Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/nasopharyngeal
angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial
vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1
Jinak tetapi merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak
atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat
karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. 1
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma, nasal cavity tumor,nasal
tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal tumor,
angiofibroma nasofaring belia. Sekarang ada kesepakatan bersama bahwa ini
semata-mata penyakit dari laki-laki dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14
tahun. Jaraknya, bervariasi antara umur 7 dan 19 tahun. Angiofibroma Nasofaring
jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka
sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan.1,2
Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring,

tetapi

jumlahnya

kurang

dari

0,05%

dari

tumor

kepala

danleher.Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,

seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Rata-rata setiap tahunnya dari satu atau
dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The
Memorial Hospital, New York. Di London, tercatat satu kasus JNAper 15000
pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat
kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA
adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi
JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada
eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik. 3
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (1018%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring. 2,3
1.2 Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui
pengertian dari Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui penyebab
Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui lokasi Angiofibroma Nasofaring
Juvenile, mengetahui histopatologi Angiofibroma Nasofaring Juvenile,mengetahui
patogenesis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui tanda dan gejala
klinis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang Angiofibroma Nasofaring Juvenile, dan mengetahui


penatalaksaan dari Angiofibroma Nasofaring Juvenile

1.3 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan referat ini Bagi Masyarakat adalah Masyarakat dapat
memperoleh tambahan wawasan mengenai Angiofibroma Nasofaring Juvenile
dan bagi Instansi Pelayanan Kesehatan Hasil penulisan referat ini dapat
dijadikan sebagai masukan dan menambah kepustakaan tentang Angiofibroma
Nasofaring Juvenile, penanganannya agar dapat diteliti dan dikembangkan
lebih lanjut. Sedangkan manfaat bagi penulis adalah untuk mengembangkan
wawasan, menyumbangkan pengetahuan guna menyempurnakan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sudah ada di bidang kedokteran khususnya
tentang Angiofibroma Nasofaring Juvenile.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat


dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle.Sedangkan di bagian
superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba
eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan
posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus
tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian
superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma
nasofaring seperti yang terlihat pada gambar 2.1. Banyak terdapat foramen kranial
yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat
nasofaring. Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous
kompleks atau epitel kolumner pseudokompleks.4

Gambar 2.1 Anatomi nasofaring


Sumber : (J. Rubin et al, 1960)
2.2 Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,2
2.3 Etiologi
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal
dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate
cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak
bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti
Reseptor Androgen (RA), Reseptor Estrogen (RE), dan Reseptor Progesteron
(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
hormone seks muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor
tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan
studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.
Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA
pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi
dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen
pada angiofibroma. 3,4

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi


proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1
(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. Transforming Growth Factor-1(TGF1) mengaktifkan proliferasi fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis.
Transforming Growth Factor-1(TGF-1)aktif diidentifikasi pada sel nukleus
stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua spesimen
Angiofibroma Nasofaring Juvenile (JNA).3,4
Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah protein
perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. Growth factor
yang mirip dengan insulin II (IGFII)ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan
jaringan tumor pada 53 % dari pasien JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen
IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan tumor JNA. 3,4
Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar
adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi
autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus
gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasankeganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
pasien dengan sindrom ini. 3,4
Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai diteliti sejak beberapa
dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomipatologik masih
sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan
penelitian tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan
atau tidak menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang
tumor tersebut. 3,4

2.4 Lokasi

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,
nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan
tumor.5

2.5 Histopatologi
Secara

makroskopik,

angiofibroma

nampak

keras,

berlobulasi

membengkak agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya


bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan
karena itu dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda,
sedangkan bagian yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering
berwarna putih atau abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri
dari jaringan fibrosa padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran
bervariasi dan konfigurasi. 6
Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal
dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot
halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi
trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah. 6,7
Tumor yang berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari
sinusoid, jadi batas endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel,
sementara lainnya terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya
padat dan seluler. Sel stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau
miofibroblas, mengelilingi pada nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus

prominent. Mitosis tidak ada. Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik


dari granula kromatin padat terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas. 6,7
Pada gambar 2.2 terdapat gambar reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak
sebuah massa yang besar, tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang
sebelumnya berada dalam nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai
(pedunculated) atau polypoid 6

Gambar 2.2
Sumber :(B. Schick., 2005)

Kemudian pada gambar 2.3 merupakan Gambaran histologis dari JNA.


Pada gambar tersebut tampak gambaran fibrosit berbentuk bintang (tanda *)
dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh darah berdinding tipis (tanda panah) 6

Gambar 2.3
Sumber : (B. Schick., 2005)
2.6 Patogenesis
Permukaan tumor

dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat

anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di
wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan
tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut muka kodok.8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.8
2.7 Gejala klinik
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif (8090% kasus) dan epistaksis berulang yang masif (45-60% kasus). Timbul rinorea
kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia
akibat oklusi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat
terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan
deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini
adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini
kadang-kadang merupakan komplikasi berat. Suara menjadi datar atau mati,

10

pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium
lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor
mencapai besar tertentu, maka wajah seperti muka kodok jelas terlihat, tulang
maksila merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai
aprosexsia dan rasa ngantuk.7,8
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,
sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar
rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan
ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7
2.8 Tanda
a. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal
posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat
tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian
massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.8
b. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal
mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma
(umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di
rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian
untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.8
c. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.
Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting,
namun hal ini jarang terjadi. 8

Pada gambar 2.4 tampak foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan
penonjolan mata dan bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.6

11

Gambar 2.4.
Sumber : (B.

Schick., 2005)

2.9 Diagnosis
2.9.1 Anamnesis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, Computed Tomography Scan, angiografi atau Magnetic
Resonance Imaging. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah
hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif,
infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat
berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala lain muncul
tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.4
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah
muda, pada usia yang lebih tua warnanya merah hingga kebiruan, karena

12

lebih

banyak

komponen

fibromanya.

Mukosanya

mengalami

hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi.4


2.9.2 Pemeriksaan Penunjang
A. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan
pada keadaan ini.9
B. Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang
telah dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung
bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluhpembuluh darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka
kekurangan elemen-elemen otot yang dapat berkontraksi secara normal.
Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi
perdarahan. 9
Karena karakteristik klinis dan gambaran radiografi mungkin
banyak klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi
biopsi dari lesi JNA dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak
dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan
gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda
absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik
tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor
direseksi.

Bila

diperlukan,

biopsi

dari

kasus

yang

dicurigai

angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi. 9


C. Radiologi
1. Foto Sinar-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak
dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik
dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar.
Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring

13

yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah di


sekitar nasofaring. 9,10
2. Computed Tomography Scan Dan Magnetic Resonance
Imaging
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap
sfenoid yang besar, atau invasif dari pterygomaksillaris dan fossa
infratemporal biasanya terlihat. MRI sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA sehingga
bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan
yang lain. 9,10
Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada Computed
Tomography Scan dan Magnetic Resonance Imaging dan aliran
vaskulerdalam lesi akan teridentifikasi pada Magnetic Resonance
Imaging. Gambaran pembesaran yang hampir homogen dari lesi ini
membedakannya dengan massa vaskuler lain seperti arteriovenous
malformation. Untuk membedakan dengan gambaran jaringan lunak
homogen lainnya seperti peradangan sinus dan mukosa hidung
akandapat jelas dibedakan dengan Magnetic Resonance Imaging. 9,10
Selain itu Computed Tomography scan dan Magnetic Resonance
Imagingdapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor,
terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.9,10
Pada gambar 2.5a (atas kiri) CT scan coronal dari lesi yang
mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis. Lesi juga menutup
sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan.10
Pada gambar 2.5b (atas kanan) CT scan axial yang menutup
rongga hidung kanan dan sinus paranasal.10
Pada gambar 2.5c (bawah) CT scan coronal yang menunjukkan
ekspansi lesi ke sinus kavernosus.10

14

Gambar 2.5a (atas kiri),


Gambar 2.5b (atas kanan),
Gambar 2.5c (bawah).
Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

3. Angiografi

15

Pada angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak


(ramai). Lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan
kecurigaan adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana
pada penanganan sebelumnya gagal. 9,10
Pada gambar 2.6 merupakan gambaran angiogram JNA sebelum
dilakukannya embolisasi.10

Gambar 2.6.
Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)
2.10 Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada
daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya.
Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk
mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk
kanker nasofaring oleh AJC :11

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa


pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

16

Klasifikasi Menurut Sessions 11

Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring


dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Stadium IIA Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary


fossa.

Stadium IIB Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa


erosi superior dari tulang-tulang orbita.

Stadium IIIA Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial


fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa


perluasan ke sinus kavernosus.
Klasifikasi Menurut Fisch 11

Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa


kerusakan tulang.

Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal


dengan kerusakan tulang.

Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,


dan atau fossa pituitari.

17

2.11 Differensial Diagnosis


1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal,
teratoma,
encephalocele,
dermoids,
inverting
papilloma,
rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skuamous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma nasofaring.
2.12

Penatalaksaan
2.12.1 Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor
menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan
dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung
aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis
eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih
bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi
mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60
80%. 9,10
Pada gambar 2.7a (kiri) merupakan gambaran angiografi JNA
sebelum embolisasi dan pada gambar 2.7b (kanan) merupakan gambaran
angiografi sesudah embolisasi. 10

18

Gambar 2.7a.

Gambar 2.7b.

Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)

2.12.2 Operasi
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs
anatomis di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan
berdasarkan stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim
operator mungkin berbeda. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk
tumor-tumor yang kecil (tumor stadium I),metode endoskop ini menjadi
metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS. 9,10
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari
nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral.
Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih
pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy.
Teknik midfacial degloving bisa juga digunakan. Lesi dengan penyebaran
yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi dari pendekatanpendekatan pembedahan basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang
cukup

untuk

mengeluarkan

lesi.

Pendekatan

facial

translocation

dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk perluasan


koronal

digunakan

osteotomiesuntuk

frontotemporal

jalan

masuk.

craniotomy

Pendekatan

dengan

lateral

midface

melalui

fossa

infratemporal diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio


tersebut. 9,10

19

Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu preoperatif untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anestesi yang bersifat
hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan. 9,10
Pada gambar 2.8a dan 2.8b merupakan foto operasi pembedahan
JNA dengan pendekatan midfacial degloving. Dengan pendekatan ini bisa
dibuka akses membuka tulang-tulang midfasial tanpa meninggalkan
luka/scar di wajah.Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor midfasial lain
juga bisa ditangani dengan pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar
sedang diangkat dari ruang post nasal.10

Gambar 2.8a dan 2.8b.


Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)
2.12.3 Hormonal
Juvenille Nasopharyngeal Angiofibroma berhubungan dengan
pubertas pada pria muda, maka penggunaan terapi hormonal digunakan
sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor testosteron
flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan
secara rutin.11

20

2.12.4 Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang
rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai
dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap
jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan. Dosis yang biasanya
digunakan sebesar 30 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk
mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi
tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif
radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan.
Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi.

Penggunaan

radioterapi

sebagai

modalitas

utama

untuk

penatalaksanaan JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh University


California of Los Angeles (UCLA). Pada 27 pasien yang dilaporkan, tumor
berhasil dikendalikan sebanyak 23 (85%) dan empat pasien akhirnya
mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Komplikasi jangka
panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu gangguan
pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak, dan
keratopati radiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala
dan leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. 11
Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi
membuat terapi radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu
diperhatikan juga efek samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi
sendiri ditentukan oleh stadium tumor. Lebih baik pada tumor stadium
rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir. 11

2.13

Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila
tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.12

21

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).


Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini
jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan
insisi Weber-Ferguson. 12
Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan
karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant
transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus
temporalis. 12

2.14

Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah:

keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan


intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada
tidaknya sisa tumor. 12,13
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan
(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%
dengan reseksi lengkap dariJNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial.
Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika terjadi
kekambuhan. 12,13

22

BAB III
RINGKASAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas
dan remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan
asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.Tumor pertama kali tumbuh di bawah
mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan
tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai
tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa
diatap rongga hidung posterior.

23

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya
tumor dan arah pembesarannya.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau
MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau
radioterapi.

Rubin J. Rood SR. Myers EN. Johnson JT; The Management of Epistasis. AAOHNS Foundation SiPac; 1960

Anda mungkin juga menyukai