Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Fraktur Humerus


Fraktur menurut Price & Wilson (dalam Nurarif & Hardhi, 2015) adalah
patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar
tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap.
Humerus adalah tulang tunggal dari lengan atas. Pada ujung proksimalnya
adalah kepala humerus. Kepala humerus berartikulasi dengan rongga glenoid
skapula untuk membentuk sendi (bahu) glenohumeral dan pada ujung distal
humerus memiliki dua area artikulasi, yang bergabung dengan tulang ulna
dan jari-jari lengan bawah untuk membentuk sendi siku (Nugrahaeni, 2020).
Fraktur humerus adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa pada tulang humerus atau rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap pada tulang humerus (Noordiati, 2018).
Fraktur terjadi karena kegagalan tulang humerus menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Dapat bersifat
langsung yang menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan, maupun trauma tidak langsung yang dapat terjadi
apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur
(Murtala, 2019).

B. Etiologi Fraktur
Etiologi fraktur menurut Price & Wilson (dalam Suriya & Zuriyati, 2019)
ada tiga, yaitu:
1. Cidera atau benturan
a. Cidera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
5
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit di
atasnya.

b. Cidera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari


lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula.

c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot


yang kuat

2. Fraktur Patologik
Fraktur terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.

3. Fraktur Beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru
saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru diterima dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan berlari.

Kemudian Chairuddin (dalam Nurarif & Hardhi, 2015) membagi


penyebab fraktur menjadi tiga, yaitu fraktur traumatik, fraktur patologis dan
fraktur stress.
1. Fraktur traumatik disebabkan adanya trauma pada tulang baik langsung
maupun tidak langsung.

2. Fraktur patologis terjadi pada tulang karena adanya kelainan/ penyakit


yang menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan
bawaan) dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan

3. Fraktur stress terjadi karena adanya stress yang kecil dan berulang-
ulang pada daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stress
jarang sekali ditemukan pada anggota gerak atas.

6
C. Manifestasi Klinis Fraktur
Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer & Bare (dalam Suriya &
Zuriyati, 2019) adalah sebagai berikut :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
immobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.

2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan


cenderung bergerak secara tidak alamiah, bukannya tetap rigid seperti
normalnya, pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas yang normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot

3. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya


karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur.

4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang


yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai


akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Selain itu manifestasi klinis dari fraktur menurut Nurarif & Hardhi (2015)
adalah sebagai berikut :
1. Tidak dapat menggunakan anggota gerak.
2. Nyeri pembengkakan.

7
3. Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh
di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat,
kecelakaan kerja, trauma olah raga)
4. Gangguan fungsio anggota gerak
5. Deformitas
6. Kelainan gerak
7. Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain
Perkiraan penyembuhan fraktur tulang humerus pada orang dewasa berkisar
10 – 12 minggu.

D. Patofisiologi Fraktur
Secara singkat Suriya & Zuriyati (2019) menjelaskan patofisiologi dari
fraktur sebagai berikut: ketika patah tulang terjadi kerusakan di korteks,
pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak, akibat dari hal tersebut
terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal medul antara tepi tulang bawah
periostrium dengan jaringan tulang yang mengalami fraktur.
Terjadinya respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik ditandai
dengan fase vasodilatasi dari plasma dan leukosit, ketika terjadi kerusakan
tulang tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki
cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang.
Hematom yang terbentuk biasa menyebabkan peningkatan tekanan dalam
sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dangumpalan
lemak tersebut masuk ke dalam pembuluh darah yang mensuplai organ–organ
yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan
kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini
menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan sindrom kompartemen.

8
Gambar 2.1 Patofisiologi Fraktur (Nurarif & Hardhi, 2015)

9
E. Klasifikasi Fraktur Humerus
Klasifikasi fraktur humerus menurut Murtala (2019) dibagi menjadi tiga,
yaitu fraktur proksimal humerus, fraktur batang (Shaft) humerus, dan fraktur
distal humerus, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Fraktur Proksimal Humerus
Pada fraktur jenis ini, insidennya meningkat pada usia yang lebih
tua, yang terkait dengan osteoporosis, dengan perbandingan wanita dan
pria adalah 2 : 1. Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa
dihubungkan dengan kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien
dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena high-energy trauma,
contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme yang jarang
terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang,
proses patologis: malignansi.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan,
nyeri pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat
terlihat di dinding dada dan pinggang setelah terjadi cidera. Hal ini
harus dibedakan dengan cidera toraks.

2. Fraktur Batang (Shaft) Humerus


Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. Sebanyak 60% kasus
adalah fraktur sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertigaproksimal
diafisis, dan 10% sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma
dapat secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat berupa
fraktur terbuka maupun fraktur tertutup dengan adanya pergeseran
maupun tanpa pergeseran. Karakter fraktur pada batang (shaft) humerus
dapat berupa fraktur transversal, spiral, oblique, segmental maupun
kominutif.
Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan
dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur.
Pemeriksaan neurovaskuler penting dengan memperhatikan fungsi
nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak pemeriksaan
neurovascular serial diindikasikan untuk mengenali tanda-tanda dari

10
sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai
krepitasi.

3. Fraktur Distal Humerus


Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar
2% dari semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh
kejadian fraktur humerus. Mekanisme cidera untuk fraktur ini dapat
terjadi karena trauma langsung maupun trauma tidak langsung.
Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh atau terpleset
dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku
tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Sedangkan trauma tidak
langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh tetapi
posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang
dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua.
Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat
terlihat bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien
akan mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari
perabaan (palpasi) terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan neurovaskuler
dalam batas normal.

F. Proses Penyembuhan Tulang


Menurut Brunner & Suddarth (dalam Eryani, 2020) proses penyembuhan
tulang dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu:
1. Inflamasi: dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respons yang
sama dengan bila ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi
perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pembentukan
hematoma pada tempat tulang patah. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera
kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih besar), yang
akan membersihkan daerah tersebut. Tahap inflamasi berlangsung
beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan
nyeri.
11
2. Proliferasi sel: dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami
organisasi. Terbentuk benang-benang fibrin dalam jendela darah,
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan
osteoblast. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, sel
endostel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan
proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patah tulang. Terbentuk
jaringan ikat fibrus dan tulang rawan (osteoid). Dari periosteum,
tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut
dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang.
Tetapi, gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang
yang sedang aktif tumbuh menunjukan potensial elektronegatif.
3. Pembentukan Kalus: pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran
tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan
fibrus, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume
yang dibutuhkan untuk menghubungkan efek secara langsung
berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu
waktu 3 sampai 4 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang
rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi
digerakkan.
4. Osifikasi: pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2
sampai 3 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral.
Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar telah
bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif.
Pada patah tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
5. Remodeling menjadi tulang dewasa: tahap akhir perbaikan patah tulang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru ke
susunan structural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung beratnya modifikasi
tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan pada kasus yang melibatkan
tulang kompak dan kanselus stress fungsional pada tulang. Tulang

12
kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat dari
pada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak langsung.
Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan patah tulang
tidak lagi negatif.

Sedangkan menurut DEPKES (dalam Risnanto & Uswatun, 2014) bahwa


pada saat tulang patah tubuh mengadakan proses penyembuhan untuk
memperbaiki jejas dan perbaikan equilibrium tubuh. Dalam waktu 42-72 jam
terjadi hematoma terbentuk sekitar fraktur karena ada nekrosis. Fibroblast dan
osteoblas bermigrasi segera membentuk granulasi sebagai awal
penyembuhan, pembentukan callus menyatukan jaringan tanpa tulang dan
callus ditransformasikan dari jaringan yang hilang, jaringan fibrosa di tulang.
Osteoclas dan phagocytes memindahkan runtuhan jaringan dan tulang yang
nekrotik direabsorbsi proses pembentukan dan reabsorbsi disebutremodeling.
Remodeling berlangsung sekitar 6 minggu dan dapat dipengaruhioleh faktor
proses penuaan.

Gambar 2.2 Tahap Penyembuhan Fraktur (Nurarif & Hardhi, 2015)

G. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Tulang


Menurut Black J. M. & Hawks J. H. (dalam Eryani, 2020) sirkulasi yang
adekuat dan imobilisasi fragmen fraktur sangat penting untuk penyembuhan
tulang yang efektif. Penyakit tulang atau sistemik, usia dan kesehatan umum
klien, jenis fraktur, serta terapi juga akan memengaruhi kecepatan dan
13
kesuksesan penyembuhan. Fraktur impaksi dapat sembuh dalam beberapa
minggu, tetapi fraktur pergeseran memerlukan waktu berbulan-bulan atau
bertahun- tahun. Fraktur radial atau ulnar sembuh dalam 3 bulan, tapi fraktur
di tibia atau humerus butuh 6 bulan atau lebih. Fraktur pada bayi dapat
sembuh dalam 4-6 minggu, fraktur yang sama pada remaja butuh 6-10
minggu. Laju penyembuhan fraktur tidak berkurang secara signifikan pada
orang yang lebih tua kecuali ia memiliki gangguan metabolik seperti
osteoporosis.

H. Komplikasi Fraktur
Menurut Suriya & Zuriyati (2019) komplikasi yang dapat muncul pada
fraktur terbagi menjadi komplikasi awal dan komplikasi lambat.
1. Komplikasi Awal
Komplikasi awal setelah fraktur adalah kejadian syok, yang berakibat
fatal hanya dalam beberapa jam setelah kejadian, kemudian emboli
lemak yang dapat terjadi dalam 48 jam, serta sindrom kompartemen
yang dapat berakibat kehilangan fungsi ekstremitas secara permanen
jika terlambat ditangani.
2. Komplikasi Lambat
Komplikasi lambat dalam kasus fraktur adalah penyatuan tulang yang
mengalami patah terlambat, bahkan tidak ada penyatuan. Hal ini terjadi
jika penyembuhan tidak terjadi dalam dengan waktu normal untuk jenis
dan fraktur tertentu. Penyatuan yang terlambat atau lebih lama dari
perkiraan berhubungan dengan adanya proses infeksi sitemik dari
tarikan jauh pada fragmen tulang. Sedangkan tidak terjadinya
penyatuan diakibatkan karena kegagalan penyatuan pada ujung-ujung
tulang yang yang mengalami patahan.

I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan fraktur,
menurut Nurarif & Hardhi (2015) adalah sebagai berikut :

14
1. X-ray: menentukan lokasi/ luasnya fraktur
2. Scan Tulang: Memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
3. Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vascular
4. Hitung darah lengkap: hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun
pada perdarahan, peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi atau cedera hati.

J. Penatalaksanaan Fraktur
Prinsip penatalaksanaan pada fraktur meliputi (Nurarif, 2015; dalam
Suriya & Zuriyati, 2019).
1. Reduksi
Reduksi fraktur artinya mengembalikan frakmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan
frakmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
dengan manipulasi dan traksi manual. Alat-alat yang digunakan
biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka dengan
pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pen, kawat, skrup,
plat dan paku.
2. Imobilisasi
Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovascular slalu
dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan dan gerakan.
Perkiraan waktu imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan tulang
yang mengalami fraktur adalah 3 bulan.

15
3. Cara Pembedahan
Cara pembedahan yaitu pemasangan screw dan plate atau dikenal
dengan pen merupakan salah satu bentuk reduksi dan imobilisasi yang
dikenal dengan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF).

K. Keperawatan Perioperatif
1. Definisi Keperawatan Perioperatif
Keperawatan Perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien (Eryani, 2020).
Keperawatan perioperatif adalah hasil dari perkembangan
keperawatan kamar operasi. Fokus keperawatan perioperatif sekarang
adalah pasien (patient oriented, bukan task-oriented). Pembedahan
dibagi menjadi tiga fase atau tahap yaitu praoperatif, intraoperatif dan
pascaoperatif. Ketiga tahap ini disebut tahap perioperatif (Baradero et
al, 2019).

2. Tahapan dalam Keperawatan Perioperatif


Terdapat tiga tahapan dalam keperawatan perioperatif, yaitu tahap
praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif (Baradero et al, 2019).
1. Tahap Praoperatif
Tahap praoperatif dimulai ketika keputusan diambil untuk
melaksanakan intervensi pembedahan. Termasuk dalam kegiatan
perawatan dalam tahap ini adalah pengkajian praoperasi
mengenai status fisik, psikologis dan social pasien, rencana
keperawatan mengenai persiapan pasien untuk pembedahannya
dan implementasi intervensi keperawatan yang telah
direncanakan. Tahap ini berakhir ketika pasien diantar ke kamar
operasi dan diserahkan ke perawat bedah untuk perawatan
selanjutnya.

16
Menurut Eryani (2020) persiapan pembedahan dapat dibagi
menjadi dua bagian, yang meliputi persiapan psikologi baik
pasien maupun keluarga dan persiapan fisiologi (khusus pasien).
a. Persiapan Psikologi
Emosi pasien dan keluarga yang akan menjalani operasi
terkadang tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan karenatakut
akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya dan keeadaan
social ekonomi dari keluarga. Hal ini dapat diatasi dengan
memberikan penyuluhan untuk mengurangi kecemasan
pasien.
Penyuluhan yang dapat diberikan meliputi penjelasan
tentang peristiwa operasi, pemeriksaan sebelum operasi
(alasan persiapan), alat khusus yang diperlukan, pengiriman
ke ruang bedah, ruang pemulihan, kemungkinan
pengobatan yang dilakukan setelah operasi, teknik nafas
dalam, latihan batuk, latihan lengan, mobilitas dan
membantu kenyamanan.
b. Persiapan Fisiologi
Persiapan fisiologi yang dilakukan meliputi :
1) Diet (puasa) pada operasi dengan anaestesi umum, 8
jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan
makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak
diperbolehkan minum. Pada operasi dengan anaestesi
lokal ataupun spinal makanan ringan diperbolehkan.
Tujuannya supaya tidak terjadi aspirasi saat
pembedahan, mengotori meja operasi dan
mengganggu jalannya operasi.
2) Persiapan perut, yaitu pemberian leuknol/ lavement
sebelum operasi dilakukan pada bedah saluran
pencernaan atau pelvis daerah periferal. Tujuannya
mencegah cidera kolon, mencegah konstipasi dan
mencegah infeksi.

17
3) Persiapan kulit, yaitu daerah yang akan dioperasi
harus bebas dari rambut
4) Hasil pemeriksaan, yaitu hasil laboratorium, foto
rontgen, ECG, USG dan lain-lain.
5) Persetujuan operasi (Informed Consent), yaitu izin
tertulis dari pasien, wali pasien dan atau keluarga
harus tersedia.

2. Tahap Intraoperatif
Tahap intraoperatif dimulai ketika pasien dipindahkan kemeja
operasi. Tahap ini berakhir ketika pasien dipindahkan ke
Postanasthesia Care Unit (PACU) atau yang dulu disebut dengan
ruang pemulihan (Recovery Room/ RR). Dalam tahap ini
tanggung jawab perawat terfokus pada kelanjutan dari pengkajian
fisiologis, psikologis, merencanakan dan mengimplementasikan
intervensi untuk keamanan dan privasi pasien, mencegah infeksi
luka, dan mempercepat penyembuhan.
Termasuk intervensi keperawatan yang spesifik adalah
memberi dukungan emosional ketika anastesi dimulai (induksi
anastesi) dan selama prosedur pembedahan berlangsung,
mengatur dan mempertahankan posisi tubuh yang fungsional,
mempertahankan asepsis, melindungi pasien dari bahaya arus
listrik (dari alat-alat yang dipakai seperti electrocautery),
membantu mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menjamin ketepatan hitungan kassa dan instrument, membantu
dokter bedah, mengadakan komunikasi dengan keluarga pasien
dan anggota tim kesehatan yang lain.
Anggota tim asuhan pasien intraoperatif biasanya dibagi
dalam dua bagian. Berdasarkan kategori kecil terdiri dari anggota
steril dan tidak steril. Anggota steril, terdiri dari: ahli bedah utama
(operator), asisten ahli bedah, Scrub Nurse (Perawat Instrumen).
Sedangkan Anggota tim yang tidak steril, terdiri dari ahli atau

18
pelaksana anaesthesi, perawat sirkulasi dan anggota lain (teknisi
yang mengoperasikan alat-alat pemantau yang rumit) (Eryani,
2020).
Prinsip tindakan keperawatan selama pelaksanaan operasi
yaitu pengaturan posisi karena posisi yang diberikan perawat
akan mempengaruhi rasa nyaman pasien dan keadaan psikologis
pasien.
Menurut Eryani (2020) terdapat lima faktor penting yang
perlu diperhatikan dalam pengaturan posisi pasien selama tahap
pembedahan, yaiitu: 1) Letak bagian tubuh yang akan dioperasi;
2) Umur dan ukuran tubuh pasien; 3) Tipe anaesthesi yang
digunakan; 4) Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada
pergerakan (arthritis); dan 5) Prinsip-prinsip di dalam pengaturan
posisi pasien: Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman dan
sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area yang akan
dibedah dan lengannya ditutup dengan duk.

3. Tahap Pascaoperatif
Tahap pascaoperatif dimulai dengan pemindahan pasien ke
PACU dan berakhir pada waktu pasien dipulangkan dari rumah
sakit. Termasuk dalam kegiatan perawatan adalah mengkaji
perubahan fisik dan psikologis; memantau kepatenan jalan napas,
tanda-tanda vital, dan status neurologis secara teratur;
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit; mengkaji
secara akurat haluaran dari semua drain (Baradero et al, 2019).
Menurut Eryani (2020) tahap post operatif meliputi beberapa
tahapan, di antaranya adalah:
a. Pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan
pasca anastesi
Pemindahan ini memerlukan pertimbangan khusus di
antaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan

19
pemajanan. Pasien diposisikan sehingga ia tidak berbaring
pada posisi yang menyumbat drain dan selang drainase.
Selama perjalanan transportasi dari kamar operasi ke
ruang pemulihan pasien diselimuti, jaga keamanan dan
kenyamanan pasien dengan diberikan pengikatan di atas
lutut dan siku serta side rail harus dipasang untuk
mencegah terjadi resiko injuri. Proses transportasi ini
merupakan tanggung jawab perawat sirkuler dan perawat
anastesi dengan koordinasi dari dokter anastesi yang
bertanggung jawab.
b. Perawatan post anastesi di ruang pemulihan atau unit
perawatan pascaanastesi.
Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus
dirawat sementara di ruang pulih sadar (recovery room: RR)
atau unit perawatan pasca anastesi (PACU: post anasthesia
care unit) sampai kondisi pasien stabil, tidak mengalami
komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk
dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan).

L. Klasifikasi Perawatan Perioperatif


Klasifikasi perawatan perioperatif berdasarkan urgensi dari dilakukannya
tindakan pembedahan, dibagi menjadi lima tingkatan, yaitu (Eryani, 2020):
1. Kedaruratan (Emergency), pasien membutuhkan perhatian segera,
gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan pembedahan
tanpa ditunda. Contoh: perdarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau
usus, fraktur tulang tengkorak, luka tembak atau tusuk, luka bakar
sangat luas.
2. Urgen, pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat
dilakukan dalam 24-30 jam. Contoh: infeksi kandung kemih akut, batu
ginjal atau batu pada uretra.

20
3. Diperlukan, Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat
direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan. Contoh: hyperplasia
prostat tanpa obstruksi kandung kemih, gangguan tyroid, katarak.
4. Elektif, Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan,
bila tidak dilakukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan.
Contoh: perbaikan scar, hernia sederhana, perbaikan vaginal.
5. Pilihan, keputusan untuk dilakukannya pembedahan diserahkan
sepenuhnya pada pasien. Indikasi pembedahan merupakan pilihan
pribadi dan biasanya terkait dengan estetika. Contoh: bedah kosmetik.

Kemudian, menurut faktor resikonya, tindakan pembedahan dibagi


menjadi minor dan mayor (Eryani, 2020).
1. Minor, menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko
kerusakan yang minim. Contoh: insisi dan drainage kandung kemih,
sirkumsisi.
2. Mayor, menimbulkan trauma fisik yang luas, resiko kematian sangat
serius. Contoh: Total abdominal histerektomi, reseksi colon, dan lain-
lain.

M. Komplikasi Post Operasi dan Penatalaksanaannya


Komplikasi yang muncul pada pasien post operasi menurut Majid et al
(dalam Ayuni, 2020) adalah sebagai berikut:
1. Syok
Syok yang terjadi pada pasien post operasi biasanya berupa syok
hipovolemik, sedangkan syok nerogenik jarang terjadi. Tanda-tandanya
syok secara klasik adalah pucat, kulit dingin dan terasa basah,
pernapasan cepat, sianosis pada bibir, gusi dan lidah, nadi cepat, lemah
dan bergetar, penurunan tekanan darah, dan urine pekat.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah kolaborasi
dengan dokter terkait dengan pengobatan yang dilakukan seperti terapi
obat, terapi pernafasan, memberikan dukungan psikologis, pembatasan

21
penggunaan energi, memantau reaksi pasien terhadap pengobatan, dan
peningkatan periode istirahat.

2. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan seperti halnya pada pasien syok. Pasien
diberikan posisi terlentang dengan posisi tungkai kaki membentuksudut
20 derajat dari tempat tidur sementara lutut harus dijaga tetap lurus.
Penyebab perdarahan harus dikaji dan diatasi. Luka bedah harus selalu
di inspeksi terhadap perdarahan. Jika perdarahan terjadi, kassa steril dan
balutan yang kuat dipasangkan dan tempat perdarahan ditinggikan pada
posisi ketinggian jantung. Pergantian cairan koloid disesuaikan dengan
kondisi pasien.
Manifestasi klinis meliputi gelisah, gundah, terus bergerak, merasa
haus, kulit dingin-basah-pucat, nadi meningkat, suhu turun, pernapasan
cepat, dan dalam, bibir dan konjungtiva pucat serta pasien melemah.
Penatalaksanaan pasien dibaringkan seperti pada posisi pasien syok,
sedative atau analgesik diberikan sesuai indikasi, inspeksi luka bedah,
balut kuat jika terjadi perdarahan pada luka operasai dan tranfusi darah
atau produk darah lainnya.

3. Trombosis Vena Profunda (TVP)


Thrombosis pada vena profunda adalah thrombosis yang terjadi
pada pembuluh darah vena bagian dalam. Komplikasi serius yang bisa
ditimbulkan adalah embolisme pulmonal dan sindrom pasca flebitis.
Tandanya adalah nyeri atau kram pada betis, demam, menggigil dan
perspirasi, edema, vena menonjol dan teraba lebih mudah.

4. Embolisme Pulmonal
Terjadi ketika embolus menjalar ke sebelah kanan jantung dan dengan
sempurna menyumbat arteri pulmonal. Pencegahan paling efektif adalah
dengan ambulasi dini pasca operasi.

22
5. Retensi Urine
Retensi urine paling sering terjadi pada kasus-kasus pembedahan
rektum, anus dan vagina. Penyebabnya adalah adanya spasme spinkter
kandung kemih.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah pemasangan
kateter untuk membatu mengeluarkan urine dari kandung kemih.

6. Infeksi Luka Operasi


Infeksi luka pasca operasi seperti dehisiensi dan sebagainya dapat
terjadi karena adanya kontaminasi luka operasi pada saat operasi
maupun pada saat perawatan di ruang perawatan.
Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik
sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.

7. Sepsis
Merupakan komplikasi serius akibat infeksi dimana kuman
berkembang biak. Sepsis dapat menyebabkan kematian bagi pasien
karena dapat menyebabkan kegagalan multi organ.
Pencegahan infeksi penting dilakukan dengan pemberian antibiotik
sesuai indikasi dan juga perawatan luka dengan prinsip steril.

8. Embolisme Pulmonal
Embolisme pulmonal dapat terjadi karena benda asing (bekuan
darah, udara, dan lemak) yang terlepas dari tempat asalnya terbawa
disepanjang aliran darah. Embolus ini bisa menyumbat arteri pulmonal
yang akan mengakibatkan pasien merasa nyeri seperti ditusuk-tusuk
dan sesak napas, cemas dan sianosis.
Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah ambulasi dini
pasca operasi dapat mengurangi resiko embolus pulmonal.

23
N. Asuhan Keperawatan Perioperatif
1. Proses Keperawatan Pre Operasi Bedah Fraktur Humerus
a. Anamnesis
Pengkajian difokuskan pada riwayat trauma dan area yang
mengalami fraktur. Keluhan utama pada pasien fraktur humerus,
baik yang terbuka atau tertutup adalah nyeri akibat kompresi saraf
atau pergerakan fragmen tulang, kehilangan fungsi ekstermitas
yang mengalami fraktur, dan hambatan mobilitas fisik.
Pengkajian riwayat kesehatan diperlukan untuk menghindari
komplikasi pada intraoperatif dan pascaoperatif. Pasien yang
mempunyai peningkatan kadar glukosa darah dan hipertensi perlu
dikoreksi sebelum pembedahan. Kaji adanya riwayat alergi obat-
obatan.
Menurut Muttaqin (dalam Eriyani, 2020) pengkajian
psikologis dilakukan untuk menilai tingkat kecemasan dan
pengetahuan pasien tentang pembedahan dan pengetahuan
penatalaksanaan pasca bedah.
Stuart dan Sundeen (dalam Eriyani, 2020) mengidentifikasi
kecemasan dalam 4 tingkatan, setiap tingkatan karakteristik
dalam persepsi yang berbeda tergantung kemampuan individu
yang ada dari dalam dan luarnya maupun lingkungannya, tingkat
kecemasan ataupun ansietas, yaitu:
1) Cemas Ringan
Cemas yang normal menjadi bagian sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini dapat
memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta
kreatifitas.
a) Respon Fisiologi, meliputi sesekali nafas pendek,nadi
dan tekanan darah naik, gejala ringan pada lambung,
muka berkerut dan bibir bergetar
b) Respon Kognitif, meliputi lapang persegi meluas,

24
mampu menerima rangsangan yang kompleks,
konsentrasi pada masalah, dan menyelesaikan
masalah secara efektif.
c) Respon Prilaku Emosi, meliputi gerakan tersentak-
sentak (meremas tangan), bicara banyak dan lebih
cepat, perasaan tidak nyaman

2) Cemas Sedang
Cemas yang memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada hal yang penting dan mengesampingkan
lapang pandang individu. Individu mengalami tidak
perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih
banyak area jika diarahkan untuk melakukannya.
a) Respon Fisiologi, meliputi sering nafas pendek, nadi
dan tekanan darah naik, mulut kering, anorexia, diare/
konstipasi, dan gelisah.
b) Respon Kognitif, meliputi lapang pandang
menyempit, rangsangan luar tidak mampu diterima
dan berfokus pada perhatiannya.
c) Respon Prilaku dan Emosi, meliputi gerakan
tersentak-sentak (meremas tangan), bicara banyak
dan lebih cepat, perasaan tidak nyaman.

3) Cemas Berat
Cemas ini sangat mengurangi lahan persepsi, individu
cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci, spesifik,
dan tidak dapat berfikir pada hal yang lain. Semua perilaku
ditunjukkan untuk menurangi tegangan, individu
memerlukan banyak pengesahan untuk dapat memusatkan
pada suatu area lain.
a) Respon Fisiologis, meliputi sering nafas pendek, nadi
dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala,
penglihatan kabur.

25
b) Respon Kognitif, meliputi lapang persepsi sangat
menyempit dan tidak mampu menyelesaikan
masalah.
c) Respon Prilaku dan Emosi, meliputi perasaan
ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.

4) Panik
Tingkat pani dari suatu kecemasan berhubungan dengan
ketakutan dan teror, karena kehilangan kendali. Orang yang
mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan pengarahan. Panik mengakibatkan
diorganisasi kepribadian, dengan panic terjadi peningkatan
aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang
menyimpang dan kehilangan pemikiran yang rasional.
Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi
kesalahan yang sangat bahkan mematikan.

b. Pemeriksaan Fisik Fokus


Pemeriksaan fisik fokus menurut Eriyani (2020) adalah
sebagai berikut:
1) Look
Kaji luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji
apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar
dan apakah terdapat kerusakan pada arteri yang berisiko
meningkatkan respon syok hipovolemik. Pada fase awal
trauma sering didapatkan adanya serpihan di dalam luka,
terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mengantarkan pada risiko tinggi infeksi. Pada fraktur
humerus tetutup sering ditemukan hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstermitas atas karena kontraksi
otot, krepitasi, pembengkakan, dan perubahan warna pada
26
lokasi kulit, terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan
yang mengikuti fraktur.

2) Feel
Kaji adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan
adanya krepitasi

3) Move
Daerah yang patah tidak boleh digerakkan, karena akan
memberikan respons trauma pada jaringan lunak di sekitar
ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak
mampu melakukan pergerakan pada sisi lengan yang patah.

c. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (Eriyani, 2020) pemeriksaan diagnostik
rutin yang diperlukan hampir sama seperti pada diagnostik
praoperatif pada umumnya. Pemeriksaan darah rutin dan radilogi
pada area fraktur diperlukan sebagai bahan persiapan koreksi
pemasangan fiksasi internal.

d. Diagnosis Keperawatan Pra Operasi


Berdasarkan SDKI (2016), diagnosa keperawatan pra operasi
yang mugkin muncul pada pasien dengan fraktur humerus adalah
sebagai berikut :
1) Ansietas b.d. Krisis situasional
2) Nyeri akut b.d. Agen pencidera fisik
3) Defisit pengetahuan b.d. Kurang terpaparnya informasi

e. Rencana Intervensi Praoperatif


Berdasarkan SIKI (2018), intervensi keperawatan yang
dilakukan dari tiga diagnosa keperawatan pra operasi di atas,
yaitu :
1) Ansietas b.d. Krisis situasional

27
Intervensi Keperawatan :
Observasi :
a) Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (misal:
kondisi, waktu, stresor)
b) Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
c) Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal)

Teraupetik :
a) Ciptakan suasana teraupetik untuk menumbuhkan
kepercayaan
b) Temani pasien untuk mengurangi kecemasan
c) Menangani situasi yang membuat ansietas
d) Dengarkan dengan penuh perhatian
e) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
f) Tempatkan barang pribadi yang memberikan
kenyamanan
g) Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan
h) Diskusikan perencanaan realistis tentang peristiwa
yang akan datang

Edukasi :
a) Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami
b) Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan dan prognosis
c) Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
d) Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
e) Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
f) Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
g) Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang
tepat
h) Latih teknik relaksasi

28
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu

2) Nyeri akut b.d. agen pencidera fisik


Intervensi Keperawatan :
Observasi :
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, dan intensitas nyeri.
b) Identifikasi skala nyeri
c) Identifikasi nyeri non verbal
d) Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
e) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f) Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g) Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h) Monitor efek samping penggunaan analgetik

Teraupetik :
a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri, misal: TENS (Transcutaneous Electrical
Nerve Stimulation), hipnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/ dingin).
b) Kontrol lingkungan yang memperberat nyeri (misal:
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan).
c) Fasilitasi istirahat dan tidur
d) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi :
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

29
d) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e) Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

3) Defisit pengetahuan b.d. kurang terpapar informasi


Intervensi Keperawatan :
Observasi :
a) Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
b) Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan
dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
sehat.

Teraupetik :
a) Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
c) Berikan kesempatan untuk bertanya

Edukasi :
a) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi
kesehatan
b) Ajarkan perilaku hidup dan sehat
c) Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat

2. Proses Keperawatan Intraoperatif bedah pada Fraktur Humerus


Menurut Muttaqin (dalam Eriyani, 2020) asuhan keperawatan pada
kondisi pemberian anastesi pada prinsipnya sama dengan asuhan
keperawatan pada saat pemberianan astesi secara umum. Pasien yang
dilakukan pembedahan akan melewati berbagai prosedur.

30
a. Pengkajian
Pengkajian intraoperatif fiksasi internal reduksi terbuka pada
humerus secara ringkas dilakukan berhubungan dengan
pembedahan. Pengkajian kelengkapan pembedahan terdiri atas
hal-hal sebagai berikut:
1) Data laboratorium dan laporan temuan yang abnormal
2) Radiologis area fraktur humerus yang akan dilakukan ORIF
3) Transfusi darah
4) Kaji kelengkapan sarana pembedahan (benang, cairan
intravena, obat antibiotik profilaksis) sesuai dengan
kebijakan institusi.
5) Pastikan bahwa sistem fiksasi internal, instrumentasi, dan
peranti keras (seperti skrup kompresi, metal, dan pen
bersonde multipel), dan alat seperti bor dan mata bor telah
tersedia dan berfungsi dengan baik.

b. Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan SDKI (2016) diagnosa keperawatan intraoperatif
pada bedah humerus yang mungkin muncul adalah sebagai
berikut :
1) Risiko cedera d.d. pengaturan posisi bedah dan trauma
prosedur pembedahan
2) Risiko infeksi d.d. efek prosedur invasif (adanya port de
entree luka pembedahan dan penurunan imunitas sekunder
efek anastesi)
c. Intervensi Keperawatan Intraoperatif
Berdasarkan SIKI (2018) intervensi keperawatan yang dapat
dilakukan pada kasus bedah humerus berdasarkan diagnosa
keperawatan intraoperatif di atas adalah sebagai berikut:
1) Risiko cedera d.d. pengaturan posisi bedah dan trauma
prosedur pembedahan
Intervensi Keperawatan :
Observasi :
31
a) Identifikasi kebutuhan keselamatan (misal kondisi
fisik, fungsi kognitif dan riwayat prilaku)
b) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan

Terapeutik :
a) Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (misal
fisik, biologi, dan kimia), jika memungkinkan
b) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya
dan risiko
c) Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (misal
commode chair dan pegangantangan)
d) Gunakan perangkat pelindung (misal pengekangan
fisik, relamping, pintu terkunci, pagar)
e) Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas
(misal Puskesmas, Polisi, DamKar)
f) Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
g) Lakukan program skrining bahaya lingkungan (misal
timbal)

Edukasi :
Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi
bahaya lingkungan

2) Risiko infeksi d.d. efek prosedur invasif (adanya port de


entree luka pembedahan dan penurunan imunitas sekunder
efek anastesi)
Intervensi Keperawatan :
Observasi :
Monitor tanda gejala infeksi lokal dan sistemik

Terapeutik :
a) Batasi jumlah pengunjung
b) Berikan perawatan kulit pada daerah edema
c) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
32
pasien dan lingkungan pasien
d) Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko
tinggi

Edukasi :
a) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b) Ajarkan cara memeriksa luka
c) Anjurkan meningkatkan asupan cairan

Kolaborasi :
Kolaborasi dalam pemberian imunisasi, jika perlu

3. Proses Keperawatan Postoperatif ORIF


a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian post operatif dilakukan secara sitematis mulai dari
pengkajian awal saat menerima pasien, pengkajian status
respirasi, status sirkulasi, status neurologis, respon nyeri, status
integritas kulit dan status genitourinarius (Eriyani, 2020)
1) Pengkajian Awal
Pengkajian awal yang dapat dilakukan pada pasien post
operatif adalah sebagai berikut :
a) Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang
dilakukan
b) Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas,
tanda-tanda vital
c) Anastesi dan medikasi lain yang digunakan
d) Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang
mungkin mempengaruhi perasaan dan kondisi
pascaoperasi
e) Patologi yang dihadapi
f) Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan
penggantian
g) Segala selang, meliputi drain, kateter, atau alat

33
pendukung lainnya
h) Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli
anastesi yang akan diberitahu

2) Status Respirasi
a) Kontrol Pernafasan
Obat anastesi tertentu dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Perawat mengkaji frekuensi, irama,
kedalaman ventilasi pernapasan, kesemitrisan gerak
dinding dada, bunyi nafas, dan area membrane
mukosa

b) Kepatenan Jalan Nafas


Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang
untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai
tercapai pernafasan yang nyaman dengan kecepatan
normal.
Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah
obstruksi jalan nafas akibat aspirasi muntah,
akumulasi sekret, atau bengkaknya spasme faring.

c) Status Sirkulasi
Pasien beresiko mengalami komplikasi
kardiovaskuler akibat kehilangan darah secara actual
atau resiko dari tempat pembedahan, efek samping
anastesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan defresi
mekanisme regulasi sirkulasi normal.
Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung
yang teliti serta pengkajian tekanan darah
menunjukkan status kardiovaskuler pasien. Perawat
membandingkan TTV pra operasi dan post operasi.

34
d) Status Neurologi
Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien
dengan cara memanggil namanya dengan suara
sedang dan mengkaji respon nyeri pasien.

e) Status Muskuloskletal
Kaji kondisi organ pada area yang rentan
mengalami cedera posisi post operatif.

b. Diagnosis Keperawatan Post Operatif


Berdasarkan SDKI (2016) diagnosa keperawatan yang
muncul pada tahap post operatif adalah sebagai berikut:
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. efek agen
farmakologis (anastesi)
2) Risiko hipotermi perioperatif d.d. suhu lingkungan rendah

c. Intervensi Keperawatan Post Operatif


Berdasarkan SIKI (2018) intervensi keperawatan yang
dilakukan pada diagnosa keperawatan post operatif di atas adalah:
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. Efek agen
farmakologis
Intervensi Keperawatan :
Observasi :
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha
napas).
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis, gurgling,
mengi, wheezing, ronchi kering)
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Teraupetik :
a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt
dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal).
b) Posisikan semi fowler

35
c) Berikan minum hangat
d) Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
e) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan
endoktrakeal
g) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep
McGill
h) Berikan oksigen, bila perlu

Edukasi :
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
b) Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

2) Risiko hipotermi perioperatif d.d. suhu lingkungan rendah


Intervensi Keperawatan :
Observasi :
a) Monitor suhu tubuh.
b) Identifikasi penyebab hipotermia, (Misal: terpapar
suhu lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus,
penurunan laju metabolisme, kekurangan lemak
subkutan).
c) Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi.

Teraupetik :
a) Sediakan lingkungan yang hangat (misal: atur suhu
ruangan)
b) Lakukan penghangatan pasif (misal: selimut,
menutup kepala, pakaian tebal)

36
c) Lakukan penghatan aktif eksternal (misal: kompres
hangat, botol hangat, selimut hangat, metode
kangguru).
d) Lakukan penghangatan aktif internal (misal: infus
cairan hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal
dengan cairan hangat).

O. Penelitian Terkait
1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Anak Agung
(2020) yang berjudul Gambaran Prevalensi Fraktur Humerus di Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP), Sanglah, Bali, Indonesia Periode Tahun
2015-2016 dari total 27 responden dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif-retrospektif didapatkan jenis kelamin wanita
cenderung lebih banyak mengalami fraktur humerus dibandingkan
dengan laki-laki, dengan presentase jenis kelamin wanita sebanyak
51,9%, sedangkan laki-laki 48,1%. Hal ini terjadi dikarenakan jenis
kelamin wanita sendiri yang merupakan salah satu faktor resiko untuk
mengalami fraktur humerus akibat adanya kecenderungan kurangnya
aktivitas fisik, BMI yang rendah serta adanya riwayat maternal.
Kemudian ditemukan bahwa kelompok umur < 20 tahun dan 20-40
tahun lebih besar untuk terjadinya fraktur humerus, dan jenis fraktur
humerus tertutup merupakan jenis fraktur yang memiliki lebih banyak
proporsi dibandingkan fraktur terbuka, dengan persentase 77,8%. Jenis
fraktur yang terjadi dipengaruhi oleh lokasi dan aktivitas yang
dilakukan sebelum fraktur terjadi maupun jenis frakturnya.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Margianti dkk (2019) dengan judul


Gambaran Tingkat Kecemasan Preoperatif pada Pasien dengan Fraktur
yang dilakukan di Ruang Marjan Atas RSUD dr. Slamet Garut,
menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional
dengan jumlah sampel sebanyak 32 responden dengan teknik total
sampling dan menggunakan instrument Hamilton Anxiety Rating Scale

37
(HARS) didapatkan sebagian besar responden mengalami kecemasan
ringan (65,6%). Kecemasan ringan terjadi pada orang yang baru
pertama kali melakukan operasi karena ketakutan dan kurangnya
pengetahuan sedangkan pasien yang tidak cemas sudah mempunyai
pengalaman operasi sebelumnya dan ketakutan menjadi berkurang.

3. Menurut penelitian yang dilakukan oleh verdiansyah (2018) yang


berjudul Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan Pasien
Sebelum Dilakukan Anestesi Regional, menyatakan bahwa banyak hal
atau faktor yang bisa mengatasi kecemasan pada pasien sebelum
dilakukan anestesi salah satunya dengan menggunakan komunikasi
terapeutik. Komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian
tujuan untuk penyembuhan pasien merupakan salah satu karakteristik
komunikasi terapeutik. Kecemasan dapat dikurangi dengan tindakan
keperawatan fokus pada komunikasi terapeutik bagi pasien dan
keluarganya. Hal tersebut didapatkan hasil rata-rata kecemasan pasien
sebelum dilakukan anestesi regional sebelum dilakukan tindakan
komunikasi terapeutik adalah 23,17 dengan standar deviasi 3,141,
sedangkan rata-rata kecemasan pasien sebelum dilakukan anestesi
regional setelah dilakukan tindakan komunikasi terapeutikadalah 5,57
dengan standar deviasi 1,140. Terlihat nilai Mean mengalami
penurunan setelah dilakukan tindakan komunikasi terapeutik adalah
5,57 dengan standar deviasi 1,040. Hasil Uji statistik menunjukan
bahwa nilai P=0,000 <10%, artinya ada penurunan rata-rata kecemasan
pasien sebelum dilakukan anestasi regional setelah dibandingkan
dengan sebelum dilakukan tindakan komunikasi terapeutik.

4. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suindrayasa (2017) dengan


judul Efektivitas Penggunaan Selimut Hangat Terhadap Perubahan
Suhu Pada Pasien Hipotermia Post Operasi Di Ruang ICU RSUD
Buleleng, didapatkan hasil penelitian dari 17 responden yang diberikan
intervensi selimut hangat didapatkan nilai rata-rata peningkatan sebesar

38
35,5ºC, dari rata-rata suhu tubuh sebelum diberikan intervensi selimut
hangat sebesar 34,95ºC. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan
yang signifikan antara suhu sebelum dengan sesudah pemberian selimut
hangat selama 30 menit, dimana terdapat perubahan nilai sebesar
0,55ºC. Penggunaan selimut ini membantu mengurangi pengeluaran
panas dengan mempertahankan panas secara konduksi. Konduksi
merupakan panas yang berpindah dari satu zat ke zat lain dengan
bersentuhan secara langsung. Ketika kulit yang memiliki suhu lebih
tinggi mengenai zat yang lebih dingin, maka panas akan berpindah,
begitupun sebaliknya. Ketika suhu dua objek sama, perpindahan panas
konduktif berhenti.

5. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana (2019) denganjudul


asuhan keperawatan ganguan pemenuhan kebutuhan aktivitas pada
pasien fraktur diruang bedah RSUD Jenderal Ahmad Yani Kota Metro
Provinsi Lampung Tahun 2019. Subjek penelitian berjumlah 2 (dua)
orang penderita Fraktur dengan gangguan pemenuhan kebutuhan
aktivitas. Pengumpulan data menggunakan proses keperawatan, yaitu
pengkajian keperawatan menentukan diagnosa keperawatan,
merencanakan tindakan keperwatan, implementasi keperawatan dan
evaluasi. Didapatkan hasil dari ke dua subjek, yaitu proses
penyembuhan pada subjek asuhan 1 lebih cepat dibandingkan dengan
subjek asuhan 2, dikarenakan usia subjek asuhan 1 lebih muda
dibandingkan subjek asuhan 2 dan waktu terjadinya fraktur lebih lama
subjek asuhan 2 yaitu 2 bulan dan dibawa kerawat alternatif lebih
dahulu. Sedangkan subjek asuhan 1 ketika didiagnosa mengalami
fraktur subjek segera dibawa ke rumah sakit.
Berdasarkan hasil perbandingan antara 2 subjek asuhan 1 dan subjek
ashuan 2 disimpulkan bahwa faktor umur dan waktu terjadinya fraktur
dapat mempengaruhi proses penyembuhan.

39

Anda mungkin juga menyukai