Anda di halaman 1dari 9

PAPER

TEKNOLOGI REPRODUKSI BERBANTU PADA


OBSTRUKSI TUBA FALLOPI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Berbantu


Dosen Pengampu: Aucky Hinting, dr., Sp.And., Ph.D

Disusun oleh :
PITRIA PERMATASARI
011524653002

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN REPRODUKSI


JENJANG MAGISTER FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul ‘Teknologi Reproduksi
Berbantu Pada Obstruksi Tuba Fallopi”. Penulisan paper ini secara individu dengan
melihat berbagai sumber buku dan literatur.
Dalam penulisan paper ini, penulis banyak mendapatkan pengarahan dan
bimbingan dari berbagai pihak oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Dr. Hermanto Tri Joewono, dr., Sp.OG (K), selaku Koordinator Program Studi
Ilmu Kesehatan Reproduksi Jenjang Magister.
2. Aucky Hinting, dr., Sp.And., Ph.D, selaku dosen PJMK dan dosen pengampu mata
kuliah Teknologi Berbantu.
Semoga paper ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Surabaya, Desember 2017

2
TEKNOLOGI REPRODUKSI BERBANTU PADA
OBSTRUKSI TUBA FALLOPI

Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) merupakan sekelompok metode yang


berkenaan dengan perawatan dan prosedur yang bertujuan untuk mencapai
kehamilan. Beberapa metode dalam TRB yaitu: 1) Intra-corporeal: Intra Uterin
Insemination (IUI), Gamete Intra-Fallopian Transfer (GIFT) dan 2) Extra-corporeal:
Zygote Intrafallopian Transfer (ZIFT), Tubal Embryo Transfer (TET), In-vitro
Fertilization (IVF), Intra-cytoplasmic Sperm Injection (ICSI). Metode yang sering
digunakan sekarang adalah IUI, IVF dan ICSI. Penggunaan metode tersebut
disesuaikan dengan penyebab dari infertilitas itu sendiri, dapat melibatkan satu atau
kedua pasangan baik pria maupun wanita atau penyebab lain yang belum diketahui.
Pada wanita, komponen yang menyebabkan ketidaksuburan dapat dilihat dari faktor
ovarium, faktor serviks, faktor uterus, dan faktor tuba.
Berdasarkan Broekmans dan Fauser (2016), terdapat sekitar 30%- 40% kasus
melibatkan disfungsi ovulasi, 30%- 40% melibatkan patologi tuba dan pelvis, serta
30% kasus dikaitkan dengan penyebab lain yang belum dapat dijelaskan. Fungsi tuba
fallopi sangat penting yaitu tempat terjadinya fertilisasi, memfasilitasi transportasi
gamet dan zigot. Oleh karena itu, faktor tuba termasuk dalam penyebab yang paling
umum dalam infertilitas wanita. Gangguan pada tuba terjadi akibat dari penyakit
radang panggul (pelvic inflammatory disease), salpingitis akut, kejang uterotubal
ostium dan kelainan kongenital. Bila kejadian infeksi tidak ditangani, maka dapat
menyebabkan fimosis fimbria, obstruksi tuba fallopi, dan hidrosalping (Dun dan
Nezhat, 2012; Gandhi et al., 2012). Berikut ini akan dijelaskan mengenai TRB pada
infertilitas terkait obstruksi tuba fallopi.

1. Definisi Obstruksi Tuba Fallopi


Obstruksi tuba fallopi terjadi ketika tuba fallopi tersumbat. Tuba fallopi adalah
saluran yang menempel pada sisi kanan dan kiri uterus, dimana ovum bergerak
dari ovarium menuju uterus.

3
2. Lokasi Obstruksi Tuba Fallopi
Obstruksi tuba fallopi dapat terjadi pada salah satu tuba (obstruksi tuba fallopi
unilateral) atau kedua tuba (obstruksi tuba fallopi bilateral). Penyumbatan tuba
fallopi dibagi menjadi tiga berdasarkan lokasinya (Dun dan Nezhat, 2012; Jafri et
al., 2012; Attaran et al., 2009), yaitu:
a. Obstruksi tuba proksimal
Penyumbatan ini melibatkan bagian intramural dan isthmus yang terjadi
karena infeksi (PID), mioma dan prosedur pengendalian kelahiran permanen
(Essure). Unilateral obstruksi tuba proksimal ditemukan 10%-24%.
b. Obstruksi tuba medial atau midsegment
Penyumbatan ini melibatkan bagian ampulla dan sangat jarang terlihat.
Penyumbatan sering terjadi akibat dari prosedur sterilisasi tuba (ligasi tuba).
Wanita yang melakukan tubektomi, sekitar 10% dari mereka menyesali
keputusan mereka dan 1% menginginka kesuburan kembali (Yi et al, 2012).
c. Obstruksi tuba distal
Penyumbatan ini melibatkan bagian infundibulum. Hal ini terkait dengan
hidrosalping (sering disebabkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis) yang
tidak diobati. Dalam beberapa kasus, fimbriae dapat mengalami adhesi
sehingga kehilangan fungsinya. Penyumbatan ini mencegah sel telur dari
proses ovulasi ditangkap oleh fimbriae.

b
a

Gambar 2.1 Lokasi obstruksi tuba fallopi, a. obstruksi tuba proximal,


b. obstruksi tuba medial, c. obstruksi tuba distal pada salah satu tuba

4
3. Diagnosis Obstruksi Tuba Fallopi
Dilakukan serangkaian pemeriksaan antara lain (Dun dan Nezhat, 2012;
Djuwantono et al., 2008):
a. Pemeriksaan tentang riwayat infertilitas
b. Pemeriksaan fisik
Nyeri tekan pada panggul atau abdomen, pembesaran organ atau massa pada
pemeriksaan, kelainan vagina atau serviks, dan sekresi membantu untuk
membedakan kelainan anatomis, neoplasia, atau infeksi.
c. Penilaian ovulasi,
Androgen berlebih, seperti wajah dan badan rambut dan jerawat, atau
resistensi insulin menunjukkan beberapa penyebab umum ketidakseimbangan
endokrin (sindrom ovarium polikistik), sehingga terjadi anovulasi.
d. Uji pasca senggama,
Uji lendir serviks memegang peranan penting karena infertilitas dapat
disebabkan oleh sperma yang gagal menembus lendir serviks.
Jika pemeriksaan diatas normal, maka dilanjutkan pemeriksaan tuba melalui:
e. Laparoskopi
Laparoskopi dengan kromopertubasi (injeksi pewarna biru metilen dengan
kanula yang melewati serviks, memungkinkan pewarna masuk rahim rongga
dan tuba fallopi), memberikan gambaran abdomen dan panggul sehingga
memungkinkan ahli bedah untuk mendiagnosis penyakit seperti oklusi tuba
distal, endometriosis, dan adhesi pelvis.
f. Histerosalpingografi sinar-X (HSG)
Pemeriksaan radiografi yang memberikan gambaran uterus dan tuba fallopi
dengan menginjeksikkan media kontras positif kedalam vagina dengan
bantuan sinar-x.
g. Sonohisterosalpingografi (SHG)
Pemeriksaan ini sebagai teknik pencitraan alternatif untuk HSG. Pencitraan
berbasis ultrasonografi yang memungkinkan dilakukannya evaluasi yang
akurat untuk tes patensi tuba (pemeriksaan saluran tuba falopii, dinilai paten

5
bila tidak ada sumbatan) dan patologi uterus dan ovarium. Penggunaan
medium kontras sonografi (misalnya garam steril, Albunex, dan Infoson)
disuntikkan ke rongga uterus meningkatkan visualisasi kontur rahim dan
saluran tuba.
Skrining untuk mengelompokkan risiko rendah atau tinggi dengan Uji antibodi
Chlamydia (CAT) adalah metode penilaian sederhana dan noninvasif penyakit
tuba. Tes darah yang dapat mendeteksi infeksi C trachomatis sebelumnya,
bakteri ini dapat menyebabkan PID dan disfungsi tuba fallopi.

4. Manajemen Infertilitas Pada Obstruksi Tuba Fallopi


a. Operasi tuba
1) Operasi pada obstruksi tuba proksimal
Dilakukan selective salpingograph, kateter ditempatkan di ostium tuba
dan pewarna radiopak disuntikkan ke dalam tuba falopi untuk menentukan
patensi. Jika obstruksi teridentifikasi, rekanalisasi tuba fallopi dapat
dilakukan saat menempatkan kateter yang lebih kecil untuk membersihkan
obstruksi. Prosedur rekanalisasi sederhana dan berhasil diselesaikan pada
71%- 92% kasus. Teknik microsurgical bisa mengembalikan anatomi dan
fungsi tuba fallopi. Rekanalisasi mungkin kurang berhasil pada wanita
dengan sumbatan tuba setelah anastomosis bedah (reversal pada ligasi
tuba). Wanita yang berhasil melakukan rekanalisasi tuba, tingkat
kehamilan rata-rata 30%. Komplikasi mencakup perforasi pada 3%- 11%
kasus dan tingkat kehamilan ektopik 3%. Jika penyumbatan tidak
terselesaikan dengan kanulasi tuba, maka IVF dipilih (Dun dan Nezhat,
2012).
2) Operasi pada obstruksi tuba medial
Dilakukan microsurgical anastomosis untuk reversal ligasi tuba,
kesempatan untuk konsepsi alami tapi risiko kehamilan ektopik yang lebih
tinggi (Dun dan Nezhat, 2012). Tingkat kehamilan pascaoperasi rata-rata
47,4% dengan melibatkan 175 pasien (Yi et al, 2012).

6
3) Operasi pada obstruksi tuba distal
Dilakukan salpingostomy. tingkat kehamilan sekitar 20%- 30% pada 1- 2
tahun setelah operasi dan tergantung pada variasi kerusakan tuba atau
faktor klinis lainnya. Tingkat kehamilan ektopik sekitar 4%- 25%. Pada
bagian fimbrial dilakukan fimbrioplasti. Infeksi dapat berlanjut menjadi
hidrosalping pada salah satu atau kedua saluran tuba. Meskipun cairan
hidrosalpingeal tidak memiliki efek toksik langsung pada embrio manusia,
tapi kebocoran cairan ke dalam rongga rahim dapat membahayakan
implantasi melalui penurunan reseptivitas endometrium. Pengobatannya
melalui drainase, neosalpingostomy, salpingektomi dan oklusi tubulus
proksimal (Dun dan Nezhat, 2012).
Pada wanita muda dengan penyakit obstruksi tuba distal ringan, operasi
laparoskopi dapat dipandang sebagai alternatif untuk IVF, namun bila
penyakit parah atau kehamilan tidak terjadi pada tahun pertama pasca
operasi, IVF adalah pilihan yang logis (Yi et al, 2012).

b. Teknologi Reproduksi Berbantu


1) IUI pada Obstruksi tuba fallopi unilateral
Menurut Lin et al, (2013) ada 4 pendekatan untuk pasien obstruksi tuba
unilateral: mengulangi HSG, evaluasi dan koreksi lebih lanjut lesi tuba
dan pelvis melalui laparoskopi atau kateterisasi, mencoba mencapai
kehamilan dengan hiperstimulasi ovarium terkontrol (COH) dan IUI
melalui satu tuba yang paten, dan merujuk untuk IVF pada masalah yang
berat. Dalam penelitian Yi et al, (2012), stimulasi IUI menunjukkan
tingkat kehamilan lebih baik pada pasien obstruksi proksimal (25,0%)
dibandingkan obstruksi distal (13,9%) atau unexplained infertility
(16,5%). Oleh karena itu, IUI dikombinasikan dengan stimulasi ovarium
direkomendasikan sebagai pilihan pertama pada wanita dengan infertilitas
karena obstruksi tuba proximal unilateral dan obstruksi tuba distal
unilateral.

7
Obstruksi proksimal terkadang keliru dengan kejang tuba atau tubal spasm
(tingkat false-positive untuk obstruksi tuba proksimal setinggi 15%)
sehingga pengulangan HSG atau laparoskopi kromopertubasi harus
dipertimbangkan.
2) IVF pada Obstruksi tuba fallopi bilateral
Fertilisasi in vitro tidak bisa memperbaiki kelainan tuba, tapi bisa
melewati masalah tuba dan membuat kehamilan secara langsung.
Pengobatan wanita dengan obstruksi proksimal dan distal bilateral dengan
IVF jauh lebih berhasil daripada perawatan bedah (Straus dan Barbieri,
2009). Rao et al, (2014) menyebutkan bahwa IUI dikontraindikasi pada
wanita dengan obstruksi tuba fallopi bilateral.
Prosedur IVF melibatkan stimulasi ovarium, pengambilan oosit, fertilisasi
oosit secara in vitro (baik secara spontan atau oleh injeksi sperma
intracytoplasmic), dan berikutnya pengalihan embrio ke dalam rongga
rahim. Prosedur tersebut relevan dengan manajemen infertilitas
pengobatan obstuksi tuba bilateral (Broekmans dan Fauser, 2016).
Obstruksi tuba distal akibat dari salpingitis dapat menyebabkan
pembentukan hidrosalping, baik disalah satu atau kedua tuba. Pasien
dengan prognosis yang buruk, hidrosalping lebih baik ditangani dengan
salpingectomy selanjutnya diikuti oleh IVF-ET (Dun dan Nezhat, 2012).

8
DAFTAR PUSTAKA

Attaran, M. Goldberg, J.M., Falcone, T. 2009. The Role of Histeroscopy in Fertility.


In: Hysteroscopy: Office Evaluation and Management of the Uterine Cavity.
Elsevier.
Broekmans, F.J., dan Fauser, B.C.J.M. 2016. Female Infertility: Evaluation and
Management. In: Jameson, L. dan Groot. Endocrinology: Adult And Pediatric.
Philadelphia: Elsevier.
Djuwantono, T., Permadi, W., dan Bayuaji, H. 2008. Uji diagnostik modifikasi teknik
color Doppler sonohisterosalpingografi bermedia kontras NaCl 0,9% untuk
evaluasi patensi tuba. Maj Obstet Ginekol Indones,32(3): 143-147.
Dun, E.C., dan Nezhat, C.H. 2012. Tubal Factor Infertility Diagnosis and
Management in the Era of Assisted Reproductive Technology. Obstet Gynecol
Clin N Am, 39(4): 551–566.
Gandhi, K.R., Siddiqui, A.U., Wabale, R.N., dan Daimi, S.R. 2012. The accessory
fallopian tube: A rare anomaly. J Hum Reprod Sci, 5(3): 293–294.
Jafri, S.Z.H., Diokno, A.C., dan Amendola, M.A (eds). 2010. Lower Genitourinary
Radiology: Imaging and Intervention. New York: Springer.
Lin, M.H., Hwu, Y.M., Lin, S-Y., Le, R.K. 2013. Treatment of infertile women with
unilateral tubal occlusion by intrauterine insemination and ovarian stimulation.
Taiwan J Obstet Gynecol, 52(3):360-364.
Rao, K., Carp, H., dan Fischer, R. 2014. Principles & Practice of Assisted
Reproductive Technology . Daryaganj: Jaypee Brothers Medical Publishers.
Strauss, J.F., Barbieri, R.L. 2009. Yen And Jaffe’s Reproductive
Endocrinology: Physiology, Pathophysiology, And Clinical Management,
6th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Yi, G., Jee, B.C., Suh, C.S and Kim, S.H. 2012. Stimulated intrauterine
insemination in women with unilateral tubal occlusion. Clin Exp Reprod Med,
39(2): 68–72.

Anda mungkin juga menyukai