Oleh:
dr. Nayla Rahmadiani
Pembimbing:
dr. Ananto Satya Pradana D., Sp.OT.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas dan melakukan
studi kasus fraktur terbuka radius ulna dan dislokasi sendi akromioklavikula
dengan bersumber pada literatur-literatur yang relevan.
1.3 Manfaat Penulisan
Makalah ini bermanfaat sebagai penambah wawasan terkait aspek
epidemiologi, etiologi, diagnosis, tatalaksana, serta prognosis pada kasus fraktur
radius ulna dan dislokasi sendi akromioklavikula.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kerusakan jaringan lunak derajat sedang
Jaringan lunak masih memberikan coverage yang adekuat pada tulang
IIIa Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, dengan fraktur yang
mengalami kontaminasi berat, kominutif, segmental.
Jaringan lunak masih memberikan coverage yang adekuat pada tulang
IIIb Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, dengan periosteal stripping
dan bone exposed.
Biasanya mengalami kontaminasi berat dan kominutif frakturnya.
Dibutuhkan flap untuk memberikan coverage yang adekuat.
IIIc Berkaitan dengan kerusakan pada arteri yang membutuhkan repair untuk
penyelamatan tungkai (limb salvage)
4
Gambar 1. Potong Lintang Anatomi Antebrachii (Thompson, 2010)
Struktur syaraf serta pembuluh darah penting yang berada pada area
antebrachii adalah nervus dan arteri ulnaris, nervus radialis superior, arteri
radialis, nervus medianus, dan nervus interosseus posterior, sehingga fraktur
pada area antebrachii berpotensi mengakibatkan gangguan pada struktur-
struktur ini (Thompson, 2010).
5
2.1.3 Etiologi dan Patofisiologi Fraktur Antebrachii
Fraktur yang terjadi pada radius dan ulna dapat terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian, ataupun akibat kegiatan terkait olahraga. Cedera
jenis ini seringkali terjadi akibat trauma langsung ke area antebrachii. Cedera
yang terjadi akibat terjatuh dengan posisi tangan menopang berat tubuh yang
jatuh terjadi akibat transmisi beban secara aksial di area antebrachii dengan
gaya yang terpusat di lokasi fraktur (Anwar, et al., 2008). Gaya dengan arah
berputar (twisting) yang biasanya terjadi akibat jatuh dengan tangan yang
menopang, dapat mengakibatkan fraktur spiral dengan ketinggian fraktur antara
radius dan ulna yang berbeda. Trauma langsung ataupun gaya yang bersifat
angulasi menyebabkan fraktur transversal pada satu atau kedua tulang dengan
ketinggian fraktur yang sama (Solomon et al., 2014).
Fraktur yang terjadi pada antebrachii pada dasarnya bisa menyambung
lagi dengan dua jalan: proses penyambungan dengan kalus (sekunder atau
indirek) atau proses penyambungan tanpa kalus (primer atau direk). Penentuan
proses mana yang akan terjadi bergantung pada tipe tulangnya serta banyaknya
pergerakan di lokasi frakturnya. Pada tulang panjang, dan pada kondisi tiadanya
fiksasi yang kaku, penyambungan yang “alamiah” (penyambungan sekunder atau
indirek) terjadi dalam 5 tahap:
a. Kerusakan jaringan dan pembentukan hematoma: pembuluh darah rusak
dan hematoma terbentuk di sekitar dan di dalam frakturnya. Tulang yang ada
di sisi fraktur akan mengalami nekrosis dan hilang sekitar satu sampai dua
millimeter karena kekurangan suplai darah.
b. Inflamasi dan proliferasi seluler: dalam 8 jam setelah terjadinya fraktur,
terdapat reaksi inflamasi akut dengan proliferasi sel-sel mesenkim di bawah
periosteum dan di dalam kanalis medularis yang terbuka. Ujung-ujung
fragmen patahan dikelilingi oleh jaringan seluler, yang menjembatani antar
fragmen. Hematoma yang membeku perlahan diresorbsi tubuh dan kapiler-
kapiler baru bertumbuh ke area tersebut. Lama kedua proses di atas
mencapai sekitar 1-7 hari paska fraktur.
c. Pembentukan kalus: sel yang berproliferasi berpotensi untuk bersifat
kondrogenik maupun osteogenik, dengan kondisi yang tepat, sel-sel ini akan
mulai membentuk tulang, dan terkadang akan membentuk kartilago.
Populasi sel ini juga terdiri dari osteoklas yang bertugas untuk
6
membersihkan tulang-tulang yang mati. Massa seluler tebal yang berisi
tulang imatur dan kartilago, akan membentuk kalus di permukaan
periosteum dan endosteum. Seiring tulang imatur semakin padat
mineralisasinya, pergerakan di lokasi fraktur makin berkurang dan akhirnya
frakturnya “menyatu”. Terdapat istilah yang membagi masa pembentukan
kalus ini menjadi masa pembentukan soft callus dengan masa pembentukan
hard callus. Penjelasan di atas identik dengan pembentukan soft callus yang
terjadi di sekitar 2-3 minggu paska fraktur.
d. Konsolidasi: aktivitas osteoklastik dan osteoblastik yang terus menerus
akhirnya mengubah struktur tulang menjadi lamellar. Akhirnya tulang
menjadi cukup kaku sehingga osteoklas dapat membersihkan debris-debris
di garis fraktur dan osteoblas mengikuti di belakangnya untuk mengisi celah
antar fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini merupakan proses yang
berjalan lambat, dan bisa membutuhkan waktu cukup lama sebelum tulang
cukup kuat untuk membawa beban normal. Pada proses inilah hard callus
terbentuk. Hard callus membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan.
e. Re-modelling: seiring waktu, tulang ini akan mencapai bentuk seperti
semula. Proses ini bisa memakan waktu beberapa bulan hingga beberapa
tahun. Proses ini berlangsung sampai tulangnya telah kembali ke morfologi
awalnya (Ito dan Perren, 2013; Solomon, et al., 2014).
7
permukaan fraktur diinvasi oleh kapiler-kapiler baru dan sel-sel pembentuk tulang
yang muncul dari tepian-tepian fraktur. Pada celah yang sangat sempit (kurang
dari 200 µm), osteogenesis menghasilkan tulang lamellar, sedangkan celah yang
lebih besar pertama-tama akan diisi oleh tulang-tulang imatur (woven bone) yang
kemudian akan mengalami re-modelling menjadi tulang lamellar (Solomon, et al.,
2014).
2.1.4 Diagnosis Fraktur
Langkah-langkah untuk melakukan proses diagnosis klinis secara
berurutan adalah sebagai berikut: 1) Anamnesis (gejala), 2) Pemeriksaan fisik
(tanda), 3) Modalitas pencitraan diagnostik (tanda-tanda pada hasil radiografi), 4)
Pemeriksaan laboratorium. Gejala memberikan data subyektif, sedangkan tanda-
tanda fisik, hasil foto radiografis, serta pemeriksaan laboratorium memberikan
data obyektif (Salter, 2008).
Pada anamnesis, perlu didapatkan mengenai mekanisme kejadiannya.
Seringkali hal ini sulit didapatkan secara mendetail karena pasien tidak bisa
mengingat dengan detail kejadian dan posisinya saat itu. Mekanisme jatuh
pasien adalah hal yang penting karena dapat berkaitan dengan pola frakturnya.
Gejala-gejala yang secara subyektif dirasakan oleh pasien seringkali adalah nyeri
yang terlokalisir, yang memburuk seiring dengan pergerakan, dan berkurangnya
fungsi bagian yang mengalami cedera. Pasien juga bisa menyadari adanya
pembengkakan maupun deformitas yang jelas terlihat (Salter, 2008; Thompson,
2010).
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya nyeri yang dirasakan pasien
dari mimik wajah pasien serta cara pasien berusaha melindungi area yang
mengalami cedera. Ketika melakukan inspeksi pada daerah yang mengalami
cedera, dapat ditemukan adanya edema, deformitas (angulasi, rotasi,
pemendekan), atau pergerakan abnormal pada lokasi yang fraktur. Diskolorasi
kulit akibat ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) biasanya baru terlihat setelah
beberapa hari. Dengan palpasi, dapat ditemukan adanya nyeri tekan yang
terlokalisir dan berbatas jelas di area fraktur, serta nyeri yang memburuk dan
spaseme otot ketika dilakukan pergerakan pasif dari area yang cedera. Tidak
direkomendasikan untuk mencari krepitus. Penting untuk memeriksa dan mencari
jejas lain di ekstremitas tersebut atau di area lain yang mungkin tidak terlalu
nampak, karena bisa jadi ada lebih dari satu jejas. Penting untuk mengevaluasi
8
status neurovaskular distal untuk memeriksa adanya keterlibatan syaraf perifer
ataupun pembuluh darah (gangguan sirkulasi) sebagai akibat dari cedera yang
terjadi. Pemeriksaan fisik harus meliputi status generalis yang lengkap serta
mencari adanya jejas pada otak, medulla spinalis, syaraf perifer, pembuluh
darah, kulit, organ dada dan organ abdomen (Anwar, et al., 2008; Salter, 2008;
Thompson, 2010; Solomon, et al., 2014).
Modalitas radiologis yang dipilih untuk visualisasi tulang dengan baik
adalah x-ray. X-ray dibutuhkan untuk menentukan tipe fraktur dengan lebih detail,
walaupun keberadaan fraktur itu sendiri seringkali bisa dicurigai dan atau
ditetapkan hanya dengan pemeriksaan fisik saja. Untuk posisi yang disarankan
dilakukan adalah foto x-ray Antero-Posterior (AP) dan lateral, yang juga meliputi
sendi siku serta sendi pergelangan tangan (Salter, 2008; Thompson, 2010; Roth,
2017).
2.1.5 Tatalaksana Fraktur Antebrachii
Tujuan spesifik dari tatalaksana fraktur pada dasarnya adalah: a) untuk
meredakan rasa nyeri, b) untuk mendapatkan dan menjaga posisi yang optimal
dari fragmen frakturnya, c) untuk memungkinkan atau mendorong terjadinya
penyatuan tulang (bony union), d) untuk mengembalikan fungsi optimal dari
ekstremitas yang mengalami fraktur serta pasien secara keseluruhan. Sehingga,
terapi awal dan definitif dari fraktur diarahkan untuk mencapai hal-hal ini (Salter,
2008).
Pertama-tama, pada kondisi kegawatan, perhatikan prinsip-prinsip Basic
Life Support (BLS) ataupun Advanced Trauma Life Support (ATLS). Pendekatan
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) digunakan pada
pasien yang mengalami cedera ataupun pasien dalam kondisi kritis. Pendekatan
ini bertujuan untuk memberikan tatalaksana penyelamatan nyawa, untuk
menyederhanakan situasi klinis yang kompleks menjadi bagian-bagian guna
memudahkan penanganan, untuk memudahkan alur pemeriksaan dan
tatalaksana awal, untuk memberikan kesamaan cara pandang antar tenaga
medis yang terlibat, serta untuk memberi waktu guna menegakkan diagnosis
akhir dan tatalaksana definitif (Salter, 2008; Thim, et al., 2012).
Setelah mengatasi kegawatan, untuk tatalaksana awal, fraktur dan
dislokasi pada ekstremitas harus dibidai sebelum dilakukan pemindahan untuk
meminimalisir nyeri dan mencegah jejas lebih lanjut pada jaringan lunak.
9
Analgesia dapat diberikan sesuai kebutuhan untuk meminimalisir nyeri (Salter,
2008; Black dan Becker, 2009). Antibiotik preoperatif utuk fraktur terbuka secara
umum disarankan untuk diberikan sesegera mungkin paska terjadinya jejas.
Memulai pemberian antibiotik dalam 3 jam awal paska jejas ditunjukkan mampu
menurunkan tingkat infeksi dari 7,4% menjadi 4,7%. Pilihan antibiotik pada
dasarnya bervariasi sesuai pedoman yang digunakan, namun kebanyakan
merekomendasikan antibiotik spektrum luas. Terdapat beberapa pedoman yang
menyarankan penggunaan antibiotik spektrum luas yang terutama menargetkan
untuk mengatasi kuman gram positif contohnya sefazolin, dengan menambahkan
antibiotik yang mampu mengatasi kuman gram negatif pada fraktur tipe II atau III.
Dikatakan bahwa pemberian fluorokuionolon tidak lebih baik dibanding
sefalosporin/aminoglikosida, dan malah dapat mengganggu penyembuhan
fraktur serta meningkatkan risiko infeksi pada fraktur tipe III (Hoff, et al., 2011;
Rodriguez, et al., 2014; Schaller, 2018).
Rekomendasi pemberian profilaksis tetanus bergantung pada tipe luka,
serta riwayat vaksin tetanus. Luka yang tidak rentan terkena tetanus adalah luka
minor berukuran kecil yang terjadi <6 jam sebelumnya. Luka yang rentan terkena
tetanus adalah luka yang sudah >6 jam trauma, dengan bentuk tidak beraturan,
kedalaman >1 cm. Doksis vaksin saat ini adalah 0,5 mL berapapun usianya, dan
immunoglobulin diberikan 75 U untuk usia <5 tahun, 125 U untuk usia 5-10
tahun, dan 250 U untuk >10 tahun (Buteera dan Byimana, 2009).
10
disebut sebagai “sendi fungsional”. Fraktur yang mengalami malunion akan
mengganggu sendi fungsional ini, sehingga fungsi pronasi dan supinasi
terganggu. Penting untuk mengembalikan panjang, alignment, dan rotasi dari
antebrachii untuk menjaga fungsi dinamisnya. Pada kasus terjadinya fraktur
kedua tulang pada antebrachii, maka tatalaksana definitifnya adalah dengan
Open Reduction Internal Fixation (ORIF). Bentuk yang paling umum digunakan
adalah fiksasi dengan plate-and-screw, walaupun intramedullary nailing juga bisa
digunakan pada beberapa kasus, dengan hasil yang masih di bawah metode
plate-and-screw. Intramedullary nailing biasanya hanya digunakan pada kasus-
kasus di mana pemasangan plat tidak memungkinkan. Metode lain yang bisa
dipakai adalah penggunaan K-wire, locked plate, dan blade plate. K-wire memiliki
kelebihan bersifat minimally invasive ke jaringan lunak sekitar, namun memiliki
kelemahan berupa kurang stabil bila digunakan pada fraktur-fraktur kominutif
atau fraktur pada tulang yang osteoporotik (Nemeth dan Bindra, 2014; Azar, et
al., 2017).
11
jaringan (tissue bed) baik (Azar, et al., 2017).
Paska operasi, dilakukan imobilisasi sementara dengan bidai selama 10-14
hari untuk memungkinkan penyembuhan jaringan lunak. Selama periode ini,
dianjurkan untuk melakukan elevasi area antebrachii dan memulai latihan
pergerakan jari secara perlahan. Latihan dengan tahanan atau latihan
mengangkat tidak boleh dilakukan sampai ada tanda-tada penyatuan tulang
secara radiografis. Setelahnya, barulah bisa dimulai latihan yang lebih intensif. X-
ray lanjutan dilakukan sesuai protokol rumah sakit masing-masing, namun
biasanya dilakukan setelah minggu ke 1, 2, dan 4 paska operasi untuk melihat
posisi frakturnya. X-ray berikutnya dilakukan untuk melihat penyatuan tulang
dengan interval sekitar 6-8 minggu, tergantung konfigurasi fraktur dan potensi
penyembuhannya. Pada fraktur antebrachii diafisis, pelepasan implan
merupakan hal yang kontroversial. Radius dan ulna bukanlah tulang penyangga
beban tubuh, selain itu, pelepasan implan juga merupakan prosedur yang
berisiko, sehingga pelepasan ini tidak rutin direkomendasikan. Secara umum,
pedoman saat ini adalah:
a. Pengambilan implan hanya pada pasien simtomatis, mungkin hanya pada
ulna saja karena letaknya yang subkutan
b. Pengambilan tidak kurang dari 2 tahun setelah osteosintesis
c. Jika kedua tulang (radius dan ulna) telah dipasang plat, maka
direkomendasikan member interval setidaknya 6 bulan di antaranya (risiko
fraktur ulang) (Heim, et al., 2013)
2.1.6 Prognosis dan Komplikasi
Suatu studi menunjukkan bahwa prosedur ORIF memberikan hasil yang
memuaskan pada sekitar 86% pasien, dengan tingkat penyambungan mencapai
98% untuk radius dan 96% untuk ulna. Studi ini beserta studi-studi lain telah
membuktikan bahwa ORIF radius ulna memiliki kemungkinan tinggi untuk
memberikan hasil yang baik dan tercapainya penyatuan tulang (Azar, et al.,
2017).
Akan tetapi, perlu diingat bahwa terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi penyembuhan tulang, yakni:
A. Faktor terkait Cedera
a. Tipe tulangnya : tulang spongiosa lebih cepat sembuh daripada bagian
tulang trabekula. Fraktur ekstremitas atas secara umum akan menyatu
12
lebih cepat daripada ekstremitas bawah.
b. Tipe frakturnya: Fraktur segemental atau kominutif dan fraktur dengan
pergeseran seringkali menyebabkan penyatuan yang terlambat (delayed
union). Fraktur transversal sembuh lebih lambat daripada fraktur spiral.
c. “Perkins rule of thumb law”: Fraktur spiral di ekstremitas atas
membutuhkan waktu sekitar 3 minggu untuk menyatu, kalikan angka
tersebut dengan dua untuk mendapatkan perkiraan waktu konsolidasinya.
Kalikan angka tersebut lagi dengan dua untuk ekstremitas bawah, lalu
kalikan lagi dengan dua untuk tipe fraktur transversal, lalu kalikan lagi
dengan dua jika frakturnya terbuka.
d. Mobilitas di area fraktur: Pergerakan berlebihan di area fraktur akan
mengganggu vaskularisasi di area fraktur, sehingga mengganggu
penyembuhan.
e. Terpisahnya ujung-ujung fraktur: Jaringan lunak antara fraktur yang
terpisah baik akibat bone loss maupun karena traksi bisa menyebabkan
tidak menyatu (non-union) ataupun terlambat menyatu.
f. Gangguan suplai darah: Fraktur-fraktur pada area dengan suplai darah
yang kurang memadai seperti di area kolum femur intrakapsular dapat
menyebabkan tidak menyatu atau terlambat menyatu. Pada fraktur-
fraktur dengan infeksi, oksigenasi jaringan serta pemberian nutrisi
jaringan juga akan terganggu.
B. Faktor Pasien
a. Usia: Tulang anak menyatu dengan lebih cepat, dan memiliki kapasitas
remodeling yang baik.
b. Nutrisi dan konsumsi obat: Nutrisi yang buruk menurunkan kecepatan
penyembuhan. Kortikosteroid dan obat anti inflamasi non steroid
berpotensi mengganggu proses inflamasi dan memperlambat
penyembuhan fraktur.
c. Komorbiditas: patologi pada tulang (misal keganasan), diabetes, HIV, dan
merokok dapat menurunkan vaskularisasi lokal dan memperlambat
penyembuhan.
d. Infeksi: Infeksi dapat menyebabkan terlambatnya penyatuan tulang atau
tidak menyatunya tulan karena fase inflamatorik yang berkepanjangan
dan aktivitas seluler berlebihan (Mirhadi, et al., 2013).
13
2.2 Dislokasi Sendi Akromioklavikula
2.2.1 Definisi Dislokasi Sendi Akromioklavikula
Dislokasi sendi didefinisikan sebagai hilangnya stabilitas struktural dari
sendi tersebut. Faktor mekanis yang mengakibatkan suatu sendi bergerak di luar
luas geraknya yang normal menyebabkan tension failure, baik itu pada
komponen tulang di sendi tersebut, pada kapsul fibrosa dan ligamennya, atau
keduanya. Terdapat tiga derajat instabilitas sendi: 1) instabilitas sendi yang tidak
terlihat (occult), hanya terlihat ketika sendi tersebut diberikan tekanan, 2)
subluksasi, dimana permukaan sendi kehilangan sambungan normalnya namun
masih terdapat kontak antar permukaan sendi, 3) dislokasi (luksasi), di mana
permukaan sendi telah benar-benar kehilangan kontak antara satu sama lain.
Sama halnya seperti fraktur, dislokasi bisa bersifat tertutup atau terbuka, baik
lukanya dari arah luar maupun dari arah dalam. Sendi-sendi yang paling rentan
mengalami dislokasi akibat trauma adalah sendi bahu, siku, interfalangeal,
panggul, dan pergelangan kaki. Sendi akromioklavikula merupakan salah satu
sendi yang berada pada area bahu. Pada dislokasi sendi akromioklavikula,
terdapat instabilitas struktural pada bagian lateral klavikula. Istilah dislokasi
akromioklavikula ini tidak bisa disamakan dengan istilah shoulder dislocation,
melainkan sama dengan istilah shoulder separation ataupun acromioclavicular
injury (Salter, 2008; Thompson, 2010; Roth, 2017).
2.2.2 Anatomi Bahu
14
Sendi akromioklavikula memiliki ligamen akromioklavikula yang
menyambungkan struktur akromion dan klavikula, sehingga memberikan
stabilitas anterior dan posterior, serta stabilitas aksial. Sendi akromioklavikula ini
merupakan sendi diarthrodial (gliding joint), dengan hanya sedikit gerakan yang
terjadi pada sendi ini, yakni rotasi 5º-8º pada gerakan skapulotoraks dan 40º-45º
pada gerakan abduksi dan elevasi bahu. Struktur ligamen lain yang ada pada
sendi akromioklavikula adalah ligamen korakoklavikula (dibagi menjadi ligamen
konoid dan trapezoid), yang menempel pada dasar prosesus korakoideus sampai
klavikula bawah, serta memiliki insersi posteromedial dan insersi anterolateral
pada klavikula. Ligamen ini berperan untuk memberikan stabilitas vertikal
sebagai kesatuan dengan sendi akromioklavikula. Sendi ini merupakan
stabilisator statis, sedangkan stabilisator dinamisnya adalah otot deltoid dan
trapezoid. Sendi akromioklavikula ini sering mengalami trauma maupun penyakit
degeneratif (Thompson, 2010; Sirin, et al., 2018).
2.2.3 Etiologi dan Patofisiologi Dislokasi
Dislokasi akromioklavikula seringkali terjadi akibat benturan langsung ke
klavikula (posisi bahu terbentur) dengan lengan aduksi. Pada trauma tidak
langsung, biasanya terjadi ketika jatuh dengan menopang pada lengan posisi
ekstensi dan sedikit abduksi (Roth, 2017).
2.2.4 Diagnosis Dislokasi
Diagnosis dibuat dengan dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, bisa didapatkan mekanisme trauma
yang mendasari keluhan ini. Keluhan subyektif yang dirasakan oleh penderita
adalah nyeri di bagian bahu, biasanya lengannya diposisikan aduksi, dan
pergerakan menyebabkan nyeri (Anwar, et al., 2008).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya edema, nyeri tekan lokal
di ligamen akromioklavikula maupun ligamen korakoklavikula, serta deformitas.
Bahu yang terkena tampak tidak simetris bila dibandingkan bahu yang tidak
terkena, bagian distal klavikula lebih prominen, pada kasus yang jarang bisa
didapatkan deformitas di posterior (area trapezius). Terkadang bisa terdapat
jejas juga pada klavikula, iga, pleksus brakialis, dan lain-lain, sehingga
pemeriksaan area-area yang dicurigai terkena serta neurovaskular distal juga
harus dilakukan. Luas gerak sendi biasanya terbatas oleh karena nyeri. Bisa
ditemukan piano sign positif, serta tes cross adduction yang positif (Brotzman
15
dan Manske, 2011; Babhulkar dan Pawaskar, 2014).
Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan modalitas x-ray AP dan lateral
dari sendi akromioklavikula, lebih baik dilakukan pada posisi duduk. Bisa juga
dilakukan x-ray dengan stress view , yakni dengan pasien memegang beban 5 kg
di masing-masing tangan, yang nantinya akan menunjukkan pergeserannya
dengan lebih jelas, terutama untuk membedakan derajat I dari II dan derajat II
dari derajat III. X-ray juga bisa dilakukan untuk melihat sisi kontralateral yang
normal sebagai perbandingan. View yang paling akurat untuk melihat persendian
AC adalah Zanca, yang dilakukan dengan mengarahkan sinar x-ray 10-15º
cephalad dengan penetrasi 50% dari normal. MRI juga dapat dilakukan untuk
mengevaluasi ligamen (Anwar, et al., 2008; Thompson, 2010, Babhulkar dan
Pawaskar, 2014; Solomon, et al, 2014; Miller dan Thompson, 2016).
Berdasarkan semua modalitas ini, cedera pada akromioklavikula dapat
diklasifikasikan sesuai dengan keparahannya. Klasifikasi lama berasal dari Tossy
dan Allman pada tahun 1960-an, dan membaginya menjadi tiga. Klasifikasi
tersebut dimodifikasi oleh Rockwood dan Green pada 1984 menjadi enam
derajat (Babhulkar dan Pawaskar 2014; Sirin, et al., 2018).
16
Pada derajat I, terdapat sprain dari ligamen akromioklavikula, sedangkan
pada derajat II sudah terdapat robekan (tear) dengan ligamen korakoklavikula
masih utuh. Pada derajat III terdapat robekan ligamen akromioklavikula dan
korakoklavikula, dengan pergeseran ke arah superior <100%. Derajat IV sama
dengan derajat III dengan tambahan adanya pergeseran posterior. Derajat V
sama dengan derajat III dengan adanya pergeseran ke arah superior <300%.
Sedangkan derajat VI sama dengan derajat III dengan pergeseran ke arah
inferior (Thompson, 2010).
2.2.5 Tatalaksana Dislokasi Sendi Akromioklavikula
Tatalaksana pada kasus dislokasi sendi akromioklavikula bergantung
pada derajat keparahannya, dengan opsi yang tersedia yakni tatalaksana
konservatif atau tatalaksana operatif (Miller dan Thompson, 2016).
Tabel 3. Pola Cedera Akromioklavikula dan Manajemennya (Miller dan
Thompson, 2016)
CEDERA CEDERA
FASCIA TEMUAN
TIPE LIGAMEN LIGAMEN TEMUAN KLINIS MANAJEMEN
DELTOTRAPEZIAL RADIOGRAFI
AC CC
I Utuh Utuh Utuh Nyeri tekan AC Normal Non-operatif
Ujung lateral
Nyeri dengan
klavikula sedikit
pergerakan, klavikula
II Ruptur Utuh Utuh naik, stress view Non-operatif
tidak stabil secara
terdapat separasi
horizontal
<100%
Klavikula tidak stabil
Non-operatif,
secara horizontal &
pertimbangkan
vertikal, ekstremitas X-ray menunjukkan
III Ruptur Ruptur Cedera ringan operatif bila
aduksi, akromion separasi
atlit atau
terdepresi relatif
pekerja kasar
terhadap klavikula
Cedera Kemungkinan ada skin Klavikula tergeser
IV Ruptur Ruptur (klavikula bergeser tenting dan “fullness” di secara posterior Operatif
ke posterior) posterior pada view aksiler
Cedera dan Peningkatan jarak
Seperti tipe III tapi lebih
V Ruptur Ruptur terlepas dari klavikula-akromion Operatif
parah, bahu sangat turun
klavikula 100-300%
Dislokasi inferior dari Klavikula tertanam
Kemungkinan klavikula dengan cedera di belakang
VI Ruptur Ruptur Operatif
cedera berat lainnya, conjoined tendon
paresthesia transien yang utuh
17
Tatalaksana untuk dislokasi sendi akromioklavikula bertujuan untuk
mengembalikan luas gerak sendi bahu, serta mengatasi nyerinya. Pada cedera
derajat I dan II, biasanya ditatalaksana dengan metode konservatif. Terapi
dilakukan dengan imobilisasi, dengan pemasangan sling selama sekitar 1-3
minggu, atau sampai gejalanya mereda. Sumber lain menyatakan imobilisasi I
juga bisa dilakukan 3-6 minggu. Latihan gerak paska periode imobilisasi
direkomendasikan. Latihan gerak dilakukan untuk mengembalikan luas gerak
sendi. Setelah luas gerak sendi kembali lebih dari 75% dari normal, maka
aktivitas latihannya bisa ditambah intensitasnya, serta latihan penguatan otot
bisa dimulai. Latihan penguatan juga disarankan untuk memberikan dukungan
pada sendi akromioklavikula, karena serat dari ligamen akromioklavikula superior
bergabung dengan otot trapezius dan deltoid, sehingga latihan penguatan otot
akan membantu memberikan stabilitas pada sendi. Tatalasana untuk pasien di
rumah pada fase akut pada dasarnya meliputi fase imobilisasi (istirahat),
kompres es, pemberian analgesia, serta terapi fisik (Anwar, et al., 2008;
Brotzman dan Manske, 2011; Babhulkar dan Pawaskar, 2014; Miller dan
Thompson, 2016; Kiel dan Kaiser, 2018).
Pada derajat III, pemilihan manajemen seringkali kontroversial. Baik
metode konvensional maupun operatif sama-sama memiliki bukti yang
menyatakan outcome fungsional yang baik, sehingga pemilihannya bergantung
pada preferensi dokter. Pada derajat IV, V, VI, dibutuhkan tindakan ORIF.
Tatalaksana konservatif untuk derajat-derajat ini seringkali menyebabkan
deformitas kosmetik. Banyak metode operatif yang telah disebutkan di literatur
untuk penanganan cedera akromioklavikula, antara lain pemasangan screw, plat,
K wire, hook plate, muscle transfer, ligamentoplasty, dan rekonstruksi ligamen
dengan autograft atau allograft. Kebanyakan prosedur memerlukan hardware
metal yang bisa mengubah biomekanika sendi akromioklavikula, sehingga
dibutuhkan intervensi bedah berikutnya untuk pengambilan implan setelah
ligamen sudah sembuh. Pada beberapa studi, pengambilan implan dikatakan
sudah bisa dilakukan pada bulan 3-4 (Brotzman dan Manske, 2011; Kim dan
Chun, 2016; Sirin, et al., 2018).
2.2.6 Prognosis dan Komplikasi
Secara umum, prognosis cedera sendi akromioklavikula ini cukup baik.
Biasanya imobilisasi bisa dilakukan hingga mencapai 6 minggu, dan kembali ke
18
aktivitas normal secara bertahap pada sekitar bulan ke 6. Cedera derajat I, II,
dan III yang ditatalaksana secara konservatif umumnya akan memberikan hasil
yang baik. Cedera dengan derajat lebih berat umumnya akan memiliki risiko
terkait cedera tersebut maupun terkait prosedur tatalaksananya. Fiksasi ligamen
yang rigid cenderung memiliki angka kegagalan dan komplikasi yang tinggi,
sehingga menurunkan kepuasan pasien, fungsi, dan kekuatannya. Beberapa
komplikasi yang mungkin terjadi pada penggunaan adalah kegagalan fiksasi dan
migrasi hardware. Akan tetapi juga terdapat literatur yang menyatakan bahwa
tension band wiring dengan K wire berkaitan dengan masa pemulihan yang lebih
cepat. Beberapa komplikasi yang bisa terjadi dari dislokasi sendi
akromioklavikula adalah nyeri residual pada sendi yang terjadi pada sekitar 30-
50% individu. Artritis sendi seringkali terjadi pada sendi yang ditatalaksana
secara operatif (Anwar, et al., 2008; Warth, et al., 2012; Muthukumar, et al.,
2017; Kiel dan Kaiser, 2018; Sirin, et al., 2018).
19
BAB III
LAPORAN KASUS
20
Medication
Tidak ada riwayat obat-obatan yang diminum dalam waktu dekat dan dalam
jangka panjang. Saat di PKM Bumiaji pasien dipasang infus RL 16 tpm dan
diinjeksi antrain 1 ampul.
Past Medical History
Tidak ada riwayat penyakit yang diderita dalam jangka panjang. Tidak ada
riwayat rawat inap/cedera/kecelakaan sebelumnya.
Last Meal
Makan pagi terakhir jam 8 pagi.
Event at Injury
Pasien paska mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar 1,5 jam yang lalu. Pasien
berkendara dengan sepeda motor, dan berada di posisi yang dibonceng,
kemudian motor menghindari bis yang menyalip dari arah yang berlawanan,
sehingga pasien terjatuh ke arah kiri dan pasien bertopang pada lengan kirinya.
Sesaat setelah kejadian, pingsan (-), mual (-), muntah (-)
21
Perkusi S S
SS
SS
Abdomen Flat, soefl, bising usus (+) normal, hati tidak teraba
perbesaran, lien tidak teraba perbesaran
Ekstremitas Akral hangat
Edema - +
- -
Status Lokalis
Regio Bahu Sinistra
L: Deformitas (+) (terdapat skin tenting dan tonjolan di posterior)
F: Nyeri tekan (+), NVD (+)
M: ROM terbatas
Regio Antebrachii Sinistra
L: Deformitas (+), Angulasi (+)
F: Nyeri tekan (+), NVD (+)
M: ROM terbatas
22
Parameter Pembekuan Darah
Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Normal
Bleeding Time 144 Menit 1-3
Coagulation Time 2,0 Menit 9-15
Gula Darah
Hasil Pemeriksaan Satuan Nilai Hasil Pemeriksaan
Normal
GDS 106 mg/dL <200
23
Gambar 7. X-ray Antebrachii Sinistra AP Lateral Pra Operasi
3.5 Assessment
1. Fraktur Terbuka Os Radius Ulna Sinistra 1/3 Distal Tipe Oblique Derajat I
2. Dislokasi Sendi Akromioklavikula Sinistra Derajat IV
3.6 Terapi
Non Farmakologis
Tindakan ORIF Radius Ulna Sinistra & Sendi Akromioklavikula
Sinistra
Tirah baring
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein
24
Farmakologis
Tatalaksana IGD
IVFD RL 16 tpm
Inj. Ketorolak 30 mg IV
Premedikasi 1 jam sebelum operasi:
Inj. Sefotaksim 2 gr IV
Inj. Ranitidin 50 mg IV
Inj. Metoklopramid 10 mg IV
Inj. Ketorolak 30 mg IV
Obat Paska Operasi:
IVFD RL 16 tpm
Inj. Seftriakson 2 x 1 gr IV
Inj. Santagesik 3 x 500 mg IV
25
Gambar 9. X-ray Antebrachii AP Lateral Paska Operasi tanggal 27-01-2019
26
BAB IV
PEMBAHASAN
27
yang dibutuhkan untuk mengevaluasi fraktur dan dislokasi secara menyeluruh
(Anwar, et al., 2008; Salter, 2008; Thompson, 2010; Barton, et al., 2012; Miller
dan Thompson, 2016; Roth, 2017).
Modalitas pemeriksaan penunjang yang dipilih pada kasus ini adalah x-
ray, dengan dilakukannya x-ray AP dan lateral pada antebrachii, serta dilakukan
x-ray klavikula AP. View yang digunakan pada x-ray antebrachii sudah sesuai
dengan teori, namun view untuk dislokasi akromioklavikulanya hanya dari
proyeksi AP dan tidak terfokus pada area bahu saja, melainkan sekaligus dengan
thoraksnya. Sehingga, visualisasi dan penentuan derajatnya dilakukan bersama
dengan data yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (Salter, 2008;
Thompson, 2010; Babhulkar dan Pawaskar, 2014; Solomon, et al., Roth, 2017).
Secara teori, pada fraktur, perlu dideskripsikan jenis frakturnya, bagian
mana dari tulang tersebut yang mengalami fraktur, serta tulang yang mengalami
fraktur. Pada dislokasi sendi akromioklavikula, perlu dinyatakan derajatnya
berdasar klasifikasi Rockwood dan Green yang digunakan saat ini. Berdasarkan
teori, maka pada kasus ini diagnosis yang didapat dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang adalah fraktur terbuka os radius
ulna sinistra 1/3 distal tipe oblique derajat I, serta dislokasi sendi
akromioklavikula sinistra derajat IV (Salter, 2008; Thompson, 2010; Barton, et al.,
2012).
Pemasangan ORIF pada pasien dilakukan pada radius, ulna, dan sendi
akromioklavikula, pada radius dilakukan pemasangan plate-and-screw, pada ulna
dilakukan pemasangan K-wire, serta pada sendi akromioklavikula dilakukan
pemasangan K-wire dan cerclage wire. Tatalaksana yang dilakukan sudah
sesuai dengan prinsip bahwa pada kasus fraktur radius ulna sekaligus serta
cedera akromioklavikula derajat IV perlu dilakukan tatalaksana operatif.
Tatalaksana farmakologis tambahan berupa pemberian antibiotik spektrum luas
yakni sefotaksim dan seftriakson sudah sesuai dengan pedoman yang
menyatakan perlunya pemberian antibiotik untuk menekan risiko infeksi pada
fraktur terbuka. Pemberian analgesia untuk mengontrol nyeri sudah sesuai
dengan teori. Tatalaksana non farmakologis tambahan berupa periode imobliisasi
(tirah baring) sudah sesuai dengan teori. Pada waktu kontrol nanti, penting bagi
pasien untuk diedukasi terkait kapan pasien bisa memulai latihan gerak pada
sendinya dan sejauh apa latihannya, serta penting untuk mengedukasi pasien
28
mengenai dibutuhkannya operasi berikutnya untuk mengambil implan yang ada
di sendi akromioklavikula sekitar 3-4 bulan ke depan. Secara umum, tidak rutin
direkomendasikan untuk mengambil implan yang ada di antebrachii kecuali bila
pasien bergejala (Brotzman dan Manske, 2011; Heim, et al., 2013; Babhulkar
dan Pawaskar, 2014; Nemeth dan Bindra, 2014; Kim dan Chun, 2016; Miller dan
Thompson, 2016; Azar, et al., 2017; Kiel dan Kaiser, 2018; Sirin, et al., 2018).
Secara umum, pada pasien ini prognosisnya dubia ad bonam, karena
faktor usia pasien, lokasi fraktur pasien, tidak adanya masalah pada
neurovaskular distalnya, serta faktor tatalaksana yang tepat. Prognosis yang
cenderung baik ini perlu dipertahankan dengan asupan nutrisi yang memadai,
latihan gerak pada pasien sesuai anjuran, serta kontrol rutin sesuai anjuran
(Anwar, et al., 2008; Warth, et al., 2012; Mirhadi, et al., 2013; Azar, et al., 2017;
Muthukumar, et al., 2017; Kiel dan Kaiser, 2018; Sirin, et al., 2018).
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, R., Tuson, K., dan Khan, S. A. 2008. Classification and Diagnosis in
Orthopaedic Trauma. Cambridge: Cambridge University Press
Barton, C. A., Mcmillian, W. D., Crookes, B., Osler, T., dan Bartlett, C. 2012.
Compliance with the Eastern Association for the Surgery of Trauma guidelines for
prophylactic antibiotics after open extremity fracture. International journal of
critical illness and injury science. (2) 57-62.
Heim, D., Luria, S., Mosheiff, R., dan Weil, Y. 2013. Forearm shaft Simple
fracture of the radius and the ulna - ORIF - Compression Plating.(Online)
(https://www2.aofoundation.org, diakses 25 Februari 2019, 20.28 WIB)
Hoff, W. S., Bonadies, J. A., Cachecho, R., dan Dorlac, W. C. 2011. Open
Fractures, Prophylactic Antibiotic Use in – Update. J Trauma. 70 (3):751-4
31
Miller, M. D. dan Thompson, S. R. 2016; Miller’s Review of Orthopaedics. Edisi 7.
Philadelphia: Elsevier.
Nemeth, N., dan Bindra, R. R. 2014. Fixation of distal ulna fractures associated
with distal radius fractures using intrafocal pin plate. Journal of wrist surgery,
3(1), 55-9.
Rodriguez, L., Jung, H. S., Goulet, J. A., Cicalo, A., Machado-Aranda, D. A., dan
Napolitano, L. M. 2014. Evidence-based protocol for prophylactic antibiotics in
open fractures: Improved antibiotic stewardship with no increase in infection
rates. J Trauma Acute Care Surg. 77(3): 400-408
Sirin, E., Aydin, N., dan Topkar, O. M. 2018. Acromioclavicular joint injuries:
diagnosis, classification, and ligamentoplasty procedures. EFORT Open Rev.
3:426-433.
Solomon, L., Warwick, D., dan Nayagam, S. 2014. Apley and Solomon’s Concise
System of Orthopaedics and Trauma. Florida: CRC Press
Thim, T., Krarup, N. H., Grove, E. L., Rohde, C. V., dan Løfgren, B. 2012. Initial
assessment and treatment with the Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure (ABCDE) approach. Int J Gen Med. 5:117-21.
32