Anda di halaman 1dari 7

REFERAT

ILMU THT

Pembimbing:

dr. Chonifa Wahyurini, Sp. THT

Disusun oleh:

Vivi Wahyu Lestari 201704200352

Wahida Muntaza 201704200353

Wahyu Nur Rohman 201704200354

Wenas Immanuel 2017.04.200.355

Wiliam Yuhono 201704200356

William Sugiharto 201704200357

RUMAH SAKIT DOKTER RAMELAN SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA

2019
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma

Definisi

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma / Angiofibroma nasofaring belia


merupakan suatu tumor vaskuler yang tidak umum, jinak, dan bersifat agresif secara
lokal (López et al., 2017). Tumor ini sangat jarang dengan kejadian 0,5% dari
seluruh tumor kepala dan leher (Makhasanaet al., 2016).

Epidemiologi

Meskipun Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma adalah tumor yang tidak


umum, namun tumor ini menjadi tumor jinak yang paling sering terjadi pada
nasofaring (Pasha and Golub, 2018). Terutama menyerang pada pria usia dewasa
muda (14-25 tahun), meskipun beberapa sumber juga menyebutkan terjadi pada
usia remaja 8-14 tahun(Makhasanaet al., 2016). Insiden tumor ini berkisar antara
1:5.000-60.000 (Chan and Goddard, 2016).

Etiologi dan Patofisiologi

Tumor vaskuler ini berasal dari fossa pterigo palatina, bersifat jinak namun
bersifat agresif, hingga saat ini belum ditemukan penyebab pasti dari timbulnya
tumor ini, namun diduga ada keterlibatan hormonal oleh karena terjadi secara
khusus atau eksklusif pada pria dewasa muda. Tumor ini tumbuh lambat (slow
growing), invasiflokal, dapat menyebar ke intracranial, namun tidak
metastase(Pasha and Golub, 2018). Walaupun etiologic masih tidak jelas, saat ini
sedang diperdebatkan mengenai angiofibroma ini dengan teori hamartoma dan
malformasi vaskuler(Makhasanaet al., 2016).

Sign & Symptom

Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma sering terjadi pada populasi pria,


pada usia 14-25 tahun. Dengan gejala yang paling sering adalah obstruksi nasal dan
epistaxis. Obstruksi nasal dapat terjadi bilateral meskipun lesihanya unilateral, oleh
karena perluasan nasofaring dan deviasi septum nasi akibat lesi yang membesar.
Epistaxis sering kali berlangsung cepat dan intermiten. Discharge nasal purulen,
nyeri area wajah dapat terjadi akibat dari obstruksi jalur sinus dan terjadi gangguan
pendengaran konduktif akibat tertutupnya ostium tuba eustachius(Safadi et al.,
2018).

Pada nasoendoskopi, tampak massa lobulated hipervaskularisasi dengan


permukaan halus yang menonjol di belakang cauda darichonca media, yang
mengobstruksi choane atau secara penuh mengisi cavum nasi. Lesi yang lebih lanjut
akan tampak proptosis dan pembengkakan wajah akibat perluasan ke fosa orbita
dan intratemporal. Opthalmoplegia terjadi akibat gangguan saraf cranial jarang
terjadi, namun dapat menimbulkan komplikasi invasi pada apex orbita dan sinus
cavernosus (Safadi et al., 2018).

Diagnosis

Gambaran klinis tergantung dari letak tumor, perluasan dan waktu ketika tumor
terdiagnosis. Penyebaran tumor terjadi melalui submukosa dan jaringan lunak di
sekitar lesi.8,9 Pada umumnya, pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat
dan epistaksis spontan yang masif. Pasien dengan massa yang besar dapat disertai
dengan proptosis, gangguan pendengaran konduktif, bengkak pada pipi, dan bahkan
defisit pada nervus kranialis III,VI. Pemeriksaan klinis harus dengan menggunakan
endoskopi untuk melihat regio nasal sampai nasofaring. Tumor yang lebih besar lagi
dapat menyebabkan pendorongan palatum molle sehingga menyebabkan
pembengkakan pada antrum maksila dan meluas hingga fossa infratemporal.
klasifikasi Chandler dan Radkowski

Histopatologi

Secara histopatologi, Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma


dikarakteristikkan dengan sifatnya yaitu jinak, berkapsul, berisi jaringan vaskuler dan
stroma fibrous, banyak mengandung mast cells(Pasha and Golub, 2018).

Klasifikasi Fisch’s

Berdasarkan klinis dan radiologis, Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma


diklasifikasikan menjadi 4 , dalam klasifikasi Fisch(Pasha and Golub, 2018):

I : Terbatas pada cavum nasi

II : Meluaskefosapterigomaxilaris / sinus dengandestruksitulangsekitar

III : Menginvasifosaintratemporal, orbita, atau area parasellar

IV : Meluaske sinus cavernosus, regio chiasma opticus, ataufosapituitari


Tatalaksana dan Terapi (Point penting)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain dengan CT Scan dan
MRI. Identifikasi suplai darah pre operasi merupakan hal yang penting untuk
menentukan strategi pembedahan yang tepat . Meski MRI dapat membantu dalam
penilaian vaskular, angiografi tetap diperlukan untuk mendapat gambaran lengkap
dari semua pembuluh darah.

Arteriografi mempunyai nilai diagnostik dan terapeutik, dengan melakukan


embolisasi pada feeding vessel tumor. Kedua tindakan tersebut dapat dilakukan
secara bersamaan atau terpisah. Arteriografi sebelum pembedahan diindikasikan
untuk menentukan luas lesi, jumlah vaskularisasi dan asal feeding vessel. Dalam
menentukan batas tumor, penilaian perluasan intrakranial sangat penting karena
operasi dapat menyebabkan bahaya lain.

Biopsi massa merupakan suatu kontraindikasi karena ada risiko pendarahan di


samping karenan diagnosis yang akurat sudah dapat ditegakkan dengan modalitas
radiologi. Saat ini peranan angiografi sebelum embolisasi untuk mengurangi
pasokan darah pada tumor. Pada kasus ANJ, terapi yang dapat dilakukan meliputi
pembedahan, radiasi, krioterapi, elektrokoagulasi, terapi hormonal, embolisasi, dan
injeksi sclerosing agent. Saat ini banyak yang memberikan terapi embolisasi
sebelum operasi dan radioterapi setelah operasi. Akan tetapi, penelitian yang
dilakukan oleh Fonseca dkk. menunjukkan bahwa masih dapat dilakukan ekstirpasi
tumor sampai stadium Fisch III tanpa dilakukan embolisasi praoperasi, mengingat
para ahli radiologi intervensi tidak selalu tersedia di semua sentra pelayanan
kesehatan.

Embolisasi sebelum operasi direkomendasikan sebagai prosedur standar untuk


mengurangi ukuran massa tumor dan bahaya perdarahan selama operasi, sehingga
memungkinkan pengangkatan total massa tumor, mengurangi komplikasi dan
meminimalkan residu tumor. Tujuannya adalah mengurangi suplai darah ke
tumor, dan hal ini akan efisien jika agen emboli dapat masuk ke dalam pembuluh
darah tumor, yang paling baik dicapai dengan partikel berukuran kecil seperti
polivinil alkohol. Embolisasi sebelum radiasi eksterna perlu dipertimbangkan karena
akan menyebabkan keadaan hipoksia tumor dan dapat menyebabkan radioresisten.
Pengangkatan tumor tetap menjadi pilihan tatalaksana utama, dimana
pendekatan dari insisi yang akan digunakan sangat ditentukan oleh stadium tumor.
Biopsi pre-operasi jarang dilakukan karena sifat tumor yang mudah berdarah akibat
tingginya vaskularisasi tumor. Pendekatan yang digunakan harus dapat
memvisualisasi tumor secara keseluruhan untuk mempermudah proses operasi.

Pemberian radiasi eksterna pada ANJ umumnya diberikan pada tumor besar yang
diperkirakan tidak dapat direseksi atau pada stadium lokal lanjut, misalnya tumor
yang telah mencapai intrakranial dan melibatkan sinus kavernosus dan chiasma
opticus.

Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh penyakit ini adalah


perluasan ke sinus, orbita (kebutaan, diplopia, proptosis) atau perluasan ke
intracranial dan basis cranii(Pasha and Golub, 2018).
Daftar Pustaka

1. Chan, Y and Goddard, J. C. 2016. K.J. Lee’s Essential Otolaryngology: Head &
Neck Surgery. 11theditions. pp.873-874. New York: McGraw-Hill.
2. López, F., Triantafyllou, A., Snyderman, C. H., Hunt, J. L., Suárez, C., Lund, V. J.,
et al. (2017). Nasal juvenile angiofibroma: Current perspectives with emphasis
on management. Head & Neck, 39(5), 1033–1045. doi:10.1002/hed.24696.
3. Makhasana, J. A. S., Kulkarni, M. A., Vaze, S., and Shroff, A. S. (2016). Case
Report: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Journal of Oral & Maxillofacial
Pathology(JOMFP), 20(2). Available
from: http://www.jomfp.in/text.asp?2016/20/2/330/185908.
4. Pasha, R. and Golub, J. S. (2018). Otolaryngology Head and Neck Surgery:
Clinical Reference Guide. 5theditions. pp20-21. San Diego: Plural
Publishing.Inc.`
5. Safadi, A., Schreiber, A., Fliss, D., & Nicolai, P. (2018). Juvenile Angiofibroma:
Current Management Strategies. Journal of Neurological Surgery Part B: Skull
Base, 79(01), 021–030. doi:10.1055/s-0037-1615810
6. Panda NK, Gupta G, Sharma S, Gupta A. Nasopharyngeal angiofibroma-changing
trends in the management. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2014;
64(3):233-9.

Anda mungkin juga menyukai