Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

Hati merupakan organ utama metaboliosme zat dalam tubuh manusia,


yang memiliki fungsi sintesis, sekresi, eksresi, biotransformasi, makrofag
pertahanan dan berbagai fungsi penting lain. karena hati memiliki daya
kompensasi yang sangat besar, maka biasanya setelah terjadi kerusakan yang
sangat parah pada hati barulah timbul manifestasi gangguan fungsi hati, seperti
gangguan fungsi sekresi getah empedu, gangguan sintesis albumin, dan faktor
koagulasi serta gangguan fungsi detoksifikasi.(2)
Hepatoma atau Karsinoma Hepatoseluler (Hepatocelluler Carsinoma =
HCC) merupakan salah satu gangguan fungsi hati berupa tumor ganas yang
paling sering ditemukan, 90-95% dari seluruh tumor hepar primer. Kanker ini
menduduki peringkat keempat terbanyak di dunia dan menyebabkan hampir
250.000 kematian per tahun. Di Asia dan Sub-Sahara Afrika insidensi tahunan
KH mencapai 500 kasus per 100.000 penduduk.(1,2)
Hepatoma merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari parenkim
atau epitel saluran empedu. Sekitar 75% penderita Hepatoma mengalami sirosis
hati, terutama tipe alkoholik dan pasa nekrotik. Walaupun jenis tumor hati amat
banyak, namun dalam kenyataannya yang terbanyak ditemukan di Indonesia hanyalah
bentuk karsinoma hati primer/ karsinoma hepatoseluler / hepatoma. Tumor ganas
hati lainnya, kolangiokarsinoma dan sistoadenokarsinoma berasal dari sel epitel
bilier, sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel mesenkim.
1

Dari seluruh tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85% merupakan
hepatoma; 10% kolangiosarkoma; dan 5% adalah jenis lainnya.(1,3)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah keganasan pada hepatosit
dimana stem sel dari hati berkembang secara mitosis menjadi massa maligna
yang dipicu oleh adanya proses fibrotik maupun proses kronik dari hati
(cirohosis). Massa tumor ini berkembang di dalam hepar, di permukaan hepar
maupun ekstrahepatik seperti pada metastase jauh.(4)
Tumor dapat muncul sebagai massa tunggal atau sebagai suatu massa
yang difus dan sulit dibedakan dengan jaringan hati disekitarnya karena
konsistensinya yang tidak dapat dibedakan dengan jaringan hepar biasa. Massa
ini dapat mengganggu jalan dari saluran empedu maupun menyebabkan
hipertensi portal sehingga gejala klinis baru akan terlihat setelah massa menjadi
besar. Tanpa pengobatan yang agresif, hepatoma dapat menyebabkan kematian
dalam 6 20 bulan.(3)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Hepatoma meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta
menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan
sebagai kanker yang paling sering yang terjadi didunia, dan urutan ke tiga dari
kanker saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung.(1)
Terdapat suatu distribusi geografik insiden hepatoma didunia. Szmuness telah
menggambarkan-nya secara skematik .Seperti terlihat pada gambar peta dunia
dibawah, gambaran distribusi geografik hepatoma ternyata mirip dengan peta

geografik prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia. Hal ini menimbulkan dugaan
bahwa keduanya mungkin mempunyai hubungan kausal.

Gambar 2.1 peta geografik prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia.


<0,5%

3-5%

1-2 %

6-10%

Keterangan :
Persentasi prevalensi infeksi virus hepatitis B didunia.
Sekitar 80% kasus hepatoma di dunia berada di negara berkembang
seperti di Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah yang diketahui
sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus.(5) (6)
Penyakit ini dapat timbul di segala usia , rata-rata usia kejadian penyakit
adalah 30-44 tahun. mortalitas sebelum usia 30 tahun relatif rendah, setelah usia
30 tahun meningkat tajam. Angka kejadian pada Pria lebih banyak dari wanita
dengan ratio kelamin mortalitas 2,59.(2)
2.3 ETIOLOGI
Dewasa ini hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis
multifaktor dan multifasik, melalui inisiasi, akselerasi dan transformasi dan
4

proses banyak tahapan, serta peran serta banyak onkogen dan gen terkait, mutasi
multigenetik. Etiologi hepatoma belum jelas, menurut data yang ada, virus
hepatitis, aflatoksin dan pencemaran air minum merupakan 3 faktor utama yang
terkait dengan timbulnya hepatoma.
1. Virus hepatitis

HBV
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma
berkaitan

erat,

eksperimental.

baik

secara

Penelitian

epidemiologis,

prospektif

klinis

maupun

menemukan karier HBV

memiliki angka kejadian lebih tinggi dari pada kelompok orang


normal, setidaknya kelompok yang memiliki karier HbsAg beresiko
menderita hepatoma dibanding orang normal sebesar 100 kali lipat
tapi tidak ada kaitan dengan tumor ganas lain. Karsinogenisitas HBV
terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik,
peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA
sel pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan
gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif
(quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati.

HCV

Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis hepatoma pada


pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit
hati akibat transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara
saat transfusi hingga terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun.
Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas
nekroinfiamasi kronik dan sirosis hati. dalam analisis penelitian
bahwa resiko terjadinya hepatoma pada pengidap infeksi HCV adalah
17 kali lipat dibandingkan dengan yang bukan pengidap.(2)
2. Aflatoksin
Aflatoksin Bl (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi
oleh jamur Aspergillus. Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid
merupakan karsinogen utama dari kelompok aflatoksin yang mampu
membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme
hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB 1 menginduksi mutasi
pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.(1)
3. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif di Amerika Serikat didapatkan
terjadinya mortalitas sebesar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (IMT=35-40 Kg/m 2) dibandingkan
dengan yang IMTnya normal. Obesitas pula merupakan faktor resiko
utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan selanjutnya mengarah ke hepatoma.
(1)

4. Diabetes melitus
DM merupakan faktor risiko baik untuk penyakit hati kronik
maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis
non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang
merupakan faktor promotif potensial untuk kanker.
5. Alkohol
Peminum berat alkohol (>50-70g/hari) dan berlangsung lama
beresiko untuk menderita hepatoma melalui sirosis hati alkoholik.
6. Faktor Resiko lain
1) Penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun/ sirosis bilier
primer)
2) penyakit hati metabolik (hemokromatosis genetik.
3) kontrasepsi oral
4) senyawa kimia (thorotrast, nitrosamin, dll)(1)
2.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui, apapun
agen penyebabnya, transformasi hepatosit dapat terjadi melalui peningkatan
perputaran (turn-over) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury) dana regenerasi
kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. hal ini dapat
menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen
seluler atau inaktivasi gen supressor tumor, yang mungkin bersama dengan
kurang baiknya penanganan DNA missmatch, aktivasi telomerase, serta induksi

faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol dan


penyakit hati metabolikseperti hemokromatosisdan defisiensi antitripsin alfa-1,
mungkin menjalankan perenanya terutama melalui jalur ini (cedera kronik,
regenerasi, dan sirosis). aflatoksin dapat menginduksi mutasi pada gen supressor
tumor p53 dan ini menunjukan bahwa faktor lingkungan juga berperan pada
tingkat molekuler untuk berlangsungnya proses hepato karsinogenesis.(1)(3)
2.5 Manifestasi Klinis

Hepatoma fase subklinis

Yang dimaksud hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien
yang tanpa gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan
melalui pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Caranya adalah dengan
gabungan pemeriksaan AFP dan pencitraan, teknik pencitraan terutama dengan
USG lebih dahulu, bila perlu dapat digunakan CT atau MRI. Yang dimaksud
kelompok risiko tinggi hepatoma umumnya adalah: masyarakat di daerah insiden
tinggi hepatoma; pasien dengan riwayat hepatitis atau HBsAg positif; pasien
dengan riwayat keluarga hepatoma; pasien pasca reseksi hepatoma primer.

Hepatoma fase klinis

Hepatoma fase klinis tergolong hepatoma stadium sedang, lanjut, manifestasi


utama yang sering ditemukan adalah:
(1) Nyeri abdomen kanan atas: hepatoma stadium sedang dan lanjut
sering dating berobat karena kembung dan tak nyaman atau nyeri
samar

di

abdomen

kanan

atas.

Nyeri

umumnya

bersifat

tumpul( dullache) atau menusuk intermiten atau kontinu, sebagian

merasa area hati terbebat kencang, disebabkan tumor tumbuh dengan


cepat hingga menambah regangan pada kapsul hati. Jika nyeri
abdomen bertambah hebat atau timbul akut abdomen harus pikirkan
ruptur hepatoma.
(2) Massa abdomen atas: hepatoma lobus kanan dapat menyebabkan
batas atas hati bergeser ke atas, pemeriksaan fisik menemukan
hepatomegali

di

bawah arkus kostae berbenjol benjol; hepatoma

segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung teraba massa


di bawah arkus kostae kanan; hepatoma lobus kiri tampil sebagai
massa di bawah prosesus xifoideus atau massa di bawah arkus kostae
kiri.
(3) Perut kembung: timbul karena massa tumor sangat besar, asites dan
gangguan fungsi hati.
(4) Anoreksia: timbul karena fungsi hati terganggu, tumor mendesak
saluran gastrointestinal, perut tidak bisa menerma makanan dalam
jumlah banyak karena terasa begah.
(5) Letih, mengurus: dapat

disebabkan metabolit dari tumor ganas dan

berkurangnya masukan makanan dll, yang parah dapat sampai


kakeksia.
(6) Demam: timbul karena nekrosis tumor, disertai infeksi dan metabolit
tumor, jika tanpa bukti infeksi disebut demam kanker, umumnya tidak
disertai menggigil.

(7) Ikterus: tampil sebagai kuningnya sclera dan kulit, umumnya karena
gangguan fungsi hati, biasanya sudah stadium lanjut, juga dapat
karena sumbat kanker di saluran empedu atau tumor mendesak
saluran empedu hingga timbul ikterus obstruktif.
(8) Asites: juga merupakan tanda stadium lanjut.

Secara klinis

ditemukan perut membuncit dan pekak bergeser, sering disertai udem


kedua tungkai.
(9) Lainnya: selain itu terdapat kecenderungan perdarahan, diare, nyeri
bahu belakang kanan, udem kedua tungkai bawah, kulit gatal dan
lainnya, juga manifestasi sirosis hati seperti splenomegali, palmar
eritema, lingua hepatik, spider nevi,vena dilatasi dinding abdomen dll.
Pada stadium akhir hepatoma sering timbul metastasis paru,tulang
dan banyak organ lain.(2)
2.6 DIAGNOSIS
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Alfa-fetoprotein (AFP)
AFP adalah sejenis glikoprotein, disin-tesis oleh hepatosit dan sakus vitelinus,
terdapat dalam serum darah janin. Pasca partus 2 minggu, AFP dalam serum
hampir lenyap, dalam serum orang normal hanya terdapat sedikit sekali (< 25
ng/L). Ketika hepatosit berubah ganas, AFP kembali muncul. Selain itu teratoma
testes atau ovarium serta beberapa tumor lain (seperti karsinoma gaster, paru dll.)
dalam serum pasien juga dapat ditemukan AFP; wanita hamil dan sebagian pasien
hepatitis akut kandungan AFP dalam serum mereka juga dapat meningkat.

10

AFP memiliki spesifisitas tinggi dalam diagnosis karsinoma hepatoselular.


Jika AFP > 500 ng/L bertahan 1 bulan atau > 200 ng/ L bertahan 2 bulan, tanpa
bukti penyakit hati aktif, dapat disingkirkan kehamilan dan kanker embrional
kelenjar reproduksi, maka dapat dibuat diagnosis hepatoma, diagnosis ini dapat
lebih awal 6-12 bulan dari timbulnya gejala hepatoma. AFP sering dapat dipakai
untuk menilai hasil terapi. Pasca reseksi hepatoma, kadar AFP darah terus
menurun dengan waktu paruh 3-9,5 hari, umumnya pasca operasi dalam 2 bulan
kadarnya turun hingga normal, jika belum dapat turun hingga normal, atau setelah
turun lalu naik lagi, maka pertanda terjadi residif atau rekurensi tumor.
2. Petanda tumor lainnya
Zat petanda hepatoma sangat banyak, tapi semuanya tidak spesifik untuk
diagnosis sifat hepatoma primer. Penggunaan gabungan untuk diagnosis kasus
dengan AFP negatif memiliki nilai rujukan tertemu, yang relatif umum digunakan
adalah: des-gama karboksi protrombin (DCP), alfa-L-fukosidase (AFU), gamaglutamil transpeptidase (GGT-II), CA19-9, antitripsin, feritin, CEA, dll.
3. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B
Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar
belakang penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda
hepatitis B atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk
hepatoma, itu dapat membantu dalam diagnosis.(2)
B. Pemeriksaan pencitraan
l. Ultrasonografi (USG)

11

USG merupakan metode paling sering digunakan dalam diagnosis


hepatoma. Ke-gunaan dari USG dapat dirangkum sebagai berikut: memastikan
ada tidaknya lesi pe-nempat ruang dalam hati; dapat dilakukan penapisan
gabungan dengan USG dan AFP sebagai metode diagnosis penapisan awal untuk
hepatoma; mengindikasikan sifat lesi penempat ruang, membedakan lesi berisi
cairan dari yang padat; membantu memahami hubungan kanker dengan pembuluh
darah penting dalam hati, berguna dalam meng-arahkan prosedur operasi;
membantu memahami penyebaran dan infiltrasi hepatoma dalam hati dan
jaringan organ sekitarnya, memperlihatkan ada tidaknya trombus tumor dalam
percabangan vena porta intrahepatik; di bawah panduan USG dapat dilakukan
biopsy(7)

2. CT
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis
lokasi dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya
dengan pembuluh darah penting, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah
penting. Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat
12

dilakukan CT dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika


disuntikkan lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada
waktu ini CT-lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm.(7)

3.MRI
MRI merupakan teknik pemeriksaan nonradiasi, tidak memakai zat
kontras berisi iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah
dan saluran empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur internal
jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas aneka
terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil
kurang dari 1cm dengan angka keberhasilan 55%(2)

13

4. Angiografi arteri hepatika


Sejak tahun 1953 Seldinger merintis penggunaan metode kateterisasi
arteri femoralis perkutan untuk membuat angiografi organ dalam, kini angiografi
arteri hepatika selektif atau supraselektif sudah menjadi salah satu metode penting
dalam diagnosis hepatoma. Namun karena metode ini tergolong invasif,
penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe avaskular agak kurang baik, dewasa
ini indikasinya adalah: klinis suspek hepatoma atau AFP positif tapi hasil
pencitraan lain negatif hasilnya; berbagai teknik pencitraan noninvasif sulit
menentukan sifat lesi penempat ruang tersebut.(2)
5.Tomografi emisi positron (PET)
Dewasa ini diagnosis terhadap hepatoma masih kurang ideal, namun
karsinoma kolangioselular dan karsinoma hepatoselular berdiferensiasi buruk
memiliki daya ambil terhadap 18F-FDG yang relatif kuat, maka pada pencitraan
PET tampak sebagai lesi metabolisme tinggi.
C. Pemeriksaan lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi
kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam
asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis
hepatoma primer.(2)
D. Prinsip diagnosis hepatoma
Untuk pasien yang dicurigai hepatoma atau lesi penempat ruang dalam
hati yang tak dapat menyingkirkan hepatoma, semua harus diupayakan kejelasan
diagnosisnya dalam waktu sesingkat mungkin. Teknik pemeriksaan pencitraan

14

modern tidak dapat dilewatkan, biasanya dimulai dengan pemeriksaan noninvasif,


bila perlu barulah dilakukan pemeriksaan invasif. Untuk kasus yang dengan
berbagai pemeriksaan masih belum jelas diagnosisnya, harus dipantau
ditindaklanjuti secaraketat, bila perlu pertim-bangkan laparotomi eksploratif.(2)
E. SISTEM STAGING
Dalam staging klinis HCC terdapat pemilahan pasien atas kelompokkelompok yang prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi
dan radiologis pilihan yang tersedia. Sistem staging yang ideal seharusnya juga
mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan
umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien
sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan
untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah
sistem klasifikasi Child-ltorcotte-Pugh, tetapi sistem ini tidak ditujukan untuk
penilaian staging HCC. Beberapa sistem yang dapat dipakai untuk staging HCC
adalah:

Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System

Okuda Staging System

Cancer of the Liver Italian Program (CLIP) Scoring System

Chinese University Prognostic Index (CUPI)

Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System

15

F. Standar diagnosis
Pada tahun 2001 Komite Khusus Hepatoma Asosiasi Antitumor China
telah menetapkan standar diagnosis dan klasifikasi stadium klinis hepatoma
primer.
1. Standar diagnosis klinis hepatoma primer.
(1) AFP > 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
repro-duksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu teraba hati
mem-besar, keras dan bermassa nodular besar atau pemeriksaan
pencitraan menun-jukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.
(2) AFP < 400 ug/L, dapat menyingkirkan kehamilan, tumor embrional sistem
reproduksi, penyakit hati aktif, hepatoma metastatik, selain itu terdapat
dua jenis pemeriksaan pencitraan menunjukkan lesi penempat ruang
16

karakteristik hepatoma atau terdapat dua petanda hepatoma (DCP, GGTII,

AFU,

CA19-9,

dll.) positif serta satu pemeriksaan pencitraan

menunjukkan lesi penempat ruang karakteristik hepatoma.


(3) Menunjukkan manifestasi klinis hepatoma dan terdapat kepastian lesi
metastatik ekstrahepatik (termasuk asites hemoragis makroskopik atau
di dalamnya ditemukan sel ganas) serta dapat meny ing-kirkan hepatoma
metastatik
2. Standar klasifikasi stadium klinis hepatoma primer
la : tumor tunggal berdiameter < 3 cm, tanpa emboli rumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
Ib : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan <5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A.
Ha : tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan < 10 cm, di
separuh hati, atau dua tumor dengan diameter gabungan < 5 cm, di kedua
belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh; Child A.
lIb : tumor tunggal atau multipel dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multipel dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua
belahan hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar
limfe peritoneal ataupun jauh; Child A. Terdapat emboli tumor di
percabangan vena portal, vena hepatik atau saluran empedu dan/atau Child B.

17

IIIa : tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena kava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B.
IIIb : tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli emboli tumor, metastasis; Child C.

2.7 DIAGNOSIS BANDING


1.Diagnosis banding hepatoma dengan AFP positif
Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor
embrional kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan
hepatitis serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada tumor embrional kelenjar
reproduktif, terdapat gejala klinis dan tanda fisik tumor bersangkutan, umumnya
tidak sulit dibedakan; kanker gaster, kanker pankreas dengan metastasis hati.
Kanker gaster, kanker pankreas kadang kala disertai peninggian AFP, tapi
konsentrasinya umumnya relatif; rendah, dan tanpa latar belakang penyakit : hati,
USG dan CT serta pemeriksaan minum barium dan pencitraan lain sering kali
18

dapat memperjelas diagnosis. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai peninggian
AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan pencitraan
hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam hati, selain
secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor perubahan ALT
dan AFP.(2)
2.Diagnosis banding hepatoma dengan AFP negatif
Hemangioma hati. Hemangioma kecil paling sulit dibedakan dari
hepatoma kecil dengan AFP negatif, hemangioma umumnya pada wanita, riwayat
penyakit yang panjang, progresi lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan
sirosis hati, zat petanda hepatitis negatif, CT tunda, MRI dapat membantu
diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering terdapat riwayat kanker primer, zat
petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan tampak lesi multipel tersebar
dengan ukuran bervariasi. Pada abses hati, terdapat riwayat demam, takut dingin
dan tanda radang lain, pencitraan menemukan di dalam lesi terdapat likuidasi atau
nekrosis. Pada hidatidosis hati, kista hati, riwayat penyakit panjang, tanpa riwayat
penyakit hati, umumnya kondisinya baik, massa besar dan fungsi hati umumnya
baik, zat petanda hepatitis negatif, pencitraan menemukan lesi bersifat cair
penempat ruang, dinding kista tipis, sering disertai ginjal polikistik. Adenoma
hati, umumnya pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahuntahun, tanpa latar belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif, CT
tunda dapat membedakan. Hiperplasia nodular fokal, pseudotumor inflamatorik
dll. sering cukup sulit dibedakan dari hepatoma primer(2)

19

2.8 PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip penting dalam terapi hepatoma adalah terapi dini efektif,
terapi gabungan, dan terapi berulang. Terapi dini efektif. Semakin dini diterapi,
semakin baik hasil terapi terhadap rumor. Untuk hepatoma kecil pasca reseksi 5
tahun survivalnya adalah 50-60%, sedangkan hepatoma besar hanya sekitar 20%.
Terapi efektif menuntut sedapat mungkin memilih cara terapi terbaik sebagai
terapi pertama. Terapi gabungan: Dewasa ini reseksi bedah terbaik pun belum
dapat mencapai hasil yang memuaskan, berbagai metode terapi hepatoma
memiliki kelebihan masing-masing, harus digunakan secara fleksibel sesuai
kondisi setiap pasien, dipadukan untuk saling mengisi kekurangan, agar
semaksimal mungkin membasmi dan mengendalikan tumor, tapi juga semaksimal
mungkin mempertahankan fisik, memper-panjang survival. Terapi berulang.
Terapi satu kali terhadap hepatoma sering kali tidak mencapai hasil ideal, sering
diperlukan terapi ulangan sampai berkali-kali. Misalnya berkali-kali dilakukan
kemoembolisasi perkutan arteri hepatika, injeksi alkohol absolut intratumor
berulang kali, reseksi ulangan pada rekurensi pasca operasi dll.(2)
2.7 Terapi operasi
Indikasi operasi eksploratif: tumor mungkin resektabel atau masih ada
kemungkinan tindakan operasi paliatif selain reseksi; fungsi hati baik,
diperkirakan tahan operasi; tanpa kontraindikasi operasi. Kontraindikasi operasi
eksploratif: umumnya pasien dengan sirosis hati berat, insufisiensi hati disertai
ikterus, asites; pembuluh utama vena porta mengandung trombus kanker;

20

rudapaksa serius jantung, paru, ginjal dan organ vital lain, diperkirakan tak tahan
operasi.
1. Metode hepatektomi.
Hepatektomi merupakan cara terapi dengan hasil terbaik dewasa ini.
Survival 5 tahun pasca operasi sekitar 30-40%, pada mikrokarsinoma hati (< 5
cm) dapat mencapai 50-60%. Hepatektomi terdiri atas hepatektomi beraruran dan
hepatektomi tak beraruran. Hepatektomi beraruran adalah sebelum insisi hati
dilakukan diseksi, me-mutus aliran darah ke lobus hati (segmen, subsegmen)
terkait, kemudian menurut lingkup anatomis lobus hati (segmen, subsegmen)
tersebut dilakukan reseksi jaringan hati. Hepatektomi tak beraruran tidak perlu
mengikuti secara ketat distribusi anatomis pembuluh dalam hati, tapi hanya perlu
ber-jarak 2-3cm dari tepi tumor, mereseksi jaringan hati dan percabangan
pembuluh darah dan saluran empedu yang menuju lesi, lingkup reseksi hanya
mencakup tumor dan jaringan hati sekitarnya. Metode reseksi ini sesuai untuk
hepatoma disertai sirosis hati, lebih banyak dilakukan di China, menjadikan
operasi lebih simpel, hingga sebagian besar pasien hepatoma dengan sirosis dapat
mem-pertahankan lebih banyak jaringan hati normal selain tumornya dapat
direseksi, me-ngurangi komplikasi operasi, menurunkan mortalitas operasi.
Kunci dari hepatektomi adalah me-ngontrol perdarahan. Pada waktu
reseksi hati, metode mengurangi perdarahan me-liputi obstruksi aliran darah porta
pertama hati, koagulasi gelombang mikro potongan hati, klem hati, obstruksi
temporer satu sisi cabang vena porta dan cabang arteri hepatika, dll. Pada kasus

21

dengan sirosis hati, obstruksi porta hati setiap kali tidak boleh lebih dari 10-15
menit, bila perlu dapat diobstruksi berulang kali.
Komplikasi utama pasca hepatektomi adalah: Gagal fungsi hati; timbul
beberapa hari hingga beberapa minggu pasca operasi, sering kali berkaitan
dengan pasien dengan penyakit hati aktif kronis, sirosis sedang atau lebih, volume
hepatektomi terlalu besar, perdarahan selama operasi berlebih, waktu obstruksi
porta hati terlalu lama dan obat-obatan perioperatif (termasuk obat anestetik)
bersifat hepatotoksik. Perdarahan pasca operasi, kebanyakan karena hemostasis
selama operasi kurang tuntas, sutura ligasi vaskular terlepas, gangguan koagulasi,
nekrosis permukaan irisan hati dll. Dapat juga terjadi infeksi subdiafragma,
karena pasca operasi terjadi akumulasi darah dan cairan di bawah diafragma,
maka timbul abses subfrenik; fistel cairan empedu: perdarahan saluran cerna
atas.
Hepatektomi 2 fase: pasien hepatoma setelah dilakukan eksplorasi bedah
ternyata tumor tak dapat direseksi. sesudah diberikan terapi gabungan. tumor
mengecil, dilakukan laparotomi lagi dan dapat dilakukan reseksi
2.Transplantasi hati
Dewasa ini, teknik transplantasi hati sudah sangat matang, namun biayanya
tinggi,donornya sulit. Pasca operasi pasien menggunakan obat imunosupresan
anti rejeksi membuat kanker residif tumbuh lebih cepat dan bermetastasis. hasil
terapi kurang baik untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut. Umumnya
berpendapat mikrohepatoma stadium dini dengan sirosis berat merupakan
indikasi lebih baik untuk transplantasi hati.

22

23

3.Terapi operatif nonreseksi


Misalnya, pasca laparotomi, karena tumor menyebar atau alasan lain tidak
dapat dilakukan reseksi, dapat dipertimbangkan terapi operatif nonreseksi,
mencakup: injeksi obat melalui kateter transarteri hepatik atau kemoterapi
embolisasi saat operasi; kemoterapi melalui kateter vena porta saat operasi; ligasi
arteri hepatika; koagulasi tumor hati dengan gelombang mikro, ablasi
radiofrekuensi, krioterapi dengan nitrogen cair, evaporisasi dengan laser energi
tinggi saat operasi; injeksi alkohol absolut intratumor saat operasi
2.8 Terapi lokal
Terapi lokal terdiri atas dua jenis terapi, yaitu terapi ablatif lokal dan
injeksi obat intratumor. Yang pertama meliputi ablasi radiofrekuensi, koagulasi
gelombang mikro, laser, pembekuan, ultrason energi tinggi terfokus, yang kedua
yang tersering ditemukan adalah injeksi alkohol absolut intratumor. jlerapi lokal
umumnya dilakukan melalui fpungsi perkutan, perlu panduan pencitraan, I yang
sering adalah dengan USG, dapat juga I dengan CT atau laparoskopi.
1. Ablasi radiofrekuensi (RFA)
Ini adalah metode ablasi lokal yang [paling sering dipakai dan efektif
dewasa ini. Elektroda RFA ditusukkan ke dalam tumor melepaskan energi
radiofrekuensi, hingga jaringan tumor mengalami nekrosis koagulatif panas,
denaturasi, jadi secara selektif mem-bunuh jaringan tumor. Satu kali RFA menghasilkan nekrosis seukuran bola berdiameter 3-5 cm, sehingga dapat membasmi
tuntas mikrohepatoma, dengan hasil kuratif. RFA perkutan memiliki keunggulan

24

mikroinvasif, aman, efektif, sedikit komplikasi. mudah di-ulangi dll. sehingga


mendapat perhatian luas untuk terapi hepatoma.
2. Injeksi alkohol absolut intratumor perkutan
Di bawah panduan teknik pencitraan, dilakukan pungsi tumor hati
perkutan, ke dalam tumor disuntikkan alkohol absolut. Sehubungan dengan
pengaruh dari luas pe-nyebaran alkohol absolut dalam tumor hati dan dosis
toleransi tubuh manusia, maka sulit mencapai efek terapi ideal terhadap hepatoma
besar, penggunaannya umumnya untuk hepatoma kecil yang tak sesuai direseksi
atau terapi adjuvan pasca kemoembolisasi arteri hepatik. Meskipun hepatoma
kecil tapi suntikan hams berulang kali di banyak titik barulah dapat membuat
kanker nekrosis memadai.
3.Kemoembolisasi arteri hepatik perkutan
Kemoembolisasi arteri hepatik transkateter (TAE, TACE) merupakan cara
terapi yang sering digunakan untuk hepatoma stadium sedang dan lanjut yang
tidak sesuai dioperasi reseksi. Sesuai digunakan untuk tumor sangat besar yang
tak dapat direseksi; tumor dapat direseksi tapi diperkirakan tak tahan operasi;
hepatoma rekuren yang tak dapat direseksi; pasca reseksi hepatoma, suspek
terdapat residif, dll. Sedangkan bila volume tumor lebih dari 70% parenkim hati,
fungsi hati terganggu berat, kondisi umum buruk, diperkirakan tak tahan terapi,
semua iru merupakan kontraindikasi kemoembolisasi arteri hepatik.
Hepatoma terutama mendapat pasokan darah dari arteri hepatik, setelah
embolisasi arteri hepatik, nodul kanker menjadi iskemik, nekrosis, sedangkan
jaringan hati normal mendapat pasokan darah terutama dari vena porta sehingga

25

efek terhadap fungsi hati secara keseluruhan relatif kecil. Kemoembolisasi arteri
hepatik dapat melalui mekanisme dobel kemoterapi dan embolisasi terhadap
hepatoma membuat tumor nekrosis, mengecil, sebagian hepatoma setelah
volume-nya

mengecil

mendapat

peluang

fase

dua

untuk

direseksi.

Kemoembolisasi arteri hepatik menggunakan teknik Seldinger, dilakukan


kateterisasi perkutan lewat arteri femoralis atau arteri subklavia memasuki arteri
hepatik atau cabangnya, angiografi arteri hepatik dapat membantu diagnosis lebih
jauh dan memahami kondisi pasokan darah tumor, ada tidaknya fistel
arteriovenosa dll. Jika tak ada kontraindikasi, maka dapat disuntikkan zat
embolisasi dan obatantitumor. Zatembolisasi yang umum dipakai adalah lipiodol,
spons gelatin, mikrosferis obat, cincin baja anti-karat, dll. Obat antitumor dapat
berupa kemo-terapi dan sediaan biologis; kemoterapi dapat dengan adriamisin,
karboplatin, FU, MMC dll. Yang paling sering dipakai adalah lipiodol dan
kemoterapi yang dicampur men-jadi suspensi, menggunakan afinitas lipiodol
terhadap tumor, sebagai karier kemoterapi, membawa obat kemoterapi ke dalam
jaringan kanker, menghasilkan efek kemoembolisasi yang tahan lama.
Pasca kemoembolisasi arteri hepatik survival 1 tahun pasien hepatoma
adalah 44-66,9%, lama ketahanan hidup rata-rata 8-10 bulan. Tapi terapi itu
bersifat paliatif, terapi intervensi berulang kali pun sulit secara total membasmi
semua sel kanker, efek terapi jangka panjang belum memuaskan, selain juga
mencederai rungsi hati. Oleh karena itu setelah dengan terapi intervensi hepatoma
mengecil hingga batas tertentu, harus diupayakan memanfaatkan peluang reseksi
bedah 2 tahap untuk mencapai terapi kuratif. Pasca reseksi hepatoma 3-4 minggu,

26

bila ditunjang dengan kemoembolisasi arteri hepatik dapat membasmi lesi yang
mungkin residif dalam hati, menurunkan rekurensi pasca operasi, meningkatkan
survival.
5. Radioterapi
Radioterapi eksternal sesuai untuk dengan lesi hepatoma yang relatif
terlokalis medan radiasi dapat mencakup seluruh tumor selain itu sirosis hati tidak
parah, pasien mentolerir radioterapi. Radioterapi umumnya digunakan bersama
metode terapi lain seperti herba, ligasi arteri hepatik, kemoterapi transarteri
hepatik, kemoembolisasi arteri hepa dll. Sedangkan untuk kasus stadium Ianjut
dengan metastasis tulang, radiasi local dapat mengatasi nyeri. Komplikasi
tersering dari radioterapi adalah gangguan fungsi hati hingga timbul ikterus,
asites hingga tak dapat menyelesaikan seluruh dosis terapi. dapat juga memakai
biji radioaktif untuk radioti internal terhadap hepatoma.
6. Terapi biologis
Terapi biologis telah dianggap sebagai metode terapi tumor ke empat
setelah operasi kemoterapi, radioterapi, dewasa ini yang digunakan secara klinis
terdapat imunoterapi aktif nonspesifik, imunoterapi sekunder, terapi terpandu dll.
tapi efektivitasnya belun cukup meyakinkan.
7. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut
(intermediate-advanced stage) yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan
meta

analisis,

pada

(transarterialembolization/chemo

stadium

ini

embolization)

27

hanya
saja

yang

TAE/TACE
menunjukkan

penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien


dengan HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3 hingga 4 kali
setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik (Child-Pugh A)
serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskular atau penyebaran
ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya bagi pasien
yang dalam keadaan gagal hati (Child-Pugh B-C), serangan iskemik akibat terapi
ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.
2.9 Prognosis
Hepatoma primer jika tidak diterapi, survival rata-rata alamiah adalah 4,3
bulan. Kausa kematian umumnya adalah kegagalan sistemik, perdarahan saluran
cerna atas, koma hepatik dan ruptur hati. Faktor yang mempengaruhi prognosis
terutama adalah ukuran dan jumlah tumor, ada tidaknya trombus kanker dan
kapsul, derajat sirosis yang menyertai, metode terapi, dll. Data 1465 kasus pasca
reseksi radikal hepatoma dari Institut Riset Hepatoma Univ. Fudan di Shanghai
menunjukkan survival 5 tahun 51,2%. Dari 1389 kasus hepatoma di RS Kanker
Universitas Zhongshan di Guangzhou, pasca hepatektomi survival 5 tahun 37,6%,
untuk hepatoma <5cm survival 57,3%- Tidak sedikit kasus yang pasca reseksi
bertahan hidup lama.
prognosis dari hepatoma lebih dipengaruhi oleh:
1. stadium tumor pada saat diagnosis
2. status kesehatan pasien
3. fungsi sintesis hati
manfaat terapi.

28

BAB III
LAPORAN KASUS
I.

Identitas Pasien

Nama

: Ny. J

Umur

: 56 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Palangkaraya

Pekerjaan

: Peternak

Agama

: Islam

Suku

: Dayak

MRS

: 28 Mei 2016

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 1 juni 2016


Keluhan Utama :
Perut membesar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan berupa perut yang membesar sejak 1 bulan
SMRS. Pasien merasa sering lelah dan mengeluhkan sesak napas. Pasien juga
mengaku nafsu makannya menurun dengan diikuti penurunan berat badan. Selain
itu, pasien mengeluhkan nyeri pada perut bagian kanan atas, nyeri bersifat tajam
dan mengeluhkan kedua kakinya bengkak sehingga pasien mengulhkan sulit

29

berjalan. Pasien mengaku jarang BAB. BAB pasien berwarna hitam. BAK pasien
berwarna seperti teh dan tidak nyeri saat berkemih.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah memiliki riwayat penyakit serupa dan penyakit kuning
atau penyakit liver. Riwayat penyakit jantung, darah tinggi, dan kencing manis
disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit yang serupa
dengan pasien. Tidak ada juga keluarga pasien yang memiliki riwayat penyakit
liver.
Riwayat Pribadi :
-

Riwayat alergi

: Tidak ada riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, maupun

bahan kimia
-

Riwayat imunisasi : Tidak ada data

Hobi

: Tidak ada yang khusus

Olahraga

: Tidak pernah khusus berolahraga

Pekerjaan

: Pasien bekerja sebagai buruh

Kebiasaan makan

: Kebiasaan makan pasien tidak teratur

Merokok

: Pasien tidak merokok

Minum alkohol

: Pasien tidak pernah mengkonsumsi alkohol

Konsumsi jamu-jamuan atau obat-obatan : Pasien tidak biasa minum jamu-jamuan.

Hubungan Seks

: (Tidak ditanyakan)

Riwayat Transfusi Darah :


-

Pasien tidak pernah mendapat transfusi darah

30

Riwayat Pengobatan :
Tidak ada data
III.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Composmentis, GCS = E4 V5 M6

Antropometri

: BB = 65 kg, TB = 168 cm

Status Gizi

: Baik, IMT = 23,04 kg/m2 (normal)

Tanda Vital
Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Denyut Nadi

: 78 kali permenit

Frekuensi Nafas

: 21 kali permenit

Temperatur Aksila : 36,8oC


Kulit

: Tugor kulit baik, rash (-), ptekie (-), hematom (-),


ekskoriasi (-), ikterus (-), kuku utuh dalam batas normal,
rambut terdistribusi merata, tidak rontok

Kepala dan Leher

: Bentuk

normal,

sikatrik

(-),

pembengkakan

(-),

pembesaran KGB (-/-), nyeri tekan (-/-), bruit (-),


peningkatan JVP (-/-)
Telinga

: Serumen minimal, nyeri tekan (-/-), massa (-/-)

Hidung

: Septum di tengah, mukosa lembab, sekret (-/-), nyeri (-),


perdarahan (-/-)

31

Rongga Mulut dan Tenggorokan : Hiperemis (-), leukoplakia (-), ulkus (-),
tumor (-), pembengkakan gusi (-), gigi
goyang (-)
Mata

: Sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-), perdarahan


sub konjungtiva (-/-), palpebra edema (-/-), produksi air
mata cukup

Toraks : Paru

: Ins : Dada datar, simetris; tarikan nafas simetris; tumor


(-)
Pal : Fremitus vokal simetris
Per : Sonor (+/+)
Aus : Suara nafas vesikuler, ronki (+/+), wheezing (-/-)

Jantung : Ins : Ictus

cordis

terlihat

pada

ICS

linea

midclavicularis Sinistra
Pal : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicularis
sinistra, thrill (-)
Per : Pekak, batas kanan di ICS III linea parasternalis
dextra, batas kiri ICS IV linea midclavicularis
sinistra
Aus : S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak terdengar suara
bising
Abdomen

: Ins : Cembung (+) asites bermakna, distensi (-), sikatrik


(-), venektasi (-), kaput medusa (-)
Aus : Bising usus (+) normal, bruit (-)

32

Pal : Undulasi (+), Shifting dullnes (+)


Nyeri tekan (-)
Per : Pekak (P) Timpani (T)
P T P
T T T
T T T
Punggung

: Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-), nyeri (-), tumor (-)
, nyeri ketok ginjal (-/-)

Ekstremitas:

Atas

: Akral hangat, gerak sendi normal, atrofi otot (-/-),


pembengkakan (-/-), hiperemis (-/-), deformitas
(-/-), edema (-/-)

Bawah : Akral hangat, gerak sendi normal, atrofi otot (-/-),


hiperemis (-/-), deformitas (-/-), edema (+/+)
Alat kelamin

: (Tidak diperiksa)

Rektum

: (Tidak diperiksa)

Neurologi

: Keseimbangan normal, koordinasi baik, tremor (-),


kelemahan (-), saraf kranial dalam batas normal, refleks
fisiologis dalam batas normal

Bicara

: Disatria (-), apraxia (-), afasia (-)

33

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A.

Pemeriksaan Darah Rutin dan Kimia Darah


Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28 mei 2016 (RSUD Ulin
Banjarmasin)

Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Eritrosit
Hematokrit
Trombosit
RDW-CV
MCV, MCH, MCHC
MCV
MCH
MCHC
HITUNG JENIS
Basofil%
Eosinofil%
Gran%
Limfosit%
Monosit%
PROTHOMBIN TIME
Hasil PT
INR
Control Normal PT
Hasil APTT
Control Normal APTT
KIMIA
GULA DARAH
Glukosa Darah Puasa
HATI
SGOT
SGPT
GINJAL
Ureum
Creatinin

Hasil

Nilai Rujukan

14,4
5,5
4,37
41,4
85
14,9

12,50 16,70
4,65 10,3
4,10 6.00
42,00 52,00
150-356
12,1-14,0

94,8
33,0
34,8

75,0 96,0
28,0 32,0
33,0 37,0

Fl
Pg
%

0,7
4,6
62,8
24,5
7,4

0,0 1,0
1,0 3,0
50,0 70,0
25,0 40,0
3,0 9,0

%
%
%
%
%

11,7
1,08
11,4
26,2
26,1

9,9-13,52
22,2-37,0
-

Detik

80

70-105

mg/dl

272
104

0-46
0-45

32
0,8

10-50
0,7-1,4

34

Satuan
g/dL
ribu/uL
juta/uL
vol%
ribu/uL
%

Detik

U/I
U/I
mg/dl
mg/dl

Hasil Pemeriksaan Phrotombin Time Kimia Darah dan Imuno-Serologi


31 Mei 2016 (RSUD Ulin Banjarmasin)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
PROTHOMBIN TIME
Hasil PT
12,6
9,9-13,52
INR
1,17
Control Normal PT
11,4
Hasil APTT
19,9
22,2-37,0
Control Normal APTT
26,1
KIMIA
HATI
Bilirubin Total
6,06
0,20-1,20
Bilirubin Direk
2,33
0,00-0,40
Bilirubin Indirek
3,73
0,20-0,60
Albumin
2,6
3,5-5,5
Imuno-Serologi
HBs Ag Ultra (VIDAS)
23,50(reaktif)
N.Reak <0,13
Reak:>0,13
Anti-HCV (VIDAS)
0,27
Neg;<1,00 & Pos;>1,00

Tanggal
Satuan
Detik
Detik

mg/dl
mg/dl
mg/dl
g/dl
ng/ml

Hasil Pemeriksaan Phrotombin Time dan Serum Elektrolit Tanggal 1 Juni 2016
(RSUD Ulin Banjarmasin)
Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
PROTHOMBIN TIME
Hasil PT
13,1
9,9-13,52
Detik
INR
1,21
Control Normal PT
11,4
Hasil APTT
21,8
22,2-37,0
Detik
Control Normal APTT
26,1
ELEKTROLIT
Natrium
140
135-146
mmol/l
Kalium
3,8
3,4-5,4
mmol/l
Chlorida
109
95-100
mmol/l

35

Hasil Pemeriksaan Fungsi Hati Tanggal 3 Juni 2016 (RSUD Ulin Banjarmasin).
Pemeriksaan
KIMIA
HATI
Albumin

Hasil

Nilai Rujukan

2,8

Satuan

3,5-5,5

g/dl

Hasil Pemeriksaan Imuno-Serologi Tanggal 3 Juni 2016 (RSUD Ulin


Banjarmasin)
Pemeriksaan
IMUNO-SEROLOGI
AFP

Hasil

Nilai Rujukan

>400,0

< 10,0

Satuan
UI/ml

B. Pemeriksaan Foto Toraks


Hasil Pemeriksaan Foto toraks pada tanggal 31 Mei 2016 (IGD RSUD Ulin
Banjarmasin)
Cor

: tidak membesar, CTR <50%, kalsifikasi aorta, trachea


ditengah, sinus costofrenikus dan diagfragma normal.

Pulmo

: Hili normal, coracan bronkovaskuler meningkat. Multiple


Nodul bentuk koin lesion, ukuran 1k 0,5 cm, yang
tersebar
di kedua parenkim paru.
Jaringan lunak dan tulang dinding dada tidak tampak
kelainan.

Kesan : Multiple nodul e.c metastase intrapulmonal tipe coin lesion, tidak
tampak kardiomegali.

36

C. Pemeriksaan USG Abdomen


Hasil Pemeriksaan Foto toraks pada tanggal 31 Mei 2016 (IGD RSUD Ulin
Banjarmasin)

Hepar

: Tampak floating, echoparenkim kasar inhomogen,

37

multiple nodul hiperehoik lobus kanan, marginal tumpul,


tepi irregular. Duktus biliaris intrahepatal tidak dilatasi,
vena porta dilatasi (PSV 11,34cm/s) vena hepatica tidak
dilatasi. Ascites sekitar liver.
Kandung empedu

: dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludges.

Spleen

: ukuran membesar, v.linealis dilatasi, tak tampak


nodul/cyst

Pankreas

: normal

Ren dextra/sinistra : ukuran kecil, echoparenkim normal, pcstak dilatasi, tak


tampak batu/cyst
Vesika urinaria

: terisi penuh, tak tampak batu, tak tampak koleksi cairan


Uterus dan adnexa normal

Paraorta/parailiaka : tak tampak perbesaran KGB/parailiaka


D. Pemeriksaan CT Scan Abdomen + Kontras
Tidak ada data.
E. Pemeriksaan FNAB
Tidak ada data.

V.

DAFTAR MASALAH

Berdasarkan data-data di atas, didapatkan daftar masalah:


1) Hepatoma metastase paru
VI. RENCANA AWAL
A. Assessment : 1) Hepatoma metastase paru
B. Planning :
1. Diagnostik
-

- Urin lengkap

CT scan abdomen dengan kontras

38

FNAB

2. Terapeutik

IV plug

- Inj. Furosemide 40 mg-0-0


- Inj Omeprazole 40 mg-0-0
- Inj Tramadol 1 ampul KP
- PO. Spironolactone 1 x 100 mg
- PO. Lactulosa syr 3 x C1
- PO. Curcuma 3 x 500 mg
- UDCA 3 x 250 mg
3. Monitoring

KU, subjektif, berat badan

4. Edukasi :

Tirah baring, Nutrisi adekuat

VII. RENCANA LANJUTAN


S

Lelah
Nyeri perut
Sesak nafas
Makan
Kaki bengkak
Susah tidur
Mual/muntah
Demam
BAB
BAK

Tekanan darah (mmHg)


Denyut nadi (kali/menit)
Frekuensi nafas
(kali/menit)
Suhu (oC)
Mata (sklera ikterik)
ABDOMEN
Inspeksi
Auskultasi

Palpasi

29-05-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
120/78
78
21

30-05-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
120/80
74
20

31-05-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
125/67
80
15

1-06-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
110/90
63
15

2-06-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
120/80
78
28

36,8
(+/+)

37,1
(+/+)

37,0
(+/+)

35,3
(+/+)

36,9
(+/+)

Cembung
BU (+)
6x/menit
Bruit (+)
- + - - - - Massa
- - +
- - - - -

Cembung
BU (+)
8x/menit
Bruit (+)
- + - - - - Massa
- - +
- - - - -

Cembung
BU (+)
5x/menit
Bruit (+)
- + - - - - Massa
- - +
- - - - -

Cembung
BU (+)
5x/menit
Bruit (+)
- + - - - - Massa
- - +
- - - - -

Cembung
BU (+)
6x/menit
Bruit (+)
- + - - - - Massa
- - +
- - - - -

Shifting

Shifting

Shifting

Shifting

Shifting

39

Perkusi

A
P

dullnes (+)

dullnes (+)

dullnes (+)

dullnes (+)

dullnes (+)

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T
T
T T T

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+

+
+
+
+
+

+
-

+
-

+
-

+
AFP

+
+
-

03-06-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
100/70
80
26

04-06-2016
+
+
+
<
+
+
+/
Sulit, hitam
Kuning,
seperti teh
11070
78
24

36,5
(+/+)

37,1
(+/+)

Cembung
BU (+)
7x/menit
Bruit (+)
- + -

Cembung
BU (+)
8x/menit
Bruit (+)
- + -

1.
2.
IV plug
Inj. Furosemide 40 mg-0-0
Inj. Omeprazole 40 mg-0-0
Inj. Tramadol 1 ampul KP
PO. Spironolactone 1 x 100
mg
PO. Lactulosa syr 3 x C1
PO. Curcuma 3 x 500mg
UDCA 3 x 250 mg

Lelah
Perut sebah
Sesak nafas
Makan
Kaki bengkak
Susah tidur
Mual/muntah
Demam
BAB
BAK

Tekanan darah (mmHg)


Denyut nadi (kali/menit)
Frekuensi nafas
(kali/menit)
Suhu (oC)
Mata (sklera ikterik)
ABDOMEN
Inspeksi
Auskultasi

Sirosis Hepatis
HCC
+
+
+
+

40

Palpasi
-

Perkusi

A
P

IV plug
Inj. Furosemide 40 mg-0-0
Inj. Omeprazole 40 mg-0-0
Inj. Tramadol 1 ampul KP
PO. Spironolactone 1 x 100
mg
PO. Lactulosa syr 3 x C1
PO. Curcuma 3 x 500mg
UDCA 3 x 250 mg

Massa
- +
- - -

Massa
- +
- - -

Shifting
dullnes (+)

Shifting
dullnes (+)

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

Nyeri tekan
- - - - - - Pekak (P)
Timpani (T)
P T P
T T T
T T T

Sirosis Hepatis dengan


Komplikasi HCC Stage D ec.
Hepatitis B kronis
+
+
+
+
+
+
+
+
+
AFP >400

+
PungsiAcites
Pemeriksaan
sitologi
cairan acites

Tanggal 04 Juni 2016 pasien pulang atas kemauan sendiri.

41

BAB IV
PEMBAHASAN

Hepatoma merupakan tumor ganas primer di hati yang berasal dari sel
parenkim atau epitel saluran empedu. Hepatoma malignan atau dikenal juga
sebagai karsinoma hepatoseluler (HCC) merupakan 80-90% keganasan hati
primer. Sekitar 75% penderita karsinoma hepatoselular mengalami sirosis hati,
terutama tipe alkoholik dan pasca nekrotik. Pedoman diagnostik yang paling
penting adalah memburuknya penyakit pasien sirosis yang tidak diketahui
sebabnya dan pembesaran hati dalam waktu cepat.
Hepatoma dianggap terjadi dari hasil interaksi sinergis multifaktor dan
multifasik, melalui inisiasi, akselerasi, dan transformasi, serta peran onkogen dan
gen terkait. Walaupun penyebab pasti hepatoma belum diketahui, tetapi sudah
dapat diprediksi faktor risiko yang memicu hepatoma.
Faktor risiko yang paling memegang peranan penting dalam terjadinya
HCC adalah hepatitis. Karsinogenitas virus hepatitis B terhadap hati mungkin
terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit,
integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifikHBV berintegrasi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenitas hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh

42

kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.
Sedangkan hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalui aktifitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati. Dalam meta analisis penelitian,
disimpulkan bahwa risiko terjadinya hepatoma pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan risiko pada bukan pengidap.
Selain itu, sirosis hati merupakan faktor risiko utama hepatoma di dunia dan
melatar belakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Komplikasi yang sering terjadi
pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati
hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan
pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang
ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah. Sindrom ini
mempunyai risiko kematian yang tinggi.
Manifestasi hepatoma dibagi menjadi hepatoma fase klinis dan fase
subklinis. Hepatoma fase subklinis atau stadium dini adalah pasien yang tanpa
gejala dan tanda fisik hepatoma yang jelas, biasanya ditemukan melalui
pemeriksaan AFP dan teknik pencitraan. Hepatoma fase klinis tergolong
hepatoma stadium sedang-lanjut, manifestasi utama yang sering ditemukan
adalah nyeri abdomen kanan atas, hepatoma stadium sedang dan lanjut sering
datang berobat karena keluhan kembung dan tak nyaman atau nyeri samar di
abdomen kanan atas. Nyeri umumnya bersifat tumpul atau menusuk intermitten
atau terus-menerus, sebagian merasa area hati seperti terbebat, disebabkan tumor
tumbuh dengan cepat hingga menambah regangan pada kapsul hati. Nyeri

43

abdomen yang bertambah hebat dapat menjadi tanda adanya ruptur hepatoma.
Perut membesar juga dapat menjadi keluhan pasien disebabkan karena asites.
Selain itu, pasien akan mengalami keluhan anoreksia karena fungsi hati
terganggu, penurunan berat badan secara mendadak tanpa disertai penurunan
nafsu makan, demam yang dapat timbul karena nekrosis tumor, ikterus kulit dan
sklera karena gangguan fungsi hati atau dapat juga karena sumbatan kanker di
saluran empedu atau tumor mendesak saluran empedu hingga timbul ikterus
obstruktif.
Gejala lain yang samar dan dapat mengarahkan diagnosis ke arah HCC di
antaranya adalah perdarahan saluran cerna, diare, nyeri bahu belakang kanan,
bengkak kedua tungkai bawah, kulit gatal dan lainnya.
Pada kasus, didapatkan pasien memiliki Pasien datang dengan keluhan
berupa perut yang membesar sejak 1 bulan SMRS. Pasien merasa sering lelah dan
mengeluhkan sesak napas. Pasien juga mengaku nafsu makannya menurun
dengan diikuti penurunan berat badan. Selain itu, pasien mengeluhkan nyeri pada
perut bagian kanan atas, nyeri bersifat tajam dan mengeluhkan kedua kakinya
bengkak sehingga pasien mengulhkan sulit berjalan. Pasien mengaku jarang
BAB. BAB pasien berwarna hitam. BAK pasien berwarna seperti teh dan tidak
nyeri saat berkemih. Pasien bukan perokok dan tidak pernah mengkonsumsi
alkohol.
Pemeriksaan fisik pada hepatoma dadapatkan tanda vital yang umumnya
dalam batas normal dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak signifikan.
Pemeriksaan sklera ditemukan ikterik dan konjungtiva anemis apabila terdapat

44

manifestasi perdarahan. Pembesaran kelenjar getah bening jarang ditemukan


karena metastase pada kasus HCC jarang terjadi. Massa abdomen atas, hepatoma
lobus kanan dapat menyebabkan batas atas hati bergeser ke atas, pada
pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali di bawah arcus costa tanpa nodul,
hepatoma segmen inferior lobus kanan sering dapat langsung menunjukkan
adanya massa di bawah arcus costa kanan. Hepatoma lobus kiri teraba sebagai
massa di bawah processus xiphoideus atau massa di bawah arcus costa kiri.
Manifestasi sirosis hati dapat muncul seperti splenomegali, palmar eritema,
lingua hepatik, spider nevi, vena dilatasi dinding abdomen, dll. Pada stadium
akhir hepatoma sering timbul metastasis paru, tulang, dan banyak organ lain.
Jika ditemukan nodul berukuran kurang dari 1 cm dan diyakini ganas,
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada nodul berukuran 1-2 cm, diagnosis
HCC membutuhkan hasil positif dari pemeriksaan histologi sel. Namun, terdapat
paling tidak 30-40% hasil negatif palsu dengan pemeriksaan biopsi jarum halus
(FNAB). Hasil negatif tidak mengesampingkan kecurigaan terhadap keganasan.
Pada tumor berukuran lebih dari 2 cm, kriteria diagnostik non-invasif diterapkan
pada pasien sirosis. Diagnosis HCC ditegakkan dengan ditemukannya 2 teknik
pencitraan yang menunjukkan nodul lebih dari 2 cm dengan hipervaskularisasi
arteri

atau

oleh

satu

teknik

pencitraan

positif

yang

menunjukkan

hipervaskularisasi ditambah dengan peningkatan alfa-fetoprotein (AFP) lebih dari


400 ng/ml. Bagaimanapun, bukti histologis positif dari HCC diperlukan sebelum
transplantasi hati dilakukan.

45

Pemeriksaan laboratorium dalam membantu diagnosis HCC di antaranya


adalah darah rutin, urinalisa, serum elektrolit, kimia darah, tes fungsi ginjal, dan
uji fungsi hati yang mencakup: ALT, AST, bilirubin (total, direk, dan indirek),
albumin-globulin serum, HBsAg, anti HCV, dan AFP.
Berbagai studi menunjukkan kaitan erat antara hepatitis B kronik dengan
meningkatnya kejadian HCC. Di Taiwan sendiri, pasien dengan HBsAg positif
memiliki risiko terkena HCC 98 kali lebih tinggi daripada mereka yang negatif.
Sifat karsinogenitas VHB terhadap hati kemungkinan terjadi melalui inflamasi
kronis, proliferasi hepatosit, integrasi DNA VHB ke dalam DNA sel pejamu, dan
proses protein spesifik dari VHB yang berinteraksi dengan gen hati. Siklus
hepatosit menjadi sel yang aktif bereplikasi diaktifkan sebagai bentuk kompensasi
proliferatif respon nekroinflamsi sel hati ditambah ekspresi berlebihan gen yang
bermutasi akibat VHB. Hepatitis akibat VHC juga dapat berlanjut menjadi HCC.
Umumnya, jarak infeksi VHC melalui transfusi darah hingga menjadi HCC
membutuhkan waktu 30 tahun. Oleh karena itu, pemeriksaan HBsAg dan antiHCV harus selalu dipikirkan pada pasien curiga HCC.
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis HCC
di antaranya adalah USG abdomen, CT scan, FNAB dengan CT guiding, MRI,
dan pemeriksaan angiografi arteri hepatika. Untuk meminimalkan kesalahan hasil
pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati dianjurkan menjalani pemeriksaan setiap 3
bulan. Untuk tumor kecil pada pasien dengan risiko tinggi, USG lebih sensitif
daripada AFP serum berulang. Sensitifitas USG untuk neoplasma hati berkisar
antara 70-80%.

46

CT Scan telah menjadi parameter pemeriksaan rutin penting untuk


diagnosis lokasi dan sifat hepatoma. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati, hubungannya
dengan pembuluh darah dan penentuan modalitas terapi.
Pemeriksaan MRI dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh
darah dan saluran empedu dalam hati, juga cukup baik memperlihatkan struktur
internal jaringan hati dan hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas
berbagai terapi. Dengan zat kontras spesifik hepatosit dapat menemukan
hepatoma kecil kurang dari 1 cm dengan angka keberhasilan 55%.
Pemeriksaan angiografi arteri hepatika selektif atau supraselektif sudah
menjadi salah satu metode penting dalam diagnosis hepatoma. Namun karena
metode ini tergolong invasif, penampilan untuk hati kiri dan hepatoma tipe
avaskular agak kurang baik. Angiografi dilakukan melalui

melalui arteri

hepatika.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis hepatoma di antaranya darah rutin, urinalisa, serum
elektrolit, kimia darah, tes fungsi ginjal, dan uji fungsi hati yang mencakup: ALT,
AST, bilirubin (total, direk, dan indirek), prothombin time, faal lemak dan
jantung, albumin-globulin serum, HBsAg, anti HCV, dan AFP, serta sitologi
cairan asites. Pasien juga dilakukan pemeriksaan HBsAg dan didapatkan hasil
reaktif tetapi negatif untuk anti-HCV. Pemeriksaan radiologi yang dilakukan oleh
pasien adalah USG abdomen.
Berdasarkan data yang didapatkan, pasien masuk dalam kriteria:

47

Sistem Staging HCC berdasarkan Barcelona Clinic Liver Cancer


Stadium PST
Stadium tumor Okuda Hipertens Bilirubin
i Portal
Total
A
A1
0
Single
I
Tidak ada Normal
A2
0
Single
I
Ya
Normal
A3
0
Single
I
Ya
Berubah
A4
0
< 3 cm
I-II
B
0
> 5 cm
I-II
Multinodular
C
1-2
Invasi vaskular I-II
dan
atau
metastasis
D
3-4
Stadium
III
berapapun

Skor Child-Turcotte-Pugh
Parameter
1 poin
Ensefalopati
Tidak ada
hepatikum
Ascites
Tidak ada
Bilirubin (mg/dL)
<2
Albumin (g/dL)
> 3,5
48

ChildPugh

A-B
A-B
A-B

2 poin
Derajat 1-2

3 poin
Derajat 3-4

Sedikit
2-3
2,8 3 5

Sedang-besar
>3
< 2,8

Waktu (detik
pemanjangan >
kontrol), atau
INR

< 4 detik, atau


INR < 1,7

4-6 detik, atau


INR 1,7 2,3

> 6 detik atau INR


2,3

Keterangan:
Skor 5-6= Child A (angka kesintasan 1 tahun pertama=100%; angka kesintasan 2 tahun pertama=85%)
Skor 7-9= Child B (angka kesintasan 1 tahun pertama=81%; angka kesintasan 2 tahun pertama=57%)
Skor 10-15= Child C (angka kesintasan 1 tahun pertama=45%; angka kesintasan 2 tahun
pertama=35%)

Kriteria Okuda
Criteria
1. Disease involving > 50 % of
hepatic parenchyma
2. Ascites
3. Albumin 3 g/dL
4. Bilirubin 3 mg/dL

Interpretation
Stage A: 0 citeria
Stage B: 1-2 citeria
Stage A: 3-4 citeria

Berdasarkan kriteria yang didapatkan, pasien termasuk dalam stadium D.


Oleh karena itu terapi yang tepat diberikan untuk pasien adalah symptomatic
treatment.

49

BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan seorang wanita berusia 56 tahun yang dirawat di Ruang


Penyakit Dalam Pria RSUD Ulin Banjarmasin dengan diagnosis Hepatoma

50

metastase paru. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik serta diperkuat dengan pemeriksaan penunjang yang memastikan diagnosis.
Penatalaksanaan pada pasien ini berupa pengobatan simtomatik untuk
menghilangkan keluhan yang dirasakan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata


K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi V. Pusat
Penererbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: November 2009.

51

2. Desen, Wan., Onkologi Klinik: Edisi 2 . Hal 408-423. Balai Penerbit


FKUI. Jakarta: 2008
3. Price, Sylvia A.,Wilson,Lorraine., Patofisiologi Edisi VI, Jakarta, EGC
2005.
4. Elisabet, Imelda S.Karakteristik Penderita Hepatoma yang dirawat inap
di rumah sakit santa elisabet medan tahun 2003-2007. FKM-USU.2009.
5. Budihusodo, Unggul., Karsinoma HatiBuku ajar Ilmu Penyakit Dalam
jilid I edisi ke VI. Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 2006.
6. Singgih B., Datau E.A., Hepatoma dan sindrom Hepatorenal Diakses dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08_150 Hepatoma Hepatorenal.html
7. Rasyid Abdul. Temuan Ultrasonografi Kanker Hati Hepato Seluler
(Hepatoma).

Diakses

dari

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/15615.

52

http:

Anda mungkin juga menyukai