Anda di halaman 1dari 29

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang

Pasien dengan trauma vaskular dapat kita temukan setiap hari di unit emergensi atau

trauma center di seluruh dunia. Trauma pada pembuluh darah menyebabkan ancaman

pada kelangsungan hidup bagian tubuh yang diperdarahinya. Trauma vaskular sudah

dikenal sejak zaman Romawi dan Yunani pada para prajurit perang. Amputasi

merupakan tindakan bedah yang sering dilakukan oleh para ahli bedah pada era perang

dunia kedua. DeBakey dan Semeone mencatat lebih dari 40% amputasi dilakukan pada

korban perang dunia kedua. Ruptur arteri merupakan suatu kasus kegawatdaruratan

bedah sehingga membutuhkan penanganan segera untuk menghindari terjadinya tindakan

amputasi yang biasa dilakukan pada era sebelumnya.1,2,4

B. Etiologi

Trauma vaskular dapat disebabkan oleh luka tajam, luka tumpul, maupun luka

iatrogenik. Trauma vaskuler sering terdapat bersamaan dengan trauma organ lain seperti

syaraf, otot dan jaringan lunak lainnya atau bersamaan dengan fraktur atau dislokasi pada

ekstremitas. Bentuk trauma vaskular biasanya tangensial atau transeksi komplit.

Perdarahan akan menjadi lebih berat pada lesi arteri yang inkomplit, sedangkan pada

pembuluh yang putus seluruhnya akan terjadi retraksi dan konstriksi pembuluh darah

sehingga dapat mengurangi atau menahan perdarahan.2,3

C. Mekanisme Trauma

Secara klasik, mekanisme trauma terbagi dua, yaitu trauma tajam dan tumpul.

Trauma tumpul pada jaringan yang disebabkan oleh kompresi lokal atau deselerasi
dengan kecepatan tinggi. Luka jaringan pada trauma tajam diakibatkan oleh kehancuran

dan separasi jaringan. Dengan memahami biomekanika dari trauma yang spesifik akan

memudahkan untuk melakukan evaluasi awal karena trauma pada arteri berhubungan

dengan beberapa faktor, yaitu tipe trauma, lokasi trauma, konsekuensi hemodinamik, dan

mekanisme trauma.

Tingkat keparahan trauma berbanding lurus dengan jumlah energi kinetik (KE)

yang disalurkan kepada jaringan, yang merupakan fungsi dari massa (M) dan kecepatan

(V), dan dapat dirumuskan sebagai berikut : KE = M x V2/2. Rumus ini berlaku baik

untuk trauma tumpul maupun penetrasi. Perubahan pada kecepatan berefek lebih

siginifikan dibandingkan dengan perubahan pada massa.

Kavitasi adalah sebuah fenomena yang terjadi ketika jaringan bergerak menjauhi

titik trauma yang disebabkan oleh bergeraknya tubuh, menghindari objek penyebab

trauma. Setelah terjadi trauma tumpul akan terbentuk kavitas jaringan sementara yang

disebabkan oleh deselerasi atau akselerasi yang cepat. Tegangan ekstrim terjadi pada titik

fiksasi anatomis selama pembentukan kavitas sementara tersebut. Tekanan dapat terjadi

baik sepanjang sumbu longitudinal (tegangan tensil atau kompresi) dan sumbu

transversal (teganan shear). Tekanan tersebut dapat menyebabkan deformitas, robekan,

dan fraktur jaringan. Sementara itu, trauma penetrasi menyebabkan kavitasi sementara

yang diakibatkan oleh penyaluran energi kinetik dari alat proyektil ke jaringan yang

bersangkutan. Hal ini dapat diikuti oleh pembentukan kavitas permanen yang disebabkan

oleh pemindahan jaringan.

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang dialami.

Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi komplit.

Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada ujung proksimal

dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia. Sementara itu, laserasi
parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau pembentukan pseudoaneurisma.

Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat dibarengi dengan flap intima, yang dapat

berujung kepada trombosis. Kontusio arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat

tidak menyebabkan penurunan hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak

terdiagnosis. Hal ini disebut sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari

angiografi. Trauma ini memiliki risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat

sembuh secara spontan. Trauma arteri dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan

terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis


- Laserasi parsial - Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan
- Transeksi - Hilangnya pulsasi distal, iskemia
- Kontusio - Awal : pemeriksaan dapat normal
Dapat progresif menjadi thrombosis
- Kompresi eksternal - Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal
ketika fraktur diluruskan

.
D. Gambaran Klinis

Cedera vaskular dapat diklasifikasikan menjadi hard sign dan soft sign berdasarkan

pada pemeriksaan fisik.

Hard sign terdiri atas :2

- Terdapatnya perdarahan yang berpulasasi

- Adanya thrill dengan pemeriksaan palpasi

- Adanya bruit disekitar arteri dengan pemeriksaan auskultasi

- Tanda iskemik pada bagian distal

- Adanya hematom

Tanda ini digunakan untuk idektifikasi pasien yang membutuhkan tindakan

operasi. Ditemukannya tanda seperti rasa dingin, berkurangnya pulsasi yang

menyebabkan berkurangnya tekanan darah, tetapi adanya pulsasi yang abnormal,

adanya variasi yang signifikan dari kualitas pulsasi dari satu bagian dengan bagian

lain merupakan indikator yang kuat adanya cidera vaskular bagian proksimal.

Ditemukannya defisit neurologis, penurunan pengisian kapiler, dan

abnomalitas mengarah pada adanya cidera vaskular yang berat dan membutuhkan

tidakan arteriografi segera atau eksplorasi bedah dan repair.

Soft sign terdiri atas :2

- Ditemukannya tanda perdarahan atau riwayat perdarahan

- Penurunan pulsasi dibandingkan dengan bagian kontralateral

- Cedera pada tulang atau adanya luka penetrasi pada bagian proksimal

- Gangguan neurologis
E. Pemeriksaan

Anamnesis dimulai dari jenis pekerjaan, kejadian yang menyertai kelainan, jenis

trauma, adanya penyakit terdahulu. Kemudian anamnesa ditujukan pada riwayat

perjalanan penyakit sejak awal timbulnya keluhan, seperti kesemutan, kejat otot, nyeri

ringan yang tidak spesifik, ada tidaknya nyeri saat bekerja, berjalan atau berolahraga,

klaudikasio intermiten, nyeri saat beristirahat yang khusus berhubungan dengan penyakit

arteri perifer pada ekstremitas.3,4

Inspeksi terutama ditujukan pada perubahan warna kulit, perubahan tropic pada

ujung ekstremitas.3

Palpasi terutama dimaksudkan untuk memeriksa suhu kulit dan denyut nadi. Suhu

kulit yang dingin pada ujung ekstremitas harus dicurigai, baik sebagai sumbatan akut,

sub akut, maupun kronik pada arteri. Suhu kulit yang hangat disertai perubahan warna

kulit menjadi kemerahan menunjukkan adanya infeksi, tromboplebitis dengan atau tanpa

selulitis.3

Perabaan denyut nadi harus dikerjakan dengan cermat dan dinilai besar dan kualitasnya.
Auskultasi dilakukan terutama ditempat yang menonjol atau ditempat terabanya

getaran sepanjang perjalaanan arteri yang bersangkutan, misalnya a. karotis, a. subklavia,

a. brakhialis, a. femoralis, a. poplitea. Terdengarnya bising atau terabanya getaran

merupakan tanda adanya stenosis arteri, keduanya merupakan manifestasi turbulensi

aliran darah melalui daerah yang sempit.3

F. Pemeriksaan penunujang

Diagnosis dapat menggunakan alat penunjang seperti pulse oxymetry, doppler

ultrasound atau duplex ultrasound untuk menentukan lesi vaskular, tapi belum

memberikan hasil yang memuaskan. Selain itu ada arteriografi intra-operatif yang

berguna dalam mengetahui hasil rekonstruksi secara langsung, apakah masih ada lesi

vaskular yang tertinggal.

Arteriografi bukan prosedur rutin karena akan memperlama penanganan sehingga

akan menyebabkan iskemia pada ekstremitas lebih lama lagi. Arteriografi dilakukan bila

terdapat keraguan diagnosis pada reeksplorasi atau pasca operasi. Arteriografi juga

dianjurkan pada trauma luas untuk mengetahui lesi vaskular yang multiple dan kondisi

kolateral yang ada.

Angiografi berguna untuk mengevaluasi luasnya trauma, sirkulasi distal, dan

perencanaan operasi. Akurasi angiografi cukup tinggi, yakni 92-98%. Alat ini terutama

berguna untuk mendiagnosis trauma arteri minimal yang dapat luput dari pengamatan

karena minimalnya gejala klinis yang ditampilkan. Indikasi untuk melakukan angiografi

di antaranya trauma tumpul yang signifikan pada ekstremitas yang berhubungan dengan

dislokasi dan fraktur, tanda-tanda iskemia atau ABI < 1, trauma penetrasi multipel pada

ekstremitas, dan adanya tanda defisit neurologis. Berdasarkan laporan yang telah

dipublikasikan, pasien dengan luka tembus maupun tumpul yang pulsasi ektremitasnya
tidak terganggu, dengan nilai ankle-brachial indeks (ABI) yang ≥1, tidak memerlukan

pemeriksaan angiografi namun tetap perlu dilakukan pengawasan selama 12 – 24 jam.

Pemeriksaan ultrasonografi Doppler dapat merekam pantulan gelombang suara

yang ditimbulkan oleh sel darah merah sehingga dapat menilai aliran darah. Selain untuk

diagnosis awal, pemeriksaan ini dapat menilai hasil sesudah anastomosis arteri.

Ultrasonografi color-flow duplex (CFD) telah disarankan sebagai pengganti

ataupun tambahan pemeriksaan arteriografi. Keuntungannya adalah sifatnya yang

noninvasif dan tidak menimbulkan nyeri. Alat ini portabel sehingga dapat dibawa ke

sampai tempat tidur pasien, unit gawat darurat, maupun ruang operasi.pemeriksaan

ulangan dan tindak lanjut dapat dilakukan dengan mudah tanpa adanya angka kecacatan

dan alat ini relatif lebih murah.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih kontroversial.

Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang terdeteksi harus

diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif bila terdapat kriteria

klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi dinding arteri yang minimal

(<5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma, tidak ada perdarahan aktif, dan

sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat dilakukan pada arteri yang memiliki

kolateral dan terutama pada orang muda. Bila pendekatan non operatif yang digunakan,

disarankan untuk melakukan pencitraan vaskular untuk memantau penyembuhan atau

stabilisasi.

Penatalaksanaan Endovascular
Embolisasi transkateter dengan coil atau balon dapat digunakan untuk terapi

beberapa cedera arteri seperti fistula arteriovenosa aliran rendah, khususnya pada lokasi

anatomis yang jauh. Coil berguna untuk mengoklusi perdarahan dan fistula

arteriovenosa.

Pendekatan endovaskular lainnya pada cedera ekstremitas adalah dengan

penggunaan teknologi stent-graft. Dengan kombinasi alat fiksasi seperti stent dan graft,

perbaikan endoluminal pada false aneurysm atau fistula arteriovenosa besar dapat

dimungkinkan.

Penatalaksanaan Operatif

Penatalaksanaan operasi pada cedera arteri perifer memerlukan persiapan seluruh

ekstremitas yang cedera. Sebagai tambahan, ekstremitas atas atau bawah kontralateral

yang sehat harus ikut disertakan untuk mengantisipasi apabila diperlukan autograft vena.

Pada umumnya, insisi dilakukan secara longitudinal langsung pada pembuluh darah yang

cedera dan diekstensi ke arah proksimal atau distal sesuai dengan kebutuhan.

Kontrol arteri proksimal dan distal dilakukan sebelum eksposur pada cedera. Arteri

proksimal dikontrol dengan benang kasar yang melingkari arteri (seperti jerat) atau bila

perlu dengan menggunakan klem vaskuler. Hal ini juga dilakukan pada arteri distal.

Terkadang diperlukan pintasan sementara pada arteri yang terputus (thromboresistent

plastic tube) untuk mencegah iskemia selama operasi. Debridemen, fasiotomi, fiksasi

fraktur, neurorhaphy, reparasi vena dapat dilakukan kemudian tanpa harus terburu-buru.

Pemakaian heparin secara sistemik pada kasus trauma memang berbahaya, namun

pemberian heparin dosis kecil yang diberikan langsung terutama ke bagian distal dapat

mencegah terbentuknya trombus.


Cara rekonstruksi arteri tergantung dari luas dan mekanisme trauma. Reparasi

cedera pembuluh darah dapat dilakukan dengan lateral suture patch angioplasty, end-to-

end anastomosis, interposition graft, dan bypass graft. Extra-anatomic bypass graft

berguna pada pasien dengan cedera jaringan lunak ekstensif atau sepsis.

Graft diperlukan untuk mencegah terjadinya penyempitan atau tegangan pada

anastomosis pembuluh darah apabila kehilangan arteri lebih dari 1.5 cm.. Pada umumnya

graft vena autogen lebih disenangi untuk mengatasi persoalan vaskuler. Autograft vena

pertama kali dilakukan untuk memperbaiki cedera arteri pada masa perang Korea.

Perkembangan bahan prostetik (ePTFE) memungkinkan penggunaan rutin bahan

prostetik sebagai pengganti autograft. Pengalaman membuktikan bahwa ePTFE lebih

tahan terhadap infeksi daripada bahan prostetik lainnya dan memiliki tingkat patency

yang lebih tinggi ketika digunakan pada posisi di atas lutut.

Pada trauma vaskular yang disertai dengan kerusakan vena, dapat dilakukan

rekonstruksi tersendiri atau bersamaan dengan kerusakan sistem arteri. Sebaiknya

dilakukan penyambungan vena lebih dahulu setelah mengeluarkan thrombus yang terjadi

terutama pada vena utama, sedangkan vena yang kecil dapat diikat saja. Hal ini dapat

menolong untuk mengurangi edema pasca bedah dan menekan angka amputasi pada

penderita trauma vaskular dengan kerusakan jaringan lunak dan tulang yang hebat serta

membantu memperbaiki aliran arteri. Bila terjadi edema yang mengganggu di daerah

ekstremitas, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan fasiotomi. Dengan

fasiotomi ini diharapkan terjadinya perbaikan sirkulasi pada kapiler dan otot yang rusak

kerena iskemia akibat oklusi total (ruptur arteri dan trombus). Apabila tidak dilakukan

fasiotomi, iskemia dapat menimbulkan gangren. Pada oklusi parsial (robekan intima),

bila sirkulasi kolateral tidak adekuat maka perfusi yang tidak sempurna dan iskemia otot

menyebabkan meningginya tekanan kompartemen.


Pada trauma vaskular yang disertai adanya fraktur tulang, dianjurkan batasan

waktu 12 jam setelah trauma. Bila lebih dari 12 jam dilakukan perbaikan arteri terlebih

dahulu. Untuk menangani fraktur ini terlebih dahulu dilakukan fiksasi eksterna, terutama

pada fraktur ekstremitas bawah karena pada ekstremitas bawah biasanya disertai

kerusakan jaringan lunak.

Faktor terpenting yang menentukan prognosis dari terapi pada trauma ekstremitas

pada waktu dirawat adalah adanya trauma rusak remuk, perbaikan vaskular yang

terhambat dan fraktur tibia yang segmental. Pada trauma rusak remuk biasanya terjadi

kerusakan jaringan yang berat yang dengan cepat mengalami nekrosis dan penderita akan

kehilangan tungkai walaupun pembuluh darahnya berfungsi dengan baik. Sedangkan

fraktur tibia sebelah proksimal dan perbaikan pembuluh darah dapat dengan cepat

ditangani, maka hasilnya akan jauh lebih memuaskan.

Trauma tumpul memiliki hubungan yang dengan tingginya kegagalan graft (35%),

dan kegagalan graft menyebabkan harus dilakukannya amputasi. Faktor resiko

independen yang menyebabkan harus dilakukannya amputasi setelah perbaikan arteri

adalah oklusi bypass graft, cedera kombinasi di atas dan di bawah lutut, dan transeksi

arteri.

Tujuan akhir dari rekonstruksi pada trauma vaskular adalah untuk menurunkan

angka amputasi. Untuk mencegah hal ini yang dapat kita lakukan adalah:

a. Secepat mungkin mengenal dan memberikan perawatan

b. Arterigrafi preoperatif dan intraoperatif dipertimbangkan sebaik mungkin

c. Mengerjakan trombektomi ke bagian proksimal dan distal

d. Pemakaian heparin yang sepantasnya

e. Mengutamakan vena autogen sebagai graft


H. Komplikasi

Komplikasi trauma vaskular dapat terjadi segera setelah dilakukan perbaikan lesi

pembuluh darah, atau lama setelah trauma berlalu tanpa tindakan yang adekuat.

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain thrombosis, infeksi, stenosis, fistula arteri-

vena, dan aneurisma palsu. Trombosis, infeksi, dan stenosis merupakan komplikasi yang

dapat terjadi segera pasca operasi, sedangkan fistula arteri-vena dan aneurisma palsu

merupakan komplikasi lama.

Rekomstruksi pembuluh darah harus ditangani secara sungguh-sungguh dan teliti

sekali karena bila terjadi kesalahan teknis operasi karena ceroboh atau penatalaksanaan

pasca bedah yang kurang terarah, akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup

ekstremitas berupa amputasi, atau terjadi emboli paru.

a. Trombosis

Trombosis akut langsung pasca-rekonstruksi vascular adalah komplikasi yang

paling sering terjadi, tetapi bila dilakukan koreksi segera dapat memberikan hasil

yang memuaskan. Bila debridemen arteri kurang adekuat dan aproksimasi intima

kurang akurat pada waktu rekonstruksi dikerjakan, maka sangat mungkin akan terjadi

trombosis segera setelah anastomosis dilakukan. Untuk memperbaiki kesinambungan

pembuluh arteri, pemakaian graft vena autogen jauh lebih unggul dari koreksi dengan

jahitan lateral ataupun anastomosis ujung ke ujung, terutama pada trauma yang luas.

Beberapa kesalahan teknis yang dapat menyebabkan terjadinya trombosis:

1. Debridemen arteri yang kurang adekuat dapat meninggalkan sisa-sisa dinding

arteri, dimana platelet dan trombin dapat lengket dan menyebabkan trombosis.

2. Kerusakan arteri yang multipel. Angiografi intra-operatif sangat besar artinya

dalam kasus ini untuk melihat daerah anastomosis dan distal. Kadang-kadang

arus balik saja tidak cukup untuk menjadi pegangan ada tidaknya lesi vaskular
sebelah distal, karena aliran darah balik dapat pula terjadi melalui kolateral.

Akhir-akhir ini sering dianjurkan untuk membuat arteriografi pra-operatif pada

trauma luas.

3. Sisa trombus sebelah distal dapat pula menyebabkan trombosis pada anastomosis

yang tadinya berjalan dengan baik. Larutan heparin dengan perbandingan 1:500

dapat dipakai untuk membilas daerah anastomosis dan membersihkan sisa-sisa

bekuan darah yang masih lengket dan dapat pula dipakai untuk membilas ke arah

distal agar arus balik mengalir dengan lebih lancar. Untuk meyakinkan tidak ada

thrombus yang tertinggal dapat dilakukan dengan memasukkan kateter balon

Fogarthy sejauh mungkin ke distal dan secara hati-hati mendorong trombus

keluar. Bila persediaan ada, maka dianjurkan memakai larutan trobolitik untuk

menghancurkan thrombus yang masih tersisa.

4. Trombosis juga terjadi pada anastomosis yang disebabkan oleh tarikan yang

berlebihan pada anastomosis. Stenosis berat akan terjadi pada jahitan bila dinding

pembuluh arteri tidak cukup untuk suatu jahitan lateral. Hal ini juga dapat terjadi

bila pembuluh arteri yang hilang cukup banyak dimana anastomosis ujung ke

ujung tetap dipaksakan. Kehilangan arteri lebih dari 2 cm sudah cukup untuk

melakukan graft dengan interposisi vena autogen. Sebaliknya juga jangan sampai

terlampau panjang memakai vena sebagai graft karena akan terjadi tekukan

(kinking) yang dapat mengganggu aliran darah laminar.

5. Pada graft yang terpelintir dengan mudah dapat terjadi trombosis. Graft sintesis

biasanya sudah mempunyai garis hitam memanjang yang dapat dipakai sebagai

pegangan agar jangan terpelintir. Pada graft vena autogen yang panjang garis ini

dapat dibuat dengan benang hitam halus yang dijelujur sepanjang graft itu

dilapiskan adventisia.
Salah satu cara untuk menentukan apakan rekonstruksi arteri itu berhasil atau

tidak adalah dengan cara meraba pulsasi di sebelah distal. Namun kita harus

waspada, karena pulsasi sebelah distal ini belum menjamin suatu sukses dalam

jangka waktu panjang. Apabila pulsasi tidak teraba, sebagian besar dapat dikoreksi

dengan segera melakukan operasi kedua untuki melihat kemungkinan thrombosis,

terutama bila timbul tanda-tanda iskemia tungkai sebelah distal. Bila tanda-tanda

distal dapat bertahan biarpun ada trombosis, maka sebaiknya dipertimbangkan untuk

menunda operasi kedua sampai keadaan umum mengizinkan karenatindakan operatif

yang berulang kali akan lebih sering menderita komplikasi infeksi. Selain itu, bila

cukup waktu, maka akan terbentuk system kolateral baru.pemeriksaan Doppler

(Ultrasonic Sounding Device) dapat menolong menentukan ada tidaknya aliran

kolateral yang mengisi pembuluh arteri distal dari sumbatan.

Harus hati-hati menegakkan diagnosis spasme arteri pada kemungkinan

adanya trombosis, bahkan pemberian obat sympathetic blocks serig menambah

keragu-raguan dalam menangani kasus trauma vaskular. Hematoma di bawah lapisan

intima atau robekan pada intima sendiri akan terlihat sebagai spasme pada inspeksi.

Tetapi memang spasme arteri dapat terjadi bersama dengan trauma vaskular, yang

biasanya dapat diatasi dengan pemberian Papaverin hydroclorida atau procain

hydrochloride 1%.

Pada trombosis dengan sumbatan total arteri selama lebih dari 6 jam akan

menyebabkan kematian otot dan saraf yang akan diganti oleh jaringan ikat, sehingga

terjadi kontraktur, misalnya Volkmann ischemic contracture.


b. Infeksi

Peradangan yang menyebabkan pecahnya anastomosis pada rekonstruksi

trauma vaskular dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan sukar untuk diatasi.

Untuk membantu pencegahan terhadap infeksi, diagnosis trauma vaskular harus cepat

ditegakkan, pemberian antibiotik yang sesuai, debridement luka yang adekuat,

kesinambungan pembuluh vaskular harus secepat mungkin diusahakan dan

pemberian nutrisi yang baik secara sistemik penting untuk dilakukan. Diperlukan

observasi yang ketat selama fase pasca operasi. Pada kecelakaan dengan luka

terkontaminasi, maka semua benda asing sedapat mungkin dikeluarkan dan kalau

perlu luka dibilas dengan larutan antibiotik.

Operasi ulang tidak boleh dilakukan di daerah yang terkena infeksi. Tidak saja

karena tindakan koreksi ulang ini akan memberikan kegagalan langsung, tetapi juga

berbahaya untuk kelangsungan hidup pasien karena septikemi dan atau eksanguinasi.

Yang harus dipertimbangkan adalah ligasi dari arteri proksimal dan distal dari daerah

infeksi. Beberapa hal yang masih dapat dikerjakan pada daerah infeksi ini adalah

debridenen, transisi flap otot, membasahi daerah infeksi dengan larutan antibiotic

secara teratur dan terus-menerus serta pemberian antibiotic yang terbaik. Infeksi

adalah penyebab kedua dari kegagalan rekonstruksi arteri pada trauma vaskular.

c. Stenosis

Penyebab terjadinya stenosis (penyempitan):

1. Kesalahan teknik operasi, misalnya jahitan jelujur yang ditarik terlampau ketat

atau pada koreksi dengan jahitan lateral, tetapi bahan dinding pembuluh tidak

cukup. Dapat pula karena tertinggalnya sisa jaringan pembuluh yang rusak. Bila
lesi arteri tidak diperbaiki dengan sempurna dapat terjadi iskemia relatif pada

otot yang akhirnya mengakibatkan suatu klaudikasio intermitten.

2. Hiperplasia lapisan intima terjad idijahitan anastomosis setelah beberapa

minggu atau bulan. Ini dapat dikoreksi dengan graft interposisi vena autogen.

d. Fistula arteri vena

Fistula arteri vena dapat disebabkan oleh trauma atau berupa suatu kelainan

bawaan. Biasanya fistula arteri vena traumatic disebabkan oleh cedera luka tembus

yang mengenai arteri dan vena yang berdekatan sehingga darah dapat langsung

mengalir dari arteri ke vena. Biarpun tidak sering kelainan ini dapat pula terbentuk

pada tindakan arteri yang kurang cermat di daerah yang kaya pembuluh darah.

Segera setelah terbentuk fistula antara arteri dan vena, darah arteri akan

mengalir melalui pintasan ini ke dalam vena, dan selanjutnya diteruskan ke jantung.

Ini menyebabkan menurunnya resistensi pembuluh darah perifer, tekanan diastole

akan menurun dan denyut jantung akan tambah cepat. Tekanan vena setempat akan

naik, sedangkan arus darah di tempat tersebut akan berkurang setelah beberapa

waktu. Pembuluh kolateral di daerah ini akan melebar serta arteri dan vena yang

terlibat juga akan melebar menyebabkan volume darah yang melalui pintasan ini

akan bertambah besar. Pembuluh vena melebar demikian rupa sehingga terbentuk

seperti varises. Hal ini bila berlangsung lama dapat menyebabkan payah jantung

karena curahnya yang bertambah.

Diagnosis fistula arteri vena tidak begitu sukar ditegakkan. Riwayat trauma

tajam, adanya pulsasi yang jelas disertai getaran pada perabaan dan pada auskultasi

terdengar bissng seperti bunyi mesin, semuanya ini menunjukkan adanya fistula

antara pembuluh arteri dengan pembuluh vena. Tanda lain yang mungkin timbul
sebelah distal dari fistula adalah klaudikasio intermitten, edema dan pelebaran vena

yang berkelok-kelok dan disertai warna kulit yang agak kebiruan.

Angiografi tidak diperlukan untuk diagnostik tetapi berguna untuk penentuan

lokasi pintasan yang akan dikoreksi. Waktu yang tepat untuk melakukan tindakan

operasi adalah segera setelah diagnostik ditegakkan. Prinsip dasar pada bedah

vaskular juga berlaku di sini, yaitu mencari dan melakukan jerat sementara pada

proksimal dan distal dari arteri dan vena yang terlibat, sebelum fistulnya dieksisi.

Bila mungkin pembuluh arterinya direkonstruksidengan jahitan langsung atau graft

dengan vena autogen, sedangkan lesi pembuluh darah vena biasanya dapat dijahit

lateral langsung. Kelainan struktur dan hemodinamika yang terjadi pada fistula arteri

dan vena traumatic biasanya pasca operasi menjadi normal kembali.

Trombosis akibat penyambungan pembuluh darah merupakan komplikasi yang

paling sering terjadi pada cerdera pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah akibat

repair atau rekonstruksi, terutama setelah intervensi ortopedi dapat menyebabkan

penurunan volume dan mungkin membutuhkan repair ulang. Ligasi pada pembuluh

darah sebagai tindakan emergensi dalam menghentikan perdarahan dapat menyebabkan

iskemi, sehingga sering dilakukan amputasi dibandingkan dengan repair pembuluh

darah.2,4

.
BAB II

LAPORAN KASUS

RUPTUR ARTERI FEMORALIS

A. Identitas

Nama : Tn. M

Umur : 21 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Sidoan

Tgl. Masuk : 20 Juni 2018

B. Anamnesis

Keluhan utama : Luka tusuk di paha kanan


Riwayat penyakit sekarang :

Pasien rujukan dari RS Tinombo dengan keluhan luka tertusuk parang di paha kanan

bagian luar sejak ±9 jam SMRS,perdarahan (+). nyeri (+), pusing (+), demam (-), lemas

(+), mual (-), muntah (-), BAK lancar, BAB biasa.

Mekanisme trauma : trauma terjadi ketika pasien sedang memaras rumput

menggunakan parang dan tiba-tiba parang menusuk paha bagian kanan.

Riwayat penyakit dahulu:

- Belum pernah mengalami hal yang sebelumnya

C. Pemeriksaan Fisik

Airway : Bebas, sumbatan jalan napas (-)

Breathing : Napas spontan

Circulation : TD 80/palpasi, Nadi 138 x/m, akral dingin

Keadaan umum : Sakit Lemah

Keasadaran : Compos Mentis, GCS (E4V5M6)

Tanda vital

Tekanan darah: 80/palpasi mmHg

Nadi : 138 x/m

Pernapasan : 24 x/m

Suhu : 36,2 ̊C

Status Generalisata

Kepala : Normocephal

Mata : Conjugtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya

(+/+)

Hidung: Rhinore (-)

Telinga: Otore (-/-)


Mulut : Dalam batas normal

Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), massa (-)

Thorax

Paru-paru :

Inspeksi : Pergerakan dada simetris bilateral

Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung :

Inspeksi : Ictus tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea mid clavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung normal

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler

Abdomen :

Inspeksi : Tampak datar

Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal

Perkusi : Timpani

Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan epigastrik (-)

Ekstremitas :

Superior : Akral dingin, oedem (-/-)

Inferior : Akral dingin, oedem (-/-)

Genitalia : Dalam batas normal

Status lokalis:

Regio Femur Dextra

Look : Vulnus ictum ukuran 3x3 cm, edema (+), perdarahan aktif
Feel : Nyeri tekan (+), pulsasi arteri dorsalis pedis dextra lemah, krepitasi (-)

Move : Sulit dinilai karena nyeri

D. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (26 Juli 2018)

WBC: 22.4 103/uL

RBC : 1.60 103/uL

Hb : 4.9 g/dl

Ht : 13.8 %

Plt : 250 103/uL

USG (26 Juli 2018)

Hypertrophy Prostat

E. Resume

Pasien laki-laki umur 21 tahun rujukan dari RS Tinombo dengan keluhan luka

tertusuk parah di paha kanan bagian luar sejak ±9 jam SMRS,perdarahan (+). nyeri (+),

pusing (+), lemas (+), BAK lancar, BAB biasa.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah : 80/palpasi mmHg, nadi: 138 x/m,

pernapasan : 24 x/m, suhu: 36.2 ̊C, konjungtiva anemis dan akral dingin. Pada status

lokalis regio femur dextra tampak vulnus ictum ukuran 3x3cm, edem (+), perdarahan

akti, nyeri tekan (+), pulsasi arteri dorsalis pedis lemah.

F. Diagnosis

Ruptur Arteri Femoralis Dextra

G. Diagnosis Banding
- Fraktur femur

H. Terapi

- Oksigen 3-4 lpm

- RL Guyur

- HES Guyur

- Vit K amp / 8 jam / iv

- Asam traneksamat amp / 8 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ceftriaxone 1 gr / 12 jam / iv

- Transfusi PRC 3 bag

- Rencana op repair arteri femoralis dextra

I. Prognosis

Quo ad vitam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Dubia ad malam

J. Laporan Operasi

(21 Juni 2018)

Diagnosis pra bedah : Vulnus Ictum of Femur + Syok Hipovolemik + Anemia

Diagnosis post bedah : Ruptur arteri femoralis dextra

Teknik operasi : Anastomosis Arteri Femoralis (Suture Vessel)

FOLLOW UP

21 Juni 2018

S / Luka tusuk di paha kanan, nyeri (+), perdarahan aktif


O/ TD : 110/80 mmHg

N : 88 x/m

P : 20 x/m

S : 36,5 ̊C

A / Ruptur Arteri Femoralis Dextra

P / Operasi

Instruksi post op :

- Drips RL 500 cc + 1 cc Heparin 24 tpm

- Anbacim 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin amp / 12 jam / iv

- Rawat ICU

Laboratorium

WBC : 19.3 103/uL

RBC : 3.17 103/uL

Hb : 9.3 g/dl

Ht : 27.8 %

Plt : 227 103/uL

22 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (+)

O/ TD : 131/79 mmHg

N : 80 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C
A / Ruptur Arteri Femoralis Dextra

Post op H+1

P / - Drips RL 500 cc + 1 cc Heparin 24 tpm

- Anbacim 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin amp / 12 jam / iv

23 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (+)

O/ TD : 144/82 mmHg

N : 62 x/m

P : 20 x/m

S : 36,8 ̊C

A / Ruptur Arteri Femoralis Dextra

Post op H+2

P / - Drips RL 500 cc 16 tpm

- Anbacim 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin amp / 12 jam / iv

Laboratorium

WBC : 13.2 103/uL

RBC : 3.16 103/uL

Hb : 9.5 g/dl

Ht : 27.9 %

Plt : 233 103/uL


24 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓)

O/ TD : 144/82 mmHg

N : 76 x/m

P : 24 x/m

S : 37 ̊C

A / Ruptur Arteri Femoralis Dextra

Post op H+3

P/- Drips RL 500 cc 16 tpm

- Anbacim 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin amp / 12 jam / iv

25 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓), bengkak pada tungkai kanan

O/ TD : 143/87 mmHg

N : 97 x/m

P : 24 x/m

S : 37 ̊C

Pulsasi arteri dorsalis pedis (-)

A / Ruptur Arteri emoralis Dextra

Post op H+4

P / - Ivfd NaCl 20 tpm

- Anbacym 1 gr / 12 jam / iv
- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin 50 mg / 12 jam / iv

- Heparin 1 cc dalam 500 cc NaCl habis dalam 24 jam

- Rawat luka

26 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓), bengkak pada tungkai kanan

O/ TD : 138/80 mmHg

N : 90 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C

Pulsasi arteri dorsalis pedis (-)

A / Ruptur Arteri emoralis Dextra

Post op H+5

P / - Ivfd NaCl 20 tpm

- Anbacym 1 gr / 12 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin 50 mg / 12 jam / iv

- Heparin 1 cc dalam 500 cc NaCl habis dalam 24 jam

- Rawat luka

27 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓), bengkak pada tungkai kanan

O/ TD : 167/80 mmHg
N : 92 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C

Pulsasi arteri dorsalis pedis (-)

A / Ruptur Arteri emoralis Dextra

Post op H+6

P / - Ivfd NaCl 20 tpm

- Anbacym 1 gr / 12 jam / iv

- Metronidazole drips / 8 jam / iv

- Ketorolac amp / 8 jam / iv

- Ranitidin 50 mg / 12 jam / iv

- Heparin 1 cc dalam 500 cc NaCl habis dalam 24 jam

- Rawat luka

- Aff drain

- Aff kateter

- Kontrol DR

Laboratorium

WBC : 21.50 103/uL

RBC : 3.12 103/uL

Hb : 8.9 g/dl

Ht : 25.6 %

Plt : 633 103/uL

28 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓), bengkak pada tungkai kanan, kulit di betis kanan agak menghitam
O/ TD : 120/80 mmHg

N : 94 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C

Pulsasi arteri dorsalis pedis (-)

A / Ruptur Arteri emoralis Dextra

Post op H+7

P / - Ivfd RL 20 tpm

- Anbacym 1 gr / 12 jam / iv

- Metronidazole drips / 8 jam / iv

- Heparin 1 cc dalam 500 cc NaCl habis dalam 24 jam

- Rawat luka

29 Juni 2018

S / Nyeri luka post op (↓), bengkak pada tungkai kanan, kulit di betis kanan agak menghitam

O/ TD : 140/80 mmHg

N : 100 x/m

P : 20 x/m

S : 37 ̊C

Pulsasi arteri dorsalis pedis (-)

A / Ruptur Arteri emoralis Dextra

Post op H+8

P / - Pulang paksa

- Cefixime 100mg 2x1

- Ibuprofen 2x1
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan luka tusuk pada paha kanan bagian luar

dengan darah mengalir deras dari dalam luka. Pada primary survey ditemukan gangguan pada

sirkulasi dengan tekanan darah 80/palpasi, denyut nadi 138 x/m, dan akral dingin,

menunjukkan adanya gangguan pada perfusi. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang

cukup banyak akibat luka tusuk yang mengenai pembuluh darah.

Berdasarakan pemeriksaan fisik yang dilakukan, dari pemeriksaan inspeksi dapat

terlihat adanya ruptur pada arteri dengan perdarahan yang mengalir deras. Pada palpasi

didapatkan pulsasi arteri yang lemah di bagian arteri dorsalis pedis dextra. Dari pemeriksaan

tersebut menunjukkan adanya gangguan vaskuler yang berarti akibat adanya rupture pada arti

femoralis dextra.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan terlebih dahulu menstabilkan kondisi

pasien dengan memperbaiki ABC (airway, breathing, circulation). Setelah kondisi stabil,

dilakukan tindakan repair arteri femoralis dextra dengan teknik anastomosis arteri femoralis.

Kemudian dilanjutkan dengan repair tendon yang terputus.

Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad malam, hal ini didasarkan pada waktu

dilakukan repair arteri yaitu 1 hari setelah masuk karena terkendala pada persiapan darah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Angate, Yaughni et. Al. (2007). Arterial trauma of the extremities. An Ivorian surgical

experience(Côted’Ivoire). Nigerian Journal Of Surgical Research. Disitasi pada tanggal :

01 Agustus 2018 dari : http://www.esprs.com/journal/301_5.PDF

2. Bjerke H. Scott. (2009). Extremity Vascular Trauma. E-medicine. Disitasi pada tanggal :

01 Agustus 2018 dari : http://emedicine.medscape.com/article/462752-overview

3. De Jong, Wim dan Sjamsuhidajat R, (2005). Jantung, Pembuluh Darah dan limpe dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke 2. EGC Jakarta.
4. Jeyaretna, Deva. et. Al. (2006). A case of elbow hyperextension leading to complete
brachial artery rupture. BioMed Central. Disitasi pada tanggal : 01 Agustus 2018 dari :
http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1749-7922-2-6.pdf
5. Wheeless, Clifford R. (2002). Mangled Extremity Severity Score (MESS). Wheeless'
Textbook of Orthopaedics. Disitasi pada tanggal : 01 Agustus 2018 dari :
http://www.wheelessonline.com/ortho/mangled_extremity_severity_score_mess

Anda mungkin juga menyukai