Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK I

HISPRUNG

DisusunOleh :
EKHA DEWI .R
INGGIT PUSPITA .P
FENI AGUSTINA
SILVYA ERLY
D3 KEPERAWATAN
STIKES HUTAMA ABDI HUSADA
TULUNGAGUNG
2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan
pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang
yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab
obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling
sering pada neonatus.
Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya
sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang
dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter
rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan,
kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan
akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi
usus proksimal.
Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun
1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan
megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak
diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian distal usus defisiensi ganglion.
Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di Indonesia tidak
diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah
penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap
tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.
Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak
diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada bayi
aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan
termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.
Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan
mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan
konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan
faktor lingkungan.
Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang
dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri
anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan
colostomi.
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada
para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai penyakit

hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses pembelajaran
pada mata kuliah keperawatan anak.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Defenisi

Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon ( aganglionic


megacolon ) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam colon
( Suriadi, 2001 ). Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan
gangguan pergerakan usus dimana hal ini terjadi karena kelainan inervasi usu, mulai pada
spingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, Selain
itu, penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada
neonatus.
2.2.Etiologi
Penyakit hisprung tidak memiliki plexus myenteric sehingga bagian usus yang
bersangkutan tidak dapat mengembang. Biasanya terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi
prematur. Dimana insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan ( 4: 1 ).
Penyakit ini sering terjadi pada anak dengan down syndrom. kelainan kardiovaskuler dan
kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada
myenterik dan submukosa dinding plexus.
2.3. Manifestasi klinis
Kegagalan mengeluarkan mekoniim dalam waktu 24 jam setelah lahir.
Konstipasi kronik mulai bulan pertama kelahiran dengan terlihat tinja seperti pita.
Obstruksi usus dalam periode neonatal.
Nyeri abdomen dan distensi.
Gangguan pertumbuhan.
2.4. Komplikasi
Obstruksi usus
Ketidakseimbangan cairan dan elektolit
Konstipasi
2.5. Gambaran klinis
Gambaran klinis penyakit hisprung dapat dibedakan bardasarkan usia gejala klinis:
A. Periode Neonatal
gejala klinis yang sering dijumpai, yaitu pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau,
dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat ( lebih dari 24 jam pertama )
merupakan tanda klinis yang paling khas. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang bila mekonium dapat dikeluarkan segera. Ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita hisprung yaitu enterokolitis yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun yang
paling tinggi saat usia 2-4 minggu.
B. Anak
gejala klinis yang paling menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita

biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi.
2.6. z
2.7. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit hisprung dapat
digolongkan atas :
1) Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada
garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan
abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu
dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terljadi akibat kebocoran anastomose ini
beragam, mulai dari abses rongga pelvic, abses intra abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.
2) Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan
luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya
disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat
prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga vistula perianal.
3) Enterokolitis
Merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Tindakan
yang dapat dilakukan dengan penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera
melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan
wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic yang tepat.
4) gangguan fungsi spingter

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MASALAH PENYAKIT HISPRUNG
3.1. Pengkajian keperawatan
Penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan lingkungan. Adanya
kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-28 jam setelah lahir, muntah berwarna
hijau, dan konstipasi. Bila diperkusi adanya kembung, apabila dilakukan colok anus feses akan
menyemprot. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan adanya segmen aganglionis diantaranya
apabila segmen aganglionis mulai dari anus sampai sigmoid, termasuk tipe hisprung segmen
pendek. Dan apabila aganglionis melebihi sigmoid sampai seluruh kolon, termasuk tipe hisprung
segmen panjang. Pemeriksaan biopsy rectal digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya sel
ganglionik. Pemeriksaan manometri anorektal digunakan untuk mencatat respon refluks spingter

internal dan eksternal.


3.2. Diagnosa Keperawatan
1. Pra Pembedahan
- Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus.
- Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intak yang kurang, mual dan
muntah.
- Gangguan kebutuhan nutrisi
- Resiko cedera
2. Pasca operasi
- Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
- Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan adanya insisi
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastro intestinal
- Nyeri b/d insisi pembedahan
- Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.
- Resiko komplikasi pasca pembedahan.
3.3. Kriteria hasil
a. Pengeluaran tinja lembek tanpa retensi
b. Anak tidak menunjukkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan
membran mukosa lembab, gravitasi urin atau berat jenis urun normal, sodium, potasium dan
bikarbonat dalam batas normal

3.4. Intervensi
Prapembedahan
1. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus.
Konstipasi dapat disebabkan oleh obstruksi, tidak adanya ganglion pada usus. Rencana
tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah mencegah atau mengatasi konstipasi
dengan mempertahankan status hidrasi, dengan harapan feses yang keluar menjadi
lembek tanpa adanya retensi.
Tindakan
Monitor terhadap fungsi usus dan karakteristik feses.
Berikan spoling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontra indikasi
Kolaborasi dengan dokter tentang rencana pembedahan
Ada dua tahap pembadahan pertama yaitu dengan kolostomi loop atau double barrel
dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali

normal selama 3-4 bulan. Ada 3 prosedur dalam pembedalan antara lain :
Procedur duhamel yaitu dengan cara penarikan kolon normal kearah bawah dan
menganastomosisnya di belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu
selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.
Prosedur Swenson yaitu membuang bagian aganglionik kemudian menganastomoskan
end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan
pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.
Procedu soave yaitu dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen tetap utuh
kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya
anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rectosigmoid yang tersisa.
2. Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intake yang kurang, mual
dan muntah.
Kekurangan volume cairan dapat disebabkan oleh asupan yang tudak memadai sehingga
dapat menimbulkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit , perubahan membram
mukosa, produksi dan berat jenis urin. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah untuk
mempertahankan status cairan tubuh.
Tindakan
Monitor status hidrasi dengan cara mengukur asupan dan keluaran cairan tubuh
Observasi membram mukosa, turgor kulit, produksi urin, dan status cairan.
Kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai indikasi.
3. Gangguan kebutuhan nutrisi
gangguan perubahan nutrisi disebabkan adanya perubahan status nutrisi seperti
penurunan BB, turgor kulit menurun, serta asupan kurang. Maka tujuan tindakan yang
dilakukan adalah mempertahankan status nutrisi.
Tindakan
Monitor perubahan status nutrisi antara lain turgor kulit dan asupan.
Lakukan pemberian nutrisi parenteral apabila secara oral tidak memungkinkan.
Timbang BB setiap hari.
Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggi protein.
4. Resiko cedera
Masalah ini timbul akibat adanya komplikasi penyakit hirsprung seperti gawat pernafasan
dan enterokolitis. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah untuk mempertahankan status
kesehatan.
Tindakan
Pantau TTV setiap 2 jam (jika perlu).
Observasi tanda adanya perforasi usus seperti, muntah, menigkatnya nyeri tekan,
distensi abdomen, iritabilitas, gawat pernafasan, tanda adanya enterokolitis.

Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam untuk mengetahui adanya distensi abdomen.

Pascapembedahan
1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
- kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.
- Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.
- Oleskan krim jika perlu.
2. Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan adanya insisi.
Resiko infeksi disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang masuk melalui insisi daerah
pembedahan.
Tindakan
Monitor tempat insisi
Ganti popok yang kering unutk menghindari kontaminasi feses.
Lakukan perawatan pada kolostomi atau perianal.
Kolaborasi pemberian antibiotic dalam penatalaksanaan pengobatan terhadap
mokroorganisme.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastro intestinal
Tindakan :
- Puasakan anak hingga bisisng usus positif dan ada buang gas.
- Pemberian cairan melalui intravena sesuai program sampai anal toleran dengan intake
secara oral.
4. Nyeri b/d insisi pembedahan
Masalah ini dapat disebabkan oleh efek dari insisi yang bias dilihat melalui ekspresi
perasaan nyeri, dan perubahan tanda vital.
Tindakan
Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.
Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.
Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.
5. Kurang pengetahuan
Tindakan :
- Kaji tingkat pengerahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan
pengobatan.
- Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan perhatian
tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.
- Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.
- Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya
bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.
- Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat orang
tua melakukan perawatan ostomi.
6. Resiko komplikasi pascapembedahan

Resiko komplikasi hirsprung misalnya, adanya striktur ani, adanya perforasi, obstruksi
usus, dan kebocoran. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan status
pascapembedahan agar lebih baik dan tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.
Tindakan
Monitor adanya tanda komplikasi seperti obstruksi usus karena perlengketan,
kebocoran pada anastomosis, volvulus, sepis, fistula, entero colitis, frekuensi defekasi,
konstipasi, perdarahan.
Monitor peristaltic usus.
Monitor TTV dan adanya distensi abdomen untuk mempertahankan kepatenan
pemasangan nasogastrik.
Tindakan dalam perawatan kolostomi
Siapkan alat untuk pelaksanaan kolostomi
Cuci tangan
Jelaskan pada anak prosedur yang akan dilakukan
Lepaskan kantong kolostomi dan bersihkan area kolostomi
Periksa adanya kemerahan dan iritasi
Pasang kantong kolostomi di daerah stoma
Tutup atau lakukan vikasasi dengan plester
Cuci tangan.

BAB IV
HOME CARE HISPRUNG
Perencanaan pulang dan perawatan di rumah
1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka panjang
yaitu :
a. Stenosis dan konstriksi
b. Inkontinesia
c. Pengosongan usus yang tidak adekuat
2. Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak
a. Persiapan kulit
b. Penggunaan alat kolostomi

c. Komplikasi stoma ( perdarahan, gagal devekasi, diare, prolaps, feses seperti pita).
d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi.
e. Irigasi kolostomi
3. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang pelaksanaan diet.
a. Makanan rendah sisa
b. Masukan cairan tanpa batas
c. Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit atau dehidrasi
4. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi.
a. Tampilan
b. Bau
c. Ketidaksesuaian antara anak mereka dan anak ideal
5. Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua
tentang perawatan rumah

DAFTAR PUSTAKA

http://ners-cbm-sholihah.blogspot.com/2009/07/asuhan-keperawatan-anak-hisprung.html
Diposkan oleh Iskandar Zulkarnaen di 16.13
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Anda mungkin juga menyukai