Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIK EKSASERBASI AKUT

Disusun Oleh:
Zulkifli Salim
H1A 212 065

Pembimbing:
dr. Hamsu Kadriyan, Sp.THT-KL (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang termasuk dalam cincin


Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yaitu: tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil lingual, tonsil tuba
Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Penyebaran infeksi
melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.1
Tonsilitis Kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Kelainan ini merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang dan merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT.2,3
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada
tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis
Akut (3,8%). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April
1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau
6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan
perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis
menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada
perempuan).2,3
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu
konservatif dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa,
yaitu infeksi, dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan
menyebabkan sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk
abses, atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi
tonsilektomi perlu dilakukan.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBRIOLOGI TONSIL


Tonsil palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong
faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan
bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsil palatina. Pilar tonsil berasal
dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk pada usia
kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu. Pada
sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel – sel limfatik.
Secara histologi tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau trabekula
(sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel germinativum
(sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan interfolikel (jaringan
limfoid dari berbagai stadium).4

2.2 ANATOMI TONSIL


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh
jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi
oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan
kripta.5,6 Kripta pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah.1 Epitel kripta tonsil
merupakan lapisan membran tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini
berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernafasan maupun pencernaan untuk
masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan mengakibatkan kripta ikut
tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta yang semakin
longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris dan
antigen tertahan di dalam kripta tonsil. 5,6
Tonsil palatina adenoid, tonsil lingual, pita lateral faring, tonsil tubaria dan
sebaran jaringan folikel limfoid membentuk cincin jaringan limfoid yang dikenal
dengan cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap

3
infeksi. Tonsil palatina dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin
Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia puberitas.5
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi :7

1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae.


2. Tonsilla palatina (tonsil), terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
3. Tonsilla pharingica (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium
tuba auditiva.

1) Tonsilla Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris dan dibatasi oleh pilar
anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil
palatine dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus,
posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh
ruang orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian
superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Tiap tonsilla ditutupi
membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring.
Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae
Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripte. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fossa
tonsillaris, daerah yang kosong di atasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Permukaan lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut “Capsula”
tonsilla palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,8
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripte tonsila. Epitel yang melapisi permukaan tonsila palatina
mempunyai daya tahan yang lebih baik daripada jenis epitel yang lain dimana
mukosa tonsila palatina ini selalu mendapat gesekan dalam tubuh sehingga
memerlukan perlindungan yang lebih baik agar lebih tahan terhadap trauma.
Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus.

4
Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang
tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.8
Kripte pada tonsila palatina dalam dan bercabang-cabang dan terdapat kripte
dalam jumlah yang banyak. Pada kripte ini bermuara kelenjar-kelenjar submukosa
yang terdapat di sekitar tonsil. Fossa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu
batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus
dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
terdapat nervus ke IX, yaitu nervus glosofaringeal.8
Vaskularisasi tonsil diperoleh dari arteri yang terutama masuk melalui polus
caudalis, tapi juga bisa melalui polus cranialis. Melalui polus caudalis : rr.
tonsillaris a. dorsalis linguae, a. palatina ascendens dan a. facialis. Melalui polus
cranialis : rr. tonsillaris a. pharyngica ascendens dan a. palatina minor. Semua
cabang-cabang tersebut merupakan cabang dari a. carotis eksterna. Darah venous
dari tonsil terutama dibawa oleh r. tonsillaris v. lingualis dan di sekitar kapsula
tonsillaris membentuk pleksus venosus yang mempunyai hubungan dengan pleksus
pharyngealis. Vena paratonsillaris dari palatum mole menuju ke bawah lewat pada
bagian atas tonsillar bed untuk mengalirkan darah ke dalam pleksus pharyngealis.9

Gambar 1. Vaskularisasi Tonsil Palatina

5
Cairan limfe dialirkan ke lnn. submaxillaris, lnn. cervicalis superficialis dan
sebagian besar ke lnn. cervicalis profundus superior, terutama pada limfonodi yang
terdapat di dorsal angulus mandibular (lnn. tonsillaris). Nodus paling penting pada
kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus yang terletak di bawah dan belakang
angulus mandibulae. Tonsil bagian bawah mendapat persarafan dari cabang serabut
saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.9
2) Tonsilla Pharingeal (Adenoid)
Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.8
Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba Eustachius –
telinga tengah – kavum mastoid pada bagain lateral. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fossa Rosenmuller dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.8
3) Tonsilla Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen
sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat
ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinis
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista
duktus tiroglosus.10

6
2.3 IMUNOLOGI
Tonsil adalah jaringan limfoid yang mengandung limfosit B, limfosit T, dan
sel plasma. Sentrum germinativum tonsil menghasilkan berbagai macam
immunoglobulin meliputi Ig G, Ig M, Ig A, Ig D, dan Ig E. Ig A sekretori (s-IgA
merupakan imunoglobulin terbanyak dalam saliva, yang dapat mencegah penetrasi
antigen melalui mukosa rongga mulut.10
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan
tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area, yaitu
epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid, dan pusat
germinal pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik.8
Tonsilektomi sudah sejak lama merupakan kontroversi di berbagai kalangan,
baik awam maupun profesi. Bagi yang kontra, tonsilektomi dianggap dapat
menurunkan sistem pertahanan tubuh. Beberapa penelitian mengenai s-IgA pada
saliva telah dilakukan oleh Thaweboon et al. yang meneliti s-IgA pada saliva, pH
dan laju saliva pada anak dengan infeksi streptokokus dan kandida serta karies
dentis memiliki kadar yang lebih tinggi dibanding kontrol. Begitu juga yang
didapatkan oleh Thornber et al. yang melakukan penelitian mengenai s-IgA pada
anak dengan limfadenitis mikobakterial atipik lebih tinggi dibanding kontrol.
D’Amelio R et al. 8 yang meneliti kadar Ig A serum dan saliva pada subyek normal
dibandingkan dengan penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi
mendapatkan hasil 1,6 % menunjukkan penurunan baik Ig A serum maupun Ig A
saliva, 27,4 % menunjukkan penurunan parsial Ig A serum sedangkan Ig A saliva
tetap normal dan 71,4 % tidak menunjukkan penurunan Ig A serum maupun saliva.
Penelitian mengenai kadar imunoglobulin A sekretori pada penderita tonsilitis

7
kronik sebelum dan setelah tonsilektomi dilakukan di Makassar menyimpulkan
bahwa sebelum tonsilektomi, kadar s-IgA penderita tonsilitis kronik umumnya
tinggi. Empat minggu setelah operasi, kadarnya menurun mendekati kadar s-IgA
pada individu normal.10

2.4 TONSILITIS KRONIS


DEFINISI
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat
infeksi akut atau subklinis yang berulang. Tonsillitis adalah peradangan tonsila
palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Sedangkan Tonsilitis kronis
merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun. Penyebaran
infeksinya melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi
pada semua umur, terutama pada anak.1

Gambar 2. Tonsilitis

ETIOLOGI
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang menahun
dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman
penyebabnya sama dengan tonsilitis akut, yaitu Grup A Streptococcus ß
hemoliticus, pneumokokus, Streptococcus viridan, dan Streptococcus piogenes,
tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.1

8
PATOLOGI
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte
melebar. Secara klinis kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus
sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan
jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran
kelenjar limfa submandibula.1

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte-
kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung
kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun melalui
mulut bersama makanan.11
Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik yang
melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk ke dalam dihancurkan oleh
makrofag, Sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi maka
pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibatnya
kuman bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang infeksi (tonsil sebagai fokal infeksi). Sewaktu – waktu
kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan umum yang
menurun. 11

MANIFESTASI KLINIS
Pada tonsilitis akut, gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri
tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa
lesu, dan rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga
(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui
n.glosofaringeus (n.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu.
Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.3

9
Pada tonsilitis kronik, rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering
di tenggorok dan napas berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.3
Tonsilitis Kronis
Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronis
Eksaserbasi akut
Hiperemis dan Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil
edema tapi tidak hiperemis
Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar
Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)
Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)
Antibiotika, Sembuhkan radangnya, Jika Bila mengganggu
analgetika, perlu lakukan tonsilektomi 2 lakukan
obat kumur – 6 minggu Tonsilektomi
setelah peradangan tenang

DIAGNOSIS
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak
rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus. Standar untuk pemeriksaan tonsil
berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil
terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan
dan kiri. Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan
mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan
medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi: 1

10
 TO: tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
 T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
 T4 : > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring

TERAPI
1) Medikamentosa
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat
kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang
timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus
perlu diobati dengan Penisilin V secara oral, Sefalosporin, Makrolida, Klindamisin,
atau injeksi secara intramuskular Penisilin Benzatin G. Terapi yang menggunakan

11
Penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh karena itu penggunaan antibiotik tambahan
mungkin akan berguna.3,4
2) Operatif
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan
pada pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan
tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan
berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok,
nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi. Tonsilektomi sebagai tindakan operasi
terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai keseragaman
indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis
kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam
1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun.3
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan
Indikasi tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology ,Head
and Neck Surgery.4
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial.
c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonal.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak
berhasil hilang dengan pengobatan.
e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus β
haemoliticus.
g. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
h. Otitis media efusa atau otitis media supuratif.

12
KOMPLIKASI
- Komplikasi Tonsilitis
Pada anak sering menimbulkan komplikasi otitis media akut, sinusitis, abses
peritonsil (Quincy throat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis akut,
miokarditis, artritis serta septikemia akibat v. jugularis interna (sindrom Lemierre).
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur
mendengkur, gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).1
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya
berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.
Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul
endokarditis, artritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.1
- Komplikasi Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi. 12
1. Komplikasi anestesi12
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
• Laringosspasme
• Gelisah pasca operasi
• Mual muntah
• Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
• Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan
henti jantung
• Hipersensitif terhadap obat anestesi.
2. Komplikasi Bedah12
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus). Perdarahan
dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah. Kematian akibat

13
perdarahan terjadi pada 1:35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100 pasien kembali
karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan
iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa,
biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara, aspirasi,
otalgia, pembengkakan uvula, stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan
pneumonia.

PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi,
antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang
lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang
singkat. 11
Gejala – gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu
infeksi pada telinga dan sinus. 11

14
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : “An. H”
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dasan Geres, Lombok barat
Pekerjaan : -
RM : 142350
Tanggal Pemeriksaan : 10 Februari 2018

3.2. Anamnesis

 Keluhan Utama :
Sakit tenggorokan

 Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri
tenggorok sejak 3 hari yang lalu. Os juga mengeluh nyeri makin berat saat
menelan makanan, terdapat keluhan batuk disertai dahak agak kental berwarna
kuning dan tidak bercampur darah. Pasien juga mengeluh demam, keluhan
demam ini dirasakan 4 hari yang lalu, namun hilang timbul. Keluhan nafas
berbau juga dirasakan oleh pasien. Pasien mengaku mendengkur saat tidur.
Keluhan sesak napas disangkal. Pasien menyangkal pendengaran telinga
menurun, pilek (-), hidung tersumbat (-) keluar cairan dari telinga (-).

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Keluhan serupa sudah dirasakan pasien sejak umur 8 tahun, dan sering
berulang, pada tahun lalu keluhan muncul > 3 kali. Riwayat batuk lama (-),
asma (-).

15
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien tidak memiliki keluarga dengan keluhan yang serupa. Riwayat batuk
lama(-), asma (-).

 Riwayat Alergi :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan dan obat-obatan.
Riwayat alergi debu dan bersin-bersin di pagi hari (-).
 Riwayat Pengobatan:
Pasien sering minum obat parasetamol dan amoxan jika keluhan muncul.

3.3. Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis :
 Keadaan umum : sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda vital :
- TD : 120/70 mmHg
- Nadi : 80 x/menit
- Respirasi : 18 x/menit
- Suhu : 37,8oC

 Status Lokalis :

Pemeriksaan Telinga

No. Pemeriksaan Telinga Auricula Dextra Auricula Sinistra

1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)

2. Daun telinga : aurikula, Bentuk dan ukuran telinga Bentuk dan ukuran telinga
preaurikuer, retroaurikuler. dalam batas normal, lesi dalam batas normal, lesi pada
pada kulit (-), hematoma (-), kulit (-), hematoma (-),

16
massa (-), fistula (-), nyeri massa (-), fistula (-), nyeri
tarik aurikula (-). tarik aurikula (-).

3. Liang telinga (MAE) Serumen (+), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
edema (-), furunkel (-), edema (-), furunkel (-),
otorhea (-). otorhea (-).

Serumen

4. Membran timpani Intak, retraksi (-), hiperemi Intak, retraksi (-), hiperemi (-
(-), bulging (-), edema (-), ), bulging (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (- perforasi (-), cone of light
), cone of light (+). (+).

5. Tes garpu tala

- Rinne (+) (+)

- Weber Lateralisasi (-) Lateralisasi (-)

- Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa

Pemeriksaan Hidung

Inspeksi Nasal Dextra Nasal Sinistra

Hidung luar Bentuk normal, inflamasi (-), Bentuk normal, inflamasi (-),
deformitas (-), massa (-). deformitas (-), massa (-).

Rinoskopi Anterior :

Vestibulum nasi Hiperemi (-), ulkus (-) Hiperemi (-), ulkus (-)

17
Cavum nasi Bentuk normal, mukosa Bentuk normal, mukosa
hiperemi (-). hiperemi (-).

Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing (-),
perdarahan (-), ulkus (-). perdarahan (-), ulkus (-).
Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), sekret (- Mukosa hiperemi (-), sekret (-),
), massa berwarna putih massa berwarna putih
mengkilat (-). mengkilat (-).

Konka media dan konka Hipertrofi (-), hiperemi (-), Hipertrofi (-), hiperemi (-),
inferior kongesti (-). kongesti (-).
Gambar :

Pemeriksaan Tenggorokan

No. Pemeriksaan Keterangan

1. Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda

2. Mulut Mulut dapat menutup sempurna, mukosa mulut


basah, berwarna merah muda.

3. Bucal Warna merah muda, hiperemi (-)

4. Gigi Gigi lengkap, berlubang (-)

5. Lidah Ulkus (-), pseudomembran (-).

6. Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-),


pseudomembran (-).

7. Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-), arkus palatum normal

18
8. Faring Mukosa hiperemi (+), edema (-), ulkus (-), granul
(-), sekret (-), refleks muntah (+).

9. Tonsila Palatina Hiperemia (+)/(+), detritus (+)/(+), kripte


melebar (+)/(+), ukuran T3/T3.

Gambar :

3.4. Diagnosis
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut

3.5. Planning

- Planning Terapi:

 Cetirizine 10 mg 1dd 1 no. X

 Parasetamol 500 mg 3dd 1 sprnt no. XV

 Ambroxol 30mg 3dd 1 sprnt no. XV

 Amoxicillin 500mg 3dd 1 no. XV

- Pro tonsilektomi pasca medikamentosa

3.7 KIE Pasien

19
- Untuk saat ini tonsil atau amandel pasien dalam keadaan meradang sehingga
untuk sementara hindari makanan yang berminyak, minuman atau makanan
dingin, serta makanan yang bersifat iritatif terhadap tenggorokan.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa tindakan terapi yang paling baik adalah
dengan tindakan operatif. Hal ini dilakukan karena adanya beberapa
indikasi yang menjadi dasar untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien
yaitu berupa adanya riwayat kekambuhan yang lebih dari 3 kali dalam 1
tahun terakhir, adanya keluhan sulit menelan, nafas berbau serta gangguan
ketika tidur berupa mengorok. Tindakan operatif dilakukan setelah radang
akut tertangani.
- Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.
- Edukasi kepada pasien untuk mengambil keputusan tindakan operatif untuk
mencegah kekambuhan dan apabila setuju akan dilakukan pemeriksaan
yang lengkap untuk persiapan operasi.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa apabila tidak dilakukan operasi maka
resiko kekambuhan akan tinggi, terutama jika tidak menjaga higienitas
rongga mulut, dan dapat menimbulkan infeksi ke daerah sekitar mulut
apabila tidak ditangani dengan baik.

3.8 Prognosis
Dubia ad bonam

20
Follow Up:
Tgl S O A P
17- Pasien KU: Baik Tonsilitis Kronis Pro Tonsilektomi
02- kontrol ke Kesadaran : CM -Pemeriksaan Lab
2018 poli THT, Tanda vital legnkap
keluhan nyeri Nadi : 84x/menit -Foto Rontgent thorax
tenggorokan RR : 18 x/menit
(-), demam (- Suhu : 36,7ºC
), batuk (-) Pemeriksaan
tenggorokan :
Tonsila Palatina:
Hiperemia (-)/(-),
detritus (+)/(+), kripte
melebar (+)/(+), ukuran
T3/T3.
20 - Pasien MRS KU: Baik Tonsilitis Kronis Tonsilektomi
02 - tidak ada Kesadaran : CM
2018 keluhan Tanda vital
Nadi : 80x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6ºC
Laboratorium
(17 - 02 - 2018)
Hb : 14,7
HCT : 44,5
WBC : 6,73
PLT : 289
GDS: 100
OT/PT : 13/15

21
Ureum : 26
Creatinin : 1,4
BT : 3’00”
CT : 7’00”
PPT : 13,9
APTT : 31,5
Ro thorax
(17 – 02 – 2018)
Cor dan pulmo dalam
batas normal
21 - Keluhan (-) KU: Baik Tonsilitis Kronis BPL 
02 - Kesadaran : CM post TE H+1
2018 Tanda vital
Nadi : 80x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 36,6ºC

22
BAB 4
PEMBAHASAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari


cincin Waldeyer. beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya tonsilitis kronik.
Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan tonsilitis kronik eksaserbasi akut
yang ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan
keluhan sakit tenggorokan yang telah dialami selama 3 hari. Pasien juga
mengeluhkan nyeri makin bertambah saat menelan makanan. Keluhan demam juga
dirasakan pasien namun hilang timbul. Saat tidur pasien juga dikatakan sering
mengorok dan ada nafas yang berbau. Keluhan tersebut sering berulang telah
dialami sejak umur 8 tahun. Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya tonsil yang
hiperemi,detritus, kripte yang melebar, dan ukuran tonsil T3/T3.
Penanganan yang dilakukan pada penderita ini berupa pemberian analgetik
untuk keluhan nyeri menelan yang dialami pasien serta antibiotika untuk
menghilangkan infeksi pada tonsilitis yang mengalami eksaserbasi akut.
Antibiotika pilihan yang diberikan adalah amoxicillin dan diberikan selama 7-10
hari walaupun gejala klinis telah hilang, anti histamine diberikan untuk mengurangi
peradangan, serta pasien diberikan ambroxol untuk mengencerkan dahak untuk
agar mudah untuk dikeluarkan. Selain itu, setelah gejala infeksi dan peradangan
teratasi, pasien direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi untuk mencegah
komplikasi tonsilitis kronik. Persiapan untuk tonsilektomi perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap, bleeding time, dan
clotting time.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam


: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam.
Cetakan Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010 : hlm 224-225.

2. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2016. Infections of the Upper Respiratory
Tract. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th ed. New York, NY:
McGraw Hill.

3. Rusmarjono, Soepardi EA. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Dalam
:Soepardi EA, Iskandar N. (Ed). Buku Ajar Ilmu THT. Edisi 7. Jakarta :Balai
Penerbit FKUI ; 2012. Hal 221-5.

4. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otalaryngology. 6th
Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001;263-368

5. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, tonsilectomy and adenoidectomy. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 5th
Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2011:p.1183-98.

6. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and


tympanostomy tubes. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors.
Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 5th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2011:p.1199-208.

7. Udayan K. et al. 2017. Tonsillitis and Peritonsillar Abscess. [Available from :


https://emedicine.medscape.com/article/871977-overview]

8. Norhidayah. Gambaran Indikasi Tonsilektomi di RSUP Haji Adam Malik dari


Tahun 2008-2015. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2010.

9. Moore KL, Anne MR. Neck. In : Essential Clinical Anatomy. USA : Lippincott
Williams and Wilkins. 2013: hlm 439-445.

24
10. Sakka I, Sedjawidada R, Kodrat L, Rahardjo SP. Kadar imunoglobulin A
sekretori pada penderita tonsilitis kronik sebelum dan setelah tonsilektomi.
Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas
Kedokteran Universitas hasanuddin. 2010: hlm 1-7.
11. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository. [Accessed from:
http://repository.usu.ac.id/]
12. Wanri A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2012: hlm 1-8.

25

Anda mungkin juga menyukai