Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN HERNIOPLASTY


PADA PASIEN HERNIA INGUINALIS LATERALIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Damay Suri, Sp.An

Diajukan Oleh:
Wilda Al Aluf Riandini
J510170041

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT
REGIONAL ANASTESI PADA TINDAKAN HERNIOPLASTY
PADA PASIEN HERNIA INGUINALIS LATERALIS

Diajukan Oleh :
Wilda Al Aluf Riandini
J510170041

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari

Pembimbing :
dr. Damay Suri, Sp.An (..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Damay Suri, Sp.An (..................................)
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp.W
No.RM : 36.XX.XX
Jenis Kelamin : Laki laki
Masuk Tgl : 24-10- 2017
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Alamat : Karangannyar
Dokter Anestesi : dr. Damay Suri, Sp.An
Dokter Operator : dr. Bakri, Sp.B
II. Anamnesa :
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang tunggu kamar
operasi RSUD Karanganyar pada tanggal 25-10- 2017
 Keluhan Utama : benjolan di pangkal paha
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Telah datang seorang pasien perempuan bernama S, ke bangsal bedah di
RSUD Karangannyar pada tanggal 24 Oktober 2017 dengan keluhan
utama adanya benjolan pada pangkal paha. Benjolan tersebut sudah
dirasakan ada sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Pasien mengaku
tidak merasakan nyeri pada benjolan tersebut, ketika benjolan ditekan
juga tidak ada nyeri yang timbul. Oleh dr. B, pasien dikatakan
mengalami Hernia inguinalis Lateralis sehingga pasien setuju dilakukan
tindakan operasi Hernioplasty yaitu prosedur bedah untuk mendorong
organ tubuh ke posisi semula dan menambahkan bahan sintetis untuk
menyangga organ tersebut, tindakan operasi ini dilakukan pada tanggal
25 Oktober 2017.
 Anamnesis Sistemik
Neuro : Sensasi nyeri baik, gemetaran (-), sulit tidur (-)
Kardio : Nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-)
Pulmo : Sesak napas (-), batuk lama (-)
Abdomen : Diare (-), konstipasi (-), nyeri perut kanan bawah (-)
Urologi : BAK (+) dan BAB(+), panas (-)
Muskolo : Nyeri (-)

III. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
b. Riwayat Alergi : disangkal
c. Riwayat Asma : disangkal
d. Riwayat Mondok : disangkal
e. Riwayat Hipertensi : disangkal
f. Riwayat Diabetes : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : disangkal

IV. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Alergi : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat Diabetes : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal

V. Riwayat Operasi dan Anastesi


Disangkal

VI. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Fisik
1) Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign : - Tekanan darah : 120/90 mmHg
- Frekuensi Nafas : 20 x/ menit
- Frekuensi Nadi : 94x/ menit
- Suhu : 36,5 o C
Kepala : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
dipsneu ( -),
Hidung : Deviasi (-), hidung tersumbat (+), nyeri pada
hidung (+), pernapasan cuping hidung (-)
Leher : Retraksi supra sterna (-), peningkatan JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
Thorax : Retraksi (-)
Paru I: Pengembangan dada kanan = kiri

P: Fremitus raba kanan = kiri

P: Sonor-sonor

A: Suara dasar: vesikuler +/+, Suara tambahan : -/-

Jantung I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis tidak kuat angkat

P : Batas jantung kesan tidak melebar

A: BJ I-II intensitas normal,reguler, bising(-)

a. Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak teraba


2) Status Lokalis
Ditemukan benjolan di inguinalis dextra
Pemeriksaan penunjang

1. Rontgent
Cor dan pulmo dalam batas normal
Arcus aorta normal
Dinding arcus aorta normal
Struktur dan bentuk tulang normal
Kesan : thorax dalam batas normal
2. Laboratorium
Darah Rutin Nilai Nilai normal satuan
Hb 14,5 12.00 – 16.00 g/dL
Ht 43,9 37 – 47 Vol%
Leukosit 7,23 5,0 – 10,0 10^3/uL
Trombosit 269 150 – 300 mm3
Eritrosit 4,88 4,50 – 5,50 10^6/uL
MCV 89,9 82 – 92 fL
MCH 29,7 27 – 31 Pg
MCHC 33,1 32-37 g/dL
Neutrofil 75,6 50-70,0 %
Limfosit 19,8 25,0– 40,0 %
Monosit 2,9 3,0 – 9,0 %
Eosinofil 1,5 0 ,5–5,0 %
Basofil 0,01 0,0-1,0 %
Clotting Time 04,00 2-8 Menit
Bleeding Time 01,30 1-3 menit
GDS 102 70 – 150 mg/dL
creatinin 1,22 0,5-0,9 mg/dL
ureum 64 10-50 mg/dL
HbsAg NR NR

Kesan hasil laboratorium : dalam batas normal


3. Elektokardiografi (EKG)
Kesan: EKG dalam batas normal
VII. DIAGNOSIS
Hernia Inguinalis Lateralis Dextra
VIII. TERAPI
Pro Operasi Hernioplasty

IX. KONSUL ANESTESI


Seorang Laki laki usia 48 tahun dengan diagnosis hernia INGUINALIS
lateralis dextra yang akan dilakukan tindakan operasi hernioplasty pada
tanggal 25 Oktober 2017.
Kegawatan Bedah : (-)
Derajat ASA : II
Rencana tindakan anestesi : Regional anastesi
BAB II
LAPORAN ANASTESI

Nama : Bp.W
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 48 tahun
No RM : 36.xx.xx
Diagnosa pra bedah : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra
A. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis ( + )
b. Puasa ≥ 6 jam
2. Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Subarachnoid Block)
3. Premedikasi : - Ondansetron 3mg iv
-Ranitidin 50 mg iv
4. Cairan : Infus Fimahes 500 ml, Infus tutofusin 500cc
5. Monitoring : Tanda vital selama operasi tiap 5 menit,
6. Perawatan pasca anestesi di ruang pulih sadar/ruang pindah
B. Tindakan Anestesi
1. Di ruang persiapan
a. Cek persetujuan operasi dan identitas penderita
b. Pasien dipastikan sudah menggunakan pakaian operasi
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital
d. Lama puasa ≥ 6 jam
e. Cek obat dan alat anestesi
f. Posisi terlentang
2. Di ruang operasi
a. Jam 09.15 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang, TD
150/95 mmHg, HR : 85x/m, Saturasi Oksigen : 100% . Obat premedikasi
dimasukan melalui IV line.
- Ondansetron 3mg iv
- Ranitidin 25mg/ml (2ml)
b. Jam 09.30 dilakukan regional anastesi dengan Bupivakain. Setelah pasien
merasakan kedua kaki seperti kesemutan dan tak mampu lagi mengangkat
kedua kaki maka tindakan operasi siap dimulai. Infus RL diganti dengan
HES.
c. Jam 09.40 operasi dimulai dan tanda vital serta saturasi oksigen dimonitor
tiap 5 menit.
d. Jam 10.10 infus HES diganti Tuthofusion 30tpm
e. Jam 10.30 operasi selesai pasien dipindah ke ruang recovery.

Teknik Anestesi
1. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan duduk fleksi dengan
posisi kaki lurus tangan memegang lutut dan dagu menempel ke dada.
2. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang
menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4
atau L4-L5.
3. Mensterilkan tempat tusukan dengan povidon iodine dan alkohol .
4. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada
bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal kearah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter, dan
lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut, sehingga cairan
serebrospinal akan keluar. Obat anastetik (Bupivacaine 20mg/4ml)
yang telah disiapkan disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.
5. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine (terlentang) dan
pasien ditanya apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit
untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri
kepala, dan sesak.
6. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas normal.
Monitoring Selama Anestesi.
Jam Tensi Nadi SaO2 Keterangan

09.15 150/95 84 100% Masuk ruang operasi, infuse RL 300cc, obat


premedikasi dimasukan melalui IV line

09.30 132/89 84 100% Regional anastesi dimulai, Infus RL diganti


dengan HES

09.40 130/90 88 97% Operasi dimulai

09.45 135/90 80 99% Kondisi pasien stabil

09.50 130/80 87 99% Kondisi pasien stabil

09.55 136/82 85 99% Kondisi pasien stabil

10.00 134/82 84 99% Kondisi Pasien stabil

10.05 136/80 86 99% Kondisi Pasien stabil

10.10 140/87 84 98% Kondisi Pasien stabil, Infus HES diganti dengan
Tutofusin

10.15 143/85 87 98% Kondisi Pasien stabil

10.20 144/87 80 99% Kondisi Pasien stabil

10.25 136/81 81 98% Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang


recovery

Intake Cairan :

i. RL
ii. HES
iii. Tuthofusion
1. Recovery Room
Setelah operasi selesai di pindahkan ke ruang pemulihan atau recovery
room . Pasien masuk Ruang RR pukul 10.30 dalam posisi supine
(terlentang). Pasien masih sadar dan ada refleks setelah operasi. Pasien
diperbolehkan pindah ruang (keluar dari ruangan operasi) bila Aldrete
score > 8 .
2. Intruksi pasca anestesi

Pasien dirawat di ruang pindah dalam posisi supine. Setelah


pemulihan pasca anestesi pasien di rawat di bangsal
 Kontrol vital sign jika TD < 100 mmHg, infus dipercepat, beri
efedrin.
 Bila muntah diberikan ondansetron dan bila kesakitan diberikan
analgesik. Bila nyeri bertambah, konsultasi ke bagian anestesi.
 Bila tidak ada mual, tidak ada muntah, bising usus (+), boleh diberi
makan dan minum secara bertahap.
 Infus RL 20 tpm
 Lain – lain
- Antibiotik
- Analgesik
- Puasa sampai dengan flatus
- Monitor vital sign

C. Aldrete Score
Pasien dapat keluar dari RR apabila sudah mencapai skor Aldrete
>8(delapan).
Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 1
3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2
2. Sesak atau pernafasan terbatas 1
3. Henti nafas 0
Tekanan darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
2. Berubah 20-50% dari pra bedah 1
3. Berubah > 50% dari pra bedah 0
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik 2
2. Sadar setelah dipanggil 1
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0
Warna kulit 1. Kemerahan 2
2. Pucat agak suram 1
3. Sianosis 0
Nilai Total

Sedangkan pada pasien , didapatkan skornya 9. Skor 9 didapatkan


dari
1. Dapat menggerakkan kedua ekstremitas (1)
2. Bernapas dalam dan kuat (2)
3. Tekanan darah sama dengan awal +20% (2)
4. Kesadaran sadar penuh (2)
5. warna kulit merah (2)
Dengan skor 9 ini, pasien telah dapat dipindahkan dari ruang
recovery ke bangsal di RSUD Karanganyar sebelum dapat pulang ke
rumah.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

REGIONAL ANESTESIA
1. Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh
sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian
tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.

Aanstesi lokal semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat


berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif murah, pengaruh
sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah
respons stress secara lebih sempurna.

2. Persiapan Regional Anestesi


Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah → kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk
mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa dilanjutkan dg
anestesi umum.
3. Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan
serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
 Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan

 Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

 Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat
isobarik, dosis 20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat
jenis 1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat
isobarik, dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis
1.027, sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml).

 Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan
pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya
tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar
processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista


iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di
atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu
jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam
kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika
menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel)
harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal
dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat
dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit,
hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau yakin
ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar,
putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan kateter.
5. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya
bedah hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-
ligamentum flavum dewasa ± 6cm.

 Komplikasi pasca tindakan


1. Komplikasi Lokal
- Timbul hematom  apabila saat penyuntikan
terkena pembuluh darah yang cukup besar, atau
apabila penderita ada gangguan pembekuan
darah dan bila hematom menjadi infeksi akan
membentuk abses
2. Komplikasi Sistemik
Komplikasi sistemik dapat disebabkan oleh overdosis,
hiperabsorbsi, hipersensitif, intravasasi
Gejala komplikasi sitemik :
a. Susunan saraf pusat
- Korteks serebri : manifestasinya dapat berupa
stimulasi maupun depresi. Gejala stimulasi
dapat berupa gelisah, agitasi, kejang. Sedangkan
gejala depresi dapat berupa kantuk, lemas,
kesadaran yang menurun.
- Medulla : pada stimulasi pusat kardiovaskuler
manifestasinya dapat berupa hipertensi dan
takikardi, jika hal ini terjadi dapat dilakukan
oksigenasi dan pemberian obat penghambat beta
seperti panolol. Bila mengalami depresi pusat
kardiovaskuler akan tampak gejala hipotensi dan
bradikardi. Stimulasi pada sistem respirasi akan
nampak berupa hiperventilasi yang bila
berlebihan memerlukan obat pethidin atau
morfin. Bila pusat respirasi mengalami depresi
maka dapat terjadi hipoventilasi, maka tindakan
yang tepat adalah memberi bantuan nafas dan
oksigenasi. Stimulasi pada pusat munth akan
menyebabkan muntah,
b. Efek Perifer
o Jantung : bradikardi akibat depresi
langsung pada miokard
o Pembuluh darah : vasodilatasi pembuluh
darah akibat efek samping pada otot
polos pembuluh darah.
c. Reaksi alergi
Reaksinya bisa bermacam macam, bisa hanya
berupa kemerahan pada kulit, urtikaria, bisa
juga menjadi reaksi syok anafilaktik dan pada
syok hipovilaktik dapat dilakukan pemberian
adrenalin 0,30-0,50 mg i.m selain membuka
jalan nafas, memberi O2 dan infus cairan.
d. Lainnya
Dapat berupa menggigil dan disarthri yang
penanganannya bersifat konservatif.

 Obat Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya:
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengontrol nyeri post operasi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Meminimalkan jumlah obat anestesi
 Mengurangi mual muntah pasca operasi
 Menciptakan amnesia
 Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
a. Ranitidin
Merupakan obat golongan AH2 blocker yang bekerja dengan
menghambat histamine untuk dapat terikat pada reseptor H2
sehingga terjadi penurunan produksi asam lambung dan
peningkatan pH di gaster. Ranitinin terikat pada protein plasma
hanya sebesar 15%. Waktu paruhnya berkisar antara 2-3 jam.
Eliminasi lewat ginjal sebesar 70% tanpa mengalami
perubahan.Onset ranitidin 10-15 menit (i.v) ,durasi 8-12 , dosis
dewasa 50 mg ampul iv.
b. Ondansentron
Ondansentron merupakan obat yang digunakan untuk
pencegahan dan mengobati mual muntah yang disebabkan oleh efek
operasi. Mual dan muntah diakibatkan oleh senyawa alami tubuh
yang bernama serotonin. Jumlah serotonin dalam tubuh akan
meningkat ketika kita menjalani operasi, serotonin akan bereaksi
terhadap reseptor 5HT3 yang berada di usus kecil dan otak, dan
membuat kita merasa mual. Pemberian ondansentron akan
menghambat serotonin bereaksi pada reseptor 5HT3 sehingga
membuat kita tidak mual dan berhenti muntah. Dosisinya ialah 4 mg
i.v.
4. Penggolongan Obat Anestesi Lokal
Berdasar struktur kimiaya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide
dan amide-amide

Golongan Durasi
Ester Amide:
 Prokain (Novocaine) Singkat
 Kokain Menengah
 Tetrakain (Pantocaine) Panjang
Amide-amide:
 Mepivakain (Carcocaine, Menengah
Isocaine) Menengah
 Prilokain (Citanest) Menengah
 Lidokain (Xylocaine) Panjang
 Etidokain (Duranest) Panjang
 Bupivakain (Marcaine) Panjang
 Ropivakain Panjang
 Levobupivakain

Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek
samping yang ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, dimana
golongan ester kurang stabil dalam larutan (prokain,ametokain), lebih mudah
dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek sekitar 1 menit.
Adapun produk degradasi hasil metabolisme ester adalah asam p-
aminobenzoik. Golongan ini antara lain: prokain, kokain, kloro-pokain dan
tetrakain.

Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisir dan cenderung terjadi


akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah menjadi N-dealkilasi dengan
cara hidrolisis, terutama di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak
mengalami reaksi reaksi yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3
jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat disterilkan dengan autoklaf,
golongan ini antara lain: lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain, dan
ropivakain

Ada 3 macam anestesik lokal yang lazim dipakai di Indonesia, yaitu


Prokain, Lidokain, dan Bupivakain. Perbedaan diantara ketiganya ialah :

Prokain Lidokain Bupivakain


1. Golongan Ester-COO- Amide-CNH- Amide-CNH
2. Onset 2 menit 5 menit 15 menit
3. Durasi 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
4. Metabolisme Plasma Hepar Hepar
5. Dosis max 12 mg/Kg BB 6 mg/KgBB 2 mg/Kg BB

5. Mekanisme Kerja

Infiltrasi anestetik lokal di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca++


dari reseptor dan anestesik lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga
terjadi blokade gerbang Na+. Selanjutnya terjadi hambatan kondusi Na+ dan
depresi kecepatan induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan
tidak terjadi potensial aksi.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis Pre op hernia inguinalis lateralis didapatkan dari anamnesis dan


hasil pemeriksaan fisik untuk mengetahui keadaan umum pasien dan pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memastikan apakah operasi dapat dilakukan.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA II (pasien dengan
kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang akibat kelainan bedah atau proses
patofisiologus, angka mortalitas 16%). Pada pasien ini dilakukan regional
anestesi. Pemilihan anestesi regional sebagai teknik anestesi pada pasien ini
berdasarkan pertimbangan bahwa pasien akan menjalani operasi HIL sehingga
pasien memerlukan blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah
operator dalam melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif,
dan mudah digunakan.
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron, inj.
Ranitidine . Ondansetron dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV
(post operatif nausea vomiting). Ondansetron digunakan sebagai anti emetik dan
untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan ondansetron dikarenakan obat ini
mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,
meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan
lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-efek ini akan
meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Ondansetron juga mempunyai efek
analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan spasme otot polos
(seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu Ondansetron juga
berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone pada sistem
saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.
Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor
H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat
mengurangi risiko pnemonia aspirasi.
Setelah itu, pasien diposisikan duduk fleksi dengan posisi kaki lurus
tangan memegang lutut dan dagu menempel ke dada. Posisi ini akan mengekspose
area lumbal yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau
S1, kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan
dengan betadin atau alkohol.
Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27 G
dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser disuntikkan
sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum spinal berikut
mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah terjadi barbotage, yaitu
keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya darah, maka pasang
semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik)
diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas
bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain
lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi
kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).
Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu
kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai
efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena berupa
fimahes dan tutofusin.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu aktivitas motorik
1 (dua ekstremitas dapat digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan),
kesadaran 2(sadar penuh), sirkulasi 2 (tekanan darah dalam kisaran <20%
sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi Aldrete Score pada pasien
ini adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.
BAB V
KESIMPULAN

Seorang Laki laki usia 48 tahun dengan diagnosis hernia INGUINALIS


lateralis dextra yang akan dilakukan tindakan operasi hernioplasty pada tanggal 25
Oktober 2017. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan
blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi
anestesi regional.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.
Berdasarkan klasifikasi status fisik pasien pra-anestesi menurut American
Society of Anesthesiologist, pasien digolongkan dalam ASA II .Di ruang
pemulihan (recovery room) vital sign pasien dalam batas normal, tidak ditemukan
adanya tanda komplikasi dari regional anastes dan nilai aldrette score mencapai 9
sehingga pasien bisa dipindahkan ke bangsal.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Himendra, A. 2004. Teori Anestesiologi:Yayasan Pustaka Wina:Bandung.

Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, R.2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi
ketiga. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia: Jakarta.

Mangku G,dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan
pertama. Jakarta : Universitas Udayana Indeks.

Mansjoer A, Triyanti K, Wardhani WI. Et all (editor). 2007. Kapita Selekta


Kedokteran. Cetakan keenam : Media Aesculapius – FK UI.

Muhiman, Roesli Thaib, Sunatrio, Dahlan. 1998. ANESTESIOLOGI , Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta.

Marwoto, Primatika Aria Dian. 2010. Anestesi Lokal/Regional dalam buku


Anastesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Undip/RSUP Dr.Kariadi Semarang

Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta.

Primatika Aria Dian, Marwoto, Sutiyono Doso. 2010. Teknik Anestesi Spinal dan
Epidural dalam buku Anastesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr.Kariadi Semarang

Anda mungkin juga menyukai