yang sering menyebabkan gangguan aliran darah,
dikelompokkan :
1. Angioneuropati merupakan kelainan vasomotor arteri, misalnya penyakit
Raynaund
2. Penyakit arteri oklusi disebabkan oleh proses degenerasi seperti
arteriosclerosis (atherosklerosis) atau proses radang seperti pada endangiitis
obliterns (Winnewarter- Buerger).
3. Angiopati adalah reaksi abnormal pada pembuluh darah terminal, misalnya
akrosianosis esensial.
Penyakit arteri oklusi kronik merupakan penyakit sumbatan kronis pada arteri yang
sering diderita oleh orang tua, karena penyakit ini sering akibat dari atherosklerosis
yang berkembang hampir sejajar dengan pertambahan usia. Insidensi penyakit arteri
oklusi kronik berkisar 10%-15% pada orang dengan usia diatas 70 tahun. Laki-laki
dan perempuan memiliki resiko yang sama menderita penyakit arteri oklusi kronik,
namun demikian atherosklerosis pada ekstremitas inferior lebih sering diderita oleh
laki-laki. Arteri ekstremitas inferior lebih sering mengalami oklusi dibandingkan
ekstremitas superior. Selain itu gejala dan tanda yang muncul lebih sering pada
ekstremitas inferior, hal ini mungkin disebabkan karena lebih berlimpahnya
sirkulasi kolateral dan rendahnya kejadian atherosklerosis pada ekstremitas
superior.
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya penyakit arteri oklusi kronik
adalah kebiasaan merokok, penderita diabetes, riwayat keluarga menderita
atherosklerosis, tekanan darah tinggi, level kolesterol yang tinggi, orang yang
gemuk dan orang yang tidak aktif secara fisik.

Definisi
Oklusi arteri perifer baik akut maupun kronis, Pada Arteriografi gambaran
penyempitan sampai dengan pembuntuan sehingga timbul arteri2 kolateral.
Secara anatomis penyakit ini didefinisikan sebagai penyakit arterial atherosklerotik,
sedangkan secara fungsional didefinisikan sebagai penyakit penyempitan arteri yang
menyebabkan ketidak-seimbangan antara suplai oksigen ke jaringan dan kebutuhan
jaringan terhadap oksigen sehingga menimbulkan gejala-gejala klaudikasio
intermiten, keterbatasan aktifitas atau kehilangan jaringan.

Anatomi Arteri Perifer


Ekstremitas Inferior
Bifurkasio aorta abdomen bercabang menjadi a. iliaca communis dexter dan sinister.
A. iliaca communis bercabang menjadi a. iliaca externa dan interna. A. iliaca externa
melanjutkan diri ke distal dari ligamentum inguinal sebagai a. femoralis communis,
yang kemudian menjadi a. femoralis superficialis dan a. femoralis profundus . A.
femoralis superficialis hanya mempercabangkan a. genicular suprema. A. femoralis
profunda biasanya muncul 3-4 cm dibawah ligamentum inguinal dan bercabangcabang menjadi a. circumflexa femoris lateral, a. circumflexa femoris medial dan aa.
perforantes. Cabang-cabang ini beranastomosis dengan cabang-cabang a. iliaca
interna untuk memberikan sirkulasi kolateral jika terdapat oklusi pada a. iliaca
externa.
Arteri femoralis superficialis turun ke bawah belakang lutut dan menjadi a. poplitea
setelah melewati kanalis adductorius. Di bawah lutut, a. poplitae langsung
melanjutkan diri sebagai trunkus tibioperoneal setelah mempercabangkan a. tibialis
anterior. Bifurcatio trunkus tibioperoneal membentuk a. tibialis posterior dan a.
peronealis. Pada regio genu, a. poplitea bercabang menjadi a. genicular dan a.
suralis. Dua a. genicular superior, a. genicular media dan dua a. genicular inferior
membentuk jaringan anastomosis disekitar lutut dan kemudian 2 atau 3 arteri
memberikan darah pada m. gastrocnemius.
Arteri recurrent tibialis anterior merupakan cabang penting a. tibialis anterior ke
proximal dan berhubungan dengan anastomosis genicular. A. tibialis anterior turun
ke bawah dan mensuplai kompartemen anterior cruris dan melanjutkan diri ke
dorsum pedis sebagai a. dorsalis pedis. A. tibialis posterior memberikan cabang ke a.
peronealis dan sebuah cabang kecil memberikan anastomosis ke anyaman genicular
genu. Cabang utama ketiga a. poplitea adalah a. peronealis yang memberikan cabang
perforantes di atas ankle joint yang menghubungkan a. tibialis anterior dan a. tibialis
posterior. Pada pedis, a. tibialis posterior bercabang menjadi a. plantaris medial dan
a. plantaris lateral. A. dorsalis pedis bercabang menjadi a. tarsalis lateral, a. tarsalis
media, a. arcade dan arcus plantaris. Semua cabang-cabang itu bergabung
memberikan suplai darah ke kaki. Meskipun arteri yang paling sering terkena
adalah a. femoralis superficialis distal, biasanya lebih dari 1 lokasi yang terlibat pada
saat yang sama. Arteri poplitea sendiri sering terlibat. A. tibialis anterior sering
terlibat terutama pada penderita diabetes.

Ekstremitas Superior

Arteri subclavia melanjutkan diri ke distal menjadi a. axillaries setelah melewati


celah antara m. scalenus anterior dan m. scalenus medius. Di dalam fossa axillaris, a.
axillaris bercabang menjadi a. thoracica suprema, trunkus thoraco-acromialis, a.
thoracalis lateral, a. subscpularis, a. circumflexa humeri posterior dan a. circumflexa
humeri anterior. Dua arteri terakhir akan beranastomosis dengan ramus ascendens a.
profunda brachii.
Arteri axillaris berubah menjadi a. brachialis setelah melewati ventral dari insersio
m. pectoralis major. A. brachialis bercabang menjadi a. profunda brachii, a.
collateralis ulna superior dan a. collateralis ulna inferior. A. profunda brachii

bercabang menjadi a. collateralis media dan a. collateralis radialis. A. brachialis


setelah melewati fossa cubiti bercabang menjadi a. radialis dan a. ulnaris. A. radialis
mempercabangkan diri menjadi a. recurrent radialis yang beranastomosis dengan a.
profunda brachii. A. ulnaris bercabang menjadi a. recurrent ulnaris anterior, a.
recurrent ulnaris posterior dan a. interosseous communis. A. interosseous communis
bercabang menjadi a. recurrent interosseous, a. interosseous posterior dan a.
interosseous anterior. Aa. collateralis bersama-sama dengan aa. recurrent saling
beranastomosis membentuk rete articulasio cubiti. A. ulnaris melanjutkan diri ke
distal membentuk arcus palmaris superfisialis di daerah palmar bagian volar dan
beranastomosis dengan a. radialis, yang kemudian bercabang menjadi aa. digitalis
palmaris communis. A. radialis melanjutkan diri ke distal membentuk arcus palmaris
profundus dan beranastomosis deangan a. ulnaris, yang kemudian bercabang
menjadi aa. metacarpalia palmaris. Aa. metacarpalia dan aa. digitalis communis
selanjutnya saling beranastomosis.

Trias Virchow
Untuk terjadinya Trombosis diperlukan 3 faktor :
1. Kerusakan dinding Pembuluh darah
2. Berkurangnya aliran darah
3. Gangguan faal Hemostasis

Patofisiologi
Keadaan akut , akibat Emboli yang berasal dari material trombus akibat gangguan
aliran darah, kelainan dinding pembuluh arteri atau kelainana jantung. Keadaan
kronis akibat proses lambat misal penderita Diabetes, Hyperkolesterolemia
Penyakit arteri oklusi kronik adalah gangguan aliran arteri yang kronik, yang paling
sering disebabkan oleh atherosklerosis. Atherosklerosis adalah setiap jenis proses
penyakit yang mengakibatkan degenerasi, pengerasan atau penebalan dinding arteri
sehingga menyebabkan penyempitan sampai oklusi lumen arteri. Proses
atherogenesis diawali dengan deposisi lipid yang terjadi ketika membanjirnya dan
mengendapnya kolesterol didalam tunika intima (endotel) arteri. Perkembangan plak
atherosklerotik dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu :
Stadium pertama yaitu endapan lemak pada tunika intima arteri yang tidak
menyebabkan obstruksi dan bersifat reversible.
Stadium kedua yaitu pembentukan plak fibrous. Pada stadium ini tunika intima
dengan endapan lemak dikelilingi kolagen, serabut-serabut elastik dan matriks
mukoprotein. Plak atherosklerotik dapat juga menonjol ke dalam lumen arteri
sehingga menimbulkan obstruksi.
Stadium ketiga yaitu plak atherosklerotik yang berkomplikasi. Ruptur plak
fibrous dan ulserasi plak fibrous dapat dengan cepat menimbulkan trombosis
dan mempercepat pertumbuhan plak dan biasanya terjadi pada tepi plak.

Plak atherosklerotik ini dapat terjadi diseluruh sistem arteri. Lapisan tunika intima
(endotel) yang licin merupakan perlindungan penting dalam melawan
pembentukan trombus, sehingga plak atherosklerotik mempunyai kecenderungan
yang besar menjadi trombus arteri. Plak atherosklerotik cenderung berkembang di
bagian pembuluh yang bercabang, misalnya bifurkasio, saluran yang tiba-tiba
melengkung, atau pada lumen pembuluh yang menyempit. Plak atherosklerotik
lebih banyak ditemukan pada ekstremitas inferior daripada ekstremitas superior
dan seringkali pada tempat percabangan aorta, a. iliaca communis, a. femoralis
dan a. poplitea. Plak atherosklerotik dapat mempengaruhi aliran darah ke jaringan
perifer, tergantung pada letak plak, berat ringannya sumbatan, kebutuhan
metabolik di distal sumbatan dan sistem kolateral yang terbentuk. Penimbunan
lemak lokal dan jaringan fibrous dalam arteri secara progresif mempersempit
lumen arteri, sehingga meningkatkan resistensi aliran darah. Dengan
meningkatnya resistensi terhadap aliran darah maka jumlah darah yang mengalir
ke distal sumbatan menjadi berkurang. Jika kebutuhan oksigen jaringan lebih
banyak daripada kemampuan pembuluh untuk menyediakan oksigen, maka terjadi
iskemia jaringan.
Morfologi sumbatan arteri dapat berbentuk segmental, ekstensif, stenosis dan
oklusif. Suatu sumbatan arteri yang segmental jika tidak mendapat penanganan,
maka dapat meluas menjadi suatu oklusi yang ekstensif.

Hemodinamik Oklusi Arteri


Bila timbul stenosis arteri, perbedaan tekanan akan menyebabkan pelebaran
pembuluh darah yang berdekatan di sekitar oklusi, yang disebut arteri kolateral.
Sedangkan, pengurangan tekanan lebih distal dalam sirkulasi menyebabkan
vasodilatasi lapangan sirkulasi distal, yang dinamakan tahanan vaskuler perifer.
Kombinasi tahanan stenosis arteri segmental dan pembuluh darah kolateral yang
berdekatan disebut tahanan segmental. Normalnya tahanan vaskuler segmental arteri
besar adalah rendah dan tahanan vaskuler perifer relatif tinggi. Aliran darah istirahat
yang melalui arteri besar mempunyai komponen pulsasi yang besar dan suatu
komponen aliran darah rata-rata yang rendah, dengan sedikit penurunan tahanan
segmental yang menyertai. Dengan olah raga, tahanan perifer menurun dan aliran
yang melalui arteri segmental meningkat sebanyak 10 sampai 20 kali lipat dari nilai
istirahat, melawan tahanan perifer yang relatif kecil.
Pada penyakit arteri dengan oklusi sedang, tahanan segmental pada arteri yang
terkena meningkat, tetapi aliran darah istirahat mungkin normal akibat penurunan
kompensasi dalam tahanan vaskuler perifer. Peningkatan tahanan segmental
mengakibatkan pengurangan komponen pulsasi aliran darah melalui daerah yang
terkena dan dihubungkan dengan perbedaan tekanan istirahat abnormal yang melalui
segmen. Dengan olah raga, tahanan vaskuler perifer menurun lebih lanjut, tetapi
kemampuannya untuk ini terbatas pada penurunan resistensi terkompensasi saat
istirahat, sehingga aliran darah pada saat olah raga lebih rendah dari normal. Aliran
darah pada saat olah raga dibatasi lebih lanjut oleh semakin menurunnya tekanan
yang melalui tahanan segmental saat laju aliran meningkat. Sebagai akibatnya,

terjadi iskemia otot (klaudikasio) saat olah raga. Pada penyakit arteri dengan oklusi
perifer lanjut, aliran darah istirahat dapat berkurang, walaupun ada pengurangan
maksimum dalam tahanan vaskuler perifer serta mungkin timbul nyeri istirahat
iskemik atau nekrosis jaringan. Dengan olah raga, hanya sedikit atau tidak ada
peningkatan aliran darah yang bisa terjadi akibat vasodilatasi perifer maksimum dan
klaudikasio segera terjadi, biasanya dengan pengurangan jelas dalam tekanan yang
melintasi tahanan segmental. Walaupun perkembangan pembuluh darah kolateral
menonjol, namun tahanan sirkuit kolateral selalu lebih besar dari arteri asal yang
teroklusi. Akibatnya, walaupun ada sirkulasi kolateral yang luas, namun perbedaan
tekanan sistolik istirahat hampir selalu dapat dicatat melintasi segmen arteri yang
terkena penyakit arteri oklusi.
Faktor hemodinamik ini yang menerangkan gejala dan tanda penyakit arteri oklusi
perifer. Karena pengurangan tekanan melalui segmen vaskuler yang sakit, maka nadi
menjadi lemah atau tidak teraba. Pasien dengan nadi lemah pada saat istirahat
mungkin akan kehilangan nadi pada saat olah raga akibat penurunan lebih lanjut
tekanan arteri distal yang berhubungan dengan peningkatan aliran darah melintasi
tahanan vaskuler segmental..

Faktor Resiko
Faktor endogen meliputi usia dan anomali metabolisme seperti diabetes mellitus,
hiperlipidemia atau hipertensi, sedangkan faktor eksogen diantaranya merokok, gaya
hidup modern, trauma dan kebiasaan makan berlebihan . Usia merupakan salah satu
faktor resiko yang paling dominan dan kuat. Perubahan arteriosklerotik berkembang
hampir sejajar dengan pertambahan umur. Kelainan metabolisme yang sangat
berpengaruh terutama penyakit diabetes, gangguan metabolisme lipid
(hiperlipoproteinemia). Hipertensi yang berlangsung lama merupakan predisposisi
arteriosklerosis pembuluh darah. Pada saat diagnosis hipertensi ditegakkan pertama
kali, ternyata 60% penderita menunjukkan perubahan arteriosklerosis .
Faktor eksogen, hanya kebiasaan merokok yang telah menunjukkan perannya yang
kuat terhadap terjadinya penyakit arteri oklusi kronis. Tampaknya pendapat umum
bahwa udara dingin dan basah merupakan faktor eksogen dalam menyebabkan
penyakit arteri oklusi generalisata tidak dapat dibuktikan.

Gambaran Klinik
Gejala yang paling sering muncul pada pasien dengan penyakit arteri oklusi adalah
klaudikasio intermiten. Pasien mengeluh nyeri, kram otot atau kelelahan otot yang
terjadi selama melakukan aktifitas dan menghilang dengan istirahat, dan impotensi.
Letak klaudikasio adalah di distal dari lokasi segmen arteri yang menyempit.
Dengan berkembangnya penyakit, maka terjadi nyeri pada saat istirahat. Pada
stadium ini pasien mengeluh nyeri atau mati rasa pada kaki, yang sering terjadi
malam hari ketika kaki tidak menggantung. Nyeri akan berkurang jika kaki
diletakkan dalam posisi menggantung. Dengan semakin beratnya penyakit, maka
nyeri istirahat iskemik muncul secara terus-menerus.
Tanda yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik adalah penurunan atau tidak adanya
pulsasi distal, suara bising pada arteri yang menyempit, hilangnya rambut-rambut di

distal oklusi, kuku yang menebal, kulit mengkilap, pucat pada kaki saat dielevasi
dan memerah kembali pada saat kaki menggantung. Dengan berkembangnya
penyakit maka terjadi ulkus dan gangren.
Oklusi dapat terjadi pada jalur aortoiliakal, fomeropopliteal dan arteri-arteri kecil.
Tanda dan gejala yang muncul pada ekstremitas inferior tergantung pada letak,
beratnya insufisiensi aliran darah dan sistem kolateral yang terbentuk. Pada oklusi di
daerah aortoiliaka, tubuh akan berusaha membentuk kolateral yang merupakan jalan
pintas untuk mempertahankan fungsi organ di distal oklusi.
Terdapat empat sistem kolateral utama yang memintas sumbatan aortoiliaka, yaitu
melalui pembuluh darah dinding perut, di pinggang, di mesenterium, dan di otot
gluteus.
1. Sistem kolateral epigastrika melalui dinding perut, dari a. epigastrika superior ke
a. epigastrika inferior terus ke a. femoralis komunis.
2. Sistem kolateral lumbal melalui pinggang, dari a. lumbalis melalui a.iliaka
sircumfleksa ke a. femoralis komunis atau melalui a. iliolumbalis ke a. iliaka
interna.
3. Sistem kolateral mesenterik melalui mesenterium, dari a. mesenterika superior ke
a. mesenterika inferior terus ke a. hemoroidalis superior dan a. hemoroidalis
inferior dan terakhir ke a.iliaka interna.
4. Sistem kolateral iliofemoralis melalui otot gluteus, dari cabang a. iliaka interna
(a. gluteus superior, inferior dan a. obturatoria) ke cabang a.femoralis profunda.
Beratnya insufisiensi aliran darah pada ekstremitas bawah dibedakan dalam stadia
menurut Fontaine. :
I. Perfusi jaringan masih cukup, walaupun terdapat penyempitan arteri. Pada
stadium ini gejala yang muncul tidak khas, dapat berupa kesemutan atau
geringgingan, sedangkan tanda yang muncul dapat berupa defisit denyut nadi
atau bising vaskuler pada saat pemeriksaan fisik rutin.
II. Perfusi ke otot tidak memadai pada aktivitas tertentu. Timbulnya klaudikasio
intermiten yaitu nyeri intermiten pada otot ekstremitas bawah yang timbul ketika
berjalan yang memaksakan berhenti berjalan. Nyeri hilang bila penderita
istirahat. Gejala ini mengurangi penggunaan otot sehingga jarak tempuh dalam
berjalan tidak dapat melebihi jarak tertentu.
III. Perfusi sudah tidak memadai saat istirahat sehingga menimbulkan nyeri pada
saat istirahat. Keadaan ini disebut dengan nyeri istirahat iskemik. Nyeri istirahat
iskemik ini harus dibedakan dengan kram otot yang sering timbul, yang tidak
berhubungan dengan penyakit oklusi arteri.
IV. Terjadi iskemia yang mengakibatkan nekrosis jaringan, yang dimanifestasikan
dengan ulserasi iskemik atau gangren yang jelas. Impotensi biasanya terjadi pada
sumbatan aorta abdominal atau a.iliaka komunis. Kurangnya pasokan darah

arteri (hipovaskularisasi) mengakibatkan gangguan ereksi atau ketidakmampuan


mempertahankan ereksi. Keadaan ini disebut Leriche sindrom.

pada ekstremitas inferior dapat diperoleh pada paha proksimal, di atas lutut, di
bawah lutut dan pada pergelangan kaki. Informasi ini memungkinkan
dokumentasi obyektif bagi lokasi anatomi penyakit oklusi arteri dalam
ekstremitas. Tekanan darah jari bisa didapatkan dengan manset yang dirancang
khusus untuk menyesuaikan dengan phalang proksimal jari.
Plethysmografi biasanya diperlukan untuk merekam tekanan darah jari. Normal
tekanan darah jari kaki sekurang-kurangnya 60% dari tekanan pergelangan kaki.
Metode serupa bagi pengukuran tekanan segmental dapat digunakan pada
ekstremitas superior. Pengukuran tekanan darah penis sekurang-kurangnya 70%
dari tekanan sistolik brakhialis. Pengurangan tekanan penis menggambarkan
sebab vaskuler bagi impotensi.

Pada oklusi di daerah fomeropopliteal, sumbatan arteri ekstremitas inferior yang


paling banyak adalah di daerah paha dan tungkai bawah (a. femoropoplitea). Oklusi
di daerah ini perlu mendapat perhatian khusus karena ada hubungannya dengan cara
koreksi bedah. Pria lebih banyak terserang daripada

Gejala-Gejala :

Akut
Mendadak nyeri ekstremitas dan teraba dingin, pulsasi arteri hilang kebiruan
dan nekrosis
Kronis
Nyeri waktu berjalan dan akan hilang bila istirahat / Claudicatio Intermitens.
Bila berat waktu istirahatpun akan tetap nyeri nekrosis pada ujung2 jari

Ankle-Brachial Index (ABI) dapat ditentukan dengan membagi tekanan


sistolik pergelangan kaki dengan tekanan sistolik lengan pada sisi yang sama.
Normalnya tekanan sistolik pergelangan kaki sama dengan atau lebih besar dari
lengan. Jika ada oklusi arteri pada ekstremitas inferior maka tekanan
pergelangan kaki akan lebih rendah dari lengan dalam jumlah yang sebanding
dengan keparahan oklusi arteri. Pasien klaudikasio biasanya mempunyai ABI
antara 0,5 sampai 0,9. Pasien dengan nyeri istirahat iskemik biasanya
mempunyai ABI kurang dari 0,5 dengan tekanan pergelangan kaki absolut
biasanya kurang dari 50 mmHg. Tekanan darah pergelangan kaki dapat
direkam sebelum dan sesudah latihan treadmill. Normalnya ada sedikit
penurunan tekanan pergelangan kaki (tidak lebih dari 20%). Setelah kecepatan
berjalan standar 1,5 sampai 2 mph dan lama pemulihan tidak lebih dari 3 menit.
Pada pasien dengan penyakit oklusi arteri, terdapat penurunan abnormal
tekanan pergelangan kaki sampai ke tingkat yang sangat rendah atau tidak dapat
diperoleh, dengan pemulihan lama yang terjadi dalam 10 sampai 20 menit.
Besarnya respon tekanan pergelangan kaki abnormal ini terhadap gerak badan
menunjukkan keparahan penyakit oklusi arteri.

Angiografi merupakan prosedur invasif dan akurat yang dikerjakan hanya jika
intervensi operasi atau angioplsti akan dikerjakan. Dengan pemeriksaan ini
anatomi arteri serta kelainannya dapat diketahui, pola lesi oklusif atau derajat
sumbatannya dapat diketahui. Prosedur ini tidak digunakan untuk skrining pada
pasien yang dicurigai menderita penyakit arteri.

Stadium FONTAINE sumbatan arteri bersifat kronis


Stadium I
: Gejala tidak khas (kesemutan, gringgingan)
Stadium II
: Klaudikasio intermiten (jarak tempuh memendek < 50 meter)
Stadium III
: Nyeri saat istirahat
Stadium IV
: Kerusakan jaringan karena anoksia (sekresi, ulkus)

Diagnosis
Anamnesa Nyeri bersifat mendadak pada ektremitas
Palpasi
dingin dan pulsasi arteri (-)
o

Plethysmografi memungkinkan rekaman dimensi jari dan ekstremitas.


Plethysmografi bermanfaat dalam merekam denyut arteri dalam jari dan
ekstremitas, mengukur tekanan darah ekstremitas atau jari segmental.
USG Doppler merupakan teknik yang paling sederhana, paling murah dan
serbaguna digunakan untuk menyaring penyakit oklusi arteri. Dengan
pemeriksaan ini dapat diketahui informasi tentang anatomi dan fisiologi
pembuluh darah. Bentuk gelombang kecepatan arteri normal bersifat multifasik
dengan komponen sistolik yang menonjol dan satu atau lebih komponen
diastolik. Dengan adanya oklusi arteri, isyarat kecepatan Doppler akan
diperkuat distal terhadap oklusi dengan isyarat lebih monofasik dan tidak ada
bunyi diastolik yang diskrit

Metode paling obyektif untuk penyaringan penyakit oklusi arteri melalui


pengukuran tekanan darah ekstremitas distal dengan USG Doppler. Pada
ekstremitas inferior, tekanan sistolik pergelangan kaki dapat direkam dengan
manset pneumatic yang ditempatkan diatas malleolus dan isyarat Doppler
didapatkan dari a. tibialis posterior atau a. dorsalis pedis. Tekanan darah segmental

Penatalaksanaan
Akut Eksplorasi Embolektomi
Kronis Rekontruksi vaskuler , Simpatektomi (paliatif)
Stadium I,II, III diperbaiki dengan operasi. Sedang untuk stadium IV harus
dilakukan Amputasi.

1. Terapi konservatif

Terapi konservatif biasanya diperuntukkan pada pasien dengan klaudikasio


intermiten. Tujuan dari terapi ini adalah membatasi progresifitas penyakit,
memberikan kesempatan untuk berkembangnya sirkulasi kolateral dan mencegah
trauma lokal atau infeksi. Yang terpenting pada penanganan penyulit atherosklerosis
adalah tindakan mencegah bertambahnya proses atherosklerosis. Penanganan secara
konservatif maupun operatif tidak berguna jika proses arteriosklerosis terus meluas
ke seluruh sistem arteri. Semua pengaruh faktor kausal kecuali usia, dapat
dihilangkan atau dikurangi pengaruhnya. Dengan demikian penderita harus merubah
gaya hidupnya secara radikal, yang berarti berhenti merokok, mengubah diet,
mengurangi asupan kalori, melakukan olah raga teratur dan terarah, menghindari
stress, dan mengontrol hipertensi.

o
o

Aspirin, sendiri atau dikombinasi dengan dipiridamol terbukti


menghambat progresifitas penyakit arteri oklusi kronis dan
mengurangi kejadian rekonstruksi arteri jika digunakan sebagai
prevensi primer. Mencegah dan menurunkan trombogenesis platelet
pada permukaan plak atherosklerosis.
Ticlopidine, merupakan antipletelet agent yang terbukti dapat
menghilangkan nyeri, memperpanjang jarak jalan dan memperbaiki
ABI.
Prostaglandin, merupakan antiplatelet dan vasodilator yang dapat
diberikan secara intravena atau intraarterial. Prostaglandin terbukti
dapat memperbaiki rest pain dan menyembuhkan iskemik ulser.

Olah Raga
Olah raga sebaiknya dilakukan secara terarah dan teratur selama lebih 3 bulan,
dan idealnya dilakukan dalam pengawasan dan dalam waktu yang lama, karena
ketidaksuksesan terapi ini biasanya disebabkan oleh hilangnya motivasi pasien.
Pada terapi ini pasien diinstruksikan untuk berjalan hingga muncul klaudikasio.
Pada saat itu pasien diharuskan berhenti hingga nyeri menghilang, kemudian
dilanjutkan berjalan kembali. Dengan terapi ini telah dilaporkan bahwa jarak
jalan maksimal meningkat, lamanya klaudikasio memanjang dan nyeri
berkurang. Kontraindikasi terapi olah raga ini adalah angina pectoris unstable,
penyakit paru obstruktif kronis, penyakit gagal jantung kongestif dan penyakit
arteri oklusi kronis yang berat dengan gangren atau ulkus.
Penghentian merokok
Diagnosis penyakit oklusi arteri dengan gejala klaudikasio banyak dijumpai pada
perokok. Dari beberapa penelitian diketahui rokok dapat menstimuli proses
atherogenesis, mengganggu fungsi platelet, metabolisme lipid dan fungsi
endotel. Selain itu, rokok juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh arteriola.
Oleh karena itu penghentian merokok dapat memperbaiki klaudikasio,
memperpanjang jarak jalan, mencegah atau menghambat proses atherogenesis
dan juga dapat memperbaiki patensi graft dan mempertahankan ekstremitas.
Terapi Farmakologi
1. Hemoreologik agent
Pentoxifyllin merupakan agen
hemoreologik yang terbukti mampu
mengurangi gejala klaudikasio dengan menurunkan reaktifitas agregasi
platelet, meningkatkan kemampuan sel darah merah beradaptasi. Jika tidak
ada perbaikan atau hanya ada sedikit perbaikan setelah 6-8 minggu, maka
pentoxifyllin harus dihentikan. Pentoxifyllin tidak efektif untuk nyeri
istirahat iskemik dan ulkus atau gangren iskemik.

2. Antitrombotik agent

Kontrol Gula Darah


Sejumlah penelitian melaporkan hampir 25% pasien yang menjalani
revaskularisasi ekstremitas inferior menderita diabetes. Pasien dengan
diabetes mempunyai resiko 7x lipat lebih besar menjalani amputasi dibanding
dengan pasien tanpa diabetes. Penyebab meningkatnya resiko amputasi
adalah multifaktorial atau mungkin adanya atherosklerosis difus pada pasien
diabetik dan adanya neuropati sensoris yang dapat menimbulkan ulserasi
traumatic Gula darah yang tidak terkontrol menaikkan 2x sampai 4x lipat
berkembangnya klaudikasio intermiten.
Hiperlipidemia
Hampir 50% pasien dengan penyakit oklusi arteri inferior menderita
hiperlipidemia. Meskipun beberapa penelitian gagal menunjukkan hubungan
antara penyakit oklusi arteri ini dengan kadar kolesterol. Tetapi terdapat
bukti-bukti bahwa pengobatan hiperlipidemia dapat mengurangi progresifitas
atherosklerosis dan insiden klaudikasio intermiten
Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit arteri
oklusi perifer, tetapi efek terapi antihipertensi terhadap progresifitas penyakit
atau resiko klaudikasio adalah tidak jelas. Hipertensi harus terkontrol pada
pasien terutama untuk mengurangi morbiditas dari penyakit cardiovaskuler
dan serebrovaskuler.

2. Radiologi Intervensional
Dilatasi balon Percutaneous Transluminal Angioplasty ( PTA ) dapat
dipertimbangkan pada pasien stenosis lokalisata pada arteri besar, terutama
dalam a. iliaca communis. Terapi demikian sangat baik pada pasien dengan
klaudikasio dan aliran arteri yang baik. Dilatasi balon mengurangi resiko
disfungsi seks pada pasien stenosis a. iliaca communis lokalisata. Stenosis arteri
yang lebih distal atau penyakit atherosklerosis yang lebih luas lebih baik diterapi
dengan terapi bedah.

3. Terapi Bedah

Pasien penyakit arteri oklusi kronis merupakan calon untuk operasi dengan tujuan
penyelamatan ekstremitas atau perlindungan fungsi. Pasien gangren, ulserasi
iskemik atau nyeri istirahat iskemik akan beresiko kehilangan ekstremitas, dan
merupakan calon yang tepat untuk intervensi bedah. Pasien klaudikasio yang gagal
setelah mendapat terapi konservatif yang adekuat selama 3 bulan merupakan calon
untuk operasi, jika klaudikasio mengganggu perawatan diri, pekerjaan atau rekreasi
Pasien untuk rekonstruksi arteri harus dinilai faktor resiko operasinya. Jika tidak ada
kontraindikasi utama maka rekonstruksi anatomi sirkulasi perifer lebih disukai
dengan end-arterektomi atau bypass segmen oklusi arteri, tergantung pada lokasi
oklusi. Prinsip yang mendasari rekonstruksi arteri terletak pada koreksi lesi oklusi
yang paling proksimal sebelum mempertimbangkan rekonstruksi lebih distal. Sering
perbaikan lesi paling proksimal dari penyakit arteri oklusi segmental akan
menyebabkan perbaikan bermakna dalam klaudikasio dan penyelamatan
ekstremitas, walaupun tetap ada lesi oklusi lebih distal. Sehingga rekonstruksi
aortoiliaca harus dipertimbangkan sebelum mengobati penyakit oklusi arteri yang
lebih distal atau femoropoplitea.
Atherosklerosis aortoiliaca dapat diterapi dengan end-arterektomi, terutama jika
terlokalisasi pada bifurkasio atau pada a. iliaca communis . Penyakit yang lebih luas,
yang melibatkan a. iliaca externa atau a. femoralis biasanya memerlukan bypass
graft aortobifemoral menggunakan cangkok bifurkasio Dacron

kadang dapat diatasi dengan end-arterektomi lokal. Tetapi penyakit yang lebih luas,
biasanya memerlukan bypass, lebih disukai dengan cangkok vena safena autogen.
Pasien yang beresiko tinggi, rekonstruksi anatomi intraabdomen untuk penyakit
oklusi aortoiliaca, bypass ekstraanatomi menggunakan cangkok protesa dalam posisi
axillo-bifemoral atau femoro-femoralis dapat dianjurkan

Axillo-bifemoral bypass

Femoro-femoral bypass

Pasien yang bukan calon rekonstruksi arteri kadang-kadang dipertimbangkan untuk


simpatektomi lumbal atau thorakal. Tindakan ini dapat menyebabkan vasodilatasi
perifer dan memperbaiki sirkulasi kulit pada kaki pasien dengan nyeri istirahat
iskemik dini. Tetapi tindakan ini hanya memuaskan untuk waktu yang terbatas dan
mempunyai sedikit peran pada pasien penyakit oklusi arteri lebih lanjut dan tidak
memperbaiki klaudikasio.
Pasien dengan nyeri istirahat iskemik yang tidak dapat ditoleransi atau gangren yang
bukan calon rekonstruksi arteri harus dipertimbangkan untuk amputasi. Amputasi
harus dilakukan pada tingkat lebih distal yang cocok dengan penyembuhan.
Walaupun amputasi jari atau kaki bagian depan (transmetatarsal) dapat
dipertimbangkan dalam sejumlah pasien diabetes mellitus, namun kebanyakan
penyakit oklusi arteri lanjut memerlukan amputasi ekstremitas utama pada bawah
lutut atau di atas lutut. Teknik diagnostik klinis dan noninvasif dapat membantu
meramalkan tingkat penyembuhan luka amputasi yang paling tepat.
End-arterektomi aortoiliaca
Bypass graft aortobifemoral
Pada penyakit oklusi arteri femoropoplitea yang terisolasi dapat merupakan calon
untuk bypass femoropoplitea. Stenosis terlokalisasi pada a. femoralis superfisialis

Emboli Arteri

------------------------------------ RD - Collection

2002

Buergers disease yang disebut juga tromboangitis Obliterans merupakan penyakit


yang ditandai adanya inflamasi akut dan trombosis pada arteri dan vena pada
tangan dan kaki, . Obstruksi dari pembuluh darah tersebut akan menurunkan perfusi
sehingga akan menimbulkan kerusakan jaringan. Hal itu seringkali menimbulkan
ulserasi dan ganggren pada jari tangan dan kaki Buerger disease merupakan proses
keradangan / inflamasi arteri, vena dan nervus pada ekstremitas yang ditandai
dengan penurunan aliran darah. Disebut juga Endangitis Obliterans von
Winiwarter buerger, Winiwarter-buerger syndrome, Winiwarter-mantefuelbuerger syndrome, Billroth-von Winiwarter disease.
Pada tahun 1879 Felix von Winiwarter pertama kali menemukan deskripsi
mengenai pasien yang menderita kelainan pada pembuluh darah arteri yang sekarang
dikenal sebagai penyakit Buerger atau suatu thromboangitis obliterans. Kemudian
Leo Buerger tahun 1908 melakukan penelitian secara patologi anatomis terhadap
penyakit ini., dan dari 11 pasien dilakukan operasi pada kakinya
untuk
membedakan dengan atherosklerosis. Menurut penelitian Buerger tersebut didapat
kelainan pada TAO tersebut laki-laki, usia muda dan perokok.

Gambaran klinis pada ekstremitas 5P :


1. Pain ( nyeri )
2. Paleness ( Pucat )
3. Paresthesis ( kesemutan )
4. Pulselesness ( denyut nadi hilang )
5. Paralise ( lumpuh )

Terapi

Konservatif Heparin
Definitif Embolektomi dengan tehnik Fogarty

Embolektomi berhasil baik bila dilakukan dalam waktu kurang dar 12 jam stelah
gejala2 pertama timbul. Bila tanda2 nekrosis timbul, embolektomi hanya
mengurangi level amputasi

Penyakit2 Arteri Kronis :

Arteriosklerosis ---------------------------------

Insiden
RD - Collection

2002

Penyakit ini termasuk penyakit degeneratif yang menimbulkan gangguan pada


pembuluh darah arteri perifer, ditandai dengan penyempitan lumen arteri dan
pengerasan dari dinding arteri. Biasanya menyerang pada usia lanjut.
Faktor2 Resiko
o Penimbunan lemak pada orang gemuk
o Hormon Estrogen
o Penderita DM akibat rendahnya kadar Insulin
o Makanan tinggi kolesterol

Arteritis

Penyakit ini menyerang arteri2 kecil dan menimbulkan sumbatan dan mikro
aneurysma. Etiologi penyakit ini belum jelas.

-----------------------------------------------------

RD

Collection 2002

Adalah proses Inflamasi dari dinding arteri yang menyebabkan penebalan pada
dinding berakibat sumbatan pada arteri. Biasanya menyerang pada usia muda.
Bentuk yang klsik : Winiwarter Buerger atau Thrombendangitis Obliterans.

Banyak terdapat di Korea, Jepang Indonesia, India dan negara lain di Asia Timur,
tetapi jarang di Afrika atau Amerika.4 Hampir 100 % penyakit ini menyerang
perokok pada usia dewasa muda.
Sebelum era pemeriksaan arteriografi, diagnosis penyakit Buerger sering dibuat
berdasarkan adanya insufisiensi arteria perifer pada penderita muda dan perokok.
Namun setelah pemeriksaan arteriografi secara rutin dilakukan, sebagian besar
penderita yang didiagnosis
sebagai penyakit Buerger, ternyata menderita
atheroslerosis. Menurut De Bakey dan Cohen,1963 insidensi penyakit Buerger di
USA antara 7-8 per 100.000 lelaki berkulit putih yang berumur antara 22 sampai
44 tahun.

Patofisiologi

Pembuluh darah memiliki lapisan tunika intima, tunika media dan tunika
adventisia. Tunika intima terdiri atas lapisan endotel yang melapisi permukaan
dalam. Di bawah endotel terdapat terdapat subendotel, terdiri atas jaringan ikat yang
kadang-kadang mengandung sel otot polos, baik serat-serat jaringan ikat maupun sel
otot polos.
Tunika media terutama terdiri atas lapis-lapis konsentris, tersusun oleh sel-sel otot
polos secara terpilin. Diantara sel-sel otot polos terdapat serat elastin dan lamela.
Pada arteri yang lebih besar, seringkali ditemukan lamina elastika eksterna yang
lebih tipis memisahkan tunika media dari tunika adventisia.
Pada tunika adventisia terutama terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin yang
tersusun memanjang. Pembuluh darah yang mengandung otot polos dalam
dindingnya dipasok jalinan luas saraf simpatis tanpa mielin (saraf vasomotoris )

dengan neurotransmiter norepinefrin. Pembebasan norepinefrin dari saraf ini berakibat


vasokontriksi. Karena saraf eferen ini biasanya tidak memasuki media dari arteri,
neurotransmiter itu harus berdifusi beberapa mikrometer untuk
mempengaruhi sel otot polos dari media. Pada vena ujung saraf ditemukan dalam
adventisia dan media namun keseluruhan luas persarafannya tidak sebanyak yang
ada pada arteri.
Gambaran secara umum dari Buerger disease adalah terjadinya proses inflamasi.
Keterlibatan arteri
berbeda dengan
atherosklerosis. Pada buerger disease
menyerang arteri lebih perifer. Pada ekstremitas bawah diluar arteri poplitea, dimulai
dari arteri. tibialis meluas kepembuluh darah kaki. Pada ekstremitas atas terjadi
pada 30 % dari pasien. Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat adanya proliferasi
dari sel intima dan fibroblast pada segmen arteri. Tidak dijumpai deposit lemak
dan kalsifikasi. Tidak dijumpainya adanya nekrosis dari dinding arteri.
Periode eksaserbasi dari proses akut dimanifestasikan sebagai plebitis superfisial
akut, adanya oklusi arteri dan iskemi. keadaan ini diimbangi dengan adanya
sirkulasi kolateral sehingga terjadi remisi terutama pada pasien muda. Berat dan
luasnya iskemia di ekstremitas ditentukan oleh sering dan lamanya serangan akut
dimana serangan ini dipengaruhi oleh beratnya merokok. Pada stadium akut
trombosis terjadi di dalam arteri dan vena yang berukuran kecil sampai sedang, dan
biasanya pembuluh yang terkena adalah pembuluh darah pada jari. Didalam
trombus tersebut
terdapat agregasi yang padat
dari sel-sel leukosit
polimorfonuklear. Keadaan ini menyerupai panvaskulitis tetapi lamina elastika
masih utuh. Tidak seperti pada atherosklerosis atau periarteritis nodosa, pada
penyakit Buerger tidak dijumpai nekrose dinding arteri.

Diagnosis
Secara pasti penyebab Buerger disease tidak diketahui. Biasanya menyerang usia
dewasa muda (umur 20-40 th) pada perokok berat. Kasus pada bukan perokok
sangat jarang, oleh karena itu rokok sigaret dipertimbangkan sebagai faktor
penyebab. Tanda-tanda awal berupa iskemi. Tanda yang penting berupa rasa nyeri
pada area yang terkena. Onset dari penyakit ini bertahap diawali dari kaki atau
tangan.
Pertama-tama inflamasi terjadi pada arteri dan vena kecil pada
permukaan anggota tungkai atau lengan. Sedangkan pada stadium lanjut terjadi
penurunan aliran darah pada daerah yang terkena. Pulsasi arteri pada tungkai
menurun atau tidak dapat terdeteksi. Gejala yang paling sering muncul berupa nyeri
yang mempunyai tingkat yang bermacam-macam.
Pengelompokan Fountaine tidak dapat digunakan karena nyeri terjadi pada
waktu istirahat. Nyeri bertambah pada waktu malam atau keadaan dingin, dan akan
berkurang apabila ekstremitas digantung. Pada keadaan lanjut, ketika telah ada
tukak atau gangren, maka nyeri akan sangat hebat dan menetap. Perubahan kulit
seperti pada penyakit sumbatan arteri kronik lainnya kurang nyata. Pada awalnya
kulit hanya tampak memucat ringan pada ujung jari.
Pada fase lebih lanjut tampak vasokontriksi yang ditandai dengan campuran pucat
sianosis kemerahan bila mendapat rangsangan dingin. Diagnosis biasanya

ditegakkan dari pemeriksaan klinik. Pasien biasanya mengeluh adanya kebas,


perasaan seperti terbakar. pemeriksaan klinis kemungkinan terdapat penurunan
atau
hilangnya pulsasi di kaki. Jadi sebenarnya riwayat dan pemeriksaan fisik sudah
cukup untuk mendiagnosis penyakit ini.
Dari pemeriksaan obyektif yang dapat dikerjakan adalah :
1. Duplek Scaning. berguna dalam evaluasi awal dari pasien.
2. Arteriogram.
Apabila pasien mempunyai
multipel lesi di bagian distal, arteriogram
semestinya dikerjakan sebelum terapi intervensi lebih lanjut. Pemeriksaan ini
tetap merupakan gold standart untuk evaluasi penyakit arteri oklusif. Adanya
oklusi multisegmantal arteri ekstremitas bagian distal merupakan tanda
karakteristik penyakit Buerger. Biasanya terdapat perluasan kolateral yang
memiliki gambaran corkscrew atau root like appearance. Kelainan berupa
corkscrew dapat ditemukan pada arteri perifer yang kejadiannya disebabkan
kemungkinan karena rekanalisasi sebagian dari pada trombus yang sebelumnya
menyumbat arteri.

Penatalaksanaan
1. Konservatif
Khas dari penyakit ini adalah adanya respon yang baik terhadap penghentian
merokok dan progresivitas yang nyata apabila kebiasaan ini diteruskan.
Berhenti merokok adalah sama sekali penting, apabila hanya mengurangi rokok
saja tidaklah efektif, walaupun dengan berhenti merokok sama sekali tidak
menjamin penyakitnya akan berkurang atau sembuh. Hal
yang perlu
diperhatikan juga dalm perawatan penyakit ini adalah pendidikan kesehatan bagi
pasien agar menjaga kebersihan ekstremitas dan mencegah bahaya trauma agar
tidak terjadi tukak. Apabila pasien terkena trauma maka penanganan luka secara
baik untuk mencegah infeksi mutlak diperlukan. Hindari pemakaian celana yang
ketat, hindari duduk atau berdiri dalam jangka waktu yang lama, mengusahakan
agar tetap memakai alas kaki.
Secara terinci perawatan kaki penderita penyakit buerger meliputi :
a. Cuci kaki dengan sabun dan keringkan dengan lembut.
b. Apabila kulit terlalu kering olesi dengan minyak nabati.
c. Apabila menggosok arah dari distal ke proksimal.
d. Jika kulit terlalu kering dan rapuh, rendam kaki dengan air hangat selama
setengah jam tiap malam kemudian doilesi dengan minyak nabati
e. Pemakaian sepatu
yang lembut dan hak yang rendah
sehingga
meminimalisasi tekanan.
2.

Operatif
a. Sympatektomi

Bertujuan untuk eliminasi manifestasi vasospastik dari penyakit dan lebih


memudahkan sirkulasi kolateral dari kulit dan untuk menghilangkan rest
pain. Apabila dilakukan amputasi, simpatektomi akan membantu wound
healing .

Rekontruksi dengan By pass, Patch, interposisi dari vena sapena magna


penderita sendiri

b. Amputasi
Kadang-kadang amputasi diperlukan apabila sudah terjadi ganren dari
jaringan. Kebanyakan pasien penyakit
Burerger tidak memerlukan
amputasi apabila pasien mau menghentikan kebiasaan merokok dan
mendapatkan perawatan yang adekuat, sebab dengan pengobatan konservatif
dapat mengurangi serangan akibat revaskularisasi sistim kolateral

Prognosis
Terdapat banyak variasi mengenai data harapan hidup, hal ini disebabkan akibat
kesulitan menetapkan diagnosis yang spesifik untuk penyakit Buerger. Prognosis
akan jelek pada individu yang tetap melakukan kegiatan merokok , namun hasilnya
tidak menjamin adanya perbaikan pada penderita yang berhenti merokok.
Progresivitas dari penyakit ini dapat dicegah dengan penghentian merokok. Apabila
terjadi gangren atau infeksi, kemungkinan amputasi pada ekstremitas diperlukan.
Pada umumnya prognosis baik kecuali kasus-kasus yang bersifat progresive.
Walaupun kadang-kadang memerlukan tindakan amputasi beberapa kali, terutama
pada penderita yang tidak dapat menghentikan kebiasaan merokok, komplikasi
yang membahayakan jarang terjadi. Waktu harapan hidup dilaporkan menyerupai
waktu harapan populasi pada umumnya

Tromboemboli

-------------------------------------- RD - Collection

2002

Rekontruksi Allograft
Bahan implantat non biologik biasanya pada arteri besar ( aorta, carotis,
iliaca)

Rekontruksi Homograft bahan dari orang lain


Rekontruksi dengamn Endarteriektomi (Dos Santos, Vollmar)
Bahan dari tunika intima yang dikelupas dengan memakai ring-Stripper dari
Vollmar. Umumnya dilakukan pada arteri iliaca dan arteri carotis eksterna.

Bila metode Rekontruksi tidak dapat dilakukan maka dilakukan terapi bedah
paliatif berupa Symphatektomi. Dimana dengan terpotongnya serabut simpatis
dan ganglion maka regulasi kimia akan terputus dan pembuluh darah mengalami
vasodilatasi, dengan harapan perbaikan gejala berupa nyeri dan gangguan akral akan
berkurang.
Symphatektomi ada 2 :
1. Lumbalis
Mengambil ganglion dan serat simpatis L2 sampai L4-5
2.

Thorakalis
Mengambil Ganglion Th2 sampai Th3 ditujukan untuk perbaikan lengan sampai
tangan

Pasca bedah agar diberikan obat2 vasodilator selama 1 bulan.


Klinis gejala Fontaine
Indikasi Pembedahan menurut VOLLMAR :
1. Indikasi Klinis
Stadium FONTAINE sumbatan arteri bersifat kronis
Stadium I : Gejala tidak khas (kesemutan, gringgingan)
Stadium II : Klaudikasio intermiten (jarak tempuh memendek < 50 meter)
Stadium III: Nyeri saat istirahat
Stadium IV: Kerusakan jaringan karena anoksia (sekresi, Ulkus
2.
3.

Indikasi Radiologi / Angiologis indikasi operabel lokal


Operabilitas umum / faktor kontra indikasi
Terdapatnya penyakit penyerta nisal Hipertensi , DM akan memperkecil
indikasi operasi.

Penyakit Gangguan Vaskuler pada Tungkai

a. Dengan Ganggren
b. Tanpa Ganggren

PAPO

b. Dengan Ganggren Winiwarter Buerger


c. Tanpa Ganggren Arteriosklerosis

Macam Pembedahan

Rekontruksi Autotransplantat

Angiopati Diabetika

Insufissiensi Venosa
a. Dengan Ulkus
b. Varises Tungkai
c. DVT

Penyakit2 Pembuluh Vena :

Sistem vena mempunyai perbedaan dengan sistem areteri dalam hal-hal sebagai
berikut :
1. Secara anatomis vena mempunyai katub-katub intraluminer yang menahan agar
darah tidak kembali ke distal.
2. Dalam aliran vena tidak terdapat tekanan seperti di areteri karena kembalinya
darah kearah proksimal dari sirkulasi perifer adalah karena tekanan hidrostatik,
pompa otot yang memeras darah vena kembali ke arah jantung,tekanan
ortostatik, tekanan tak langsung dari sistem arteria dan tekanan hisap dari
jantung.
3. Darah dalam aliran vena makin lama makin terkumpul volumenya, dari venulevenule makin menjadi besar sampai pada vena kava.
4. Dinding vena lebih tipis dari dinding areteri terutama tunika medianya, dan vena
jarang atau hampir tidak mengalami proses degeneratif seperti arteria.
5. Dalam vena rata-rata bekerja sistem tekanan yang rendah.
Jadi kelainan-kelainan ataupun penyakit vena selalu didasarkan pada kelainan
patologik yang menyangkut faktor-faktor tersebut diatas.Penyakit-penyakit vena
umunya dititik beratkan pada kelainan vena di daerah tungkai karena tungkailah
yang paling besar menyangga beban hidrostatik, dan gangguan peredaran darah vena
biasanya terjadi pada daerah tungkai.
Secara anatomis pada tungkai terdapat 3 macam sistem vena yang sekaligus juga
mempunyai arti klinis :
1. Sistem vena superficial
2. Sistem vena profundus (Deep vein)
3. Sistem komunikans (penghubung superficial dan profunda)
Pada daerah lengan, sistem komunikans meskipun ada tetapi tidak mempunyai arti
klinis karena beban pada lengan secara hidrostatik tidak sebesar pada tungkai.

------------------------------ RD - Collection

2002

Patofisiologi Sirkulsai Vena


Pada sistema pembuluh darah balik (vena) yang panjangnya kira-kira sama dengan
sistema areteri, bila gangguan peredaran darah karena kelainan pada pembuluh vena
akan menyebabkan gangguan arus balik (stewing) dari bagian organ distal. Dalam
keadaan ini maka daerah ekstremitas terutama ekstremitas bawah akan menimbulkan
gejala klinis yang segera berupa edema, kemerahan dan nyeri.

Varises Tungkai

Definisi :
Vena tungkai yang mengalami pelebaran, pemanjangan dan berkelok-kelok. Faktor
utama terjadi varises adalah tekanan hidrostatik dan hambatan aliran darah vena di
sebelah proksimal.
Syastem vena ada 3 yaitu :
Sitem Profunda
Sistem Superficial
Sistem Communicans / Perforantes (Byod, Dodd, Cocket) menghubungkan
Profundus dan Superficial , tempat terjadi Back flow

Patofisiologi
Akibat Insuffisiensi venosa kronik back flow sistem venosa gangguan
rheologik tissue Capillary PO2 turun, terjadi : interaksi endothel, aktivasi
fibrinolitik menurun, agregasi sel darah merah meningkat Trombosis kapiler
jumlah kapiler menurun luka lama nyeri ortostatik

Etiologi

Primer
Akibat tidak terbentuknya atau tidak kompetennya katup safeno femoral atau
katup-katup vena lainnya
Varise-kehamilan, akibat produksi Progesteron menghambat aktynomyosin pada
dinding vena, kontraktilitasnya berkurang.

Sekunder
Akibat trauma atau flebitis yang menyebabkan kerusakan katup2 vena tungkai.
Trombosis vena profunda sering meninggalkan kerusakan katu tersebut

Akibat kerusakan katup terjadi aliran balik darah vena dari profunda ke sistem
superfisial.

Klinis
Klinis berpedoman pada stadium :

Stadium

I : kemeng, linu, parestesis


II : Fleboektasia / Venaektase

III : Fleboektasia yang memanjang dan berkelok-kelok /masif


IV / Chronic Venous Insufficiency
Stadium I
: Corona phlebectatica
Stadium II
: Pigmentasi, indurasi, atrofi
Stadium III
: Ulkus / Cicatrix

Diagnostik

Phlebografi pasti
Test Trendelenburg penetuan derajat insuffisiensi katup pada vena
communcans
Test Perthes penentuan berfungsinya sistem vena profunda
Venous Phethysmografi penentuan aliran vena secara kuantitatif

Macam

Pembedahan Stripping, Ligasi vena perforantes dan ekstraksi vena


(Babcock) untuk : Varises Trunkal stadium II-III
Varises Retikularis stadium III
Pada Stadium IV dengan ulkus varicosum dilakukan STSG
Pada Varises Retikularis dan Kapilaris Skleroterapi
Konservatif :
Obat-obat vasoaktif,
Bebat elastik, kaos kaki tungkai elastik dan sepatu tumit tinggi

Pasang elastic bandage dari ujung proksimal jari2 sampai lipat paha
24 jam pertama tidak boleh jalan dan kaki posisi elevasi
48 jam bebat dibuka luka baik, bebat pasang kembali penderita boleh jalan
kemudian pulang dengan elastik bandage sampai 2 minggu
1 minngu pasca bedahj kontrol untuk angkat jahitan

Trombophlebitis

-------------------------------

RD - Collection

2002

Patogenesis

Klinis
Anamnesa nyeri spontan, nyeri bila menggerakan lengan, panas
Pemeriksaan Fisik :
Inspeksi : kulit kemerahan, odem, pembengkaan luas
Palpasi : Nyeri tekan, pengerasan jalur vena, fluktuasi

Perawatan Pasca Bedah

Akibat varises atau venektase mengakibatkan menipisnya dinding vena dan


mempercepat proses radang
Pada beberapa kasus misal : pemasngan infus, pemakaian kontrasepsi oral,
dehidrasi berat (hemokonsentrasi), DIC

Penatalaksanaan

Varises Trunkal ( Vena Safena Magna / Parva)


Varises Retikularis ( Cabang vena safena )
Varises Kapilaris (vena kapiler subcutan)

Penatalaksanaan

Kelainan dinding pembuluh darah


Keadaan Hyperkoagulasi

Trombosis dapat terjadi misal trauma , malignitas dimana akan mengadakan


reaksi radang lokal pada dinding vena sehingga akan terjadi Trias Virchow :
Perlambatan aliran darah

Penderita tiduran tempat yang sakit di desinfeksi dengan alkohol


Dilakukan insisi pada vena yang mengerasdengan scalpel dan dilakukan
pemijatan sehingga trombus akan keluar
Bekas luka dibebat dengan elasric selama 24 jam
Pemberian obat Phenylbutazon perinjeksi kemudian oral selama 5-7 hari
Diberikan Antibiotika bila ada tanda2 radang

Phlebithis Migrans
Winiwarter Buerger / Trombendaangitis Oblitrans
Reaksi alergi
Malignitas
Lupus erythematodes
Biasanya dimulai dengan gejala phlebitis dari satu segmen yang akan menghilang
sendiri dengan meninggalkan bercak kecoklatan / hitam dari jalur vena tersebut

Thrombophlbitis Septik
nanah

pembentukan abses dan

DVT

----------------------------------------------------------------------Collection 2002

RD

Definisi
Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah gumpalan atau jendalan darah (thrombus)
yang terbentuk di dalam sebuah vena profunda. Biasanya terjadi pada vena tungkai
bawah Vena Femoris Profunda, Vena Illiaca Externa dan Vena Illiaca
Comunis.

Patogenesis
Pemahaman kita tentang patogenesis DVT hanya sedikit berubah sejak Virchow
(150 tahun yang lalu) pertama kali menjelaskan tentang trias Virchow yaitu:

Statis vena :
Merupakan faktor resiko pada pasien yang berbaring lama, cedera mayor,
kelumpuhan , perjalanan jarak jauh dimana mekanisme pompa otot betis tidak
berfungsi, selain itu massa pada pelvis,kehamilan,kompresi langsung pada
vena-vena besar dapat mempersempit atau menyumbat pembuluh darah
tersebut. Pada inkompetensi katub dan vena varikosa memiliki aliran darah
balik yang lambat.

Cedera epitel :
Pada intima vena dapat terjadi akibat trauma mekanis,prosedur bedah pada
organ di sekitarnya, kanulasi vena atau injeksi, cedera termal, cedera vena pada
persalinan, septicemia dengan endotoksin dalam sirkulasi, kompleks imun yang
bersirkulasi serta vaskulitis pada gangguan pembuluh darah kolagen.

Hiperkoagulabilitas :
Dapat terjadi pada periode pascaoperatif, kondisi malignan, pemakaian
tembakau,penyakit kritis, sindrom defisiensi anti koagulasi congenital,
kehamilan, pemakaian estrogen eksternal, terapi penggantian hormone dan
masalah jantung dan sirkulasinya.

Selain faktor-faktor tadi juga ada beberapa faktor yang membuat DVT sering terjadi
yaitu: usia diatas 40 th, obesitas, atau yang sebelumnya pernah mengalami DVT.
DVT dapat menimbulkan komplikasi antara lain jendalan darah yang terbentuk
diatas lutut memiliki resiko pecah dan berjalan naik dalam vena kemudian

menghambat pembuluh darah di paru-paru hali ini disebut Emboli Pulmonal


(EP), dapat menyebabkan keadaan yang mengancam jiwa tergantung ukuran
jendalan darah tetapi dengan pengobatan yang tepat jarang DVT membuat emboli
pulmonal. DVT yang terjadi di bawah lutut jarang menimbulkan komplikasi
sehingga hanya perlu dimonitor saja. DVT juga dapat merusak katub-katub di
vena sehingga terjadi pengumpulan darah di tungkai bawah hal ini disebut
Sindroma Post Trombosis yang menyebabkan nyeri, bengkak, diskolorisasi, dan
ulkus di kaki.

Trombosis vena profundus proksimal :


Adalah penyakit trombotik yang mengenai vena popliteal,femoralis, dan ilika.
Walaupun kita harus menegakkan diagnosis bedside DVT. Jika pasien di temukan di
lingkungan rawat jalan, dengan tanda atau gejala yang mengarahkan DVT
proksimal, tes noninvasif segera harus dilakukan untuk secara meyakinkan
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis.Jika tes noninvasif tidak dapat dilakukan
dengan segera, venogram harus dilakukan. Jika venogram positif atau tidak dapat
dilakukan dengan segera, pasien harus dirawat di rumah sakit dan dikenakan tirah
baring yang ketat dengan peninggian tungkai dan antikoagulasi sistemik. Tiap
keterlambatan dalam antikoagulasi sistemik. Dan tirah baring pada pasien dengan
DVT proksimal akan menempatkan pasien dalam risiko mengalami
tromboembolisme paru-paru yang mematikan. Dengan demikian, pendekatan yang
penting adalah menganggap bahwa pasien dengan faktor resiko DVT memang
menderita DVT sampai terbukti tidak, terapi dapat diberikan atas dasar empirik.
Untuk trombosis yang mengenai vena popliteal dan femoralis superfisial, pasien
akan mendapatkan peredaan gejala yang dramatis selama 24 jam dengan
meninggikan tungkai tinggi-tinggi dengan tirah baring yang ketat, dan antikoagulasi
sistemik dengan terapi heparin. Heparin harus diberikan dengan bolus 100 unit per
kilogram diikuti oleh infus intravena kontinu dengan kecepatan awal 1.000 sampai
1.200 unit per jam, dan waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) diperiksa
dalam 12 jam untuk dipertahankan pada dua sampai tiga kali normal (kira-kira
dalam rentang 50 sampai 90 detik). Tirah baring dengan meninggikan tungkai harus
dilakukan dengan ketat selama minimal 5 sampai 7 hari sebelum memperbolehkan
ambulasi atau pergi ke kamar mandi, dan hanya setelah kaus kaki kompresi bertahap
di atas lutut telah dipasang dengan cermat. Selama periode terapi awal ini, pasien
tidak diperbolehkan banyak menggerakkan tungkainya atau mengkontraksikan otototot anggota gerak karena kekuatiran akan terjadinya embolisasi. Periode tirah
baring ketat adalah penting selama 5 sampai 7 hari, selama waktu mana perlekatan
trombus dengan dinding vena terjadi.
Pasien yang sedang menjalani terapi antikoagulasi sistematik dengan heparin harus
secara rutin diperhatikan oleh staf perawat, yang termasuk memeriksa semua sampel
feses untuk mencari darah samar, menghindari injeksi parenteral, menggunakan
pencukur listrik ketimbang pencukur silet untuk mencukur, berhati-hati agar tidak
terjatuh pada lanjut usia, dan penentuan hitung trombosit tiap 2 hari. Jika APTT
stabil dalam rentang terapi, maka perlu diperiksa hanya sekali sehari. Jika terjadi

kontraindikasi untuk terapi heparin, seperti gangguan perdarahan akut, maka


pemasangan filter vena kava inferior segera harus dilakukan.
Pasien yang tidak menunjukkan peredaan tanda dan gejala trombosis vena popliteal
atau femoralis superfisial secara bermakna dalam 48 jam harus dicurigai mengalami
perkembangan bekuannya ke dalam sistem venafemoralis profundus atau iliaka.
Kejadian ini meramalkan akibat akut dan jangka panjang yang lebih menakutkan dan
memerlukan penatalaksanaan yang lebih aktif dan agresif lagi. Dalam kejadian akut,
pasien tersebut berada dalam risiko embolisme paru-paru yang lebih tinggi lagi, dan
periode tirah baring serta antikoagulasi lengkap dengan terapi heparin harus
diperpanjang sampai periode 10 sampai 14 hari. Tanda-tanda flegmania alba
atau serulea dolens (edema tegang yang parah dengan kepucatan atau perubahan
pragangren superfisial) yang tidak berespon dalam 12 jam terhadap peninggian
tungkai yang sangat tinggi dan terapi heparin akan memerlukan intervensi yang
lebih agresif. Fungsi arteri dan neurologis mungkin terganggu karena peningkatan
tekanan kompartemen. Ini adalah situasi yang buruk karena jika dibiarkan tidak
diperiksa dapat menyebabkan bleb kulit, ulserasi, gangren vena, gangguan
neurologis permanen, dan /atau akhirnya amputasi. Trombektomi vena iliofemoralis
atau terapi trombolitik harus digunakan untuk memperbaiki alirankeluar vena dari
tungkai. Kita harus melakukan pemeriksaan serial dalam 12 jam setelah gambaran
klinis pada pasien dengan flegmasia untuk memastikan terjadinya perbaikan.
Pemakaian agen trombolitik sebagai cara terapi awal jika terdapat flegmasia masih
merupakan kontroversi karena pasien tertentu, dalam kenyataannya, akan
mengalami perbaikan hanya dengan peninggian tungkai dan terapi heparin.
Pada pasien yang muda dan cukup sehat dengan harapan hidup yang panjang dan
yang datang dengan flegmasia alba dolens, terutama dalam 5 sampai 7 hari pertama
perjalanan klinis, pemakaian agen trombolitik dapat secara cepat menghilangkan
keparahan proses penyakit, dan dapat mempertahankan integritas katup vena dalam
jangka panjang. Jika terapi tersebut terbukti tidak efektif dalam 48 jam dilakukan
intervensi operatif dengan trombektomi vena terbukti bermanfaat. Untuk pasien
lanjut usia dan dengan harapan hidup yang singkat disertai penyakit penyerta
lainnya biasanya dapat ditangani secara memuaskan dengan tirah baring, peninggian
tungkai dan terapi heparin.
Sindrom pascaflebitis :
Inkompetensi system katup di vena-vena tungkai akibat suatu espisode DVT dapat
menyebabkan penggumpalan darah di tungkai dengan akibat hipertensi vena. Ini
dapat menyebabkan penebalan kulit di daerah betis bagian bawah dan pergelangan
kaki, hiperpigmentasi akibat deposisi hemosiderin, dan espisode selulitis dan
ulserasi yang berulang. Kondisi ini menyebabkan kecacatan dan nyeri yang hebat
namun dengan mengikuti pendekatan praktis dan sederhana dalam penatalaksanaan
DVT akut dapat mencegah sindrom ini terjadi kembali.
Embolisme paru-paru (EP) :
Kepentingan menegakkan diagnosis definitif disebabkan oleh tingginya mortalitas
dari EP yang tidak diterapi. Jika EP dianggap sebagai bagian dari diagnosis maka

foto sinar X dada, ekokardiogram (EKG), dan pemeriksaan gas darah arterial
harus dilakukan. Foto sinar X tidak spesifik karena tingkat positif dan negatif
palsu 50%. EKG dilakukan untuk mencari tanda-tanda adanya iskemia
myocardium dan menilai irama jantung dasar. Kurang dari 10% pasien dengan EP
memiliki pola strain jantung kanan S 1Q3T3 yang klasik. Gas darah arteri adalah
penting untuk mengetahui tekanan parsial oksigen dan karbondioksida dalam
darah pasien. Kira-kira 10% pasien dengan EP memiliki PaO 2 yang normal. Sidik
ventilasi perfusi adalah teknik diagnositik yang paling banyak digunakan jika
dicurigai terjadinya EP.
Hasil sidik bisa membedakan penyakit vaskuler paru-paru, dimana perfusi adalah
abnormal dan ventilasi baik, dan penyakit parenkim paru-paru, dimana defek
ventilasi dan perfusi di daerah paru-paru yang sama.
Yaitu keadaan phlebitis dari vena2 daerah becken yaitu :

Vena Femoralis

Vena Iliaca eksterna

Vena Iliaca Communis

Klinis
Anamnesa :
Odem tungkai secara cepat, Tegang dan nyeri hebat
Tungkai bengkak sampai inguinal, kemerahan dan tidak dapat digerakkan
Pemeriksaan Pulsasi nadi arteri teraba denyut yang baik dari arteri perifer
Pemeriksaan khusus Phlebografi
GEJALA KLINIS
DVT dapat terjadi berupa blok parsial atau total di dalam aliran vena dan dapat
memberikan gejala :
pembengkakan tungkai bawah
kemerahan dan hangat di kaki
nyeri dan bertambah nyeri jika berdiri atau duduk
nyeri tekan pada anggota gerak yang terkena
ulkus di kaki
Bila terjadi emboli pulmonal maka akan menunjukkan gejala sebagai berikut :

napas dangkal

nyeri dada dan makin nyeri jika bernapas dalam

batuk dengan bercak darah

Diagnosis
Diagnosis didasarkan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang cermat dan
pemeriksaan penunjang. Bila kita menemukan gejala edema tungkai distal, nyeri,
nyeri tekan pada anggota gerak yang terkena, kemerahan, kulit teraba hangat, dan
bisa ditemukan ulkus di kaki dengan memiliki faktor-faktor resiko yang sudah
disebutkan sebelumnya dan tidak adanya penyebab infeksi yang lain atau trauma

kita harus mencurigai suatu DVT, bila masih ragu-ragu kita melakukan tes perthes dan
pemeriksaan penunjang. Standard pemeriksaan penunjang pada DVT yaitu Venogram
kontras, tetapi tekhnik mutakhir telah memungkinkan pemeriksaan non invasif yang
tingkat keakuratannya tinggi(ultrasonografi/sidik duplek vena). Venogram kontras
hanya diperlukan jika tes non invasif masih meragukan.
Sidik duplek vena (Ultrasonografi) adalah kemajuan yang penting dalam tahun-tahun
terakhir untuk diagnosis dan penatalaksanaan DVT. Pemeriksaan ini tidak hanya kuat
tetapi sama sekali non invasif , cepat , bebas dari penyulit dan menawarkan
pemahaman status fungsional dan anatomi sistem vena. Dengan demikian jika
kecurigaan suatu DVT pemeriksaan ultrasonografi harus merupakan
langkah awal yang diambil jika tersedia sarana dan ahli yang berpengalaman.
Pemeriksaan lainnya yaitu pletismografi impedansi dapat digunakan untuk
meningkatkan derajat keakuratan pemeriksaan ultrasonosgrafi. Kombinasi keduanya
menghasilkan keakuratan lebih dari 95% untuk pemeriksaan pada vena iliaka, vena
femoralis, dan vena poplitea. Diagnosis DVT pada vena betis sedikit lebih sulit
tetapi secara klinis kurang penting karena embolisme paru-paru atau sindrome
tromboflebitis sebagai komplikasi DVT tidak mungkin terjadi dari DVT pada level /
ketinggian ini. Venogram radionuklida(nuklir) memiliki keakuratan yang bermacammacam tetapi biasanya dapat digunakan untuk pemeriksaan trombosis pada paha
bagian atas walaupun dengan keakuratan yang lebih rendah.

Penanganan
Tujuan dari terapi DVT adalah
1. Mencegah jendalan bertambah besar
2. Mencegah jendalan darah pecah dan mengalir ke paru-paru
3. Mencegah terbentuknya jendalan baru
4. Mencegah sindroma postrombosis
Pengobatan DVT dapat berupa
1. Obat-obatan

a. Obat Antikoagulan :
Dapat menghentikan pembentukan jendalan darah yang lama untuk tidak
bertambah tetapi tidak dapat mengencerkan jendalan yang sudah terbentuk.
Pemakaian obat ini harus menghindari aktivitas yang dapat meningkatkan resiko
cedera. Hal ini karena salahsatu cara utama penyembuhan luka melalui
pembentukan jendalan. Obat-obat antikogulan mempengaruhi proses ini.

b. Obat Trombolitik :
Obat ini resiko tinggi terjadi pendarahan karena fungsi sebagai obat yang
mengencerkan jendalan. Digunakan pada kasus-kasus tertentu dimana
mengancam nyawa atau salah satu tungkai.
2. Kaus kaki kompresing:
Digunakan untuk mengobati nyeri, edema dan mencegah sindroma post
trombosis. Pemakaian kaus kaki kompresing dianjurkan selama beberapa bulan,

kaus kaki ini mempunyai tekanan yang berbeda lebih tinggi di telapak kaki
daripada di tungkai.
3. Elevasi tungkai :
Dianjurkan pada saat berbaring menempatkan bantal di bawah kaki sehingga
kai lebih tinggi daripada pinggang, hal ini dapat membantu mengurangi
tekanan vena=vena di paha.

4. Profilaksis.
- menghilangkan stasis vena profundus
Sebagian besar metode yang ditujukan untuk menghilangkan stsasis adalah
terapi fisik walaupun terapi obat mungkin juga berperan dalam meningkatkan
aliran darah yang efektif melalui vena profundus (misalnya dengan
dehidroergotamnin).
-

memperkecil koagulabilitas darah


Diklasifikasikan menjadi 3 kelompok obat utama :
a. Obat yang mengubah fungsi trombosit
Agregasi trombosit mungkin merupakan faktor awal yang penting dalam
trombosis vena, beberapa obat yang diketahui menghambat fungsi
trombosit telah diteliti untuk kemungkinan digunakan sebagai profilaksis.
Obat tersebut adalah Aspirin dan Dekstran 70%.
Aspirin memiliki kerja sebagai inhibitor trombosis, dapat diberikan per
oral, pengaruhnya pada siklooksigenase trombosit ireversibel, yang
berlangsung selama sisa umur trombosit. Karakteristik ini memungkinkan
pemberian dosis harian. Pemakaian aspirin dalam tromboprofilksis telah
diteliti pada beberapa uji klinis tetapi sampai saat ini hasil-hasil yang
didapat belum seragam.
Dekstran 70%. Terapi dekstran intravena sering digunakan selama dan
setelah pembedahan karena sifetnya mengekspansi plasma, sehingga dapat
membantu menurunkan stasis dan trombosis. Secara lebih spesifik, dekstran
terbukti mempengaruhi struktur trombus vena, kemungkinan sebagai akibat
pengaruh inhibisinya pada daya lekat (adhesiveness) dan agregasi trombosit
normal.
b. Obat yang meningkatkan aktivitas fibrinolitik
Hasil dari uji coba tentang obat-obat ini seluruhnya mengecewakan.
Phenformin dan ethylesterol sebagai contohnya, tidak terbukti mencegah
terjadinya DVT pada pasien bedah.
c.Obat yang mempengaruhi mekanisme koagulasi
Dua jenis obat telah digunakan untuk mempengaruhi pembekuan darah dan
menghambat trombosis vena. Antikoagulan oral akan melawan kerja

vitamin K di hati dan dengan demikian menghambat sintesis 4 faktor


pembekuan yaitu : protrombin (faktor III), faktor VII, IX, dan X. Heparin
berikatan dengan antitrombin III dan kompleks tersebut mnenghambat faktor
koagulasi yang teraktivasi dengan membentuk kompleks dengannya. Heparin
standar menghambat trombin, faktor Xa, dan faktor lain dalam sistem
koagulasi intrinsik, tetapi preparat low molecular weight heparin (LMWH)
yang lebih baru memiliki efek yang lebih spesifik pada faktor Xa.
Terapi antikoagulan oral. Antikoagulan oral (warfarin) dimulai pada saat
pasien masuk rumah sakit (idealnya beberapa hari sebelum pembedahan). Ini
efektif untuk menurunkan insidensi DVT dan EP. Dalam penelitian insidensi
DVT turun sekitar 60% dan EP + 80% pada pasien-pasien yang menjalani
semua jenis pembedahan besar. Kelemahan utama pemakain profilaksis
antikoagulan oral ini adalah tingginya resiko perdarahan selama dan setelah
operasi. Insidennya 2-7%, dan mortalitas dari perdarahan 0,08-0,1%. Dengan
demikian dengan antagonis vitamin K tidak merupakan pilihan profilaksis
yang dapat diterima secara luas tetapi keberhasilan regimen ini dalam
menurunkan insidensi DVT dan EP tidak dapat diabaikan.
Heparin dosis rendah. Alasan penggunaan heparin dosis rendah terletak pada
pemakaiannya sebelum awal koagulasi intravaskuler. Sejumlah kecil heparin
yang diberikan sebelum rantai koagulasi menjadi aktif akan meningkatkan
aktivitas anti trombin dan secara efektiv menetralkan aktivitas faktor Xa.
Dosis heparin yang lebih besar diperlukan jka terapi dimulai setelah terjadi
pembentukan trombin. Regimen dosis lazim heparin adalah 5000 IU
subkutan diberikan 2 jam sebelum pembedahan dan selanjutnya dengan
interval 12 jam selama 7 hari. Pada beberapa penelitian pada pasien yang
berada dalam resiko tinggi, intervalnya adalah 8 jam. Heparin harus
diinjeksikan secara hati-hati untuk menghindari penyulit lokal yang berupa
nyeri pada tempat injeksi. Heparin berat molekul rendah (low molecular
weight heparin/LMWH). Kemajuan yang terpenting dalam tromboprofilaksis
bedah dalam beberapa tahun terakhir ini adalah perkembangan dan penelitian
klinis terhadap preparat LMWH contohnya fragmen. Preparat ini memiliki
semua keunggulan dan sedikit kelemahan dibandingkan heparin
konvensional. Dengan demikian merupakan langkah maju dalam agen
profilaksis yang ideal. Dosisnya 50.000 IU satu kali sehari.
6. Terapi EP. Bila kita mencurigai suatu EP diterapi 5.000- 10.000 IU heparin
diberikan secara bolus dan infus heparin kontinyu dan setelah diagnosis
ditegakkan, pemilihan antara terapi koagulasi dan trombolitik perlu diambil
karena telah terbukti bahwa pasien yang diterapi dengan penambahan
trombolitik memiliki fungsi kardiopulmonal yang baik secara bermakna
dibandingkan dengan yang diterapi dengan anti koagulasi saja.

7. Tindakan bedah diambil bila dengan terapi konservatif tidak memberikan


hasil yang baik.
- Trombektomi, Digunakan fogarty kateter dalam evakuasi trombus seperti
pada embolektomi arteria.
- Rekonstruksi vena :

Anda mungkin juga menyukai