PENDAHULUAN
Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga kanker hati adalah salah
satu kasus penyebab kematian tertinggi akibat kanker.1 HCC merupakan
pertumbuhan sel yang berlangsung secara tidak normal pada bagian hati yang
ditandai dengan meningkatnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan
membelah dan disertai dengan perubahan sel hati menjadi ganas.2
Menurut Depkes RI (2013), prevalensi penyakit kanker secara keseluruhan
pada penduduk tertinggi pada kelompok usia 75 tahun keatas, yaitu sebesar 5% dan
prevalensi terendah pada anak kelompok usia 1-4 tahun dan 5-14 tahun sebesar
0,1%. Kasus HCC yang ditemukan di Indonesia pada usia 50-60 tahun didominasi
pada lakilaki. Perbandingan kasus yang terjadi antara laki-laki dan perempuan
berkisar antara 2-6 : 1. HCC pada laki-laki menempati peringkat kelima dan untuk
perempuan menempati peringkat kesembilan untuk kasus HCC.2
Beberapa faktor penyebab dari Hepatocellular Carcinoma (HCC) dintaranya,
yaitu infeksi virus hepatitis B (HBV), infeksi virus hepatitis C (HCV), sirosis hati,
alfatoksin dan alcohol.3 HCC sering kali tidak dapat terdiagnosis karena gejala
kanker tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronis.
Gejala dari kanker hati juga jarang ditemukan sampai kanker memasuki tahap akhir. 2
Upaya pemenuhan kebutuhan gizi pasien secara optimal, baik berupa
pemberian makanan pada pasien yang dirawat maupun konseling gizi pada pasien
rawat jalan dapat dilakukan dengan proses asuhan gizi. Upaya peningkatan status
gizi dan kesehatan masyarakat merupakan tugas dan tanggung jawab tenaga
kesehatan, khususnya tenaga yang bergerak di bidang gizi. Diperlukan proses asuhan
yang komprehensif yang terstandar. Proses asuhan gizi terstandar dan komprehensif
memerlukan keterlibatan berbagai profesi terkait (dokter, perawat, gizi, farmasis)
sejak mulai assessment, penegakan diagnosis, intervensi, dan monitoring evaluasi
(monev).2
Operasi bisa dapat memberikan keuntungan kepada pasien. Banyak pasien yang tidak
berikan keuntungan dengan diagnosa fase hepatomanya, dan idealnya bisa
disembuhkan dengan transplantasi hati. Secara global hanya sedikit pasien yang
1
2
memiliki akses untuk dapat dilakukan transplantasi, dan di negara yang berkembang
pun, jumlah organ yang sedikit pun juga menjadi faktor permasalahannya. Pada
pasien ini, terapi lokal ablasi, termasuk ablasi dengan radiofrekuensi (RFA),
kemoembolisasi, dan kemoterapi, bisa dapat memperpanjang umur dan didukung
dengan terapi paliative.4
Proses asuhan gizi terdiri dari empat tahap yang berbeda tetapi saling
berhubungan dan terhubung dalam setiap langkah-langkahnya: assessment, diagnosis
gizi, intervensi gizi dan monitoring dan evaluasi gizi.
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui nutrisi yang bisa
diberikan pada kasus hepatoma atau hepatocellular carcinoma. Penulisan makalah
ini juga bertujuan untuk memenuhi persyaratan kegiatan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
1.4. Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
2.2 EPIDEMIOLOGI
2.3 KLASIFIKASI
4
median survival berjarak dari minggu ke beberapa tahun. Perbedaan CLIP dengan
BCLC adalah kurangnya rekomendasi terapi pada CLIP7.
2.4 ETIOLOGI
1. Hepatitis B
sirosis, riwayat keluarga HCC, bertambahnya usia, pria, ras Asia atau Afrika,
kofaktor (seperti alkohol, aflatoksin, dan mungkin merokok), dan durasi pembawa
kanker. Di Asia, HBV ditularkan secara vertikal dari ibu ke bayi di beberapa bulan
pertama kehidupan; di Afrika, HBV ditularkan secara horizontal6,8.
2. Sirhosis hati
HCC sering berkembang pada penderita sirosis hati. Studi
otopsimenunjukkan bahwa 60% hingga 90% dari subyek HBsAg-positif memiliki
sirosis terkait dan 20% hingga 40% pasien dengan sirosis HCC. Studi
menunjukkan bahwa di Taiwan, perkiraan kejadian tahunan HCC adalah 0,005%
pada pasien HBsAg-negatif, 0,25% pada pasien HbsAg positive, dan 2,5% pada
pasien HBsAg-positif dengan hati sirosis (500 kali lebih tinggi daripada pada
pasien HBsAg-negatif). Di Prancis, pengembangan HCC di hadapan pecandu
alkohol Sirosis hampir selalu dikaitkan dengan infeksi HBV, dan alkoholisme
dianggap mempercepat perkembangan HCC. Di Italia, prevalensi HCC pada
pasien dengan sirosis hampir 7%, dengan insiden minyak mentah tahunan sebesar
3%; virus hepatitis C (HCV) infeksi kronis adalah penyebab sirosis di 45% dari
pasien ini. Hubungan yang jelas antara sirosis yang diinduksi alkohol dan HCC
ada; hubungan antara alkohol dan HCC dalam ketiadaan Sirosis kurang jelas8.
3. Infeksi HCV
Infeksi HCV merupakan faktor risiko untuk perkembangan hepatoma.
Ternyata, HCV menginduksi sirosis dan sedikit mengalami peningkatan risiko
hepatoma pada pasien dengan sirosis. Infeksi HCV bertindak independen dari
infeksi HBV, penyalahgunaan alkohol, usia, dan jenis kelamin. Rasio faktor risiko
untuk hepatoma pada pasien dengan penyakit hati kronis, berubah pada usia, jenis
kelamin, dan faktor lainnya seperti.8
Risk ratio (RR) 6-7 kali lipat: usia, 60 – 69 tahun; HbsAg positif
Risk ratio 4 kali lipat: anti-HbcAb tinggi, anti-HCV positif
Risk ratio dua kali lipat: kehadiran sirosis hati, merokok.
4. Aflatoksin
7
3. Sirosis Hati (faktor risiko utama dengan lebih dari 80% kasus HCC).
4. Aflatoksin yang diproduksi jamur Aspergillus.
5. Obesitas.
6. Diabetes Melitus.
7. Konsumsi alkohol berlebihan.
8. Faktor risiko lainnya namun jarang ditemukan antara lain: penyakit hati
autoimun (hepatitis autoimun, PBC/sirosis bilier primer), penyakit hati
metabolik (hemokromatosis genetik, defisiensi antitripsin-alfa1. Penyakit
Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast, vinil klorida,
nitrosamin, insektisida organoklorin, asam tanik), dan tembakau.
2.5 PATOGENESIS
karena adanya ascites (penumpukan cairan dalam rongga perut), mual, tidak bisa
tidur, nyeri otot, berak hitam, bengkak pada kaki, demam, dan lain-lain.10
2.7 DIAGNOSIS
3. Pemeriksaan penunjang
10
a. Alpha-Fetoprotein (AFP)
Alpha-Fetoprotein (AFP) adalah penanda kanker yang dapat meningkat
60-70% pada pasien Hepatocellular Carcinoma (HCC). AFP dapat
diketahui melalui tes darah. Level normal dari AFP adalah 10ng/ml. Pasien
yang mengalami peningkatan AFP harus melakukan USG perut, CT-Scan
ataupun MRI untuk mengetahui HCC, terutama jika sudah memasuki
tingkatan dasar dari HCC.
b. Diagnosis Radiografi
Akurasi yang dihasilkan dari USG, CT, MRI dan angiography tergantung
dari jumlah variabel. Dibutuhkan keahlian operator (terutama untuk USG),
peralatan yang canggih, adanya sirosis, dan yang terpenting pengalaman
operator. Untuk kanker dengan ukuran yang kecil (<2 cm), akurasi
berkisar antara 60-80%. Akurasi dapat meningkat secara signifikan dengan
adanya pembesaran ukuran kanker, yang akhirnya mencapai 100% dengan
ukuran kanker yang sangat besar.
c. Biopsi Liver
Biopsi dapat dilakukan apabila diagnosis dianggap meragukan. Jika AFP
meningkat secara signifikan dan terlihat adanya kanker didalam hati, maka
dapat di asumsikan sebagai diagnosis dari Hepatocellular Carcinoma
(HCC) dan tidak disarankan untuk melakukan biopsi.
2.7 KOMPLIKASI
fungsi, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan
sirkulasi darah. Sindrom ini mempunyai tingkat kematian yang tinggi.11
2.8 PENATALAKSANAAN
A. Tatalaksana nonformakologi
Tatalaksana Nutrisi
Tujuan terapi gizi pada pasien kanker antara lain untuk mempertahankan
atau memperbaiki status nutrisi, mempertahankan atau meningkatkan berat
badan, memberikan asupan zat gizi makro dan mikro yang adekuat, mencegah
gejala klinis yang berhubungan dengan pengobatan, serta mempertahankan
atau meningkatkan kapasitas fungsional serta kualitas hidup pasien.12
Berdasarkan rekomendasi European Society for Parenteral and Enteral
Nutrition (ESPEN), terapi nutrisi sebaiknya diberikan pada pasien dengan
kondisi malnutrisi, serta yang tidak dapat makan selama lebih atau sama
dengan 7 hari, serta tidak dapat mempertahankan asupan per oral >60% dari
yang direkomendasikan selama lebih dari 10 hari. Terapi nutrisi perioperatif
selama 10–14 hari sebelum pembedahan mayor akan bermanfaat untuk
diberikan pada pasien dengan risiko terjadinya malnutrisi berat. Selain itu
pemberian nutrisi parenteral dapat dipertimbangkan pada pasien yang
membutuhkan dukungan terapi nutrisi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan
energinya (< 60% KET) melalui nutrisi enteral.13
Untuk menentukan terapi nutrisi ini tidak mudah, menurut ESPEN,
kalorimeter indirek adalah gold standard method untuk menghitung kebutuhan
energi pada pasien kanker, namun kalori indirek tidak selalu tersedia. Jika tidak
tersedia, dapat menggunakan perhitungan dengan metode Harris-Benedict.13
Kebutuhan kalori pada pasien karsinoma meningkat sesuai dengan stress
metabolisme berat yaitu sebesar 150–200% kebutuhan basal. Perhitungan
kebutuhan juga dapat menggunakan rule of thumb, kebutuhan energi total pada
pasien non obese (berdasar berat badan aktual), maka pada pasien ambulatory
12
Nutrien spesifik
Suplementasi asam lemak omega 3 dapat membantu menstabilkan berat
badan penderita kanker dan yang mengalami penurunan berat badan yang
progresif dan tanpa disadari. Selain itu pemberian asam lemak omega-3 yaitu
eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) dapat
berkompetisi dengan asam arakhidonat yang merupakan prekursor berbagai
mediator inflamasi sehingga pemberian asam lemak omega-3 dapat menurunkan
inflamasi pada pasien.33 Dosis yang direkomendasikan adalah 2 g EPA/hari,
berupa suplemen atau nutrisi yang diperkaya EPA. 12
EPA dapat meningkatkan nafsu makan dan berat badan, meningkatkan
kualitas hidup, dan menurunkan morbiditas pasca operasi. Pemberian nutrisi yang
diperkaya EPA memiliki toleransi yang lebih baik dibanding kapsul minyak ikan.
Dua gram EPA dapat diperoleh dari beberapa sumber: 8–11 kapsul minyak ikan
(180 mg EPA/kapsul); dan 300–400 g minyak ikan (8–10 ekor ikan kembung atau
ikan tenggiri). Contoh dari minyak ikan yang banyak mengandung omega 3 (EPA
dan DHA) termasuk: mackerel (ikan kembung, tenggiri) mengandung 1450 mg
omega 3/55 g, salmon mengandung 930 mg omega 3/55 g. 12
B. Tatalakaksana farmakologi
15
Gambar 2.5 Klasifikasi Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) dan jadwal pengelolaan. PST
adalah Tes Status Performan; CLT/LDLT, transplantasi hati cadaver/transplantasi hati dengan
donor hidup; PEI/RF, injeksi ethanol perkutan/ablasi termal radiofrekuensi; ttc, terapi; yr,
tahun.
16
2.9 PENCEGAHAN
17
2.10 PROGNOSIS
Sebagian besar kasus HCC berprognosis buruk karena tumor yang
besar/ganda dan penyakit hati yang lanjut serta ketiadaan atau ketidakmampuan
penerapan terapi yang berpotensi kuratif (reseksi, transplantasi dan PEI). USG
abdomen secara periodik merupakan cara terbaik untuk surveilans HCC, namun
belum jelas pengaruh surveilans terhadap mortalitas spesifik penyakit. Stadium
tumor, kondisi umum kesehatan, fungsi hati dan intervensi spesifik memengaruhi
prognosis pasien HCC. Pada kelompok kasus terseleksi, cangkok hati
menghasilkan kesintasan lebih baik daripada reseksi hepatik maupun PEI. Satu-
satunya terapi paliatif yang terbukti mampu meningkatkan harapan hidup pasien
HCC stadium menengah lanjut adalaah TACE.5
13
1. Obayya, M.I.M., Areed, N.F.F. & Abdulhadi, A.O. 2016. Liver cancer
identification using adaptive neuro-fuzzy inference system. International
Journal of Computer Application (0975-8887) 140(8):1-6.
2. Butar-Butar, A.M.C. Prevalensi karsinoma hepatoselular di rumah sakit haji
adam malik Medan pada tahun 2009-2012. Skripsi : Universitas Sumatera
Utara. 2013.
3. Gurakar, A., Hamilton, J.P., Koteish, A., Li, Z., & Mezey, E. 2013.
Hepatocellular carcinoma (Liver Cancer): Introduction. Maryland.
4. Elwood D, Pomposelli JJ. Hepatobiliary Surgery: Lessons Learned From Live
Donor Hepatectomy. Surg. Clin North Am. 2006. 86(5): 1207-1217, vii.
5. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
6. Longo, et all, “Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition”,
McGraw-Hill Company, 2012.
7. Burkhart, R.A., Pawlik, T.M., 2017, “Staging dan Prognostic Models for
Hepatocellular Carcinoma dan Intrahepatic Cholangiocarcinoma”, Cancer
Control, Vol. 24, No.3, pp 1-11.
8. Chmielowski, B., Territi, M., “Manuals of Clinical Oncology 8th edition”,
Wolters-Kluwer, 2017.
9. Ho, D.W., Lo, R.C., Chan, L., et all, 2016, “Molecular Pathogenesis of
Hepatocellular Carcinoma”, Vol. 5, pp 290-302.
10. Naibaho, S., Retraubun, S.A.E., Santoso, M., et all, 2010, “Problematika
Diagnosis Karsinoma Hepatoseluler”, Jurnal Kedokteran Meditek, Vol.16,
No.42A, pp 41-44
11. Naibaho S, Retraubun SAE, Santoso M, Ndraha S, Tendean M. Problematika
Diagnosis Karsinoma Hepatoselular. J Kedotek Meditek Jan-Apr
2010:16(42A):41-4.
12. Toding, P. Serial kasus: Tatalaksana Nutri Pada Pasien Karsinoma
Hepatoselular. 2014. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Weimann A, Braga M, Harsanyl L, Laviano A, Ljungqvist O, Soeters P, dkk.
ESPEN guidelines on enteral nutrition: Surgery including organ
transplantation. Clinical Nutrition 2006;25:224-44.
14