Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Inverted Papilloma adalah tumor jinak yang berasal dari

permukaan mukosa traktus sinonasal dan merupakan 0.5-4.0 % dari semua

tumor nasal primer (McCollister KB et al., 2015; Sadeghi N et al., 2015).

Walaupun secara histologis diklasifikasikan sebagai tumor jinak, inverted

papilloma dapat mengerosi dan mendestruksi jaringan sekitar, serta

diketahui dapat bertransformasi ganas pada 5-15% kasus dimana sebanyak

85% menjadi karsinoma sel skuamosa (Sadeghi N et al., 2015; Ungari et

al., 2015). Selain itu, sering ditemukan pula rekurensi pada

penatalaksanaan inverted papilloma yang tidak adekuat (Lisan Q et al.,

2016; McCollister et al., 2015).

Saat ini, terapi pembedahan merupakan manajemen pilihan untuk

inverted papilloma. Agresivitas lokal, transformasi maligna, dan rekurensi

yang tinggi adalah karakteristik klinis dari inverted papilloma yang

membuat kebanyakan ahli bedah melakukan pengangkatan radikal untuk

tumor ini. Merupakan hal yang penting untuk mengidentifikasi titik

perlekatan lesi dengan dinding kavum nasi atau dinding sinus paranasalis,

karena reseksi yang tidak lengkap dapat mengakibatkan rekurensi

(McCollister et al., 2015; Ungari et al., 2015).


Rhinotomy lateral merupakan salah satu dari pendekatan eksisi

secara eksternal yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan inverted

papilloma, dengan tingkat rekurensi setelah operasi cukup rendah

dibandingkan eksisi transnasal dengan operasi Caldwell-Luc (35%) atau

eksisi non-endoscopic transnasal (58%) (Sadeghi N et al., 2015; Ungari et

al., 2015).

Dilaporkan suatu kasus inverted papilloma pada seorang seorang

laki-laki berumur 43 tahun. Keluhan berupa hidung kanan tersumbat sejak

±3 tahun yang lalu, dirasakan terus-menerus dan semakin memberat.

Pasien juga mengeluhkan keluar cairan dari hidung, hidung kanan terasa

nyeri, serta pusing terutama sebelah kanan. Pasien pernah mengalami

keluhan serupa dan dioperasi hidung sebanyak 2 kali. Operasi dilakukan di

Sragen pada tahun 2013 dan 2014. Karena keluhan masih dirasakan,

menetap, dan makin memberat maka dilakukan tindakan operatif untuk

penatalaksanaannya.

B. Permasalahan

Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan inverted papilloma,

sebagai salah satu kasus yang masuk dalam penanganan di bidang THT-

KL.

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui

diagnosis dan penatalaksanaan inverted papilloma, sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien.


D. Manfaat

Manfaat di bidang akademis untuk mengetahui faktor penyebab

terjadinya inverted papilloma. Manfaat klinis untuk mengetahui penegakan

diagnostik dan penatalaksanaan inverted papilloma secara operatif.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Inverted papilloma merupakan tumor epitel sinonasal benigna.

yang berasal dari permukaan mukosa traktus sinonasal. Inverted papilloma

pertama kali didokumentasikan oleh Ward pada tahun 1854 dan

merupakan salah satu dari Schnederian Papilloma. Kata Schneiderian

merujuk pada membran Schneiderian, yaitu membran mukosa dari kavitas

sinonasal. Menurut klasifikasi dari WHO pada tahun 2005, papilloma

Schneiderian terdiri atas inverted, oncocytic, dan exophytic papilloma

yang dibedakan menurut ciri khas histologisnya. (Lisan Q et al., 2016;

McCollister KB et al., 2015; Sadeghi N et al., 2015). Kata “inverted”

pada inverted papilloma mengacu pada gambaran histologisnya dimana

didapatkan invaginasi epitel hiperplastik ke arah stroma (Lisan Q et al.,

2016; McCollister KB et al., 2015).

Walaupun diklasifikasikan sebagai tumor jinak, inverted papilloma

dapat mengerosi dan mendestruksi jaringan sekitar, serta memiliki potensi

untuk meluas ke kavitas orbita maupun intrakranial (Ungari et al., 2015).

Diketahui pula inverted papilloma dapat bertransformasi ganas menjadi

karsinoma sel skuamosa (Lisan Q et al., 2016; McCollister et al., 2015).

Selain itu, pada penatalaksanaan inverted papilloma yang tidak tuntas

ditemukan tingkat rekurensi yang tinggi (McCollister et al., 2015)


Gambar 1. Gambaran histologis inverted papilloma dengan invaginasi
epitel hiperplastik ke arah stroma (Lisan Q et al., 2016)

B. Epidemiologi

Inverted papilloma sinonasal adalah jenis tumor yang jarang

ditemui dengan perkiraan insidensi 0.6-1.5 kasus per 100.000 orang per

tahun, yang merupakan 0.5-4.0% dari semua tumor primer sinonasal.

Penyakit ini lebih banyak ditemui pada laki-laki daripada perempuan

dengan perbandingan 3-5:1 serta memiliki puncak insidensi pada dekade

ke-5 hingga ke-7 kehidupan (McCollister et al., 2015). Selain itu, bangsa

kulit putih dikatakan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami

penyakit ini dibandingkan dengan bangsa lain (Sadeghi N et al., 2015).

Pada
C. Etiologi

Etiologi dari inverted papilloma belum diketahui secara pasti.

Beberapa hipotesis seperti alergi, sinusitis kronis, dan infeksi virus

diperkirakan berhubungan. Faktor ekstrinsik seperti polusi lingkungan dan

bahan karsinogenik industri juga ikut menyebabkan terbentuknya inverted

papilloma. Akan tetapi, penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk

mendukung hal tersebut (Lisan Q et al. 2016; Vlachtsis K et al., 2013).

Studi mengenai hubungan dengan infeksi Epstein-BarrVirus

(EBV) juga telah diteliti, namun belum ada bukti yang cukup kuat untuk

membuktikkannya. Selama lebih dari 30 tahun, Human Papilloma Virus

(HPV) dicurigai memiliki peran dalam patofisiologi dan transformasi

maligna dari inverted papilloma. Namun data literatur yang ada sekarang

masih bersifat kontradiktif dan inkonklusif, (Lisan Q et al. 2016; Zhao et

al., 2016)

D. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi

1. Anatomi Hidung dan Sinus Paranasalis

a. Anatomi Hidung Luar

Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara

pipi dan bibir atas. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian.

Yang paling atas adalah kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di

bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,


serta yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah

digerakkan (Soetjipto D dan Wardani RS., 2007).

Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-

bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) batang

hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela,

dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh

kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan

ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan

atau menyempitkan lubang hidung (Chang EW et al., 2015;

Soetjipto D dan Wardani RS., 2007).

Gambar 2. Kerangka Hidung Luar dari Ventral

(Paulsen F & J Waschke, 2013)


Kerangka tulang terdiri dari: 1) tulang hidung (os

nasal), 2) prosesus frontalis os maksila, dan 3) prosesus nasalis os

frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa

pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu

1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang

kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago ala mayor, dan 3) tepi anterior kartilago septum (Soetjipto

D dan Wardani RS., 2007).

Gambar 3. Kerangka Hidung Luar dari Lateral

(Paulsen F & J Waschke, 2013)

b. Anatomi Hidung Dalam

Bagian hidung dalam berbentuk terowongan dari depan ke

belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya

menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior atau koana, yang menghubungkan

kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto D dan Wardani RS. 2007).

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu

dinding inferior, superior, medial, dan lateral. Dinding inferior atau

dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatinus, os maksila, dan

prosesus horizontal os palatum (Chang EW et al., 2015; Soetjipto

D dan Wardani RS. 2007).

Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago

lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os

maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar

atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh

filamen-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan

permukaan kranial konka superior (Chang EW et al., 2015;

Soetjipto D dan Wardani RS. 2007).

Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Septum nasi

dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Dilapisi oleh perikondrium

pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang,

sedangkan di luarnya dilapisi juga dengan mukosa nasal (Chang

EW et al., 2015; Soetjipto D dan Wardani RS. 2007).

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus

frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media


yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina

perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial

(Soetjipto D dan Wardani RS. 2007).

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat

rongga yang disebut meatus, yang terdiri dari meatus inferior,

medius dan superior. Meatus superior merupakan area drainase

untuk sel-sel ethmoidalis posterior dan sinus spenoid. Meatus

media menyediakan drainase untuk drainase ethmoid anterior, sinus

maksilaris dan sinus frontalis. Sedangkan meatus inferior

merupakan drainase untuk ductus nasolakrimalis (Chang EW et al.,

2015; Soetjipto D dan Wardani RS. 2007).

Gambar 4. Hidung Bagian Dalam (Paulsen F & J Waschke, 2013)

Struktur penting lain yang ada pada hidung dalam adalah

Komplek Osteomeatal (KOM). KOM merupakan celah yang

dibatasi oleh lamina papirasea lateral, konka media, ressesus


frontalis superior, dan ostium sinus maksilaris inferior the middle

turbinate medially, the frontal recess superiorly. Struktur anatomi

penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus,

infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi

dan ressesus frontal (Singh et al., 2016).

c. Vaskularisasi

1) Arteri Ethmoidalis Anterior (cabang A. Opthalmica – A.

Carotis Externa). Ke atas cavum nasi, septum nasi, dinding

lateral cavum nasi bagian antero-superior.

2) Arteri Ethmoidalis Posterior (cabang A. Opthalmica). Ke

septum nasi bagian superior, dinding lateral cavum nas

bagian superior.

3) Arteri Spheno-palatina (cabang A. Maxillaris Interna – A.

Carotis Externa). Ke dinding lateral cavum nasi.

4) Arteri Nasopalatina (lanjutan A. Sphenopalatina). Kea tap

cavum nasi, sebagian besar septum nasi, dasar cavum nasi

beranastomose dengan arteri palatina desendens kedasar

cavum nasi dan dinding lateral cavum nasi bagian belakang.

5) Arteri Lateralis Nasi (cabang A. Maxillaris Externa). Ke

dinding lateral cavum nasi dekat nares.

6) Arteri Pharyngea (cabang A. Maxillaris Interna). Ke bagian

posterior radix nasi.


7) Arteri Nasalis Posterior Septi (cabang A. Maxillaris Externa).

Ke bagian bawah septum nasi, sepanjang dasar cavum nasi.

d. Persarafan

Kavum nasi mendapat inervasi dari cabang nervus trigeminus,

yaitu :

1) N. Opthalmica → N. Ethmoidalis Anterior → Ramus Nasalis

Anterior

- Ri. Nasalis Interna Medialis → ke bagian mukosa septum

nasi bagian anterior.

- Ri. Nasalis Interna Lateralis → ke dinding lateral cavum

nasi meneruskan sebagai nasalis externa.

2) N. Maxillaris pada ganglion sphenopalatina

- Ri. Nasalis Posterior Superior

Ri. Lateralis → ke konka superior dan media

Ri. Medialis → ke septum nasi.

- Ri. Nasalis Posterior Inferior (Lateralis) → ke konka inferior.

- N. Alveolaris Superior

Ri. Alveolaris Superior, anterior → ke meatus inferior.

- N. Infraorbitalis

Ri. Nasalis Interna → ke vestibulum nasi.


e. Sinus Paranasalis

Gambar 5. Sinus Paranasalis (Singh A et al., 2016)

Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh

manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat

bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal merupakan hasil

pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di

dalam tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat

buah pada masing-masing sisi hidung; sinus frontalis kanan dan

kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior), sinus

maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum Highmore


dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini

dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung,

berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium

masing-masing (Soetjipto D dan Mangunkusumo E, 2007).

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok

yaitu bagian anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di

bawah konka media, pada atau di dekat infundibulum, terdiri dari

sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid.

Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka

media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid.

Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung

merupakan batas antara kedua kelompok (Singh A et al., 2016;

Soetjipto D dan Mangunkusumo E, 2007).

2. Histologi Hidung dan Sinus Paranasalis

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan

fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan

mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat

pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh

epitel pseudostratified kolumner bersilia dan diantaranya terdapat sel-

sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga atas septum dan dilapisi oleh epitel

pseudostratified kolumner tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh


tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal, dan reseptor penghidu

(Soepardi EA et al., 2007).

Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa

bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus, silia bergerak

secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya

mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya (Soepardi EA et al.,

2007).

3. Fisiologi Hidung

Berikut merupakan beberapa fungsi dari hidung:

a. Fungsi Respirasi

Udara masuk ke hidung menuju nares anterior, lalu naik ke atas

setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring.

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º C

oleh banyaknya pembuluh darah dibawah epitel dan adanya

permukaan konka dan septum yang luas.

Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup akan

disaring di hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,

silia, palut lendir yang kemudian akan dikeluarkan dengan refleks

bersin (Soetjipto D dan Wardani RS., 2007).

b. Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan

adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka


superior dan sepertiga bagian atas septum. Fungsi pencecap adalah

untuk mambedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam

bahan seperti jeruk, pisang dan cokelat. Juga membedakan rasa

asam yang berasal dari cuka dan asam jawa (Soetjipto D dan

Wardani RS., 2007).

c. Fungsi Fonetik

Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau

hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung

membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan

konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung

terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara (Soetjipto D dan

Wardani RS., 2007).

d. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan

dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi

mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas

terhenti. Refleks bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelanjar

liur, lambung dan pancreas (Soetjipto D dan Wardani RS., 2007).

4. Fisiologi Sinus Paranasalis

Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang

bermacam-macam. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi

sinus paranasal antara lain:

a. Sebagai Pengatur Kondisi Udara


Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan

dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran

udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada

tiap kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk

pertukaran udara total dalam sinus. Mukosa sinus tidak memiliki

vaskularisasi dan kelanjar yang sebanyak mukosa hidung (Singh

A et al., 2016; Soetjipto D. dan Mangunkusumo E., 2007).

b. Sebagai Penahan Suhu

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan panas, melindungi

orbita dan fossa serebri dan suhu rongga hidung yang berubah-

ubah (Soetjipto D. dan Mangunkusumo E., 2007).

c. Membantu Keseimbangan Kepala

Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi

berat tulang muka. Namun hal ini tidak terlalu bermakna (Soetjipto

D. dan Mangunkusumo E., 2007).

f. Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara

dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang

berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan

sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada

korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-

hewan tingkat rendah (Singh A et al., 2016; Soetjipto D. dan

Mangunkusumo E., 2007).


g. Sebagai Peredam Perubahan Tekanan Udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar

dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang

ingus. Sinus paranasalis juga dipercaya menyediakan zona kisut

untuk melindungi struktur vital pada trauma facial (Singh A et al.,

2016; Soetjipto D. dan Mangunkusumo E., 2007).

h. Membantu Produksi Mukus

Mukus yang dihasilkan berjumlah kecil dibanding mukus dari

rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang

turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari

meatus medius, tempat yang paling strategis (Soetjipto D. dan

Mangunkusumo E., 2007).

E. Patogenesis

Etiologi mengenai penyebab terjadinya inverted papilloma ini

belum diketahui secara pasti, namun salah satu yang paling diyakini

memiliki peran terhadap patofisiologi dan patogenensis dari inverted

papilloma adalah Human Papilloma Virus (HPV). Integrasi HPV pada

genom menginduksi ekspresi berlebihan dari onkoprotein E6 dan E7 yang

mendeaktivasi regulator siklus sel seperti p16, p21, p27, cyclin D1 atau

protein gen retinoblastima (Rb). Pada beberapa penelitian, p53 ditemukan

pada inverted papilloma yang berhubungan dengan karsinoma dan tidak

pada inverted papilloma benigna maupun pada mukosa yang sehat.


Mekanisme lain seperti mutasi gen p53 atau peningkatan degradasi protein

normal p53, keduanya menurunkan kerja aktivitas supresi tumor. P21

merangsang siklus sel tetap pada G1, dan diinduksi oleh p53 . Sebuah meta

analisis terbaru menemukan adanya ekspresi berlebihan p21 pada 67%

inverted papilloma yang berhubungan dengan karsinoma dan hampir tidak

pernah ditemui pada mukosa yang sehat, namun ditemui pada 63%

inverted papilloma benigna. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,

HPV, p53, dan p21 dipercaya memiliki peran dalam onkogenesis dari

inverted papilloma maligna, namun hal ini belum dapat dijelaskan

sepenuhnya (Lisan Q et al., 2016).

Serotipe HPV 6 dan 11 sering ditemukan pada inverted papilloma

benigna. Sedangkan serotipe HPV 16 dan 18 (berhubungan dengan risiko

tinggi onkogenik) pada inverted papilloma dengan displasia tingkat tinggi

atau karsinoma. Namun banyak studi yang kontradiktif dengan hal tersebut,

serta level bukti yang secara umum tidak cukup untuk menegakkan

penyebab pastinya. Dengan demikian, HPV sangat mungkin memiliki

peran dalam patogenesis inverted papilloma, namun data literatur yang

tersedia saat ini belum dapat menjelaskan perannya secara pasti (Lisan Q

et al., 2016; Zhao RW et al. 2016).


DAFTAR PUSTAKA

Adams GL, Boies LR, dan Hilger PA. 2013. Boies: Buku Ajar Penyakit THT.

Edisi 6. Jakarta: EGC.

Chang EW, Nguyen CT et al. 2015. Nasal Anatomy.

http://emedicine.medscape.com/article/835134-overview Diakses 2 Juli

2016 pukul 20.00

Lisan Q et al. 2016. Sinonasal inverted papilloma: From diagnosis to treatment.

European Annals of Otorhinolaryngology, Head and Neck diseases.

http://dx.doi.org/10.1016/j.anorl.2016.03.006 Diakses 2 Juli 2016 pukul

23.00

McCollister KB et al. 2015. Inverted Papilloma: A Review and What’s New.

Neurographics. 5(3):96–103

Paulsen F & J Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum

dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.

Sadeghi N., Meyers AD., et al. 2015. Sinonasal Papillomas.

http://emedicine.medscape.com/article/862677-overview#a7. Diakses 2

Juli 2016 pukul 14.00.


Singh A, Meyers AD, Massey CJ et al. 2016. Paranasal Sinus Anatomy.

http://emedicine.medscape.com/article/1899145-overview Diakses 2 Juli

2016 pukul 20.00

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi

VI. Jakarta: FKUI.

Soetjipto D dan Mangunkusumo E. 2007. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA,

Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VI.

Jakarta: FKUI.

Soetjipto D dan Wardani RS. 2007. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi VI. Jakarta: FKUI.

Ungari C et al. 2015. Management and treatment of sinonasal inverted papilloma.

Annali di Stomatologia. VI (3-4); 87-90.

Zhao RW et al. 2016. Human papillomavirus infection and the malignant

transformation of sinonasal inverted papilloma: A meta-analysis. Journal

of Clinical Virology 79: 36–43.

Anda mungkin juga menyukai