Oleh :
Muhammad Alim Abdul Majid Hidayatullah, S. ked J510170030
Nita Dewi Novitasari, S.Ked J510170052
Oleh :
Muhammad Alim Abdul Majid Hidayatullah, S. ked
J510170030
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim pembimbing stase Ilmu Kandungan dan
Kebidanan Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing
Dr. Heryuristianto Sp.OG (…………………….)
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) adalah kegawatdaruratan obstetrik yang
mengancam nyawa ibu dan kelangsungan hidup janin, serta merupakan salah satu
penyebab utama mortalitas ibu, khususnya pada trimester pertama. Kehamilan
ektopik adalah peristiwa dimana implantasi blastosis terjadi diluar endometrium
cavum uteri seperti di ovarium, tuba, serviks, bahkan rongga abdomen. Istilah
kehamilan ektopik terganggu (KET) merujuk pada keadaan di mana timbul gangguan
pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan
penurunan keadaan umum pasien. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di
tuba. Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis
uteri, tanduk uterus yang rudimenter, dan divertikel pada uterus. Berdasarkan
implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, pars
ismika tuba, pars ampullaris tuba, dan kehamilan infundibulum tuba.
Berdasarkan tempat implantasinya kehamilan ektopik dapat terjadi di :
• Pars interstisial tuba
• Pars ismus tuba sekitar 25%
• Pars ampularis tuba sekitar 55%
• kehamilan infundibulum tuba & fimbria sekitar 17%
• Kehamilan abdominal
/
Gambar 1. Lokasi Kehamilan Ektopik
B. Epidemiologi
Insidens kehamilan ektopik yang sesungguhnya sulit ditetapkan. Meskipun
secara kuantitatif mortalitas akibat KET berhasil ditekan, persentase insidens dan
prevalensi KET cenderung meningkat dalam dua dekade ini. Dengan berkembangan
alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan ektopik yang terdiagnosis
sehingga semakin tinggi pula insidens dan prevalensinya. Keberhasilan kontrasepsi
seperti AKDR meningkatkan persentase kehamilan ektopik, karena keberhasilan
kontrasepsi hanya menurunkan angka terjadinya kehamilan uterin, bukan kehamilan
ektopik. Meningkatnya prevalensi infeksi tuba juga meningkatkan kejadian
kehamilan ektopik. Selain itu, perkembangan teknologi di bidang reproduksi, seperti
fertilisasi in vitro, ikut berkontribusi terhadap peningkatan frekuensi kehamilan
ektopik.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1987 terdapat 153
kehamilan ektopik diantara 4.007 persalinan atau 1 diantara 26 persalinan. Di
Amerika Serikat, kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 64 hingga 1 dari 241
kehamilan, dan 85-90% kasus kehamilan ektopik didapatkan pada multigravida.2
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang
dilaporkan berkisar antara 0%-14,6%.
C. Etiologi
Kehamilan ektopik pada dasarnya disebabkan oleh segala hal yang
menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri. Faktor-faktor mekanis yang
menyebabkan kehamilan ektopik antara lain: riwayat operasi tuba, salpingitis,
perlekatan tuba akibat operasi non-ginekologis seperti apendektomi, pajanan terhadap
diethylstilbestrol, salpingitis isthmica nodosum (penonjolan-penonjolan kecil ke
dalam lumen tuba yang menyerupai divertikula), dan alat kontrasepsi dalam rahim
(AKDR). Hal-hal tersebut secara umum menyebabkan perlengketan intra- maupun
ekstraluminal pada tuba, sehingga menghambat perjalanan zigot menuju kavum uteri.
Selain itu ada pula faktor-faktor fungsional, yaitu perubahan motilitas tuba yang
berhubungan dengan faktor hormonal dan defek fase luteal.
Faktor risiko kehamilan ektopik adalah:
1. Faktor riwayat kehamilan ektopik sebelumnya. Risiko paling besar untuk
kehamilan ektopik. Angka kekambuhan sebesar 15% setelah kehamilan
ektopik pertama dan meningkat sebanyak 30% setelah kehamilan ektopik
kedua.
2. Faktor penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron
3. Faktor kerusakan dari saluran tuba. Telur yang sudah dibuahi mengalami
kesulitan melalui saluran tersebut sehingga menyebabkan telur melekat dan
tumbuh di dalam saluran tuba.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan gangguan saluran tuba
diantaranya adalah :
• Merokok, kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 – 3,5 kali
dibandingkan wanita yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena
merokok menyebabkan penundaan masa ovulasi (keluarnya telur dari
indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia di saluran tuba,
dan penurunan kekebalan tubuh.
• Penyakit Radang Panggul, menyebabkan perlekatan di dalam saluran
tuba, gangguan pergerakan sel rambut silia yang dapat terjadi karena
infeksi kuman TBC, klamidia, gonorea.
• Endometriosis Tuba, dapat menyebabkan jaringan parut di sekitar
saluran tuba
• Tindakan medis, seperti operasi saluran tuba atau operasi daerah
panggul, pengobatan infertilitas seperti bayi tabung, menyebabkan
parut pada rahim dan saluran tuba.
• Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalfing
• Tuba sempit, panjang dan berlekuk-lekuk
• Gangguan fungsi rambut getar ( silia ) tuba
• Operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna
• Striktur tuba
• Divertikel tuba dan kelainan congenital lainnya
• Perleketan peritubal dan lekukan tuba
• Tumor lain menekan tuba
• Lumen kembar dan sempit
4. Faktor uterus
• Tumor rahim yang menekan tuba
• Uterus hipoplastis
5. Faktor ovum
• Migrasi eksterna dari ovum
• Perlengketan membrane granulose
• Rapid cell devision
• Migrasi internal ovum
D. FAKTOR RESIKO
a. Resiko tinggi: Rekontruksi tuba (21%), Sterilisasi tuba (9,3%), Riwayat
kehamilan ektopik sebelumnya (8,3%), Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (4,2% - 45%).
b. Resiko sedang : Infertil (2,5 – 21%), Riwayat infeksi genital (2,5 – 3,7%),
Sering berganti pasangan (2,1%).
c. Resiko rendah : Riwayat operasi pelvic/abdominal lain (0,93% – 3,8%),
Merokok (2,3% – 2,5%), Koitus sebelum umur 18 tahun (1,6%).
E. Patofisiologi
Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang
paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian berturut-
turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan daerah intersisial
tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas, kehamilan ektopik non tuba
sangat jarang. Kehamilan pada daerah intersisial sering berhubungan dengan
kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan gejala yang muncul lebih lama dari
tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan biasanya menghasilkan perdarahan yang
sangat banyak bila terjadi rupture.
Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama
dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau
interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot
endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi
dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara
interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping.
Setelah tempat nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh
lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena
pembentukan desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak,
dengan mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-
otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin
selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya
dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas. Dibawah
pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidatis dan
trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium dapat pula berubah
menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium
yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel membesar dengan intinya
hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk tidak teratur. Sitoplasma sel dapat
berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-kadang ditemukan mitosis. Perubahan
ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan ektopik.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik
dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan
hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus.
Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu
sampai 10 minggu. Kemungkinan itu antara lain:
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang terlambat untuk beberapa
hari.
2. Abortus tuba
3. Ruptur tuba
F. Gejala Klinis
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan
penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam
kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba.
Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur sulit
untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang khas. Amenorea
atau gangguan haid dilaporkan oleh 75- 95% penderita. Lamanya amenore
tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita
tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid
berikutnya. Tanda-tanda kehamilan muda seperti nausea dilaporkan oleh 10-25%
kasus.
Di samping gangguan haid, keluhan yang paling sering disampaikan
ialah nyeri di perut bawah yang tidak khas, walaupun kehamilan ektopik belum
mengalami ruptur. Kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas
yang sukar ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat bantu
diagnostik yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi.
Mengingat bahwa setiap kehamilan ektopik akan berakhir dengan abortus atau
ruptur yang disertai perdarahan dalam rongga perut, maka pada setiap wanita dengan
gangguan haid dan setelah diperiksa dicurigai adanya kehamilan ektopik harus
ditangani dengan sungguh- sungguh menggunakan alat diagnostik yang ada sampai
diperoleh kepastian diagnostik kehamilan ektopik karena jika terlambat diatas dapat
membahayakan jiwa penderita.
G. Diagnosis
Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum
terganggu demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus
tuba atau ruptur ruba sebelum keadaan menjadi jelas.
Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah ultrasonografi (USG),
laparoskopi atau kuldoskopi.
Anamnesis : haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu, dan kadang-
kadang terdapat gejala subyektif kehamilan muda.1 Nyeri abdominal terutama bagian
bawah dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan
tanda dan gejala klinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Gejala-gejala
nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif.2
Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat. Pada perdarahan
dalam rongga perut tanda-tanda syok dapat ditemukan. Pada jenis tidak mendadak
perut bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri tekan.1 Kehamilan
ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas
adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan ginekologi : tanda-tanda kehamilan muda mungkin ditemukan.
Pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri. Bila uterus dapat diraba, maka akan
teraba sedikit membesar dan kadang-kadang teraba tumor di samping uterus dengan
batas yang sukar ditentukan. Kavum Douglas yang menonjol dan nyeri-raba
menunjukkan adanya hematokel retrouterina. Suhu kadang-kadang naik sehingga
menyukarkan perbedaan dengan infeksi pelvik.
Hampir semua kehamilan ektopik didiagnosis antara kehamilan 5 dan 12
minggu. Identifikasi dari tempat implantasi embrio lebih awal dari pada kehamilan
5 minggu melampaui kemampuan teknik-teknik diagnostik yang ada. Pada usia
kehamilan 12 minggu, kehamilan ektopik telah memperlihatkan gejala-gejala
sekunder terhadap terjadinya ruptur atau uterus pada wanita dengan kehamilan
intrauteri yang normal telah mengalami pembesaran yang berbeda dengan bentuk
dari kehamilan ektopik.
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah
merah berguna dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu,
terutama bila ada tanda-tanda perdarahan dalam rongga perut. Pada kasus tidak
mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa penurunan
hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam.
Perhitungan leukosit secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila
leukosit meningkat (leukositosis). Untuk membedakan kehamilan ektopik dari
infeksi pelvik dapat diperhaikan jumlah leukosit. Jumlah leukosit yang lebih dari
20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvik.
Penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang paling mudah
ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β human chorionic
gonadotropin (β-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini dapat dideteksi paling awal
pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi berikutnya. Konsentrasi serum yang
sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L, sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L.6 Tes
kehamilan negatif tidak menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik
terganggu karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan
human chorionic gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif.1 Tes
kehamilan positif juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional.
Meskipun demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level β-
hCG yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterin.
Kuldosentesis : ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat
darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat diagnosis
kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu :
- Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
- Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptik
- Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan tenakulum,
kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior ditampakkan
- Jarum spinal no. 18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan dengan
semprit 10 ml dilakukan pengisapan.
Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang tdak
membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil.
Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa :
- Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal atau kista
ovarium yang pecah.
- Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
- Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku,
darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
Ultrasonografi : Cara yang paling efisien untuk mengeluarkan adanya
kehamilan ektopik adalah mendiagnosis suatu kehamilan intrauteri. Cara yang
terbaik untuk mengkonfirmasi satu kehamilan intrauteri adalah dengan
menggunakan ultrasonografi. Sensitivitas dan spesifisitas dari diagnosis kehamilan
intrauteri dengan menggunakan modalitas ini mencapai 100% pada kehamilan
diatas 5,5 minggu. Sebaliknya identifikasi kehamilan ektopik dengan
ultrasonografi lebih sulit (kurang sensitif) dan kurang spesifik.
Laparoskopi : hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir untuk
kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan.
Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Secara
sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum Douglas dan ligamentum
latum. Adanya darah dalam rongga pelvis mempersulit visualisasi alat kandungan
tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi.
H. Penatalaksanaan
Penanganan kehamilan ektopik pada umumnya adalah laparotomi. Dalam
tindakan demikian beberapa hal perlu diperhatikan dan dipertimbangkan yaitu:
1. Pembedahan
a. Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada
kehamilan tuba yang belum mengalami ruptur. Karena lebih dari
75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur ini dimulai
dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier dibuat
diatas segmen tuba yang meregang. Produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati
dari dalam lumen. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan
melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat
untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa. Hemostasis yang komplit pada
mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan
perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas
mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya
dilakukan untuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan
yang berlebihan.
b. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu
alternatif dari salpingotomi. Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian
implantasi. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Hanya
pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur
ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hati-hati
untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan
seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe.
c. Salpingektomi
B. Medisinalis
Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi
transvaginal, memungkinkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik
secara dini. Keuntungan dari ditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini
adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan
medisinalis memiliki keuntungan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko
pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya
serta memperpendek waktu penyembuhan.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah
dicoba ditangani menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan pembedahan.
Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini ialah:
Obat yang digunakan ialah methotreksat (MTX) 1 mg/kgBB i.v. dan faktor
sitrovorm 0,1 mg/kgBB i.m. berselang seling setiap hari selama 8 hari. Methotrexate
merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan
multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase.
MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat secara
oral, sistemik iv,im atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Dari
seluruh 6 kasus yang diobati, satu kasus dilakukan salpingektomi pada hari ke-12
karena gejala abdomen akut, sedangkan 5 kasus berhasil diobati dengan lain.
Efek samping yang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi
akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang,
nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan
hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis,
disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX
biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor)
yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat
reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan
mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. Sebelumnya penderita diperiksa dulu
kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah.
Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX, kadar hCG diperiksa kembali.
Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4
maka MTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai
hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG
transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya
meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap
minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua.
Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar
94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat
dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit
ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen.
I. Prognosis
Kematian karena kehamilan ektopik terganggu cenderung turun dengan
diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Hellman dkk., (1971) melaporkan 1
kematian diantara 826 kasus, Wilson dkk., (1971) melaporkan 1 kematian diantara
591 kasus. Akan tetapi bila pertolongan terlambat angka kematian dapat tinggi.
Sjahid dan Martohoesodo (1970) mendapatkan angka kematian 2 dari 120 kasus.
Sedangkan Tardjiman dkk., (1973) mendapatkan angka kematian 4 dari 138
kehamilan ektopik.
Pada umumnya kelainan yang menyebabkan kehamilan ektopik bersifat
bilateral. Sebagian perempuan menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik
lagi pada tuba yang lain. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan antara
0-14,6%. Untuk perempuan dengan jumlah anak yang sudah cukup, sebaiknya pada
operasi dilakukan salpingektomi bilateralis dan sebelumnya perlu mendapat
persetujuan suami dan isteri.