I;
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologis terdiri dari komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun
secara histologis jinak, tetapi secara klinis tumor ini bersifat seperti tumor ganas
karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma nasofaring sangat mudah berdarah
yang sulit dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan, merupakan 0,05% dari tumor
kepala dan leher. Biasanya ditemukan pada laki-laki dan remaja antara usia 7 19
tahun dan jarang terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. (1,2,3,4)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis adalah epistaksis masif
berulang, obstruksi hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung
kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring. (2,5)
Penanganan
angiofibroma
nasofaring
dapat
berupa
pembedahan
pendekatan
transpalatal,
rinotomi
lateral,
degloving,
kraniotomi.
ANATOMI
Untuk keperluan klinis, faring dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama,
yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring adalah bagian pernapasan dari
faring dan tidak dapat bergerak kecuali palatum mole bagian bawah. Nasofaring meluas
dari dasar tengkorak sampai batas palatum mole. Orofaring meluas dari palatum mole
sampai batas epiglotis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatina dengan arkusnya dan
tonsila lingualis yang terletak pada dasar lidah. Pada bagian bawah faring, dikenal
dengan larinofaring atau hipofaring, menunjukkan daerah jalan napas bagian atas yang
terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. (7)
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang
erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.(7)
III;
EPIDEMIOLOGI
Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/60.000 dari pasien THT dan
diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala. Tumor ini
umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7 19 tahun. Jarang terjadi pada
usia lebih dari 25 tahun. (1,2,5)
IV;
ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori dikemukakan. Salah
satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya
kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya
hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Teori lain yang
dikemukakan adalah teori tentang keterlibatan respon desmoplastik pada periosteum
nasofaring atau fibrokartilago embrionik di antara
V;
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah
anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan
memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah foramen
sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior
sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal yang akan
menimbulkan benjolan pada pipi dan rasa penuh di wajah. (1,2,4)
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus etmoidalis masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoidalis ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.(1,2,4)
GAMBARAN KLINIS
Gejala yang paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersumbat
yang progresif dan epistaksis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinitis kronik yang diikuti
oleh gangguan penciuman Tuba eustakius akan menimbulkan ketulian atau otalgia.
Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial(1,2,3,4).
Gambaran klinis lain yang bisa ditemukan pada penyakit ini adalah : (1,5,6,7)
Massa pada regio nasal. (80%)
VI;
Proptosis (10-15%)
VII;
PEMERIKSAAN FISIS
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi anterior akan didapatkan massa yang
yang tidak teratur denagn konsistensi yang kenyal pada bagian posterior dari cavum
nasi, berwarna abu-abu sampai merah muda, permukaan licin, nodular, tidak memiliki
kapsul dengan dasar yang biasanya bertangkai. Pada rinoskopi posterior akan terlihat
massa tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna
putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua
berwarna kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.(2,5)
VIII;
STADIUM TUMOR
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 3 sistem yang
paling sering digunakan yaitu Sessions, Fisch dan Chandler. Klasifikasi menurut
Sessions sebagai berikut : (1,2)
Stage IA
Stage IB
Stage IIA
Stage IIB
Stage IIIA
Stage IIIB
ke
Stage I
Stage II
dengan
destruksi tulang.
Stage III
Stage IV
Menurut Chandler, berdasarkan perluasan tumor, stadium tumor dibagi menjadi : (5)
Stage I
Stage II
Stage III
Stage IV
IX;
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi
Foto Sinar X
Pada foto sinar-X konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral,
dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda holman
Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigo
palatina melebar. Akan terlihat tumor sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring
yang mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. (1,2)
CT Scan
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar,
atau invasif dari pterigomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat. CT scan
baik digunakan untuk melihat struktur tulang dari nasal dan sinus paranasalis dan untuk
surgical map yang lebih baik. CT scan dengan kontras akan tampak secara tepat
perluasan massa tumor serta dekstruksi tulang ke jaringan sekitarnya. (1,2,7,9,10)
Gambar 2. CT scan potongan koronal memperlihatkan gambaran lesi pada cavitas nasi sinistra
dan sinus ethmoidalis, menutup sinus maksilaris dan terdapat deviasi septum dextra
Gambar 3. CT scan potongan axial memperlihatkan lesi pada cavitas nasi dextra dan sinus
paranasalis
(dikutip dari kepustakaan 1)
Gambar 4. MRI potongan koronal memperlihatkan lesi yang membesar hingga ke sinus
kavernosus
(dikutip dari kepustakaan 1)
Pemeriksaan Angiografi
7
nasofaring adalah stroma dengan kualitas fibrosa yang padat dan banyak pembuluh
darah berdinding tipis serta serat elastis dan otot polos yang tidak terdapat dalam
pembuluh darah.(8,9,11,12)
Gambar. 7 pembuluh darah kecil dan besar dengan berbagai bentuk dan stroma fibrosa
yang terdapat dalam angiofibroma.
(dikutip dari kepustakaan 11)
X;
XI;
Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma,encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma,
karsinoma sel skumous).
Terapi Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor
stadium I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini
tidak digunakan secara rutin. (1,2)
Radioterapi
Beberapa sumber melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Meskipun ada anggapan bahwa hubungan efek potensial dari radiasi membuat
terapi radiasi menjadi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus. Radioterapi
stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis radiasi ke jaringan
sekitarnya. Pada kebanyakan penulis menyiapkan radioterapi untuk penyakit
intrakranial atau kasus rekuren. Radioterapi konforma tiga dimensi pada angiofibroma
nasofaring yang ekstensif atau adanya perluasan pada intrakranial merupakan alternatif
yang lebih baik untuk radioterapi konvensional terutama untuk kontrol penyakit dan
morbiditas radiasi.(1,2)
Terapi Pembedahan
Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang cukup, karena
resiko perdarahan yang hebat. Embolisasi preoperasi dilakukan 48 72 jam sebelum
operasi untuk mengurangi kehilangan darah pada saat operasi. Embolisasi ini dilakukan
dengan menyuntikkan zat ke dalam pembuluh darah yang mensuplai tumor tersebut
untuk menyumbat aliran darahnya. (2,4,6)
Angiofibroma nasofaring yang terbatas pada cavum nasi, nasofaring, sinus
paranasalis, fossa pterigopalatina dan fossa infratemporal medial dapat dihilangkan
melalui bermacam-macam pendekatan yang terbatas. Pilihan pendekatan yang besar
tergantung pada pengalaman dan keahlian dari ahli bedah. Berdasarkan pengalaman,
tumor ini dapat dihilangkan dengan menggunakan pendekatan transnasal endoskopi.
Pendekatan transpalatal dan transantral memberikan terapi yang adekuat dangan angka
morbiditas yang minimal.(1,2,4)
Teknik endoskopi mulai dikembangkan secara luas saat ini dan mampu memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang tumor ini dan prosedur operasi infasif yang minimal
dibandingkan operasi biasa. Banyak para ahli yang menggunakan FESS sebagai pilihan untuk
pendekatan terhadap tumor dalam stadium I dan II menurut klasifikasi Fisch
prosedur yang melibatkan endokranium, jaringan lunak bahkan sfenoid.
XII;
dan untuk
(13)
PROGNOSIS
Angiofibroma nasofaring memiliki kemungkinan untuk mengalami regresi pada
pasien dengan usia antara 20 25 tahun. Regresi spontan bisa terjadi pada tumor
residual yang tetap diterapi. Dari laporan yang ada, dapat terjadi rekurensi sekitar 30
50 % dari kasus yang ada. Ditemukannya tumor pada fossa pterigoid dan basis spenoid,
erosi dari clivus, perluasan ke dalam intrakranial, usia muda dan residual dari tumor
adalah faktor resiko yang dihubungkan dengan rekurensi dari angiofibroma nasofaring.
(1,14)
XIII;
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
1; Tewfik TL. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma.[online]. 2009. [cited July,20th
2010]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/
2; Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke-6.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2007. 188 90.
3; Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-3 jilid 1. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI, 1999.Hal:111.
4; Lee KJ. The Nose and Paranasal Sinuses. In : Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery.8thEdition.New York : McGraw-Hills Company, 2003. P.708-9.
5; Hajar ST, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Majalah Kedokteran
Nusantara vol.38 no.3. Medan : Balai Penerbit FK USU, 2005. Hal:251 3.
6; Dhilon RS et al. Head and Neck Neoplasia. In : Ear, Nose and Throat and Head and
Neck Surgery.3rd EditionPhiladelphia : Elsevier,2008.p.109.
7; Adams GL, Boeis LR, Higler PA. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Dalam : Boeis
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
Hal:320-1,324-5.
11
8; Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3rd edition. Amerika Serikat: ICON Learning
System, 2003. P: 32, 66.
9; Alper CM, Myers EN, Eibling DE. Nasal Obstruction in the Child. In : Decision
Making in Ear, Nose, and Throat Disorders. 1st Edition.Philadelphia : W.B. Saunders
Company, 2001. P.84,116-7.
10; Way LW and Doherty GM. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In : Current
Surgical Diagnosis and Treatment. New York : McGraws-Hills Company, 2006.p.966
11; Lim JH and Oyer CE. Nasopharyngeal angiofibroma [online]. 2005. [cited July,20th
2010]. Available from: URL: http://www.brown.edu/
12; Katz AE. Nasal Obstruction. In : Manual of Otolaryngology-Head and Neck
Therapeutics. Boston, 1975. P.153.
13; Castillo FMD et al. Endoscopic Surgery of Nasopharyngeal Angiofibroma. Acta
Otorrinolaringol volume 55. Cordoba; 2004. P: 369-375.
14; Hauptman G, Ulualp S. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. In : Quinn FB, Ryan
MW. Grand Rounds Presentation, UTMB, Dept. of Otolaryngology. Utah:2007. P.1 5.
12