Anda di halaman 1dari 5

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi PB IDI2 SKP

Ensefalopati Hepatikum Minimal


Suzanna Ndraha
Ahli Penyakit Dalam, Konsultan Gastroenterohepatologi,
Fakultas Kedokteran Ukrida, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan salah satu komplikasi sirosis hati, angka kejadiannya lebih tinggi pada penderita sirosis hati
malnutrisi. Ensefalopati hepatik minimal (EHM) adalah keadaan di mana tidak terdapat gangguan klinis, namun pada tes psikometrik
ditemukan kelainan. EHM penting karena mengurangi kualitas hidup dan berisiko berkembang menjadi EH. Beberapa tahun belakangan
ini, tes critical flicker frequency (CFF) telah dikembangkan untuk mendiagnosis EHM. Tes ini telah divalidasi terhadap baku emas PHES.
ESPEN 2006 merekomendasikan diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5 g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan malnutrisi. L-ornitin-Laspartat (LOLA) terbukti dapat menurunkan kadar amonia darah. Beberapa studi telah membuktikan manfaat LOLA dan protein 1,5 g/
kgBB/hari termasuk BCAA dapat memperbaiki kondisi ensefalopati dan status gizi.
Kata kunci: Ensefalopati hepatik, L-ornitin-L-aspartat, sirosis hati

ABSTRACT
Hepatic encephalopathy (HE) is one of the complications in liver cirrhosis, the incidence is higher in malnutrition. Minimal hepatic
encephalopathy (MHE) is clinically asymptomatic, detected by impaired psychometric test. MHE has been found to affect the quality of
life and is a risk to develop overt HE. In recent years, critical flicker frequency (CFF) test has been developed for the diagnosis of MHE.
This test has been validated to the gold standard PHES. ESPEN 2006 recommend that diet 35-40 kcal/kgBW/day and protein 1.5
g/kgBW/day for liver cirrhosis with malnutrition. Recent studies proved the efficacy of L-ornithine-L-aspartate (LOLA) and 1.5 g
protein/kgBW including BCAA improve encephalopathy as well as nutritional status. Suzanna Ndraha. Minimal Hepatic Encephalopathy.
Keywords: Hepatic encephalopathy, L-ornithine-L-aspartate, liver cirrhosis

PENDAHULUAN
Sirosis hati merupakan perjalanan patologi
akhir berbagai macam penyakit hati, seperti
hepatitis virus kronik, alkoholisme, hepatitis
autoimun,
nonalcoholic steatohepatitis
(NASH), sirosis bilier. Akibat proses sirosis,
terjadi penurunan fungsi sintesis hati,
penurunan
kemampuan
hati
untuk
detoksifikasi, dan hipertensi portal dengan
segala penyulitnya.1 Salah satu komplikasi
yang perlu diwaspadai ialah ensefalopati
hepatik.
Ensefalopati hepatik (EH) adalah sindrom
disfungsi neuropsikiatri yang disebabkan
oleh portosystemic venous shunting, dengan
atau tanpa penyakit intrinsik hepar. Pasien
EH sering menunjukkan perubahan status
mental mulai dari kelainan psikologik ringan
hingga koma dalam.1
Alamat korespondensi

824

PATOFISIOLOGI
Banyak hipotesis diajukan untuk menerangkan mekanisme EH, yang paling
banyak diterima adalah teori peningkatan
amonia akibat berkurangnya fungsi hati dan
pintasan portosistemik.2
Amonia adalah neurotoksin yang pada
dosis tinggi menimbulkan kejang dan
kematian. Kadar amonia dalam otak, cairan
serebrospinal, dan arteri berkorelasi baik
dengan stadium klinik EH.3 Peningkatan
pembentukan amonia dapat terjadi akibat
tingginya asupan protein, konstipasi,
perdarahan saluran cerna, infeksi, azotemia,
atau hipokalemia. Dehidrasi, hipotensi
arteri, hipoksemia, serta anemia dapat
menimbulkan hipoksia hepatik, sehingga
kemampuan detoksifikasi hati berkurang,
dan akibatnya kadar amonia meningkat.

Progresivitas penyakit hati dan degenerasi


hepatoma
mengakibatkan
penurunan
fungsi cadangan hati, sehingga kemampuan
metabolisme toksin oleh hati ikut berkurang.
Pada sirosis hati, sering terjadi perlambatan
transit makanan di saluran cerna, sehingga
paparan dengan bakteri usus terjadi lebih
lama, mengakibatkan produksi amonia
meningkat.4
Norenberg (2006) mengajukan teori
patogenesis EH yang melibatkan reseptor
benzodiazepine
perifer
(PBR/Peripheral
Benzodiazepine Receptor) dan neurosteroid.
Dikemukakan bahwa amonia adalah toksin
utama pada EH dan astrosit adalah target
utama. Peningkatan amonia mengakibatkan
peningkatan jumlah reseptor PBR, termasuk
pada astrosit. PBR kemudian meningkatkan
produksi radikal bebas (ROS/Reactive

email: susan_ndraha@yahoo.co.id

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Gambar 2. Siklus glutamat-glutamin di otak. Glutamat presinaptik menuju reseptornya di


postsinaps. Ambilan glutamat postsinaptik dimediasi oleh transporter glutamat astrosit/
Gambar 1. Terjadinya disfungsi astrosit akibat hiperamonemia.5

Excitatory Amino Acid Transporters (EAAT).6

Oxygen Species). Radikal bebas ini menimbulkan stres oksidatif pada mitokondria,
sehingga terjadi disfungsi mitokondria.
Disfungsi mitokondria ini kemudian mengakibatkan disfungsi astrosit.3 (Gambar 1)

mengaktifkan nuclear factor kappa B, yang


kemudian mengaktifkan iNOS (inducible
nitric oxide synthase), lalu menghasilkan nitric
oxide, yang akhirnya menyebabkan disfungsi
astrosit.

Lemberg
(2009)
mengajukan
teori
patofisiologi EH yang melibatkan amonia,
glutamin, glutamat, dan stres oksidatif.
Metabolisme amonia di otak terjadi melalui
glutamin sintetase yang ada di astrosit.
Glutamin sintetase mengubah amonia dan
glutamat menjadi glutamin.6 Glutamin
bersifat osmotik aktif, sehingga peningkatan
glutamin menyebabkan air masuk ke astrosit
dan terjadi edema (Gambar 2,3).6,7

Penilaian beratnya EH, antara lain


menggunakan klasifikasi status mental
berdasarkan kriteria West Haven modifikasi
oleh Conn dan Bircher 1994.8 Ensefalopati
hepatik derajat mild, yang juga disebut
ensefalopati hepatik minimal (EHM), adalah
keadaan klinis di mana tidak terdapat
tanda gangguan mental, namun pada tes
psikometrik sudah ditemukan kelainan.
EHM penting karena mengurangi kualitas
hidup,9 dan merupakan risiko nyata EH.10
Pasien EHM sering mengalami gangguan
tidur, gangguan inteligensia, dan gangguan
kemampuan mengemudi kendaraan yang
sering mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas.9,10

Peningkatan amonia menimbulkan deplesi


glutamat otak, padahal glutamat adalah
neurotransmiter eksitatori utama di otak.
Hiperamonemia juga menimbulkan stres
oksidatif di mitokondria. Stres oksidatif ini

Gambar 3. Peranan neurotoksin amonia pada astroglia7

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

DIAGNOSIS
Tes diagnostik yang awalnya digunakan
untuk EHM adalah tes psikometrik dan
elektrofisiologik. Tes elektrofisiologik yang
meliputi visual-evoked, somatosensory-evoked,
dan brain stem auditory evoked potentials,
ternyata tidak mudah dilakukan dalam praktik
karena biayanya mahal, memerlukan peralatan
canggih, dan ternyata sensitivitasnya masih di
bawah tes psikometrik. Tes psikometrik yang
meliputi 5 tes, yaitu the digit symbol test
(DST), the number connection test A (NCTA),
the number connection test B (NCT-B),
the serial dotting test (SDT), dan the line
drawing test (LDT), direkomendasikan
sebagai baku emas diagnosis EHM dalam
konsensus di Viena tahun 1998.15 Kelima
tes yang dinamakan PHES (the Psychometric
Hepatic Encephalopathy Score) ini juga
ternyata tidak mudah dalam pelaksanaannya,
karena memerlukan waktu lama dan sangat
dipengaruhi oleh tingkat edukasi dan usia
penderitanya.11,12
Kesulitan tes psikometrik dan elektrofisiologik membuat EHM sulit didiagnosis.
Hal ini mendorong para ahli untuk mencari
alat diagnosis lain yang lebih mudah
namun akurat. Kircheis (2002) mulai
memperkenalkan tes critical flicker
frequency (CFF) untuk diagnosis EHM.
Berdasarkan hipotesis bahwa gliopati retina
dapat dijadikan petanda adanya gliopati
serebral, maka gangguan fungsi visual
dapat menjadi dasar diagnosis EHM, dengan
menggunakan cut off 39 Hz, dengan
sensitivitas 76,2% dan spesifisitas 61,4%.
Karena tes CFF kurang dipengaruhi

825

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


oleh tingkat pendidikan dan usia, dan
mempunyai sensitivitas serta spesifisitas
yang baik, disimpulkan bahwa tes CFF
dapat digunakan untuk mendiagnosis dan
memantau EHM.11,12 Gomez (2007) melakukan
penelitian CFF dengan menggunakan cut
off lebih rendah, yaitu 38 Hz, didapatkan
sensitivitas lebih baik (72,4%) dan spesifisitas
77,2%. Gomez juga melakukan validasi CFF
terhadap baku emas EHM, yaitu PHES, dan
didapatkan bahwa CFF berkorelasi baik
dengan PHES dengan spesifisitas 77,2%
dan sensitivitas 72,4%. Berdasarkan hasil
ini, disimpulkan bahwa CFF merupakan
alat diagnosis yang mudah dan akurat
untuk menilai EHM.12 Di India, Sharma
(2007) menggunakan cut off 39 Hz, dan
menyimpulkan bahwa CFF mempunyai
sensitivitas serta spesifisitas yang baik (96%
dan 77%), serta mempunyai akurasi 83,3%
dibandingkan terhadap tes psikometri dan
P300ERP.11
Di Indonesia, juga telah dilakukan penelitian
untuk menilai presisi tes CFF5 yang dibutuhkan untuk validasi tes CFF di
Indonesia. Penelitian terhadap pasien sirosis
hati di RSCM dan RS Koja mendapatkan
hasil bahwa tes ini mempunyai presisi
yang baik.5,15 Berdasarkan uji validasi CFF
di Spanyol dan India yang mendapatkan
hasil baik, dan uji presisi CFF di Indonesia
yang juga mendapatkan hasil baik, maka tes
CFF dapat dilakukan sebagai alat diagnostik
EHM di Indonesia.5,10 Suatu pemeriksaan
diagnostik mempunyai presisi tinggi jika
hasilnya tidak jauh berbeda bila diulang,
dengan Coeficient of Variation (CoV) <5%. Uji
validasi membandingkan suatu pemeriksaan diagnostik dengan baku emasnya.
Knottnerus (2009) menyatakan, agar dapat
diaplikasikan dengan baik, maka suatu tes
membutuhkan presisi yang baik.13 Irwig
(2009) mengemukakan, uji validasi di suatu
negara tidak perlu diulang bila memenuhi
persyaratan tertentu, yaitu definisi penyakit
konstan dan tes yang digunakan sama;
maka uji validasi CFF tidak perlu dilakukan di
Indonesia.14
PENGARUH MALNUTRISI
Pembatasan asupan protein sering diberikan
kepada pasien sirosis hati yang mengalami
EH. Pada tahap akut diberikan 20 g/hari,
kemudian ditingkatkan 10 gram tiap 3-5
hari. Para ahli kemudian menyadari bahwa

826

pembatasan protein jangka panjang akan


berakibat malnutrisi, yang berdampak
pada meningkatnya angka mortalitas.
Keseimbangan nitrogen positif dibutuhkan
untuk regenerasi hati dan mempertahankan massa otot yang dibutuhkan untuk
detoksifikasi amonia.17
European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (1997) merekomendasikan
diet 35-40 kkal/kgBB/hari dan protein 1,5
g/kgBB/hari untuk sirosis hati dengan
malnutrisi. ESPEN juga merekomendasikan penggunaan asam amino rantai cabang
(AARC) untuk meningkatkan status nutrisi
pada sirosis hati dengan malnutrisi. Pada
EH derajat 1-2, protein diturunkan menjadi
0,5 1,5 g/kgBB/hari.16 Setelah ensefalopati
membaik, secara bertahap pemberian
protein ditingkatkan kembali menjadi 1,2-1,5
g/kgBB/hari. Namun, konsensus ESPEN 2006
tidak lagi merekomendasikan pembatasan
protein pada EH derajat 1-2, karena makin
disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis.18

gangguan absorpsi, dan hipermetabolik.


Asupan kurang dapat disebabkan karena
ensefalopati, gangguan indra perasa/kecap,
rasa cepat kenyang karena penekanan asites
yang masif, ataupun batasan diet oleh dokter.
Gangguan absorpsi dapat disebabkan
karena berkurangnya garam empedu,
overgrowth bakteri yang mengakibatkan
gangguan motilitas usus halus, hipertensi
portal, ataupun obat (misalnya neomisin).
Sedangkan keadaan hipermetabolik dapat
terjadi karena infeksi dan asites.16 Malnutrisi
dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien penyakit hati
kronik. Penderita sirosis hati yang malnutrisi
mempunyai angka kejadian ensefalopati,
infeksi, dan perdarahan varises yang lebih
tinggi.16 Kalaitzakis, dkk. mempelajari status
nutrisi dan kejadian EH pada sejumlah
penderita sirosis hati. Didapatkan bahwa
40% pasien sirosis tergolong malnutrisi, dan
ternyata pada kelompok pasien dengan
malnutrisi lebih banyak kejadian EH. Pasien
malnutrisi telah terbukti mempunyai angka
survival lebih rendah.17

Malnutrisi pada sirosis hati antara lain


disebabkan oleh asupan yang kurang,

Pembatasan asupan protein masih merupakan kontroversi dalam penatalaksanaan

Gambar 4. Mekanisme kerja L-ornitin L-aspartat di hepatosit21

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


EH. Di masa lalu, asupan protein selalu
dibatasi pada EH. Namun, pembatasan ini
akan memperburuk malnutrisi, sedangkan
pada beberapa penelitian didapatkan bahwa
malnutrisi juga akan meningkatkan angka
kejadian EH pada sirosis hati.4,16 Sebagian ahli
menganjurkan pembatasan protein,7 dengan
tujuan mengurangi pembentukan amonia.
Namun, sebagian lain tidak menganjurkan
karena akan memperburuk malnutrisi.
Banyak penelitian kemudian membuktikan bahwa diet protein adekuat tidak
memperburuk EH. Gheorghe19 dan Parrish20
membandingkan efek diet rendah protein
terhadap protein normal pada EH, keduanya
menyatakan bahwa pemberian diet protein
normal tetap menunjukkan perbaikan EH,
sehingga restriksi protein tidak dibutuhkan
lagi pada EH. Konsensus ESPEN 2006 juga
tidak lagi merekomendasikan pembatasan
protein pada EH derajat 1-2, karena makin
disadari bahwa malnutrisi akan memperburuk prognosis.18
PERANAN LOLA
LOLA adalah garam asam amino ornitin
dan aspartat yang stabil dan telah terbukti
menurunkan kadar amonia darah dan
memperbaiki
psychometric performance
pasien EH dengan hiperamonia. LOLA menstimulasi siklus urea dan sintesis glutamin,
yang merupakan mekanisme penting
dalam detoksifikasi amonia (Gambar 4).21
Pada hepatosit periportal, amonia akan diubah menjadi urea melalui siklus urea. Ornitin
berfungsi mengaktifkan enzim carbamyl
phosphate synthetase (Cbm-P), sehingga
siklus urea bisa berlangsung, di samping itu
ornitin juga menjadi substrat dalam siklus

urea itu sendiri. Pada hepatosit perivenous,


amonia akan diubah menjadi glutamin
melalui siklus glutamin. Aspartat berfungsi
membentuk dan mengaktifkan enzim
glutamin sintetase, di mana enzim tersebut
akan mengubah amonia menjadi glutamin.
Pada sirosis, sel hati yang sehat tinggal
sedikit sehingga dibutuhkan lebih banyak
ornitin dan aspartat untuk mengimbangi
detoksifikasi secara cepat. Demikian juga
pada organ lain membutuhkan tambahan
ornitin dan aspartat yang dibutuhkan juga
dalam siklus glutamin.22
TATALAKSANA
Penatalaksanaan umum adalah dengan
memperbaiki
oksigenasi
jaringan.1
Penataksanaan khusus adalah dengan
mengatasi faktor pencetus koma hepatik,
misalnya asupan protein dikurangi atau
dihentikan sementara, kemudian baru
dinaikkan secara bertahap.1,2 Namun, pembatasan asupan protein masih merupakan
kontroversi dalam penatalaksanaan EH.
Sumber protein yang diberikan pada
ensefalopati hepatik terutama merupakan
asam amino rantai cabang dengan harapan
neurotransmiter asli dan palsu akan
berimbang, dan dengan ini, metabolisme
amonia di otot dapat bertambah. Selain itu,
diberikan laktulosa dengan dosis 10-30 ml,
3 kali/hari dengan harapan pH asam pada
usus akan menghambat penyerapan amonia.
Sterilisasi usus juga harus dilakukan dengan
pemberian neomisin 4 x 1-2 gram/hari per
oral.1,2
L-ornitin-L-aspartat (LOLA) saat ini sudah
mulai banyak digunakan untuk mengatasi
EH, karena terbukti dapat menurunkan

kadar amonia darah.21,23 Dengan adanya


LOLA, maka upaya menurunkan kadar
amonia darah tidak perlu melalui pembatasan
asupan protein. Protein yang tidak dibatasi
akan menguntungkan penderita EH yang
malnutrisi, karena status nutrisi dapat
diperbaiki tanpa kuatir terjadi EH.22 LOLA
bekerja melalui stimulasi siklus urea, maka
tidak dianjurkan pada gangguan fungsi
ginjal dengan kadar kreatinin di atas 3 mg/
dL.7
Karena EHM dan malnutrisi meningkatkan
mortalitas dan morbiditas pada sirosis hati,
maka perlu dipikirkan pemberian LOLA
bersama-sama dengan upaya perbaikan
gizi. Ndraha, dkk.22,24 dalam penelitiannya
telah melaporkan manfaat pemberian LOLA
dan diet protein 1,5 g/kgBB/hari pada EHM
di Indonesia. Dalam penelitiannya, pada
sirosis hati dengan malnutrisi, pemberian
LOLA digabungkan dengan perbaikan
gizi bersama substitusi asam amino rantai
cabang (AARC), dengan perbaikan klinis
dan parameter laboratorium yang signifikan.
Didapatkan peningkatan kadar prealbumin
yang merupakan parameter perbaikan
status nutrisi, dan peningkatan nilai CFF
yang merupakan parameter perbaikan
ensefalopati hepatik.
SIMPULAN
EHM masih merupakan masalah dalam
diagnosis dan tatalaksananya, khususnya
bila disertai penyulit malnutrisi. Pemberian
LOLA disertai diet protein 1,5 g/kgBB/hari
dan substitusi asam amino rantai cabang
(AARC) pada sirosis hati dengan malnutrisi
diharapkan dapat memberi hasil yang
menjanjikan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Kusumobroto HO. Sirosis hati. In: Sulaiman HA, Akbar HN, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. 1st ed. Jakarta: Jayabadi; 2007. p. 335-45.

2.

Ndraha S. Sirosis hati. In: Ndraha S, editor. Bahan ajar gastroenteroheapatologi. 1st ed. Jakarta: Balai Penerbit UKRIDA; 2013. p.173-90.

3.

Norenberg MD, Jayakumar AR, Rama Rao KV, Panickar KS. The peripheral benzodiazepine receptor and neurosteroids in the pathogenesis of hepatic encephalopathy and amonia

4.

Kalaitzakis E, Olsson R, Henfridsson P, Hugosson I, Bengtsson M, Jalan R. Malnutrition and diabetes mellitus are related to hepatic encephalopathy in patients with liver cirrhosis. Liver

5.

Iskandar M, Ndraha S, Hasan I, Setiati S. Presisi ensefalopati minimal pada pasien sirosis hepatis rawat jalan di RS Cipto Mangunkusumo [Kumpulan Abstrak]. Jakarta: KOPAPDI; 2009.

6.

Lemberg A, Fernndez MA. Hepatic encephalopathy, amonia, glutamate, glutamin and oxidative stress. Annals of Hepatology 2009; 8: 95-102.

7.

Merz Pharmaceuticals GmbH. Liver diseases and hepatic encephalopathy. Scientific Product Monograph. Frankfurt: Merz Pharmaceuticals GmbH; 2004. p.112-3.

8.

Munoz SJ. Hepatic encephalopathy. Med Clin N Am. 2008; 92: 795-812.

9.

Bajaj J. Management options for minimal hepatic encephalopathy. Expert Review of Gastroenterology & Hepatology 2008; 2: 785-90.

neurotoxicity. In: Hussinger, Kircheis G, Schliess F, ediotrs. Hepatic encephalopathy and nitrogen metabolism. The Netherlands: Springer; 2006. p.143-59.

International 2007; 27: 1194-201.

10. Ortiz M, Jacas C, Cordoba J. Minimal hepatic encephalopathy: Diagnosis, clinical significance and recommendations. J Hepatol. 2005; 42: 45-53.
11. Sharma P, Sharma BC, Puri V, Sarin SK. Critical flicker frequency: Diagnostic tool for minimal hepatic encephalopathy. J Hepatol. 2007; 47: 67-73. doi:10.1016/j.jhep. 2007.02.022.
12. Gomez MR, Cordoba J, Jover R, Olmo JA, Ramirez M, Rey R. Value of the critical flicker frequency in patients with minimal hepatic encephalopathy. Hepatology 2007; 45: 879-85.

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

827

CONTINUING MEDICAL EDUCATION


13. Knottnerus JA, Muris JW. Assessment of the accuracy of diagnostic tests: The cross sectional study. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and methods of diagnostic research. 2nd
ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.42-62.
14. Knottnerus JA, Irwig LM, Bossuyt PMM, Glasziou PP, Lijme JG. Designing studies to ensure that estimates of test accuracy will travel. The evidence base of clinical diagnosis: Theory and
methods of diagnostic research. 2nd ed. Singapore: Blackwell; 2009. p.96-117.
15. Ndraha S, Hasan I. Critical flicker frequency pada sirosis hati di RSUD Koja. Kumpulan Abstrak (CD). Jakarta: KOPAPDI; 2009.
16. Henkel AS, Buchman AL. Nutritional support in patients with chronic liver disease. Nature Clinical Practice Gastroenterology & Hepatology 2006; 3: 202-9.
17. Abdo AA. An evidence-based update on hepatic encephalopathy. The Saudi Journal of gastroenterology 2006; 12: 8-15.
18. Plauth M, Cabre E, Riggio O, Camilo MA, Pirlich M, Kondrup J. ESPEN guidelines on enteral nutrition: Liver diseases. Clinical Nutrition 2006: 25: 285-94.
19. Gheorghe L, Iacob R, Vdan R, Iacob S, Gheorghe C. Improvement of hepatic encephalopathy using a modified high-calorie high-protein diet. Rom J Gastroenterol. 2005; 14: 231-8.
20. Perrish CR. Nutrition update in hepatic failure. Practical Gastroenterology [Internet]. 2014 April; 47-55. Available from: http://www.medicine.virginia.edu/clinical/departments/medicine/
divisions/ digestive-health/clinical-care/nutrition-support-team/practical-gastro/Parrish%20April% 2014.pdf
21. Rose CF. Ammonia lowering strategies for the treatment of hepatic encephalopathy. Clin Pharmacol Ther.2012; 92(3): 321-31. doi: 10.1038/clpt.2012.112. [Epub 2012 Aug 8].
22. Ndraha S, Simadibrata M. Normal protein diet and L-ornithine-L-aspartate for hepatic encephalopathy. Acta Med Indones. 2010; 42(3): 158-61.
23. Poo JL, Gongora J, Avila FS, Castillo SA, Ramos GG, Zertuche MF. Efficacy of L-ornitin L-aspartate in cirrhotic patients with hyperammonemic hepatic encephalopathy. Results of a
randomized, lactulose controlled study. Annals of Hepatology 2006; 5: 281-8.
24. Ndraha S, Hasan I, Simadibrata M. The effect of L-ornithine Laspartate and branch chain amino acids on encephalopathy and nutritional status in liver cirrhosis with malnutrition. Acta
Med Indones. 2011; 43(1): 18-22.

828

CDK-234/ vol. 42 no. 11, th. 2015

Anda mungkin juga menyukai