Anda di halaman 1dari 12

SALURAN BILIER

-----------------------------------------------------------------------------------------------------AZIS
AIMADUDDIN AI

Anatomi :
Empedu dihasilkan oleh sel hepatosit
hepar dan disekresi oleh hepar ke dalam
canaliculi biliaris. Canaliculi ini akan
bermuara
pada
ductus
biliaris
interlobularis. Duktus-ductus ini akan
membentuk duktus hepaticus dextra dan
sinistra. Kedua duktus ini akan
membentuk Duktus Hepaticus Comunis,
duktus ini bersatu dengan duktus
cysticus (dari vesica felea) membentuk
ductus Choledochus. Ductus ini bersama
ductus pankreaticus mayor (Wirsungi)
bermuara kedalam papilla duodeni mayor
(papila Vater) di duodenum pars
descendens. Pada muara ini terdapat
Spincter Oddi. Ductus hepaticus comunis
dengan ductus choledochus disebut
Common Bile Duct ( CBD) .
Empedu mengandung garam empedu,
pigmen empedu (bilirubin), lechitin,
colesterol dan elektrolit. Jumlah cairan
sehari 500-100 cc/hari. Vesica felea
merupakan suatu kantong yang berfungsi
memekatkan dan menyimpan empedu.
Dibagi menjadi 4 bagian : fundus ,
corpus, infundibulum dan collum. Dari
collum berlanjut menjadi ductus cysticus.
Infundibulum menonjol seperti kantong
disebut kantong HARTMANN.
Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica
cabang a.hepatica dekstra. Ada suatu
daerah yang dibentuk oleh ductus
cysticus, CBD, dan cabang a.cysticus
disebut TRIGONUM CALOT, daerah
ini penting untuk identifikasi a.cysticus
dan ductus cysticus pada tindakan
Cholecystektomi.

Kelainan pada Saluran Bilier :

1. Batu empedu

Teori terjadinya batu :


Supersaturasi
: empedu terlalu pekat pengendapan batu
Nidus (inti)
: terbentuk dari epitel desquamasi, bakteri, benda asing.
Jika nidus diselimuti endapan empedu batu
Terbanyak jenis batu kolesterol, bersifat radiolusen. Sedang pada kandung
kemih bersifat radioopak, karena mengandung kalsium yang bersifat menyerp
sinar X. Lokasi batu pada vesica felea (cholelithiasis) atau duktus choledocus
(choledocolithiasis).
Predisposisi terjadinya batu : 3F
Female (wanita)
Forty (diatas 40 tahun)
Fatty (gemuk)

Cholelithiasis
Klinis :

Sakit perut kanan atas (hipokondrium kanan)


Dispepsia
Kolik menetap, hilang timbul, mual, muntah
Ikterik ringan
Akibat sumbatan batu pada collum vesika velea sehingga terbentuk
kantong Hartmann yang mendesak CBD MIRIZZIS Syndrome

Diagnosis :

USG

Akurasi 95%, tampak gambaran :


@ Akustic Shadow batu empedunya
@ Double Layer edema dinding fesica felea

Kolangiografi (oral, iv)


Syarat : - kandung empedu sehat
- ductus cysticus baik
- bilirubin < 3

PTC d.biliaris melihat anatomi di proksimal sumbatan


ERCP papila vater melihat anatomi di distal sumbatan
Scintigraphy anatomi dan fungsi biliar/ letak kebocoran
CT Scan tidak khas

Komplikasi :

Terapi :

Kolik
Keganasan akibat iritasi kronis, calcified gall bladder 20% ca vesika
felea
Kolesistitis trauma mukosa kandung empedu oleh batu
Adhes Fistel Gall stone Ileus Perforasi peritonitis
Mucocele / hidrops sumbatan pada leher kadung empedu
Empyema

Operasi eksplorasi bilier open or laparaskopi


Tindakan setelah batu diambil, maka CBD dapat langsung tutup primer
atau pasang drainase temporer ( t-tube)
By pass ke duodenum (koledokoduodenostomi laterolateral) atau
jejenum (koledocoyeyenostomi Roux en Y )
Dilakukan bila ada striktur di duktus koledokus distal atau di papilla
vater yang sulit untuk didilatasi atau sfingterotomi

Terapi :

Non Operatif batu jenis kolesterol, berlangsung 2 bulan


Operatif :
Cholecystectomi kandung empedu & batu diambil
Cholecystostomi hanya batu
Indikasi Operasi
- Batu simtomatik
- Batu A-simptomatik :
- diameter > 2 cm meningkatkan resiko kolesistitis
- Kegananasan

Choledocolithiasis
Batu terletak pada CBD atau ekstrahepatal. Jenisnya :
- Batu primer biasanya jumlah banyak
- Batu sekunder batu di CBD sedikit biasanya ada batu
divesika felea

Klinis :

Ikterus obstruktif
Kolangitis intermitten
Kolik
Post kolesistektomi

Diagnosis :

Ikterus (bilirubin serum meningkat), alkali phospatase meningkat,


dapat dibedakan dengan keganasan. Alkali pospatase terdapat pada
sel pelapis saluran empedu.
Pada koledokolithiasis kerusakan epitel tidak banyak shingga kadar
alkali sekitar 300 IU/ltr, sedang pada keganasan epitel banyak
hancur sehingga alkali meningkat sampai ribuan . N: 40-100 IU/ltr

AL meningkat
USG akurasi < 80%

Kista Koledokus
Penyakit traktus biliaris biasanya jarang pada usia anak-anak. Kista biliaris dapat
terjadi pada ekstra hepatal, intrahepatal, atau pada keduanya. Kista ini terdapat
pada CBD dan harus dilakukan pengambilan karena berpotensi menjadi
ganas.
Tahun 1723 Vater dan Ezler mendiskripsikan suatu keadaan abnormal pada
anatomi traktus biliaris, di mana terjadi pelebaran dari duktus koledokus. Mc
Whoter pada tahun 1924 melaporkan yang pertama kali tentang eksisi kista
koledokus disertai anastomosis duktus hepatis kommunis dengan duodenum

Anatomi dan klasifikasi.


Todani dkk, membuat suatu klasifikasi berdasarkan gambaran kolangiografi,
menjadi 5 tipe sbb :
1. Tipe I
Merupakan dilatasi konsentris dari CBD/CHD. Ini merupakan tipe yang
paling banyak terjadi ( 90 % kasus ), biasanya berhubungan dengan anomali
sistem pankreatikobiliaris. Tipe ini dibagi menjadi 3 sub tipe, yaitu :
IA
: Kistik/Sakular dilatasi CBD
IB
: Fokal Segmental dilatasi CBD
IC
: Diffus atau silidris dilatasi CBD
2.

Tipe II divertikel yang keluar dari CBD atau CHD, (kira-kira 3 % kasus )

3.

Tipe III
Koledokele, merupakan suatu dilatasi kistik pada CBD bagian distal, di mana
dinding CBD herniasi ke dalam duodenum.

4.

Tipe IV
IV A
IV B

Multipel ekstra hepatik dan intra hepatik kiste


Multiple ekstra hepatik kiste.

5.

Tipe V Single atau multipel intra hepatik kista


o

Patologi
Dinding biasanya menebal oleh karena proses inflamasi dan fibrosis. Pada tipe
III tampak gambaran mukosa duodenum. Pada bayi dan anak biasanya
didapatkan gambaran obstruksi komplet atau hampir komplet pada bagian distal.
Pada pasien dewasa biasanya bagian distal masih patent. Pada kasus tanpa
komplikasi, gambaran hepar biasanya masih normal. Kadang pada kasus dengan
inflamasi yang ringan didapatkan fibrosis pada periportal hepar.

Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya kista koledokus masih merupakan suatu
perdebatan. Beberapa kemungkinan adalah karena kelemahan dinding secara
kongenital, abnormalitas pada mukosa, dan obstruksi kongenital. Todani pada
tahun 1984 menganalisis dari ERCP, menyebutkan bahwa kebanyakan pasien
mempunyai anomali pada sistem pankreatikobiliaris, di mana duktus
pankreatikus utama bermuara pada CBD pada tempat yang agak jauh dari
spingter Oddii, sehingga memungkinkan refluk enzim pankreas ke CBD dan
mengiritasi dinding sehingg dilatasi. Kelainan ini terjadi kira-kira pada 96 %
pasien anak. Tipe II terjadi bisanya karena ruptur CBD pada masa prenatal.

Gambaran Klinis
Kista Koledokus terjadi lebih banyak pada wanita dari pada pria ( 4 : 1 ). Kirakira 18 % terjadi pada umur < 1 th, dan 60 % pada umur < 10 th. Pada bayi
umur 1 3 bulan mempunyai gambaran klinis seperti atresia biliaris. Kiste
terlihat pada 2 % bayi dengan obstruksi jaundice. Pada dewasa manifestasi klinis
bervariasi.
Klinis berupa TRIAS KLASIK ALONSO:
1. Abdominal pain
2. Massa yang teraba pada perut kanan atas
3. Jaundice,
Epigastric pain merupakan simptom yang terbanyak disusul dengan panas dan
jaundice terjadi pada 25 % kasus. Gejala tersebut bisa terjadi secara berulang.
Komplikasi yang kadang terjadi (jarang) misalnya obstruksi biliaris, hipertensi
porta, rekuren pankreatitis dan bilier peritonitis.

Diagnosis
o
o

USG
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) jarang
dilakukan pada bayi dan anak, oleh karena invasive dan potensial terjadi
komplikasi kolangitis dan pankreatitis. PTC (Percutaneus Transhepatic

Cholangiography), merupakan prosedur yang invasive juga. Intravena


Cholangiography dengan Computer Tomografi juga jarang dilakukan.
Prosedur bedah yang bisa dilakukan untuk diagnosis adalah
Cholangiography Operatif.

Terapi
Prinsipnya menjamin penyaluran empedu bejalan lancar secara anatomi dan
fisiologi.
Drainase interna dari kiste ke duodenum dipopulerkan oleh Gross dan
Fonkalsurd sebagai suatu cara pembedahan yang aman dan efektif.
Komplikasi yang terjadi biasanya rekuren kolangitis, kolelithiasis,
pankreatitis dan striktura anastomosis, yang memerlukan tindakan re-operasi.
Rox-en-y cysto-jejunostomy dikembangkan untuk mengurangi kolangitis,
merupakan tindakan yang populer dan efektif.
Kasai dan Ishida (1970) melaporkan hasil yang memuaskan dengan cara eksisi
kiste. Sekarang umumnya setuju bahwa kiste koledokus memerlukan eksisi
komplet. Secara hati-hati kiste didiseksi dari arteri dan vena hepatika. Bagian
distal pada retropankreas harus dieksisi secara komplet untuk mencegah
timbulnya malignansi dari sisa-sisa residual kiste. Tehnik operasi yang hati-hati
diperlukan untuk mencegah injury terhadap duktus pankreatikus.
Follow up post operasi dilakukan tiap 3 bulan pada tahun pertama, dan
kemudian setiap tahun. Pada setiap datang diperiksa fungsi hepar, amilase
serum, dan USG hepar dan pankreas.

2. Radang
Kolesistitis
Merupakan radang pada vesika felea yang disebabkan oleh faktor
predisposisi :
- Batu yang menyebabkan obstruksi
- Tumor di dalam saluran empedu atau tumor ekstra duktus bilier yang
menekan saluran bilier
Dibagi menjadi :
- Akut obstruksi collum vesika fellea atau obstruksi duktus sistikus
- Kronis hampir akibat batu

Hidrops Kolesistitis
Terjadi akibat sumbatan total di collum vesika fellea sehingga tidak ada
aliran sekresi vesika fellea. Lama kelamaan debris dan sel2 radang
diabsorbsi oleh vesika fellea kembali sehingga cairan akan menumpuk dan
berwarna bening.
Terapi :
- Konservatif antibiotika, anti inflamasi, diet rendah lemak

Operatif kolesistektomi

Kolangitis
Merupakan peradangan pada Saluran bilier akibat adanya obstruksi.
Akut Supuratif
Keadaan dimana banyak terdapat pus, dimana merupakan indikasi
untuk spoed laparotomi. Tanda TRIAS CHARCOT :
1. Demam
2. Ikterik
3. Menggigil
Sklerosing kolangitis peradngan seluruh dinding saluran bilier
dimana saluran menjadi keras dan menyempit
Terapi : AB, Steroid, drainase

3. Ikterus obstruksif
Akibat sumbatan saluran bilier, akan terjadi kolestasis.

Tanda-tanda :

Bilirubin total (serum) > 3 gr%


Pelebaran saluran bilier (USG)

Penyebab :

Ektrahepatal koledocolithiasis, kolelithiasis, keganasan


Intrahepatal sklerosing kolangitis, keganasan (hepatoma)

Komplikasi :

Infeksi kolangitis, sepsis, peritonitis


Kerusakan hati sirosis

Terapi :

Drainage
- Interna
Mengalirkan empedu ke duodenum (by pass) / yeyenum (Roux-en Y)
bersifat permanen
-

Eksterna
Mengalirkan empedu keluar tubuh dngan menggunakan T-tube
bersifat temporer

Operatif :
- Kuratif (batu diambil)
- Paliatif (hilangkan penyebab)

Faktor Prognostik / Mortalitas Operasi :


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

AL > 10.000 mmk


Suhu > 38 C
Usia > 55 tahun
Keganasan
Albumin serum < 3,5 gr%
GOT/GPT > 100
Alkali Phospatase serum > 100
Bilirubin Total > 10 gr%

Penilaian Score Mortalitas:


7 8
: 100 %
6
: 85 %
5
:
70 %
4
:
16 %
1 - 3
:
0 %

pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal

Operasi dapat dilaksanakan bila pasien mempunyai Score dibawah 4

4. Trauma
Tumpul
Dapat menimbukan ruptur bilier peritonitis bilier.
Tindakan dilakukan drainase dulu setelah membaik baru direpai
Tajam Akibat iatrogenik. Biasanya dilakukan repair langsung

5. Neoplasma
Kolangiokarsinoma (Klatskin Tumor)
Lokasi sering pada proksimal duktus hepatikus kanan atau kiri
Karsinoma Vesika Felea St awal diterapi kolesistektomi dan reseksi hati
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan batu kandung empedu
di antaranya adalah iritasi, radang atau infeksi kandung empedu, empyema,
perforasi kandung empedu, gallstone ileus, sindrom Mirizzis ataupun
degenerasi ke arah tumor / neoplasma pada kandung empedu
Hubungan yang erat antara batu kandung empedu dengan tumor kandung
empedu telah diketahui, meskipun patogenesis yang pasti masih belum
diketahui. Insidensi terjadinya tumor kandung empedu pada pasien batu

kandung empedu pada literatur adalah berkisar antara 1-5% (Wagman, 2004).
Insidensi tumor kandung empedu pada wanita lebih besar daripada pria, dengan
rasio lebih kurang 2 : 1 (Wagman, 2004 ).
Tumor pada saluran empedu, termasuk kandung empedu, sebenarnya
merupakan kasus yang relatif jarang, namun merupakan masalah yang serius
karena menurut angka statistik di beberapa negara menunjukkan kenaikan
insidensi yang signifikan. Jika tumor ini dapat ditemukan pada stadim awal
mempunyai prognosis yang baik, tetapi jika ditemukan pada stadium lanjut
mempunyai prognosis yang buruk (Roslyn, 1999 ; Synder, 2003). Usia
tengah terjadinya tumor adalah 73 tahun (Wagman, 2004). Faktor
keturunan / ras berperan dalam tumor kandung empedu, dengan frekwensi 5
6 kali populasi normal pada orang Mexico, Alaska dan Hispanic.
Telah banyak dibahas di literatur tentang hubungan antara batu kandung
empedu dengan terjadinya tumor kandung empedu, meskipun patogenesis
yang pasti masih belum diketahui. Diduga bahwa adanya batu mengakibatkan
iritasi kronis pada dinding kandung empedu, kalsifikasi dinding kandung
empedu, porcelaine gallbladder (dihubungkan dengan insidensi keganasan
sebesar 20%), yang berlanjut pada metaplasi, displasi, dan neoplasma. Batu
empedu yang berukuran lebih dari 2,5 cm merupakan faktor resiko
Polip kandung empedu juga diduga merupakan faktor predisposisi terjadinya
tumor kandung empedu. Polip yang merupakan faktor resiko adalah polip
dengan ukuran diameter lebih dari 1 cm (Roslyn, 1999 ; Dept of Surg USC,
2004). Typhoid carrier juga merupakan faktor resiko terjadinya tumor
kandung empedu dengan mekanisme yang belum jelas (Wagman, 2004). Satu
pasien tumor kandung empedu pada penelitian ini merupakan typhoid carrier
yang pernah dirawat dua kali di rumah sakit karena typhoidnya. Adanya
kelainan kromosom atau genetik juga telah diteliti, di antaranya adalah
adanya mutasi pada onkogen BCL2 yang berhubungan dengan fungsi
diferensiasi dan penurunan progresivitas tumor, dan mutasi pada P53 yang
berperan dalam proses programe cell death atau proses apoptosis dan
pencegahan invasi tumor ke perineural.
Secara histologis, hampir semua tumor kandung empedu adalah ganas,
adenokarsinoma (85%), sisanya (15%) adalah skuamous sel karsinoma,
campuran antara skuamous dan glanduler, anaplastik, karsinoid, GIST, atau
tumor metastase dari tempat lain, misalnya dari metastase karsinoma paru
( Barnes, 2002 ; Machado, 1998 ; Kibler, 2004). Sering tumor kandung
empedu teridentifikasi intraoperatif, yaitu ditemukan massa atau penebalan
dinding kandung empedu yang melekat erat ke hati atau jika ditemukan lesi
polipoid yang teraba atau terlihat menonjol ke dalam lumen kandung
empedu. Terdapat pula tumor kandung empedu yang ditemukan secara
tidak sengaja oleh ahli patologi anatomi pada kasus pengangkatan
kandung empedu atas indikasi lainnya, misalnya batu kandung empedu
(Kiran, 2001 ; Roslyn, 1999).

Penyebaran tumor kandung empedu pertama kali adalah ke sistem


lokoregional, kemudian baru mengadakan metastase jauh. Pada pasien
yang dioperasi pengangkatan kandung empedu karena dicurigai adanya
masa tumor yang terbatas pada kandung empedu, intraoperatif ditemukan
adanya penyebaran limfatik di hilus hepar sebesar 25%, dan 70% sudah
mengalami
penyebaran langsung ke hepar. Sering terlihat invasi langsung dari tumor ke
struktur di sekitarnya seperti gaster, duodenum, hati, pankreas, khususnya
pada kasus-kasus yang sudah lanjut (Roslyn, 1999 ; Wagman, 2004).
Penggolongan stadium tumor ganas kandung empedu berdasarkan TNM :
Stadium
0
: Tis N0 M0
IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
IIA : T3 N0 M0
IIB : T1-3 N1 M0
III : T4 anyN M0
IV : anyT anyN M1
Tumor Primer (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat diakses
T0 : Tak ada bukti tumor primer
Tis : Karsinoma insitu, displasia high grade
T1a : Tumor menginvasi lamina propria
T1b : Tumor menginvasi lamina muskularis
T2 : Tumor menginvasi jaringan ikat perimuskuler, tak ada invasi ke liver
T3 : Tumor menembus serosa/ peritoneum visceral, atau invasi langsung ke
liver atau salah satu organ atau struktur di dekatnya, seperti lambung,
duodenum, kolon, pankreas, omentum, atau saluran empedu ekstra
hepatal.
T4 : Tumor menginvasi vena porta, atau arteri hepatika, atau menginvasi ke
beberapa organ atau struktur di dekatnya.
Regional Limfonodi (N)
Nx : Limfonodi regional tidak dapat diakses
N0 : Tidak ada metastase ke limfonodi regional
N1 : Terdapat metastase ke limfonodi regional
Metastase Jauh (M)
Mx : Metastase Jauh tidak dapat diakses
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh
Catatan : Klasifikasi ini tidak termasuk sarkoma dan tumor karsinoid.

Ekstensi langsung tumor ke hapar, kolon, duodenum, saluran empedu, dinding


abdomen atau diafragma tidak dimasukkan sebagai metastasis.
Gejala / keluhan tumor kandung empedu pada stadium awal, biasanya tidak ada.
Pada stadium yng lebih lanjut, gejalanya mirip dengan penyakit kandung
empedu yang lain, seperti nyeri pada perut kwadran kanan atas, mual,
muntah, intoleransi makanan tinggi lemak, nafsu makan menurun, ikterik /
kuning, dan penurunan berat badan. Gejala-gejala yang tidak spesifik ini
mengakibatkan terlambatnya perhatian klinis untuk mendiagnosis tumor
kandung empedu, sehingga berperan dalam rendahnya angka terapi kuratif
pada pasien (Barnes, 2002 ; Kiran, 2001 ; Roslyn, 1999 ; Wagman, 2004).
Tanda klinis pada tumor kandung empedu yang dapat ditemui berupa nyeri
tekan pada perut kwadran kanan atas, massa pada perut kwadran kanan
atas, hepatomegali, ikterus, leukositosis, anemia, peningkatan enzim ALP
> 100, dan ascites. Hasil pemeriksaan laboratoris pada tumor kandung
empedu bersifat non spesifik (Barnes, 2002 ; Kiran, 2001 ; Roslyn, 1999 ;
Wagman, 2004).
Untuk menegakkan diagnosis tumor kandung empedu sering dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa USG, CT-scan, MRI, ERCP, maupun PTC.
Pada pemeriksaan USG didapatkan penebalan dinding kandung empedu dan
kadang dapat memperlihatkan penyebaran tumor ke hilus hepar maupun
penyebaran metastase ke hepar. Pemeriksaan CT scan dan MRI lebih baik
daripada USG dalam mencari adanya penyebaran ke limfonodi hilus hepar,
ke hepar, maupun ke struktur-struktur lain yang berdekatan. ERCP dan
Transhepatic cholangiography sangat membantu untuk diagnosis, terutama
pada pasien dengan klinis ikterus, untuk menentukan dimana lokasi
sumbatannya dan adanya keterlibatan hepar. Sering tumor kandung empedu
teridentifikasi intraoperatif, yaitu ditemukan massa atau penebalan dinding
kandung empedu yang melekat erat ke hati atau jika ditemukan lesi polipoid
yang teraba atau terlihat menonjol ke dalam lumen kandung empedu (Kiran,
2001 ; Roslyn, 1999).
Terapi operatif tumor kandung empedu adalah berdasarkan perluasan lokal
dari tumornya. Tumor yang hanya menginvasi mukosa, menembus stratum
muskularis, tapi tidak menginvasi serosa, hanya membutuhkan terapi
operatif kolesistektomi saja. Tumor yang sudah mengenai atau menembus
serosa atau menginfiltrasi hepar, disamping pengangkatan tumornya di
kandung empedu, juga harus dilakukan reseksi gallbladder bed (segmen IV
dan V hepar) dan limfadenektomi porta hepatis. Penyebaran pada limfonodi
sekitar kandung empedu masih merupakan kondisi yang kuratif, sedang
penyebaran pada limfonodi sekitar duktus koledokus menunjukkan kondisi
paliatif (Wagman, 2004).
Terapi lanjutan berupa :
- Kemoterapi ajuvan.

Penelitian di Jepang menunjukkan terapi dengan 5-FU dan mitomycinC menghasilkan angka ketahanan hidup (survival) yang lebih baik pada
pasien tumor kandung empedu yang dilakukan terapi kolesistektomi.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien yang diberi kemoterapi
adalah 26% dibanding 14% pada pasien yang hanya mendapat terapi
kolesistektomi dan observasi saja. Agen kemoterapi yang biasanya
dipakai adalah 5-FU, Capecitabine (Xeloda), Gemcitabine (Gemzar), dan
Cisplatin. Biasanya 5-FU, Capecitabine, dan Gemcitabine diberikan
bersama Leucovorin. Agen kemoterapi lainnya yang masih terus diteliti,
di antaranya adalah oxaliplatin, docetaxel dan doxorubicin. Juga sedang
diteliti tentang hepatic arterial chemoterapy dengan menggunakan agen
floxuridine (Murr, 2004 ; Wagman, 2004).
-

Radioterapi ajuvan,
Biasanya hanya dipakai pada terapi paliatif. Belum ada informasi yang
lengkap mengenai terapi ini.

Prognosis tumor kandung empedu tergantung pada ;


- Stadium.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada kanker kandung empedu yang
terbatas pada mukosa adalah 83%, yang sudah menembus seluruh
ketebalan dinding adalah 33%, yang sudah menyebar ke limfonodi atau
metastase adalah 0 15%.
-

Tipe terapi.
Angka ketahanan hidup juga berbeda secara signifikan pada pasien
dengan reseksi kuratif, dengan reseksi paliatif, dan dengan terapi non
reseksi (unresectable). Angka ketahanan hidup juga meningkat dengan
pemberian kemoterapi dan terapi suportif.

parasit atau cacing, dan yang sangat jarang dapat berupa invaginasi gaster ke
duodenum seperti dilaporkan Marijata (2005).
Pada ikterus obstruktif dapat timbul komplikasi berupa kolangitis asenderen yang
ditandai dengan Charcots triad, yaitu nyeri pada abdomen kanan atas, ikterus,
dan demam. Dapat berkembang menjadi abses hati. Kematian dapat mencapai
20% pada orang tua.

Icterus

Obstruksi

----------------------RD-

Collection 2002

Ikterus adalah istilah umum untuk pewarnaan kuning pada kulit, membran
mukosa, atau sklera yang disebabkan berbagai macam gangguan. Warna kuning
pada sklera ini disebabkan begitu banyaknya elastin pada sklera yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap bilirubin. Manifestasi klinis dari ikterus merupakan akibat
peningkatan bilirubin pada plasma, suatu metabolik normal dari hemoglobin. Kadar
normal bilirubin pada plasma darah adalah pada kisaran 0,2 sampai 1 mg/dL. Warna
kuning/ikterus terlihat pada sklera bila kadar bilirubin mencapai nilai di atas 2,5
mg/dL. Warna kuning pada kulit dan membran mukosa baru akan terlihat bila kadar
bilirubin mencapai nilai 5-6 mg/dL.
Pada umumnya ikterus terbagi menjadi ikterus prehepatal, hepatal, dan post
hepatal. Ada juga yang membagi menjadi ikterus hemolitikus, ikterus hepatoseluler,
dan ikterus obstruktif. Selain itu ada pembagian medical jaundice dan surgical
jaundice.
Yang termasuk dalam medical jaundice adalah ikterus pada hemolisis, defek
transport, penyimpanan dan eksresi bilirubin, dan penyakit yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Yang termasuk dalam surgical jaundice adalah stasis bilier
karena penyakit / kerusakan parenkim hepar, atau obstruksi mekanis saluran bilier
intrahepatal maupun ekstrahepatal. Dalam perspektif bedah, sistem pembagian yang
paling bermanfaat untuk pedoman terapi adalah dengan membedakan apakah
kelainannya di hati (baik itu karena peningkatan produksi bilirubin atau penurunan
kemampuan ekskresi) atau obstruksi pada saluran bilier ekstrahepatal.
Beberapa proses jinak maupun ganas dapat mengakibatkan obstruksi mekanis aliran
empedu. Penyebab ikterus obstruktif yang sering terjadi adalah batu pada duktus
koledokus (koledokolitiasis), tumor pada kaput pankreas, dan kolangiokarsinoma.
Kemudian yang relatif jarang adalah striktur koledokus, striktur/stenosis ampulla
Vateri, stenosis spingter Oddi, sindrom Mirizzis, impaksi parasit / cacing ascaris,
kista koledokus, kista / pseudokista pankreas, sklerosing kolangitis, dan lain-lain.
Pada prinsipnya ikterus obstruktif disebabkan adanya gangguan aliran empedu di
dalam duktus hepatikus atau duktus koledokus. Jadi penyebabnya dapat
merupakan pendesakan dari luar dinding duktus, seperti pada tumor kaput pankreas,
kista / pseudokista pankreas, atau tumor / massa pada hillus hepatis; dapat
berasal dari dinding duktus itu sendiri, seperti pada striktur koledokus, sklerosing
kolangitis, maupun tumor dinding duktus (kolangiokarsinoma); dapat berasal dari
sumbatan di dalam lumen duktus, seperti pada batu saluran empedu, adanya impaksi

Sering juga terjadi gangguan pembekuan darah yang disebabkan adanya gangguan
ekskresi empedu di usus, tidak ada vitamin K yang diserap, sehingga terjadi
gangguan gamma-karboksilasi faktor II, VII, IX, XI, yang membutuhkan vitamin K.
Adanya gangguan fungsi hati karena obstruksi bilier, akan mengakibatkan gangguan
detoksikasi endotoksin oleh hati, dengan akibat terjadinya endotoksemia yang
meracuni ginjal sehingga mengakibatkan gagal ginjal.

Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning kemerahan dengan struktur C33H36O6N4. jumlah
total produksi bilirubin perhari adalah 300 mg. Sebagian besar bilirubin ini
merupakan hasil pemecahan eritrosit tua yang berumur 100 120 hari pada sistem
retikuloendotelial. Sebagian kecil lainnya merupakan hasil dari sumber
noneritropoietik hasil metabolisme dari enzim-enzim dan protein-protein yang
mengandung heme, dan juga dari eritropoietik yang tidak efektif pada sumsum
tulang.
Sistem Retikuloen
dotelial

Globin

Destruksi sel darah


80 - 85%
Merah tua
Hemoglobin

Heme
Heme oxygenase

Sumsum Tulang

Metabolisme
protein dan enzim
yang mengandung
heme di hati

Biliverdin
Biliverdin
reductase

Destruksi eritrosit
pada eritropoiesis
in efektif

Bilirubin

15 - 20%

Bilirubin non konjugasi (disebut juga Bilirubin I atau Bilirubin indirek) mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap albumin, yang akan mengikatnya secara reversibel.
Metabolisme bilirubin mempunyai tahapan tahapan, yaitu di hati, usus halus, dan
ginjal. Metabolisme bilirubin di hati melalui 3 fase : pengambilan, konjungasi, dan
ekskresi. Bilirubin I akan dilepaskan oleh albumin dari ikatannya pada membran
plasma sel sel hati (hepatosit).
Kemudian di dalam hepatosit bilirubin akan diikat oleh ligandin dan dibawa ke
retikulum endoplasma yang akan mengubahnya menjadi larut dalam air. Enzim
glukoronil transferase akan mengkatalisis konjungasi antara bilirubin dengan asam
glukoronat (uridine diphosphate glucoronic acis, suatu derivat glukosa) untuk
membentuk bilirubin monoglukoronid (BMG) dan bilirubin diglukoronid (BDG)
dengan enzim yang sama. Baik BMG maupun BDG akan disekresikan kedalan
kanalikuli biliaris dan dieksresikan ke empedu, dengan 85 % BDG dan 15 % BMG.
Dengan begitu bilirubin pada keadaan terkonjugasi dan larut dalam air memasuki
saluran bilier dan mengalir ke duodenum.
Bakteri yang ada pada usus halus bagian distal / anal mengubah bilirubin
terkonjugasi menjadi urobilinogen dan stercobilinogen, yang kemudian akan diubah
menjadi urobilin dan stercobilin yang memberi warna coklat pada tinja. Pada
persentase kecil urobilinogen akan direabsorbsi di ileum terminal dan kolon dan
diekskresikan lewat ginjal. Ketiadaan urobilinogen pada urine menunjukkan adanya
obstruksi bilier komplit, sedangkan peningkatan kadarnya di dalam urine dapat
berasal daari peningkatan produksi bilirubin, seperti pada hemolisis. Tinja akolik
terjadi bila bilirubin tidak terdapat pada usus untuk diubah menjadi urobilinogen dan
stercobilin. Karena bilirubin nonkonjugasi terikat pada albumin, maka tidak
diekresikan lewat urine. Sebaliknya bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan tidak
terikat protein, oleh karena itu difiltrasi glomerulus dan diekskresikan melalui urine.

Diagnosis Ikterus Obstruktif


1. Anamnesis
Informasi yang penting untuk menuju diagnosis dapat diperoleh dari anamnesis yang
teliti. Banyak pasien ikterus datang berobat setelah anggota keluarganya melihat
perubahan kuning pada sklera/kulit penderita. Anamnesis tentang pemakaian obatobatan atau makanan tertentu misalnya wortel atau tomat dalam jumlah yang banyak
yang dapat menimbulkan warna kuning pada kulit, jangan dilupakan. Umur
penderita, jenis kelamin, gejala gatal, nyeri, penurunan berat badan, merupakan data
yang penting untuk menyusun diferensial diagnosis yang baik.
Keterangan mengenai warna urine dan tinja dapat membantu mengklasifikasikan
masalah sebagai nonconjugated atau conjugated bilirubinemia. Waktu terjadinya
ikterus pada usia yang sangat muda bisanya merujuk pada kelainan herediter /
kongenital pada metabolisme bilirubin di hati. Gejala penyerta seperti anoreksia,
lekas lelah, merujuk pada proses kronik pada parenkim hati seperti pada abses hati
pyogenik. Nyeri perut mengindikasikan adanya peradangan atau obstruksi akut
seperti pada hepatitis akut atau obstruksi bilier ekstrahepatal. Ikterus yang berat
dengan tidak ada nyeri akut merupakan karakteristik pada obstruksi neoplastik

khususnya jika disertai penurunan berat badan. Gatal sangat sering muncul
sebagai gejala ikterus obstruktif, tetapi biasanya tidak muncul pada anemia
hemolitik. Urine yang gelap menunjukkan conjungated hiperbilirubinemia dan
tinja akolik menunjukkan obstruksi bilier komplit.

2. Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan ikterus perlu diperiksa secara menyeluruh dengan penekanan
pada daerah tertentu. Tempat pertama dimana peningkatan bilirubin dapat dideteksi
adalah di sklera, sebagai hasil afinitas elastin pada bilirubin yang biasanya bisa
terlihat bila kadar bilirubin mencapai 2,5 mg/dL. Kuning pada kulit dan membran
mukosa tidak terlihat, kecuali bila kadar bilirubin sudah melebihi 6 mg/dL. Pada
penyakit hati kronis bisa didapatkan hepatosplenomegali, spider angioma, erytema
palmaris, ginekomastia dan ascites. Pembesaran hati yang berbenjol-benjol
merupakan karakteristik pada karsinoma hati (primer atau sekunder). Suara bruit
pada hati biasanya terjadi pada karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan obstruksi
maligna pada duktus koledokus distal sering mempunyai kandung empedu yang
membesar, distensi dan mudah dipalpasi (Courvoisiers gallbladder).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium, di samping didapatkan peningkatan kadar bilirubin,
dapat ditemukan juga disfungsi hati dan trauma seluler akut pada sel-sel hati,
sehingga didapatkan peningkatan pada liver function test. Serum alkali pospatase
dan gamma Glutamil Transferase akan meningkat secara patognomonis pada
obstruksi bilier, dimana derajat peningkatannya sesuai dengan berat dan lama
obstruksinya. Alkali pospatase diproduksi oleh sel-sel kanalikuli biliaris sebagai
respon dari peningkatan tekanan hidrostatik intraduktal, dan merupakan penanda
yang spesifik dan muncul awal pada obstruksi bilier. Serum transaminase (aspartat
dan alanin) juga meningkat pada kelainan yang melibatkan saluran bilier, karena
adanya trauma pada sel-sel hati (mengganggu integritas membran sel hati), sehingga
transaminase dalam sitoplasma sel hati dapat keluar ke sistemik melalui membran
sel yang rusak.
Lekositosis dengan netrofilia sering terlihat pada kasus kolesistitis atau kolangitis
akut, walaupun bukan merupakan temuan yang spesifik, karena peningkatan lekosit
ini dapat berasal dari proses infeksi atau inflamasi di mana saja di seluruh tubuh
ataupun di dalam rongga abdomen.
Penurunan kadar albumin sering ditemui pada pasien dengan keganasan, tak
terkecuali keganasan saluran bilier (kolangiokarsinoma) maupun Ca kaput pankreas.
Penanda tumor seperti CA 19-9 dan CEA dapat membantu menegakkan diagnosis
keganasan ini, walaupun sifatnya tidak spesifik. Pada pemeriksaan imunohistokimia
dapat pula ditemukan mutasi ataupun abnormalitas onkogen
K-ras pada kodon
12 . Juga didapatkan kelainan P53 yang merupakan gen yang mengatur apoptosis.
Pada urinalisis didapatkan peningkatan bilirubin terkonjugasi (bilirubinuria) dan
penurunan / tidak adanya urobilinogen pada urine. Pada pemeriksaan tinja dapat

ditemukan tinja akolik (dempul), tidak didapatkan pewarnaan dari sterkobilin. Pada
keganasan juga dapat ditemukan adanya perdarahan samar pada tinja (ocult blood
test).
Prognostik faktor yang dipakai untuk meramalkan mortalitas operasi sebagian juga
berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium, seperti hitung lekosit, albumin, AST/ALT,
alkali pospatase, dan bilirubin total. 11.
Biasanya dijabarkan sebagai berikut :
- AL > 10.000
- Suhu > 38C
- Usia > 55 th
- Keganasan
- Albumin serum < 3,5 g%
- AST/ALT > 100
- Alkali Phospatase serum > 100
- Bilirubin total > 10 g%
Mortalitas operasinya :
-1 3
:
-4
:
-5
:
-6
:
-7 8
:

0%
16%
70%
85%
100%

4. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang sering dilakukan adalah USG, USG-endoskopi, CTscan, ERCP, HIDA-scan, MRI, MRCP dan PTC.
a. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan ultrasonografi adalah pemeriksaan yang pertama kali dilakukan pada
pasien dengan kelainan pada saluran empedu. Pemeriksaan ini bersifat non invasif,
tidak nyeri, tidak menimbulkan resiko radiasi pada pasien, dan dapat dilakukan pada
pasien pasien dengan segala kondisi (baik s/d jelek). Pemeriksaan ini tergantung
kepada ketrampilan dan pengalaman operatornya. Organ-organ di sekitarnya dapat
diperiksa pada saat yang sama. Pasien yang gemuk, pasien dengan obesitas, dan
pasien dengan distensi usus mungkin sulit untuk diperiksa dengan ultrasonografi.
Saluran empedu ekstrahepatal dapat terlihat dengan baik dengan ultrasonografi,
kecuali pada saluran empedu retroduodenal. Dilatasi duktus hepatilus / koledokus
pada pasien ikterus obstruktif menegakkan adanya obstruksi sebagai penyebab
ikterusnya. Sering tempat obstruksi, dan kadang penyebabnya, dapat diketahui
dengan USG. Batu kecil pada duktus koledokus sering tertanam di distal saluran di
belakang duodenum, sehingga sulit untuk dideteksi. Dilatasi duktus koledolus pada
USG, normal diameter biasanya kurang dari 8mm, batu batu kecil pada vesika
felea, dan adanya manifestasi klinis ikterus, dapat dijadikan asumsi bahwa pada

duktus koledokus terdapat batu yang menyebabkan obstruksi. Tumor pada


ampulla Vateri mungkin sulit untuk didiagnosa dengan USG, kecuali yang sudah
menyebar ke supraduodenal. Ultrasonografi dapat mengevaluasi invasi tumor ke
porta hepatis, suatu petanda klinis untuk resektabilitas tumor ampulla Vateri.
Untuk ikterus obstruktif ultrasound mempunyai sensitifitas 70 95 % dan
spesifisitas 80 100 %.
b. CT Scan (Computed Tomographic Scanning)
CT scan abdomen lebih inferior dibanding USG dalam mendiagnosis batu empedu,
tetapi lebih superior dibanding USG dalam pemeriksaan pasien dengan obesitas dan
banyaknya gas dalam sistem usus. Penggunaan CT scan terutama adalah untuk
menilai status saluran ekstrahepatal dan struktur struktur di dekatnya. CT scan
merupakan perangkat diagnostik pilihan pada keganasan vesika felea, keganasan
saluran empedu ekstrahepatal, dan keganasan kaput pankreas. CT scan dapat
berperan sebagai bagian dari perangkat diagnostik dalam penegakan ikterus
obstruktif. CT scan juga dapat menilai stadium tumor dengan menunjukkan adanya
keterlibatan limfonodi dan vaskuler. Jadi CT scan lebih baik dalam penilaian
stadium dan operabilitas tumor.
c. ERCP (Endoscopic Retrograd Cholangio Pancreaticography)
Dengan menggunakan endoskopi, duktus koledokus dapat dikanulasi melalui papilla
duodeni mayor, dan kolangiografi dapat dilakukan dengan fluoroskopi. Prosedur ini
membutuhkan sedasi. Keuntungan ERCP adalah bisa mendapatkan visualisasi secara
langsung daerah ampulla dan akses ke duktus koledokus distal, dengan
kemungkinan intervensi terapeutik. Jika didapatkan batu pada duktus koledokus,
sfingterotomi dan ekstraksi batu dengan Dormia basket dapat dilakukan. Di tangan
ahli yang berpengalaman, angka kesuksesan tindakan ini mencapai 90%.
Komplikasi tindakan ini adalah pankreatitis dan kolangitis pada 5% pasien.
d. PTC (Percutaneus Transhepatic Cholangiography)
Saluran empedu intrahepatik dapat diakses perkutan dengan jarum kecil dengan
tuntunan fluoroskopi. Melalui guide wire, kateter dimasukkan. Dari kateter ini,
kolangiografi dapat dilakukan, bahkan intervensi terapeutik dapat dilakukan, seperti
menginsersikan drain bilier dan stenting. PTC sangat berguna pada striktur duktus
koledokus dan tumor karena dapat menunjukkan kondisi anatomis di proksimal
kelainan. Resiko tindakan ini adalah perdarahan, kolangitis, leakage empedu.
e. Radioisotop Scanning
Sintigrafi bilier merupakan perangkat evaluasi yang non invansif untuk hati, vesica
felea, duktus bilier, dan duodenum, baik informasi anatomis dan fungsional. Dimetil
Iminodiacetic Acid (HIDA) yang dilabel dengan 99Technetium diinjeksikan
intravena. Zat ini akan dibersihkan oleh sel-sel Kupffer di hati dan dieksresikan ke
empedu. Pengambilan zat ini di hati dapat dideteksi dalam 10 menit, sedang
kandung empedu, duktus biliaris dan duodenum akan tampak dalam 60 menit.
Pengisian vesika felea dan CBD dengan penundaan atau tidak ada pengisian di

duodenum mengindikasikan obstruksi daerah ampulla Vateri. Sensitifitas dan


spesifisitas pemeriksaan ini sekitar 95%. 1,2,12.

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Memberikan informasi anatomi hati, vesika felea dan pankreas seperti pada CT scan.
Dalam mendeteksi koledokolitiasis, mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas
89%. Penggunaan MRI dengan teknik terbaru menggunakan kontras, akan
meningkatkan keakuratan gambaran anatomik saluran empedu dan saluran pankreas,
seperti pada pemeriksaan MRI dengan metode MRCP (Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography).
g. Endoskopik Ultrasound
Membutuhkan endoskop khusus dengan ultrasound pada ujungnya. Hasilnya
tergantung kepada operator, tapi merupakan pemeriksaan imaging yang non invasif
pada saluran empedu dan struktur-struktur di sekitarnya. Berguna pada evaluasi
tumor saluran empedu dan resektabilitasnya. Endoskop ultrasound ini mempunyai
lubang biopsi, yang memberi akses untuk biopsi tumor dengan tuntunan ultrasound.

Penyebab tersering ikterus obstruktif


1. Koledokolitiasis
Merupakan penyebab tersering obstruksi saluran bilier ekstrakepatal. Batu bisa
tunggal atau multipel, besar atau kecil. Lebih kurang 10% dari pasien kolelitiasis,
mempunyai batu di duktus koledokus. Sekitar 20 25 % pasien di atas 60 tahun
dengan batu empedu simptomatik mempunyai batu pada duktus koledokus dan
kandung empedu. Sebagian besar batu koledokus pada negara barat terbentuk di
dalam kandung empedu dan bermigrasi melalui duktus sistikus ke duktus koledokus.
Batu ini diklasifikasikan sebagai batu koledokus/koledokolitiasis sekunder, sebagai
lawan dari batu primer, yang terbentuk secara langsung di duktus koledokus. Batu
sekunder biasanya batu koleterol, sedangkan batu primer biasanya berwarna coklat
dan berhubungan dengan stasis bilier dan infeksi yang sering terlihat pada populasi
di Asia. Penyebab stasis bilier yang mengakibatkan terbentuknya batu primer di
antaranya adalah striktur saluran bilier, stenosis papilla, tumor, ataupun batu
sekunder yang sudah terbentuk sebelumnya. Koledokolitiasis bisa tanpa gejala dan
sering ditemukan tanpa sengaja. Dapat pula menyebabkan obstruksi, baik komplit
atau inkomplit, atau dapat bermanifestasi dengan kolangitis atau pankreatitis. Nyeri
yang dapat terjadi sifatnya hampir sama dengan nyeri kolik pada impaksi batu di
duktus sistikus. Pemeriksaan fisik bisa normal, tetapi nyeri tekan ringan pada
epigastirum atau regio kanan atas sering ditemukan. Mual, muntah, dan ikterus juga
sering ditemukan. Gejala gejala ini dapat bersifat intermitent, seperti nyeri dan
ikterus yang disebabkan adanya batu yang mengalami impaksi temporer pada
ampulla tetapi sering terlepas lagi, berlaku seperti ball valve. Batu yang relatif
kecil dapat melewati ampulla secara spontan dengan akibat hilangnya gejala dan

tanda klinis yang ada. Tetapi dapat juga batu menjadi impaksi komplit,
mengakibatkan ikterus berat yang progresif.
Peningkatan serum bilirubin, alkali pospatase, dan transaminase sering
didapatkan, tetapi pada sepertiga kasus, hasil tes fungsi hati adalah normal.
Pada tes awal ultrasonografi dapat mencari adanya batu di kandung empedu, juga
dapat menunjukkan ukuran/kaliber duktus koledokus. Karena batu pada duktus
koledokus mempunyai tendensi untuk bergerak ke bawah, ke arah distal duktus
koledokus, penampakannnya pada ultrasonografi dapat terhalang oleh gas usus
(duodenum), tetapi adanya dilatasi duktus koledokus > 8 mm pada ultrasonografi
pada pasien dengan batu empedu, ikterus, dan nyeri bilier sangat patut diduga
adanya koledokolitiasis. ERCP merupakan baku emas pada diagnosis
koledokolitiasis, dengan keuntungan adanya kemungkinan tindakan terapetik pada
saat diagnosis. Keberhasilan diagnosis mencapai 90 %, dengan morbilitas kurang
dari 5 % (cholangitis dan pankreatitis). Endoskopik ultrasonografi dan PTC kurang
sensitif dan jarang dilakukan pada koledokolitiasis.
Pada pasien yang dicurigai adanya batu di duktus koledokus, pre operatif ERCP atau
intra operatif cholangiografi dapat memperlihatkan batu tersebut. Jika pada ERCP
terlihat batu, sfingterotomi dan ekstraksi batu koledokus dapat dilakukan, diikuti
dengan laparoskopik kolesistektomi. Eksplorasi duktus koledokus secara
laparoskopik juga dapat dilakukan pada koledokolitiasis, dengan akses dari duktus
sistikus atau lewat duktus koledokus.
Eksplorasi CBD secara terbuka bisa dilakukan jika laparoskopi tidak
memungkinkan. Jika dilakukan koledokotomi, T.tube (atau NGT) harus diletakkan
pada tempatnya sebagai drainase. Pada kasus impaksi batu pada ampulla yang sulit
diambil, biasanya terdapat pelebaran duktus koledokus sampai mendekati 2 cm
diameternya, sehingga koledokoduodenostomi atau Roux-en-Y koledokojejunostomi
mungkin menjadi pilihan terbaik.

2. Tumor kaput pankreas


Adenokarsinoma adalah neoplasma tersering pada pankreas. Kaput pankreas
merupakan bagian pankreas yang paling sering terkena + 60 70 %. Karsinoma
pankreas merupakan tumor yang relatif jarang, di Amerika merupakan 2 % dari
kasus keganasan yang baru muncul, tapi merupakan 5 % dari penyebab kematian
karena keganasan dan menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kematian
setelah kanker pulmo, payudara, prostat, kolorektal dan ovarium. Pembedahan
merupakan satu-satunya terapi kuratif. Penyebab karsinoma pankreas tidak
diketahui. Faktor resikonya adalah merokok, pankreatitis kronis, diabetes mellitus.
Mutasi onkogen K-ras didapat pada 75 % pasien. Terdapat juga over ekspresi C-erb
B-12, HER2/neu, dan Bcl-2. Kerusakan tumor supressor gen P53 juga didapat pada
50 % pasien. Karsinoma pankreas biasanya berkembang tanpa gejala pada awalnya,
dan sebagian besar pasien sudah mempunyai stadium yang lanjut pada saat
diagnosis. Sekitar 70 % tumor berkembang di kaput pankreas, sebuah lokasi yang
sering menimbulkan striktur pada bagian intrapankreatik dari duktus koledokus dan
menimbulkan ikterus. Adanya warna kuning pada sklera dan kulit disertai urine yang
gelap seperti kola/teh dan tinja yang pucat/akolik. Gatal merupakan gejala yang

lazim. Pada tumor yang kecil tidak ada rasa sakit, tapi pada tumor yang sudah besar
dapat menginvasi persarafan retroperitoneal dan mengakbatkan nyeri perut dan back
pain. Penurunan berat badan sering didapatkan. Diabetes didapat pada 20 % pasien.
Pada 15 % pasien, terdapat distorsi duodenum menimbulkan gejala seperti obstruksi
gastrik outlet. Kadang gejala pankreatitis akut karena sumbatan tumor pada kaput ini
merupakan tanda/gejala yang pertama kali muncul. Oleh karena itu, pada pasien
dengan akut tanpa penyebab yang jelas, apakah itu batu empedu atau alkohol, ERCP
sangat membantu untuk menyingkirkan lesi anatomis karsinoma kaput pankreas ini.
Tumor pada korpus dan kauda pankreas tidak secara khas mengenai duktus
koledokus dan jarang bergejala ikterus. Pada pemeiksaan klinis didapatkan kuning
pada sklera dan kulit, kandung empedu mengalami pembesaran dan dapat teraba
pada regio kanan atas (Courviosiers sign). Tumor kaputnya sendiri jarang bisa
diraba. Pada stadium lanjut kadang ditemukan limfadenopati pada supraklavikula
kiri (Virchows Node), asites, karsinosis dengan teraba tumor pada omentum. Pada
ultrasonografi dapat terlihat massa pankreas yang hipoekhoik dibanding dengan
jaringan pankreas normal di sekitarnya, disertai pelebaran duktus pankreatikus,
duktus biliaris dan dilatasi vesika felea (Courvoisier Gallbladder). CT Scan
merupakan alat bantu diagnostik pilihan bila tumor kaput pankreas dicurigai.
Sebaiknya dipakai kontras per oral atau intravena. Suatu area inhomogen pada kaput
pankreas dan pelebaran saluran bilier dapat terlihat. Pelebaran saluran bilier dapat
intra maupun ekstra hepatal, dan saluran bilier yang mengalami pelebaran dapat
tiba-tiba berhenti pada daerah dimana merupakan pertemuannya dengan massa
tumor. Pelebaran duktus pankreatikus dan vesika felea juga dapat terlihat.
Keunggulan CT scan adalah jika sudah terjadi metastase tumor ke limfonodi,
metastase ke hati atau organ-organ di sekitarnya, asites, trombosis pembuluh darah
pada daerah tumor, biasanya dapat dilihat. Kadang tumor kaput pankreasnya sendiri
mungkin tidak terlihat, tapi adanya tanda-tanda tersebut di atas mengarahkan ke
diagnosis tumor kaput pankreas.
Tindakan bedah merupakan satu-satunya tindakan yang potensial kuratif untuk
karsinoma pankreas. Untuk lesi pada kaput pankreas, ada empat tindakan bedah
utama yaitu :
- standard Whipple pancreaticoduodenectomy
- pylorus preserving pancreaticoduodenectomy
- total pancreatectomy
- regional pancreatectomy
Operasi standar untuk keganasan periampuller yang dikenal sebagai Whipple
prosedur dipopulerkan oleh Whipple di Amerika pada tahun 1935. Pada operasi ini
kaput pankreas, duodenum, kandung empedu, duktus koledokus distal
(intrapankreatik), antrum, direseksi secara en-block beserta limfonodi di sekitarnya.
Kemudian dilakukan rekonstruksi pankreaticojejunostomi, koledokoyeyunostomi,
dan gastroyeyunostomi.
Traverso dan Longmire pada tahun 1978 melakukan preservasi pilorus pada
Whipple prosedur dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi gaster dan

menurunkan angka ulkus pada anastomose. Kondisi yang tidak menguntungkan


yang bisa muncul adalah batas reseksi tumor yang tidak adekuat pada proksimal
duodenum. Belum ada penelitian RCT yang membandingkan tehnik ini dengan
Whipple standar, tapi dari beberapa studi kasus, terlihat bahwa tehnik ini tidak
lebih
inferior dibanding Whipple standar. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan total
pankreatektomi atau parsial pankreatektomi.
Terapi ajuran kemoterapi dan radioterapi untuk karsinoma pankreas masih
kontroversial. Agen kemoterapi yang biasa dipakai adalah 5 Fluorouracil.
Pada kasus yang lanjut, dimana tumor sudah unresectable, dan tindakan yang
diambil adalah paliatif. Untuk tatalaksana obstruksi bilier dapat dilakukan surgical
by pass, endoscopic stenting, dan transhepatic stenting. Sten palstik yang dipakai
biasanya berukuran 7-10 French yang mempunyai median patency 4 bulan. Stent
metal lebih mahal, tetapi mempunyai median patency yang lebih lama, melebihi
median survival pada kelompok pasien paliatif ini. Pada penelitian RCT, tindakan
bedah mempunyai morbiditas dan mortalitas dini yang lebih besar dibanding
stenting. Tapi pada stenting mempunyai angka kegagalan jangka panjang yang lebih
tinggi. Keduanya tetapi tidak berbeda dalam hal survival. Pasien dengan angka
harapan hidup lebih dari 6 bulan atau yang membutuhkan gastrojejunostomi untuk
obstruksi duodenum mungkin lebih baik diterapi bedah. Pasien dengan metastace
yang luas, karsinosis, asites, terapi terbaik dengan stenting.
Obstruksi duodenum terjadi pada 10-20 % (15%) pasien karsinoma pankreas. Terapi
utama dengan gastrojejunostomi baik dengan laparoskopi atau bedah terbuka. Pada
penelitian RCT, pada pasien dengan resiko rendah untuk terjadi obstruksi gastric
outlet, tidak ada perbedaan yang bermakna pada survival pada pasien dengan atau
tanpa gastrojejunostomi. Tetapi osbtruksi gastric outlet kemudan terjadi pada banyak
pasien tanpa gastrojejunostomi yang akhirnya memerlukan tindakan bedah. Oleh
karena itu disarankan untuk melakukan gastrojejunostomi profilaksi pada pasien
tumor laparotomi. Tidak ada penelitian adekuat yang membandingkan keunggulan
bedah terbuka dengan laparoskopi pada tindakan gastrojejunostomi by pass ini.

3. Kolangio Karsinoma
Kolangio karsinoma adalah adenokarsinoma dari duktus bilier intra maupun ekstra
hepatal, merupakan tumor yang jarang yang timbul dari epitel saluran bilier. Sekitar
2/3 terletak pada percabangan duktus hepatikus. Reseksi bedah merupakan satusatunya tindakan yang bersifat kuratif, tetapi celakanya sebagian besar pasien sudah
mempunyai stadium yang lanjut pada saat diagnosis, oleh karena itu tindakan
paliatif untuk drainase bilier dan mencegah gagal hati dan kolangitis sering
merupakan satu-satunya tindakan yang bisa diambil. Sebagian besar pasien dengan
penyakit yang unresectable akan meninggal dalam satu tahun ke depan
Insidensi kolangiokarsinoma pada otopsi sekitar 0,3 %. Rasio laki-laki : perempuan
adalah 1,3 : 1. Usia terpapar diantara 50 sampai 70 tahun ( usia pertengahan ).
Faktor resiko kolangiokarsinoma adalah sklerosing kolangitis , stasis bilier, batu
saluran bilier, diet nitrosamin, kista koledokus, hepatolitiasis, biliary-enteric

anastomosis dan infeksi saluran bilier oleh Clonorchis sinenssis, Opisthorcchis


felineus, dan tifoid carrier.
Lebih dari 95 % kanker saluran bilier adalah adenokarsinoma. Secara morfologis
terbagi menjadi noduler (tersering), schirrous, infiltrasidifus, dan papiller. Secara
anatomis terbagi menjadi distal, proksimal, dan perihiler. Intrahepatik
kolangiokarsinoma diterapi seperti karsinoma hepatoseluler dengan hepatektomi jika
memungkinkan. Sekitar 2/3 kolangiokarsinoma terletak di perihiler, yang dikenal
sebagai Klatskin tumor.
Gejala klinis yang sering muncul pada kolangiokarsinoma adalah ikterus yang
painless. Pruritus, nyeri ringan epigastrium, nafsu makan menurun, lemah dan berat
badan menurun bisa muncul. Simpton kolangitis muncul pada 10 % pasien
kolangiokarsinoma, tetapi biasnya muncul setelah adanya manipulasi sistem bilier.
Kecuali ikterus, pada pemeriksaan fisik biasnya normal. Kadang-kadang pasien
yang asimptomatik ditemukan mempunyai kolangiokarsinoma pada saat ditemukan
peningkatan kadar alkalifosfatase dan GT. Test pertama kali biasanya dengan USG
dan CT scan. Pada tumor perihiler didapatkan pelebaran saluran bilier intrahepatal
tetapi dengan normal atau kolaps kandung empedu dan duktus bilier distal dari
tumor. Tumor bilier distal menunjukkan dilatasi pada saluran bilier intrahepatal,
ekstrahepatal dan kandung empedu. USG dapat menentukan level sumbatan dan
dapat menyingkirkan adanya batu sebagai penyebab ikterus obstruktif. Biasanya
sangat sulit untuk memvisualisasikan tumornya sendiri pada USG maupun CT scan
standar. Saluran bilier ditentukan dengan kolangiografi. Dengan PTC dapat
menunjukkan perluasan tumor ke arah proksimal, yang merupakan faktor yang
sangat penting untuk menentukan resektabilitas tumor. ERCP digunakan untuk
evaluasi tumor di bagian distal. Untuk evaluasi adanya keikutsertaan vaskuler,
angiografi celiac mungkin diperlukan. MRI juga dapat digunakan sebagai
pemeriksaan yang non invasif untuk menentukan anatomi saluran bilier, limfonodi,
dan keterlibatan vaskuler, juga pertumbuhan tumor itu sendiri.
Pasien harus menjalani operasi eksplorasi jika mereka tidak mempunyai tanda-tanda
metastasis atau tumor yang unresectable. Bagaimanapun juga, walau dengan
semakin canggihnya perangkat bantu diagnostik USG, CT Scan, MRI, lebih dari
yang menjalani operasi eksplorasi ternyata mempunyai keterlibatan pada
peritoneum, metastase pada limfonadi atau hepar, atau sudah locally advanced
disease yang tidak memungkinkan reseksi. Pada pasien-pasien ini, bypass untuk
dekompresi bilier dan kolestektomi untuk mencegah terjadinya kolestitis akut harus
dilakukan. Untuk kolangiokarsinoma perihiler yang enresectable, Roux-en-Y
kolangiojejunostomi ke saluran-saluran bilier segmen II atau segmen III atau ke
duktus hepatikus kanan dapat dilakukan. Untuk reseksi kuratif, lokasi tumor dan
perluasan lokalnya sangat menentukan luas reseksi. Tumor perihiler yang mengenai
bifurkasio dan duktus koledokus proksimal (Bismuth-Corlette tipe I dan II) tanpa
invasi vaskuler, merupakan kandidat untuk eksisi lokal tumor, dengan
limfadenektomi portal, kolesistektomi dan eksisi koledokus, dan bilateral
hepatikojejunostomi. Jika tumor mengenai duktus hepatikus kanan atau kiri,
(Bismuth-Corlette tipe IIIa atau IIIb) maka lobektomi kanan atau kiri harus

dilakukan. Seringkali reseksi lobus kaudatus diperlukan karena perluasan


langsung tumor.
Kolangiokarsinoma sebelah distal lebih sering bersifat resectable. Biasanya
diterapi dengan pylorus preserving pankreatoduodenektomi (Whipple Prosedur).
Untuk yang unresectable pada eksplorasi, Raoux-en-Y hepatojejunostomi,
kolesistektomi, dan gastrojejunostomi untuk mencegah obstruksi gastrik outlet
harus dikerjakan.
Dekompresi bilier non operatif dapat dilakukan pada pasien yang inresectable saat
penilaian diagnosis. Perkutaneus drainase biasanya dilakukan pada tumor yang
proksimal. Untuk tumor distal, drainase interna dengan endoskopi sering merupakan
pilihan. Pada drainase interna dan eksterna ini terdapat resiko kolangitis yang cukup
tinggi, disamping resiko sumbatan drainasenya/stent. Walaupun melalui tindakan
bedah terbuka mempunyai keberhasilan potensi drainase yang lebih tinggi dan
resiko kolengitis yang lebih rendah, intervensi operasi ini tidak dianjurkan pada
pasien dengan metastasis.
Tidak ada bukti yang nyata tentang manfaat kemoterapi ajuvan pada
kolenagiokarsinoma. Radioterapi ajuvan juga tidak terbukti meningkatkan kualitas
hidup maupun harapan hidup/survival pada pasien yang dilakukan reseksi tumornya.
Pada pasien yang unresectable sering diterapi dengan 5 FU atau kombinasi 5 FU
dengan mitomycin-C dan Deksorubicin, tetapi respon ratenya rendah, sekitar 10 %
dan 30 %. Kombinasi radioterapi dengan kemoterapi mungkin lebih efektif daripada
terapi tunggal untuk tumor yang unresectable, tapi belum ada bukti RCT yang
menunjang, begitu pula dengan interstitiel brachyterapi dengan Iridium 192 yang
dikombinasi dengan radiasi eksterna masih dalam penelitian.
Sebagian besar pasien dengan perihiler kolangiokarsinoma datang dengan stadium
lanjut yang unresectable. Pasien yang unresectable ini mempunyai survival antara 5
sampai 8 bulan. Penyebab kematian tersering adalah gagal hati dan kolangitis.
Untuk yang resectable, angka harapan hidup 5 tahun adalah sekitar 10-30%, dan
untuk pasien yang margin bebas tumor bisa mencapai 40 5. Mortalitas operasi pada
perihilar kolangiokarsinoma sekitar 6-8 %. Pasien dengan distal kolangiokarsinoma
lebih sering resectable sehingga mempunyai prognosis yang lebih baik. Angka
harapan hidup 5 tahun untuk yang resectable adalah sekitar 30-50% dan median
survival 32-38 bulan.
Resiko rekurensi setelah reseksi tumor sangat ditentukan oleh negativitas margin
reseksi dan kebersihan dari limfonodi yang positif tumor. Terapi untuk rekurensi
adalah paliatif untuk gejala yang ada, terapi bedah tak dianjurkan.

Anda mungkin juga menyukai