Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

FRACTURE HUMERAL NECK

Disusun Oleh : KELOMPOK 2

SEMESTER 5-A

1. Ajeng Rahayu 173210002


2. Itauz Zakah 173210016
3. Prisca Kartika Y 173210032
4. Diajeng Dwi Rosita 173210007
5. Naila Widatul M 173210023
6. Agustina Ditubun

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

INSAN CENDEKIA MEDIKA

JOMBANG

2019

i
KATA PENGANTAR

                  Puji dan syukur penulis panjatakan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan judul ” FRAKTUR HUMERUS“. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok mata kuliah  Keperawatan Medikal Bedah 3 program study S1
Keperawatan
                   Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak
kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan sarannya.

                                                                         Jombang, 15 Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................i

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 . Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Tujuan........................................................................................... 1
1.3. Manfaat ........................................................................................ 1
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1. Definisi......................................................................................... 2
2.2. Etiologi......................................................................................... 2
2.3. Klasifikasi.................................................................................... 3
2.4. Patofisiologi................................................................................. 8
2.5. Pathway........................................................................................ 9
2.6. Manifestasi Klinis........................................................................ 10
2.7. Pemeriksaan Penunjang............................................................... 10
2.8. Penatalaksanaan........................................................................... 11
2.9. Komplikasi................................................................................... 13
2.10. Konsep Asuhan Keperawatan..................................................... 14
A. Pengkajian

B. Diagnosa Keperawatan

C. Intervensi Keperawatan

BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus. Fraktur
tersebut umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang
(fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang humerus tersebut,
misalnya vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robek parsial
(sprain), putus atau robek (avulsi atau ruptur), gangguan pembuluh darah, dan
gangguan saraf (neuropraksia, aksonotmesis, neurolisis).1
Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus
ditanggulangi sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip
tersebut meliputi rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining
(mempertahankan), dan rehabilitasi.1,2
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik
pada tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma juga sangat penting untuk
diketahui.1

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan
Medikal Bedah 3 dan meningkatkan pemahaman penulis maupun pembaca mengenai
fraktur humerus.

1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai fraktur humerus.

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 DEFINISI
Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari
ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan
skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua tulang,
ulna dan radius.
Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan
sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada
tulang humerus.
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah mekanisme trauma
pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan
kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat
terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda
motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu,
trauma langsung, kejang, proses patologis malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri
pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat
dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan
dengan cedera toraks.

2.2 ETIOLOGI

Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus


menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan.
Trauma dapat bersifat:
1. Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
2. Tidak langsung

2
Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
1. Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral
2. Tekanan membengkok yang meny ebabkan fraktur transversal
3. Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat meny ebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi
4. Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah
5. Trauma oleh karena remuk
6. Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik
sebagian tulang

2.3 KLASIFIKASI

Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Fraktur Proksimal Humerus
Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang
terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1.
Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan
tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena
high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme
yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang,
proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat
digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan
pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.
Menurut Neer, proksimal humerus dibentuk oleh 4 segmen tulang:
1. Caput/kepala humerus

3
2. Tuberkulum mayor
3. Tuberkulum minor
4. Diafisis atau shaft

Klasifikasi menurut Neer, antara lain:


1. One-part fracture : tidak ada pergeseran fragmen, namun terlihat garis fraktu
2. Two-part fracture :
 anatomic neck
 surgical neck
 Tuberculum mayor
 Tuberculum minor
3. Three-part fracture :
 Surgical neck dengan tuberkulum mayor
 Surgical neck dengan tuberkulum minus
4. Four-part fracture
5. Fracture-dislocation
6. Articular surface fracture

2. Fraktur Shaft Humerus


Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah fraktur sepertiga
tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10% sepertiga distal
diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung maupun tidak langsung.
Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan dapat
terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur. Pemeriksaan neurovaskuler
adalah penting dengan memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat
bengkak, pemeriksaan neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali tanda-
tanda dari sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada
manipulasi lembut.
Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus :
a. Fraktur terbuka atau tertutup
b. Lokasi : sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal
c. Derajat : dengan pergeseran atau tanpa pergeseran
d. Karakter : transversal, oblique, spiral, segmental, komunitif

4
e. Kondisi intrinsik dari tulang
f. Ekstensi artikular

3.Fraktur Distal Humerus


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk
semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur
humerus.

Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung
atau trauma tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh atau
terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku
tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh
dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal
ini biasa terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua.
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat
bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien akan mengeluhkan siku
lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri tekan,
krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas normal.
1. Suprakondiler Fraktur
Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai
daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah
fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur
jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type
(pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada
bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang
terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui
benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku
dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan
terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.
Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat
jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam
posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan
sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen didapati

5
fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke
posterior.
Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami
pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal.
Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk
mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vaskularisasi, sehingga bila
tidak diterapi secara cepat dapat terjadi: "acute volksman ischaemic" dengan
tanda-tanda: pulseless; pale; pain; paresa; paralysis.
Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan
ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan sensorik
pada bagian dorsal serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati
ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari. Gangguan
sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati
ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Sering didapati
lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf
interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk
melakukan fleksi.
a. Pada Dewasa
 Fraktur suprakondilus extension type
Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang
terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal terdesak
ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke
dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak
bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n. medianus.
Periosteum posterior utuh,sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi
hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan.
 Fraktur suprakondilus flexion type
Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada
sendi siku pada distal humeri.
b. Pada Anak
Angka kejadiannya pada anak sekitar 55% sampai 75% dari semua
fraktur siku. Insidensi puncaknya adalah pada anak berusia 5-8 tahun. 98%
dari fraktur suprakondiler pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe

6
ekstensi. Gejala klinisnya adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat
digerakkan. Dapat ditemukan Pucker Sign, cekungan dari kulit pada bagian
anterior akibat penetrasi dari fragmen proximal ke muskulus brakhialis. Pada
anak, fraktur suprakondiler dapat diklasifikasikan menurut Gartland.
Klasifikasi Gartland
Tipe I : tidak ada pergeseran
Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai angulasi
atau rotasi
Tipe III : pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral
2. Transkondiler Fraktur
Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik.
3. Interkondiler Fraktur
Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur humerus
distal yang lain.
Klasifikasi menurut Riseborough and Radin:
Tipe I : fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur
Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen kondilus
Tipe III : pergeseran dengan rotasi
Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan artikular
4. Kondiler Fraktur
a. Pada Dewasa
Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral.
Klasifikasi menurut Milch :
Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna
Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen
b. Pada Anak
 Lateral Condyler Physeal Fractures
Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari seluruh fraktur
distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak berusia 6 tahun.
Klasifikasi Milch :
Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui celah
kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter- harris tipe IV.
Siku stabil dikarenakan troklea intak.

7
Tipe II : garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul pada
fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh
karena ada kerusakan pada troklea.
Klasifikasi Jacob:
Stage I : fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler Intak
Stage II : fraktur dengan pergeseran sedang
Stage III : pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku
 Medial Condyler Physeal Fractures(9)
Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun.
Klasifikasi Milch:
Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini timbul
pada fraktur salter-harris tipe II.
Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada fraktur
salter-harris tipe VI.
Klasifikasi kilfoyle :
Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak
Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal
Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan otot fleksor

2.4 PATOFISIOLOGI

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
ini merupakan dasar penyembuhan tulang.

8
2.5 PATHWAY

9
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Secara umum tanda dan gejala fraktur yang terjadi biasanya seperti menurut M. Clevo
& Margareth, tahun 2012 :
1. Pada tulang traumatik dan cedera jaringan lunak biasanya disertai nyeri. Setelah
terjadi patah tulang terjadi spasme otot yang menambanh rasa nyeri. Fraktur
patologis mungkin tidak disertai nyeri
2. Bengkak dan nyeri tekan: edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi
darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur
3. Deformitas: Daya terik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari
tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :
i. Rotasi pemendekan tulang
ii. Penekanan tulang
4. Mungkin tampak jelas posisi tulang dan ekstermitas yang tidak alami
5. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
6. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur
7. Tenderness/keempukan
8. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
9. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)
10. Pergerakan abnormal
11. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah
12. Krepitas

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Laboratorium
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hemoglobin,hematokrit sering
rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED)meningkat bila kerusakan
jaringan lunak sangat luas. Pada masapenyembuhan Ca dan P mengikat di dalam
darah.
2. Radiologi
Pada rontgen dapat dilihat gambaran fraktur (tempat fraktur, garisfraktur
(transversa, spiral atau kominutif) dan pergeseran lainnya dapatterbaca jelas).
Radiografi humerus AP dan lateral harus dilakukan.Sendi bahu dan siku harus
terlihat dalam foto. Radiografi humeruskontralateral dapat membantu pada
10
perencanaan preoperative.Kemungkinan fraktur patologis harus diingat. CT-scan,
bone-scan danMRI jarang diindikasikan, kecuali pada kasus dengan
kemungkinanfraktur patologis. Venogram/anterogram menggambarkan
arusvascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang lebihkompleks.

2.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan secara umum


1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu.
2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah
(bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur.
Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas
untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat
tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam
jangka waktu sesingkat mungkin.
1. Fraktur proksimal humeri
Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera
diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama
waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil
membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini
dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi.
Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan
dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).
2. Fraktur shaft humeri
Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi
kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila
kedudukn sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab
(sugar tong splint). Immobilisasi dipertahankan selama 6 minggu.
Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast
terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal
dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan).
Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus
dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus

11
disertai eksplorasi n. Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis)
dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan
hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik
kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan.
3. Fraktur suprakondiler humeri
Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum.
Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai
tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba
lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal.
Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot
trisep yang berfungsi sebagai internal splint.
Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat
dipertahankan dalam waktu 3-6 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca
reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku
diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi
dengan sistem Dunlop.
Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya
berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih
baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.
4. Fraktur transkondiler humeri
Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau
tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi
terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw.
5. Fraktur interkondiler humeri
Bila dilakukan tindakan konservatif berupa reposisi dengan immobilisasi dengan
gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk
mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan
internal fiksasi dengan plate-screw.
6. Fraktur kondilus lateral & medial humeri
Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi tertutup,
kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang baik,
perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna
dengan plate-screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan debridement dan
dilakukan fiksasi luar.
12
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi awal
1.Kerusakan arteri: pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cianosis bagian distal, hematoma yang lebar dan dingin pada
ekstermitas
2.Kompartement syndrom
Merupakan  komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan
pembuluh darah dalam jaringan parut.
3.Fat embolism syndrom
Yang paling sering terjadi pada fraktur tulang panjang. Terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk kealiran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, takikardi,
hipertensi, tachypnea, demam
4.Infeksi: jika  sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
5.Avaskuler nekrosis
Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang
6.Shock: karena kehilangan banyak darah

Komplikasi dalam waktu lama

1. Delayed union
Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung karena penurunan suplai darah ke tulang.
2. Nonunion
Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Ditandai dengan pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthritis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
3. Malunion
Penyembuhan tulang yang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan
perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimmobilisasi yang baik.

13
2.10. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SISTEM MUSKULOSKELETAL
“FRAKTUR HUMERUS”

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang meliputi: nama,
jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, dan tanggal pengkajian
serta siapa yang bertanggung jawab terhadap klien
2. Keluhan utama
Penderita biasanya mengeluh nyeri.
3. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan dahulu
Pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang apa pernah
mengalami tindakan operasi apa tidak.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka (pre/post op).
3. Riwayat kesehatan keluarga
Didalam anggota keluara tidak / ada yang pernah mengalami penyakit fraktur /
penyakit menular.
4. Keadaan umum
Kesadaran: compos mentis, somnolen, apatis, sopor koma dan koma dan apakah
klien paham tentang penyakitnya.
5. Pengkajian Kebutuhan Dasar
a. Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area
jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tidak ada nyeri
akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
b. Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-
harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi
dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar

14
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c. Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.

d. Cairan
Perdarahan dapat terjadi pada klien fraktur sehingga dapat menyebabkan resiko
terjadi kekurangan cairan.
e. Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dimana Aktifitas dan latihan
mengalami perubahan/gangguan akibat adanya luka sehingga perlu dibantu.
f. Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
g. Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
h. Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan
lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke dalam jaringan.
Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan, kelemahan.
i. Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan
local
j. Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang

15
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
k. Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi Sosial
Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi verbsl/nonverbal
dengan orang terdekat/keluarga, spiritual tak/dibantu dalam beribadah.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi saraf,
cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan tulang,
nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
3. Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka operasi
pada lengan atas.
4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan
penurunan kekuatan lengan atas.
5. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.

C. Intervensi / Rencana Keperawatan


1. Dx: Nyeri akut yang berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, kompresi
saraf, cedera neuromuscular, trauma jaringan, dan reflex spasme otot sekunder.
Tujuan: nyeri berkurang, hilang, atau teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diatasi,
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak
gelisah. Skalanyeri 0-1 atau teratasi.
Intervensi:
1) Kaji nyeri dengan skala 0-4.
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat dikaji dengan
menggunakan skala nyeri. Klien melaporkan nyeri biasanya di atas tingkat
cidera.
2) Atur posisi imobilisasi pada lengan atas.
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi pergerakan fragmen
tulang yang menjadi unsure utama penyebab nyeri pada lengan atas.
16
3) Bantu klien dalam mengidentifikasi factor pencetus.
Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih, dan berbaring lama.
4) Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan
noninvasife.
Rasional: pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi
lainnya efektif dalam mengurangi nyeri.
5) Ajarkan relaksasi: tenik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
mengurangi intensitas nyeri. Tingkatkan relaksasi masase.
Rasional:teknik ini akan melancarkan peredaran darah sehingga O2
padajaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.
6) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
Rasional: mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri ke hal-hal yang
menyenakan.
7) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang
nyaman, misalnya waktu tidur, belakang tubuh klien dipasang bantal kecil.
Rasional: istirahat merelaksasi semua jaringan sehingga semua akan
meningkatkan kenyamanan.
8) Tingkatkan pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri dan hubungkan dengan berapa
lama nyeri akan berlangsung.
Rasional: pengetahuan tentang sebab-sebab nyeri membantu mengurangi nyeri.
Hal ini dapat membantu meningkatkan kepatuhan klien terhadap rencana
teraupetik.
9) Pantau keadaan pemasangan gips.
Rasional: gips harus tergantung (dibiarkan tergantung bebas tanpa disangga)
karena berat gips dapat digunakan sebagai traksi terus-menerus pada aksis
panjang lengan. Klien dinasihati untuk tidur dalam posisi tegak sehingga traksi
dari berat gips dapat dipertahankan secara konstan.
10) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesic.
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.
2. Dx: Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan
tulang, nyeri sekunder akibat pergerakan fragmen tulang.
Tujuan: klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya.

17
Kriteria hasil: klien dapat ikut seta dalam program latihan, tidak mengalami
kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan klien menunjukan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi adanya peningkatan kerusakan. Kaji
secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b. Atur posisi imobilisasi pada lengan atas. Rasional :imobilisasi yang adekuat
dapat mengurangi pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsure utama
penyebab nyeri pada lengan atas.
c. Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstermitas yang tidak sakit.
Rasional: gerakan aktif memberikan massa, tonus, dan kekuatan otot, serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
d. Bantu klien melakukan ROM dan perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional: untuk mempertahankan fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk melatih fisik klien.
Rasional: kemampuan mobilisasi ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan
fisik dan tim fisisoterapi.

3. Dx: Risiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan adanya port de entrée luka
operasi pada lengan atas.
Tujuan: infeksi tidak terjadi selama perawatan.
Kriteria hasil: klien mengenal factor risiko, mengenal tindakan
pencegahan/mengurangi factor risiko infeksi, dan menunjukan/mendemonstrasikan
teknik-teknik untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi:
1) Kaji dan monitor luka operasi setiap hari.
Rasional :mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi yang mungkin timbul
secara sekunder akibat adanya luka pasca operasi.
2) Lakukan perawatan luka secara steril.
Rasional: teknik perawatan luka secara steril dapat mengurangi kontaminasi
kuman.
3) Pantau/batasi kunjungan.
Rasional :mengurangi risiko kontak infeksi dari orang lain.
18
4) Bantu perawatan diri dan keterbatasan aktivitas sesuai toleransi. Bantu program
latihan.
Rasional: menunjukan kemampuan secara umum, kekuatan otot, dan merangsang
pengembalian system imun.
5) Berikan antibiotic sesuai indikasi.
Rasional: satu atau beberapa agens diberikan yang bergantung pada sifat
pathogen dan infeksi yang terjadi.

4. Dx: Risiko cedera berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik


Tujuan: cedera tidak terjadi
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam mencegah cedera
Intervensi:
1) Pertahankan imobilisasi pada lengan atas
R: meminimalkan rangsang nyeri akibat gesekan antara fragmen tulanng dan
jaringan lunak sekitarnya
2) Bila klien menggunakan gips, pantau adanya penekanan setempat dan sirkkullasi
perifer
R: Mendeteksi adanya sindrom kompartemen dan menilai secara dini adanya
gangguan sirkulasi pada bagian distal lengan atas
3) Bila terpasang bebat, sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut agar
posisi tetap netral
R: mencegah perubahan posisi dengan tetap mempertahankan kenyamanan dan
keamanan
4) Evaluasi bebat terhadap resolusi edema
R: bila fase edema telah lewat kemungkinan bebat menjadi longgar dapat terjadi
5) Evaluasi tanda/gejalah perluasan cedera jaringan (peradangan local/sistemik,
seperti peningkatan nyeri, edema, dan demam)
R: menilai perkembangan masalah klien

5. Dx: Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuscular dan


penurunan kekuatan lengan atas.
Tujuan: perawatan diri klien dapat terpenuhi

19
Kriteria Hasil: klien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan
merawat diri, mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan, dan mengidentifikasi individu yang dapat memmbantu
Intervensi:
1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
R: memantau dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan untuk
kebutuhan individual.
2) Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu.
R: hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien
karena klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan bantuan orang lain.
3) Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya. Berikan
klien motivasi dan izinkan ia melakukan tugas, kemudianb beri umpan balik
positif atas uasaha yang telah dilakukan.
R: klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten. Intervensi tersebut
dapat meningkatkan harga diri, memandirikan klien, dan menganjurkan klien
untuk terus mencoba.
4) Rencanakan tindakan untuk mengurangi pergerakan pada sisi lengan yang sakit,
seperti tempatkan makanan dan peralatan  dalam suatu tempat yang belawanan
dengan sisi yang sakit.
R: klien akan lebih mudah mengambil peralatan yang diperlukan karena lebih
dekat dengan lengan yang sehat. \
5) Identifikasi kebiasaan BAB. Ajurkan minum dan tingkatkann latiahan.
R: meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi.
6. Dx: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, akan menjalani operasi, status
ekonomi, dan perubahan fungsi peran.
Tujuan: Ansietas hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil: klien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
factor yang mempengaruhi, dan menyatakan ansietasnya berkurang.
Intervensi:
1) Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas. Dampingi klien dan lakukan tindakan
bila klien menunjukan perilaku merusak
R: reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa agitasi, marah dan gelisa.
2) Hindari konfrontasi.

20
R: konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan
mungkin memperlambat penyembuhan.
3) Mulai lakukan tindakan untuk mengurangi ansietas. Beri lingkungan yang tenang
dan suasana penuh istirahat.
R: mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.
4) Tingkatkan control sensasi klien.
R: control sensasi klien (dalam mengurangi ketakutan) denga cara membberikan
informasi tentang keadaan klien, menekankann penghargaan terhadap sumber-
sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan
teknik-teknik pengalihan, serta memberikan umpan balik yang positif.
5) Orientasikan klien terhadap tahap-tahap prosedur operasi dan aktivitas yang
diharapkan.
R: orientasi terhadap prosedur operasi dapat mengurangi ansietas.
6) Beri kesempatan klen mengungkapkan ansietasnya
R: dapat menghilangkann ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak
diekspresikan.
7) Berikan privasi kepada klien dengan orang terdekat.
R: memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan, menghilangkan ansietas,
dan perillaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih klien
untuk melakukan aktivitas pengalihan perhatian akan mengurangi perasaan
terisolasi. 

21
BAB 3

KESIMPULAN

Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang
rawan episial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.

Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat


menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar
tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luas dan tingkat
kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya.

Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.

Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepat dan tepat
untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi Mahartha Gde Rastu, Dkk. 2013. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.http://download.portalgaruda.org/article.php?
article=14484&val=970diakses senin 28-12-2-15 (12:20)
2. Brunner, Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC.
Jakarta
3. Mansjoer Arif, dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
4. Price S.A, Wilson L.M. 2006. Patofifisiologi Konsepklinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta : EGC
5. Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012. Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika
6. Smeltzer. 2001 .Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and Suddarth. Jakarta: EGC
7. Wilkinson Mjudith, Ahern R. 2011. Buku Saku Diangnosa Keperawatan
Edisi9Nanda Nic Noc. Jakarta: EGC
8. Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42; Sistem
Muskuloskeletal.
9. Emedicine. 2012. Humerus Fracture. Accessed: 2nd February 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/825488-overview

23

Anda mungkin juga menyukai