Disusun oleh :
PITRIA PERMATASARI
011524653002
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ‘Teknologi Reproduksi
Berbantu Pada Obstruksi Tuba Fallopi”. Penulisan paper ini secara individu dengan
melihat berbagai sumber buku dan literatur.
Dalam penulisan paper ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan dan
bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Hermanto Tri Joewono, dr., Sp.OG (K), selaku Koordinator Program Studi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Jenjang Magister.
2. Aucky Hinting, dr., Sp.And., Ph.D, selaku dosen PJMK dan dosen pengampu mata
kuliah Teknologi Berbantu.
Semoga paper ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
2
TEKNOLOGI REPRODUKSI BERBANTU PADA
OBSTRUKSI TUBA FALLOPI
3
2. Lokasi Obstruksi Tuba Fallopi
Obstruksi tuba fallopi dapat terjadi pada salah satu tuba (obstruksi tuba fallopi
unilateral) atau kedua tuba (obstruksi tuba fallopi bilateral). Penyumbatan tuba
fallopi dibagi menjadi tiga berdasarkan lokasinya (Dun dan Nezhat, 2012; Jafri et
al., 2012; Attaran et al., 2009), yaitu:
a. Obstruksi tuba proksimal
Penyumbatan ini melibatkan bagian intramural dan isthmus yang terjadi
karena infeksi (PID), mioma dan prosedur pengendalian kelahiran permanen
(Essure). Unilateral obstruksi tuba proksimal ditemukan 10%-24%.
b. Obstruksi tuba medial atau midsegment
Penyumbatan ini melibatkan bagian ampulla dan sangat jarang terlihat.
Penyumbatan sering terjadi akibat dari prosedur sterilisasi tuba (ligasi tuba).
Wanita yang melakukan tubektomi, sekitar 10% dari mereka menyesali
keputusan mereka dan 1% menginginka kesuburan kembali (Yi et al, 2012).
c. Obstruksi tuba distal
Penyumbatan ini melibatkan bagian infundibulum. Hal ini terkait dengan
hidrosalping (sering disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis) yang
tidak diobati. Dalam beberapa kasus, fimbriae dapat mengalami adhesi
sehingga kehilangan fungsinya. Penyumbatan ini mencegah sel telur dari
proses ovulasi ditangkap oleh fimbriae.
b
a
4
3. Diagnosis Obstruksi Tuba Fallopi
Dilakukan serangkaian pemeriksaan antara lain (Dun dan Nezhat, 2012;
Djuwantono et al., 2008):
a. Pemeriksaan tentang riwayat infertilitas
b. Pemeriksaan fisik
Nyeri tekan pada panggul atau abdomen, pembesaran organ atau massa pada
pemeriksaan, kelainan vagina atau serviks, dan sekresi membantu untuk
membedakan kelainan anatomis, neoplasia, atau infeksi.
c. Penilaian ovulasi,
Androgen berlebih, seperti wajah dan badan rambut dan jerawat, atau
resistensi insulin menunjukkan beberapa penyebab umum ketidakseimbangan
endokrin (sindrom ovarium polikistik), sehingga terjadi anovulasi.
d. Uji pasca senggama,
Uji lendir serviks memegang peranan penting karena infertilitas dapat
disebabkan oleh sperma yang gagal menembus lendir serviks.
Jika pemeriksaan diatas normal, maka dilanjutkan pemeriksaan tuba melalui:
e. Laparoskopi
Laparoskopi dengan kromopertubasi (injeksi pewarna biru metilen dengan
kanula yang melewati serviks, memungkinkan pewarna masuk rahim rongga
dan tuba fallopi), memberikan gambaran abdomen dan panggul sehingga
memungkinkan ahli bedah untuk mendiagnosis penyakit seperti oklusi tuba
distal, endometriosis, dan adhesi pelvis.
f. Histerosalpingografi sinar-X (HSG)
Pemeriksaan radiografi yang memberikan gambaran uterus dan tuba fallopi
dengan menginjeksikkan media kontras positif kedalam vagina dengan
bantuan sinar-x.
g. Sonohisterosalpingografi (SHG)
Pemeriksaan ini sebagai teknik pencitraan alternatif untuk HSG. Pencitraan
berbasis ultrasonografi yang memungkinkan dilakukannya evaluasi yang
akurat untuk tes patensi tuba (pemeriksaan saluran tuba falopii, dinilai paten
5
bila tidak ada sumbatan) dan patologi uterus dan ovarium. Penggunaan
medium kontras sonografi (misalnya garam steril, Albunex, dan Infoson)
disuntikkan ke rongga uterus meningkatkan visualisasi kontur rahim dan
saluran tuba.
Skrining untuk mengelompokkan risiko rendah atau tinggi dengan Uji antibodi
Chlamydia (CAT) adalah metode penilaian sederhana dan noninvasif penyakit
tuba. Tes darah yang dapat mendeteksi infeksi C trachomatis sebelumnya,
bakteri ini dapat menyebabkan PID dan disfungsi tuba fallopi.
6
3) Operasi pada obstruksi tuba distal
Dilakukan salpingostomy. tingkat kehamilan sekitar 20%- 30% pada 1- 2
tahun setelah operasi dan tergantung pada variasi kerusakan tuba atau
faktor klinis lainnya. Tingkat kehamilan ektopik sekitar 4%- 25%. Pada
bagian fimbrial dilakukan fimbrioplasti. Infeksi dapat berlanjut menjadi
hidrosalping pada salah satu atau kedua saluran tuba. Meskipun cairan
hidrosalpingeal tidak memiliki efek toksik langsung pada embrio manusia,
tapi kebocoran cairan ke dalam rongga rahim dapat membahayakan
implantasi melalui penurunan reseptivitas endometrium. Pengobatannya
melalui drainase, neosalpingostomy, salpingektomi dan oklusi tubulus
proksimal (Dun dan Nezhat, 2012).
Pada wanita muda dengan penyakit obstruksi tuba distal ringan, operasi
laparoskopi dapat dipandang sebagai alternatif untuk IVF, namun bila
penyakit parah atau kehamilan tidak terjadi pada tahun pertama pasca
operasi, IVF adalah pilihan yang logis (Yi et al, 2012).
7
Obstruksi proksimal terkadang keliru dengan kejang tuba atau tubal spasm
(tingkat false-positive untuk obstruksi tuba proksimal setinggi 15%)
sehingga pengulangan HSG atau laparoskopi kromopertubasi harus
dipertimbangkan.
2) IVF pada Obstruksi tuba fallopi bilateral
Fertilisasi in vitro tidak bisa memperbaiki kelainan tuba, tapi bisa
melewati masalah tuba dan membuat kehamilan secara langsung.
Pengobatan wanita dengan obstruksi proksimal dan distal bilateral dengan
IVF jauh lebih berhasil daripada perawatan bedah (Straus dan Barbieri,
2009). Rao et al, (2014) menyebutkan bahwa IUI dikontraindikasi pada
wanita dengan obstruksi tuba fallopi bilateral.
Prosedur IVF melibatkan stimulasi ovarium, pengambilan oosit, fertilisasi
oosit secara in vitro (baik secara spontan atau oleh injeksi sperma
intracytoplasmic), dan berikutnya pengalihan embrio ke dalam rongga
rahim. Prosedur tersebut relevan dengan manajemen infertilitas
pengobatan obstuksi tuba bilateral (Broekmans dan Fauser, 2016).
Obstruksi tuba distal akibat dari salpingitis dapat menyebabkan
pembentukan hidrosalping, baik disalah satu atau kedua tuba. Pasien
dengan prognosis yang buruk, hidrosalping lebih baik ditangani dengan
salpingectomy selanjutnya diikuti oleh IVF-ET (Dun dan Nezhat, 2012).
8
DAFTAR PUSTAKA