Anda di halaman 1dari 15

TUGAS INDIVIDU

Efusi Pleura Infeksi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

HALAMAN JUDU L

Disusun Oleh :

Nita Dewi Novitasari J510170052


Nurhayati J510170062

Pembimbing oleh :
dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes
dr. Nia Marina Premesti, Sp.P, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Ir. SOEKARNO SUKOHARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS INDIVIDU

Efusi Pleura Infeksi

Yang diajukan oleh :

Nita Dewi Novitasari J510170052


Nurhayati J510170062

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing Ilmu Kesehatan Paru Bagian Program
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Nuhannadiyah Surakarta :

Pembimbing

Nama : dr. Ratna Lusiawati, Sp.P, M.Kes (…………………….)


Nama : dr. Nia Marina Premesti, Sp.P, M.Kes (…………………….)

Penguji
Nama : dr. Nia Marina Premesti, Sp.P, M.Kes (…………………….)
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global


dengan perkiraan 1,4 juta kematian dan 8,7 juta kasus baru pertahun yang
dilaporkan pada tahun 2011. TB paru sering bermanifestasi ke organ-organ lain
selain paru. Manifestasi ke pleura berupa pleuritis TB atau efusi pleura TB
merupakan salah satu manifestasi TB ekstra paru sekitar 15% kasus, angka
kejadian meningkat sekitar 50% pada daerah dengan prevalensi HIV yang
tinggi. Mendiagnosis TB pleura masih sulit karena membutuhkan tindakan
diagnosik yang invasif, mahal, dan waktu yang lama, seperti biopsi pleura, usg
guiding biopsi pleura, dan operasi

torakoskopi.

Efusi pleura TB hampir selalu eksudat. Diagnosis efusi pleura


TB ditegakkan dengan menemukan basil Microbacterium tuberculosis
(M.Tb) pada cairan pleura dan gambaran granuloma pada spesimen biopsi
pleura. Tetapi menemukan basil M.Tb pada cairan pleura untuk pemeriksaan
basil tahan asam positif sekitar < 5% dari kasus pleuritis TB. Sedangkan kultur
M.Tb cairan pleura juga memiliki sensitivitas yang rendah sekitar 24-58%,
dan memerlukan waktu sampai 8 minggu untuk pertumbuhan M.Tb pada
media. Pemeriksaan histologi pada spesimen biopsi pleura dilaporkan
sensitivitas sekitar 71-80%, tetapi tindakan ini invasif, mempunyai
komplikasi, dan membutuhkan keahlian untuk membuktikan TB pleura.
Pada tes GeneXpert MTB/RIF menggunakan cairan
pleura dengan sensitivitas sekitar 22,5% dan spesifisitas 98%.
BAB II

LANDASAN TEORI

Efusi Pleura

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan


cairan dalam rongga pleura. Selain cairan dapat juga terjadi penumpukkan
pus atau darah. Efusi pleura bukanlah suatu penyakit melainkan manifestasi
dari berbagai macam penyakit. Dalam keadaan normal cairan masuk ke
dalam rongga pleura dari kapiler–kapiler di pleura parietal dan diserap melalui
pembuluh limfe yang berada di pleura viseral. Cairan juga bisa masuk ke
rongga pleura melalui rongga intersisial paru melalui pleura viseral atau dari
rongga peritonium melalui celah sempit yang ada di diafragma. Berdasarkan
jenis cairannya efusi pleura dibagi menjadi efusi pleura transudat dan efusi
pleura eksudat. Efusi pleura transudat terjadi apabila faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan, sedangkan efusi pleura
eksudat terjadi apabila faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan
penyerapan cairan. Dari keduanya, efusi pleura eksudat lebih sering ditemukan,
dan penyebab utama efusi pleura eksudat adalah infeksi bakteri, infeksi jamur,
infeksi virus, keganasan dan emboli paru. Di

Indonesia TB adalah penyebab utama efusi pleura, diikuti oleh keganasan.


Efusi Pleura TB

Efusi pleura TB adalah penumpukan cairan dalam rongga pleura


karena infeksi M.Tb. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa
setiap efusi pleura yang eksudatif harus dicurigai sebagai efusi pleura TB.
Dalam penelitian Amerika Serikat tahun 2003, efusi pleura TB adalah
penyebab ketiga terbanyak terjadinya efusi pleura masif (12%), setelah
keganasan (55%), pneumonia (22%) dan merupakan salah satu manifestasi
ekstra paru tersering pada pasien TB paru

setelah limfadenitis.

Epidemiologi Efusi Pleura TB

Persentase pasien efusi pleura TB sangat bervariasi dari beberapa


negara. Di Burundi lebih dari 25% pasien dengan TB memiliki efusi pleura TB,
sementara di Afrika Selatan 20% dari pasien TB memiliki efusi pleura TB.
Sebaliknya hanya

3-5% dari pasien di Amerika Serikat dilaporkan memiliki efusi pleura


TB. Persentase rendah di Amerika Serikat karena kurangnya pelaporan
penyakit ini, dan juga kultur cairan pleura yang sering negatif. Pleuritis TB
karena reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pasien dengan immunokompromais
lebih mungkin untuk menderita TB dan efusi pleura TB dibandingkan dengan
pasien dengan non- immunokompromais. Persentase pasien dengan TB paru
yang memiliki efusi pleura lebih tinggi pada pasien HIV-positif dibandingkan
pasien HIV-negatif pada laporan dari Afrika Selatan (38% vs 20%), Uganda
(23% vs 11%), dan Zimbabwe

(27% vs 13%)
Imumunopatogenesis TB

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Melalui inhalasi droplet nuclei yang mengandung kuman TB, kuman masuk
saluran napas hingga mencapai paru. Saat terinhalasi kuman terperangka p
dalam mukosa saluran napas, trakea dan bronkus, dan tubuh berusaha
mengeliminasi kuman tersebut melalui sistem pertahanan mekanik. Akan
tetapi oleh karena ukuran partikel droplet yang kecil, kurang dari 5µm.
Partikel droplet dapat melewati sistem pertahanan ini dan mencapai saluran
napas bawah, terutama di alveoli. Di alveoli, kuman TB akan difagositosis oleh
neutrofil dan makrofag alveolar. Proses selanjutnya dipengaruhi oleh
patogenesitas atau virulensi dari kuman TB serta kemampuan sel tubuh
menggeliminasinya. Pada sebagian besar kasus, kuman TB

berhasil dihancurkan oleh makrofag alveolar melalui proses fagositosis.

Makrofag alveolar adalah lini pertahanan pertama melawan infeksi


basil TB, pada sebagian kecil kasus makrofag alveolar tidak mampu
menahan pertumbuhan bakteri, basil akan hidup dan bereplikasi didalam
makrofag dan menyebabkan makrofag yang terinfeksi menjadi lisis. Makrofag
yang terinfeksi akan melepaskan sitokin-sitokin inflamasi. Kemudian respon
proinflamasi lokal terbentuk melalui Toll like receptor agonist yang
mengelilingi permukaan bakteri. Sel Natural Killer (sel NK) merupakan sel
yang penting yang tiba ditempat infeksi pertama sebelum kemudian disusul
oleh populasi sel limfosit T yang memproduksi IFN-γ dan TNF-α dan kemokin
inflamasi diproduksi oleh makrofag yang terinfeksi akan merekrut sel-sel
darah putih dan melanjutkan serangkaian peristiwa imunologis ditempat
tersebut. Sementara kuman TB dalam makrofag terus berkembang biak dan
membentuk koloni ditempat tersebut. Secara bersama -
sama, sel-sel ini memulai kaskade proses yang diperantai kemokin dan
sitokin yang menarik makrofag dan sel T bergerak menuju ke tempat infeksi
terjadi. Kemudian terjadi eksudat plasma dan pembentukan bekuan. agregasi
makrofag

membentuk formasi awal dari inti granuloma.

Granuloma merupakan petanda dari penyakit TB, granuloma dibentuk


oleh kumpulan fagosit mononuclear (MN) dan sel T pada tempat replikasi
bakteri dengan makrofag yang terinfeksi berada ditengahnya. Makrofag yang
terinfeksi berdifferensiasi ke dalam berbagai bentuk mulai dari makrofag
jaringan, sel epiteloid dan sel raksasa yang dikenal sebagai sel datia
Langhan’s. Sel T yang diaktivasi mengeluarkan berbagai macam sitokin
untuk mengendalikan basil TB dan mengaktifkan sel limfosit T sitotoksik.
Karakteristik granuloma TB adalah pada pusatnya terdapat jaringan nekrotik,
sel-sel debris, dan basil TB yang telah mati. Basil TB ditemukan pada zona
antara pusat nektorik dan dinding dari granuloma. Makrofag secara
metabolik aktif mengkonsumsi oksigen yang ada

sehingga daerah granuloma menjadi anoksik dan nekrotik.

Gambar.2.1 Interaksi M. Tb dengan sistem imun tubuh


Patogenesis Efusi Pleura TB

TB pleura terjadi akibat dari antigen TB memasuki rongga


pleura, biasanya melalui pecahnya fokus subpleural dan terjadi interaksi
dengan limfosit yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Limfosit akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas dari kapiler pleura terhadap protein yang akan
menghasilkan cairan pleura. Sel T helper tipe 1 (Th 1) subset
memperantarai limfosit dalam memberikan respon terhadap infeksi M.Tb.
Efusi pleura ini dapat terjadi setelah infeksi primer atau reaktivasi TB yang
mungkin terjadi jika penderita mengalami imunitas rendah, dan juga tidak
melibatkan basil yang masuk ke rongga pleura.

Biomarker Diagnostik Efusi Pleura TB

Biomarker merupakan karakteristik yang obyektif yang dapat diukur


dan dievaluasi sebagai indikator normal proses fisiologis atau patologis
untuk intervensi terapeutik. Biomarker TB spesifik memberikan informasi
prognostik, baik untuk individu atau untuk penelitian, status kesehatan dan dapat
memajukan pengetahuan tentang patogenesis penyakit dalam memprediksi
reaktivasi dan kesembuhan. Sitokin dan kemokin, sebagai molekul kunci yang
mengatur respon imun yang telah dipelajari secara ekstensif dalam kaitannya
sebagai biomarker diagnostik dan prognostik tuberkulosis.

Sitokin dan kemokin adalah molekul protein kecil yang mengatur


respon imun pada tingkat sel. Mereka merangsang dan merekrut berbagai
sel yang terlibat dalam sistem imun dan inflamasi. Salah satu sitokin
seperti IFN-γ
berperan pada infeksi TB. Beberapa kemokin memiliki peran untuk
merespon sinyal spesifik penting untuk pematangan sel dan penarik leukosit
dari darah ke tempat infeksi.

Beberapa tes yang telah dikembangkan berguna dalam mendiagnosis

pleuritis TB, yaitu enzim Adenosin Deaminase (ADA), reseptor interleukin-


2 (sIL-2R), Polimerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA
mikrobakterium, dan sitokin interferon gamma (IFN-γ) yang dapat dilihat
pada tabel 1.

Tabel.2.1 Tes baru dan biomarker untuk diagnosis efusi


pleura TB

ADA: adenosine deaminase; IFN: interferon; IL: interleukin; TNF: tumour


necrosis factor; ESAT:early secreted antigenic target; CFP: culture filtrate
protein; NAAT: nucleic acid amplification test; TB: tuberculosis; TBGL:
tuberculous glycolipid
Efusi Pleura karena Pneumonia

Efusi pleura pneumonia dapat terjadi pada fase eksudat, karena terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler pleura akibat respon inflamasi. Hal ini
menyebabkan transfer cairan intersisial melewati pleura visceral. Sitokin
proinflamasi termasuk interleukin (IL) 6, IL 8 dan tumor necrosis factor (TNF)
ά menyebabkan perubahan bentuk anatomi sel mesotelial pleura yang
membuat gaps interselular yang selanjutnya merubah permeabilitas dan
menambah akumulasi cairan pleura. Efusi pleura pada pneumonia mempunyai
karakteristik cairan pleura dengan glukosa >40 mg/dL dan pH >7,2, dan
tanpa ditemukan bakteri pada pemeriksaan mikrobiologi, fase ini juga
disebut sebagai simple parapneumonia efusi.
DAFTAR PUSTAKA

1. M Richard, P Jonny et al, Comparison of same day diagnostic tools


including Gene Xpert and unstimulated IFN -γ for the evaluation of pleural
tuberculosis: a prospective cohort study, BMC Pulmonary Medicine;
p.2014: 1-10.

2. A. Trajman, M. Pai et al, Novel tests for diagnosing tuberculous pleural


effusion: what works and what does not?, Eur Respir Journal;2008; 31:p.

1098–1106.

3. M Losi, A Bossink et al, Use of a T-cell interferon-c release assay for the
diagnosis of tuberculous pleurisy, Eur Respir Journal 2007; 30: p.1173–79.

4. S.Febrianti, ZS Priyanti. Diagnosis dan penata laksanaan Efusi pleura


Tuberkulosis dalam Jurnal Respirologi Indonesia , Vol 17 no 4; 1997:p.

206-209.

5. Light RW , Clinical manifestations and useful tests, Pleural Diseases, Ed

5th; 2007: 7: p.74-80.

6. Hariadi S, Efusi pleura, dalam : Wibisono MJ, Winariani, Hariadi S

editors. Buku ajar ilmu penyakit paru FK Unair; 2010:hal.111-19

7. Light RW, Update on Tuberculous Pleural Effusion, Invited Review

Series: Tuberculosis, Respirology; 2010.15; p. 451-8.

8. G Arun, Sethu M et al, Diagnosis and Treatment of Tuberculous Pleural

Effusion in 2006 ,Chest Journal; 2007;131; p.880-89.

9. J Ferrer, Pleural Tuberculosis, Eur Respir Journal; 1997; 10:p.942–47

10. V Villena, A Lopez-Encuentra et al, Interferon-γ in 388


immunocompromised and immunocompetent patients for diagnosing
pleural tuberculosis, Eur Respir J; 1996: 9:p.2635–39.

11. Rahajoe NN,Setyanto DB, Patogenesis dan perjalanan alamiah infeksi


tuberculosis, dalam : Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, eds. Buku
ajar respirologi anak, Edisi I, Badan penerbit IDAI, Jakarta; 2008: hal.169-

77.
12. Dheda K, Booth H, Hugget JF et al, Lung remodeling in Pulmonary

Tuberculosis, The journal of infect dis, 2005; 192: p.1201-10.

13. Pieters J, Mycobacterium tuberculosis and the macrophage: maintaining a


balance. Cell Host and Microbe-Elsevier, 2008; 10: p.399-406.
14. Zuniga J, Garcia DT et al, Cellular and humoral mechanim involved in the
control of tuberculosis. Clinical and developmental immunology, 2012:
p.1-18.

15. Harding C. Regulation of antigen presentation by Mycobacterium


tuberculosis : a role for Toll-like receptors. Nature reviews
microbiology,2010 ; 8 (3):p.296-307.

16. Rubin EJ, The granuloma in tuberculosis, Eng J Med; 2009: 360
(23):p.2471-73.

17. Ramakrishnan L, Revisiting the role of the granuloma in tuberculosis.

Nature Immunol J; 2012:12:p.352-66.

18. F Wolfgang, Tuberculous Pleural Effusion, Intech Journal; 2013: 14:

p.267-87.

Anda mungkin juga menyukai