-----------------------------------------------------------------------------------------------------AZIS
AIMADUDDIN AI
Anatomi :
Empedu dihasilkan oleh sel hepatosit
hepar dan disekresi oleh hepar ke dalam
canaliculi biliaris. Canaliculi ini akan
bermuara
pada
ductus
biliaris
interlobularis. Duktus-ductus ini akan
membentuk duktus hepaticus dextra dan
sinistra. Kedua duktus ini akan
membentuk Duktus Hepaticus Comunis,
duktus ini bersatu dengan duktus
cysticus (dari vesica felea) membentuk
ductus Choledochus. Ductus ini bersama
ductus pankreaticus mayor (Wirsungi)
bermuara kedalam papilla duodeni mayor
(papila Vater) di duodenum pars
descendens. Pada muara ini terdapat
Spincter Oddi. Ductus hepaticus comunis
dengan ductus choledochus disebut
Common Bile Duct ( CBD) .
Empedu mengandung garam empedu,
pigmen empedu (bilirubin), lechitin,
colesterol dan elektrolit. Jumlah cairan
sehari 500-100 cc/hari. Vesica felea
merupakan suatu kantong yang berfungsi
memekatkan dan menyimpan empedu.
Dibagi menjadi 4 bagian : fundus ,
corpus, infundibulum dan collum. Dari
collum berlanjut menjadi ductus cysticus.
Infundibulum menonjol seperti kantong
disebut kantong HARTMANN.
Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica
cabang a.hepatica dekstra. Ada suatu
daerah yang dibentuk oleh ductus
cysticus, CBD, dan cabang a.cysticus
disebut TRIGONUM CALOT, daerah
ini penting untuk identifikasi a.cysticus
dan ductus cysticus pada tindakan
Cholecystektomi.
1. Batu empedu
Cholelithiasis
Klinis :
Diagnosis :
USG
Komplikasi :
Terapi :
Kolik
Keganasan akibat iritasi kronis, calcified gall bladder 20% ca vesika
felea
Kolesistitis trauma mukosa kandung empedu oleh batu
Adhes Fistel Gall stone Ileus Perforasi peritonitis
Mucocele / hidrops sumbatan pada leher kadung empedu
Empyema
Terapi :
Choledocolithiasis
Batu terletak pada CBD atau ekstrahepatal. Jenisnya :
- Batu primer biasanya jumlah banyak
- Batu sekunder batu di CBD sedikit biasanya ada batu
divesika felea
Klinis :
Ikterus obstruktif
Kolangitis intermitten
Kolik
Post kolesistektomi
Diagnosis :
AL meningkat
USG akurasi < 80%
Kista Koledokus
Penyakit traktus biliaris biasanya jarang pada usia anak-anak. Kista biliaris dapat
terjadi pada ekstra hepatal, intrahepatal, atau pada keduanya. Kista ini terdapat
pada CBD dan harus dilakukan pengambilan karena berpotensi menjadi
ganas.
Tahun 1723 Vater dan Ezler mendiskripsikan suatu keadaan abnormal pada
anatomi traktus biliaris, di mana terjadi pelebaran dari duktus koledokus. Mc
Whoter pada tahun 1924 melaporkan yang pertama kali tentang eksisi kista
koledokus disertai anastomosis duktus hepatis kommunis dengan duodenum
Tipe II divertikel yang keluar dari CBD atau CHD, (kira-kira 3 % kasus )
3.
Tipe III
Koledokele, merupakan suatu dilatasi kistik pada CBD bagian distal, di mana
dinding CBD herniasi ke dalam duodenum.
4.
Tipe IV
IV A
IV B
5.
Patologi
Dinding biasanya menebal oleh karena proses inflamasi dan fibrosis. Pada tipe
III tampak gambaran mukosa duodenum. Pada bayi dan anak biasanya
didapatkan gambaran obstruksi komplet atau hampir komplet pada bagian distal.
Pada pasien dewasa biasanya bagian distal masih patent. Pada kasus tanpa
komplikasi, gambaran hepar biasanya masih normal. Kadang pada kasus dengan
inflamasi yang ringan didapatkan fibrosis pada periportal hepar.
Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi terjadinya kista koledokus masih merupakan suatu
perdebatan. Beberapa kemungkinan adalah karena kelemahan dinding secara
kongenital, abnormalitas pada mukosa, dan obstruksi kongenital. Todani pada
tahun 1984 menganalisis dari ERCP, menyebutkan bahwa kebanyakan pasien
mempunyai anomali pada sistem pankreatikobiliaris, di mana duktus
pankreatikus utama bermuara pada CBD pada tempat yang agak jauh dari
spingter Oddii, sehingga memungkinkan refluk enzim pankreas ke CBD dan
mengiritasi dinding sehingg dilatasi. Kelainan ini terjadi kira-kira pada 96 %
pasien anak. Tipe II terjadi bisanya karena ruptur CBD pada masa prenatal.
Gambaran Klinis
Kista Koledokus terjadi lebih banyak pada wanita dari pada pria ( 4 : 1 ). Kirakira 18 % terjadi pada umur < 1 th, dan 60 % pada umur < 10 th. Pada bayi
umur 1 3 bulan mempunyai gambaran klinis seperti atresia biliaris. Kiste
terlihat pada 2 % bayi dengan obstruksi jaundice. Pada dewasa manifestasi klinis
bervariasi.
Klinis berupa TRIAS KLASIK ALONSO:
1. Abdominal pain
2. Massa yang teraba pada perut kanan atas
3. Jaundice,
Epigastric pain merupakan simptom yang terbanyak disusul dengan panas dan
jaundice terjadi pada 25 % kasus. Gejala tersebut bisa terjadi secara berulang.
Komplikasi yang kadang terjadi (jarang) misalnya obstruksi biliaris, hipertensi
porta, rekuren pankreatitis dan bilier peritonitis.
Diagnosis
o
o
USG
ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography) jarang
dilakukan pada bayi dan anak, oleh karena invasive dan potensial terjadi
komplikasi kolangitis dan pankreatitis. PTC (Percutaneus Transhepatic
Terapi
Prinsipnya menjamin penyaluran empedu bejalan lancar secara anatomi dan
fisiologi.
Drainase interna dari kiste ke duodenum dipopulerkan oleh Gross dan
Fonkalsurd sebagai suatu cara pembedahan yang aman dan efektif.
Komplikasi yang terjadi biasanya rekuren kolangitis, kolelithiasis,
pankreatitis dan striktura anastomosis, yang memerlukan tindakan re-operasi.
Rox-en-y cysto-jejunostomy dikembangkan untuk mengurangi kolangitis,
merupakan tindakan yang populer dan efektif.
Kasai dan Ishida (1970) melaporkan hasil yang memuaskan dengan cara eksisi
kiste. Sekarang umumnya setuju bahwa kiste koledokus memerlukan eksisi
komplet. Secara hati-hati kiste didiseksi dari arteri dan vena hepatika. Bagian
distal pada retropankreas harus dieksisi secara komplet untuk mencegah
timbulnya malignansi dari sisa-sisa residual kiste. Tehnik operasi yang hati-hati
diperlukan untuk mencegah injury terhadap duktus pankreatikus.
Follow up post operasi dilakukan tiap 3 bulan pada tahun pertama, dan
kemudian setiap tahun. Pada setiap datang diperiksa fungsi hepar, amilase
serum, dan USG hepar dan pankreas.
2. Radang
Kolesistitis
Merupakan radang pada vesika felea yang disebabkan oleh faktor
predisposisi :
- Batu yang menyebabkan obstruksi
- Tumor di dalam saluran empedu atau tumor ekstra duktus bilier yang
menekan saluran bilier
Dibagi menjadi :
- Akut obstruksi collum vesika fellea atau obstruksi duktus sistikus
- Kronis hampir akibat batu
Hidrops Kolesistitis
Terjadi akibat sumbatan total di collum vesika fellea sehingga tidak ada
aliran sekresi vesika fellea. Lama kelamaan debris dan sel2 radang
diabsorbsi oleh vesika fellea kembali sehingga cairan akan menumpuk dan
berwarna bening.
Terapi :
- Konservatif antibiotika, anti inflamasi, diet rendah lemak
Operatif kolesistektomi
Kolangitis
Merupakan peradangan pada Saluran bilier akibat adanya obstruksi.
Akut Supuratif
Keadaan dimana banyak terdapat pus, dimana merupakan indikasi
untuk spoed laparotomi. Tanda TRIAS CHARCOT :
1. Demam
2. Ikterik
3. Menggigil
Sklerosing kolangitis peradngan seluruh dinding saluran bilier
dimana saluran menjadi keras dan menyempit
Terapi : AB, Steroid, drainase
3. Ikterus obstruksif
Akibat sumbatan saluran bilier, akan terjadi kolestasis.
Tanda-tanda :
Penyebab :
Komplikasi :
Terapi :
Drainage
- Interna
Mengalirkan empedu ke duodenum (by pass) / yeyenum (Roux-en Y)
bersifat permanen
-
Eksterna
Mengalirkan empedu keluar tubuh dngan menggunakan T-tube
bersifat temporer
Operatif :
- Kuratif (batu diambil)
- Paliatif (hilangkan penyebab)
pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal
pasien meninggal
4. Trauma
Tumpul
Dapat menimbukan ruptur bilier peritonitis bilier.
Tindakan dilakukan drainase dulu setelah membaik baru direpai
Tajam Akibat iatrogenik. Biasanya dilakukan repair langsung
5. Neoplasma
Kolangiokarsinoma (Klatskin Tumor)
Lokasi sering pada proksimal duktus hepatikus kanan atau kiri
Karsinoma Vesika Felea St awal diterapi kolesistektomi dan reseksi hati
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan batu kandung empedu
di antaranya adalah iritasi, radang atau infeksi kandung empedu, empyema,
perforasi kandung empedu, gallstone ileus, sindrom Mirizzis ataupun
degenerasi ke arah tumor / neoplasma pada kandung empedu
Hubungan yang erat antara batu kandung empedu dengan tumor kandung
empedu telah diketahui, meskipun patogenesis yang pasti masih belum
diketahui. Insidensi terjadinya tumor kandung empedu pada pasien batu
kandung empedu pada literatur adalah berkisar antara 1-5% (Wagman, 2004).
Insidensi tumor kandung empedu pada wanita lebih besar daripada pria, dengan
rasio lebih kurang 2 : 1 (Wagman, 2004 ).
Tumor pada saluran empedu, termasuk kandung empedu, sebenarnya
merupakan kasus yang relatif jarang, namun merupakan masalah yang serius
karena menurut angka statistik di beberapa negara menunjukkan kenaikan
insidensi yang signifikan. Jika tumor ini dapat ditemukan pada stadim awal
mempunyai prognosis yang baik, tetapi jika ditemukan pada stadium lanjut
mempunyai prognosis yang buruk (Roslyn, 1999 ; Synder, 2003). Usia
tengah terjadinya tumor adalah 73 tahun (Wagman, 2004). Faktor
keturunan / ras berperan dalam tumor kandung empedu, dengan frekwensi 5
6 kali populasi normal pada orang Mexico, Alaska dan Hispanic.
Telah banyak dibahas di literatur tentang hubungan antara batu kandung
empedu dengan terjadinya tumor kandung empedu, meskipun patogenesis
yang pasti masih belum diketahui. Diduga bahwa adanya batu mengakibatkan
iritasi kronis pada dinding kandung empedu, kalsifikasi dinding kandung
empedu, porcelaine gallbladder (dihubungkan dengan insidensi keganasan
sebesar 20%), yang berlanjut pada metaplasi, displasi, dan neoplasma. Batu
empedu yang berukuran lebih dari 2,5 cm merupakan faktor resiko
Polip kandung empedu juga diduga merupakan faktor predisposisi terjadinya
tumor kandung empedu. Polip yang merupakan faktor resiko adalah polip
dengan ukuran diameter lebih dari 1 cm (Roslyn, 1999 ; Dept of Surg USC,
2004). Typhoid carrier juga merupakan faktor resiko terjadinya tumor
kandung empedu dengan mekanisme yang belum jelas (Wagman, 2004). Satu
pasien tumor kandung empedu pada penelitian ini merupakan typhoid carrier
yang pernah dirawat dua kali di rumah sakit karena typhoidnya. Adanya
kelainan kromosom atau genetik juga telah diteliti, di antaranya adalah
adanya mutasi pada onkogen BCL2 yang berhubungan dengan fungsi
diferensiasi dan penurunan progresivitas tumor, dan mutasi pada P53 yang
berperan dalam proses programe cell death atau proses apoptosis dan
pencegahan invasi tumor ke perineural.
Secara histologis, hampir semua tumor kandung empedu adalah ganas,
adenokarsinoma (85%), sisanya (15%) adalah skuamous sel karsinoma,
campuran antara skuamous dan glanduler, anaplastik, karsinoid, GIST, atau
tumor metastase dari tempat lain, misalnya dari metastase karsinoma paru
( Barnes, 2002 ; Machado, 1998 ; Kibler, 2004). Sering tumor kandung
empedu teridentifikasi intraoperatif, yaitu ditemukan massa atau penebalan
dinding kandung empedu yang melekat erat ke hati atau jika ditemukan lesi
polipoid yang teraba atau terlihat menonjol ke dalam lumen kandung
empedu. Terdapat pula tumor kandung empedu yang ditemukan secara
tidak sengaja oleh ahli patologi anatomi pada kasus pengangkatan
kandung empedu atas indikasi lainnya, misalnya batu kandung empedu
(Kiran, 2001 ; Roslyn, 1999).
Penelitian di Jepang menunjukkan terapi dengan 5-FU dan mitomycinC menghasilkan angka ketahanan hidup (survival) yang lebih baik pada
pasien tumor kandung empedu yang dilakukan terapi kolesistektomi.
Angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien yang diberi kemoterapi
adalah 26% dibanding 14% pada pasien yang hanya mendapat terapi
kolesistektomi dan observasi saja. Agen kemoterapi yang biasanya
dipakai adalah 5-FU, Capecitabine (Xeloda), Gemcitabine (Gemzar), dan
Cisplatin. Biasanya 5-FU, Capecitabine, dan Gemcitabine diberikan
bersama Leucovorin. Agen kemoterapi lainnya yang masih terus diteliti,
di antaranya adalah oxaliplatin, docetaxel dan doxorubicin. Juga sedang
diteliti tentang hepatic arterial chemoterapy dengan menggunakan agen
floxuridine (Murr, 2004 ; Wagman, 2004).
-
Radioterapi ajuvan,
Biasanya hanya dipakai pada terapi paliatif. Belum ada informasi yang
lengkap mengenai terapi ini.
Tipe terapi.
Angka ketahanan hidup juga berbeda secara signifikan pada pasien
dengan reseksi kuratif, dengan reseksi paliatif, dan dengan terapi non
reseksi (unresectable). Angka ketahanan hidup juga meningkat dengan
pemberian kemoterapi dan terapi suportif.
parasit atau cacing, dan yang sangat jarang dapat berupa invaginasi gaster ke
duodenum seperti dilaporkan Marijata (2005).
Pada ikterus obstruktif dapat timbul komplikasi berupa kolangitis asenderen yang
ditandai dengan Charcots triad, yaitu nyeri pada abdomen kanan atas, ikterus,
dan demam. Dapat berkembang menjadi abses hati. Kematian dapat mencapai
20% pada orang tua.
Icterus
Obstruksi
----------------------RD-
Collection 2002
Ikterus adalah istilah umum untuk pewarnaan kuning pada kulit, membran
mukosa, atau sklera yang disebabkan berbagai macam gangguan. Warna kuning
pada sklera ini disebabkan begitu banyaknya elastin pada sklera yang mempunyai
afinitas tinggi terhadap bilirubin. Manifestasi klinis dari ikterus merupakan akibat
peningkatan bilirubin pada plasma, suatu metabolik normal dari hemoglobin. Kadar
normal bilirubin pada plasma darah adalah pada kisaran 0,2 sampai 1 mg/dL. Warna
kuning/ikterus terlihat pada sklera bila kadar bilirubin mencapai nilai di atas 2,5
mg/dL. Warna kuning pada kulit dan membran mukosa baru akan terlihat bila kadar
bilirubin mencapai nilai 5-6 mg/dL.
Pada umumnya ikterus terbagi menjadi ikterus prehepatal, hepatal, dan post
hepatal. Ada juga yang membagi menjadi ikterus hemolitikus, ikterus hepatoseluler,
dan ikterus obstruktif. Selain itu ada pembagian medical jaundice dan surgical
jaundice.
Yang termasuk dalam medical jaundice adalah ikterus pada hemolisis, defek
transport, penyimpanan dan eksresi bilirubin, dan penyakit yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Yang termasuk dalam surgical jaundice adalah stasis bilier
karena penyakit / kerusakan parenkim hepar, atau obstruksi mekanis saluran bilier
intrahepatal maupun ekstrahepatal. Dalam perspektif bedah, sistem pembagian yang
paling bermanfaat untuk pedoman terapi adalah dengan membedakan apakah
kelainannya di hati (baik itu karena peningkatan produksi bilirubin atau penurunan
kemampuan ekskresi) atau obstruksi pada saluran bilier ekstrahepatal.
Beberapa proses jinak maupun ganas dapat mengakibatkan obstruksi mekanis aliran
empedu. Penyebab ikterus obstruktif yang sering terjadi adalah batu pada duktus
koledokus (koledokolitiasis), tumor pada kaput pankreas, dan kolangiokarsinoma.
Kemudian yang relatif jarang adalah striktur koledokus, striktur/stenosis ampulla
Vateri, stenosis spingter Oddi, sindrom Mirizzis, impaksi parasit / cacing ascaris,
kista koledokus, kista / pseudokista pankreas, sklerosing kolangitis, dan lain-lain.
Pada prinsipnya ikterus obstruktif disebabkan adanya gangguan aliran empedu di
dalam duktus hepatikus atau duktus koledokus. Jadi penyebabnya dapat
merupakan pendesakan dari luar dinding duktus, seperti pada tumor kaput pankreas,
kista / pseudokista pankreas, atau tumor / massa pada hillus hepatis; dapat
berasal dari dinding duktus itu sendiri, seperti pada striktur koledokus, sklerosing
kolangitis, maupun tumor dinding duktus (kolangiokarsinoma); dapat berasal dari
sumbatan di dalam lumen duktus, seperti pada batu saluran empedu, adanya impaksi
Sering juga terjadi gangguan pembekuan darah yang disebabkan adanya gangguan
ekskresi empedu di usus, tidak ada vitamin K yang diserap, sehingga terjadi
gangguan gamma-karboksilasi faktor II, VII, IX, XI, yang membutuhkan vitamin K.
Adanya gangguan fungsi hati karena obstruksi bilier, akan mengakibatkan gangguan
detoksikasi endotoksin oleh hati, dengan akibat terjadinya endotoksemia yang
meracuni ginjal sehingga mengakibatkan gagal ginjal.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning kemerahan dengan struktur C33H36O6N4. jumlah
total produksi bilirubin perhari adalah 300 mg. Sebagian besar bilirubin ini
merupakan hasil pemecahan eritrosit tua yang berumur 100 120 hari pada sistem
retikuloendotelial. Sebagian kecil lainnya merupakan hasil dari sumber
noneritropoietik hasil metabolisme dari enzim-enzim dan protein-protein yang
mengandung heme, dan juga dari eritropoietik yang tidak efektif pada sumsum
tulang.
Sistem Retikuloen
dotelial
Globin
Heme
Heme oxygenase
Sumsum Tulang
Metabolisme
protein dan enzim
yang mengandung
heme di hati
Biliverdin
Biliverdin
reductase
Destruksi eritrosit
pada eritropoiesis
in efektif
Bilirubin
15 - 20%
Bilirubin non konjugasi (disebut juga Bilirubin I atau Bilirubin indirek) mempunyai
afinitas yang tinggi terhadap albumin, yang akan mengikatnya secara reversibel.
Metabolisme bilirubin mempunyai tahapan tahapan, yaitu di hati, usus halus, dan
ginjal. Metabolisme bilirubin di hati melalui 3 fase : pengambilan, konjungasi, dan
ekskresi. Bilirubin I akan dilepaskan oleh albumin dari ikatannya pada membran
plasma sel sel hati (hepatosit).
Kemudian di dalam hepatosit bilirubin akan diikat oleh ligandin dan dibawa ke
retikulum endoplasma yang akan mengubahnya menjadi larut dalam air. Enzim
glukoronil transferase akan mengkatalisis konjungasi antara bilirubin dengan asam
glukoronat (uridine diphosphate glucoronic acis, suatu derivat glukosa) untuk
membentuk bilirubin monoglukoronid (BMG) dan bilirubin diglukoronid (BDG)
dengan enzim yang sama. Baik BMG maupun BDG akan disekresikan kedalan
kanalikuli biliaris dan dieksresikan ke empedu, dengan 85 % BDG dan 15 % BMG.
Dengan begitu bilirubin pada keadaan terkonjugasi dan larut dalam air memasuki
saluran bilier dan mengalir ke duodenum.
Bakteri yang ada pada usus halus bagian distal / anal mengubah bilirubin
terkonjugasi menjadi urobilinogen dan stercobilinogen, yang kemudian akan diubah
menjadi urobilin dan stercobilin yang memberi warna coklat pada tinja. Pada
persentase kecil urobilinogen akan direabsorbsi di ileum terminal dan kolon dan
diekskresikan lewat ginjal. Ketiadaan urobilinogen pada urine menunjukkan adanya
obstruksi bilier komplit, sedangkan peningkatan kadarnya di dalam urine dapat
berasal daari peningkatan produksi bilirubin, seperti pada hemolisis. Tinja akolik
terjadi bila bilirubin tidak terdapat pada usus untuk diubah menjadi urobilinogen dan
stercobilin. Karena bilirubin nonkonjugasi terikat pada albumin, maka tidak
diekresikan lewat urine. Sebaliknya bilirubin terkonjugasi larut dalam air dan tidak
terikat protein, oleh karena itu difiltrasi glomerulus dan diekskresikan melalui urine.
khususnya jika disertai penurunan berat badan. Gatal sangat sering muncul
sebagai gejala ikterus obstruktif, tetapi biasanya tidak muncul pada anemia
hemolitik. Urine yang gelap menunjukkan conjungated hiperbilirubinemia dan
tinja akolik menunjukkan obstruksi bilier komplit.
2. Pemeriksaan Fisik
Pasien datang dengan ikterus perlu diperiksa secara menyeluruh dengan penekanan
pada daerah tertentu. Tempat pertama dimana peningkatan bilirubin dapat dideteksi
adalah di sklera, sebagai hasil afinitas elastin pada bilirubin yang biasanya bisa
terlihat bila kadar bilirubin mencapai 2,5 mg/dL. Kuning pada kulit dan membran
mukosa tidak terlihat, kecuali bila kadar bilirubin sudah melebihi 6 mg/dL. Pada
penyakit hati kronis bisa didapatkan hepatosplenomegali, spider angioma, erytema
palmaris, ginekomastia dan ascites. Pembesaran hati yang berbenjol-benjol
merupakan karakteristik pada karsinoma hati (primer atau sekunder). Suara bruit
pada hati biasanya terjadi pada karsinoma hepatoseluler. Pasien dengan obstruksi
maligna pada duktus koledokus distal sering mempunyai kandung empedu yang
membesar, distensi dan mudah dipalpasi (Courvoisiers gallbladder).
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium, di samping didapatkan peningkatan kadar bilirubin,
dapat ditemukan juga disfungsi hati dan trauma seluler akut pada sel-sel hati,
sehingga didapatkan peningkatan pada liver function test. Serum alkali pospatase
dan gamma Glutamil Transferase akan meningkat secara patognomonis pada
obstruksi bilier, dimana derajat peningkatannya sesuai dengan berat dan lama
obstruksinya. Alkali pospatase diproduksi oleh sel-sel kanalikuli biliaris sebagai
respon dari peningkatan tekanan hidrostatik intraduktal, dan merupakan penanda
yang spesifik dan muncul awal pada obstruksi bilier. Serum transaminase (aspartat
dan alanin) juga meningkat pada kelainan yang melibatkan saluran bilier, karena
adanya trauma pada sel-sel hati (mengganggu integritas membran sel hati), sehingga
transaminase dalam sitoplasma sel hati dapat keluar ke sistemik melalui membran
sel yang rusak.
Lekositosis dengan netrofilia sering terlihat pada kasus kolesistitis atau kolangitis
akut, walaupun bukan merupakan temuan yang spesifik, karena peningkatan lekosit
ini dapat berasal dari proses infeksi atau inflamasi di mana saja di seluruh tubuh
ataupun di dalam rongga abdomen.
Penurunan kadar albumin sering ditemui pada pasien dengan keganasan, tak
terkecuali keganasan saluran bilier (kolangiokarsinoma) maupun Ca kaput pankreas.
Penanda tumor seperti CA 19-9 dan CEA dapat membantu menegakkan diagnosis
keganasan ini, walaupun sifatnya tidak spesifik. Pada pemeriksaan imunohistokimia
dapat pula ditemukan mutasi ataupun abnormalitas onkogen
K-ras pada kodon
12 . Juga didapatkan kelainan P53 yang merupakan gen yang mengatur apoptosis.
Pada urinalisis didapatkan peningkatan bilirubin terkonjugasi (bilirubinuria) dan
penurunan / tidak adanya urobilinogen pada urine. Pada pemeriksaan tinja dapat
ditemukan tinja akolik (dempul), tidak didapatkan pewarnaan dari sterkobilin. Pada
keganasan juga dapat ditemukan adanya perdarahan samar pada tinja (ocult blood
test).
Prognostik faktor yang dipakai untuk meramalkan mortalitas operasi sebagian juga
berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium, seperti hitung lekosit, albumin, AST/ALT,
alkali pospatase, dan bilirubin total. 11.
Biasanya dijabarkan sebagai berikut :
- AL > 10.000
- Suhu > 38C
- Usia > 55 th
- Keganasan
- Albumin serum < 3,5 g%
- AST/ALT > 100
- Alkali Phospatase serum > 100
- Bilirubin total > 10 g%
Mortalitas operasinya :
-1 3
:
-4
:
-5
:
-6
:
-7 8
:
0%
16%
70%
85%
100%
4. Pemeriksaan Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang sering dilakukan adalah USG, USG-endoskopi, CTscan, ERCP, HIDA-scan, MRI, MRCP dan PTC.
a. USG (Ultrasonografi)
Pemeriksaan ultrasonografi adalah pemeriksaan yang pertama kali dilakukan pada
pasien dengan kelainan pada saluran empedu. Pemeriksaan ini bersifat non invasif,
tidak nyeri, tidak menimbulkan resiko radiasi pada pasien, dan dapat dilakukan pada
pasien pasien dengan segala kondisi (baik s/d jelek). Pemeriksaan ini tergantung
kepada ketrampilan dan pengalaman operatornya. Organ-organ di sekitarnya dapat
diperiksa pada saat yang sama. Pasien yang gemuk, pasien dengan obesitas, dan
pasien dengan distensi usus mungkin sulit untuk diperiksa dengan ultrasonografi.
Saluran empedu ekstrahepatal dapat terlihat dengan baik dengan ultrasonografi,
kecuali pada saluran empedu retroduodenal. Dilatasi duktus hepatilus / koledokus
pada pasien ikterus obstruktif menegakkan adanya obstruksi sebagai penyebab
ikterusnya. Sering tempat obstruksi, dan kadang penyebabnya, dapat diketahui
dengan USG. Batu kecil pada duktus koledokus sering tertanam di distal saluran di
belakang duodenum, sehingga sulit untuk dideteksi. Dilatasi duktus koledolus pada
USG, normal diameter biasanya kurang dari 8mm, batu batu kecil pada vesika
felea, dan adanya manifestasi klinis ikterus, dapat dijadikan asumsi bahwa pada
tanda klinis yang ada. Tetapi dapat juga batu menjadi impaksi komplit,
mengakibatkan ikterus berat yang progresif.
Peningkatan serum bilirubin, alkali pospatase, dan transaminase sering
didapatkan, tetapi pada sepertiga kasus, hasil tes fungsi hati adalah normal.
Pada tes awal ultrasonografi dapat mencari adanya batu di kandung empedu, juga
dapat menunjukkan ukuran/kaliber duktus koledokus. Karena batu pada duktus
koledokus mempunyai tendensi untuk bergerak ke bawah, ke arah distal duktus
koledokus, penampakannnya pada ultrasonografi dapat terhalang oleh gas usus
(duodenum), tetapi adanya dilatasi duktus koledokus > 8 mm pada ultrasonografi
pada pasien dengan batu empedu, ikterus, dan nyeri bilier sangat patut diduga
adanya koledokolitiasis. ERCP merupakan baku emas pada diagnosis
koledokolitiasis, dengan keuntungan adanya kemungkinan tindakan terapetik pada
saat diagnosis. Keberhasilan diagnosis mencapai 90 %, dengan morbilitas kurang
dari 5 % (cholangitis dan pankreatitis). Endoskopik ultrasonografi dan PTC kurang
sensitif dan jarang dilakukan pada koledokolitiasis.
Pada pasien yang dicurigai adanya batu di duktus koledokus, pre operatif ERCP atau
intra operatif cholangiografi dapat memperlihatkan batu tersebut. Jika pada ERCP
terlihat batu, sfingterotomi dan ekstraksi batu koledokus dapat dilakukan, diikuti
dengan laparoskopik kolesistektomi. Eksplorasi duktus koledokus secara
laparoskopik juga dapat dilakukan pada koledokolitiasis, dengan akses dari duktus
sistikus atau lewat duktus koledokus.
Eksplorasi CBD secara terbuka bisa dilakukan jika laparoskopi tidak
memungkinkan. Jika dilakukan koledokotomi, T.tube (atau NGT) harus diletakkan
pada tempatnya sebagai drainase. Pada kasus impaksi batu pada ampulla yang sulit
diambil, biasanya terdapat pelebaran duktus koledokus sampai mendekati 2 cm
diameternya, sehingga koledokoduodenostomi atau Roux-en-Y koledokojejunostomi
mungkin menjadi pilihan terbaik.
lazim. Pada tumor yang kecil tidak ada rasa sakit, tapi pada tumor yang sudah besar
dapat menginvasi persarafan retroperitoneal dan mengakbatkan nyeri perut dan back
pain. Penurunan berat badan sering didapatkan. Diabetes didapat pada 20 % pasien.
Pada 15 % pasien, terdapat distorsi duodenum menimbulkan gejala seperti obstruksi
gastrik outlet. Kadang gejala pankreatitis akut karena sumbatan tumor pada kaput ini
merupakan tanda/gejala yang pertama kali muncul. Oleh karena itu, pada pasien
dengan akut tanpa penyebab yang jelas, apakah itu batu empedu atau alkohol, ERCP
sangat membantu untuk menyingkirkan lesi anatomis karsinoma kaput pankreas ini.
Tumor pada korpus dan kauda pankreas tidak secara khas mengenai duktus
koledokus dan jarang bergejala ikterus. Pada pemeiksaan klinis didapatkan kuning
pada sklera dan kulit, kandung empedu mengalami pembesaran dan dapat teraba
pada regio kanan atas (Courviosiers sign). Tumor kaputnya sendiri jarang bisa
diraba. Pada stadium lanjut kadang ditemukan limfadenopati pada supraklavikula
kiri (Virchows Node), asites, karsinosis dengan teraba tumor pada omentum. Pada
ultrasonografi dapat terlihat massa pankreas yang hipoekhoik dibanding dengan
jaringan pankreas normal di sekitarnya, disertai pelebaran duktus pankreatikus,
duktus biliaris dan dilatasi vesika felea (Courvoisier Gallbladder). CT Scan
merupakan alat bantu diagnostik pilihan bila tumor kaput pankreas dicurigai.
Sebaiknya dipakai kontras per oral atau intravena. Suatu area inhomogen pada kaput
pankreas dan pelebaran saluran bilier dapat terlihat. Pelebaran saluran bilier dapat
intra maupun ekstra hepatal, dan saluran bilier yang mengalami pelebaran dapat
tiba-tiba berhenti pada daerah dimana merupakan pertemuannya dengan massa
tumor. Pelebaran duktus pankreatikus dan vesika felea juga dapat terlihat.
Keunggulan CT scan adalah jika sudah terjadi metastase tumor ke limfonodi,
metastase ke hati atau organ-organ di sekitarnya, asites, trombosis pembuluh darah
pada daerah tumor, biasanya dapat dilihat. Kadang tumor kaput pankreasnya sendiri
mungkin tidak terlihat, tapi adanya tanda-tanda tersebut di atas mengarahkan ke
diagnosis tumor kaput pankreas.
Tindakan bedah merupakan satu-satunya tindakan yang potensial kuratif untuk
karsinoma pankreas. Untuk lesi pada kaput pankreas, ada empat tindakan bedah
utama yaitu :
- standard Whipple pancreaticoduodenectomy
- pylorus preserving pancreaticoduodenectomy
- total pancreatectomy
- regional pancreatectomy
Operasi standar untuk keganasan periampuller yang dikenal sebagai Whipple
prosedur dipopulerkan oleh Whipple di Amerika pada tahun 1935. Pada operasi ini
kaput pankreas, duodenum, kandung empedu, duktus koledokus distal
(intrapankreatik), antrum, direseksi secara en-block beserta limfonodi di sekitarnya.
Kemudian dilakukan rekonstruksi pankreaticojejunostomi, koledokoyeyunostomi,
dan gastroyeyunostomi.
Traverso dan Longmire pada tahun 1978 melakukan preservasi pilorus pada
Whipple prosedur dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi gaster dan
3. Kolangio Karsinoma
Kolangio karsinoma adalah adenokarsinoma dari duktus bilier intra maupun ekstra
hepatal, merupakan tumor yang jarang yang timbul dari epitel saluran bilier. Sekitar
2/3 terletak pada percabangan duktus hepatikus. Reseksi bedah merupakan satusatunya tindakan yang bersifat kuratif, tetapi celakanya sebagian besar pasien sudah
mempunyai stadium yang lanjut pada saat diagnosis, oleh karena itu tindakan
paliatif untuk drainase bilier dan mencegah gagal hati dan kolangitis sering
merupakan satu-satunya tindakan yang bisa diambil. Sebagian besar pasien dengan
penyakit yang unresectable akan meninggal dalam satu tahun ke depan
Insidensi kolangiokarsinoma pada otopsi sekitar 0,3 %. Rasio laki-laki : perempuan
adalah 1,3 : 1. Usia terpapar diantara 50 sampai 70 tahun ( usia pertengahan ).
Faktor resiko kolangiokarsinoma adalah sklerosing kolangitis , stasis bilier, batu
saluran bilier, diet nitrosamin, kista koledokus, hepatolitiasis, biliary-enteric