Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

Carcinoma Hepatocelulare

Pembimbing :
dr. Hardiyanto, Sp. Rad

Disusun Oleh :
M. Alim Abdul MH, S.Ked J5101700
Nita Dewi Novitasari, S.Ked J510170052

KEPANITERAAN KINIK
ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
DAFTAR ISI .................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
A. Definisi ......................................................................................
B. Epidemiologi .............................................................................
C. Etiologi .....................................................................................
D. Anatomi .....................................................................................
E. Patofisiologi ...............................................................................
F. Manifestasi Klinis ......................................................................
G. Diagnosis ..................................................................................
H. Pemeriksaan Pencitraan pada KHS ...........................................
I. Diagnosis Banding.....................................................................
J. Penatalaksanaan .........................................................................
K. Prognosis ...................................................................................
BAB III PEMBAHASAN ..............................................................................
BAB IV KESIMPULAN ...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma Hepatoseluler (KHS) adalah keganasan primer pada hepar


yang paling sering terjadi, dimana sebagian besar kasus terkait dengan

penyakit kronis hepar yang mengarah pada sirosis.1,2,3,4,5,6,7,8 KHS


menempati urutan ke-6 dari seluruh penyakit keganasan dan menempati
urutan ke-3 sebagai penyebab kematian terbanyak akibat keganasan di

seluruh dunia.1,3,4,7,9
KHS merupakan komplikasi utama dari sirosis, dan insidennya
meningkat di seluruh dunia terkait dengan meningkatnya prevalensi
beberapa faktor resiko dari penyakit kronis hepar, seperti infeksi virus
hepatitis C dan B, dan yang terbaru adalah Fatty Liver Disease yang

terutama berhubungan dengan sindroma metabolik.1,2,3,4,5,6,10


Berdasarkan hal tersebut di atas, insiden KHS paling banyak terjadi di Asia
dan Afrika, yang merupakan wilayah endemik prevalensi tinggi dari

infeksi hepatitis B dan C.4,6


Di masa lalu, KHS umumnya terdeteksi pada stadium lanjut, dimana
telah timbul gejala berupa nyeri abdomen di kuadran kanan atas,
kehilangan berat badan secara signifikan, disertai tanda-tanda penyakit

hepar dekompensata.4,6 Saat ini, KHS dapat terdeteksi pada stadium yang
lebih awal, sebagai konsekuensi dari tindakan skrining rutin pasien dengan
sirosis menggunakan pemeriksaan pencitraan, terutama ultrasonografi

(USG), dan pengukuran alfa-fetoprotein (AFP) serum.4,5,6


Pemeriksaan pencitraan pada hepar merupakan komponen penting
dalam deteksi, diagnosis, managemen, dan follow-up pasien dengan

KHS.11 Sebagian besar KHS adalah tumor yang hipervaskuler dan


memiliki neovaskularisasi, sehingga evaluasi terhadap vaskularisasi tumor
adalah penting untuk membuat diagnosis yang akurat.5 Pemeriksaan
pencitraan yang digunakan untuk menegakkan diagnosis KHS

umumnya adalah USG serta CT dan atau MRI dengan kontras.6


Berdasarkan perkembangan tehnologi pencitraan saat ini,
pemeriksaan CEUS (Contrast-enhanced ultrasound) dianggap dapat
mengatasi keterbat asan USG gray-scale dan doppler sehingga telah
memberikan ruang bagi pemeriksaan USG untuk berperan dalam
menegakkan diagnosis secara non-invasif dengan biaya relatif lebih
terjangkau terhadap massa fokal di hepar, suatu wilayah yang awalnya

didominasi oleh pemeriksaan CT Scan dan MRI.12,13


Menentukan karakterisasi lesi fokal di hepar menjadi tantangan bagi

ahli radiologi untuk menegakkan diagnosis KHS.12 Pedoman


managemen KHS yang dikeluarkan oleh the American Association for
the Study of Liver Disease (ASSLD) pada tahun 2005 menyatakan
bahwa CEUS dapat digunakan sebagai alternatif dari CT Scan dan
MRI dengan kontras dalam mendiagnosis KHS, karena sensitifitasnya

setara.7
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui gambaran KHS
pada pemeriksaan CEUS, sehingga dapat membantu ahli radiologi untuk
menegakkan diagnosis KHS selain dengan pemeriksaan CT Scan dan MRI.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Neoplasma maligna primer pada hepar dapat berasal dari hepatosit,
duktus biliaris intrahepatal, pembuluh-pembuluh darah, dan sel-sel
endotelial. KHS adalah neoplasma maligna primer pada hepar yang
berasal dari hepatosit yang berdiferensiasi baik, dan merupakan 80 %

dari keseluruhan neoplasma primer pada hepar.14,15


KHS mempunyai beberapa sinonim, antara lain
hepatoma, hepatokarsinoma, liver cancer, serta primary liver cell

carcinoma.5,14 Terdapat satu literatur yang menyatakan bahwa


terminologi yang lebih tepat adalah Karsinoma Hepatoseluler
(Hepatocellular Carcinoma), sementara istilah seperti “hepatoma” dan

“liver cancer” adalah kurang tepat dan harus dihindari penggunaannya.15

B. Epidemiologi
Epidemiologi KHS menunjukkan dua pola utama, yang pertama
adalah di Amerika Utara dan Eropa Barat dan yang kedua di negara-
negara non-Barat, seperti di Afrika sub-Sahara, Asia Tengah dan
Tenggara, dan lembah Amazon. Insiden KHS tertinggi berada di Asia
dan Afrika, sementara di negara-negara barat, keganasan yang paling
sering dijumpai umumnya adalah metastasis akibat keganasan di organ

lain.2
S e c a r a u m u m , prevalensi KHS di seluruh dunia paralel dengan
infeksi virus hepatitis, dan sebagian besar kasus berhubungan dengan virus
hepatitis B dan C. Hepatitis B kronis merupakan penyebab utama KHS di
sebagian besar negara di Afrika dan Asia kecuali Jepang. Hepatitis C

2
terutama berkontribusi menyebabkan KHS di beberapa negara Eropa

Selatan dan Jepang.9,16


Frekuensi KHS lebih banyak pada p r i a dibanding wanita, seperti
juga frekuensi pada pasien dengan sirosis atau penyakit hepar kronis seperti

hepatitis B dan hepatitis C. Perbandingannya adalah 1,2-5 : 1,9,15


bahkan ada satu literature yang menyebutkan bahwa perbandingannya

adalah 8 : 1.3 Terdapat fakta bahwa pria lebih rentan terkena infeksi virus
hepatitis B dan C dibanding wanita. Penyebab dari kecenderungan tersebut

masih belum diketahui.15


Insidensi KHS pada pasien dewasa meningkat dengan semakin

bertambahnya usia, puncaknya antara 30 dan 50 tahun.3 Di negara Barat


atau negara-negara maju, KHS biasanya terjadi pada usia antara 50 dan 70

tahun, dengan rata-rata usia penderitanya adalah 65 tahun.3,15 Di daerah


endemik atau yang lazim terjadi infeksi virus hepatitis B dan C, KHS

biasanya terjadi pada usia antara 20 dan 40 tahun,6 dengan puncak

bimodal yaitu usia 45 dan 65 tahun.15


Pada anak-anak, KHS termasuk sangat jarang terjadi, hanya
mencakup 1-1,5 % dari keseluruhan neoplasma pediatrik. Insidennya 1,5

kasus per 1 juta anak usia di bawah 15 tahun.14

C. Etiologi
Etiologi atau faktor resiko tergantung pada distribusi geografis,

sehingga bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.2,17,18


KHS umumnya dikaitkan dengan sirosis hepar dan dengan proses
nekrosis/regenerasi hepar. Sirosis hepar dapat diakibatkan oleh hepatitis B
dan C (meskipun biasanya prosesnya membutuhkan waktu 10-15 tahun)

atau penyakit metabolik.14,17 KHS dapat juga dikaitkan dengan asupan


makanan yang terkontaminasi oleh aflatoksin, yang umumnya terjadi di

3
Afrika. Semua kausa yang disebutkan di atas terutama terjadi di daerah
endemik KHS: Afrika Sub-Sahara dan Asia Timur (Cina, Taiwan).
Sebaliknya di Eropa, KHS muncul dengan latar belakang sirosis hepar

(yang seringkali merupakan akibat dari penyalahgunaan alkohol).2,14,17


Faktor risiko utama untuk KHS termasuk infeksi HBV atau HCV,
penyakit hepar alkoholik, dan yang paling memungkinkan adalah fatty liver
disease nonalkoholik. Penyebab lain termasuk hemokromatosis herediter,
defisiensi alfa 1-antiripsin, hepatitis autoimun, beberapa porfiria, dan
penyakit Wilson. Sebagian besar faktor resiko mengarah pada
perkembangan sirosis, yang terjadi pada 80-90% pasien dengan KHS.
Resiko kumulatif 5 tahun untuk berkembangnya KHS pada pasien
dengan sirosis berkisar antara 5% dan 30%, tergantung pada
penyebabnya (dengan risiko tertinggi pada pasien yang terinfeksi HCV),
tergantung juga pada wilayah atau kelompok etnis (17% di Amerika
Serikat dan30% di Jepang), dan tahapan sirosis (dengan risiko tertinggi

pada pasien dengan penyakit dekompensasi).18 Namun perlu diketahui,


bahwa meskipun sebagian besar KHS timbul pada pasien dengan penyakit
kronis hepar yang sudah lanjut, KHS dapat terjadi tanpa fibrosis hepar atau

bahkan pada hepar yang normal.1

D. Anatomi

Hepar adalah organ internal terbesar di dalam tubuh manusia,4,19

mewakili 2-3% dari total berat badan orang dewasa.4 Hepar berada di

rongga abdomen kuadran kanan atas.4,17 Batas kranial hepar terletak


kira-kira setinggi SIC V di linea midklavikularis, batas kaudalnya berada

di atau sedikit di bawah margin kosta.16


Suplai vaskuler hepar meliputi 2 sumber, yaitu: arteri hepatika dan
vena porta. Arteri hepatika umumnya berasal dari aksis celiac, yang berasal
dari aorta setinggi diafragma. Arteri hepatika hanya memasok sekitar 30%

4
aliran darah ke parenkim hepar, akan tetapi lebih dari 90% vaskularisasi
tumor hepar (termasuk KHS dan lesi metastasis) berasal dari arteri ini.
Suplai utama lainnya adalah vena porta yang membawa 70-85% darah ke

hepar.4,17,19
Selain suplai vaskuler hepar, drainase utama vena dan sistem
bilier pada hepar juga penting untuk diketahui. Drainase primer vena pada
hepar melalui 3 vena hepatika besar (dextra, medial, dan sinistra) yang
masuk ke vena cava inferior yang berdekatan dengan diafragma. Anatomi
sistema bilier intra hepar umumnya mengikuti pembagian arteri pada hepar.
Mulai dari duktus sistikus, bermuara ke duktus biliaris komunis, kemudian
menjadi duktus hepatikus. Duktus hepatikus kemudian terbagi menjadi

2-3 duktus tambahan untuk drainase hepar.4,17,19


Sistem anatomi hepar secara segmental diperkenalkan oleh Couinaud
pada tahun 1954, yang disebut sebagai Couinaud’s anatomy. Berdasarkan
pembagian segmen ini, seorang ahli radiologi (dari pencitraan secara
USG, CT Scan, dan MRI) dapat secara tepat memberikan informasi
lokasi suatu lesi kepada ahli bedah. Couinaud’s anatomy saat ini
merupakan nomenklatur universal untuk melokalisasi lesi di hepar.
Hepar dibagi menjadi delapan segmen, sesuai arah jarum jam (Tabel 1).
Setiap segmen memiliki suplai darah (arteri, vena porta, dan vena

hepatika), kelenjar limfe, dan drainase bilier tersendiri.17 Vena hepatika


dextra, medial, dan sinistra membagi hepar secara longitudinal menjadi
empat bagian. Setiap bagian dibagi lagi secara transversal oleh garis
imajiner melalui pedikel utama vena porta bagian dextra dan sinistra.
Segmen I adalah lobus kaudatus, segmen II dan III adalah segmen
superior dan inferior dari lobus sinistra, dan segmen IV, yang dibagi lagi
menjadi IVa dan IVb, adalah segmen medial dari lobus sinistra. Lobus
dextra terdiri dari segmen V dan VI, terletak di kaudal pada potongan
transversal, dan segmen VII dan VIII, yang terletak di kranial pada

potongan transversal (Gambar 1).17,20

5
Tabel 1. Pembagian Segmen Hepar.17
Couinaud Traditiona
Segment I Caudate lobe
Segment II l lobe (superior)
Lateral segment left
Segment III Lateral segment left lobe (inferior)
Segment IV Medial segment left lobe
Segment V Anterior segment right lobe (inferior)
Segment VI Posterior segment right lobe (inferior)
Segment VII Posterior segment right lobe
Segment VIII Anterior segment right lobe (inferior)
(superior)

Gambar 1. Couinaud’s functional segmental anatomy. A. Hepar terbagi


menjadi 9 segmen. Dibatasi oleh vena hepatika-berwarna biru (cabang
dextra, media, dan sinistra). Pada potongan transversal dibagi oleh cabang
utama vena porta, dextra dan sinistra. Segmen I: lobus kaudatus, berada di
posterior. RHV = right hepatic vein; MHV = middle hepatic vein; LHV =
left hepatic vein; RPV = right portal vein; LPV = left portal vein; GB =
gallbladder. B. Pencitraan USG menunjukkan vena porta dengan cabang
dextra dan sinistra. Bidang yang dilalui cabang dextra dan sinistra tersebut
adalah potongan transversal terhadap segmen hepar. Di aspek kranial
terdapat segmen II, IVa, VII, dan VIII. Di aspek kaudal terdapat segmen
III, IVb, V, dan VI.

Penilaian yang akurat terhadap ukuran hepar menggunakan USG


pada dasarnya cukup sulit karena lapang pandang yang terbatas. Secara
umum, pengukuran panjang hepar dianggap cukup memadai untuk menilai
ukuran hepar. Pengukuran dilakukan pada potongan sagital di linea

6
midclavicula, mulai di bawah diafragma sampai batas inferior hepar

(Gambar 2).17,20 Metode lain adalah dengan melihat tepi inferior lobus
dextra, dimana ukuran hepar dianggap dalam batas normal bilamana tepi
inferior lobus dextra berada di anterior pole inferior ren dextra. Variasi
dari bentuk tersebut di atas adalah Reidel’s lobe, yang
merupakan ekstensi lobus dextra melewati tepi pole inferior ren dextra
(akibat elongasi segmen VI), sehingga membentuk gambaran tepi yang

membulat yang dikenal sebagai tongue-like extension (Gambar 3).17,21

Gambar 2. Penilaian terhadap ukuran hepar melalui diameter kranio-kaudal


terlebar pada MCL (midclaviculae linea) pada saat inspirasi, posisi supine. A.
Pengukuran secara USG. B. Diagram yang mempresentasikan penilaian ukuran
hepar.

7
Gambar 3. (kiri) Potongan longitudinal (LS) melalui lobus dextra hepar. Korteks
renal tampak kurang ekogenik dibanding parenkim hepar. (kanan) LS
melalui lobus dextra hepar, menunjukkan Reidel’s lobe yang melampaui batas
inferior ren dextra (bandingkan dengan hepar normal pada gambar kiri).
Ekostruktur normal hepar adalah homogen. Hepar tampak hiperekoik
minimal atau isoekoik dibanding korteks normal ren, dan tampak

hipoekoik dibanding lien (Gambar 4).17

Gambar 4. Ekogenitas normal hepar. A. Hepar tampak lebih ekogenik


disbanding korteks renal. B. Hepar tampak kurang ekogenik dibanding lien,
seringkali terlihat pada wanita kurus-dimana lobus sinistra heparnya tampak

membungkus lien. 17
E. Patofisiologi
Patofisiologi KHS belum dapat dijelaskan secara definitif dan
kausanya adalah multifaktorial. Pada 1981, saat seorang peneliti, Beasley,
menghubungkan antara infeksi HBV dengan perkembangan KHS,
penyebab KHS dianggap telah teridentifikasi. Namun, penelitian
selanjutnya gagal untuk mengidentifikasi infeksi HBV sebagai faktor
risiko independen utama, dan pada saat itu menjadi jelas bahwa
kebanyakan kasus KHS berkembang pada pasien dengan sirosis hepar yang
mendasari dari berbagai etiologi, termasuk pasien dengan marker negatif
untuk infeksi HBV dan yang ditemukan memiliki DNA HBV yang

terintegrasi dalam genom hepatosit.4


Inflamasi, nekrosis, fibrosis, dan regenerasi berkelanjutan adalah
karakterisitik sirosis hepar dan berkontribusi terhadap berkembangnya

88
KHS. Proses penyakit yang mengakibatkan transformasi maligna,
meliputi berbagai jalur, dengan banyak modifikasi oleh faktor eksternal
dan lingkungan dan akhirnya menyebabkan perubahan genetik yang
menghambat apoptosis danmeningkatkan proliferasi sel

Gambar 5. Diagram di atas menunjukkan alur patobiologi yang mengarah

pada terjadinya KHS. 4


Terdapat beberapa klasifikasi gambaran makroskopis yang
umum digunakan untuk KHS. Sebagian besar klasifikasi ini merupakan
perbaikan dari Eggel’s classification pada 1910. Eggel mengklasifikasi
gambaran umum KHS menjadi tiga kategori: masif, nodular dan difus.
Masif dideskripsikan sebagai massa besar tunggal dengan atau tanpa
nodul satelit; nodular terdiri dari beberapa nodul diskrit; dan difus
menunjukkan nodul multipel di seluruh permukaan hepar, meyerupai

gambaran sirosis.2,15,17

F. Manifestasi Klinis
Presentasi klinis KHS biasanya asimptomatik atau lambat timbulnya
sampai mencapai stadium lanjut, bilamana simptomatik umumnya karena
ukuran atau lokasi lesi. Gambaran klinis meliputi nyeri abdomen di
kuadran kanan atas, adanya massa abdomen, berkurangnya berat badan,
kemungkinan disertai demam, anoreksia, rasa penuh pada abdomen, edema,

dan jaundice. 3,4,14,17

99
Dalam beberapa dekade terakhir, presentasi KHS telah berkembang
secara signifikan. Saat ini KHS semakin banyak terdiagnosis pada stadium
awal, sebagai konsekuensi dilakukannya tindakan skrining rutin pasien
dengan sirosis, dengan menggunakan pemeriksaan pencitraan dan

pengukuran serum AFP.4

G. Diagnosis
Menegakkan diagnosis KHS membutuhkan kombinasi dari
pemeriksaan klinis yang mengarah pada KHS, modalitas pencitraan yang

tepat, serta deteksi marker seperti AFP.3 USG gray-scale berperan dalam
proses skrining, sementara CEUS, CT Scan, serta MRI berperan dalam

menegakkan diagnosis secara radiologi.9 Pemeriksaan pencitraan lainnya


seperti foto polos, nuclear imaging, serta angiografi kurang berperan

dalam menegakkan diagnosis KHS.22


Bila pada USG skrining terhadap pasien dengan sirosis hepar
dijumpai suatu nodul, maka tindakan selanjutnya adalah untuk
menegakkan diagnosis KHS dengan satu atau lebih pemeriksaan
pencitraan menggunakan agen kontras. Durasi dan interval untuk follow-up
nodul tersebut tergantung pada ukuran nodul. Nodul dengan diameter < 1
cm disarankan untuk melakukan follow-up setiap 3-4 bulan, selama 2
tahun. Bila diameter nodul bertambah, langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan pencitraan. Bila diameter nodul tidak bertambah atau bahkan
berkurang, skrining selanjutnya dilakukan tiap 6 bulan. Nodul dengan
diameter >1 cm memiliki resiko untuk menjadi KHS, disarankan untuk
dilakukan pemeriksaan pencitraan dan biopsi untuk mendeteksi adanya

hipervaskularisasi.7,27
AFP serum merupakan pilihan yang menarik untuk skrining
mengingat rendahnya biaya dan tingkat morbiditasnya. Sayangnya, hanya
40-64% yang sensitif karena beberapa tumor tidak memproduksi AFP sama

10
10
sekali atau memproduksi hanya pada tahap lanjut. Pada prinsipnya, AFP
adalah produk dari tumor atau regenerasi hepatosit. Oleh karena itu,
kadar AFP juga sering meningkat pada hepatitis C kronis yang aktif,
reseksi hepar (bersifat sementara sampai regenerasi lengkap), proses
pemulihan setelah toxic injury, atau serokonversi setelah infeksi

hepatitis B ( Tabel 2).4

Tabel 2. AFP serum pada penyakit hepar.3


Alpha- Interpretatio

> 400fetoprotein
– 500 n
- HCC likely if accompanied by space-occupying lesion(s)
(ng/mL in cirrhotic liver or levels are rapidly increasing.
)
- Diffusely growing HCC, may be difficult to defect on imaging.
Normal value to < - Occasionally
Frequent: Regeneration
in patients inflammation (usually
with active liver in (particularly
disease
400 patients
HBV or with
HCVelevated transaminases
infection) and HCV). regeneration, or
reflecting inflammation,
- seroconversion.
Regeneration after partial hepatectomy.
Normal value Does not exclude HCC (cirrhotic and norcirrhotic liver).
- If a space-occupying lesion and transaminases are normal, suspicious for
HCC.
The Asian Pasific Association for the Study of the Liver
(APALS) pada tahun 2009 menerbitkan rekomendasi konsensus untuk
KHS. Di dalam konsensus tersebut disebutkan bahwa KHS yang khas
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan pencitraan terlepas dari
ukurannya, jika mempunyai pola vaskular yang khas, yaitu
penyangatan pada fase arteri dengan washout pada fase vena
porta, berdasarkan pemeriksaan dynamic CT, dynamic MRI, atau
CEUS. Disebutkan pula bahwa lesi nodular yang menunjukkan gambaran
yang tidak khas pada pemeriksaan pencitraan, seperti iso-atau hipovaskuler
pada fase arteri atau hipervaskuler pada fase arteri tanpa washout pada

fase vena porta, harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut.22


The American Association for the Study of Liver Disease
(AASLD) pada tahun 2011 menerbitkan pedoman praktis untuk
mendiagnosis KHS. Disebutkan bahwa pemeriksaan yang digunakan untuk

11
11
mendiagnosa KHS mencakup pemeriksaan radiologi, biopsi dan serologi

AFP. Pemeriksaan mana yang digunakan tergantung kondisi lesi.21


Biopsi masih merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis
KHS. Dengan kemajuan tehnologi di bidang radiologi, tidak semua kasus
yang dicurigai sebagai KHS harus dilakukan biopsi. Biopsi tidak perlu
dilakukan bila pada pemeriksaan pencitraan telah didapatkan gambaran
khas lesi KHS, serta terdapat kontra indikasi untuk dilakukan tindakan
ablasi atau transplantasi. Biopsi wajib dilakukan bila pemeriksaan
pencitraan tidak dapat menemukan lesi atau visualisasi lesi
memberikan gambaran yang tidak khas, serta untuk lesi dengan diameter

> 2 cm dengan AFP rendah.2

H. Pemeriksaan Pencitraan pada KHS


1. Foto polos radiologi
Temuan KHS pada foto polos adalah nonspesifik. Sebuah massa
abdomen mungkin dapat terlihat bila berukuran besar. Kalsifikasi jarang
ditemukan pada KHS. Pasien dengan hemochromatosis sebagai faktor
predisposisi dalam perkembangan KHS dapat menunjukkan deposisi
kalsium pirofosfat pada tulang rawan sendi, namun banyak penyebab lain
dari kondrokalsinosis, seperti gout, hiperparatiroidisme, penyakit Wilson,

dan penyakit degeneratif sendi.22


2. Computed Tomography (CT) Scan
CT Scan dengan kontras meliputi 3 fase yaitu fase arteri, fase vena
porta, dan fase delayed (late washout). Pola densitas yang paling
umum adalah iso- hiper-isodens, masing-masing pada non kontras, fase
arteri, dan fase vena, namun pola tersebut juga dimiliki oleh nodul hepar

lainnya, termasuk nodul regeneratif dan displastik.22,23


Pencitraan CT Scan pada lesi KHS bervariasi tergantung ukuran
tumor dan fase pencitraan. Gambaran lesinya dapat berupa tumor tunggal
berukuran besar, tumor multipel, serta tumor berbatas tak tegas dengan pola

12
12
pertumbuhan infiltratif ke parenkim hepar.2 Jika massa berukuran besar,
adanya nekrosis di sentral lesi dapat terlihat membentuk gambaran mozaic.
Pada fase arteri (arteri hepatika), lesi umumnya hiperdens (dibanding
parenkim hepar) sebagai akibat dari suplai arteri hepatika. Neovaskularisasi
kadang juga ditemukan. Pada fase vena porta, terjadi washout yang cepat.
Lesi kecil mungkin densitasnya iso-hipodens dan sulit terlihat karena
parenkim hepar yang normal meningkat densitasnya. Lesi yang lebih
besar dengan area nekrotik tetap hipodens. Pada fase delayed, lesi kecil
mungkin tak terlihat jelas. Fase delayed dapat menunjukkan gambaran
kapsul tumor, yang merupakan salah satu tanda yang lebih spesifik

menunjukkan adanya KHS (Gambar 6).22,23

Gambar 6. A. Fase arterial pada CT Scan menunjukkan penyangatan pada


KHS. B. Fase vena porta pada CT Scan menunjukkan KHS yang telah

washout.23
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI merupakan metode yang sangat baik untuk mengkarakterisasi
KHS tanpa paparan radiasi dan tidak memutuhkan bahan kontras iodin.
Kemajuan tehnologi pada MRI telah mempersingkat waktu pemindaian dan

meningkatkan spesifisitas pada pemeriksaan ini.13


Gambaran KHS pada MRI tergantung pada parenkim tumor, grade
tumor, serta kandungan lemak dan glikogen intratumoral. Gambaran lesi
bervariasi dari isointens sampai ke hiperintens, baik pada T1-weighted
maupun T2. Tumor yang well-differentiated lebih sering hiperintens pada
T1 dan isointens pada T2, sementara tumor yang moderate atau poorly-
differentiated cenderung hiperintens pada T2 dan isointens pada T1.

13
13
Walaupun karakteristik pencitraan dapat sugestif ke arah KHS,
gambarannya dapat tumpang tindih dengan nodul regenerative

(Gambar 7).23

Gambar 7. MRI pada hepar dengan KHS.


Referensi lain menyebutkan bahwa MRI dapat membantu
membedakan antara nodul pada sirosis dan pada KHS:
a. jika hiperintens (bright) pada T2-weighted, dianggap sebagai KHS
sampai terbukti sebaliknya;
b. jika hipointens (dark) pada T1- dan T2-weighted, dianggap
sebagai nodul regeneratif siderotik atau nodul displastik siderotik;
c. jika hiperintens (bright) pada T1-weighted dan hipo (dark) atau
isointens pada T2-weighted, dianggap sebagai nodul displastik atau

KHS-low grade.22
4. Ultrasonografi (USG)
a. USG gray-scale
Modalitas pencitraan terbaik untuk skrining KHS masih menjadi
bahan perdebatan. USG gray-scale sampai saat ini merupakan metode
skrining yang relatif murah tanpa perlu mengeluarkan biaya besar, tanpa
paparan radiasi, serta tidak menggunakan agen kontras yang berpotensi

nefrotoksik. 4,23
Gambaran USG dari KHS bervariasi ekogenitasnya. Massa
mungkin hipoekoik, kompleks, atau ekogenik. Sebagian besar KHS
berukuran kecil (< 5 cm) adalah hipoekoik. Dengan berjalannya waktu
dan meningkatkan ukuran tumor, lesi cenderung menjadi lebih kompleks
dan inhomogen sebagai akibat dari nekrosis dan fibrosis. Adanya

14
14
kalsifikasi cukup jarang, namun pernah dilaporkan. Tumor berukuran kecil
dapat memberikan gambaran hiperekoik difus, sehingga sulit dibedakan
dari focal fatty infiltration, hemangioma kavernosa, dan lipoma (Gambar

8).17

Gambar 8. Variasi tampilan KHS. A. Fokal nodul hipoekoik berukuran


kecil. B. Multifokal nodul hipoekoik, yang kadang sulit dibedakan dari
parenkim hepar dengan nodul sirosis. C. Nodul fokal ekogenik yang
menyerupai hemangioma. D. Nodul ekogenik berukuran besar pada hepar
yang sirotik. E. Massa inhomogen ekogenik berukuran besar. Area
hipoekoik merupakan area nekrotik.F. Massa lobulated berukuran besar
dengan sentral hipoekoik kemungkinan suatu jaringan parut. G. Tumor
ekspansif mengisi vena porta, satu-satunya temuan pada USG. H. Hepar
yang sirotik,berukuran kecil, menunjukkan adanya tumor eksofitik. I.

15
15
Massa inhomogen superfisial pada penderita hepatitis B berusia

muda, menunjukkan gambaran ruptur spontan hepar.17


Beberapa frekuensi transduser dapat digunakan untuk pencitraan
hepar. Umumnya digunakan transduser dengan frekuensi 3 - 5 MHz.
Transduser dengan frekuensi lebih rendah diperlukan untuk mencitrakan
organ internal yang posisinya lebih dalam, seringkali digunakan pada
pasien dengan postur tubuh besar dan obesitas. Transduser dengan
frekuensi lebih tinggi dapat mencitrakan organ internal yang lebih

superfisial dengan resolusi yang lebih tinggi.11


b. USG Doppler
Identifikasi KHS pada pemeriksaan USG kadang mengalami
kesulitan akibat kondisi sirosis hepar disertai nodul regeneratif. Lesi KHS
juga bervariasi ekogenisitasnya, tergantung pada parenkim sekitarnya
dan derajat fatty infiltration. Selain hal tersebut di atas, batas antara lesi
KHS dan parenkim normal hepar seringkali tak tegas. Penggunaan analisis
Doppler untuk menentukan karakterisasi lesi dapat membantu, dimana lesi
KHS cenderung memiliki suplai darah arteri yang prominen dan

memiliki neovaskularisasi bila dibandingkan dengan nodul regeneratif.23


Prinsip pencitraan USG Doppler adalah untuk mengukur arah dan
velositas aliran pembuluh darah menggunakan USG dengan frekuensi
lebih tinggi atau lebih rendah. Teknik ini dapat digunakan untuk
mengukur frekuensi aliran spektral seperti pada pulse-wave Doppler
atau untuk memetakan velositas dan arah aliran pembuluh darah yang

divisualisasikan dalam warna yang berbeda pada pencitraan Doppler.11


Tehnik pencitraan lainnya yaitu Power Doppler, yang juga digunakan
untuk memetakan aliran pembuluh darah. Power Doppler lebih
mencitrakan amplitudo daripada velositas pembuluh darah. Teknik ini lebih
sensitive dibandingkan Color Doppler dalam mencitrakan aliran pembuluh

darah di dalam suatu tumor.11


c. Contrast-Enhanced Ultrasound (CEUS)

16
16
Persyaratan utama untuk menjadi agen kontras pada USG adalah: (1)
mudah masuk ke dalam sistem vaskuler, (2) bersifat stabil selama
pemeriksaan diagnostik, (3) memiliki toksisitas rendah, dan (4) dapat
merubah satu atau lebih sifat akustik jaringan yang dapat dideteksi oleh
pencitraan USG. Saat ini, lebih dari 60 negara telah menyetujui
penggunaan setidaknya satu agen kontras untuk pemeriksaan USG
abdomen. Tehnologi yang diadopsi secara universal adalah bahwa
bubbles yang encapsulated berukuran lebih kecil daripada sel darah merah,
sehingga mampu beredar bebas dalam vaskularisasi

sistemik.25
Pada akhir 1990-an agen kontras generasi pertama, Levovist (SH U
508A, Schering AG, Berlin, Jerman), yang mengandung air-microbubbles,
telah diperkenalkan di banyak negara terutama Jepang. Selain memiliki
fase vaskuler (arterial dan portal), agen kontras ini juga memiliki fase late
(parenchyma-specific phase, delayed phase) dan dapat terakumulasi hingga
20 menit di dalam hepar. Namun, parenchyma-specific phase Levovist
hanya efektif ketika pencitraan dilakukan pada daya akustik yang tinggi
menggunakan Mechanical Index (MI) yang tinggi, dan efeknya bersifat
sementara. Oleh karena itu, Levovist tidak dapat digunakan dalam
pemeriksaan real-time pada late phase, dan visualisasi dari seluruh

hepar terbatas pada scan tunggal.26


SonoVue (Bracco, Milan, Italia) tersedia secara luas di Eropa dan
Cina, menggantikan Levovist untuk aplikasi radiologi. Berbeda dengan
Levovist, visualisasi kontras SonoVue dapat dicapai dengan MI yang
rendah, suatu tehnik yang kurang destruktif dibanding menggunakan MI
yang tinggi. Tehnik MI rendah dengan SonoVue memungkinkan
pencitraan real-time yang kontinyu. Pencitraan parenchyma-specific
phase dengan SonoVue dapat dilihat hanya dalam 3 sampai 5 menit
setelah injeksi. Oleh karena itu, SonoVue membutuhkan pengulangan
injeksi intraoperatif untuk melakukan pemeriksaan hepar secara

17
17
keseluruhan. Berdasarkan hal tersebut, SonoVue tidak disetujui
penggunaannya di Jepang.
Agen kontras USG generasi kedua yang baru dikembangkan,
Sonazoid (Daiichi Sankyo, Tokyo, Jepang), secara eksklusif telah disetujui
penggunaannya secara klinis pada pasien dengan lesi hepar dan untuk fase
inversi harmonik USG gray-scale di Jepang pada bulan Januari 2007.
Sonazoid dikaitkan dengan kejadian efek samping yang rendah, yaitu
diare 1,6%, albuminuria 1,6%, dan neutropenia 1,0%. Tidak ada
kontraindikasi untuk pasien dengan disfungsi ginjal atau alergi iodium,
sementara terdapat satu kontraindikasi dari Sonazoid yang dilaporkan
pada pasien yang alergi terhadap telur. Dosis Sonazoid yang
dianjurkan untuk menghasilkan penyangatan pada tumor hepar adalah
0,015 mL/kg. Dengan perkembangan tehnologi USG, dosis Sonazoid yang
lebih rendah dari rekomendasi di atas telah dapat menghasilkan kualitas

pencitraan yang cukup baik.26


5. Nuclear Imaging
Berbagai agen pada kedokteran nuklir dapat digunakan untuk
pencitraan hepar, meskipun tidak ada agen tertentu yang penting untuk

pencitraan KHS (Gambar 9).11 Positron Emission Tomography dengan


fluorodeoxyglucose (FDG- PET) terutama berguna untuk diferensiasi dan
staging pada tumor yang moderate dan poorly-differentiated. Uptake FDG
yang rendah pada tumor yang well- differentiated dapat mempengaruhi

sensitifitas PET scan.11,22

Gambar 9. Kurangnya penyerapan 18F-FDG-PET pada KHS. (A)


MRI T2- weighted potongan koronal menunjukkan massa tumor muncul

18
18
dari lobus sinistra (panah). (B) T1-weighted Gadopentetate-
enhanced potongan koronal menunjukkan massa yang menyangat
heterogen (panah) dengan pseudokapsul yang menyangat (kepala panah).
(C) Pencitraan CT dengan 18F-FDG-PET menunjukkan uptake yang
hampir sama antara tumor (panah) dibanding dengan parenkim hepar

sekitarnya.11
6. Angiografi
Angiografi untuk diagnosis KHS sebagian besar telah digantikan
oleh metode pencitraan cross-sectional. Pola vaskularisasi yang normal
biasanya telah tertutup oleh massa berukuran besar. Karakteristik KHS
adalah hipervaskuler dengan neovaskularisasi yang bizarre dan shunting

arteriovenosa.22

I. Diagnosis Banding
Pola pertumbuhan KHS yang bervariasi, seringkali menimbulkan
tantangan dalam menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis banding KHS
antara lain: nodul regenerasi dan displastik, hemangioma, dan

kolangiokarsinoma (Tabel 3).15,27 Neoplasma metastatik merupakan

keganasan hepar yang paling sering menjadi diagnosis banding KHS.15


J. Penatalaksanaan
Terdapat beberapa gambaran penting untuk panduan terapi pada
KHS, yaitu: ukuran tumor, staging (penyebaran tumor), keterlibatan
pembuluh darah di hepar, kapsul tumor, metastasis ekstrahepatal,
satelit nodul, serta pola vaskularisasi tumor. Berdasarkan temuan
tersebut di atas, klinisi dapat menentukan penatalaksanaan pada

KHS, berupa terapi operatif atau non-operatif.2,16


Satu-satunya terapi yang terbukti berpotensi kuratif untuk KHS
adalah tindakan operatif, baik reseksi maupun transplantasi hepar.

19
19
a. Transplantasi hepar harus dipertimbangkan pada pasien dengan sirosis
dan lesi berukuran kecil (1 lesi berukuran ≤ 5 cm, atau ≤ 3 lesi
berukuran ≤ 3 cm).
b. Pasien dengan HBV yang bereplikasi memiliki prognosis yang buruk
karena bersifat kambuhan, sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai
kandidat untuk transplantasi. Terapi antivirus yang efektif saat ini telah
tersedia dan pasien dengan lesi KHS berukuran kecil seperti tersebut di
atas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi.
c. Reseksi hepar harus dipertimbangkan sebagai terapi utama pada pasien
dengan HCC dan hepar non-sirosis.
d. Reseksi dapat dilakukan pada pasien tertentu dengan sirosis hati dan
fungsi hepar yang masih baik (Child-Pugh A) yang tidak memenuhi

kriteria untuk transplantasi hepar.2,4,9,16,24


Penatalaksanaan non-operatif diberikan bilamana terapi operatif
tidak memungkinkan.
a. Percutaneous Ethanol Injection (PEI) telah terbukti untuk
menghasilkan nekrosis pada KHS berukuran kecil. Tindakan ini
cocok untuk lesi perifer berukuran < 3 cm. Ablasi radiofrekuensi
mungkin menjadi terapi ablatif alternatif yang baik tetapi ketersediaan
data sangat terbatas.
b. Kemoembolisasi dapat menghasilkan tumor nekrosis dan telah
terbukti mempengaruhi kelangsungan hidup pada pasien untuk
mempertahankan hepar. Kemoembolisasi menggunakan lipiodol adalah
terapi yang efektif bila ditemukan nyeri atau perdarahan dari KHS.
c. Kemoterapi sistemik dengan agen standar memiliki tingkat respon
yang rendah.
d. Terapi hormonal dengan Tamoxifen tidak menunjukkan manfaat
terhadap kelangsungan hidup dalam suatu penelitian sehingga tidak

direkomendasikan.2,4,9,16,24
K. Prognosis

20
20
Pilihan penatalaksanaan dan prognosis KHS tergantung pada banyak
faktor, tetapi terutama tergantung pada ukuran dan staging tumor.
Tumor pada stage tinggi memiliki prognosis buruk, sedangkan tumor
stage rendah mungkin tidak diketahui prognosisnya selama bertahun-tahun,

walaupun dapat dideteksi dengan metode pencitraan yang lebih khusus.2,23

21
21
BAB III
PEMBAHASAN
A. Gambaran KHS pada CEUS
Pada prinsipnya, evaluasi CEUS terhadap nodul di hepar harus
meliputi 3 fase vaskuler (fase arteri: 20-35 detik, fase vena: 35-120 detik,

dan fase delayed: setelah 120 detik).7 Lesi pada KHS umumnya
hipervaskuler, kadang menunjukkan pembuluh darah yang dismorfik
(Gambar 10) dan seringkali menampilkan area nekrotik atau fibrotik tanpa
penyangatan (Gambar 11). Pada fase vena porta, lesi menunjukkan
hipoekoik atau washout, sehingga menjadi kurang menyangat dibanding
parenkim hepar yang normal (Gambar 12). Variasi dari pola klasik ini
dapat berupa fase arteri yang hipovaskuler dan fase vena porta yang

mengalami delayed atau tanpa washout (Gambar 13).26

Gambar 10. Pencitraan vaskuler dengan agen kontras microbubble.


Sisi kiri, gambaran parenkim hepar; sisi kanan, gambaran vaskuler. Bagian

22
22
atas, KHS. A. Tampak massa eksofitik di segmen 6. B. Pembuluh darah di
bagian anterior lesi tampak tortuous dan dismorfik. Bagian tengah,
Focal Nodular Hyperplasia (FNH). C. Lesi hampir tak tampak. D.
pembuluh darah stelat merupakan gambaran klasik untuk FNH. Bagian
bawah, hemangioma. E. Tampak lesi heterogen dengan tepi ekogenik yang
tipis. F. Pencitraan vaskuler pada MI yang rendah menunjukkan nodul
di perifer yang menyangat kuat. Tak tampak gambaran pembuluh
darah linier. (From Brannigan M, Burns PNB, Wilson SR. Blood flow
patterns in focal liver lesions at microbubble enhanced ultrasound.

Gambar 11. KHS klasik yang terdeteksi pada USG. A. Massa


hipoekoik berukuran kecil di lobus dextra pada hepar berukuran kecil yang
sirotik. B. Pencitraan CEUS di puncak penyangatan fase arterial
menunjukkan hipervaskularisasi yang klasik. C. Pencitraan CEUS pada
fase vena porta di menit ke-2. Tampak lesi relatif telah washed out
dibanding parenkim hepar yang lebih menyangat. (From Wilson SR,
Burns PN. Microbubble enhanced ultrasound imaging: what role?

Radiology 2010 [in press].)17

23
23
Gambar 12. KHS. Tampak massa fokal di hepar yang karakteristik,
menggunakan bahan kontras microbubble. A. USG gray-scale
menunjukkan massa fokal di aspek posterior yang hipoekoik. B.
Pencitraan yang diambil di lokasi yang sama menggunakan MI yang
rendah sebelum visualisasi oleh microbubble, hasil pencitraan gelap, lesi
tidak tampak. C dan D. Pencitraan real-time diambil di lokasi yang
sama dengan MI yang rendah. C. Bubble berada di lokasi lesi, ekogenisitas
pembuluh darah di hepar dan lesi tampak disorganisasi. D. Pada fase
arterial, pembuluh darah tampak lebih prominen pada lesi dibanding pada
hepar. E. Pencitraan pada fase arterial, pada puncak penyangatan, lesi
tampak hipervaskuler. F. Fase vena porta menunjukkan penyangatan
pada hepar. Lesi tampak kurang menyangat dibanding hepar atau telah

“washed out”.17

24
24
Gambar 13. Pendekatan multimodalitas untuk diagnosis KHS. Lesi kecil
KHS pada pria berusia 59 tahun dengan sirosis akibat etanol dan hepatitis
C. A. MRI berkualitas baik, hasil negatif, menunjukkan tidak ada massa
pada T2-weighted dan tidak ada gambaran hipervaskuler pada post kontras.
B. Pemeriksaan USG menunjukkan nodul hipoekoik tunggal di lobus
kanan hepar yang mengalami sirosis. C. Pencitraan fase arteri CEUS
menunjukkan hipovaskularisasi massa. Massa cepat menjadi isovaskuler
dan tidak menunjukkan washout. Adanya riwayat keluarga dan variasi
pola penyangatan KHS pada CEUS, merupakan indikasi untuk segera
dilakukan biopsi, yang hasilnya adalah KHS differensiasi sedang. (From
Wilson SR, Burn PN. Microbubble enhanced ultrasound imaging: what

role? Radiologi 2010 [in press]).17


KHS harus dibedakan dari lesi jinak seperti haemangioma, nodul
displastik yang hipervaskuler, dan pseudonodul terkait dengan arterio-
portal shunt, yang gambarannya mungkin menyerupai KHS karena adanya
penyangatan yang homogen pada fase arteri. Masalah diagnostik ini
lebih ditekankan pada nodul yang diameternya < 2 cm. Sebagian besar
hemangioma berukuran > 2 cm yang kebetulan ditemukan pada pasien
sirosis menunjukkan penyangatan spesifik perifer dari nodul pada fase
arteri yang dapat dibedakan dari penyangatan homogen pada KHS.
Namun, penyangatan nodul yang patognomonik tersebut, seringkali tidak
dijumpai pada hemangioma berukuran kecil (Tabel 3 dan Tabel
4). Dalam sebuah penelitian yang membandingkan diagnosis KHS pra-
transplantasi untuk kepentingan histologi, Hayashi et al. melaporkan
bahwa 33% dari diagnosis berdasarkan penyangatan tumor pada tehnik
pencitraan, ternyata bukan KHS, sedangkan 63% tumor yang mis-
diagnosis, ternyata adalah lesi berukuran < 2 cm yang menyangat pada
fase arteri. Namun, kejadian timbulnya penyangatan pada lesi atau

25
25
pseudolesi lebih banyak terjadi pada CT dan MRI daripada USG karena
sebagian besar kelainan vaskular dapat tervisualisasi menggunakan

USG.27
Tabel 3. Gambaran fase arteri, portal, dan late dari nodul yang

paling sering dijumpai pada pemeriksaan CEUS.2

Arteria Portal Late phase


Hepatocellular carcinoma Hyperechoic
l Isoechoic Hypoechoic
Isoechoic (30 %
especially in
small
Regenerating & Iso- or hypoechoic Isoechoic & well-differentiated
Isoechoic
dysplastic HCC)
Hemangiomas
nodules Hyperechoic Centripetal filling Isoechoic if filling is
(peripheral nodular complete (Intralesional
enhancement) hypoechoic areas in 50
Homogenous Hyper- or isoechoic %) Hyper- or isoechoic
hyperechoic in 20
Cholangiocarcinoma %
Hypoechoic Iso- or hypoechoic Iso- or hypoechoic
of small hemangiomas
Hyperechoic (15 %)

Tabel 4. Skema Algoritma untuk Diagnosis Nodul pada Sirosis Hepar dengan

Pemeriksaan CEUS.17

26
26
Karakterisasi lesi KHS dengan diameter > 2 cm, saat ini dapat
dilakukan hanya dengan pemeriksaan CEUS, dimana lesi akan tampak
menyangat pada fase arteri dan washout pada fase vena porta. Untuk lesi
dengan diameter < 2 cm, diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan
dua pemeriksaan pencitraan (CEUS, CT Scan dengan kontras, dan/atau

MRI) tanpa perlu dilakukan biopsi.11


CEUS untuk pencitraan hepar telah diperkenalkan sejak sekitar 10
tahun yang lalu di banyak negara di Eropa dan Asia. CEUS juga telah
dijadikan sebagai rekomendasi dan pedoman yang penting, seperti pada
American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) tahun
2005, The Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL),
pedoman tahun 2004 dan 2008 dari The Japanese Society of Hepatology
and the European Federation of Societies for Ultrasound in Medicine and
Biology (EFSUMB), dan pedoman tahun 2012 dari WFUMB-EFSUMB.
Namun CEUS telah dihapus dari diagram alur diagnostik nodul pada sirosis
dalam pedoman AASLD tahun 2011. Penghapusan ini menimbulkan
kontroversial dan tidak diterima dengan baik di Eropa dan Asia. Terdapat
dua alasan dihilangkannya CEUS dari pedoman AASLD:
1. CEUS dapat menghasilkan diagnosis KHS yang positif palsu pada
pasien dengan kolangiokarsinoma, sehingga dengan demikian, telah
dihapus dari skema tehnik diagnostik.

2. Agen kontras untuk USG tidak tersedia di Amerika Serikat.25


AASLD menyarankan MRI sebagai pemeriksaan ideal untuk
diagnosis KHS, namun di banyak negara dimana insiden KHS
cukup tinggi dan ketersediaan MRI sangat minim, membuat CEUS yang
pada dasarnya lebih murah dan lebih mudah pemeriksaannya menjadi
pemeriksaan yang diandalkan dalam prakek sehari-hari. CEUS juga
memiliki tingkat keamanan yang sangat tinggi, mudah untuk mengulang

pemeriksaan, dan memiliki resolusi yang tinggi.25

27
27
B. USG, CT Scan, dan MRI untuk
Pencitraan KHS
USG gray-scale merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk
skrining KHS. Sebagai modalitas skrining, temuan terhadap lesi yang
dicurigai sebagai KHS seringkali tidak spesifik dan bervariasi

mulai hipoekoik sampai hiperekoik.4,22,23,29 Lesi hiperekoik


berukuran kecil kadang sulit dibedakan dengan hemangioma, selain itu
nodul benigna yang mengalami regenerasi kadang sulit dibedakan dengan

nodul maligna.7,11,22 USG gray-scale juga tidak dapat memvisualisasi


vaskularisasi lesi, dimana hemodinamik intranodal merupakan temuan

penting untuk menentukan keganasan pada hepar.9 Faktor pengetahuan


klinis dan ketrampilan ahli radiologi dalam menginterpretasikan suatu lesi
serta kemampuan untuk mengoperasikan mesin USG juga berperan

dalam pemeriksaan USG gray-scale.8


USG Doppler dapat digunakan untuk menganalisis karakter lesi,
dimana lesi KHS mempunyai suplai arteri yang prominen serta

neovaskularisasi.23 Pencitraan Color Doppler dapat memvisualisasi


arterial pulsating flow untuk diferensiasi tumor hepar. Namun pada
beberapa jenis KHS, Color Doppler tidak mampu memvisualisasi
pulsatile flow. Hal tersebut dikarenakan: Color Doppler tidak dapat
mendeteksi flow yang tegak lurus dengan bidang suara, dan tehnik
pada Color Doppler menggunakan rata-rata pergeseran frekuensi doppler
pada posisi tertentu. Beberapa penelitian melaporkan bahwa Power
Doppler lebih sensitif dalam memvisualisasi pembuluh darah pada lesi
dibanding Color Doppler. Kedua tehnik tersebut bersifat non-invasif dan
tidak membutuhkan biaya besar, namun kekurangannya adalah sensitifitas

yang rendah dalam mendeteksi microflow dalam nodul.9


CT Scan menggunakan agen kontras merupakan salah satu
pemeriksaan pencitraan terbaik dalam menegakkan diagnosis KHS.

28
28
Temuan klasik lesi KHS adalah pola hipervaskuler dengan penyangatan
pada fase arteri dan dalam waktu singkat menjadi washout pada fase vena
porta. Namun karakteristik tersebut di atas lebih mudah terlihat pada lesi-
lesi berukuran besar. Sebagai konsekuensinya, lesi-lesi berukuran kecil

seringkali luput dari perhatian.23 Beberapa penelitian juga melaporkan


adanya sejumlah pasien yang mengalami alergi terhadap agen kontras yang
digunakan pada pemeriksaan CT Scan (umumnya iodin dan barium),
terutama terhadap iodin. Perlu dipertimbangkan pula faktor biaya,
efek nefrotoksik dari agen kontras iodin, serta efek paparan radiasi

terhadap pasien yang menjalani pemeriksaan CT Scan.2,4,22,23


Alternatif pencitraan KHS, selain CT Scan dengan kontras,
adalah MRI. MRI merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif dan
spesifik untuk diagnosis KHS dibanding CT Scan. Namun pada
kenyataannya, MRI lebih mahal dan tidak semua fasilitas kesehatan
memiliki mesin MRI. Yang lebih penting lagi, MRI dapat digunakan
sebagai pemeriksaan awal untuk deteksi tumor, namun hanya sedikit ahli
radiologi yang mempunyai pengalaman dan ketrampilan dalam
menemukan tumor menggunakan MRI pada saat skrining KHS. Pada
umumnya, ahli radiologi menggunakan MRI sebagai pemeriksaan

sekunder untuk menilai area dimana tumor telah terdeteksi.2,4


Pemeriksaan MRI juga menggunakan agenkontras. Salah satu agen
kontras MRI adalah gadolinium, dimana satu literatur menyebutkan bahwa
pemberian agen kontras ini terkait dengan terjadinya sindrom fibrosis

sistemik berat pada pasien gagal ginjal. 23


CEUS merupakan metode diagnostik yang sensitif untuk
mendiagnosis KHS. Metode ini cukup aman, efek sampingnya hampir
tidak ada (agen kontras pada USG tidak dapat menginduksi reaksi alergi
dan tidak diekskresi di ginjal), serta tidak memberi paparan radiasi terhadap
pasien. Kelebihan lain dari CEUS adalah mudah pelaksanaannya serta
biaya relatif rendah. Pencitraan CEUS terhadap KHS menunjukkan

29
29
penyangatan pada lesi dan karakterisasi morfologi pembuluh darah yang
serupa dengan hasil pencitraan pada CT Scan dengan kontras dan

MRI.7,13 Agen kontras yang digunakan pada CEUS, dapat secara


aman digunakan pada pasien gagal ginjal. Sonazoid, agen kontras
yang telah digunakan di Jepang sejak 2007, dapat memvisualisasi fase
post vaskuler sampai60-120 menit, sehingga proses karakterisasi lesi

menjadi lebih baik.12 Dosis kecil agen kontras pada CEUS (beberapa mL)
telah mencukupi untuk mendeteksi penyangatan pada fase arteri.
Keterbatasan CEUS hampir serupa dengan USG gray-scale, yaitu pada

pasien dengan obesitas, dengan nafas yang cepat, dan steatosis berat.27

30
30
BAB IV
KESIMPULAN
KHS adalah keganasan primer yang paling sering terjadi di
hepar. Umumnya KHS terdeteksi pada stadium lanjut, namun dengan
dilakukannnya tindakan skrining rutin terhadap pasien dengan sirosis, saat
ini KHS dapat terdeteksi pada stadium yang lebih dini.
Pemeriksaan pencitraan yang banyak digunakan untuk
menegakkan diagnosis KHS adalah CT Scan dan atau MRI. CT Scan sering
digunakan sebagai pemeriksaan pendahuluan dalam mendiagnosis KHS,
namun seringkali miss- diagnosis pada lesi berukuran kecil. MRI, dianggap
lebih superior dari CT Scan dalam mendeteksi lesi kecil berukuran kurang
dari 1 cm.
Dengan perkembangan tehnologi di bidang radiologi khususnya
USG, CEUS diyakini dapat mengatasi keterbatasan pada pemeriksaan USG
gray-scale dan Doppler. CEUS juga dianggap memiliki kemampuan yang
setara dengan CT Scan dan MRI untuk menegakkan diagnosis KHS.
Berdasarkan pedoman yang diterbitkan oleh APALS pada tahun 2009,
gambaran khas KHS adalah penyangatan pada fase arteri dengan
washout pada fase vena porta. Pada lesi > 2 cm, CEUS dapat
menggantikan posisi CT Scan dan MRI dalam menentukan
karakterisasi lesi. Untuk lesi < 2 cm, diagnosis dapat ditegakkan
dengan melakukan dua pemeriksaan pencitraan (CEUS, CT Scan
dengan kontras, dan/atau MRI) tanpa perlu dilakukan biopsi. Lesi dengan
gambaran yang tidak khas, seperti iso-atau hipovaskuler pada fase arteri
atau hipervaskuler pada fase arteri tanpa washout pada fase vena porta,
harus menjalani biopsi.
Dengan kelebihan yang dimiliki CEUS, beberapa negara (terutama
Eropa dan Asia Pasifik) telah memasukkan CEUS dalam pedoman
managemen KHS. Namun pada pedoman yang diterbitkan oleh AASLD
tahun 2011, CEUS telah dihapus dari diagram alur diagnostik nodul
pada sirosis dengan alasan CEUS dapat menghasilkan diagnosis positif

31
31
palsu pada pasien dengan kolangiokarsinoma, dan agen kontras untuk
USG tidak tersedia di Amerika Serikat.

32
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Paradis V. Histopathology of Hepatocellular Carcinoma. In: Vauthey
JN, Brouquet A, editors. Multidisciplinary Treatment of Hepatocellular
Carcinoma, Recent Results in Cancer Research 190. Berlin. Springer-
Verlag; 2013. pp 21-32.

2. Anonymous. Hepatocellular Carcinoma. [updated 2013 February 22; cited


2013 March 5]. Available from:
en.wikipedia.org/wiki/Hepatocellular_carcinoma.

3. Anonymous. Hepatocellular Carcinoma Causes, Diagnosis & Treatments


- Clinical Key (Summary). 2012 [cited 2013 March 6]. Available from:
https://www. clinicalkey.com/topics/surgery/hepatocellular-carcinoma.html#
sectionOverview.

4. Axelrod DA. Hepatocellular Carcinoma - Overview. [updated 2012 Oct


15; cited 2013 Mar 6]. Available from:
emedicine.medscape.com/article/197319- overview.

5. Xu JF, Liu HY, Shi Y, Wei ZH, Wu Y. Evaluation of


Hepatocellular Carcinoma by Contrast-Enhanced Sonography: Correlation
With Pathologic Differentiation. J Ultrasound Med. 2011; 30: 625–33.

6. Herrine SK. Primary Liver Cancer. In: Porter RS, Kaplan JL, editors.
Liver Masses and Granulomas, The Merck Manual Of Diagnosis and
Therapy. 19th ed. USA: Merck Sharp & Dohme Corp. 2013 January [cited
2013 March 22]. Available from: www.merckmanuals.com.

7. Danila M, Sporea I, Sirli R, Popescu A, Sendroiu M, Martie A. The Role


of Contrast Enhanced Ultrasound (CEUS) in the Assessment of Liver
Nodules in Patients with Cirrhosis. Medical Ultrasonography. 2010; 12 (2):
145-9.

8. Giorgio A, Ferraioli G, Tarantino L, Stefano GD, Scala V, Scarano F, et al.


Contrast-Enhanced Sonographic Appearance of Hepatocellular Carcinoma in
Patients with Cirrhosis: Comparison with Contrast-Enhanced Helical CT
Appearance. AJR. 2004; 183: 1319–26.

9. Omata M, Lesmana LA, Tateishi R, Chen PJ, Lin SM, Yoshida H, et al.
Asian Pacific Association for the Study of the Liver Consensus
Recom- mendations on Hepatocellular Carcinoma. Hepatol Int. 2010; 4: 439–
74.

10. Vilgrain V, Paradis V, Menu Y, Mortele KJ, Terris B, Ros PR. Primary
Hepatic Malignant Neoplasms: Radiologic-Pathologic Correlations. In:
Gourtsoyiannis NC, Ros PR, editors. Radiologic-Pathologic
Correlations from Head to Toe: Understanding the Manifestations of
Disease. Germany. Springer-Verlag; 2005. pp 367-89.

33
33
11. Outwater EK. Imaging of the Liver for Hepatocellular Cancer. Cancer
Control. 2010; 17(2): 72-82.

12. Paul SB, Jaganathan S, Hasan A, Dhingra R, Gamanagatti SR, Gupta AK, et
al. Evaluation of Hepatocellular Carcinoma by Contrast Enhanced
Ultrasound: a Novel Technique. Tropical Gastroenterology. 2010;
31(3):213–6.

13. Wilson RW, Jang HJ, Kim TK, Burns PN. Diagnosis of Focal Liver
Masses on Ultrasonography: Comparison of Unenhanced and Contrast-
Enhanced Scans. J Ultrasound Med. 2007; 26: 775–87.

14. Czauderna P, Perilongo G. Hepatocellular Carcinoma. 2004 July [cited 2013


March 27]. Available from:
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk- Hepatocellular-carcinoma.pdf.

15. Satir AA. An Update on the Pathogenesis and Pathology of Hepatocellular


Carcinoma. Bahrain Medical Bulletin. 2007; 29 (2). pp 1-8.

16. Ryder SD. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Hepatocellular
Carcinoma (HCC) in Adults. Gut. 2003; 52(Suppl III): iii1–8.

17. Wilson SR, Withers CE. The Liver. In: Rumack CM, Wilson SR, Charboneau
JW, Levine D. Diagnostic Ultrasound Vol. 1. 4th ed. USA. Elsevier Mosby;
2011. pp 78-145.

18. El-Serag HB. Current Concepts Hepatocellular Carcinoma. N Engl J Med.


2011; 365 (12): 1118-27.

19. Ellis H. The Gastrointestinal Adnexae: Liver, Gall-bladder and its Ducts,
Pancreas and Spleen. In: Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for
Students and Junior Doctors. 11th ed. India. Blackwell Publishing; 2006.
Pp 93-101.

20. Kratzer W, Fritz V, Mason RA, Haenle MM, Kaechele V. Factors Affecting
Liver Size, A Sonographic Survey of 2080 Subjects. J Ultrasound Med. 2003;
22: 1155-61.

21. Bates JA. The Normal Hepatobilary System. In: Bates JA. Abdominal
Ultrasound: How, Why and When. 2nd ed. China. Churchill Livingstone;
2004. pp 17-36.

22. Jacobson DR. Hepatocellular Carcinoma Imaging. [updated 2011 May 25;
cited 2013 March 5]. Available from: emedicine.medscape.com/article/
369226-overview# showall.

23. Axelrod DA. Hepatocellular Carcinoma - Workup. [updated 2012 Oct


15; cited 2013 Mar 6]. Available from:
emedicine.medscape.com/article/197319- workup.

34
34
24. Axelrod DA. Hepatocellular Carcinoma - Treatment & Management.
[updated 2012 Oct 15; cited 2013 Mar 6]. Available from: emedicine.
medscape.com/article/197319-treatment.

25. Durand F, Gines P, Saliba F, Fernadez J. Contrast Enhanced Ultrasound


for the Diagnosis of Hepatocellular Carcinoma (HCC): Comments on
AASLD Guidelines. Journal of Hepatolohy. 2012; 57: 921-34.

26. Numata K, Luo W, Morimoto M, Kondo M, Yosuke K, Sasaki T, et al.


Contrast Enhanced Ultrasound of Hepatocellular Carcinoma. World J Radiol.
2010; 2(2): 68-82.

27. Nicolau C, Bru C. Characterisation of Hepatocellular Carcinoma in Cirrhosis.


In: Lencioni R. editor. Enhancing the Role of Ultrasound with Contrast
Agents. Itali. Springer; 2006. pp 39-52.

28. Bruix J, Sherman M. Management of Hepatocellular Carcinoma: An Update.


Hepatology. 2010; 0 (0): 1-35.

29. Skucas J. Liver. In: Skucas J. Advanced Imaging of the Abdomen. United
States of America. Springer-Verlag; 2006. pp 293

35
35
36
36

Anda mungkin juga menyukai