Anda di halaman 1dari 12

1.

Definisi Bising
Bising dalam dunia kesehatan kerja, diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan
pendengaran baik secara kuantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun secara
kualitatif (penyempitan spektrum pendengaran), berkaitan dengan faktor intensitas,
frekuensi, durasi, dan pola waktu. Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak
dikehendaki, misalnya yang menghalangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya
atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup (Wulandari, 2010).
Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat
dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan. Semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alatalat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
gangguan pendengaran (Sumamur, 1996).
Kebisingan juga menempati urutan pertama dalam daftar penyakit akibat kerja di
Amerika dan Eropa dengan proporsi 35 %. Di berbagai industri di Indonesia, angka
kebisingan ini berkisar antara 30-50 %. Angka itu diperkirakan akan terus meningkat
(Wulandari, 2010).
Jadi dapat disimpulkan bahwa kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak
dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan
ketulian.
2. Mengukur Kebisingan
Untuk mengetahui intensitas kebisingan di lingkungan kerja, maka digunakan sound
level meter. NAB intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum adalah 8
jam per hari (Depnakertrans RI, 2007).
Sound level meter adalah suata alat yang digunakan untuk mengukur suara.
Mekanisme kerja sound level meter adalah apabila ada benda bergetar, maka akan
menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini,
selanjutnya akan menggerakan meter penunjuk.
3. Nilai Ambang Batas Kebisingan (NAB)
Nilai Ambang Batas (NAB) adalah angka dB yang dianggap aman untuk sebagian
besar tenaga kerja bila bekerja 8 jam perhari dan 40 jam per minggu. Keputusan Menteri
Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang NAB untuk kebisingan di tempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima oleh tenaga
kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk bekerja secara terus

menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam per minggunya. Waktu pemaparan
kebisingan maksimum dalam bekerja adalah sebagai berikut:
Waktu Pemaparan

Intensitas Kebisingan

8 Jam
4 Jam
2 Jam
1 Jam
30 Menit
15 Menit
7,5 Menit
3,75 Menit
1,88 Menit
0,94 Menit
28,12 Detik
14,06 Detik
7,03 Detik
3,52 Detik
1,76 Detik
0,88 Detik
0,44 Detik
0,23 Detik
0,11 Detik

85
88
91
94
97
100
103
106
109
112
115
118
121
124
127
130
133
136
139

Tabel 1: NAB Pemataran Kebisingan di Tempat Kerja

4. Jenis Kebisingan
Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah gelombang suara
dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum frekuensi suara. Suara yang
bisingan dengan demikian sangat ditentukan oleh jenis-jenis frekuensi yang ada.
Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi :
a) Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas
Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih
5 dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut. Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter,
gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar.
b) Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit
Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau
4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas.
c) Bising terputus-putus
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan

tidak

berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan
antara lain adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang.

d) Bising impulsif
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat
cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsifmisalnya suara
ledakan mercon, tembakan, meriam.
e) Bising impulsif berulang-ulang
Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin tempa.
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising dapat dibagi atas :
a) Bising yang mengganggu. Intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.
b) Bising yang menutupi. Merupakan bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas.
Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan kesehatan dan keselamatan tenaga
kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya tenggelam dalam bising dari sumber
lain.
c) Bising yang merusak adalah bunyi yang intensitasnya melampaui NAB. Bunyi jenis ini
akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.
5. Pengaruh Bising terhadap Tenaga Kerja
Gambaran dampak kebisingan terhadap kesehatan tenaga kerja adalah sebagai
berikut:
a) Gangguan fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputusputus
atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah ( 10
mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan
kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.
b) Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur,
cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit
psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan.
c) Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan
harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya
tenaga kerja sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar
isyarat atau tanda bahaya. Gangguan komunikasi ini secara tidak langsung
membahayakan keselamatan tenaga kerja.
d) Gangguan keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau
melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo)
atau mual-mual.
e) Efek pada pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan
ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera
pulih kembali bila menghindar dari sumber bising, namun bila terus menerus bekerja di
tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.
Bising dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pendengaran seperti yang dijelaskan
(Manan, 1998) antara lain:
a) Trauma Akustik
Hilangnya pendengaran yang pada umumnya dikarenakan bising dengan intensitas
yang tinggi dan terjadi dalam waktu singkat. Gangguan seperti ini dapat timbul antara
lain seperti: dari ledakan, suara yang sangat keras seperti ledakan meriam yang dapat
memecahkan gendang telinga, merusakkan sel sensoris saraf pendengaran dan
akibatnya secara mendadak.
b) Tuli sementara atau Temporary Threshold Shift ( TTS)
Penderita tuli sementara ini bila diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih
sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas paparan
atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali
terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian
sementara akan bertambah setiap hari kemudian menjadi ketulian menetap.
c) Tuli menetap atau Permanent Threshold Shift (PTS)
Tuli menetap terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut
tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan
bertahap sebagai berikut :
I. Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya
berbunyi pada setiap akhir waktu kerja.
II. Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif
lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.
III. Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti
tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara
lain.

IV. Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi.
Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai
ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup.
c) Tuli karena Trauma akustik
Perubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan intensitas
tinggi, seperti letusan dan ledakan.
6. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kebisingan
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketulian akibat kerja (Occupational
Hearing Loss), adalah sebagai berikut:
a) Intensitas suara yang terlalu tinggi
b) Usia tenaga kerja
c) Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja
d) Tekanan atau frekuensi bising tersebut
e) Lamanya bekerja
f) Jarak dari sumber suara
g) Gaya hidup tenaga kerja di luar tempat kerja.

7. Upaya Pengendalian Bising


Berdasarkan teknik pelaksanaannya, pengendalian kebisingan dapat dibedakan dalam 3
cara pengendalian:
a) Pengendalian secara teknik
Bila bising telah teridentifikasi melalui analisa kebisingan yaitu dengan walk trough
survey, yang pertama-tama harus dilakukan adalah pengendalian secara teknik.
Konsep yang digunakan adalah mengurangi paparan terhadap pekerja dengan
mengendalikan 2 komponen:
I. Mengurangi tingkat kebisingan pada sumbernya
1) Pemelihanan dan pelumasan mesin-mesin dengan teratur.
2) Pemilihan dan pemasangan mesin dengan tingkat kebisingan rendah.
II. Menghilangkan transmisi kebisingan terhadap manusia.
1) Menutup atau menyekat mesin atau alat yang mengeluarkan bising.
2) Mengurangi bunyi yang diterima pekerja.
b) Pengendalian Secara Administratif

Pengendalian secara administratif merupakan prosedur yang bertujuan untuk


mengurangi waktu paparan pekerja terhadap bising, dengan merotasi dan menyusun
jadwal kerja berdasarkan perhitungan dosis paparan sesuai Nilai Ambang Batas serta
pemeriksaan kesehatan awal, berkala maupun pemerikasaan kesehatan secara khusus.
c) Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD adalah upaya terakhir apabila secara teknis dan admnistratif tidak
dapat lagi mengurangi paparan alat pelindung telinga pada umumnya. Ada dua jenis
alat perlindungan telinga:
I. Ear muff
II. Ear plug.

PENYAKIT PARU AKIBAT KERJA


Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debu, uap atau
gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. Berbagai penyakit paru dapat terjadi
akibat pajanan zat seperti serat, debu, dan gas yang timbul pada proses industrialisasi. Jenis
penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis zat pajanan, tetapi manifestasi klinis
penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan kerja.
Penyakit paru kerja ternyata merupakan penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan,
kehilangan hari kerja dan kematian pada pekerja (Mukhtar I, 2005).
Penyakit paru kerja dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, salah satunya adalah
klasifikasi berdasarkan gejala klinis atau penyakit seperti tampak pada:
Kelompok Penyakit Utama
Iritasi saluran napas atas
Gangguan jalan napas
Asma Kerja
Sensitisasi
Berat molekul kecil
Berat molekul besar
Irritant-induced, RADS
Bisinosis
Efek debu biji-bijian
Bronkitis kronik (PPOK)
Trauma inhalasi akut
Pneumonitis toksik
Demam asap metal
Demam asap polimer
Inhalasi rokok
Pneumonitis hipersensitif
Penyakit infeksi
Pneumokoniosis
Keganasan
Kanker sinonasal
Kanker paru
Mesotelioma

Agen Penyebab
Gas iritan, pelarut

Diisosianat, anhidrida, debu kayu


Alergen asal binatang, lateks
Gas iritan
Debu kapas
Biji-bijian
Debu mineral, batubara
Gas iritan, metal
Oksida metal, seng, tembaga
Plastik
Hasil pembakaran
Bakteri, jamur, protein binatang
Tuberkulosis, virus, bakteri
Asbes, silika, batubara, berilium, kobal
Debu kayu
Asbes, radon

Asbes

A. BISINOSIS
Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja
sehingga mempengaruhi sistem respirasi. Berbagai kelainan saluran napas dan paru pada
pekerja dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap yang timbul dari proses industri
(Hartati et al., 2013).

Menurut The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
memperkirakan bahwa angka kematian yang terkait dengan Penyakit Paru Akibat Kerja
(PAK Paru atau dalam publikasi internasional disebut sebagai Occupational Lung
Diseases/OLD) sekitar 705 dari total kematian akibat kerja (Hartati et al., 2013)..
Penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi penyakit saluran udara akut atau kronis
akibat menghirup serat nabati yang dijumpai pada pekerja pengolahan kapas, rami halus, dan
rami disebut bisinosis. Debu kapas yang timbul pada saat pemanenan, pengangkutan dan
pengolahan tidak hanya mengandung serat kapas melainkan juga bercampur dengan bahan
yang berasal dari tanaman seperti daun, ranting, biji dan berbagai mikroorganisme (Hartati et
al., 2013).
Bisinosis, disebut juga brown lung disease atau Monday fever, merupakan penyakit
paru kerja yang disebabkan oleh paparan debu kapas darti suatu lingkungan kerja dengan
ventilasi yang tidak adekuat. Bisinosis telah dikenal lebih dari 100 tahun namun bahan
spesifik yang menyebabkan bisinosis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti kerja
(Suparman et al., 2010).
Teori tentang mekanisme debu kapas dapat menimbulkan gangguan saluran napas
antara lain teori alergi atau imunologi, teori pelepasan histamine dan mediator lainnya,
mekanisme kemotaktik, aktivasi endotoksin serta teori enzim. Etiologi maupun pathogenesis
bisinosis mungkin disebabkan multikomponen berbagai agen yang saling memperberat satu
sama lain, mencakup aspek farmakologis, fisiologis dan imunologis kerja (Suparman et al.,
2010).
Gejala klinis:
Debu kapas dapat menyebabkan iritasi saluran napas dengan keluhan berupa batuk
kering yang awalnya masih dapat hilang bila pekerja dipindahkan dari tempat berdebu
kapas. Gejala lain adalah rasa berat atau sempit di dada (chest tightness), batuk dan
sesak napas saat hari pertama kembali masuk kerja setelah istirahat akhir pekan, mill
fever dan weaver cough yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan. Mill fever
atau factory fever ditandai dengan meriang, batuk, lemah dan pilek pada pajanan debu
kapas pertama kali. Gejala biasanya ringan dan hilang dalam beberapa jam tetapi dapat
juga berlangsung beberapa hari dan hilang meskipun pajanan tetap berlangsung.
Weaver cough adalah gejala seperti asma reaksi lambat tetapi disertai panas dan lemah,
terjadi pada penenun yang menggunakan kanji kerja (Suparman et al., 2010).
Derajat bisinosis:

Schilling membagi bisinosis berdasarkan gejala klinis:


- Derajat C 0 Tidak ada keluhan dada terasa berat atau sesak napas
- Derajat C Kadang timbul perasaan dada tertekan atau keluhan akibat iritasi
saluran napas pada hari pertama kembali bekerja
- Derajat C 1 Keluhan timbul setiap hari pertama bekerja
- Derajat C 2 Keluhan timbul pada hari pertama kembali bekerja dan hari kerja
lainnya
- Derajat C 3 Derajat C 2 disertai gangguan atau penurunan fungsi paru yang
menetap
Sedang WHO membuat klasifikasi bisinosis sebagai berikut:
- Derajat B 1 Rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali
bekerja
- Derajat B 2 Rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali
bekerja dan pada hari-hari bekerja selanjutnya .
Upaya Pencegahan
1. Terhadap lingkungan kerja
Dilakukan dengan cara membuat ventilasi umum dan penghisap udara keluar.
Meniup atau membersihkan lantai dengan sapu sebaiknya tidak dilakukan, karena akan
memperberat pencemaran. Pembersihan mesin karding sebaiknya menggunakan pompa
hampa udara
2. Terhadap bahan kapas
Sebaiknya dilakukan pemasakan (steaming) kapas, untuk mengurangi efek biologis dari
debu kapas. Pencucian kapas sebelum proses tekstil akan mengurangi pencemaran debu
kapas dilingkungan kerja
3. Terhadap para pekerja
Dilakukan pemeriksaan secara berkala. Bagi mereka yang mulai mengeluh bisinosis,
sebaiknya dipertimbangkan untuk dipindahkan bagian lain yang bebas pencemaran
debu kapas. Antipasi lainnya adalah penggunaan masker ditempat kerja (Suparman et
al., 2010).

B. KANKER PARU
Kanker paru bisa dipicu oleh zat yang bersifat karsinogen seperti uranium, asbes, gas
mustard, nikel, khrom, arsen, tar batu bara, dan kalsium klorida. Pekerja yang sering
terkontaminasi zat-zat tersebut bisa menderita kanker paru setelah terpapar lama, yaitu

antara 15 sampai 25 tahun. Pekerja yang rawan terkena penyakit ini adalah mereka yang
bekerja di tambang, pabrik, tempat penyulingan dan industri kimia.
Gejala Klinis :
Tanda dan gejala kanker paru-paru antara lain:
1) Batuk yang terus menerus
2) Perubahan pada batuk kronis
3) Sakit dada yang nyeri dan dalam ketika batuk atau tertawa
4) Nafas pendek dan bengek seperti orang asma
5) Dahak berdarah, berubah warna dan makin banyak
6) Sering mengalami infeksi yang berulang, seperti radang paru dan bronkitis
7) Suara serak/parau.
8) Ujung jari membesar dan terasa sakit
9) Berat badan menurun dan kehilangan nafsu makan
10) Pertumbuhan dada yang tidak normal pada laki-laki
11) Emosi yang tidak stabil, mood berubah-ubah, lesu, depresi
12) Nyeri pada tulang
13) Sakit kepala
Faktor Risiko:
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko kanker paru-paru antara lain:
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
3) Terkena gas radon dengan kadar tinggi
4) Terkena partikel asbes dan kimia lain
5) Sejarah keluarga dengan kanker paru-paru
6) Mengkonsumsi alkohol secara berlebihan
7) Penyakit paru-paru tertentu (contohnya chronic obstructive pulmonary
disease)
Cara Pencegahan:
1) Pencegahan Primer
Pencegahan primer artinya mengurangi faktor risiko sebelum terserang penyakit. Hal
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :
a. Ada Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur tentang masalah Kesehatan
dan Keselamatan Kerja.

b. Substitusi.
Yang dimaksud di sini yaitu mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan
yang tidak berbahaya atau kurang berbahaya. Sebagai contoh adalah serat asbes
yang dapat menimbulkan asbestosis, kanker paru dan mesotelioma, digantikan
oleh serat buatan manusia. Contoh lain adalah debu silika yang diganti dengan
alumina.
c. Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai tingkat yang aman.
d. Metode basah.
Melakukan proses produksi dengan cara membasahi tempat produksi sehingga
tidak menghasilkan debu dengan kadar yang tinggi.
e. Mengisolasi proses produksi.
Bila bahan yang berbahaya tidak dapat dihilangkan, pajanan terhadap pekerja
dapat dihindari dengan mengisolasi proses produksi. Teknik ini telah digunakan
dalam menangani bahan radioaktif dan karsinogen, dan juga telah berhasil
digunakan untuk mencegah asma kerja akibat pemakaian isosianat dan enzim
proteolitik.
f. Ventilasi keluar.
Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan, maka masih ada kemungkinan
untuk mengurangi bahan pajanan dengan ventilasi keluar ( exhaust ventilation ).
Metode ventilasi keluar telah berhasil digunakan untuk mengurangi kadar debu di
industri batubara dan asbes.
g. Alat Pelindung Diri ( APD ).
Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun yang terbaik
adalah respirator. Respirator adalah suatu masker yang menggunakan filter
sehingga dapat membersihkan udara yang dihisap. Ada 2 macam respirator, yaitu
yang half-face respirator, di sini berfungsi hanya sebagai penyaring udara, dan
full-face respirator, yaitu sekaligus berfungsi sebagai pelindung mata.
2) Pencegahan Sekunder
Adalah melakukan deteksi dini penyakit dan deteksi dini pajanan zat yang
dapat menimbulkan penyakit. Dilakukan pemeriksaan berkala pada pekerja yang
terpajan zat yang berisiko tinggi terjadinya gangguan kesehatan. Pemeriksaan berkala
dilakukan sejak tahun pertama bekerja dan seterusnya.
Surveilans medik adalah kegiatan yang sangat mendasar, bertujuan untuk
mendeteksi efek pajanan yang tidak diinginkan sebelum menimbulkan gangguan

fungsi pernapasan pekerja dan selanjutnya dilakukan usaha-usaha untuk mencegah


perburukan. Tanpa usaha-usaha tersebut, surveilans hanya berperan mencatat besar
angka kesakitan daripada pencegahan sekunder. Dalam prakteknya pencegahan
berdasarkan surveilans adalah untuk mencegah pajanan.
3) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berguna untuk mencegah penyakit bertambah buruk dan
penyakit menjadi menetap. Bila diduga telah terjadi penyakit atau diagnosis telah
ditegakkan, perlu secepat mungkin menghindarkan diri dari pajanan lebih lanjut.
Pajanan dari tempat kerja dan lingkungan yang diduga atau diketahui
mempunyai efek sinergi terhadap terjadinya kanker paru seperti merokok harus
dihentikan. Contoh lain pencegahan tersier adalah pencegahan terhadap penyakit TB
pada pekerja yang terpajan debu silika (Mukhtar I, 2006).

Daftar pustaka :
Sumamur P.K., 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: CV. Gunung
Agung.
Depnakertrans RI, 2007. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta.
Wulandari, DW, 2010. Pengendalian Potensi Bahaya Kebisingan Di Area Product Handling
Sebagai Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Di Pt Tri Polyta Indonesia, Tbk.
Universitas Sebelas Maret. http://eprints.uns.ac.id/9653/1/157592408201010331.pdf.
(Diakses, 8 November 2014).
Mukhtar,
Ihsan.
2006.
Penyakit
Paru
Kerja.
Universitas
Indonesia.
http://www.jamsostek.co.id/content_file/paru.pdf. (Diakses, 8 November 2014).
Suparman et al., 2010. Eteksi Dini Penyakit Pneumokoniosis Pada Pekerja Yang
Berhubungan Dengan Debu Di Kabupaten Pati, Klaten Dan Sukoharjo Tahun 2009.
Stikes Hakli Semarang.
Hartati et al., 2013. Risiko Pemajanan Debu Kapas Terhadap Bisinosis Pada Pekerja
Pengolah Kapas Informal Di Ud. Tuyaman, Desa Sidomukti, Weleri, Kabupaten
Kendal
Tahun
2013.
Universitas
Dian
Nuswantoro.
http://eprints.dinus.ac.id/6454/2/abstrak_11847.pdf. (Diakses, 8 November 2014).

Anda mungkin juga menyukai