ANGIOFIBROMA NASOFARING
Pembimbing :
Oleh :
Amandha Rizky Taufika
H1A 010014
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata
dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens
terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Tumor ini merupakan
tumor jinak nasofaring 0,05% dari seluruh tumor kepala dan leher. Dilaporkan insidennya
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan .
histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena bersifat ekspansif dan
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya pembuluh darah ini
memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian
dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus
paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
2
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif. Diagnosis ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi
atau MRI.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Nasofaring
orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa yaitu
8cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding posterior
dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis oksiput dan
vertebra servikal I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak
yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m.konstriktor faring superior.
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan fibrosa dan mukosa.
Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus konstriktor superior. Ruang antara
tepi atas muskulus konstriktor superior dan dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah
ini dilindungi oleh fasia faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini.
Ujung medial dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang
terletak di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius terdapat
sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus, berjalan ke bawah
dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral. Lapisan fibrosa terdiri dari dua
lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan
ini bersambunng dengan fasia di leher. Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian
superfisial muskulus kons triktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang
berada di antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
4
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior naik ke arah
tepat di bawah puncak orbita antara prosessus pterigoideus dan posterior maksilla. Batas
medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina. Hal ini penting karena
posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke dalamnya, di sisi
pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa infratemporalis. Di sisi medial fossa
pelat tegak lurus dari tulang palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatine
mayor, yang berjalan di sisi inferior antara tulang palatina dan maksilla. Fossa pterigopalatina
berisi cabang maksillaris dari saraf kranialis kelima, yang berjalan melalui foramen rotundum
dan ke dalam orbita melalui fissura orbitalis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi
segmen pterigopalatina dari arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan
memberikan dari cabang ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung ,
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah arteri
faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan cabang faringeal
arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan
berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah superior dan fasia posterior atau vena
5
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot
konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris saraf
glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis
simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya
daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat persarafan sensoris
dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf
2. Angiofibroma Nasofaring
Definisi
Angiofibroma Nadofaring atau dapat disebut dengan Angiofibroma Juvenil adalah tumor
jinak hipervaskuler. Secara histologi, juvenile angiofibroma merupakan lesi pseudo kapsuler
yang ditandai dengan komponen vascular irreguler yang terdiri dari berbagai pembuluh darah
dengan caliber berbeda yang menempel dalam fibrosa yang kaya kolagen dan fibroblas.
Pembuluh darah mempunyai dinding yang tipis, tidak memiliki lapisan serabut elastis,
memiliki lapisan otot yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi
perdarahan. Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang dan cenderung terjadi pada pasien
yang lebih tua dan banyak pada wanita, namun tumor kurang berifat vaskuler dan kurang
Epidemiologi
yang merupakan 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi satu diantara
6
nasofaring merupakan tumor yang paling sering mengenai nasofaring. Tumor terjadi secara
eksklusif pada laki-laki,sehingga wanita dengan tumor ini harus menjalani tes genetik. Usia
saat terkena umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadi pada usia
Pradillo dkk melaporkan bahwa persentasi pasien dengan usia lebih dari 25 tahun
hanya 0.7% dari semua pasien angiofibroma nasofaring, sedangkan jumlah kasus di Rumah
Sakit M.Djamil Padang bagian THT-KL, Juli 2008-Desember 2010 berjumlah 9 orang
Etiologi
dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas muncul pada remaja
laki-laki dan bahwa lesi sering regresi setelah perkembangan lengkap karakteristik seks
sekunder memberikan bukti pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Terdapat bukti
peningkatan reseptor androgen dan regresi tumor setelah terapi anti-androgen. (3)
Patofisiologi
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat
dari para ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu
berdasarkan jaringan tempat asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori
tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan
7
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena
langsung adanya reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan
teknik sensitive immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi
progesteron (RP), dan reseptor estrogen (RE). Stromal positif dan nukleus endotelial
immunostaining, menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP
dan negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama adanya
antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma. Anggapan ini didasarkan juga atas
adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada
agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1 (TGF-1) atau faktor
pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah
untuk menghasilkan bentuk aktif, dan kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1
mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif
diidentifikasi pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada
fossa pterigopalatina dan kavum nasi posterior. Tumor berkembang dengan cara erosi tulang
dan mendesak struktur di sekitarnya, dan dapat mencapai basis kranii.Pertumbuhan lesi
memiliki kecenderungan khas mengikuti lapisan submukosa, tumbuh di dekat tempat yang
mempunyai resistensi rendah dan menginvasi tulang cancellous basisphenoid, sehingga pola
penyebarannya dapat diprediksi. Dari fossa pteri gopalatina, tumor tumbuh ke medial ke
8
dalam nasofaring, fossa nasalis dan akhirnya menuju sisi kontralateral. Pertumbuhan ke
lateral dapat meluas ke fossa sphenopalatina dan infra temporalis, melalui fissura pterigo-
maksilaris yang melebar dengan gambaran khas pergeseran ke anterior dari dinding posterior
maksilaris, sampai berhubungan dengan otot mastikatordan jaringan lunak pipi. Pertumbuhan
ke posterior dapat mengenai arteri karotis interna melalui kanalis vidian, sinus kavernosus
melalui foramen rotundum dan apeks orbita melalui fissura orbitalis inferior. Proptosis dan
atrofi nervus optikus terjadi jika fissura orbitalis sudah terkena tumor. Keterlibatan tulang
terjadi melalui dua mekanisme utama yaitu : (1) resorpsi karena tekanan langsung dengan
aktivasi osteoklast atau ( 2) langsung tersebar di sepanjang arteri perfora nates ke dalam akar
clivus dan ala mayor sphenoid, biasanya dengan erosi tabula interna fossa kranialis media
dan dapat meluas ke intrakranial. Pelebaran fissura orbitalis superior merupakan tanda
Gejala Klinis
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling
sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%);
khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala
lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas pipi.
Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan jari
rinore kronis yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan
ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke
intrakranial (1).
9
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau
hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor
atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah
besar (4).
Diagnosa
Diagnosis biasanya ditegakkan melalui anamnesis gejala klinis yang dirasakan pasien.
Selain itu juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada pemeriksaan
fisik secara rinoskopi pisterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal, warna
bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring
biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke
luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada
usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosa
yang mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi (1).
Secara mikroskopis tampak terdiri dari komponen pembuluh darah di dalam stroma yang
fibrous. Pada pertumbuhan tumor yang aktif, komponen pembuluh darah menjadi
predominan. Dinding pembuluh darah secara umum terdiri dari endothelial tunggal yang
melapisi stromafibrous. Ini membantu untuk menyebabkan perdarahan yang masif. Pembuluh
darah dalam bisa memiliki suatu lapisan muskular. Stroma terbuat dari fibril kolagen yang
halus dan kasar yang memiliki ciri-ciri jaringan ikat berbentuk bintang pada daerah tertentu.
radiologik konvensional (foto kepala AP-lateral, Waters) akan terlihat gambaran klasik yang
disebut tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fisura pterigo-palatina akan melebar. Akan terlihat juga massa jaringan lunak di daerah
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar
10
nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat
Pada foto polos gambaran pada sinus dapat tampak seperti polip nasofaring dan
lengkungan ke depan serta opasifikasi dari dinding posterior sinus maksila. Pada CT scan
tampak perluasan tumor pada sinus sfenoid, erosi pada tulang sfenoid, atau invasi pada
CT scan coronal memperlihatkan lesi yang mengisi cavum nasi kiri dan sinus etmoid,
memblok sinus maksila dan tampak deviasi septum nasi ke sisi kanan
CT scan axial tampak lesi meliputi cavum nasi kanan dan sinus paranasal
11
Magnetic Resonance Imaging (MRI) diindikasikan untuk menggambarkan dan
menentukan batas tumor terutama pada kasus yang sudah meluas ke intrakranial (8).
utama pada tumor (94%). Vaskularisasi utama pada tumor berasal dari arteri maksilaris
interna, tetapi arteri vidianus atau arteri faringeal ascenden juga berkontribusi daram
memperdarahi tumor. Akan tampak arteri maksilaris interna terdorong ke depan sebagai
akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke arah fosa
pterigomaksila. Selain itu massa tumor akan terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan. Pada kasus yang jarang
12
Gambaran angiografi sebelum dilakukan embolisasi
estrogen, progesteron dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya gangguan
hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang paling
sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch. Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut (3) :
13
- Stage IB : Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring dengan perluasan ke
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
tulang.
- Stage III :Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah parasellar
pituitari
Penatalaksaan
Penanganan tumor angiofibroma nasofaring tergantung dari luas dan besarnya tumor,
bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan eksterpasi tumor,
tetapi bila tumor sudah sampai ke dalam kranium, radioterapi merupakan cara pengobatan
pilihan (4).
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan radioterapi.
Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya,
14
degloving), atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. (3)
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh
embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan
selama operasi. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel
reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon
mengatasi perdarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi
Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
stereotaktik radioterapi (gama knife) atau jika tumor meluas ke intrakranial dengan
Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar
tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diberikan terapi
hormonal 6 minggu sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi (8).
Komplikasi
IV), perdarahan yang tidak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital
dan tranfusi perioperatif. Komplikasi lainnya meliputi perdarahan yang banyak, transformasi
keganasan, kebutaan sementara sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi. (1)
15
Prognosis
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar, dan dapat
pula hilang sendiri. Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-
24%. (1,)
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Umur : 16 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 123183
3.2. Anamnesis
♣ Keluhan Utama:
Hidung tersumbat
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan hidung terasa
tersumbat. Keluhan ini dirasakan sejak +/- 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan
menetap sepanjang hari, dan dirasakan memberat sejak +/- 3 hari yang lalu.
Keluhan hidung tersumbat dirasakan pada kedua rongga hidung, namun lebih berat
dirasakan pada rongga hidung kiri. Pasien mengatakan tidak ada hal yang
mengeluh mulai susah bernafas akibat sumbatan di hidung, keluhan ini mulai
dialami sejak +/- 3 hari yang lalu. Pasien mengaku pada malam hari sering
17
terbangun akibat sulit bernafas. Pasien juga menyadari adanya benjolan pada
rongga hidung sebelah kiri. Keluhan benjolan ini tidak diketahui secara pasti sejak
kapan muncul, namun pasien baru menyadari +/- 1 bulan yang lalu. Pasien awalnya
melihat awalnya melihat benjolan dengan ukuran yang kecil, namun saat ini
benjolan dirasakan semakin membesar. Nyeri (-). Pasien sering mengalami pilek
lendir kental yang terkadang disertai dengan adanya darah, suara sengau (+). Selain
itu pasien juga sering mengalami mimisan dari rongga hidung kiri. Keluhan ini
dialami sejak +/- 3 bulan yang lalu. Saat ini keluhan tersebut disangkal pasien,
terakhir kali pasien mengalami mimisan +/- 2 minggu yang lalu. Pasien juga
Nyeri pada dahi (-), nyeri pada mata dan belakang mata (-) dan pangkal hidung (-),
nyeri tenggorokan, nyeri pada bagian atas kepala (-), nyeri belakang telinga (-),
Keluhan serupa (-), riwayat sakit gigi (-), gigi berlubang (-), riwayat asma (-),
♣ Riwayat Alergi:
♣ Riwayat Pengobatan:
keluhan tidak membaik. Pasien juga telah dianjurkan oleh dokter Puskesmas untuk
18
3.3. Pemeriksaan Fisik
♣ Status Generalis :
- Nadi : 82 x/menit
- Respirasi : 20 x/menit
- Suhu : 36,6⁰C
BB: 52 Kg
♣ Status Lokalis :
PemeriksaanTelinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga : aurikula, Bentuk dan ukuran telinga Bentuk dan ukuran telinga
preaurikuer, retroaurikuler. dalam batas normal, lesi dalam batas normal,lesi pada
),massa (-), fistula (-), nyeri ),massa (-), fistula (-), nyeri
3. Liang telinga (MAE) Serumen (+) minimal, Serumen (-), hiperemis (-),
19
Retraksi (-), bulging (-),
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), intak (+), cone hiperemi (-), intak (+), cone
Pemeriksaan Hidung
Hidung luar Bentuk (N), inflamasi (-), Bentuk (N), inflamasi (-),
deformitas (-), massa (-), nyeri deformitas (-), massa (-), nyeri
Rinoskopi Anterior :
Cavum nasi Bentuk (N), mukosa pucat (-), Bentuk (N), mukosa edem (+)
Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), sekret Mukosa hiperemi (-), sekret
Septum nasi Deviasi (-), benda asing(-), Deviasi (-), benda asing (-),
20
mukosa normal. mukosa normal.
Konka nasi inferior Hipertrofi (-),hiperemia (-), Hipertrofi (-), hiperemia (-),
Gambar :
dilakukan dilakukan
dilakukan dilakukan
21
Pemeriksaan Tenggorokan
(-).
9. Tonsila Palatina Kanan : Hiperemi (-), permukaan rata (+), ukuran T1,
22
3.4. Pemeriksaan Penunjang
23
3.5. Assesment
Diagnosis
Angiofibroma Nasofaring
Diagnosa Banding
Polip Nasi
3.5. Planning
♣ Medikamentosa :
♣ Operatif
♣ Pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan hidung dan tidak menekan-nekan hidung
3.7 Prognosis
Dubia ad bonam
24
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien laki-laki usia 16 tahun datang dengan keluhan adanya sumbatan
pada hidung, disertai dengan adanya pilek mimisan dan penuruna penciuman. Pasien juga
mengeluh adanya benjolan pada rongga hidung sebelah kiri. Pasien tidak mempunyai keluhan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis tergambar mengenai etiologi dan perjalanan penyakit
pasien. Anamnesis teruatam meliputi keluhan utama berupa hidung tersumbat, dan adanya
pilek, mimisan, serta benjolan pada rongga hidung. Dari pemeriksaan fisik mengonfirmasi
adanya masaa pada rongga hidung kiri, massa bewarna putih kemerahan dengan konsistensi
Gejala hidung tersumbat dan mimisan dapat terjadi pada polip nasi maupun
angiofibroma nasofaring. Karena itu polip nasi juga dijadikan diagnosa banding pada kasus
ini. Polip nasi angiomatosa mempunyai gejala dan tanda yang mirip dengan angiofibroma.
Perbedaan antara keduanya terletak pada predileksi umur dan jenis kelamin, dan letak serta
perluasan lesi. Polip nasi angiomatosa tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Hal ini
berbeda dengan angiofibroma nasofaring, yang mempunyai predileksi jenis kelamin laki-laki
dan umur remaja. Selain dari epidemiologi, perbedaan polip angiomatosa dengan
angiofibroma adalah letak terutama polip angiomatosa di fossa nasalis, bukan di nasofaring,
tidak meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada polip
nasi biasanya tidak disertai dengan epitaksis, kecuali bila ada riwayat trauma.
25
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor jinak yang mempunyai vaskularisasi yang
banyak. Karena hipervaskularisasi dari tumor ini maka biopsi tidak dianjurkan, karena dapat
perdarahan yang besar akibat tingginya vaskularisasi tumor. Tindakan operasi bertujuan
untuk memperbaiki keluhan yang dirasakan pasien terutama rasa tersumbat pada hidung yang
Kontrol setelah dilakukan operasi tetap diperlukan untuk menilai ada tidaknya
26
DAFTAR PUSTAKA
:Soepardi EA, Iskandar N. (Ed). Buku Ajar Ilmu THT. Edisi 6. Jakarta :Balai Penerbit
2. Fauzi et al. (Ed) Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition McGraw-Hill
5. Hansen JT. Netter’s Clin ical Anatomy. 2nd ed. Saunders Elsevier. 2010
7. Garca MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Eur J Gen
27