BAB I
PENDAHULUAN
tetapi
jumlahnya
kurang
dari
0,05%
dari
tumor
kepala
seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Rata-rata setiap tahunnya dari satu atau
dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The
Memorial Hospital, New York. Di London, tercatat satu kasus JNAper 15000
pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat
kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA
adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis. Eksisi
JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu pada
eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor mikroskopik. 3
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (1018%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring. 2,3
1.2 Tujuan Penulisan
Ada beberapa tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui
pengertian dari Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui penyebab
Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui lokasi Angiofibroma Nasofaring
Juvenile, mengetahui histopatologi Angiofibroma Nasofaring Juvenile,mengetahui
patogenesis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui tanda dan gejala
klinis Angiofibroma Nasofaring Juvenile, mengetahui pemeriksaan fisik dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Lokasi
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari
akar nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,
nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding
posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan
tumor.5
2.5 Histopatologi
Secara
makroskopik,
angiofibroma
nampak
keras,
berlobulasi
Gambar 2.2
Sumber :(B. Schick., 2005)
Gambar 2.3
Sumber : (B. Schick., 2005)
2.6 Patogenesis
Permukaan tumor
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan rasa penuh di
wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan
tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut muka kodok.8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.8
2.7 Gejala klinik
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif (8090% kasus) dan epistaksis berulang yang masif (45-60% kasus). Timbul rinorea
kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia
akibat oklusi pada tuba eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat
terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan
deformitas pada muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini
adalah kongesti dari sumbatan hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini
kadang-kadang merupakan komplikasi berat. Suara menjadi datar atau mati,
10
pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium
lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor
mencapai besar tertentu, maka wajah seperti muka kodok jelas terlihat, tulang
maksila merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai
aprosexsia dan rasa ngantuk.7,8
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,
sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar
rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan
ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7
2.8 Tanda
a. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal
posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat
tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian
massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.8
b. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal
mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma
(umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di
rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian
untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.8
c. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang
merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.
Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting,
namun hal ini jarang terjadi. 8
Pada gambar 2.4 tampak foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan
penonjolan mata dan bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor.6
11
Gambar 2.4.
Sumber : (B.
Schick., 2005)
2.9 Diagnosis
2.9.1 Anamnesis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, Computed Tomography Scan, angiografi atau Magnetic
Resonance Imaging. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah
hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif,
infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat
berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala lain muncul
tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.4
2.9.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah
muda, pada usia yang lebih tua warnanya merah hingga kebiruan, karena
12
lebih
banyak
komponen
fibromanya.
Mukosanya
mengalami
Bila
diperlukan,
biopsi
dari
kasus
yang
dicurigai
13
14
3. Angiografi
15
Gambar 2.6.
Sumber : (JP. Windfuhr, 2009)
2.10 Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada
daerah yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya.
Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah untuk
mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem stadium untuk
kanker nasofaring oleh AJC :11
16
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
17
Penatalaksaan
2.12.1 Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor
menjadi jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan
dengan memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung
aliran darah. Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis
eksterna lalu ke arteri maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih
bisa didapat dari arteri karotis interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan
embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
langsung diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi
mampu untuk mengurangi pendarahan saat pembedahan sebanyak 60
80%. 9,10
Pada gambar 2.7a (kiri) merupakan gambaran angiografi JNA
sebelum embolisasi dan pada gambar 2.7b (kanan) merupakan gambaran
angiografi sesudah embolisasi. 10
18
Gambar 2.7a.
Gambar 2.7b.
2.12.2 Operasi
Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs
anatomis di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan
berdasarkan stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim
operator mungkin berbeda. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk
tumor-tumor yang kecil (tumor stadium I),metode endoskop ini menjadi
metode yang dipilih untuk tumor-tumor tertentu di beberapa RS. 9,10
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari
nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral.
Untuk lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih
pendekatan transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy.
Teknik midfacial degloving bisa juga digunakan. Lesi dengan penyebaran
yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan kombinasi dari pendekatanpendekatan pembedahan basis cranii untuk mendapatkan pembukaan yang
cukup
untuk
mengeluarkan
lesi.
Pendekatan
facial
translocation
digunakan
osteotomiesuntuk
frontotemporal
jalan
masuk.
craniotomy
Pendekatan
dengan
lateral
midface
melalui
fossa
19
Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu preoperatif untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anestesi yang bersifat
hipotensif juga dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan. 9,10
Pada gambar 2.8a dan 2.8b merupakan foto operasi pembedahan
JNA dengan pendekatan midfacial degloving. Dengan pendekatan ini bisa
dibuka akses membuka tulang-tulang midfasial tanpa meninggalkan
luka/scar di wajah.Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor midfasial lain
juga bisa ditangani dengan pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar
sedang diangkat dari ruang post nasal.10
20
2.12.4 Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang
rekuren atau ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai
dengan pembedahan atau resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap
jaringan sekitar apabila dilakukan pembedahan. Dosis yang biasanya
digunakan sebesar 30 40 Gy digunakan dalam fraksi standard untuk
mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang berhenti tetapi
tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar efektif
radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan.
Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi.
Penggunaan
radioterapi
sebagai
modalitas
utama
untuk
2.13
Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila
tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii.12
21
2.14
Prognosis
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah:
22
BAB III
RINGKASAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas
dan remaja.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan
asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.Tumor pertama kali tumbuh di bawah
mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan
tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai
tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa
diatap rongga hidung posterior.
23
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya
tumor dan arah pembesarannya.Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau
MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau
radioterapi.
Rubin J. Rood SR. Myers EN. Johnson JT; The Management of Epistasis. AAOHNS Foundation SiPac; 1960