Anda di halaman 1dari 17

HEPATOMA (HEPATOCELULLER CARSINOMA)

REFERAT

Perceptor:
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

Oleh:
Kurnia Fitri Aprilliana
Anwar Nuari

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR.H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Hepatoma atau karsinoma hepatoseluler (hepatocellular carcinoma, HCC)
merupakan kanker hati primer yang berasal dari hepatosit. HCC meliputi 5,6% dari
seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada laki-laki
dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan ketiga
dari kanker system saluran cerna setelah kanker kolorectal dan kanker lambung.
Tingkat kematian (rasio antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat tinggi, di
urutan kedua setelah kanker pancreas. Secara geofrafis, tingkat kekerapan tertinggi
terletak di Asia Timur dan Tenggara setelah Afrika Tengah, Sekitar 80% dari kasus
HCC di dunia berada di Negara berkembang seperti Asia Timur dan Asia tenggara
serta Afrika Tengah (Sub-Sahara), yang dikenal sebagai wilayah dengan prevalensi
Hepatitis virus yang tinggi, endemik hepatitis B dan hepatitis C yang merupakan
predisposisi kuat untuk perkembangan penyakit hati kronis yang kemudian
berkembang menjadi HCC. Sedangkan yang terendah di Eropa Utara, Amerika
Tengah, Australia dan Selandia Baru. Faktor risiko lain dari HCC adalah NASH,
penggunaan alkohol yang berlebihan, obesitas, alfatoxins, diabetes mellitus tipe dua,
kontrasepsi oral, dan senyawa-senyawa kimia mutagenik (thorotrast, nitrosamine,
vinil klorida, arsen, insektisida organoklorin, dan asam tanik) (Budihusodo, 2007).
HCC rata-rata sering didiagnosis pada umur 65 tahun, dan 74% kasus dialami
oleh laki-laki.Lebih dari 80% pasien hepatoma menderita sirosis hati, hepatoma biasa
dan sering terjadi pada pasien dengan sirosis hati yang merupakan komplikasi
hepatitis virus kronik.Bayi dan anak kecil yang terinfeksi hepatitis lebih mempunyai
kecenderungan menderita hepatitis virus kronik daripada dewasa yang terinfeksi virus
ini untuk pertama kalinya (Price, 2009). Hepatoma seringkali tidak terdiagnosis
karena gejala karsinoma tertutup oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau
hepatitis kronik. Jika gejala tampak, biasanya sudah stadium lanjut dan harapan hidup
sekitar beberapa minggu sampai bulan. Keluhan yang paling sering adalah
berkurangnya selera makan, penurunan berat badan, nyeri di perut kanan atas dan
mata tampak kuning. Sebenarnya, hal ini dapat ditekan apabila diagnosa dini dapat
ditegakkan (Nurdjanah, 2006).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hepar
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh yang memiliki berat berkisar
1200-1600 gr. Berat pada laki-laki 1400-1600 gr dan pada perempuan 1200-1400
gr. Berat hepar tergantung pada berat masing-masing tubuh, yaitu 1,8 %-3,1 % dari
total berat tubuh, pada infant memiliki berat yang agak lebih yaitu kira-kira 5%
sampai 6 % dari total berat tubuh. Hepar berbentuk pyramid, puncaknya dibentuk
oleh bagian pada lobus sinistra, sedangkan basisnya pada sisi lateral kanan yang
lokasi pada dinding thorax kanan. Hepar dibungkus peritoneum viseralis kecuali
gallbladder bed, porta hepatis dan di posterior pada daerah yang disebut bare area
dari hepar di kanan dari vena cava inferior (Snell, 2006).
Hepar dibagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan yang besar dan lobus
kiri yang lebih kecil.Walaupun ligamentum falciform sering digunakan untuk
membagi hepar menjadi lobus kanan dan kiri, true / surgical Couinauds segmental
anatomy dari hepar yang paling banyak digunakan oleh ahli bedah sebagai
deskripsi secara anatomi fungsional atau anatomi modern (Putz, 2007).
B. Definisi Hepatoma
Hepatoma (Karsinoma Hepatocelullar/HCC) adalah tumor ganas hati primer
yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan
hepatoblastoma.

Tumor

ganas

hati

lainya,

kolangiokarsinoma

dan

sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel billier, sedangkan angiosarkoma dan


leiomiosarkoma berasal dari sel masenkim. HCC merupakan salah satu tumor
ganas hati primer yang sering ditemukan yang berasal dari sel hepatosit
(Nurdjanah, 2006).
C. Epidemiologi
Hepatoma meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta
menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan
sebagai kanker yang paling sering terjadi di dunia, dan urutan ketiga dari kanker
system saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Di Amerika
Serikat sekitar 80%-90% dari tumor ganas hati primer adalah hepatoma. Angka
kejadian tumor ini di Amerika Serikat hanya sekitar 2% dari seluruh karsinoma

yang ada. Sebaliknya di Afrika dan Asia hepatoma adalah karsinoma yang paling
sering ditemukan dengan angka kejadian 100/100.000 populasi. Sekitar 80% dari
kasus hepatoma di dunia berada di negara berkembang seperti Asia Timur dan
Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui sebagai wilayah dengan
prevalensi tinggi hepatitis virus.
Hepatoma jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah yang
endemic infeksi hepatitis B virus (HBV) serta banyak terjadi transmisi HBV
perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan hepatoma tinggi, umur pasian
hepatoma 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien hepatoma di wilayah
dengan angka kekerapan hepatoma rendah. Di wilayah dengan angka kekerapan
hepatoma tinggi, rasio kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai 8:1.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko utama untuk karsinoma hepatoseluler termasuk infeksi
Hepatitis B Virus (HBV) atau Hepatitis C Virus (HCV) somatosis keturunan,
alpha 1-antitrypsin, hepatitis autoimun, beberapa porfiria, dan penyakit Wilson.
Distribusi faktor-faktor risiko antara pasien dengan karsinoma hepatoseluler
sangat bervariasi, tergantung pada daerah geografis dan rasa atau kelompok etnis
(El-Serag, 2011).
1. Virus Hepatitis

Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan HCC terbukti kuat, baik secara
epidemiologi, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang
hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Juga di
tenggarai bahwa kekerapan HCC yang berikatan dengan HBV pada anak jelas
menurun setelah diterapkan vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat
terjadinya infeksi sangat penting, karena infeksi HBV pada usia dini akan
menyebabkan terjadinya presistensi (kronisitas). Karsinogenesitas HBV
mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas
protein spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan
sel hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi
menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara
tidak langsung melalui kompensasi proliperatif merespons nekroinflamasi sel
hati, atau akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang
berubah akibat HBV. Koinsidensi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain

seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis


hati (HCC pada hati non sirotik). Transaktivasi beberapa promoter selular atau
viral tertentu oleh agen-X HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC,
mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx mampu menyebabkan
akselerasi proliferasi Hepatosit. Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit
oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel. Genotipe HBV
ditengarai memiliki kemampuan yang ebrbeda dalam mempengaruhi proses
perjalanan penyakit. Relevansi genotype HBV semakin jelas diketahui.
Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C, Genotipe B dihubungkan
dengan serokonversi HBeAG yang lebih awal, progresi ke sirosis hepar lebih
lambat serta lebih jarang berkembang menjadi HCC (Budihusodo, 2007).
2. Sirosis
Sirosis hati merupakan faktor risiko utama kanker hati di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus kanker hati. Setiap tahun 3-5% dari
pasien sirosis hati akan menderita kanker hati, dan kanker hati merupakan
salah satu penyebab kematian pada sirosis hati.21 Pada tahun 2002, PMR
sirosis hati di dunia yaitu 1,7%.11 Waktu yang dibutuhkan dari sirosis hati
untuk berkembang menjadi kanker hati sekitar 3 tahun.
Konsumsi alkohol merupakan salah satu faktor risiko terjadinya sirosis
hati. Penggunaan alkohol sebagai minuman, saat ini sangat meningkat di
masyarakat. Peminum berat alkohol (>50-70 gr/ hari dan berlangsung lama)
berisiko untuk menderita kanker hati melalui sirosis hati alkoholik.
Mekanisme penyakit hati akibat

konsumsi alkohol masih belum pasti,

diperkirakan mekanismenya yaitu sel hati mengalami fibrosis dan destruksi


protein yang berkepanjangan akibat metabolisme alkohol yang menghasilkan
acetaldehyde. Fibrosis yang terjadi merangsang pembentukan kolagen.
Regenenerasi sel tetap terjadi tetapi tidak dapat mengimbangi kerusakan sel.
Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil, berbenjol-benjol
dan mengeras sehingga terjadi sirosis hati (Davila, 2010).
Menurut penelitian Coon dkk. (2008) di Nottingham dengan desain
cohort, RR pada peminum alkohol 2,34 untuk terkena kanker hati, RR HBV
yaitu 6,41 dan RR HCV yaitu 1,39. Sedangkan di Indonesia terutama
diakibatkan infeksi virus hepatitis B dan C. Virus hepatitis B menyebabkan

sirosis hati sebesar 40-50%, virus hepatitis C sebesar 30-40% dan 10-20%
penyebabnya tidak diketahui.
Menurut penelitian Rasyid (2006) di Medan dengan menggunakan
desain case series, pada 483 penderita kanker hati ditemukan 232 orang (63%)
menderita sirosis hati, 91 orang hepatitis B (25%) dan 44 orang (12%)
hepatitis C, dengan jumlah seluruhnya 367 orang (76%). Sedangkan 116 orang
lagi (24%) tidak berhubungan sama sekali dengan sirosis hati, hepatitis B
ataupun hepatitis C.30 Dari hasil penelitian Nurhasni (2007) di RS Haji
Medan dengan desain case series pada 164 penderita sirosis hati, 35 orang
(21,3%) sudah mengalami komplikasi kanker hati.
3. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun
RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsino-genesisnya adalah kemampuan
AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
4. Hemokromatosis
Hemokromatosis adalah kelainan genetik yang diturunkan yaitu
kecenderungan untuk menyerap jumlah besi yang berlebihan dari makanan di
mana unsur-unsur beracun tersebut akan terakumulasi dalam hati sehingga
menyebabkan kerusakan hati termasuk kanker hati.38 Kanker hati akan
berkembang sampai dengan 30% dari pasien-pasien dengan hemokromatis
keturunan. Pasien yang mempunyai risiko yang paling besar adalah
hemokromatosis yang disertai dengan sirosis hati. Pengangkatan efektif
kelebihan besi (perawatan hemokromatosis) tidak akan mengurangi risiko
menderita kanker hati jika sudah disertai sirosis hati.
5. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver
disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis (NASH) yang
dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapt berlanjut menjadi
Hepatocelluler Carcinoma (HCC) (Starley, 2010).
6. Diabetes mellitus

Pada penderita DM, terjadi perlemakan hati dan steatohepatis nonalkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan
kadar insulin dan insulin-like growth hormone faktors (IGFs) yang merupakan
faktor promotif potensial untuk kanker
7. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum
berat alkohol berisiko untuk menderita hepatoma melalui sirosis hati
alkoholik.

E. Patofisiologi

Mekanisme karsinogenesis hepatoma belum sepenuhnya diketahui,

apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui


peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury)
dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal
ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivasi
oksigen sellular atau inaktivasi gen suppressor tumor, yang mungkin bersama
dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta
induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik,
alkohol dan penyakit hati metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi
antitrypsin-alfa1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini
(cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Aflatoksin dapat menginduksi mutasi
pada gen suppressor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan
juga

berperan

pada

tingkat

molekular

untuk

berlangsungnya

proses

hepatogenesis.

F. Manifestasi klinis
1. Fase dini umumnya asimtomatis.
2. Fase lanjut: Tidak dikenal tanda yang patognomonis/ khas. Keluhan dapat
berupa penurunan berat badan, nyeri abdomen, fatigue, anoreksia, mual,
sebah, nafsu makan menurun. Pada metastatis ke tulang, penderita akan
mengeluh nyeri tulang (Setiawan dkk., 2007).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Alphafetoprotein (AFP)
Sensitivitas AFP untuk mendiagnosa HCC 60-70%, artinya hanya pada 6070% saja dari penderita kanker hati ini menunjukkan peninggian nilai AFP,
sedangkan pada 30-40% penderita nilai AFP normal. Spesifitas AFP hanya
berkisar 60%, artinya bila ada pasien yang diperiksa darahnya dijumpai AFP
yang tinggi, belum tentu dipastikan hanya mempunyai kanker hati ini sebab
AFP juga dapat meninggi pada keadaan bukan kanker hati seperti pada
sirrhosis hati dan hepatitiskronik, kanker testis, dan teratoma (Soresi et al.,
2003).
2. Aspirasi Jarum Halus

Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fineneedle aspiration biopsy) terutama


ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan
radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma.
Tindakan biopsi aspirasi yang dilakukan oleh ahli patologi anatomiini
hendaknya

dipandu

oleh

seorang

ahli

radiologi

dengan

menggunakan peralatan Ultrasonography (USG) atau CT scan fluoro scopy


sehingga hasil yang diperoleh akurat. Cara melakukan biopsi dengan dituntun
oleh USG ataupun CT scan mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan
tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut
dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah
hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi
karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan
bukanlah jaringan sehat disekitar tumor (Rasyid, 2006).

3. Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati
yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen).Bilaada
kanker langsung dapat terlihat jelas berupa benjolan (nodule) berwarna
kehitaman,

atau

berwarna

kehitaman

campur

keputihan

dan

jumlahnya bervariasi pada tiap pasien bisa satu, dua atau lebih atau banyak
sekali dan merata pada seluruh hati, ataukah satu nodule yang besar dan
berkapsul atau tidak berkapsul. Sayangnya USG conventional hanya dapat
memperlihatkan benjolan kanker hati diameter 2 cm 3 cm saja. Tapi bila
USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik system
bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm 2 cm, namun nilai akurasi
ketepatan diagnosanya hanya 60%. Rendahnya nilai akurasi ini disebabkan
walaupun USG conventional ini dapat mendeteksi adanya benjolan kanker
namun tak dapat melihat adanya pembuluh darah baru (neo-vascular)
(Rasyid, 2006).
4. CT Scan
Di samping USG diperlukan CT scan sebagai pelengkap yang dapat menilai
seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USGgambar
hati itu hanya bisa dibuat sebagian-sebagian saja. CT scan yang saatini
teknologinya berkembang pesat telah pula menunjukkan akurasi yangtinggi

apalagi dengan menggunakan teknik hellical CT scan, multislice yangsanggup


membuat irisan-irisan yang sangat halus sehingga kanker yang palingkecil
pun tidak terlewatkan. Lebih canggih lagi sekarang CT scan sudahdapat
membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan
sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini
dengan jaringan tubuh sekitarnya (Rasyid, 2006).
5. Angiography
Dicadangkan

hanya

untuk

penderita

kanker

hati-nya

yang

dari

hasil pemeriksaan USG dan CT scan diperkirakan masih ada tindakan terapi
bedah

atau

non-bedah

masih

yang

mungkin

dilakukan

untuk

menyelamatkan penderita. Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi


reseksi hati harus dilakukan pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini
dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat
dengan USG yangdiperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa
saja ukuransebenarnya dua atau tiga kali lebih besar.Angiografi bisa
memperlihatkanukuran kanker yang sebenarnya.Lebih lengkap lagi bila
dilakukan CT angiography yang dapat memperjelas batas antara kanker
dan jaringan sehat disekitarnya sehingga ahli bedah sewaktu melakukan
operasi membuang kanker hati itu tahu menentukan dimana harus dibuat
batas sayatannya (Rasyid, 2006).

H. Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebih 2 cm, adanya penyakit hati kronik,
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP
serum 400 ng/ml adalah diagnostic (Budihusodo, 2007). Selain itu menurut
Parves et al (2004) kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi lebih
awal terutamanyadengan pendekatan radiologi yang akurasinya 70 95% dan
pendekatan laboratorium alphafetoproteinyang akurasinya 60 70%.
Kriteria Diagnostik HCC menurut Barcelona EASL conference

Kriteria sito-histologis
Kriteria non-invasif (khusus pasien sirosis hati):
Kriteria radiologis : koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)

Lesi fokal >2 cm dengan hipervaskularisasi arterial

Kriteria kombinasi : satu cara imaging dengan kadar AFP serum:

Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial


Kadar AFP serum 400 ng/ml
Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi

berdiameter >2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan
terapi (Budihusodo, 2007).
Untuk tumor berdiameter < 2 cm, sulit menegakkan diagnosis secara non
invasive karena beresiko tinggi terjadinya diagnosis palsu akibat belum
matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan
biopsy tidak diperoleh diagnosis definitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan
pemeriksaan imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan
(Budihusodo, 2007).
Kriteria diagnosa

Kanker

Hati

Selular

(KHS)

menurut

PPHI

(Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia), yaitu:


1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 400 mg per ml.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann
(CT Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun
Positron Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya KHS.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya KHS.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan KHS.
Diagnosa KHS didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima kriteria atau
hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.
I.

Penatalaksanaan berdasarkan stadium


Banyak sistem stadium KHS yang dipakai. Dengan memperhatikan
modalitas terapi, prognosis dan segi praktis maka sistem stadium dari Barcelona
clinic liver cancer:
Stadium

Ukuran tumor

Fungsi hati

Pilihan tatalaksana

Harapan hidup

Stadium A
(awal)
HP (-), bil.

A1

Normal
Tunggal < 5 cm

HP (+), bil.
A2

Tunggal < 5 cm

Tunggal < 5 cm

Normal

HP (+), bil.
Abnormal

A3

Tatalaksana kuratif

A1: reseksi

50-70% pada 5
tahun

A2-A4: transplantasi /
ablasi lokal

3 tumor, < 3 cm
Child pugh

A4

A-B
TACE (Transarterial
Stadium B
(intermediet
)

Besar, > 5 cm,

Child pugh

multinodular

A-B

chemoembolization)
atau TAE

50% pada 3 tahun

(Transarterial
embolization)

Stadium C
(lanjut)

Invasi vaskuler /
penyebaran
ekstrahepatik

Child pugh
A-B

TACE atau TAE bila


tidak ada metastatis
ekstrahepatik

< 10% pada 3


tahun

Transplantasi (bila
Stadium D
end stage

Berapapun

Child pugh

tidak ada

Mati dalam waktu

kontraindikasi)

< 1 tahun

Simptomatis
Keterangan:
HP: Hipertensi Porta
(Setiawan dkk, 2007).

Barcelona-Clinic Liver Cancer (BCLC)


Pengobatan hepatoma masih belum memuaskan, banyak kasus didasari oleh
sirosis hati. Pasien sirosis hati mempunyai toleransi yang buruk pada operasi
segmentektomi

pada

hepatoma.

Selain

operasi

masih

ada

banyak

cara

misalnyatransplantasi hati, kemoterapi, emboli intra arteri, injeksi tumor dengan


etanol agar terjadi nekrosis tumor, tetapi hasil tindakan tersebut masih belum
memuaskan danangka harapan hidup 5 tahun masih sangat rendah(Singgih dan Datau,
2006).
Karena sirosis hati yang paling sering melatar belakanginya serta banyaknya
kasus dengan multi-nodularitas, resektabilitas kanker hati sangat rendah. Di samping
itu kanker hati juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif.
Pilihan terapiditetapkan berdasarkan atas ada-tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran
tumor, sertaderajat pemburukan hepatik.

a. Transplantasi hati
Bagi pasien kanker hati dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikankemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan
parenkim hati yangmengalami disfungsi.Kematian pasca transplantasi
tersering disebabkan olehrekurensi tumor di dalam maupun di luar
transplan.Rekurensi tumor bahkanmungkin diperkuat oleh obat antirejeksi
yang harus diberikan.Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih
jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang diameternya lebih dari 5
cm(Ryder, 2006).
b. Reseksi hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya
mempunyai fungsihati normal pilihan utama terapi adalah reseksi
hepatik.Namun untuk pasiensirosis diperlukan kriteria seleksi karena
operasi dapat memicu timbulnya gagalhati yang harapan hidupnya
menurun. Parameter yang dapat digunakan adalahskor child plug dan
derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin serum dan derajathipertensi
portal saja. Subjek yang bilirubin normal tanpa hipertensi portal
yang bermakna,

harapan

70%.Kontraindikasitindakan

hidup
ini

tahunnya
adalah

dapat

adanya

mencapai
metastatis

ekstrahepatik,kanker hati difus ataumultifokal, sirosis stadium lanjut dan


penyakit penyerta yang dapat mempengaruhiketahanan pasien menjalani
operasi(Ryder, 2006).
c. Ablasi tumor perkutan
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia
(alkohol,

asamasetat)

atau

dengan

memodifikasi

suhunya(radiofrequency,microwave, laser, cryoablation).Injeksi etanol


perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk tumor kecil karena
efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relatif murah.Dasar
kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vaskular Dan
fibrosis.Untuk tumor kecil (diameter < 5cm) pada pasien sirosis ChiildPugh A, angka harapan hidup 5 tahun dapat mencapai 50%.PEI
bermanfaat untuk pasien dengan tumorkecil yang resektabilitasnya
terbatas karena adanya sirosis hati non-Child A (Ryder, 2006).
Radio frequency
Ablation
(RFA)
menunjukkan

angka

keberhasilan yang lebihtinggi dari pada PEI dan efikasinya tertinggi untuk
tumor yang lebih besar dari 3cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap

harapan hidup pasien.Selain itu,RFA lebih mahal dan efek sampingnya


lebih banyak dibandingkan dengan PEI.Guna mencegah terjadinya
rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik (polyprenoic acid) selama
12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke 38
secara bermakna dibandingkan dengan kelompok plasebo (kelompok
plasebo 49%, kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (Ryder,
2006).
d. Terapi paliatif
Sebagian besar pasien kanker hati didiagnosis pada stadium
menengah-lanjut (intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi
standarnya.Berdasarkan metaanalisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE
(transarterial embolization / chemoembolization) saja yang menunjukkan
penurunan pertumbuhan tumor serta dapatmeningkatkan harapan hidup
pasien dengan kanker hati yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi
3 hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yangfungsi hatinya cukup
baik (Child-Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi
vaskular atau penyebaran ekstrahepatik, yang tidak bisa diberi terapiradikal.
Namun bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan
iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping berat.Adapun
beberapa jenis terapi lain untuk kanker hati yang tidak resektabe;
sepertiimunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen, antiandrogen,
oktreotid, radiasiinternal, kemoterapi arterial atau sistemik masih
memerlukan penelitian lebihlanjut untuk mendapatkan penilaian yang
meyakinkan(Ryder, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Bardiman, 2005. Kumpulan Kuliah Hepatologi, Penyakit Pankreas, dan Kandung


Empedu.Bab 55 Tumor Hati. Hal 469-476. SubBagian Gastroentero-

Hepatologi Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas


Sriwijaya.
Budihusodo U..2007. Karsinoma Hati dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi
Keempat.Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pp 455-59.
Davila JA, et.al. use of surveilence for hepatocellular carcinoma among patients with
cirrhosis in the United States. Hepatology. 2010; 52 (1). 132-141.
El-Serag H.B. 2011. Hepatocellular Carcinoma.N Engl J Med 2011; 365:1118-1127.
El-serag HB, Marero JA, Rudolph J, Reddy KR. Diagnosis and treatment of
hepatocellular carcinoma. Gastroenterology. 2008; 134: 1752-1763.
Hamid NA. Update to risk factors for hepatocellular carcinoma. Int J. Med. Med. Sci.
2009; 1 (3): 038-043Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy and
prevention. World J. gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400
Hoffbrand AV. 2007. Kapita Selekta Hematologi Edisi Keempat. Jakarta: Peenerbit
Buku Kedokteran EGC. Pp 18-28.
Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadiasubrata
M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006.
Parvez T., Parvez B., Khurram P. Screening for Hepatocellular Carcinoma. Jounal. JCPSP
. September 2004. Volume : 14 No. 09
Pranawan, Yogiantoro M., Irwanadi C., Santoso D., Mardiana N., Thaha M., Widodo,
Soewanto. 2007. Infeksi Saluran Kemih dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan
Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press. h:230-3.
Price SA, Lorraine MW. Hepatocellular carcinoma. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit.Vol. 1. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2009 : 493-501.
Putz R., Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi . 22nd ed. Suvono J.Sugiharto L. Novrianti
A. Liena, Penerjemah. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Edisi 22. Jakarta:
EGC, 2007.
Rasyid, A. 2006.Pentingnya Peranan Radiologi Dalam Deteksi Dini dan Pengobatan
Kanker Hati primer. Sumatra: USU press.
Rasyid

A.

2006.Temuan

Ultrasonografi

Kanker

Hati

Hepatoma.Majalah Kedokteran Nusantara Vol. 39. No 2.

Hepatoseluler

Ryder S D. 2006. Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of Hepatocellular


Carcinoma(HCC) In Adults. Gut 2003; 52 56.
Setiawan P B., Kusumobroto H.O., Oesman N., Pangestu A.,Nusi I.A., Heri P. 2007.
Karsinoma Hepatoselular dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya:
Airlangga University Press. pp 137-38.
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 60th ed. Sugiharto L,Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jajarta: EGC. 2006
Soresi M., Maglirisi C., Campgna P. 2003. Alphafetoprotein In The Diagnosis
Of Hepatocellular Carcinoma. Anticancer Research. 2003;23;1747-53.
Starley BQ, Calcagno CJ, Harrison SA. Nonalcoholic fatty liver disease and
hepatocellular carcinoma: a weight connection. Hepatology. 2010.
Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2003.

Anda mungkin juga menyukai