Ns.Rahmiwati , S.Kep.,M.Kep
Disusun Oleh:
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayat-Nya
makalah tentang “Kanker Nasofaring” sebagai pemenuhan Tugas Kelompok Mata Kuliah
Onkologi yang dibimbing oleh ibu dosen Ns.Rahmiwati , S.Kep.,M.Kep. ini dapat terselesaikan.
kami menyadari dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangannya maka dari itu, saran yang
membangun sangat diperlukan untuk penulis.
Dan kami berharap makalah yang kami buat dapat berguna dan menambah ilmu pengetahuan
pembaca.
Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker) sel terbentuk di jaringan
nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring (tenggorokan) di belakang hidung. Kanker
nasofaring paling sering dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi nasofaring (Nasional Cancer
Institute, 2013).
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,
kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes RI). Berdasarkan GLOBOCAN 2012, 87.000
kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki
dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan).
Pelayanan keperawatan sangat bermanfaat bagi setiap individu untuk memenuhi
kebutuhan bio, psiko, sosial, dan spiritual. Namun, hal tersebut belum terwujud sepenuhnya
karena masih tingginya jumlah penderita penyakit pada saluran pernapasan, salah satu nya
penderita karsinoma nasofaring.
Sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992, dijelaskan bahwa
keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang mempunyai otonomi dan
kewenangan dalam melaksanakan proses keperawatan sebagai metode pemecahan masalah di
bidang kesehatan.
II. Rumusan Masalah
A. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid dengan ukuran tinggi 4 cm, lebar 4 cm
dan anteroposterior 3 cm. Dinding anterior dibentuk oleh koana dan batas posterior septum nasi.
Lantai dibentuk oleh permukaan atas palatum mole. Bagian atap dan dinding posterior oleh
permukaan yang melandai dibatasi oleh sfenoid. Dinding lateral terdapat muara tuba Eustachius.
Dinding nasofaring diliputi oleh mukosa dengan banyak lipatan atau kripta. Secara histologi
mukosa nasofaring dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia (pseudostratified ciliated
columnar epithelium) yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel gepeng berlapis
(stratified squamous ephitelium). Di antara keduanya terdapat epitel peralihan (transitional
ephitelium) yang terutama didapatkan pada dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller (Brennan,
2006).
Nasofaring memiliki pleksus limfatik submukosa yang banyak. Daerah drainase urutan
pertama adalah nodul retrofaringeal yang terdapat di ruang retrofaringeal di antara dinding
posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan fasia prevertebal. Sistem limfatik kemudian
bermuara ke cincin juguler interna profunda bagian atas pada dasar tengkorak di dalam ruang
parafaring retrostyloid di ujung atas otot sternokleidomastoid. Kemudian sistem limfatik
bermuara ke posterior daerah syaraf aksesorius dan bagian depan ke kelompok jugulodigastrik.
Nasofaring adalah struktur yang terletak di garis tengah tubuh, kaya akan pembuluh limfe
dengan muara yang bersilangan sehingga penyebaran sel tumor bilateral dan kontralateral tidak
jarang dijumpai (Bailey dkk, 2006).
B. Definisi
C. Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45-54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan
perbandingan antara 2-3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan
dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000
(Nasional Cancer Institute, 2009).
Di sebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30 per
100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan
sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun. Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang
berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan sebuah
kecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan lingkungan pemicu (Nasional
Cancer Institute, 2009).
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,
kanker leher rahim, dan kanker paru (Kemenkes RI). Berdasarkan GLOBOCAN 2012, 87.000
kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki
dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki,
dan 15.000 pada perempuan).
D. Klasifikasi
Menurut WHO :
WHO menetapkan Karsinoma Nasofaring (KNF) sebagai kanker yang berasal dari sel
skuamosa dan dibedakan menjadi 3 tipe :
Tipe II dan III lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr
(Chan dan Felip, 2009)
E. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring sudah hampir dapat dipastikan bahwa faktor pencetus
terbesarnya ialah suatu jenis virus yang disebut virus Epstein-Barr. Karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr (EB) yang cukup tinggi. Titer
ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya dan
tumor organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun
(Soepardi et al, 2012). Selain dari itu terdapat juga faktor predisposisi yang
mempengaruhi pertumbuhan tumor ganas ini, seperti :
Faktor ras
Banyak ditemukan pada ras Mongoloid, erutama di daerah Cina bagian selatan
berdasarkan hasil pengamatan cara memasak tradisional sering dilakukan dalam ruang
tertutup dan dengan menggunakan kayu bakar (Soepardi et al, 1993).
Faktor genetic
Tumor ini atau tumor pada organ lainnya ditemukan pada beberapa generasi dari suatu
keluarga (Soepardi et al, 1993).
Faktor sosial ekonomi
Faktor yang mempengaruhi ialah keadaan gizi, polusi, dan lain-lain (Soepardi et al,
1993).
Faktor kebudayaan
Kebiasaan hidup dari pasien, cara memasak makanan serta pemakaian berbagai macam
bumbu masak mempengaruhi tumbuhnya tumor ini dan kebiasaan makan makanan terlalu
panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan
mortalitas karsinoma nasofaring (Soepardi et al, 2012). Konsumsi ikan asin
meningkatkan resiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak
mengkonsumsi ikan asin (Ondrey and Wright, 2003). Ikan asin dan makanan yang
diawetkan menggunakan larutan garam akan mengubah senyawa yang terkandung dalam
ikan yakni senyawa nitrat menjadi senyawa nitrosamin (Barasi, 2007). Rendahnya kadar
vitamin C sewaktu muda dan kekurangan vitamin A dapat merubah nitrat menjadi nitrit
dan senyawa nitrosamin menjadi zat karsinogen pemicu kanker (Ballenger, 2010).
Letak geografis
Terdapat banyak di Asia selatan, Afrika Utara, Eskimo karena penduduk nya sering
mengkonsumsi makanan yang diawetkan (daging dan ikan) terutama pada musim dingin
menyebabkan tingginya kejadian kanker nasofaring (Soepardi et al, 2012).
Jenis kelamin
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki dari pada perempuan disebabkan
kemungkinan ada hubungannya dengan faktor kebiasaan hidup laki-laki seperti merokok,
bekerja pada industri kimia cenderung lebih sering menghirup uap kimia dan lain-lain
(Soepardi et al, 2012).
Faktor lingkungan
Faktor yang mempengaruhi adalah iritasi oleh bahan kimia. Asap sejenis kayu tertentu
yang dihasilkan dari memasak menggunakan kayu bakar, terutama apabila pembakaran
kayu tersebut tidak sempurna dapat menyebarkan partikel-partikel besar (5-10
mikrometer) yang dalam segi kesehatan dapat tersangkut di hidung dan nasofaring,
kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit hidung, maka
partikel ini akan menetap lebih lama di daerah nasofaring dan dapat merangsang
tumbuhnya tumor (Ballenger, 2010).
F. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kanker nasofaring adalah :
1. Gejala Dini:
1) Gejala telinga :
a. Sumbatan tuba eustachius atau kataralis.
Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran.Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini.
b. Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani.
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama
makin banyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat
gangguan pendengaran.
2) Gejala Hidung :
a. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
kemerahan.
b. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi
biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lainlainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada
anak yang sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering
tidak terdeteksi pada stadium dini (Roezin & Anida, 2007 dan National Cancer Institute,
2009).
2. Gejala Lanjut :
a. Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan kekhasan penyakit ini jika timbulnya di daerah
samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan biasanya berada
di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel
kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala
yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
b. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak ke-
V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang
lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut
dengan sindrom Jackson.Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom
unilateral.Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi
demikian biasanya prognosisnya buruk.
c. Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh.Yang sering ialah pada
tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat
buruk (Nutrisno , Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009).
G. Patofisiologi
Sudah hampir dipastikan ca.nasofaring disebabkan oleh virus eipstein barr. Hal ini dapat
dibuktikan dengan dijumpai adanya protein-protein laten pada penderita ca. nasofaring.
Sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk
proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus didalam sel host.
Protein tersebut dapat digunakan sebagai tanda adanya EBV, seperti EBNA-1 dan
LMP-1, LMP-2A dan LMP-2B. EBNA-1 adalah protein nuclear yang berperan
dalam mempertahankan genom virus. EBV tersebut mampu aktif dikarenakan
konsumsi ikan asin yang berlebih serta pemaparan zat-zat karsinogen yang
menyebabkan stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak terkontrol, sehingga
terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten (EBNA-1). Hal inilah yang
memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam hal ini terutama pada
fossa Rossenmuller.
Untuk penyakit tumor nasofaring, ada beberapa terapi yang perlu dilakukan untuk mendukung
pemulihan kondisi pasien diantaranya:
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
KNF.Modalitas utama untuk KNF adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar
peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara
jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma
nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi terpenting.
Jumlah radiasi untuk keberhasilan melakukan radioterapi adalah 5.000 sampai 7.000
cGy. Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukuran sebelum kemoterapi
diberikan. Pada limfonodi yang tidak teraba diberikan radiasi sebesar 5000 cGy, <2 cm
diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih dari 4 cm
diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi 5,5 mingguHasil pengobatan yang
dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium
tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.Untuk stadium I dan II,
diperoleh respons komplit 80% – 100% dengan terapi radiasi.Sedangkan stadium III dan
IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50%
– 80%.Angka ketahanan hidup penderita KNF dipengaruhi beberapa factor diantaranya
yang terpenting adalah stadium penyakit. Terdapat 3 cara utama pemberian radioterapi,
yaitu:
Radiasi Eksterna / Teleterapi
Radiasi Interna / Brakhiterapi
Intravena
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon
dinilai dari pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan criteria
WHO, antara lain:
1. Complete Response: menghilangnya seluruh kelenjar getah bening yang besar.
2. Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
3. No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
4. Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
2. Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker dapat
digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi pada umumnya berupa
kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker.
Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitive terhadap obat
lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.
Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil, methotrexate,
paclitaxel dan docetaxel. Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit
tumor ganas. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga
untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.Pemberian kemoterapi terbagi
dalam 3 kategori :
1) Kemoterapi adjuvant
Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya
untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan kontrol lokal.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:
Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.
Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi terjadi karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh.
2) Kemoterapi neoadjuvant
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika
lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian
kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah
tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi
neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker kepala dan leher.
Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit
adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor
yang resisten.Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor lebih baik.
Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil yang lebih baik jika
diberikan pada tumor berukuran lebih kecil.
3) Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi
yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi
sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi
terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian
menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada kanker kepala dan leher
termasuk KNF, menunjukkan hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak
sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal cisplatin masih
belum dapat dipastikan, namun pemakaian sehari-hari dengan dosis rendah,
pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan
dosis tinggi telah banyak digunakan.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
Disekresi leher dilakukan jika masih terdapat sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4. Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari KNF adalah EBV, maka pada
penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
5. Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu perhatian setelah pengobatan radiasi.Mulut terasa kering disebabkan
oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Gangguan lain
adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku didaerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual. Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa
nyeri, mengontrol gejala dan memperpanjang usia.
J. Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-
ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor
penyebab. Terakhir, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat
dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Tirtaamijaya, 2009).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. KASUS
Seorang Bapak berusia 48 tahun dirawat diruangan perawatan umum rumah sakit swasta.
Klien dirawat dengan keluhan pilek sejak 2 bulan yang lalu dan belum hilang, dengan
ingus yang kental dan berbau.akhir-akhir ini klien mengeluh nyeri pada daerah telinga,
hidungnya kadang-kadang suka tersumbat dan sering mengalami epistaksis serta terjadi
gangguan pendengaran. Seorang perawat melakukan anamnesa diperoleh data :klien suka
mengkonsumsi makanan yang diawetkan. Klien tinggal dirumah dengan ventilasi yang
kurang baik. Hasil pemeriksaan fisik diperoleh : terdapat benjolan di leher sinistra, TD :
130/90 mmHg, HR : 100x/menit, RR : 24x/menit, suhu :38.8 derajat C. pada pemeriksaan
test dengan Garputala TEST WEBER ada gangguan tuli konduktif untuk telinga sinistra.
Hasil pemeriksaan CT scan terlihat adanya massa dan erosi pada dasar otak. Hasil
pemeriksaan rontgen dasar tengkorak tampak destruksi tulang. Hasil biopsi nya klien
dinyatakan Karsinoma Nasofaring. Klien direncanakan untuk dilakukan tindakan
kemoterapi. Namun, klien merasa sia-sia kalau menjalankan kemo dia pasrah dengan
hidupnya, dan juga merasa keberatan dari biaya untuk kemoterapi. Diagnosa medis klien
Karsinoma Nasofaring Stadium II. Perawat dan dokter serta paramedic lainnya yang
terkait melakukan perawatan secara integrasi untuk menghindari/mengurangi resiko
komplikasi lebih lanjut. Keluarga klien bertanya kenapa bisa terjadi penyakit ini.
B. DATA FOKUS
Data tambahan :
1. Pasien mengatakan tidak nafsu makan
2. Pasien mengatakan BB turun 3 kg dalam 2
minggu
3. Pasien mengatakan terasa sakit untuk
menelan makanan
C. ANALISA DATA
DO :
1. Klien terdapat benjolan pada leher
sinistra
2. Tes webber : tuli konduktif pada
telinga sinistra
3. Hasil Ct-scan terdapat massa dan
erosi pada dasar otak
4. Hasil rontgen : destruksi dasar
tulang tengkorak
5. Hasil biopsi : karsinoma nasofaring
6. Dx medis : CNF Stadium II
DO :
1. Klien terdapat benjolan pada leher
sinistra
2. Tes webber : tuli konduktif pada
telinga sinistra
3. Hasil Ct-scan terdapat massa dan
erosi pada dasar otak
4. Hasil rontgen : destruksi dasar
tulang tengkorak
5. Hasil biopsi : karsinoma nasofaring
6. Dx medis : CNF Stadium II
DO :
1. Hasil TTV di dapatkan :
TD : 130/90 mmHg
HR : 100x/menit
RR : 24x/menit
S : 38,80C
S : 38,80C
3. Hasil biopsi : karsinoma nasofaring
4. DX medis : CNF Stadium II
DO :
1. Klien terdapat benjolan pada leher
D. DX KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN
1 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera : karsinoma
2 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi yang tertahan
3 Resiko Infeksi
4 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan mencerna makanan
5 Keputusasaan berhubungan dengan Penurunan kondisi fisiologis
E. INTERVENSI KEPERAWATAN
Kolaborasi :
Kolaborasikan dengan
dokter untuk pemberian
obat inhalasi
Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Mandiri:
keperawatan selama 2x24 Perlindungan Infeksi
jam, masalah resiko
1. Monitor adanya tanda dan
infeksi dapat teratasi gejala infeksi sistemik dan
Dengan kriteria hasil lokal
1. Klien tidak pilek disertai
2. Monitor kerentanan
ingus yang kental dan terhadap infeksi
berbau 3. Batasi jumlah pengunjung
2. Klien tidak mengeluh yang sesuai
hidungnya tersumbat 4. Tingkatkan asupan nutrisi
3. Hasil TTV normal: yang cukup
TD : 120/80 mmHg
Kontrol Infeksi
Nadi : 100 x/menit
1. Bersihkan lingkungan
Suhu : 36,5-37,5 C
dengan baik setelah
RR : 24 x/menit digunakan
Nyeri : skala 0 2. Dorong intake cairan
4. Hasil Laboratorium yang sesuai.
normal :Leukosit=5000-
3. Dorong untuk beristirahat
10.000
Kolaborasi:
Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian antibiotik
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan ahli
gizi dalam pemenuhan
nutrisi pasien
Keputusasaan Setelah dilakukan tindakan Mandiri:
berhubungan dengan keperawatan selama 6 jam Inspirasi harapan
Penurunan kondisi diharapkan keputusasaan
1. Bantu pasien dan keluarga
fisiologis dapat diatasi. untuk mengidentifikasi area
Kriteria hasil: dari harapan dalam hidup
1. Klien memiliki
2. Informasikan pada pasien
keinginan untuk hidup mengenai apakah situasi
2. Klien tampak tenang yang terjadi sekarang
3. Klien memiliki motivasi bersifat sementara
untuk sembuh 3. Demonstrasikan harapan
dengan menunjukkan
bahwa sesuatu dalam diri
pasien adalah sesuatu yang
berharga dan memandang
bahwa penyakit pasien
adalah hanya satu segi dari
individu
4Bantu pasien mengembangkan
spiritualitas diri
5. Jangan memalsukan hal
yang sebenarnya
6. Dukung hubungan
terapeutik dengan orang
yang penting bagi pasien
Kolaborasi:
Kolaborasikan dengan
psikolog untuk mengatasi
keputusasaan klien
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kanker nasofaring adalah penyakit di mana ganas (kanker) sel terbentuk di jaringan
nasofaring. Nasofaring adalah bagian atas faring (tenggorokan) di belakang hidung.
Kanker nasofaring paling sering dimulai di sel-sel skuamosa yang melapisi nasofaring
(Nasional Cancer Institute, 2013). Yang disebabkan oleh virus eipstein barr.
DAFTAR PUSTAKA
Ballenger, Jacob John. 2010. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher. Jilid 2
Edisi 22. Jakarta : Binarupa Aksara.
Brennan, B. 2006. Nasopharyngeal Carsinoma. Orphanet Journal of Rare Disease. 1(23): 1-5.
Iskandar, N., Soepardi, E., Bashiruddin, J., et al (Ed). 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penmerbit FKUI.